Haviz Maulana https://telusuri.id/penulis/haviz-maulana/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 08 Jul 2020 08:13:04 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Haviz Maulana https://telusuri.id/penulis/haviz-maulana/ 32 32 135956295 Corona dan Bunga yang Mekar https://telusuri.id/corona-dan-bunga-yang-mekar/ https://telusuri.id/corona-dan-bunga-yang-mekar/#respond Tue, 07 Jul 2020 05:14:36 +0000 https://telusuri.id/?p=22894 Barangkali tak banyak yang menyangka bahwa virus misterius yang mulai diberitakan pada ujung tahun 2019 itu akan membuat semuanya berubah drastis. Gaya hidup tak lagi sama, mimpi terpaksa ditunda. Aku tentu saja juga mengalaminya. Harapan...

The post Corona dan Bunga yang Mekar appeared first on TelusuRI.

]]>
Barangkali tak banyak yang menyangka bahwa virus misterius yang mulai diberitakan pada ujung tahun 2019 itu akan membuat semuanya berubah drastis. Gaya hidup tak lagi sama, mimpi terpaksa ditunda.

Aku tentu saja juga mengalaminya. Harapan agar mendapat rezeki berupa pekerjaan di awal tahun tak kunjung terkonversi jadi kenyataan. Situasi dan kondisi memang sedang tak memungkinkan. Kestabilan ekonomi sedang goyang. Tak sedikit perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawan karena tak sanggup menanggung beban operasional.

Akhirnya kuputuskan untuk rehat sejenak dari kancah pencarian kerja. Aku pulang.

Di rumah, aku beralih profesi menjadi tukang kebun. Seingatku, itu pekan pertama Maret 2020. Awal mulanya adalah permintaan dari bapak untuk membersihkan pekarangan di samping rumah dari rumput liar dan tumpukan pot plastik (polybag) yang tak terpakai.

Bibit-bibit tanaman di kebun rumah kami/Haviz Maulana

Tapi kemudian terpikir olehku untuk memanfaatkan kembali tanah di kantong plastik hitam itu untuk menanam bunga. Bunga-bunga milik ibuku yang tadinya tak terawat satu per satu kubongkar dan kupindahkan ke dalam pot dan pot plastik baru. Agar pertumbuhan bunga-bunga itu baik, medium tanah kucampur dengan arang sekam dan kotoran kambing. Aku juga dihibahkan beberapa bunga oleh para tetangga baik hati yang melihat kegiatanku.

Ketika bunga-bunga itu mulai tumbuh, aku mulai berpikir untuk meletakkan pot-pot di anjang-anjang (rak bunga). Tempo hari aku melihat anjang-anjang bagus di tempat penjual bunga. Tapi itu cuma kujadikan referensi. Alih-alih membeli, anjang-anjang itu kubikin saja. Toh ada adik yang bisa kumintai bantuan.

Sepertinya aku perlu cerita sedikit soal aku dan adikku. Kami berdua sebenarnya sudah lama tidak tinggal satu atap. Sejak SMA aku sudah di Muntilan, Magelang. Lepas SMA aku ke Jogja untuk kuliah. Jika ditotal, delapan tahun aku bertualang menimba ilmu di tanah seberang. Meskipun tiap libur aku pulang barang satu-dua minggu, banyak sekali proses tumbuh-kembang adikku yang terlewat olehku. Tapi waktu berlalu begitu cepat. Sekarang ia sudah kuliah di sebuah kampus di Jogja.

Kebersamaan kami ini—bapak, ibu, adikku, dan aku—barangkali adalah salah satu hal baik yang kudapat dari situasi absurd ini. Jika tak ada pandemi, entah kapan kami bisa berkumpul dalam waktu yang lama. Keributan dan perselisihan kecil tentu saja masih terjadi sekali-sekali, membangkitkan kenangan kala kami berdua masih kanak-kanak dulu. Waktu kami bocah, tak sehari pun lewat tanpa pertengkaran untuk memperebutkan sesuatu, yang bikin bapak dan ibu nesu, yang sebagian besar berakhir dengan paduan suara tangis kami berdua.

Maka, dengan bantuan adik tersayang, aku memulai proses pembuatan anjang-anjang sederhana berbahan kayu dan bambu.

Salah satu alasan aku memilih bambu adalah karena mencarinya tidak sulit. Di kampungku, sebagian besar penduduk bertani. Karena bambu sangat berguna saat menanam palawija—kacang panjang, gambas, timun, dan pare—sebagai lanjaran (tiang untuk menjalarkan tanaman), banyak yang menanam bambu di pekarangan. Fungsi bambu ternyata tak hanya untuk bikin dinding dan pagar.

Kayu kubeli di toko bangunan. Bambu kami ambil bersama bapak di halaman belakang rumah simbah (kakek). Kami pilih batang mambu yang sudah tua, berdiameter besar, serta berbatang lurus sesuai kebutuhan kami. Kami tebang batang bambu itu satu per satu. Cabang-cabang kecilnya kami bersihkan agar bambu itu aman dipegang saat dibawa pulang.

Anjang-anjang yang sudah jadi/Haviz Maulana

Setelah batang bambu kami dapat, material itu perlu didiamkan dan dijemur beberapa hari agar kulitnya menguning pertanda sudah kering. Habis itu aku dan adikku mulai bekerja. Batang kayu kami potong dan belah menjadi empat bagian sesuai ukuran yang sudah kami rancang di kertas. Selanjutnya kami bersihkan pinggirannya dan mata ruasnya agar tak melukai tangan ketika dipegang. Asyik sekali proses itu sampai-sampai aku tak sadar bahwa anjang-anjang sudah selesai. Segera kami pindahkan bunga-bunga ke sana.

Selang beberapa minggu, sebagian bunga sudah mekar dan pekarangan kami tampak lebih indah dipandang. Lumayan, bisa jadi pengobat hati yang harus bersabar menghadapi situasi saat ini. Selain itu, senang juga rasanya bisa bikin “pabrik oksigen” sendiri.

Salam hangat dari rumah kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Corona dan Bunga yang Mekar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/corona-dan-bunga-yang-mekar/feed/ 0 22894
Menelusuri Jalanan Kota Pahlawan bersama Keluarga Makmun https://telusuri.id/menelusuri-jalanan-kota-pahlawan-bersama-keluarga-makmun/ https://telusuri.id/menelusuri-jalanan-kota-pahlawan-bersama-keluarga-makmun/#respond Sat, 20 Jun 2020 11:38:35 +0000 https://telusuri.id/?p=22523 Rabu, 4 September 2019, pukul 02.00, kereta yang kami tumpangi dari Yogyakarta telah tiba di Stasiun Gubeng Surabaya. Segara kami berkemas dan menurunkan barang bawaan. Di pintu keluar stasiun, kami memesan ojol. Segera saja kami...

The post Menelusuri Jalanan Kota Pahlawan bersama Keluarga Makmun appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu, 4 September 2019, pukul 02.00, kereta yang kami tumpangi dari Yogyakarta telah tiba di Stasiun Gubeng Surabaya. Segara kami berkemas dan menurunkan barang bawaan. Di pintu keluar stasiun, kami memesan ojol. Segera saja kami diantarkan ke penginapan untuk mengistirahatkan badan.

Paginya aku bangun terlambat dan kamar kudapati dalam keadaan kosong. Di WhatsApp sudah ada beberapa pesan masuk. Ternyata dari Mas Makmun. Ia menanyakan aku mau sarapan apa. Tak lama, keluarga kecil itu datang membawa kresek berisi nasi kuning pesananku.

Sebenarnya kami hanya singgah di kota itu, menunggu jadwal keberangkatan kapal Pelni. Namun, sayang jika waktu singkat itu tidak dimanfaatkan untuk menjenguk kota bersejarah itu. Mbak Wulan, istri Mas Makmun, sudah menyusun agenda.

Jam 11 siang kami berangkat menggunakan taksi online. Tujuan pertama adalah sebuah kedai es krim legendaris. Karena sedang ada perbaikan jalan di bundaran air mancur Jalan Panglima Sudirman, kami mesti turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan kaki. Bundaran tugu air mancur ditutup seluruhnya. Akhirnya kami harus sedikit berputar menyusuri pinggiran Kali Mas dan kembali ke Jalan Yos Sudarso.

Keluarga Makmun bertualang menelusuri Surabaya/Haviz Maulana

Aku terkesan ketika melawati jalan setapak di pinggir Kali Mas. Kali yang berada di tengah kota biasanya begitu kotor dan bau, namun Kali Mas berbeda. Yang kulihat, airnya berwarna hijau sehat dan tidak ada sampah plastik di permukaannya. Tiada aroma tak sedap dan jauh dari kesan kumuh.

Setelah dua puluh menit berjalan, akhirnya kami sampai di tempat itu, Kedai Zangrandi, yang konon sudah tersohor sejak masa Hindia-Belanda. Senyum ramah serta sambutan hangat pelayan menjemput kami yang baru melangkahkan kaki untuk masuk. Semula kami ingin duduk di luar. Namun, perbaikan jalan membuat debu beterbangan sehingga kami memilih duduk di dalam.

Kesan modern dan kursi warna merah Kedai Zangrandi mestilah menarik mata siapa pun yang melihat. Nuansanya berbeda sekali dari tampilan luar yang lebih lawas. Kami duduk di sudut yang dekat dengan stopkontak agar bisa sekalian mengisi daya ponsel.

Selang sebentar, seorang pelayan lain datang menghampiri sambil membawa sebuah buku besar. Buku menu tentunya. Bilal dengan bersemangat segera mengambil buku itu dan memilih santapannya sendiri. Sehabis itu baru giliranku. Kubolak-balik buku menu hingga akhirnya melihat sebuah foto menarik. Nama sajian itu: Es Krim Macedonia. Kupilih itu. Tapi aku belum selesai bergelut dengan menu itu, sebab mesti memilih: with rum or not? Kupilih es krim dengan rum, karena penasaran.

Es Krim Macedonia di Zangrandi/Haviz Maulana

Tak terlalu lama sampai es krim-es krim yang kami pesan tiba, lengkap dengan air putih. Es Krim Macedonia yang berwarna merah muda itu disajikan dalam sebuah gelas bundar, sebagai bulatan tiga perempat bola yang di dalamnya ada rum. Kesan yang muncul setelah menikmatinya adalah dingin, manis, serta hangat—yang berasal dari rum. Siapa pun yang mencoba mestilah akan selalu mengingat rasanya. Waktu untuk menghabiskan es krim itu lebih cepat ketimbang waktu yang diperlukan untuk menunggu. Lalu, ketika es krim itu sudah menghilang sepenuhnya, tanpa jejak, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Tujuan berikutnya adalah mal tenar di Kota Pahlawan, Tunjungan Plaza. Kembali kami berjalan kaki sembari menikmati suasana Surabaya. Dipandu Google Maps, kami melangkahkan kaki melewati celah pembatas bangunan di depan Balai Pemuda Surabaya, lanjut ke Jalan Gubernur Suryo.

Setiba di Taman Apsari, Mas Makmun mengajak kami istirahat. Bilal dibiarkan bermain. Kebetulan di Taman Apsar ada lapangan futsal. Bilal senang sekali bermain bola di sana ditemani sang bunda. Aku berkeliling melihat-lihat taman. Taman itu bersih dan rapi. Aku jadi teringat berita tempo hari soal Bu Risma yang muntab karena bunga-bunga yang ditanamnya hancur karena diinjak-injak pada sebuah acara.

Hampir setengah jam kami di sana. Mas Makmun pun meminta Bilal untuk menyudahi permainannya. Meski dengan wajah cemberut, Bilal mengikuti permintaan ayahnya. Takjub aku padanya. Umurnya masih lima tahun tapi diajak berjalan sejauh ini ia tak merengek.

Seruas jalan di Surabaya/Haviz Maulana

Akhirnya kami tiba di ujung Jalan Gubernur Suryo. Tunjungan Plaza sudah dekat. Sepuluh menit berjalan, kami tiba dan segera masuk. Ah, pasti kamu sudah tak asing lagi dengan isinya. Di Tunjungan Plaza kami membeli sedikit bekal untuk berlayar. Dari pusat perbelanjaan itu kami lanjut ke Waroeng Tjangkroek Soerabaja. Tebak kami ke sana dengan apa? Benar: kaki. Kami jalan kaki menyusuri Jalan Tunjungan, sempat berhenti di depan Hotel Majapahit yang legendaris itu untuk berswafoto dan membaca plakat sejarah singkat yang terpajang dekat pintu masuk hotel.

Hari sudah sore ketika kami lanjut jalan kaki menuju akhir petualangan.

Jalan-jalan dengan keluarga Muhammad Syukron Makmun memberi saya pelajaran tentang arti bertualang bersama keluarga. Suatu waktu nanti mungkin aku akan mengulanginya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jalanan Kota Pahlawan bersama Keluarga Makmun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jalanan-kota-pahlawan-bersama-keluarga-makmun/feed/ 0 22523
Ruang Keramik: Tribut Seorang Seniman pada Tanah Kelahiran https://telusuri.id/ruang-keramik-tribut-seorang-seniman-pada-tanah-kelahiran/ https://telusuri.id/ruang-keramik-tribut-seorang-seniman-pada-tanah-kelahiran/#respond Fri, 19 Jun 2020 16:07:27 +0000 https://telusuri.id/?p=22455 Bagi sebagian besar manusia, tak terkecuali diriku, mewabahnya virus corona membuat aktivitas sehari-hari menjadi terhambat. Namun, ada elemen-elemen dalam masyarakat yang tidak mempermasalahkan situasi sekarang, salah satunya adalah para pelaku seni. Mereka tetap bisa berkarya,...

The post Ruang Keramik: Tribut Seorang Seniman pada Tanah Kelahiran appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian besar manusia, tak terkecuali diriku, mewabahnya virus corona membuat aktivitas sehari-hari menjadi terhambat.

Namun, ada elemen-elemen dalam masyarakat yang tidak mempermasalahkan situasi sekarang, salah satunya adalah para pelaku seni. Mereka tetap bisa berkarya, sebab inspirasi bisa datang dari berbagai hal, termasuk peristiwa-peristiwa tak lazim seperti pandemi ini.

Perjumpaan pertama dengan pemuda penuh mimpi

Tulisan ini kumulai dengan sebuah cerita dari pengujung tahun 2019, berbarengan dengan selesainya fase hidupku sebagai mahasiswa. Lazimnya sarjana baru, aku pun mencoba peruntungan dengan memasukkan lamaran ke banyak lowongan. Namun, sepertinya rezeki belum berpihak padaku. Sampai tahun berganti, belum satu pun usahaku yang membuahkan hasil. Beberapa kali aku sudah sampai tahap wawancara, namun kabar lanjutan tak kunjung datang.

Lalu virus corona datang dan meniup harapanku untuk bisa bekerja di awal tahun. Semuanya seperti harus ditunda. Aku memilih pulang ke kampung halaman. Ada pekerjaan di rumah, yaitu membantu orangtuaku bertani.

Sempat aku merasa kesepian dan kosong ketika harus kembali beradaptasi dengan lingkungan “baru”: rumah sendiri. Tidak baru juga sebenarnya, hanya lama kutinggalkan. Aku meninggalkan rumah delapan tahun lalu selepas sekolah menengah pertama (SMP). Sama sepertiku, ada beberapa orang teman yang juga demikian, yang setelah sekian lama merantau kemudian pulang.

Pada sebuah kesempatan, kami kopi darat (kopdar) di sebuah kedai kopi di kota tercinta, sekadar menyambung jaring-jaring cerita yang terputus. Semasa studi tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan universitas, kami memang jarang bertukar cerita karena sibuk dalam dunia masing-masing. Saat kopdar itu, salah seorang temanku membawa temannya dan memperkenalkannya kepada kami. Kemudian kutahu bahwa namanya adalah Baskoro Wicaksono.

Kesan pertama yang diperlihatkannya adalah pendiam. Temanku yang membawanyalah yang lalu bercerita bahwa Baskoro, seperti dirinya, baru lulus studi Pendidikan Seni Rupa. “Bapak guru,” celetuk salah seorang teman, disambut tawa oleh teman-teman lain.

Dari situ, mau tak mau Baskoro buka mulut dan bercerita tentang dirinya. Semasa kuliah, dia menemukan ketertarikan pada seni rupa tiga dimensi, yakni mengolah tanah liat menjadi vas bunga. Dia pun menunjukkan foto-foto beberapa karyanya di unggahan Instagram. Perlahan kami jadi tahu niat mulia Baskoro. Cita-citanya dulu, setelah lulus kuliah ia akan kembali ke kota ini, membuat sebuah studio, dan mewujudkan mimpinya untuk berkontribusi pada kota kelahirannya melalu seni. Bagiku pribadi, pilihan yang dia ambil sangatlah menarik.

Lampung dikenal publik sebagai daerah transmigrasi. Sebagaimana diwartakan portal Teraslampung.com, program transmigrasi sudah dimulai sejak tahun 1905. Kala itu, sejumlah penduduk dari Purworejo dikirim ke Lampung untuk memperluas wilayah pertanian kolonial. Semakin ke sini, berita-berita soal premanisme, curanmor, dan begal membuat citra Lampung justru jadi kurang sedap. Berkontribusi lewat seni pada Metro, kota kelahirannya ini—yang namanya barangkali terdengar asing di telinga sidang pembaca—tentu akan berimbas bagus pada citra Sang Bumi Ruwa Jurai.

Aku jadi ingin lebih dalam berbincang dengannya seputar kegiatannya sekarang. Tapi waktu berjalan begitu cepat. Puluhan puntung rokok sudah memenuhi asbak di depanku. Kami mesti menutup pertemuan. Namun, sebuah kekuatan tak terduga seperti bekerja sebelum kami beranjak ke rumah masing-masing: Baskoro mengundang kami untuk datang ke studio miliknya.

Bertandang ke Ruang Keramik

Setelah berkenalan dengan Baskoro Wicaksono tempo hari, akhirnya aku bertandang ke studio sederhana miliknya yang berada di pinggir Kota Metro. Studio itu bernama Ruang Keramik.

Jejeran keramik menyambutku begitu turun dari sepeda motor. Tak lama, seseorang datang dan mempersilakanku masuk. Di sebuah meja panjang warna putih, duduk seorang laki-laki yang sedang asyik bergelut dengan tanah liat. Perabotan dan peralatan kerja ada di sekitarnya. Itu Baskoro. Dia ternyata sedang menyelesaikan sebuah vas bunga permintaan dari seorang konsumen asal Muntilan, Jawa Tengah.

Studio Ruang Keramik/Haviz Maulana

Setelah menyapa dan menjabat tangannya, sembari menunggunya aku berkeliling melihat keramik-keramik yang terpajang di rak-rak yang menempel di dinding. Kulihat-lihat karya-karya itu dan kuambil beberapa foto. Lalu aku menghampiri Baskoro yang sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya.

Sungkan, kubuka saja obrolan. Setelah berbasa-basi sedikit, Babas, panggilan akrab Baskoro, bercerita tentang perjalanannya sampai akhirnya membuka Ruang Keramik.

Kecintaan Babas pada seni sudah muncul sejak dia kecil. Semasa sekolah, dia sangat menyukai seni rupa. Dia menggambar di ruang-ruang kosong yang tersedia, mulai dari kertas putih sampai dinding—mural. Selepas SMA, dia melanjutkan studi ke Pendidikan Seni Rupa salah satu perguruan tinggi di Kota Kembang.

ruang keramik
Sketsa desain keramik karya Baskoro Wicaksono/Haviz Maulana

Di masa-masa awalnya sebagai mahasiswa, Baskoro eksis dengan melukis. “Menggambar dengan rasa,” ujarnya. Ketertarikannya pada seni kriya keramik baru tumbuh pada pertengahan masa kuliah. Seni tanah liat memang bukan hal baru, tapi justru di sanalah keasyikannya; babas mesti menemukan identitas pada karyanya.

Babas mencintai bunga. Tak jarang dia memproyeksikan kecintaannya pada bunga dengan menggoreskan cat pada sebidang kertas dan menggambar bunga. Akhirnya, sang seniman muda memilih mereka-cipta vas bunga. Mulanya, dia hendak sekadar menggunakan vas buatannya untuk mewadahi bunga yang dia punya. Tapi, waktu yang menjadi saksi bahwa karyanya takkan sekadar jadi konsumsi pribadi.

Petualangan Baskoro pun memasuki babak baru. Dia pun mulai mengasyiki tanah liat. Didedahnya ilmu reka-cipta tanah liat dari dasar. Karakteristik tanah liat dipelajarinya, juga ragam-ragam teknik mengolahnya.

Beberapa vas bunga karya Baskoro Wicaksono/Baskoro Wicaksono

Setelah itu barulah dia mulai membuat vas bunga model umum yang beredar di pasaran. Itu jadi jalan baginya untuk mulai bereksperimen dalam hal bentuk dan tekstur. Inspirasi diambil Baskoro dari alam, dari batang-batang pohon yang sering dilihatnya. Dia biasanya mulai berkreasi dengan cara menggambar bentuk batang yang dilihatnya pada selembar kertas. Imajinasi Baskoro pun mendistorsi bentuk-bentuk batang itu, yang kemudian menjadi nyata sebagai benda tiga dimensi berupa vas bunga.

Organis. Demikianlah Baskoro menamai konsep yang menjadi identitas karyanya. Ciri khas vas bunga Babas adalah bentuknya yang abstrak dengan tekstur tak rata. Tentu saja tanpa mengurangi fungsi vas itu sebagai tempat bunga yang memperindah ruangan. Untuk menghasilkan vas bunga terbaik, Baskoro memilih teknik pijatan tangan (pitching). Baginya, teknik tersebut paling sesuai untuk menghasilkan karya yang dia inginkan. Hasil pijitan alami yang dipertahankan melalui teknik pijatan dia maknai sebagai sebuah pesan kejujuran.

Vas karya Baskoro yang sudah diisi dua tangkai bunga/Baskoro Wicaksono

Begitulah. Babas pun makin mendalami seni kriya tanah liat. Di ujung masa kuliahnya, ketika mesti menyusun karya tulis, dia memilih vas bunga sebagai objek. Tapi tantangan muncul ketika dosen pembimbingnya meminta Baskoro untuk membuat karya dengan konsep yang beda, bukan organis. Itu tak mudah. Karyanya sempat berkali-kali mengalami revisi sebab kurang sesuai dengan konsep-konsep umum soal keindahan. Sedih namun tidak bisa berontak, mungkin itu yang dia rasakan.

Namun perjuangan panjang itu akhirnya mulai mendapatkan titik terang ketika—dari relasi yang dia bangun saat berpartisipasi dalam pameran-pameran—dia “bertemu” dengan konsep geometris. Konsep geometris ala Baskoro lahir terinspirasi oleh karya Natas Setiabudhi, seorang seniman keramik bergaya geometric and architectural yang juga seorang dosen seni di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mengusung konsep itu, singkat cerita, dia pun akhirnya berhasil mencapai garis finis studinya.

Bulan Oktober, selepas menyelesaikan studi, dia memutuskan pulang ke sini, Metro, kota kelahirannya. Dia pun kembali membuat vas bunga bergaya organis. Diakuinya bahwa pilihan ini tak mudah—penolakan yang pernah dialaminya juga membuatnya bertanya-tanya apakah karyanya akan dapat diterima. Namun, dia lalu teringat sosok seniman idolanya, Vincent van Gogh, pelukis aliran pasca-impresionisme dari Belanda yang sampai akhir hayatnya menempuh jalan sunyi. Kisah-kisah tentang van Gogh menjadi penguatnya kala itu.

Dua bulan pertama, Babas terus membuat vas bunga. Karya-karyanya kemudian diunggah ke dua akun Instagram: akun pribadi (@baskoro_wicaksono) dan akun lain bernama @ruangkeramikstudio. Dia juga mulai sering menggelar kelas membuat keramik seminggu sekali di studio yang kemudian dikenal sebagai Ruang Keramik. Sasaran kelas itu adalah siapa pun yang tertarik untuk belajar membuat keramik, meskipun kebanyakan pesertanya adalah teman dekat dan anak-anak sekitar. Mereka belajar di sana kemudian mengunggah karya mereka di akun sosial media masing-masing sehingga Ruang Keramik pelan-pelan muncul ke permukaan.

Deretan vas bunga bergaya abstrak di Ruang Keramik/Haviz Maulana

Akhirnya, momen yang ditunggu pun tiba: permintaan pertama datang bulan Desember kemarin. Nasibnya ternyata lebih baik ketimbang van Gogh yang hanya menjual satu lukisan, The Red Vineyard, sepanjang hayatnya. Seseorang dari Surabaya menghubunginya melalui Instagram, meminta dibuatkan beberapa model vas bunga kepadanya. Babak baru dalam hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sebagai seniman pun dimulai, meskipun dia tahu di zaman serba-cepat ini—dan di kota di mana pekerjaan seniman hampir tidak ada—jalan yang ditempuhnya tidaklah mudah.

Baskoro sempat mengutarakan mimpinya. Suatu saat nanti dia akan mengenalkan Metro melalui seni keramik hasil buah tangannya dan menyisipkan pesan pada anak muda agar tidak perlu merasa berkecil hati untuk tetap eksis dan mandiri melalui bidang seni. Bekerja tak melulu harus di kantor—rapi, wangi, dan berdasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ruang Keramik: Tribut Seorang Seniman pada Tanah Kelahiran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ruang-keramik-tribut-seorang-seniman-pada-tanah-kelahiran/feed/ 0 22455
Surat untuk Saudara-saudara Sepondokan https://telusuri.id/surat-untuk-saudara-saudara-sepondokan/ https://telusuri.id/surat-untuk-saudara-saudara-sepondokan/#respond Sat, 13 Jun 2020 16:34:59 +0000 https://telusuri.id/?p=22315 Hai, abang dan masku sekalian! Bagaimana kabar? Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia selalu. Dipertemukan dengan kalian di Wisma P adalah sebuah takdir yang semesta kehendaki, menjadi bagian dari penempaan diri ini. Menjadi sosok paling...

The post Surat untuk Saudara-saudara Sepondokan appeared first on TelusuRI.

]]>
Hai, abang dan masku sekalian!

Bagaimana kabar? Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia selalu.

Dipertemukan dengan kalian di Wisma P adalah sebuah takdir yang semesta kehendaki, menjadi bagian dari penempaan diri ini. Menjadi sosok paling muda di antara penghuni lain membuatku banyak belajar dari kalian. Menerima berbagai petuah dan nasihat soal kehidupan, pendidikan, percintaan, cita-cita, perpolitikan, dan lain-lain membuatku merasa menjadi individu paling beruntung.

Bercerita tentang kalian tentunya tidak akan pernah ada habisnya. Setiap hari selalu menjadi sebuah kejutan di masa-masa itu. Namun, sedikit bercerita tentang kalian rasanya tidak salah, bukan?

Penghuni pertama yang kukenal dan paling cepat akrab denganku adalah Bang B. Namamu aslinya bukan itu, tapi kau akrab dipanggil begitu. Bisa dibilang dirimulah ketua suku kala itu, sebab kau yang paling tua dan salah seorang penghuni Wisma P terlama. Sungkan aku waktu pertama kali diperkenalkan saudaraku kepadamu. Kau merantau jauh-jauh dari Ujung Pandang sana untuk lanjut studi di Pascasarjana Hukum Universitas Gadjah Mada.

Sebagai mahasiswa baru, aku banyak dapat cerita darimu. Di tempat asalmu kau sudah menekuni diving. Dari anggota unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampusmu, dirimu pun akhirnya jadi ketua Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia (FOPMI). Kau yang mengenalkanku pada kegiatan menyelam. Hampir setiap hari aku dengar cerita darimu tentang indahnya dunia bawah air dan serunya berjejaring dengan para penggiat olahraga selam. Itu yang bikin aku tertarik mengikuti jejakmu. Aku pun mendaftar masuk UKM selam di kampus sampai akhirnya jadi anggota, punya lisensi selam, dan bisa membuktikan bahwa di balik birunya air laut ternyata memang ada ekosistem warna-warni.

Sosok kedua adalah kamu, Mas S. Lulus dari Teknik Geodesi, kamu menetap di Jogja, tidak pulang ke Kalimantan, tempat asalmu. Mungkin karena leluhurmu dari Jawa. Seingatku tak sulit untuk bisa berkenalan dan mengobrol denganmu. Kau ramah dan terbuka soal banyak hal, membuat siapa saja merasa nyaman mengobrol denganmu. Tak heran kamu banyak cemceman. Dirimu adalah salah seorang guru terbaik soal asmara.

Berikutnya, sang Penghuni Gua—ya, begitulah kami memanggilmu. Kau jarang keluar, namun sekalinya keluar lama untuk kembali. A sapaan akrabmu. Lulus dari Geofisika, kau memutuskan untuk berkarier dalam dunia kata. Manusia yang menulis, membaca, dan berjalan, demikian aku mendeskripsikan sosokmu.

Kamarmu di lantai dua serta paling dekat dengan tangga utama. Kata pepatah, buku adalah jendela dunia—dan aku bisa menyaksikannya di sana. Kamarmu biasa kuhampiri untuk mengobrol dan berdiskusi. Tak jarang kamu menawarkan secangkir kopi yang kau giling sendiri. Kau pasti ingat bahwa sebelum naik, ada kata kunci yang selalu kutanyakan lewat WhatsApp: “Open, Mas?” Itu wajib, mengingat kesibukanmu membaca dan menulis—aku tak mau mengganggumu. Aroma khas tembakau tingwe menjadi identitas kamarmu. Kau sangat terbuka untuk mendiskusikan banyak hal, dari mulai filsafat, agama, politik, lingkungan, perjalanan, perkopian, pertembakauan, perkuliahan, organisasi, dan masih banyak lagi. Dari dirimu aku mengenal dunia kata. “Tulis,” katamu, “tulislah apa pun yang kau lihat, kau rasakan, kau cita-citakan, kau keluhkan.” Godaanmu membuatku melahirkan sebuah tulisan, “Memanen Rumput Laut di Pulau Sabu.”

Lalu ada kamu, Mas E. Kamu kukenal dari Mas A. Kamu datang dari Makassar untuk menempuh studi di Pascasarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh. Kamu penuh canda dan kamarmu penuh makanan—makanya aku sering mampir. Darimu kumengerti betapa pentingnya pemetaan. Kamu pun dengan sabar menerangkan satu per satu soal peta dan kegunaannya. Meskipun sedang studi pascasarjana, hobimu menonton serial anime Jepang. Awalnya, kupikir apa asyiknya melihat tontonan hari Minggu yang biasa dikonsumsi anak SD itu. Namun aku salah. Beberapa kali ikut kamu menontonnya, kulihat banyak juga pesan moral yang terkandung pada tayangan itu, seperti soal kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, disiplin dalam menjalani suatu hal agar bisa jadi pemenang sejati….

Tak mungkin aku tak menyebutkan namamu, Mas D. Seingatku, waktu itu kamu penghuni paling baru. Kamu masuk Pascasarjana Teknik Industri dengan beasiswa LPDP. Kamu pendiam, pribadimu susah diungkap. Tapi pelan-pelan, setelah sekian obrolan, kita bisa menjadi kawan. Kamu adalah pribadi yang tangguh. Demi mewujudkan mimpimu untuk jadi pengajar di perguruan tinggi, kamu bekerja keras dan berkorban banyak hal, termasuk posisimu di sebuah perusahaan finance di Kalimantan. Denganmu aku sering berdiskusi soal organisasi yang kuikuti. Sabar sekali dirimu mendengarkan dan memberi arahan. Momen terakhir yang kuingat adalah ketika aku curhat soal posisiku sebagai penanggung jawab kegiatan yang kesulitan mengarahkan anggota. Masih terngiang dalam kepalaku saat kau mengutip pesan dari Ki Hajar Dewantara, bahwa seorang pemimpin harus memahami kapan harus di depan, di tengah, atau di belakang rekan setimnya.

Sampai tulisan ini dibuat, kabar terakhir yang kudapat adalah kalian terus berjuang di jalan masing-masing. Terima kasih atas kebaikan serta bimbingan kalian selama ini. Aku berharap suatu saat bisa berjumpa kembali serta mendengarkan banyak cerita dari kalian.

With love,

Haviz Maulana


Foto header: TEMPO/Subekti


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat untuk Saudara-saudara Sepondokan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-untuk-saudara-saudara-sepondokan/feed/ 0 22315
Memanen Rumput Laut di Pulau Sabu https://telusuri.id/memanen-rumput-laut-di-pulau-sabu/ https://telusuri.id/memanen-rumput-laut-di-pulau-sabu/#comments Sat, 08 Jun 2019 09:00:51 +0000 https://telusuri.id/?p=14274 Terlibat dalam Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman adalah pengalaman berharga bagiku. Tak tanggung-tanggung, aku ikut ekspedisi sampai dua kali. Pada ekspedisi pertama aku dikirim ke sebuah pulau di bagian utara...

The post Memanen Rumput Laut di Pulau Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Terlibat dalam Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman adalah pengalaman berharga bagiku. Tak tanggung-tanggung, aku ikut ekspedisi sampai dua kali.

Pada ekspedisi pertama aku dikirim ke sebuah pulau di bagian utara Indonesia yang jadi saksi bisu sepak terjang Jenderal Douglas MacArthur saat Perang Dunia II, yakni Morotai. Ekspedisi kedua di paruh kedua 2018 kemarin, yang akan kuceritakan kali ini, mengantarkanku dan kawan-kawan dari Yogyakarta ke sebuah pulau di bagian selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT): Sabu. Pulau Sabu adalah pulau terbesar di Kabupaten Sabu Raijua.

Kami dikirim ke sebuah desa bernama Lobohede.

Di Pelabuhan Biu, Sabu Timur, kami dijemput oleh sang kepala desa, Bapak Dikson Haupia, dan seorang penggiat literasi di Pulau Sabu, Bang Echonk, kemudian dibawa naik truk selama sekitar dua jam ke Lobohede.

Sepanjang jalan, karena tiba sekitar pukul empat dini hari, kami terpana melihat langit malam Pulau Sabu yang penuh bintang. Barangkali beginilah langit kota-kota besar sebelum diarsir oleh polusi. Sesampai di desa, kami terkekeh mendapati bahwa rambut kami semua putih dan kaku. Maklum saja, masih banyak jalan di Pulau Sabu yang belum disentuh pembangunan.

Cium hidung di Desa Lobohede

Desa Lobohede adalah desa pesisir di sisi barat daya Pulau Sabu. Kehidupan komunitasnya berlangsung sebagaimana lazimnya masyarakat tepi laut. Namun ada satu hal yang membuat Desa Lobohede beda dari desa-desa lain, yakni mata pencaharian utama penduduknya: bertani rumput laut.

Begitu tiba, kami diantarkan ke Balai Desa Lobohede yang akan menjadi pondokan kami selama dua minggu di Sabu untuk bersilaturahmi, belajar, serta berkegiatan bersama masyarakat. Beberapa orang warga sudah menunggu kami di sana. Senyum, salam, dan jabat tangan secara spontan saling dipertukarkan. Di sana untuk pertama kalinya aku melihat tradisi cium hidung.

Penasaran, seorang teman bertanya pada Bapak Dikson soal tradisi cium hidung. Ia menjelaskan bahwa cium hidung adalah tradisi yang mengandung filosofi luhur dari para leluhur. Setelah cium hidung, seorang tamu akan dianggap keluarga oleh sang tuan rumah. Saat ada perselisihan keluarga maupun antarwarga, setelah pihak-pihak yang bertikai cium hidung persoalan akan dianggap selesai.

Usai mengobrol dengan Bapak Dikson, kami mulai membereskan barang bawaan. Dari truk, barang-barang kami masukkan ke dalam pondokan.

Rampung mengurus barang bawaan, kami disambut secara resmi oleh warga. Tak banyak yang hadir saat itu. Menurut Bapak Dikson, siang hari begini warganya sedang berada di pantai. “Kebanyakan … petani rumput laut,” ujarnya. Menarik, batinku.

Acara seremonial itu pun selesai. Sebagian kawan beristirahat, tapi ada pula yang mandi. Aku memilih duduk di beranda balai desa, memantik sebatang rokok, lalu melayangkan pandangan ke sekitar. Saat itulah mataku menangkap sebuah objek yang bikin penasaran.

Rumah dari pohon lontar

Karena penasaran, aku pun mengajak beberapa orang kawan untuk menghampiri objek itu, sekalian ke pantai. Ternyata itu adalah sebuah rumah. Kebetulan, waktu kami tiba, di sana sedang ada seorang mama bersama anaknya. Mereka sedang tekun menenun kain tradisional khas Sabu.

Dari mama itu aku tahu bahwa rumah seperti ini disebut “rumah daun” oleh orang Sabu. Hampir seluruh bagiannya berasal dari pohon lontar. “Seluruh bagian lontar digunakan, dari batang, daun … pelepahnya,” jelasnya. Daun lontar kering yang disusun rapi dan diikat dengan pelepah lontar dijadikan atap. Batang pohon lontar, bisa ditebak, dijadikan tiang-tiang penyangga rumah.

pulau sabu
Rumah daun khas Pulau Sabu/Fajar

Saat mentari bersinar terik seperti siang itu, berdiam di rumah daun terasa sangat nyaman. Semilir angin khas daerah pesisir yang menerobos ke dalam rumah serupa pendingin ruangan di resor-resor mewah. “Dulu rumah seluruh warga … rumah daun,” sang mama bercerita. “Namun semakin ke sini rumah daun mulai ditinggalkan … berganti rumah modern.”

Cerita klasik.

Dari rumah daun, kami meneruskan perjalanan ke pantai. Meskipun pantai sebenarnya tak terlalu jauh dari balai desa, hanya sekitar lima menit jalan kaki, kompor kosmik yang bersinar terik di atas membuat perjalanan itu terasa lama. Barangkali Einstein benar soal relativitas: “Letakkan tanganmu di kompor panas selama satu menit, pasti rasanya seperti satu jam. Duduklah dengan gadis cantik selama satu jam, pasti rasanya seperti satu menit.”

Pantai Lobohede tak ada duanya. Pasirnya putih, lautnya biru, dan ombaknya yang berdebur tak bosan-bosan berkejaran dengan buih-buih putih. Bak sekumpulan anak kecil yang baru pertama kali melihat pantai, kami berlarian di Pantai Lobohede. Ama dan ina yang siang itu ada di pantai barangkali keheranan melihat kami, dewasa tanggung yang bertingkah seperti anak kecil.

Berkenalan dengan petani rumput laut

Lelah bermain air, kami balik kanan maju jalan. Tapi, bukannya langsung pulang, kami tergoda untuk mendatangi salah satu dari sekian gubuk milik petani rumput laut yang berjejeran di bibir pantai. Di sana, para petani rumput laut sedang sibuk beraktivitas. Ada yang sedang menjemur hasil panen, sebagian lain membereskan tali, dan ada pula yang sedang mengikat bibit rumput laut. Mereka juga tampaknya sedang sibuk berdiskusi. Sayang sekali, karena tak mengerti bahasa Sabu, aku tak paham apa yang mereka katakan.

Melihat kami yang tampak malu-malu, salah seorang di antara mereka menjemput bola, menyapa, “Hai, mari mampir.” Sapaan itu berasal dari seorang laki-laki setinggi sekitar 160 cm, berkulit gelap, dengan rambut yang sudah agak memutih. Jika ditaksir-taksir, umurnya barangkali sudah pertengahan 50 tahun. Namanya, belakangan aku tahu, adalah Akor. Bapak Akor adalah petani sekaligus pengepul rumput laut.

Setelah ngobrol beberapa lama dengan Bapak Akor, akhirnya, malu-malu, kuberanikan diri bertanya, “Apakah saya bisa coba mengikat bibit, Bapak?” Ia lalu dengan senang hati mempersilakan, sembari memberikan beberapa tali untukku dan kawan-kawan.

Kami pun mengikuti gerakan tangan Bapak Akor yang tampaknya sudah sangat terampil mengikat bibit rumput laut. Bibit-bibit yang akan diikat itu, menurut penjelasan Bapak Akor, sudah dipotong-potong dari rumpun utamanya menjadi seukuran telapak tangan.

pulau sabu
Bapak Akor dan orang-orang Lobohede sedang mengikat bibit rumput laut/Haviz Maulana

“Bibit-bibit ini asalnya dari Pulau Raijua, pulau kecil di sebelah Pulau Sabu,” jelas Bapak Akor. Petani biasa membelinya seharga Rp80.000/karung. Nantinya, setelah diikatkan pada tali sepanjang 15 meter dan diletakkan di laut, bibit-bibit itu bisa digunakan dua sampai tiga kali, tergantung kondisinya.

“Kalau sudah muncul penyakit seperti ada putih-putih di batang utamanya, tandanya rumput laut sudah tidak baik untuk digunakan dan harus diganti dengan bibit baru,” imbuh Bapak Akor. Kalau masih tetap dipakai akan sangat berisiko, sebab penyakit itu membuat batang rumput laut menjadi rapuh sehingga mudah patah.

Kultur rumput laut Desa Lobohede

Ternyata mengikat bibit rumput laut harus dilakukan dengan penuh perasaan, tidak boleh terlalu kuat namun juga tak bisa longgar. Bagi kami yang baru pertama kali mengikat bibit, ini terasa sulit. Namun, bagi orang-orang Desa Lobohede yang sehari-hari bergelut dengan rumput laut, kegiatan ini sudah semudah bernapas.

“Para petani sudah berangkat dari pagi selepas sarapan, Mas,” Bapak Akor bercerita. “Para suami berangkat lebih dulu, sedangkan para istri [tinggal dulu di rumah] menyiapkan perbekalan untuk makan siang di gubuk sembari menyiapkan keperluan anak-anak [untuk] pergi ke sekolah.” Sepulang sekolah, anak-anak akan menyusul ke gubuk untuk membantu orangtua mereka.

pulau sabu
Mengikat bibit rumput laut pada tali sepanjang 15 meter/Haviz Maulana

Anak-anak yang belum sekolah juga diajak ke gubuk, sebab dari pagi sampai matahari terbenam rumah akan kosong; semua penghuninya sibuk mengurus rumput laut. Siang itu, kulihat anak-anak itu sibuk menjadi anak-anak. Ada yang berlari-larian, ada pula yang menerbangkan layang-layang, sebagian lain bermain bola, namun ada juga yang membantu orangtuanya menjemur rumput laut.

Senang rasanya melihat mereka bisa menghabiskan masa kanak-kanak dengan bermain dan tertawa lepas bersama kawan-kawan sebaya.

Cukup lama kami mengikat bibit sambil berbincang dengan Bapak Akor dan petani-petani rumput laut lainnya. Tanpa sadar, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Seisi gubuk pun mulai berkemas. Setengah rela kusudahi kegiatan mengikat bibit rumput laut. Ikatanku, setelah diamat-amati, jauh dari kata rapi. Semoga saja saat diletakkan di laut bibit-bibit itu tidak lepas dihempas gelombang.

Minum “sopi” untuk melepas lelah

“Mas, sebentar. Pulangnya bareng bapak saja. Biar yang lain duluan saja,” ujar Bapak Akor saat kami pamit undur diri. Setelah kawan-kawanku beranjak, keluarlah sebuah botol air mineral berukuran sedang. Tapi, dilihat-lihat, isinya bukan air mineral.

Bapak Akor menuangkan air itu ke dalam gelas lalu menyodorkan padaku. Aku pun meminumnya. Rasanya agak manis dan terasa hangat di badan.

“Yang barusan Mas minum namanya sopi,” jelas Bapak Akor. “Itu arak tradisional di sini, Mas.”

Ia lalu bercerita bahwa dulu, sebelum ada rumput laut, masyarakat Lobohede menyambung hidup dengan menjadi penderes air lontar untuk dijadikan gula Sabu dan—tentunya—sopi. Namun, lama-kelamaan, karena pekerjaan menderes air lontar tak lagi menguntungkan, orang-orang Lobohede pindah haluan ke budidaya rumput laut.

Waktu aku di Pulau Sabu, harga jual rumput laut kering bisa mencapai Rp20.000/kg. Jika satu tali mampu menghasilkan 7 kg, bisa dibayangkan berapa keuntungan yang bisa dihasilkan Bapak Akor yang punya sekitar 700 tali.

Rumput laut Desa Lobohede biasanya dibeli oleh para saudagar Makassar. Datang membawa bahan-bahan semacam beras ke Pulau Sabu, mereka pulang membawa rumput laut kering dan hewan ternak seperti kambing.

Sambil bercerita, gelas sopi tak berhenti diputar. Akhirnya, obrolan sore itu ditutup saat gelas pamungkas diserahkan padaku. Agak sungkan sebenarnya. Namun, demi melihat raut wajah mereka yang menyiratkan keikhlasan, gelas terakhir itu kuselesaikan juga. Saat mencoba berdiri, bumi terasa berputar.

Sebelum aku beranjak pulang ke pondokan, Bapak Akor berpesan, “Besok kemari lagi ya, Mas. Teman-teman yang lain diajak. Besok Bapak mau panen rumput laut.”

“Siap, Pak,” jawabku bersemangat.

Memanen rumput laut

Siang hari kedua di Lobohede, aku mengajak kawan-kawan ke gubuk Bapak Akor. Saat kami tiba ia sedang bersiap-siap memanen rumput laut.

Karena hanya ada sebuah sampan gabus, hanya dua orang yang bisa ikut. Kata Bapak Akor, di tengah sana arus lumayan deras. Akhirnya dua kawanku yang berbadan ramping yang ikut memanen. Aku menunggu saja di pantai sembari bermain dengan anak-anak kecil.

Selang sebentar, Bapak Akor dan kawan-kawanku kembali membawa segunung rumput laut. Dengan sebatang kayu, kami semua lalu bersama-sama mengangkat hasil panen ke pinggir, lalu menjemurnya pada tiang-tiang kayu di depan gubuk. Rumput laut akan dibiarkan di tiang itu sampai kering, sebelum dikemas dalam karung untuk ditumpuk dalam gubuk atau langsung dijual pada pengepul.

Kemudian, Bapak Akor mengambil sebuah serok jaring seperti yang lazim kita jumpai di kolam pemancingan. Kami mengikutinya berjalan ke petak rumput lautnya yang berada dekat dengan pantai. Dengan serok itu, ia mengambil patahan-patahan rumput laut yang “tercecer” untuk dikumpulkan dan terus dijemur. Kesempatan itu juga ia gunakan untuk mengecek kondisi rumput laut sekaligus menyianginya.

“Nah, seperti ini, Mas, penyakitnya,” Bapak Akor memanggil kami, menunjukkan contoh penyakit putih-putih yang kemarin diceritakan olehnya. “Kalau sudah begini biasanya langsung diambil karena berisiko patah saat ombak datang.”

Setelah Bapak Akor rampung mengumpulkan patahan dan mengecek petak rumput lautnya, kami pun beranjak pulang. Saat berjalan beriringan menuju gubuk, Bapak Akor tiba-tiba memanggil kami. Ternyata ada gurita.

“Ada yang berani tangkap?” tantangnya. Melihat tidak ada di antara kami yang berani, Bapak Akor dengan sigap menangkap gurita itu. Kawanku memegangnya, aku tidak. Geli rasanya melihat tentakel-tentakel gurita yang lengket itu.

Gurita itu pun kami lepas dan kami berlalu ke gubuk. Ternyata patahan-patahan rumput laut yang terkumpul lumayan banyak, satu jaring penuh. Kami pulang dengan hati senang. Baru dua hari di Lobohede, sudah banyak sekali ilmu baru yang kami dapat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memanen Rumput Laut di Pulau Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memanen-rumput-laut-di-pulau-sabu/feed/ 2 14274