Herry Fransiska Yosephine, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/herry-fransiska-yosephine/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:34:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Herry Fransiska Yosephine, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/herry-fransiska-yosephine/ 32 32 135956295 Cara Sederhana Mencintai Bumi https://telusuri.id/cara-sederhana-mencintai-bumi/ https://telusuri.id/cara-sederhana-mencintai-bumi/#respond Sun, 07 Feb 2021 11:21:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26867 Sampah sejak dulu memang selalu menjadi perhatian utama di Indonesia dalam pencemaran lingkungan baik pencemaran tanah maupun laut. Indonesia juga merupakan penghasil sampah plastik terbanyak kedua di dunia setelah China.  Akhir-akhir ini semakin gempar pemberitaan...

The post Cara Sederhana Mencintai Bumi appeared first on TelusuRI.

]]>
Sampah sejak dulu memang selalu menjadi perhatian utama di Indonesia dalam pencemaran lingkungan baik pencemaran tanah maupun laut. Indonesia juga merupakan penghasil sampah plastik terbanyak kedua di dunia setelah China. 

Akhir-akhir ini semakin gempar pemberitaan yang memperlihatkan perairan di Indonesia tercemar parah, sungai berisikan air yang hitam, bau, dan tak jarang tertutup sampah plastik. Laut dan pantai yang seharusnya bersih, kini juga menjadi tempat sampah berlabuh. Ekosistem sekitar pun ikut rusak.

Tak jarang juga kita menonton video melalui media sosial yang memperlihatkan terumbu karang yang awalnya berwarna-warni berubah menjadi tandus, sampah-sampah plastik kadang tersangkut diantaranya. Sering juga saya melihat video yang memperlihatkan satwa laut terluka karena terperangkap jaring, karet ban, dan sampah plastik—yang mana jika tidak mendapat pertolongan dari manusia benda itu selamanya akan terperangkap dan melukai tubuh satwa tersebut. Tak jarang pula ditemukan ikan atau satwa laut lain yang terdampar mati di pantai, lalu saat perut satwa tersebut dibedah, isinya penuh dengan sampah plastik.

Foto: Ocean Cleanup Group (Unsplash)

Dari hal itu seharusnya kita sudah dapat melihat akibat dari sampah plastik itu sebesar apa. Ikan memakan sampah atau berenang di air yang sudah tercemar, lalu ikannya kita yang makan. Sama saja manusia memakan sampah yang dibuangnya secara sembarangan, kan?

Konsumsi barang-barang berbahan plastik atau non organik sangat tidak beraturan. Selain pola pemakaian, cara kita membuang sampah juga sangat memprihatinkan, tangan kita sangat ringan untuk membuang sampah sembarangan yang nantinya sampah itu akan terbawa air, angin berujung ke sungai dan bermuara di laut. 

Nggak heran kalau sering kita melihat kampanye cinta lingkungan berseliweran di media sosial. 

Cara untuk mengurangi sampah plastik setiap harinya itu tidak susah kok, nggak perlu susah-susah nunggu aturan pemerintah, kita bisa mulai dari diri sendiri dulu. Kita bisa mulai dengan mengurangi penggunaan barang-barang yang sulit terurai. Seperti mengurangi beberapa barang di bawah ini, simak ya!

Tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai

Penggunaan kantong plastik memang sudah seperti kebiasaan bahkan bisa dibilang seperti kebutuhan. Plastik digunakan untuk membawa barang atau benda yang memiliki skala besar atau banyak. Dimanapun kita berbelanja selalu akan diberi plastik, ke pasar, ke supermarket, atau beli apapun lah pasti kantong plastik menjadi barang yang tidak pernah ketinggalan, dan jika lupa pasti bakalan minta.

“Minta kantong plastiknya dong Mba, double ya biar nggak sobek.” Ucapku.

Saat ini pemerintah dan di beberapa daerah sudah menerapkan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di supermarket atau swalayan, bagi pembeli diwajibkan membawa kantong sendiri atau membeli kantong kain yang sudah disediakan. 

Ya, meskipun itu makanan atau barang yang dibeli di supermarket memiliki kemasan plastik juga yang lebih tebal, tapi setidaknya dengan menggunakan kantong/tas kain kita bisa mengurangi sekian persen sampah plastik. Harapannya sih, kamu juga mulai menggunakan kantong kain meski di tempatmu belum menerapkan aturan ini.

Bijak menggunakan masker medis

Setelah COVID-19 resmi ditetapkan menjadi bencana nasional di Indonesia, penggunaan masker medis menjadi hal penting bagi setiap orang. Dampaknya, sempat kita rasakan beberapa waktu lalu saat terjadi kelangkaan masker medis. Lalu, karena penggunaan masker medis sekali pakai menggunakan masker medis sekali pakai, sehingga masker medis juga berkontribusi dalam kenaikan produksi limbah medis. 

Menurut observasi dan proyeksi Bappenas, produksi limbah medis naik hingga 400% dibanding kondisi sebelum pandemi COVID-19, dan hingga Desember 2020, kenaikan limbah medis mencapai 30%-50%. Limbah medis [masker] yang seharusnya dihancurkan dengan cara khusus dan di tempat khusus, kini dibuang sembarangan. 

Beberapa jenis masker medis sekali pakai punya kandungan plastik. Sebagian lagi mengandung bahan kimia bersifat karsinogenik, memiliki bahan aditif, tahan air, hingga UV stabilizer yang mana akan sangat berbahaya jika terpapar ke lingkungan. Jadi bingung, kan? Mau menghindar dari COVID-19 tapi enggan kontribusi penumpukan limbah masker medis sekali pakai.

Baru-baru ini, WHO memberikan solusi. Berdasarkan anjuran WHO per 1 Desember 2020, masyarakat berusia kurang dari 60 tahun dan tidak memiliki masalah kesehatan sebaiknya menggunakan masker kain.

Selain itu, sebaiknya kita mengurangi intensitas kegiatan di luar rumah jika tidak ada hal mendesak supaya penggunaan masker medis (dan masker sekali pakai) berkurang. Atau hanya gunakan masker medis jika hanya bepergian jauh dalam jangka waktu lama, dan bertemu dengan banyak orang.

Terobosan menstrual cup dan pembalut kain

Pembalut sekali pakai memang menjadi barang wajib untuk dimiliki oleh para perempuan, karena dipakai setiap bulannya. Namun, pernahkan berpikir kemana saja sampah pembalut sekali pakai ini?

Pembalut sekali pakai seiring berjalannya waktu akan mengeluarkan gas metana yang berakibat pada pencemaran lingkungan dan menyebabkan kenaikan temperatur di permukaan bumi sehingga menyebabkan pemanasan global.

Untuk mengurangi sampah pembalut ini, sering kita berpikiran untuk memusnahkan dengan cara dibakar. Ternyata ini adalah cara yang salah dan justru memperparah pencemaran karena hasil dari pembakaran yaitu dioksin dapat meracuni tubuh manusia, merusak fungsi organ, dan sistem tubuh.

Anggap saja wanita menggunakan 3-4 pembalut sekali pakai dalam sehari, lalu kalikan dengan lama menstruasi. “Kalau dihitung-hitung, jatuhnya bisa di atas 300 pembalut per orang setiap tahunnya,” ujar Jeanny Primasari, penggagas komunitas Zero Waste Nusantara, dikutip dari CNNIndonesia.com.

Nah, untuk mengurangi dampak gas metana, plastik, bahan pemutih, dioksin, dan zat-zat lainnya dari pembalut, kita dapat beralih dari pembalut sekali pakai menjadi pembalut kain atau menstrual cup. Kedua benda ini tentunya bisa menggantikan pembalut sekali pakai, tidak berdampak buruk untuk tubuh, ramah lingkungan, dan lebih ramah di kantong.

Masih banyak lagi terobosan untuk mengurangi produksi sampah khususnya plastik. Kamu bisa baca-baca tipsnya di Topik Khusus Sampah Kita, atau tengok juga komunitas-komunitas zero waste dan lainnya. Jadi, kamu sudah mulai menerapkan gaya hidup bebas dari plastik, belum?


Sampah Kita merupakan sebuah tajuk untuk berbagi pengalaman refleksi tentang sampah. Sampaikan cerita dan refleksimu soal sampah, bagikan tips dan kiat menyelesaikannya di telusuri.id/sampahkita.

Sampah Kita didukung oleh Lindungi Hutan dan Hutan Itu Indonesia.

The post Cara Sederhana Mencintai Bumi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-sederhana-mencintai-bumi/feed/ 0 26867
Mau Pakai Drone? Simak 5 Tips dari Sekolah TelusuRI https://telusuri.id/mau-pakai-drone-simak-5-tips-dari-sekolah-telusuri/ https://telusuri.id/mau-pakai-drone-simak-5-tips-dari-sekolah-telusuri/#respond Fri, 29 Jan 2021 06:10:59 +0000 https://telusuri.id/?p=26678 Beberapa waktu lalu aku mengikuti Sekolah TelusuRI yang diadakan oleh TelusuRI secara daring via Zoom dan disiarkan secara langsung melalui YouTube. Sekolah TelusuRI kali ini membuka kelas tentang “Aerial Videography 101” dengan mendatangkan seorang videografer,...

The post Mau Pakai Drone? Simak 5 Tips dari Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa waktu lalu aku mengikuti Sekolah TelusuRI yang diadakan oleh TelusuRI secara daring via Zoom dan disiarkan secara langsung melalui YouTube. Sekolah TelusuRI kali ini membuka kelas tentang “Aerial Videography 101” dengan mendatangkan seorang videografer, filmmaker, yang juga sekaligus founder dari Skygrapher, yakni Bram Aditya.

Selama berjalannya acara Bram Aditya berbicara seputar pengalamannya menerbangkan drone untuk kepentingan pembuatan video dokumentasi. Bagiku, acara yang berlangsung selama kurang lebih satu jam itu cukup memberikan bekal pengetahuan baru soal videografi dari sudut pandang pengambilan gambar lain menggunakan kamera udara.

Kelas dimulai dengan paparan Bram mengenai sejarah drone. Saya baru tahu, drone dibuat pertama kali tahun 1849 dengan kegunaan untuk membawa bom dalam situasi perang, dan masih terus berlanjut hingga tahun 1940 yakni saat perang dunia ke 2. Sampai akhirnya tahun 1970 drone berubah fungsi, tidak lagi untuk mengangkut bom melainkan sebagai pesawat pengintai saat perang. Hingga sekarang drone berfungsi untuk pengambilan gambar, pengecekan tambang, pemadam kebakaran, mapping, farming, delivery, bahkan taxi.

Makin kesini teknologi makin canggih ya? Bisa-bisa di masa mendatang udah nggak ada ‘tu yang pergi ke sawah, nggak ada yang jadi tukang ojek, antar makanan macam gofood, semua udah dilakuin sama teknologi ini.

Sebelum masuk ke materi lebih dalam Bram juga menjelaskan mengenai tipe-tipe drone sekaligus spesifikasinya meskipun tidak begitu lengkap. Ada Mavic air, Mavic Mini 2, Mavic Pro 2, Phantom Pro 2, Inspire 2, dan Matrice 600. 

“Saat ketemu klien, semua aksesoris drone dipasang aja semua biar klien makin percaya dan yakin sama kita. Meskipun nanti aksesorisnya nggak kepakai semua bahkan ada yang dilepas”, pesan Bram.

Meski Bram seorang filmmaker, ia sendiri mengatakan kalau ngedrone atau pengambilan video menggunakan drone sangat jarang dilakukan dalam pembuatan sebuah film. Biasanya gambar dari drone hanya digunakan sebagai “insert” atau sisipan saja.

Lalu, langkah awal yang harus dipahami oleh seseorang yang baru belajar adalah cara mengoperasikannya. Nah, untuk pembelian drone tentu sudah satu set dengan remote-nya dong, lalu gimana cara kerjanya?

Di Sekolah TelusuRI kemarin dijelaskan bahwa di remote drone terdapat dua tombol yang ada di kanan dan kiri. Untuk tombol kiri berfungsi untuk memutar drone dan menaik turunkan drone, sedangkan tombol yang kanan berfungsi untuk mengarahkan drone maju mundur dan geser kanan kiri. Selain fitur dasar tersebut, kamu juga harus membaca manual fitur dan cara penggunaannya supaya drone dapat digunakan dengan lebih maksimal.

Selain cara pengoprasian Bram  juga menjelaskan mengenai aturan-aturan dalam menerbangkan drone. Karena cara kerja drone harus diterbangakan, maka ketinggian yang dicapai tidak boleh lebih dari 120 meter di atas tanah atau bangunan untuk menghindari pertemuan dengan helikopter; tidak menerbangkan drone di area bandara dan objek vital (monas, istana negara, dubes, dll); pastikan drone selalu terlihat oleh mata, sehingga jika ingin mengambil gambar yang agak jauh lebih disarankan pilotnya yang pindah; hindari kerumunan dan terbang di atas tempat ibadah; pastikan drone berasa searah dan didepan kita menghadap, supaya tidak bingung saat mengoperasikannya; selalu terbang dengan observer, guna untuk memberitahu lingkungan sekitar drone; ikuti peraturan lokal, jika tidak diperbolehkan menggunakan drone jangan ngeyel, atau kamu harus mengurus surat izin terbang drone; dan tentunya pastikan drone terbang di tempang terbuka ya, supaya drone mendapatkan GPS.

Bram juga memberikan 5 tips ala dirinya kepada seluruh peserta Sekolah TelusuRI, yaitu:

  1. Tidak perlu terbang terlalu tinggi karena semakin tinggi maka semakin nggak kelihatan pergerakan drone tersebut. Bram juga menyarankan untuk selalu terbang rendah dan pelan supaya bisa memantau pergerakan drone.
    Tidak perlu terbang terlalu kencang apalagi menggunakan mode speed karena jika drone sudah terbang kencang, maka agak susah dipelankan. Tapi, jika drone terbang pelan, kecepatannya bisa ditingkatkan. 
  2. Selalu menggunakan auto exposure biar nggak ribet dan hasil gambarnya bagus, kecuali jika video editornya yang meminta. Pahami juga semua fitur yang dipunyai oleh drone.
    Jangan membuat pergerakan kamera dan drone secara tiba-tiba karena akan bisa-bisa harus mengulangi pengambilan gambar dari awal. Dalam pengambilan gambar, paling tidak berikan durasi minimal 10 detik dengan posisi yang sama supaya bisa dipilih mana yang akan digunakan.
  3. Lakukan survei melalui Google Street, Google Maps, atau Instagram gunamelihat keadaan situasi lapangan dan menentukan ide konsep pengambilan gambar akan seperti apa. Pergerakan drone juga bisa direncanakan saat survei ini.
    Sebelum terbang cek bangunan sekitar apakah terdapat pohon, tiang, gedung, benang layangan, dan kabel listrik karena jika ada hambatan yang tidak terlihat akan berakibat fatal misalnya saja tabrakan drone dengan bangunan-bangunan tersebut.
  4. Banyak gunakan tripod mode, supaya pergerakan drone dapat lebih pelan dan hasil pengambilan gambar bisa smooth. Rubah RTH (Return To Home) menjadi remote jika take off dari perahu/pelabuhan karena mode RTH tidak berfungsi maksimal pada posisi ini.
    Perhatikan medan magnet di lokasi terbang karena jika banyak medan magnet akan menyebabkan drone terbalik ketika take off
  5. Belok kanan jika bertemu dengan objek terbang (misalnya pesawat, drone, helikopter, dll). Tapi, jika diserang burung, jangan langsung turun, melainkan naikkan lalu ke kanan kiri sambil turun pelan-pelan. 

Satu jam berlalu begitu cepat saat menyimak Bram di kelas “Aerial Videography 101”. Menurutku, materi-materi dasar pengambilan gambar menggunakan drone cukup bermanfaat bagi peserta yang sudah memiliki drone maupun yang belum.

Selain yang sudah kutulis, jika mau tau materi menarik dan lengkap yang dibagikan Bram Aditya, silahkan simak video yang sudah diunggah di kanal YouTube TelusuRI.


 Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mau Pakai Drone? Simak 5 Tips dari Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mau-pakai-drone-simak-5-tips-dari-sekolah-telusuri/feed/ 0 26678
Sudah Tahu Soal Industri Perak di Celuk, Bali? https://telusuri.id/sudah-tahu-soal-industri-perak-di-celuk-bali/ https://telusuri.id/sudah-tahu-soal-industri-perak-di-celuk-bali/#respond Sun, 03 Jan 2021 03:37:38 +0000 https://telusuri.id/?p=26133 Pada Sabtu, (12/12/2020) lalu, TelusuRI berkesempatan #NgobrolBareng dengan pendiri Titian Jewelry, Michellie Danara Tantyo. Mungkin banyak dari kalian yang mengenal industri perak di Kotagede, Yogyakarta, namun Titian Jewelry yang fokus menjual pernak pernik perhiasan, seperti...

The post Sudah Tahu Soal Industri Perak di Celuk, Bali? appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada Sabtu, (12/12/2020) lalu, TelusuRI berkesempatan #NgobrolBareng dengan pendiri Titian Jewelry, Michellie Danara Tantyo. Mungkin banyak dari kalian yang mengenal industri perak di Kotagede, Yogyakarta, namun Titian Jewelry yang fokus menjual pernak pernik perhiasan, seperti kalung, cincin, gelang, dan beberapa perhiasan lainnya ini memperkenalkan kita dengan industri perak di Celuk, Bali.

Titian Jewelry, Perak Celuk, Bali

Michellie Danara Tantyo bersama pengrajin perak Celuk, Bali/Michellie.

Nah, di #NgobrolBareng kali ini, Michellie membagikan cerita tentang bagaimana Ia mendirikan usaha perhiasan Titian Jewelry, serta tantangan dalam membantu meningkatkan nilai jual dan minat pengrajin perak di Celuk. Yuk kita simak!

Halo Kak Michellie. Boleh cerita sedikit tentang Titian Jewelry ini, domisili di Bali ya?

Kalau domisilinya aku itu di Malang, tapi produksinya dari Bali. Titian awalnya adalah tugas akhir [kuliah] sama temanku, Merline. Nah terus kita coba buat lanjutin meski akhir tahun 2018 kita sempat vakum dan coba kerja di bidang masing-masing.

Akhir tahun 2019 aku mutusin buat lanjutin lagi [usahanya], waktu itu ditawarin sama Public Garden untuk bikin pop up market sama mereka, jadi dari situ memutuskan untuk produksi lagi, terus awal 2020 malah ada corona.

Dengan adanya Corona, bagaimana sih dampaknya untuk Titian dan industri perak Celuk?

Awalnya kan kita belum bener-bener produksi serius. Jadi buat kita, [corona] malah menjadi penyemangat gitu. Apalagi waktu tau corona ini bener berimbas banget sama pengrajin di Balikarena awalnya perak dibikin untuk ekspor dengan kuantitas besar, yang order adalah bule-bulesekarang semua terhenti nggak ada yang ngerjain dan mereka banyak yang balik ke kampungnya.

Nah, kalau cara bertahan ditengah gempuran tren perhiasan lain, kayak emas bagaimana?

Kalau dibandingkan dengan emas, tentunya sudah berbeda, mulai dari harga hingga target pasar. Justru karena pandemi, ada gempuran-gempuran lain. Kadang suka ada yang nge-chat ngasih support, itu bikin semangat buat kita terus berkarya lagi. [Jadi] meskipun ada halangan, misalnya projek yang tertunda, ya tetep [berjalan] pelan-pelan lah. 

Bali lagi ke cerita tentang Titian Jewelry tadi, Tantangan yang dihadapi kayak apa?

Dulu pas masih magang, aku dikasih tau [dan baca juga] kalau Celuk adalah sentra silver, sentra perhiasan yang mayoritas diekspor. Bali itu [tumbuh] dari kerajinan perak, jadi dulu itu bisa dibilang Celuk adalah daerah yang kaya banget. Namun, makin ke sini industri ini makin turun karena banyak hal seperti persaingan, kita yang nggak ngikutin tren teknologi supaya bisa bikin kerajinan dengan lebih cepat dan efisien, sampai hasil yang didapatkan sebagai pengrajin jumlahnya nggak seberapa.

Sekarang, anggaplah pengrajin dalam sebulan bisa menghasilkan sekian rupiah dan itu nggak beda jauh dengan profesi sebagai penjaga villa atau jualan online, jadi akhirnya mereka lebih memilih untuk jadi penjaga villa aja, karena effort yang dikasih lebih rendah. Mereka juga nggak perlu skill atau ngeluarin tenaga dan pikiran yang segitunya. Jadi, banyak yang alih profesi sebagai penjaga villa meskipun penghasilannya beda tipis dengan pengrajin.

Titian Jewelry, Perak Celuk, Bali

Proses pembuatan perhiasan Titian Jewelry/Michellie.

Sekarang itu mereka (pengrajin) kalau ditanya anaknya mau jadi apa, nggak ada yang mau anaknya jadi pengrajin perak. Dengan jawaban yang seperti itu, anggap aja saat ini aku lagi bekerja dengan generasi terakhirnya pengrajin perak (Celuk).

Nah, ketika [mulai] bekerja sama dengan pengrajin, aku jadi bertanya-tanya, jadi pengrajin perak itu pekerjaan yang butuh skill banget tapi penghasilan yang didapatkan nggak seimbang. Usut punya usut, ini karena mereka nggak enakan untuk pasang harga. Mereka juga nggak menghitung waktu pembuatan.

Nah ternyata, pembuatan perhiasan perak ini memakan waktu banyak. Akhirnya nggak seimbang antara harga jual dengan biaya produksi dan durasi pembuatannya. Makanya, mereka nggak mau kalau anak-anaknya jadi pengrajin [perak].

Dari sini, sebenarnya Titian berusaha ngajarin mereka buat menghargai apa yang mereka kerjakan dengan pembagian komisi seimbang; jangan sampai kitanya untung tapi merekanya rugi; biar kita tetep jalan, mereka juga jalan.

Ketika awal produksi masih sedikit, aku masih bisa nungguin [pengrajin] pas produksi, aku ajak ngobrol mereka. Waktu tanya tentang penentuan harga, awalnya sempet kaget “hah bener harganya cuma segini?”, terus pelan-pelan kita kasih tahu supaya mereka bisa menghitung estimasi waktu dan tenaga yang dikeluarkan berapa.

Titian Jewelry, Perak Celuk, Bali

Perhiasan Titian Jewelry/Michellie.

Desain-desain Titian Jewelry cantik banget. Nah, apa sih yang menginspirasi dalam pembuatan desain ini?

Aku terinspirasi dari alam, makanya hampir semua desainnya bunga-bunga. Ini efek pas [tinggal] di Bali, orang-orang di sini sangat menjaga dan menghargai alam. Mereka selalu menanam bunga jepun di rumah mereka, bahkan aku ada koleksi jepun juga lho.

Di Celuk, ada motif tradisional sendiri nggak? Kalau nggak ada, apakah Titian Jewerly kepikiran untuk bikin?

Kalau motif Bali tentunya ada, berdasarkan agama yang dianut. Nah, kalau khusus Celuk sendiri nggak ada pakemnya.

Kalau pakem perhiasan Bali sendiri ada yang namanya “jawan”, semacam biji-biji bola kecil silver. Di Titian juga ada, kita sematkan di koleksi Jepun. Terus, kalau untuk motif, kita ada koleksi Patra yang terinspirasi dari dinding-dinding [bangunan] di Bali.

Terus, pernah kolaborasi dengan pihak lain, Kak?

Ada kolaborasi dengan Ikat by Mari, terus bikin video bareng Sejak Mula Studio” sama Kata Puan. Titian terbuka banget buat kolaborasi [dengan siapa pun].

Bagaimana harapan kedepannya Kak Michellie untuk Titian Jewelry dan industri perak Celuk?

Harapannya Titian bisa membuat [perak] Celuk bersaing di pasar dengan pengadaan alat yang lebih modern, lalu kita juga lagi mikirin gimana agar ada generasi [pengrajin] selanjutnya—jangan sampai punah, meningkatkan value para pengrajin dengan harapan ada banyak pengrajin yang bikin untuk brand-brand lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sudah Tahu Soal Industri Perak di Celuk, Bali? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sudah-tahu-soal-industri-perak-di-celuk-bali/feed/ 0 26133
Menyambut Tahun Baru 2021 #dirumahaja? Nggak Masalah! https://telusuri.id/tahun-baru-di-rumah-aja/ https://telusuri.id/tahun-baru-di-rumah-aja/#respond Thu, 31 Dec 2020 05:31:23 +0000 https://telusuri.id/?p=26130 Tinggal menghitung hari untuk kita meninggalkan tahun 2020, dan menyambut tahun 2021 yang pastinya penuh dengan harapan dan perubahan di setiap rencana hidup kita. Tapi, ada  yang beda nih tahun baru 2021 sama tahun-tahun sebelumnya....

The post Menyambut Tahun Baru 2021 #dirumahaja? Nggak Masalah! appeared first on TelusuRI.

]]>
Tinggal menghitung hari untuk kita meninggalkan tahun 2020, dan menyambut tahun 2021 yang pastinya penuh dengan harapan dan perubahan di setiap rencana hidup kita. Tapi, ada  yang beda nih tahun baru 2021 sama tahun-tahun sebelumnya.

Sebelum pandemi COVID-19, tahun baru identik dengan kemeriahan, pesta kembang api, tiupan terompet, gemerlapnya tengah malam dan keramaian. Namun, di akhir tahun ini, kita semua—mau tidak mau, suka tidak suka—harus merayakan pergantian tahun dengan tetap berada #dirumahsaja, dengan kegiatan yang tidak menimbulkan keramaian demi menekan jumlah kasus COVID-19.

Tapi, jangan sedih dulu, meskipun kegiatan di luar rumah dilarang, kamu tetep bisa kok merayakan tahun baru nanti tapi tetap di rumah aja. Yah, walau istilah “gada loe ga rame”, tapi adanya keluarga pasti tetep rame dan seru kok.

Nih, TelusuRI kasih beberapa rekomendasi buat kamu supaya tahun baruan #dirumahaja–nya nanti tetep rame dan seru!

1. Barbeque bareng keluarga

tahun baru 2021 di rumah aja

Foto: Unsplash/Stephanie McCabe

Kegiatan yang satu ini sudah semacam tradisi untuk sebagian orang dalam merayakan pergantian tahun, baik bersama sahabat maupun sanak saudara. Nah, buat tahun ini kalian bisa bebakaran di rumah aja, cukup dengan keluarga inti sambil ngobrolin hal-hal sederhana yang mungkin jarang kalian lakukan karena kesibukan masing-masing anggota keluarga.

Tapi inget ya, tetep nggak boleh ramai-ramai karena nanti bisa kena semprit dari perangkat RT. Tetap jaga jarak, tetap sering-sering cuci tangan karena COVID-19 nggak mengenal hubungan keluarga. 

Nah, biar tambah seru, kalian bisa bebakaran sambil diselingi permainan yang seru, atau bisa juga sambil nonton film, dan bercengkrama satu sama lain sambil melihat bintang. Selain membuat malam tahun baru jadi seru, hal ini juga bisa menambah kedekatan kamu sama keluarga loh.

2. Nonton film

tahun baru 2021 di rumah aja

Foto: Unsplash/Joseph Pearson

Libur panjang, tahun baru tapi gak kemana-mana? Tenang. Buat kamu yang hobi nonton, kamu bisa menghabiskan waktu dengan nonton Netflix series, VIU, YouTube, atau aplikasi pemutar film lainnya sambil menunggu pergantian tahun.

“Bosen ah nonton sendiri..”

Nah, biar gak bosen nontonnya jangan sendiri dong, ajak juga keluargamu (nobar) biar agak ramean!

Untuk list film yang ditonton tergantung dari genre apa yang kamu suka, atau film apa yang ingin ditonton. Tapi, kamu juga bisa nonton film rekomendasi dari TelusuRI tentang serial perjalanan: Ugly Delicious, Travel Man with Richard Ayoade,  Jack Whitehall: Travels with My Father, dan Restaurants on the Edge.

Atau buat kamu pecinta traveling, kamu juga bisa mengakhiri tahun 2020 dengan menonton film yang berbau wisata Indonesia, seperti: Aruna dan Lidahnya, Denias, Kulari ke Pantai, Negeri Dongeng, Pendekar Tongkat Emas, Trinity the Nekad Traveler, Semesta, dan 3 Hari untuk Selamanya”

3. Beberes rumah

tahun baru 2021 di rumah aja

Foto: Unsplash/Daniil Silantev

Tahun baru, harapan baru, suasana baru, pemandangan baru, cocok nih kalau kamu mulai menata ulang posisi-posisi barang yang ada di rumah bahkan di kamar kamu.

Kalau males beresin rumah karena lingkupnya lebih besar, beresin aja kamar kamu. Ubah penataan dari barang-barang yang ada di kamar dari yang besar sampai yang kecil. Barang-barang yang tidak terlalu sering digunakan bisa disimpan, dan yang nggak pernah digunakan bisa kamu berikan ke orang lain.

Kamu bisa mencari referensi penataan kamar yang estetik di Pinterest supaya kamarmu terlihat lebih luas, bersih, dan tentunya lebih cantik dengan sentuhan-sentuhan baru.

4. Membaca Buku

tahun baru 2021 di rumah aja

Foto: Unsplash/Kari Shea

Nah, kalo yang satu ini pasti udah jadi andalan kamu-kamu yang gemar membaca. Membaca buku itu nggak harus buku pelajaran atau buku dengan bahasan yang berat loh. 

Membaca buku juga bisa kamu andalkan sebagai kegiatan dikala menyambut tahun 2021 nanti. Buku apa sih yang dibaca? Apa ajanya sih tergantung buku seperti apa yang jadi kesukaanmu entah dari genrenya, ceritanya, bahkan penulisnya.

Nah, TelusuRI juga ada beberapa referensi buku perjalanan yang bisa kamu jadikan teman dalam menyambut tahun baru nanti, seperti:

  • “Jalan Raya Pos, Jalan Daedels (Pramoedya Ananta Toer)
  • Balada si Roy (Gola Gong)
  • Traveler’s Tale, Belok Kanan:Barcelona (Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidayat, Ninit Yunita)
  • Supernova 2: Akar (Dee Lestari)
  • Edensor (Andrea Hirati), dan masih banyak lainnya.

Dari beberapa referensi di atas, mana nih yang belum pernah kamu baca?

5. Liburan dari rumah

tahun baru 2021 di rumah aja

Foto: Unsplash/Jessica Lewis

Ada banyak cara untuk traveling, termasuk ketika kamu lagi di rumah aja. Nah, pas malam tahun baru nanti, kamu bisa nih bikin liburan ala-ala dirumah aja seperti camping di halaman rumah bareng keluarga. 

Kamu bisa juga traveling lewat Google Earth atau Google Street View, nonton tur seni dan budaya lewat Google Arts & Culture, bahkan sampai nonton kanal-kanal perjalanan di YouTube. Nggak ada habisnya deh kalau soal ide liburan dari rumah. Banyak pilihan seru, dan menyenangkan tentunya!

Nah, itu tadi ada 5 ide kegiatan tahun baru di rumah aja dari TelusuRI. Selamat menyambut tahun baru, dan selamat liburan dari rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyambut Tahun Baru 2021 #dirumahaja? Nggak Masalah! appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tahun-baru-di-rumah-aja/feed/ 0 26130
Suatu Malam di Angkringan Kopi Joss Pak Agus https://telusuri.id/suatu-malam-di-angkringan-kopi-joss-pak-agus/ https://telusuri.id/suatu-malam-di-angkringan-kopi-joss-pak-agus/#respond Tue, 13 Oct 2020 05:38:16 +0000 https://telusuri.id/?p=24473 Saat itu November 2019, kira-kira jam delapan malam. Selesai kuliah malam, aku ke Margo Utomo. Jalan yang dulu bernama Jalan Pangeran Mangkubumi itu masih belum terlalu padat. Angkringan kopi joss banyak sekali di kedua sisi...

The post Suatu Malam di Angkringan Kopi Joss Pak Agus appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat itu November 2019, kira-kira jam delapan malam. Selesai kuliah malam, aku ke Margo Utomo. Jalan yang dulu bernama Jalan Pangeran Mangkubumi itu masih belum terlalu padat.

Angkringan kopi joss banyak sekali di kedua sisi jalan itu. Di kiri sebelum lampu merah, aku melihat sebuah angkringan yang cukup menarik. Tempat itu ramai. Semua pegawai di lapak itu memakai baju batik, tak seperti lapak-lapak lain yang pegawainya sekadar menggunakan kaus atau seragam kerja biasa.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menyalakan lampu sein kendaraanku dan menepi. Baru saja menepi, belum menunjukkan tanda-tanda kalau aku mau beli, salah seorang pegawai angkringan kopi joss itu langsung berlari dan mengarahkanku ke tempat parkirnya.

Begitu tiba di tenda utama, aku langsung disodorkan menu. “Silakan, Mbake. Mau pesan apa?” ujar salah seorang pegawai yang kemudian saya bernama Payo.

Di sekitar lapak cukup luas namun sederhana itu, yang beratapkan terpal dan beralaskan tikar panjang, tersedia meja rendah panjang sebagai tempat menaruh minuman atau makanan. Ada pula tenda berukuran kecil dengan meja penuh gorengan dan lauk yang bisa diambil pengunjung. Itu tempat kasir. Ada bangku juga di sana. Di situlah aku duduk.

Beberapa pelanggan sedang memilih camilan di Angkringan Kopi Joss Pak Agus/Herry Fransiska Yosephine

Beberapa baliho besar bertuliskan “Angkringan Kopi Joss Pak Agus” terpampang jelas di dinding sepanjang lapak. Di sana aku tak cuma nongkrong tapi juga berkesempatan bercengkerama dengan pegawai-pegawai yang sangat ramah. Sesekali terdengar suara kereta api melintas. Selepas kereta lewat, aku bisa melihat pengunjung Malioboro lalu-lalang.

Semakin malam suasana pun semakin ramai. Tanpa sadar angkringan sudah penuh pengunjung sampai-sampai tidak ada tempat yang tersisa. Meski penuh, para pegawai tetap menawarkan dagangannya dengan sigap. Kebanyakan dari pengunjung yang kulihat adalah anak muda dan wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta; kopi joss ini memang salah satu minuman khas Jogja yang patut dicoba saat mampir ke Kota Istimewa.

Mulanya, aku mau coba kopi joss. Tapi entah kenapa yang kupesan malah teh hangat. Ketika asyik berbincang, mataku terhenti di sebuah meja kecil tempat menyajikan minuman. Kulihat sebongkah arang kecil yang masih panas dimasukkan ke dalam gelas pelanggan. “Pak, itu arangnya emang dimasukin ke gelas gitu, Pak?” tanyaku terheran.

Sebongkah arang sedang dimasukkan ke segelas kopi joss/Herry Fransiska Yosephine

Lha, iya, Mbak. Namane kopi joss, ya, kopi pake arang ini, Mbak,” jelas Pak Payo yang ternyata adalah “barista” kopi joss di angkringan milik Pak Agus itu.

Kopi joss ini sudah ada sejak dulu, dengan nama yang sama, tapi belum menjadi minuman komoditas wisata. “Dari dulu kopi pake arang namanya kopi joss, Mbak. Dulu ki dinggo jamu sakit perut. Dulu ‘kan arang itu dibuat obat diare tho, Mbak,” jelas Pak Payo.

Tidak semua pegawai memiliki keahlian menyeduh kopi joss atau kopi susu joss. Maka hanya satu atau dua orang saja—yang keahliannya sudah terbukti—yang dipercaya jadi barista sajian-sajian utama itu. Ini barangkali adalah cara setiap angkringan kopi joss untuk memelihara keunikan rasa masing-masing.

Menu utama yang menjadi andalan angkringan Pak Agus adalah kopi joss dan kopi susu joss. Selain panas, tersedia pula minuman dingin seperti kopi es. Dari cerita Pak Gepeng, pegawai yang lain, kopi es ternyata juga menggunakan arang, namun yang berukuran lebih kecil ketimbang arang untuk kopi panas.

Dari Pak Gepeng juga aku tahu bahwa angkringan Pak Agus sudah eksis sejak sekitar delapan sampai sepuluh tahun lalu. Awal dibuka, tentu usaha makanan ini harus melewati jalan bergelombang. Namun, seiring berjalannya waktu, karena berada di lokasi yang strategis, angkringan ini mampu bersaing dengan angkringan kopi joss lainnya, sampai-sampai sekarang angkringan milik Pak Agus ini tak pernah tutup alias buka terus selama 24 jam. (Bahkan, sekarang Pak Agus sudah membuka cabang di utara Pasar Beringharjo.)

Pak Payo, salah seorang “barista” Angkringan Kopi Joss Pak Agus/Herry Fransiska Yosephine

“Apa tidak capek, ya, buka 24 jam, Pak?” tanyaku pada Pak Gepeng.

Endak, Mbak,” jawabnya. “’Kan ada pergantian jam gitu. Pegawainya, ya, nggak sama, Mbak.”

Mengobrol membuatku lupa mengontrol tangan dan mulutku. Tanpa sadar aku sudah mencomot banyak makanan. Tapi, dagangan di lapak kopi joss ini memang terlalu beragam untuk disia-siakan. Di menu ada 40 jenis makanan dan 43 minuman yang cocok baik untuk penggemar kopi ataupun bagi mereka yang tidak suka kopi. Harga juga sangat murah. Makanan hanya antara Rp2 ribu sampai Rp8 ribu, sementara minuman antara Rp3 ribu sampai Rp6 ribu saja. Makanan yang dijual bukan buatan sendiri, melainkan didapat dari pemasok yang datang ke lapak.

Aku manggut-manggut mencerna informasi yang kudapat malam itu. Aku tak menyangka bahwa malam itu aku tak cuma nongkrong biasa, tapi juga menyelami salah satu cerita yang membuat Yogyakarta istimewa.

The post Suatu Malam di Angkringan Kopi Joss Pak Agus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suatu-malam-di-angkringan-kopi-joss-pak-agus/feed/ 0 24473
Puncak Argowiloso dan Cerita Pendakian Pertamaku https://telusuri.id/puncak-argowiloso-dan-cerita-pendakian-pertamaku/ https://telusuri.id/puncak-argowiloso-dan-cerita-pendakian-pertamaku/#respond Thu, 08 Oct 2020 03:38:50 +0000 https://telusuri.id/?p=24337 Suasana dingin dan jurang di kanan-kiri tersimpan dalam memori pengalaman pertamaku naik gunung, di Argowiloso. Pengalaman itu kurasakan sudah sekitar lima tahun lalu saat aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas, persisnya tahun...

The post Puncak Argowiloso dan Cerita Pendakian Pertamaku appeared first on TelusuRI.

]]>
Suasana dingin dan jurang di kanan-kiri tersimpan dalam memori pengalaman pertamaku naik gunung, di Argowiloso. Pengalaman itu kurasakan sudah sekitar lima tahun lalu saat aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas, persisnya tahun 2015.

Bertempat tinggal di dataran tinggi, bukan berarti aku sering melakukan pendakian. Puncak Argowiloso di Kabupaten Kudus itu adalah gunung yang pertama kudaki—dan satu-satunya yang kudaki sampai detik ini. Genderlah satu-satunya yang menjadi alasan kuat aku tak diizinkan kedua orangtuaku untuk traveling sesuka hati, apalagi untuk melakukan pendakian. Dan itu masih kurasakan sampai aku menulis pengalaman ini.


Pagi itu, masih pukul 06.30 WIB, aku berdandan rapi dengan seragam putih abu-abu namun tanpa dasi dan sabuk. Tak seperti hari-hari biasanya, hari itu tasku tak kujejali dengan buku pelajaran, melainkan baju kaus lengan panjang. Alas kakiku juga bukan sepatu sekolah, hanya sepatu-sandal gunung.

“Ma, berangkat, ya,” aku pun pamit untuk berangkat sekolah.

Namun, alih-alih sampai di sekolah, aku berhenti di rumah teman. Waktu itu, Selasa, 16 Juni 2015, sekolah sedang mengadakan classmeeting untuk menyambut libur kenaikan kelas. Aku dan teman-teman sudah bikin rencana lain, yaitu jalan-jalan. Benar, aku hendak jalan-jalan tapi pamitnya akan ke sekolah—aku tahu jika aku minta izin untuk jalan-jalan pasti takkan diperbolehkan. Ini, ya, jangan ditiru.

Matahari pun mulai naik sedikit demi sedikit. Jam delapan kami pun berangkat mengendarai roda dua. Berbohong seperti itu membuat perjalananku terasa sedikit tidak nyaman. Bagaimana tidak, untuk menuju ke lokasi pendakian kami harus melewati depan rumahku dulu. Aku khawatir jika ada saudara atau orang yang kukenal melihatku saat itu. Ada yang melihat, habislah riwayatku.

Dari rumah temanku menuju lokasi, kami harus menempuh perjalanan kira-kira 20 kilometer. Karena rutenya lewat depan rumah, tentu aku hafal jalan sampai ke lokasi. Meskipun begitu, aku tak bosan-bosan juga dengan pemandangan sepanjang perjalanan. Naik, turun, tikungan tajam, sawah, sungai—indah sekali. Segar rasanya udara di sana. Posisi matahari sudah di atas, tapi panasnya seolah tak dapat menyentuh kulitku.

Sesampai di daerah Colo, kami memarkiran kendaraan dan meniti jalan setapak menuju air terjun. Jadi, untuk menuju jalur pendakian ini ada dua cara: pertama jalan kaki melewati air terjun, kedua mengendarai motor langsung menuju Air Tiga Rasa.

Istirahat sebelum Air Tiga Rasa/Herry Fransiska Yosephine

Namanya jalan-jalan, bukan motor-motoran, aku dan dua belas temanku tentu memilih cara pertama. Untuk ke air terjun kami harus melewati jalan setapak bebatuan yang dibentuk layaknya tangga. Di sepanjang itu juga berderet kios penjual makanan ringan dan air minum. Setiba di air terjun, kami langsung saja menyeberang, tidak mampir. Jika mampir dulu, bisa-bisa hari sudah keburu sore.

Di atas air terjun terdapat jalan bercor yang bisa dilewati kendaraan bermotor. Tapi hanya motor berkopling saja yang bisa naik, sebab medannya terjal. Di ujung tanjakan itu ada semacam pasar kecil yang diramaikan oleh banyak warung makanan. Naik sedikit, kami tiba di Air Tiga Rasa dan beristirahat di sana.

Di sana terdapat tiga sumber mata air yang dingin dengan rasa berbeda-beda. Ada yang masam, ada yang bersoda, ada pula yang seperti air putih biasa. Namun, air itu cuma akan memiliki rasa jika diminum saat masih dingin. Dibawa turun, ketika sudah tak dingin, air itu hanya akan seperti air dingin dengan rasa sedikit aneh—setidaknya begitu yang kualami. Konon, mencuci muka di Air Tiga Rasa bikin awet muda.

Dekat Air Tiga Rasa ada tulisan “Puncak Argowiloso.” Itu bukan jalur resmi, tapi kami memutuskan untuk melewatinya. Sepanjang trek, banyak makam lawas entah pusara siapa. Satu-dua ada yang ziarah ke sana entah demi tujuan apa.

Menuju Puncak Argowiloso, medan yang kuhadapi tentu saja lebih sering mendaki. Akar-akar besar melintang-membujur. Tanah gembur juga menjadi tantangan tersendiri. Salah mengimbil pijakan, bisa jatuh ke jurang yang menganga di kanan-kiri. Kami juga mesti memanjat tangga yang terbuat dari susunan kayu bertalikan rafia. Pengalaman yang memacu adrenalin itu akan selalu kukenang.

Kami juga tak henti-henti berhitung untuk memastikan bahwa anggota kami tak kurang. Sekali waktu, anggota ketiga-belas agak lama menyahut.

Loh? Kurang siji?!” salah seorang di antara kami berteriak, entah memang karena panik atau cuma mau bikin suasana jadi meriah.

Telulas!” anggota ketiga-belas pun menyahut. Kami lega.

Woo! Wes pas!”

Hitung-hitungan itu kami selingi dengan celotehan dan candaan agar suasana tetap gembira.

Lucunya, meskipun merasa sudah melakukan persiapan yang lumayan, kami tak membawa camilan sedikit pun. Air juga hanya kami bawa secukupnya.

Berfoto bersama di trek menuju Puncak Argowiloso/Herry Fransiska Yosephine

Sudah agak di atas, kami berhenti, istirahat, dan berfoto ria di ranting pohon yang kokoh. Sementara kami yang cewek berpose sambil memamerkan secarik kertas berisi tulisan—yang waktu itu sedang tren—para cowok melanjutkan perjalanan ke atas, sampai puncak. Begitu turun, mereka bercerita bahwa puncak berada sekitar dua kilometer dari tempat kami foto-foto, melewati tanah basah yang longsor di sana-sini. Untung saja kami yang cewek-cewek tidak ikut naik.

Kami turun usai foto-foto dan istirahat. Aku lupa jam berapa, yang jelas belum terlalu sore. Perjalanan turun itu bagiku seberat menahan beban hidup. Kakiku gemetar menyangga tubuhku. Aku turun pelan-pelan, menginjak akar pohon secara pasti sembari memegang akar yang lain.

Pemandangan dari jalur pendakian menuju Puncak Argowiloso/Herry Fransiska Yosephine

Cobaan sesungguhnya dalam pendakian gunung ternyata adalah perjalanan turun, bukannya perjalanan naik memanjat-manjat itu. Jika tak ikut naik Puncak Argowiloso, mungkin aku tak pernah tahu tentang cobaan terberat itu.

Seperti itulah cerita naik gunung atau “muncak” pertamaku. Perjalanan yang tak sampai sehari itu, yang tak pula sampai membuat kami menginap, masih teringat sampai sekarang.

Omong-omong, seingatku, sampai sekarang aku belum pernah cerita tentang perjalananku itu kepada kedua orangtuaku. Dan—sttt—ini cukup jadi rahasia kita saja, ya.

The post Puncak Argowiloso dan Cerita Pendakian Pertamaku appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/puncak-argowiloso-dan-cerita-pendakian-pertamaku/feed/ 0 24337
Menyimak “Tips Fotografi Perjalanan” dari Fotografer Profesional di Sekolah TelusuRI https://telusuri.id/menyimak-tips-fotografi-perjalanan-dari-fotografer-profesional-di-sekolah-telusuri/ https://telusuri.id/menyimak-tips-fotografi-perjalanan-dari-fotografer-profesional-di-sekolah-telusuri/#respond Wed, 07 Oct 2020 03:12:18 +0000 https://telusuri.id/?p=24314 Saat menggulir media sosial, aku menemukan unggahan soal Sekolah TelusuRI. Acara itu bagian dari Pekan Raya Pariwisata yang diadakan oleh KokBisa dan TelusuRI, digelar secara daring via Zoom pada Kamis, 24 September 2020. Aku menyimaknya...

The post Menyimak “Tips Fotografi Perjalanan” dari Fotografer Profesional di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat menggulir media sosial, aku menemukan unggahan soal Sekolah TelusuRI. Acara itu bagian dari Pekan Raya Pariwisata yang diadakan oleh KokBisa dan TelusuRI, digelar secara daring via Zoom pada Kamis, 24 September 2020. Aku menyimaknya lewat siaran YouTube yang bisa diakses kapan saja.

Kelas “Tips Fotografi Perjalanan” itu mendatangkan dua orang yang sudah malang melintang di dunia fotografi perjalanan, yakni Ranar Pradipto (fotografer perjalanan, pendiri Potret Indonesia Tour) dan Ricky Martin (fotografer National Geographic Indonesia). Ranar Pradipto berbicara dari sudut pandang fotografi perjalanan secara umum, sementara Ricky Martin secara spesifik menjelaskan tentang fotografi jurnalistik. Bagiku, acara yang berlangsung selama dua jam itu cukup banyak memberikan pengetahuan baru soal fotografi perjalanan.


Dewasa ini, mengekspresikan sesuatu menjadi semakin simpel, mudah, dan dapat saja dilakukan oleh semua orang. Mengekspresikan pengalaman perjalanan, contohnya. Kini kita tak perlu lagi punya kamera DSLR untuk menangkap foto-foto apik. Dengan sebuah ponsel pintar saja seseorang sudah bisa mengabadikan pengalaman perjalanan, yang kemudian bisa diunggah ke media sosial. 

Namun, bagi fotografer perjalanan profesional seperti Ranar Pradipto yang juga memotret untuk kebutuhan komersial, mengekspresikan sesuatu tidak sesimpel menjepret foto dengan ponsel lalu mengunggahnya sebagai konten media sosial. Ada banyak hal yang mesti diperhatikan, yakni aspek-aspek [teknis] fotografi dan etika menjadi seorang fotografer perjalanan. Ranar menjelaskan soal tiga hal penting yang mesti dilakukan sebelum mempraktikkan fotografi perjalanan. 

Pertama, mencari informasi secara detail tentang lokasi yang akan dikunjungi, entah informasi soal titik memotret, tentang budaya, sejarah, maupun kearifan lokal. Tujuannya adalah agar kita punya konsep tentang foto yang nantinya akan diambil. “Jangan pernah pergi tanpa informasi apa pun,” pesan Ranar.

Kedua, membawa peralatan kamera sesuai kebutuhan. Agar tidak ribet di lokasi, membawa peralatan yang sesuai adalah hal yang tepat. Lalu bagaimana cara mengetahui apa saja peralatan yang tepat untuk dibawa? Jawabannya kembali ke poin pertama: cari tahu informasi secara detail. Survey dahulu lokasinya, entah langsung atau secara digital, agar kita bisa tahu gambaran lokasi dan peralatan apa yang cocok untuk dibawa ke sana.

Soal peralatan ini, ada satu hal yang kuingat dari penjelasan Ranar. “Saat traveling jangan sayang sama shutter,” ujarnya. Persoalan jumlah hitungan rana ini memang sering dibahas oleh pehobi foto, mengingat setiap kamera punya batasan masing-masing. “Dokumentasikan sebanyak mungkin,” imbuh Ranar.

Ketiga, datanglah pada waktu terbaik dan pada cuaca yang tepat. Lokasi yang bagus secara fotografis perlu dukungan waktu dan cuaca yang tepat. Jangan sampai kita malah dapat awan mendung dan hujan padahal yang diharapkan adalah foto pemandangan ketika langit cerah.

Ranar Pradipto sedang membahas salah satu foto perjalanannya/TelusuRI

Ranar Pradipto juga memberikan wawasan soal bermacam-macam genre fotografi. Sebagai contoh genre fotografi lanskap (pemandangan dan alam), ia menampilkan foto pemandangan air terjun di tengah hutan. Selanjutnya, ia menampilkan foto-foto bergenre human interest (HI) yang ampuh untuk menceritakan aktivitas di sekitar kita. Kemudian ia juga memperlihatkan contoh foto bergenre potret (portrait) yang diharapkan dapat memotret “jiwa” seseorang, lewat kejelian sang fotografer memilih latar belakang yang polos, mencari pencahayaan yang sesuai, dan menangkap ekspresi yang tepat termasuk tatapan mata subjek. Lalu Ranar menyajikan contoh foto budaya dan konsep entire-detail-moment (EDM) yang secara integral dapat menceritakan suasana, mengambil detail, lalu menangkap momen, seperti momen ketika subjek sedang menari, berkuda, memanah, mendayung, ataupun sekadar bercengkerama. Ranar juga tak lupa bercerita tentang genre fotografi jalanan (street photography) yang pas dicoba mereka-mereka yang sedang belajar.


Saat menyimak materi dari Ricky Martin, aku jadi memahami (sedikit) perbedaan antara fotografi perjalanan dan fotografi jurnalistik. Letak perbedaannya ada di kebutuhan foto, jenis, dan cara menceritakannya. 

Fotografer jurnalistik berhubungan dengan publikasi pesan di media massa secara periodik (terbit teratur setiap rentang waktu tertentu, misalnya jam). Karena itulah, sebagaimana reporter, wartawan, pewarta video, atau pembawa berita (news anchor), sebutan jurnalis juga disematkan kepada para pewarta foto.

Tujuan seorang jurnalis adalah menceritakan kejadian atau keadaan pada khalayak, dengan menyampaikan pesan yang mudah dipahami masyarakat luas. Rumus dasar yang biasanya dipakai untuk mengumpulkan fakta dan mengemas topik yang akan disampaikan adalah 5W1H (what/apa, who/siapa, where/di mana, when/kapan, why/mengapa atau kenapa, dan how/bagaimana)

Ricky menjelaskan mengenai lima jenis foto jurnalistik yang perlu dipahami sebagai fotografer jurnalistik. Pertama, hard news atau foto tentang aktivitas yang terikat dengan waktu, contohnya foto kecelakaan, kebakaran, bencana alam, dan lain-lain. Kedua, feature. Jenis foto ini tidak terikat waktu. Isinya adalah berita-berita ringan seperti tentang sejarah, tokoh, kuliner, acara adat, dll. Kapan pun diterbitkan, foto-foto jenis ini akan tetap punya nilai baca (lihat) dan akan masih tetap aktual. Ketiga, potret. Biasanya foto jenis ini digunakan sebagai pelengkap suasana. Keempat, ilustrasi, yang berfungsi sebagai informasi pelengkap, terutama jika yang diliput adalah hal-hal yang tidak bisa ditangkap kamera atau terlalu sensitif. Lalu, kelima, ada photo story yang berupa foto-foto yang ditampilkan secara berurutan dan saling menguatkan satu dengan lainnya. Jenis ini biasanya muncul dalam esai foto, seri, dokumenter, dan diptych (dua foto yang dikombinasikan kemudian ditampilkan dalam satu bingkai).

Ricky Martin membuka sesi fotografi jurnalistik/TelusuRI

Bercerita dengan foto, jelas Ricky Martin, bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu deskriptif dan naratif.

Cara deskriptif dilakukan dengan menyusun foto yang memaparkan suatu peristiwa atau keadaan namun tidak dengan alur cerita yang lengkap namun tetap bersifat informatif.

Sementara, jika memakai cara naratif, foto-foto disusun membentuk sebuah hubungan saling terkait, memiliki alur cerita, dan membentuk sebuah makna tertentu bagi yang melihat. Lebih dalam lagi, ada tiga bentuk foto naratif: essay (esai), menjelaskan sudut pandang pemotret terhadap sebuah keadaan atau peristiwa; series (serial), memotret objek-objek yang berbeda namun menggunakan sudut pandang dan teknik foto yang sama; dyptich (diptik), menyandingkan dua buah foto yang berbeda untuk menghasilkan makna baru.

“Setiap foto, jika memiliki deskripsi atau penjelasan, akan lebih mudah untuk dipahami publik,” ujar Ricky.

Dua jam berlalu tanpa terasa saat menyimak “Tips Fotografi Perjalanan.” Menurutku, materi-materi dasar fotografi perjalanan di kelas itu sangat berguna bagi fotografer amatir dan pemula. Selain yang kutulis di atas, sebenarnya masih banyak materi menarik lain dari Ranar Pradipto dan Ricky Martin. Jika penasaran, silakan simak video yang sudah diunggah di kanal YouTube TelusuRI.

The post Menyimak “Tips Fotografi Perjalanan” dari Fotografer Profesional di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyimak-tips-fotografi-perjalanan-dari-fotografer-profesional-di-sekolah-telusuri/feed/ 0 24314
Sore di Pantai Trisik https://telusuri.id/sore-di-pantai-trisik/ https://telusuri.id/sore-di-pantai-trisik/#respond Thu, 01 Oct 2020 05:46:48 +0000 https://telusuri.id/?p=24153 Siang itu, kira-kira tengah hari, cuaca sangat panas sampai-sampai tanganku seketika berubah warna. Kutancap gas kendaraanku dari Sleman ke Kulonprogo seorang diri. Aku hendak ke pantai. “Gak suka pantai kok ikut acara yang lokasinya di...

The post Sore di Pantai Trisik appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, kira-kira tengah hari, cuaca sangat panas sampai-sampai tanganku seketika berubah warna. Kutancap gas kendaraanku dari Sleman ke Kulonprogo seorang diri. Aku hendak ke pantai.

“Gak suka pantai kok ikut acara yang lokasinya di pantai?” begitu respons temanku tadi saat kuberi tahu aku akan ke pantai.

Tinggal di dataran tinggi memang membuatku tidak begitu menyukai pantai. Alasannya, selain karena pemandangan yang bisa dilihat hanya air, suhu di kawasan pantai lebih tinggi ketimbang dataran tinggi. Jadilah selama hampir tiga tahun di Jogja aku belum pernah ke pantai, sampai siang itu.

Keputusanku untuk ke pantai pun sebenarnya didasari oleh kebutuhan. Aku perlu sertifikat kegiatan untuk memenuhi persyaratan pembelajaran di kampus. Kebetulan di Pantai Trisik, Kabupaten Kulonprogo, ada sebuah acara bernama “Resik-resik Trisik.”

Tak tahu jalan, tentu aku mengandalkan teknologi pintar yang selalu kubawa. Google Maps memanduku berkendara pelan-pelan menuju Pantai Trisik. Panas terik, ditambah macet panjang akibat perbaikan jalan di sekitar Masjid Agung Bantul, membuat perjalanan itu terasa sangat lama.

Sepanjang perjalanan aku merasa dikejar-kejar oleh awan hitam. Lalu, pada satu waktu, dari spion kulihat awan itu makin pekat dan turunlah hujan deras di belakang sana. Lega sekali rasanya ketika akhirnya aku tiba di tujuan dan disambut oleh panitia kegiatan.

Aku pun diarahkan ke tempat parkir, sebelum diajak ke lokasi acara. Di tempat itu aku berjumpa dengan teman-teman baru dari berbagai universitas di Jogja. Tanpa diduga, aku juga bertemu seorang teman sekelas.


Bersama-sama, kami menyimak sambutan dari ketua acara dan penjelasan pengurus Paguyuban Konservasi Penyu Pantai Trisik. Mendengarkan mereka, sedikit-sedikit pengetahuanku tentang penyu bertambah.

Sebelum acara utama, resik-resik atau bersih-bersih Pantai Trisik, dimulai, pantia acara membagi para pesarta menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 8-10 orang. Setiap kelompok diberi lokasi resik-resik masing-masing agar peserta tak menumpuk di satu tempat.

Kami pun beranjak ke lokasi masing-masing. Aku dan teman-teman memungut sampah-sampah yang kami temukan lalu memasukkannya ke dalam karung yang sudah disediakan panitia. Lokasi bersih-bersih kami tak bisa dibilang luas. Namun, sebentar saja kami sudah mengumpulkan hampir sepuluh karung sampah. Melihat sepuluh karung itu, aku jadi insyaf betapa kita masih berjuang untuk mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan.

Jenis sampah yang kami pungut pun beragam, meskipun didominasi oleh sampah plastik seperti sedotan, sendok, bungkusan (permen, makanan, dll.), gabus sintetis (styrofoam), dan puntung rokok. “Bisa tidak para perokok itu menyimpan sampah mereka sendiri atau menghisap tanpa sisa?” batinku.

Matahari terbenam di Pantai Trisik, Kulonprogo/Herry Fransiska Yosephine

Senang sekali melihat pantai yang bersih. Rasanya, tanpa sampah-sampah itu, lebih nyaman untuk melihat laut yang tak tampak ujungnya itu. Usai bersih-bersih, kami foto bersama. Semula kukira itu adalah akhir acara. Ternyata tidak.

Tepat jam 5.30 sore, kami semua diajak panitia berjalan menyusuri pantai menuju tempat penangkaran penyu. Di sana aku melihat empat penyu besar dan banyak sekali tukik. Itu adalah pengalaman pertamaku melihat dan menyentuh penyu. Sebelum melepasliarkan salah satu tukik, meskipun tak tahu jenis kelaminnya apa, aku memberi anak penyu itu nama.

“Hei! Tukik ini namanya Nono, ya. Panggil dia Nono, oke?” teriakku pada teman-teman sekelompokku.

“Halo, Nono. Salam kenal dan sampai jumpa, ya,” ujar salah seorang temanku sembari mengelus cangkang Nono.

“Nanti taruh tukiknya bersama-sama di depan garis, ya, teman-teman. Dan hadapkan ke depan (laut),” kata pengurus paguyuban kepada kami.

Kami pun diminta untuk berdiri di belakang garis lurus yang sudah dibuat. Mengikuti panduan, kami melepaskan tukik secara bersamaan di bawah langit senja. Berat hatiku menaruh Nono di atas pasir dan melepaskannya. Perlahan, tukik itu merangkak menghampiri batas pasir dan air. Namun, ketika ombak datang, Nono disapu kembali ke arah daratan. Kami dilarang membantu supaya tukik belajar menggunakan instingnya menuju habitat aslinya. Ketika ombak datang dan surut untuk kedua kalinya, Nono sudah tak terlihat lagi.

Sampai jumpa, Nono.

The post Sore di Pantai Trisik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sore-di-pantai-trisik/feed/ 0 24153
Berbincang dengan Dalang Muda Jogja https://telusuri.id/berbincang-dengan-dalang-muda-jogja/ https://telusuri.id/berbincang-dengan-dalang-muda-jogja/#respond Sun, 27 Sep 2020 02:00:53 +0000 https://telusuri.id/?p=24049 Langit November 2019 itu mulai gelap tertutup awan mendung. Sebuah rumah sederhana berwarna putih di Gang Warsokusumo, Mergangsan, Sleman, tampak sepi dari luar. Dari dalam, seorang laki-laki muncul. “Monggo, Mbak. Masuk aja. Maaf seadanya, ya,”...

The post Berbincang dengan Dalang Muda Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit November 2019 itu mulai gelap tertutup awan mendung. Sebuah rumah sederhana berwarna putih di Gang Warsokusumo, Mergangsan, Sleman, tampak sepi dari luar. Dari dalam, seorang laki-laki muncul.

Monggo, Mbak. Masuk aja. Maaf seadanya, ya,” ucapnya menyambut kedatanganku.

Ia adalah Gregorius Pradana Ardyamukti. Laki-laki yang akrab disapa Ardy itu salah satu dalang remaja di Yogyakarta. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang menunjukkan identitasnya sebagai seorang seniman. Melihat perawakannya, aku tak percaya bahwa ia masih duduk di bangku kelas XII Bahasa dan Budaya SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Ia mempersilakanku duduk di rumah yang menjadi saksi perjalanannya menjadi seorang dalang sejak usia tujuh tahun sampai sekarang.

“Pertama suka wayang itu kelas 1 (SD), Mbak,” Ardy mulai bercerita. “Awalnya aku dikenalin sama mbahku. Didongengin di jalan. Pas itu (yang) diceritakan tentang Goro-goro. Setelah itu (aku) malah jadi tertarik sama wayang.”

Ardy pertama kali diajar mendalang oleh Ki Wasdi, salah seorang pegawai Taman Budaya Yogyakarta. Sayangnya, keterbatasan waktu sang pengajar membuat Ardy tak lagi belajar mendalang sampai kelas 3 SD. Namun, hambatan itu tak menggerus kecintaannya terhadap wayang dan mendalang.

Sang ayah ternyata mendukung Ardy. Di acara Parade Dalang CIlik yang diadakan di Taman Siswa Yogyakarta, ayahnya mencoba mencari informasi soal pengajar dalang. Usaha sang ayah berbuah. Ia menemukan sebuah sanggar di Kasihan, Bantul, yakni Sanggar Ayodya yang diasuh oleh Ki Juwaraya Alib Biyono. Ardy pun kembali belajar mendalang hingga kelas 1 SMA.

“Ya, emang karena tugas makin banyak. Terus sekarang juga udah mau ujian to, Mbak,” ujarnya. “Tapi nanti abis ujian pengen gabung lagi, sih. Buat refreshing juga. Pengen juga bantuin ngajar di sana.”

Kegiatan mendalang sempat membuatnya ketinggalan pelajaran. Alasannya, sulit untuk membagi waktu. Pengalaman itu dijadikan pelajaran oleh Ardy agar dirinya bisa lebih baik dalam mengatur waktu sehingga tak ada yang terbengkalai.

Ardy kemudian bercerita soal belajar menjadi dalang. Ia [belajar] mendalang seminggu sekali dan setiap pekan ia mempelajari hal-hal yang berbeda. Mula-mula belajar, ia berlatih teknik memegang wayang. Kemudian ia belajar teknik menggerakkan wayang agar terlihat nyata. Lalu, setelah lihai menggenggam dan menggerakkan, ia baru belajar dialog yang ringan-ringan dan nembang. Semakin lanjut tahapannya, pelajaran yang diterima semakin berat.

Untuk menghafal dan memahami cerita wayang, ia membaca buku-buku pewayangan.

Seorang dalang, kata Ardy, akan menampilkan cerita wayang yang selayaknya atau sepantasnya dia tampilkan. Cerita yang diangkat juga harus disesuaikan dengan umur sang dalang. Ardy sendiri sering membawakan Kongso Adu Jago, yang menceritakan tentang adu jago antara manusia dan raksasa, dan Sengkuni, yang menceritakan tentang peperangan memperebutkan takhta di Kerajaan Hastinapura dalam epos Mahabarata.

Bersekolah di lingkup luar seni (Kolese De Britto), Ardy sedikit-banyak mengetahui alasan kenapa anak muda zaman sekarang tidak menyukai budaya, misalnya wayang. Ia perlu tampil beda dan tak membosankan. Karena itulah Ardy biasanya tampil mendalang menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Kisah yang diceritakan pun tak bisa yang terlalu berat. 

Tiga bulan sejak bergabung dengan Sanggar Ayodya, Ardy menyabet juara kedua di ajang Gelar Seni Pelajar se-Kotamadya (Yogyakarta) tahun 2011. Dalam Lomba Dalang Tingkat Nasional yang digelar Universitas Negeri Yogyakarta, Ardy pernah meraih juara ketiga Dalang Anak Tingkat Nasional tahun 2014 (ketika SD) dan juara kedua Dalang Remaja Tingkat Nasional tahun 2015 (ketika SMP). Ia juga pernah meraih juara pertama festival dalang tingkat provinsi dan berkesempatan maju ke tingkat nasional pada perlombaan yang diselenggarakan di Museum BI, Kota Tua Jakarta. Selain lomba, Ardy juga sering menjadi pengisi acara, seperti di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), perayaan ulang tahun SMA De Britto, Pasar Kangen, Balai Budaya Minomartani Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Yogyakarta, dan lain-lain.

Ardy membawakan Gandamana Luweng di Pasar Kangen 2018/Istimewa

Saat tampil, entah lomba atau gelaran lain, ardi menggunakan baju kejawen, keprak, dan cempolo miliknya sendiri. Namun, untuk wayang, ia lebih sering meminjamnya dari teman-teman atau sanggar. Alasannya, koleksi wayangnya belum terlalu banyak. Ia baru punya 18 wayang yang terbuat dari kulit kerbau.

Selain memainkan wayang, ia juga menyukai kegiatan seni lainnya seperti macapat, karawitan, dan tari. Ia juga pernah mengikuti lomba macapat dan karawitan tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta dan nasional.

“Kalo belajar ndalang itu otomatis belajar semua dan sepaket, Mbak. Soale di dalang ‘kan belajar akting, belajar nembang, belajar menyesuaikan ketukan gendhing, belajar nari biar bisa mengimajinasikan gerakan nari di wayang. Jadi sepaket, Mbak,” jawab Ardy sambil menggerak-gerakkan wayang yang ia pegang.

Aku melirik jendela dan melihat hari mulai malam. Sebelum pamit, aku ingin mengajukan pertanyaan pamungkas: apa yang ia rasakan selama menjadi dalang? Dengan riang, Ardy menjawab bahwa selama menjadi dalang ia jadi mempunyai banyak pengalaman, kenalan, dan teman. 

“Seperti(nya), di mana pun aku berada, pasti selalu ada yang nyapa, Mbak,” tutup Ardy.

The post Berbincang dengan Dalang Muda Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berbincang-dengan-dalang-muda-jogja/feed/ 0 24049
Akhir Perjalanan Tiga Tahun di Kota Istimewa https://telusuri.id/akhir-perjalanan-tiga-tahun-di-kota-istimewa/ https://telusuri.id/akhir-perjalanan-tiga-tahun-di-kota-istimewa/#respond Fri, 18 Sep 2020 17:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=23922 “Kok kampus kita belum ada edaran, ya?” tanyaku pada teman-teman, suatu sore di bulan Maret 2020, saat menunggu jam tutup laboratorium komputer di fakultasku. Selain itu, aku juga memikirkan masa depan Kuliah Kerja Nyata (KKN)...

The post Akhir Perjalanan Tiga Tahun di Kota Istimewa appeared first on TelusuRI.

]]>
“Kok kampus kita belum ada edaran, ya?” tanyaku pada teman-teman, suatu sore di bulan Maret 2020, saat menunggu jam tutup laboratorium komputer di fakultasku. Selain itu, aku juga memikirkan masa depan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang semestinya sebentar lagi kulaksanakan.

Awal Maret itu, surat edaran dari universitas-universitas di Indonesia soal pemberlakuan kuliah daring sudah mulai disebarkan. Tapi kampus kami belum mengeluarkan edaran serupa. Tentu itu membuatku bertanya-tanya.

Akhirnya malam Minggu berikutnya surat resmi dari kampusku disebarkan ke seluruh mahasiswa. Kampus memutuskan untuk melaksanakan kuliah daring mulai Senin, 16 Maret 2020. Juga, tidak akan ada penerjunan KKN, hanya KKN daring. Kebijakan terakhir itu tentu membuat aku dan teman-teman kecewa. Pupus sudah harapan untuk merasakan dinamika tinggal di lokasi KKN yang katanya menyenangkan itu.

Meski sudah ada kebijakan bahwa KKN akan didaringkan, aku dan teman-teman satu unit kukuh hendak melakukan survey lapangan sekalian pamit pada induk semang-induk semang kami (para pemilik rumah yang rencananya akan menjadi pondokan kami).

Rasa takut dan rasa ingin tahu bercampur dalam diriku ketika berangkat ke lokasi KKN kami di Kabupaten Gunungkidul. (Tentu kami berusaha menjalankan protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya.) Tapi pemandangan indah sepanjang jalan yang kulewati bisa membuatku sejenak melepaskan diri dari rasa waswas. Setiba di lokasi, salah seorang induk semang kelompok unitku bercerita bahwa di wilayah KKN kami sudah ada satu orang yang positif COVID-19.

Pengalaman survey semasa pandemi itu takkan kulupakan. Walau tidak jadi turun ke lapangan, setidaknya aku sudah pernah menginjakkan kaki di rumah yang seharusnya kutinggali selama KKN dan merasakan keakraban bersama teman-teman.


Meski kuliah sudah daring, aku tetap ke kampus untuk melaksanakan tugasku sebagai asisten laboratorium komputer. Saat itu mulai sering diadakan pelatihan untuk dosen. Tapi, kampus yang biasanya selalu ramai, penuh mahasiswa dan civitas akademika, kini sepi kehilangan penghuni. Sudut-sudut yang biasanya selalu semarak sekarang kosong. Angin berembus kesepian, sebab tak bisa menyejukkan sesiapa. Hari demi hari berganti sampai akhirnya aku tidak diperbolehkan lagi masuk ke kampus. Semenjak dilarang masuk kerja, aku sangat sering berkoordinasi dan bertanya soal nasibku pada atasanku.

Sebagai anak rantau yang hidup sendiri, aku khawatir juga mendengar kabar yang beredar soal corona yang sudah ada di mana-mana. Satu per satu kamar kos di lingkunganku ditinggalkan penghuninya. Aku juga ingin pulang sebenarnya, tapi saat itu sedang gencar-gencarnya kampanye untuk tidak mudik. “Jangan mudik dulu,” kata mereka. “Jangan pulang kampung. Sayangi keluarga di rumah.” Aku pun berpikir ulang untuk pulang kampung.

Lalu lintas kendaraan di kawasan Tugu, Yogyakarta, Sabtu, 5 Mei 2012 via TEMPO/Nita Dian

Tak terasa kalender Maret hampir habis. Alih-alih semakin membaik, corona malah makin merajalela dan menjajah segala penjuru. Di Yogyakarta kasus semakin banyak. Kotaku, Pati, pada 28 Maret 2020 seketika menjadi zona merah setelah seorang anggota DPR-RI yang terjun ke beberapa desa untuk mengadakan edukasi soal corona meninggal dengan status positif COVID-19.

Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku khawatir akan keadaanku tapi aku juga mencemaskan keluarga besarku di rumah. Pikiranku campur aduk. Tidak ada yang bisa menenangkan hatiku yang mulai gelisah. Aku mencoba mencari masukan dari teman-teman terdekatku. Merasa masih ada yang mengganjal, aku menyisihkan waktu untuk berdoa dan menangis di hadapan Tuhan. Hatiku pun sedikit lega dan pikiranku mulai jelas. Memang benar adanya bahwa tempat paling nyaman untuk mengadu adalah Yang Maha Kuasa, yang pasti dan selalu memberikan jawaban.

Minggu, 29 Maret 2020, aku menghubungi papa. “Pa, aku mau pulang, tapi aku juga takut kalau aku bawa virus buat Mama dan Papa. Tapi di Jogja kasusnya makin banyak. Aku harus gimana?” kunyatakan ketakutanku sambil menangis.

“Dah, beresin barang-barangmu. Tak jemput sekarang, ya. Jam 10 Papa berangkat,”  jawab orangtuaku.

Secepat mungkin aku memasukkan barang-barang yang kubutuhkan ke dalam koper dan tas-tas kecilku. Sebentar saja, bawaanku sudah tertata rapi dan siap untuk diangkut. Ada gunanya juga ternyata membereskan kamar selama masa-masa “di kos aja.”

Sore itu juga, begitu orangtuaku tiba di Jogja, aku meninggalkan Jogja untuk pulang ke rumah. Di dalam mobil, aku duduk sendirian di deret bangku paling belakang. Dengan masker menutupi mulut dan hidung, tentunya. Setiba di rumah, aku menjalani karantina mandiri di dalam kamar.


Memang ada enaknya, sih, kuliah daring, terutama untuk kaum mageran—tak harus ke kampus, tak harus mengotori baju bagus, tak harus mandi karena tak ada yang mengendus. Tapi, selama kuliah daring, aku rindu sekali suasana kehidupan “sesungguhnya” sebagai mahasiswa—datang ke kampus, bertemu teman-teman dan dosen, melakukan aktivitas entah apa bersama teman-teman, menjaga laboratorium. Kuliah “langsung” di kampus juga pastilah membuat mahasiswa tak perlu menyediakan anggaran ekstra untuk membeli kuota internet.

Begitu kebijakan kuliah daring diperpanjang hingga akhir tahun ajaran 2020, aku memutuskan untuk mengambil seluruh barangku di kamar kos dan benar-benar meninggalkan Yogyakarta yang istimewa, kota yang kutempati selama tiga tahun dan sudah melukiskan banyak kenangan. Entah kapan aku akan kembali menyinggahinya.

Kini aku mulai mencapai akhir dari perjalanan studiku. Namun aku tidak akan berhenti. Aku akan bersiap-siap untuk melakukan perjalanan lain.

The post Akhir Perjalanan Tiga Tahun di Kota Istimewa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/akhir-perjalanan-tiga-tahun-di-kota-istimewa/feed/ 0 23922