Ibnu Rustamadji, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ibnurustamadji/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 26 Jun 2025 17:40:01 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ibnu Rustamadji, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ibnurustamadji/ 32 32 135956295 Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/ https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/#respond Thu, 26 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47548 Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk...

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk tempe, kedua orang tua saya tampak biasa-biasa saja. Tidak lama, ketika ibu akan membayar, tiba-tiba bapak merencanakan pergi ke lereng timur Gunung Merapi.

“Ayo jalan-jalan, ke Merapi sisi Klaten,” begitu ajakan bapak menggunakan bahasa Jawa. Kakak awalnya bingung, mau ke mana tepatnya. Ternyata bapak berinisiatif menikmati pemandangan alam Gunung Merapi dari Dukuh Girpasang, Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten. Setelah selesai membayar dan membungkus teh panas untuk perjalanan, kami pun segera beranjak ke Girpasang. 

Perjalanan kami tempuh sekitar sejam perjalanan dengan mobil. Menyusuri jalan provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, keluar di perempatan Pasar Ngupit ke arah barat melalui Jalan Jatinom –Boyolali menuju Dukuh Deles. Letak Girpasang di sisi utara Deles. Jalan ini juga yang menjadi jalan utama menuju Girpasang. 

Hanya saja, kami harus ekstra waspada karena berpapasan dengan truk pasir dari pertambangan pasir Kali Woro. Sepanjang jalan desa yang kami lalui, naungan pohon di tepi perkebunan setia menyambut dan menyegarkan mata. Meski begitu, sinyal internet yang kami gunakan membaca peta sering terputus saking lebatnya pepohonan. Kami pantang mundur dengan bertanya warga, jalan mana yang harus ditempuh hingga akhirnya kami tiba di Girpasang.

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Jembatan merah Girpasang yang tampak seperti Golden Gate bergaya art deco di Kota San Francisco/Ibnu Rustamadji

Jembatan Merah, Pintu Masuk Dukuh Girpasang

Sesampainya di gapura Dukuh Girpasang, tampak dua orang warga dengan ramah memberikan izin masuk dukuh dan menunjukkan jalan yang harus kami lalui. Geliat warung warga menjajakan sayur dan buah hasil panen dan lalu-lalang warganya sendiri turut memberikan estetika kehidupan Girpasang. Awalnya kami bingung letak dukuh ini, karena melalui peta digital ada di tengah aliran pertemuan dua sungai. 

Ternyata benar, Girpasang ada di atas bukit dan di tengah aliran pertemuan dua sungai: Woro dan Gendol. Saat sedang asyik mengabadikan panorama sekitar, tiba-tiba mata lensa membidik sesuatu dari kejauhan yang tampak seperti anak tangga menuju ke bawah bukit di sisi timur Girpasang. 

Dugaan saya, itulah jalan setapak asli penghubung Dukuh Girpasang dan Desa Tegalmulyo, yang dibenarkan salah satu warga yang kebetulan melintas dari perkebunan. Sejauh pengalaman hidupnya sebagai anak kampung setempat, ia sudah khatam melalui jalan tersebut. Ia menambahkan, jauh sebelum jembatan merah Girpasang dibangun, warga harus melalui ratusan anak tangga tanpa pengaman, naik turun bukit dan sungai jika akan keluar dukuh. 

Tidak ada jalan lain selain itu, ungkapnya. Jika mereka pulangnya terlalu malam, sudah biasa mereka bermalam di kediaman salah satu warga Tegalmulyo. Keduanya sudah saling mengenal dan memaklumi keadaan yang ada. Beberapa warga memiliki kendaraan bermotor kala itu, yang dititipkan di warga Tegalmulyo, lalu lanjut jalan kaki untuk kembali ke rumah. Begitu seterusnya.

Kiri: Gerbang masuk Dukuh Girpasang dan jalan beton sebagai akses satu-satunya di kampung. Kanan: Bentang alam di sekitar Girpasang dan tampak garis jalan setapak asli yang dulunya jadi jalan satu-satunya untuk mobilitas masyarakat Girpasang/Ibnu Rustamadji

Ia mengisahkan, ketika Gunung Merapi erupsi besar tahun 2010, kondisi Desa Tegalmulyo cukup mencekam. Tanpa aliran listrik, semalam warga menyaksikan erupsi besar dengan lahar pijar keluar dari kawah. Sebagian besar warga diungsikan ke pusat Kabupaten Klaten. Pemuda desa banyak yang menetap, menjaga lingkungan dan mengevakuasi warga Girpasang yang terisolasi.

Mencekam, panik, harus naik turun bukit Girpasang dibarengi lahar pijar yang tidak mereda, sudah ia alami. Apabila tidak memungkinkan evakuasi seluruh warga, maka hanya bisa menunggu waktu dan keadaan. Mereka harus susah payah melalui anak tangga sempit tanpa penerangan dan pengaman, menuruni sungai dan mendaki bukit.

Meski begitu, warga tidak menyalahkan alam dan aktivitas Gunung Merapi. Malahan mereka sampai saat ini lebih memilih menetap di Girpasang, hidup berdampingan dengan gunung berapi yang setiap saat bisa kembali erupsi. Mereka berprinsip jogo titahing leluhur nengendi sangkan paranning dumadi, yang artinya menjaga amanat leluhur turun-temurun, di manapun berada, suatu saat akan berhasil. Tak ayal, hanya beberapa warga yang masih setia hidup di Girpasang hingga saat ini.  

Begitu jembatan selesai dibangun, warga tidak lagi harus melalui anak tangga curam. Puas mengobrol, kami segera menyeberangi jembatan menuju Dukuh Girpasang. Sisi kanan sepanjang jembatan merupakan aliran sungai dan lembah, sisi kiri perbukitan puncak Gunung Merapi. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mbah Padmo duduk santai sambil meracik rokok lintingan/Ibnu Rustamadji

Menjaga Amanat Leluhur, Hidup Berdampingan dengan Alam

Sugeng Rawuh ing Kampung Girpasang, begitu isi inskripsi gapura masuk Dukuh Girpasang. Uniknya, dukuh ini hanya memiliki satu jalan setapak yang terhubung dengan masing-masing rumah. Jika dihitung, jumlah rumah dari gapura hingga ujung barat dukuh tidak lebih dari 10 rumah. Saat asyik memotret, tiba-tiba muncul pria paruh baya dengan ramah menyilakan saya mengabadikan semuanya. 

Ia bernama Mbah Padmo, sesepuh dukuh, yang dengan senang hati bercerita pengalaman hidupnya tinggal di Girpasang. Menurutnya, munculnya Dukuh Girpasang tidak bisa dilepaskan dari jejak leluhur mereka, yakni Ki Trunosono, yang membuka alas (hutan) Girpasang pertama kali. Kediaman awal Ki Trunosono ada di dekat Goa Jepang di lembah kapuhan (hutan), di barat dukuh.

Mbah Padmo menambahkan, kala itu terjadi hujan deras yang menyebabkan tanah di sekitar kediaman Ki Trunosono longsor. Akibatnya, tanaman talas terbawa aliran hingga berhenti di Dukuh Girpasang saat ini, sedangkan longsoran tanah lain terbawa hingga Sungai Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana IX, raja Keraton Surakarta selaku pemegang wilayah Klaten kala itu, lantas memberikan titah Ki Trunosono untuk tinggal dan membuka alas di lereng timur Merapi yang di sekitarnya ada temuan tanaman talas. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Rumah Mbah Padmo yang terletak di depan pendopo Dukuh Girpasang/Ibnu Rustamadji

Kondisi tanaman talas yang ditemukan masih utuh, begitu pun tanah di sekitarnya, meski lainnya hancur akibat longsor. Begitu hujan dan longsor mereda, Ki Trunosono dan istri memutuskan untuk tinggal di sekitarnya yang tidak terdampak longsor. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada catatan resmi kapan Ki Trunosono mulai menetap di Girpasang. Girpasang berasal dari kata “gligir” dan “sepasang”. Gligir artinya bukit yang diimpit dua aliran sungai, sedangkan sepasang merujuk keberadaan dua aliran sungai di bawah dukuh. 

Mbah Padmo mengungkapkan keinginannya menetap di Girpasang hingga akhir hayat untuk memenuhi titah leluhur. Alasannya, menjaga amanat leluhurnya, omahe pinggire jurang, papane sempit suk bakale rejo. Artinya, rumah di tepi sungai, wilayahnya sempit, suatu saat akan ramai. Ia menambahkan, mayoritas warga yang tinggal di sini adalah anak turun Ki Trunosono, sehingga mereka bersaudara satu sama lain. 

Keputusan unik bersama mereka adalah apabila salah seorang anak menikah, mereka harus hidup di luar Girpasang. Mereka kembali pada waktu-waktu tertentu, seperti upacara adat, atau hari raya untuk bersilaturahmi dengan orang tua. Selain itu, mereka juga melarang orang luar yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan salah satu warga, untuk mendirikan hunian di wilayah Dukuh Girpasang. 

Tak ayal, populasi Dukuh Girpasang hanya ada 30 orang di sekitar 10 rumah. Pekerjaan mayoritas warga adalah petani dan peternak. Sebab, kondisi geografis sejak dahulu adalah perkebunan, sehingga warga menggantungkan nasib atas hasil panen. Setiap tahun mereka juga menggelar upacara sedekah bumi yang telah beregenerasi.

Warga Girpasang layaknya warga desa umumnya. Hanya saja, mereka memiliki adat istiadat yang sedikit berbeda. Meski begitu, mereka tidak sungkan dengan kedatangan orang luar wilayah. Malah mereka mempersilakan berkunjung dan menikmati kehidupan sederhana mereka sebagai warga lereng tertinggi Gunung Merapi.  

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mendaki jalan setapak berupa ratusan anak tangga untuk kembali menuju Desa Tegalmulyo/Ibnu Rustamadji

Pulang Menapaki Ratusan Anak Tangga 

Sejam berlalu, kami lantas berpamitan dan beranjak turun menuju Desa Tegalmulyo. Namun, kami memilih jalan setapak asli Dukuh Girpasang yang harus naik turun bukit dan sungai. Butuh waktu sekitar 1,5 jam perjalanan. 

Sudah bisa saya bayangkan betapa susahnya setiap hari melalui jalan setapak ini. Sepanjang perjalanan kami berhenti sepuluh kali, salah satunya di sumur sumber mata air yang ada di bawah sungai. Sampai di sumur, rasa lelah terbayar dengan sunyinya suasana dan segarnya air langsung dari sumbernya. 

Namun, kami tidak terlalu lama di sana dan segera kembali menaiki anak tangga. Sepanjang jalan, hanya kesunyian dan tanaman bambu setia menemani kami. Seraya berjalan, saya sempat memberikan kode dengan tepukan tangan dari bawah sungai kepada warga yang melintas di atas jembatan merah. Beberapa di antaranya merespons dengan tepukan tangan juga.

Matahari mulai tampak temaram dan suhu dingin mulai menusuk tulang. Kami lekas mempercepat langkah ke anak tangga tertinggi hingga akhirnya tiba di lembah Desa Tegalmulyo. Jalan setapak yang kami lalui sudah lama ditutup semenjak dibangunnya jembatan merah Girpasang, yang hanya diperuntukkan pejalan kaki dan sepeda. Ini demi menjaga keamanan dan mempermudah mobilitas warga setempat maupun saudara yang berkunjung. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan selama menjelajahi Dusun Girpasang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/feed/ 0 47548
Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/ https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/#respond Fri, 09 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46880 Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan...

The post Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab appeared first on TelusuRI.

]]>
Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan berangkat sekolah.

Tidak seperti biasanya, saya mengambil rute melalui pinggiran kota. Sebab, jika saya melalui rute pinggiran kota akan lebih lama dan melelahkan. Saya putuskan melalui jalan utama antarprovinsi Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah agar mempersingkat jarak dan waktu.

Membutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dari kampung lawas Laweyan, Kota Surakarta hingga pertigaan Candi Prambanan, Klaten. Tepat di pertigaan Prambanan, roda kendaraan berbelok ke arah barat memasuki Jalan Bugisan Raya. Sepanjang jalan tampak kehidupan desa wisata di sekitar Candi Prambanan. 

Sesampainya di simpang Jalan Bugisan dan Jalan Candi Plaosan, saya pilih mengikuti Jalan Candi Plaosan. Sebelum sampai di tujuan, biasanya saya mampir minum es dawet langganan di pertigaan KM 1 Manisrenggo. Namun, jarum jam menunjukan pukul 06.20, penjual dawet belum terlihat karena masih pagi. Saya langsung menuju tujuan utama, yaitu Candi Plaosan Lor di Desa Bugisan, Klaten, sekaligus mencari angkringan sebagai pelepas dahaga sebelum memulai penjelajahan.

Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab
Reruntuhan candi perwara berlatar belakang pohon bodi dan candi induk Plaosan Lor/Ibnu Rustamadji

Tiba Terlalu Pagi

Pagi itu, aktivitas masyarakat sekitar Candi Plaosan Lor tampak ramai dengan  hilir mudik kendaraan antardesa, dan orang tua mengantar anaknya bersekolah maupun bekerja. Pemandangan lumrah, karena candi ini berada di tengah desa, dengan mobilitas warga cukup tinggi.

Beberapa warung angkringan pagi tampak sudah buka, tujuannya tidak lain untuk mengisi perut warga yang lalu-lalang sejak pagi buta. Untung saja, angkringan yang saya datangi baru saja buka, sehingga makanan yang disajikan masih hangat semua.

Selagi menunggu segelas teh panas disajikan, tiba-tiba datang seorang bapak paruh baya berkaus oblong dan bercelana kargo layaknya petualang, duduk satu meja dengan saya. Kami lantas bercengkerama ringan sambil menikmati sarapan nasi bandeng panas. 

Tidak saya sadari sebelumnya, beliau adalah satpam Candi Plaosan sekaligus suami dari empunya angkringan. Tanpa basa-basi, saya menanyakan harga tiket dan pemandu jika main ke Candi Plaosan. 

“Tunggu sampai 07.30 mas, nanti langsung masuk, isi buku tamu di pos depan, langsung silahkan hunting foto. Kamu terlalu pagi, Mas, datangnya, jadi masih gratis, bebas, tetapi setelah jam 08.00 dikenai tiket 5.000 rupiah,” jelasnya. 

Alam merestui. Saya tidak sabar ingin segera menikmati romantisisme dan  keabadian cinta di Candi Plaosan lor. Waktunya tiba, saya pun segera masuk halaman candi. Tentu setelah membayar sarapan. Keramaian warga desa, seketika sirna saat saya berhadapan dengan dua candi lintas agama ini, seakan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani mempersilakan masuk dengan merangkul mesra dalam keheningan pagi.

Lingkungan sekitar didominasi persawahan berlatar belakang Gunung Merapi dan perdesaan, semakin menampakkan aura romantis kedua pendiri candi tersebut. Raja dan ratu sedang duduk di singgasananya, dengan baju kenegaraan warna hijau selalu menemani dalam suka maupun duka. Sungguh perpaduan yang elegan, antara keseimbagan energi manusia dan energi alam yang luar biasa. 

Wujud Cinta Pasangan Beda Agama

Pertama kali menyaksikan candi induk Plaosan Lor ini beberapa tahun lalu, yang tergambar dalam pikiran adalah rumah berlantai dua dibangun berdampingan tanpa pembatas dalam satu halaman luas, dengan ruang keluarga terbuka di sisi barat. Fakta jika Candi Plaosan Lor adalah wujud rancangan kekaguman dua insan beda agama.

Hal ini senada dengan isi prasasti Cri Kahulunan berangka tahun 842 Masehi, menyatakan bahwa Candi Plaosan dibangun pada abad ke-9 oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, sebagai tempat pendarmaan sang istri, Pramodhawardani, putri Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.

Candi Plaosan didirikan sebagai bukti kekaguman dan cinta Rakai Pikatan yang luar biasa untuk sang istri. Terlebih latar belakang keduanya yang berbeda agama, dapat bersatu mengemudikan bahtera. Sungguh luar biasa. Relief candi induk utara menggambarkan sosok laki-laki, sedangkan di selatan menggambarkan sosok perempuan. Masing-masing memiliki relief setinggi seperti orang saat ini. 

Motif relief seorang lelaki di candi induk sebelah barat (kiri) dan relief sosok perempuan di candi induk sebelah timur/Ibnu Rustamadji

Tatkala sedang asyik melihat relief, tiba-tiba imajinasi saya dibawa hidup di zaman itu. Terbayang kehidupan masa lalu keduanya yang penuh canda tawa bahagia, meski juga memikul tanggung jawab berat terhadap kemakmuran rakyat dan masalah pelik lainnya.

Candi induk ini, selain sebagai bukti cinta, juga sebagai pendarmaan atau pembelajaran spiritual raja dan ratu, sehingga tak ayal dibangun berlantai dua sebagai tempat menyepinya raja dan ratu. Kedua candi induk memiliki dua lantai. Hanya saja papan kayu lantai dua dan tangga menuju ke atas kini hilang seiring berjalannya waktu, menyisakan relung sebagai bukti kemewahan Candi Plaosan kala itu. 

Sekitar dua jam menelusuri dua candi induk, kini saatnya melihat ruang keluarga di sisi barat candi induk. Para arkeolog menyebut tempat ini pelataran, bukan ruang keluarga. Saya istilahkan ruang keluarga karena jejeran arca Buddha duduk berderet saling berhadapan seolah sedang membicarakan sesuatu bersama keluarga.

Mungkin saja, arca ini adalah penggambaran dewa dalam agama Hindu-Buddha, dan pelataran inilah tempat Rakai Pikatan dan Pramodhawardani berhubungan dengan para dewa. Hubungan yang saya maksud adalah cara bersembahyang, bukan mengajak ngobrol.

Pelataran ini seharusnya tertutup, meski tidak sesolid candi induk. Rangka utama terbuat dari kayu jati yang dibuat ruang persegi panjang terbuka. Arca dewa tutur ternaungi, karena masuk bagian area bersembahyang raja dan ratu. Namun, kini kondisinya sudah tanpa konstruksi atap, hanya menyisakan umpak batu di beberapa sudut pelataran. Ketika pertama kali ditemukan oleh Casparis tahun 1800-an, pelataran sudah tidak ditemukan atapnya. Kondisinya kala itu pun lebih rusak parah daripada sekarang.

Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab
Tampak umpak batu pondasi rangka atap yang kini hilang di salah satu sudut pelataran dengan latar belakang persawahan Desa Bugisan/Ibnu Rustamadji

Segudang Tanya yang Menanti Jawaban

Sebelum beranjak keluar kawasan, saya menyempatkan memandang kedua candi induk untuk “berpamitan” kepada sang raja dan ratu. Hanya saja, saya masih memiliki pertanyaan yang mungkin tidak bisa terjawab dalam waktu singkat.  

Pertama, bagaimana proses pembangunan dua candi induk berlantai dua seperti itu, sementara candi-candi sekitarnya (termasuk Candi Prambanan) hanya satu lantai?

Kedua, adakah jejak peradaban masyarakat pendukung situs percandian sekitar kawasan Prambanan? Sebab, ditemukan saluran air yang cukup besar di timur candi induk Plaosan Lor. Artinya, ada peradaban yang kini hilang, di manakah jejaknya? 

Ketiga, apakah ada penemuan sisa manusia yang pernah hidup di era Rakai Pikatan?

Saya yakin, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dalam waktu semalam, seperti mitos kisah asmara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso dengan seribu candinya. Masih banyak yang harus diteliti guna menyelamatkan monumen cinta Rakai Pikatan dan Pramodhawardani ini. 

Hari mulai beranjak siang. Saya putuskan membawa segudang pertanyaan itu keluar kawasan Candi Plaosan Lor seiring mencari tempat santap siang, lalu berkeliling di sekitar kompleks candi. Pukul 14.00, saya menyudahi perjalanan di Bugisan dan pulang ke Boyolali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/feed/ 0 46880
Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/ https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/#respond Thu, 13 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46062 Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam. Kali ini...

The post Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam.

Kali ini saya menelusuri kampung lawas Ngesusan di Timuran, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Tidak ada Ngesusan di peta digital saat ini. Hanya segelintir warga Surakarta yang tahu letak kampung lawas tersebut. 

Perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro merupakan titik tengah lokasi kampung lawas Ngesusan. Latar belakang penamaannya yang unik dan tidak tampak sebagai kampung lawas, menjadi alasan saya menjelajahi Ngesusan.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Taman Ngesusan Punggawan/Ibnu Rustamadji

Selayang Pandang Kampung Lawas Ngesusan

Penamaan Ngesusan atau Ngesus, didasarkan atas keberadaan gedung Monumen Pers Nasional yang bergaya arsitektur Hindu, tepat di perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro atau Taman Ngesus. Merujuk surat kabar De Vorstenlanden tahun 1920, gedung ini awalnya Societeit Sasana Soeka, tempat sosialita warga Belanda dan bangsawan Pura Mangkunegaran. 

Societeit artinya perkumpulan, sedangkan Sasana Soeka berarti tempat bergembira. Societeit Sasana Soeka artinya tempat perkumpulan dan bergembira. Mereka menempati Sasana Soeka selain untuk bergembira dan pesta, juga berdiskusi berbagi pengalaman guna mencapai kesepahaman dan menggelar acara kenegaraan.

Mereka yang tergabung dalam perkumpulan mayoritas warga Belanda, saudagar, elit bumiputra, dan bangsawan Mangkunegaran yang tinggal di wilayah Pura Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan. Tempat pesta dan acara kenegaraan menempati ruang tengah societeit, sedangkan ruang diskusi di perpustakaan di salah satu ruang kamar.

Mereka yang diperkenankan hadir ditentukan, tetapi jika acara bersifat umum, warga diperkenankan hadir di halaman. Surakarta memiliki tiga societeit, yakni Societeit Harmonie di Loji Wetan, Societeit Habipraya di Coyudan, dan Societeit Sasana Soeka.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Kedua gedung soos, Societeit Militer Praja Mangkunegaran di sisi kiri (kini rumah dinas wakil wali Kota Surakarta) dan Societeit Sasana Soeka di sisi kanan (kini Monumen Pers Nasional) saling menghadap perempatan Taman Ngesusan dengan jalan tengah menuju Kampung Tumenggungan/Ibnu Rustamadji

Societeit Sasana Soeka: Awal Mula Nama Ngesusan

Merujuk surat kabar De Locomotief tahun 1918 (Norbruis, 2022), gedung Societeit Sasana Soeka dirancang oleh seorang arsitek bumiputra bernama Mas Aboekassan Atmodirono. Ia lahir 18 Maret 1860 di Wonosobo, putra dari Kepala Kejaksaan Wonosobo Atmodirono. Lazim kala itu nama anak menggunakan nama belakang sang ayah.

Meski berasal dari keluarga priyayi kejaksaan, tampaknya Aboekassan Atmodirono memilih jalan hidup sebagai arsitek terlepas dari kedua orang tuanya. Melihat keinginan tersebut, ia disekolahkan di pendidikan mentereng kala itu, yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Yogyakarta, Technische Wilhelminaschool di Batavia dan terakhir di Technische Hogeschool Delft di Belanda. 

Ketika belajar di Delft inilah, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dipercayakan orang tuanya, untuk belajar dan bekerja sama dengan arsitek senior kelahiran Belanda. Ia lantas bertemu rekan kerjanya, insinyur Henri Maclaine Pont.

Mereka lantas berkolaborasi menciptakan master plan sesuai gaya masing-masing, demi menyelesaikan studi sebagai arsitek muda. Usai lulus tahun 1878, Aboekassan lantas melamar pekerjaan di Burgelijk Openbare Werken (BOW), semacam dinas pekerjaan umum di Hindia Belanda (Indonesia kala itu), sebagai pengawas kelas dua.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Ilustrasi Mas Aboekassan Atmodirono/Fuad via Tirto.id

Ia bekerja berpindah-pindah, di antaranya Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, dan Kota Semarang. Setelah menetap di Semarang, tahun 1898 ia mencoba mengikuti ujian arsitek di Semarang.

Pada 1 Mei 1901, Aboekassan dinyatakan lulus dan mendapat kenaikan jabatan di BOW sebagai arsitek pengawas kelas satu. Tidak lama kemudian, ia mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Kotapraja Semarang dan membantu pendidikan bumiputra.

Merujuk Bataviasche Nieuwsblaad tahun 1913 (Norbruis, 2022), Aboekassan selama di Semarang turut mendirikan Kartini Vereeniging atau Sekolah Kartini di Bukit Candi. Sekolah perempuan ini didanai Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henry Abendanon, dipimpin Nyonya Wallbrink.

Dalam mendirikan sekolah Kartini, sejatinya Aboekassan sudah merencanakan sejak tahun 1912, dibantu rekan arsitek Henry Maclaine Pont. Selain menghormati perjuangan Raden Ajeng Kartini, tujuan mendirikan sekolah juga memajukan pendidikan, khususnya untuk perempuan. 

Upacara pembukaan Kartini Vereeniging Semarang digelar Senin pagi, 15 September 1913. Mas Aboekassan turut hadir dan berpidato. Dalam sambutannya, yang diberitakan Bataviaasch Nieuwsblad, upacara pembukaan merupakan hari bahagia baginya karena menjadi tonggak kemajuan pendidikan bumiputra.

Aboekassan juga mengucapkan terima kasih kepada Conrad Th. Van Deventer dan Jacques. H. Abendanon atas terwujudnya pendidikan bumiputra khusus perempuan di Semarang. Kabar gelaran upacara pembukaan itu akhirnya sampai di kerajaan Belanda.

Melalui A.M. Valkenburg, selaku kepala insinyur BOW Semarang sekaligus perwakilan kerajaan Belanda di Hindia Belanda, Aboekassan dianugerahi penghargaan Orde van Oranje Nassau tahun 1912. Penghargaan bergengsi untuk individu atas jasanya terhadap pemerintah. 

Aboekassan lantas diganjar pekerjaan baru mengurus sistem saluran air Kota Semarang. Lalu diterima menjadi anggota perhimpunan teknik bangunan di Vereeniging van Bouwkundigen Nederlandsch Indië van Semarang dan turut serta meramaikan Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1918.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Potrait Gusti Mangkuenagara VII sebagai inisiator pendirian Societetit Sasana Soeka di belakang gramofon koleksi Monumen Pers Nasional untuk memutar piringan hitam/Ibnu Rustamadji

Gelaran Koloniale Tentoonstelling turut serta dihadiri Gusti Mangkunegara VII, yang takjub dengan desain arsitektur paviliun milik Aboekassan. Keduanya saling bertemu, hingga akhirnya bersepakat merancang gedung societeit yang digagas Gusti Mangkunegara VII. 

Aboekassan lantas pergi ke Kota Surakarta, setelah mendapat izin BOW Semarang. Sesampainya di sana, ia bertemu kembali dengan Gusti Mangkunegara VII di Pura Mangkunegaran untuk berdiskusi mengenai master plan gedung tersebut.

Merujuk catatan A. Yasawidagda, anggota Societeit Sasana Soeka sudah terbentuk sederhana tahun 1917, dipimpin Hardjasoepoetra. Mereka biasa mengadakan pertemuan pukul tujuh malam, di rumah kontrakan di barat Kampung Tumenggungan, Surakarta. 

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Gang kampung lawas Tumenggungan di barat daya Societeit Sasana Soeka/Ibnu Rustamadji

Atas dasar ini, Gusti Mangkunegara VII berinisiatif mendirikan rumah societeit (soos) baru—awal penamaan Ngesusan atau Ngesus—yang kelak menjadi Societeit Sasana Soeka. Proses perancangan dan pembangunannya ditaksir berlangsung setahun. Merujuk pemberitaan Djawi Hisworo bertajuk perpindahan rumah itu, Societeit Sasana Soeka diresmikan Minggu, 31 Juni 1918. Acara dimulai pukul tujuh malam, diawali sambutan presiden perserikatan.

Diberitakan lebih lanjut, presiden mengatakan pemindahan rumah soos berkat sifat ringan tangan Gusti Mangkunegara VII dalam memberi bantuan pendirian rumah dan menelan biaya tidak sedikit. Menurutnya sudah sepantasnya anggota societeit wajib mempersembahkan ribuan ucapan terima kasih kepada Beschermer.

Sambutan diakhiri sorak-sorai tamu yang hadir, diiringi alunan musik sebagai wujud kegembiraan. Kegiatan dilanjutkan bersuka ria sembari menikmati hidangan dan minuman yang disajikan, ditemani alunan musik gamelan. Gusti Mangkunegara VII turut menyambut dengan mengucapkan terima kasih dan menyematkan nama Sasana Soeka.

Diberitahukan lebih lanjut, rumah soos baru berada di ujung jalan perempatan belakang Tumenggungan (kini areal Kepatihan Mangkunegaran). Upacara pembukaan dihadiri 200 tamu anggota soos, priyayi bumiputra, putra-putri kerajaan, dan tamu perwakilan Tionghoa.

Turut hadir kelompok murid perempuan sekolah Tionghoa memakai baju noni. Suasana malam hari riuh dengan hiburan musik diiringi gamelan, hingga puncaknya pukul 21.00 datang satu perkumpulan Strijk Orkest dari Keraton Kasunanan, diiringi tiga perempuan muda menyanyikan lagu Barat diiringi tabuhan gamelan Jawa. Upacara pembukaan selesai tengah malam dengan selamat, para tamu bersorak, “Hiduplah Societeit Sasana Soeka!”.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Bekas kantor Kepatihan Mangkunegaran di kampung lawas Punggawan/Ibnu Rustamadji

Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Jawa

Selaku arsitek di balik kemegahan Societeit Sasana Soeka, Aboekassan sengaja memadukan gaya arsitektur art deco Eropa, fasad simetris dengan pilar-pilar, dan gaya timur lewat struktur candi Hindu Jawa. Hal ini tidak lepas dari wujud kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa, meski ia disetarakan arsitek Belanda. Ia mengimplementasikan struktur candi Hindu Jawa untuk eksterior gedung sehingga memperlihatkan kekokohan, berpadu apik dengan sepasang patung naga di bagian kiri kanan tangga masuk sebagai wujud keberanian. 

Soerjowinoto, arsitek bumiputra setelah Aboekassan mengenyam pendidikan di Antwerp, mencatatkan keindahan Societeit Sasana Soeka dalam jurnal perjalanannya berjudul Naar Indonesie:

“Gedung Societeit Sasana Soeka adalah bangunan yang sangat indah, perpaduan harmonis antara gaya Hindu Jawa kuno dan gaya barat cukup kuat. Meski sederhana namun sangat anggun. Ini adalah bukti bagi seniman sekaligus arsitek lulusan sekolah tekhnik Wilhelmina Batavia, tetap rendah hati sebagai orang Jawa yang mampu memadukan keindahan seni nasionalnya dengan gaya seni megah khas barat.”

  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta

Begitu juga dengan insinyur Charles Prosper Wolff Schoemaker, ketika beranjangsana di Surakarta dan mengunjungi Societeit Sasana Soeka. Dilansir dari De Vorstenlanden tahun 1925 (Monumen Pers Nasional), ia begitu takjub dan menaruh hormat atas mahakarya Aboekassan sebagai wujud nyata kecintaan seorang bumiputra terhadap budaya Jawa. Ia menambahkan, gaya Aboekassan sangat ekspresif menggabungkan kreativitas arsitektur Eropa yang fungsional-rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu Jawa yang penuh simbol dan makna. 

Beberapa pengelana dari Eropa yang singgah di Surakarta pun kagum dibuatnya. Banyak yang mencatatkan keindahan dan kekagumannya, seperti gedung Societeit Sasana Soeka tak ubahnya candi Hindu yang muncul di abad ke-19.

Merujuk berita Preanger tahun 1926 (Monumen Pers Nasional), Mas Aboekassan diketahui memiliki karya lain, yakni gedung Panti Soeko sebagai sarana hiburan pekerja kelas atas Pabrik Gula Colomadu, yang notabene milik Pura Mangkunegaran. Ia juga tercatat berkecimpung di pergerakan nasional sebagai anggota Boedi Oetomo dan anggota Mangoenhardjo.

Roda kehidupan terus berputar, tetapi tidak untuk Aboekassan. Setelah undur diri sebagai insinyur di BOW Semarang, ia memutuskan rehat di kediamannya, Jalan Dr. Cipto yang dahulu bernama Karrenweg Semarang, hingga wafat hari Jumat tanggal 30 Juli 1920. 

Upacara pemakaman digelar khidmat di makam Bergota Semarang, dihadiri rekan arsitek, pejabat Kota Semarang, kepala pelabuhan Valkenburg, bupati Semarang, perwakilan BOW Jawa Tengah, anggota Boedi Oetomo, anggota Mangoenhardjo, perwakilan dari Kota Surakarta, dan tamu Eropa.

Meski raga Aboekassan sudah tiada, karya monumentalnya di Surakarta tetap berdiri menjulang, mengharumkan nama sang arsitek yang teguh mempertahankan budaya yang diwariskan. Bagi saya, inilah tempat awal dan akhir penamaan kampung lawas Ngesusan di Surakarta: Societeit Sasana Soeka.


Referensi:

Koleksi surat kabar fisik dan informasi sejarah Monumen Pers Nasional, Surakarta.
Norbruis, Obbe H. (2022). Arsitektur di Nusantara: Para Arsitek dan Karya Mereka di Hindia-Belanda dan Indonesia pada Paruh Pertama Abad ke-20. Stichting Hulswit Fermont Cuypers, Belanda.
Priyatmoko, Heri. (2018). Menelisik Sejarah Societeit Mangkunegaran. Pojok Kedaulatan Rakyat, edisi 13 Februari 2018. Terjemahan referensi fisik catatan A. Yasawidagda dan surat kabar Djawi Hiswara dari bahasa Jawa. https://repository.usd.ac.id/21783/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/feed/ 0 46062
Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura https://telusuri.id/sepenggal-kisah-penelusuran-jejak-pewaris-takhta-keraton-kartasura/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-penelusuran-jejak-pewaris-takhta-keraton-kartasura/#respond Sun, 15 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44578 Perjalanan saya kali ini berada di Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar dan Keraton Kartasura di Dusun Ngadirejo, Sukoharjo. Rasa penasaran memicu saya untuk melacak jejak kediaman Pangeran Puger, pewaris takhta Keraton  Kartasura. Lokasi yang diduga...

The post Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berada di Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar dan Keraton Kartasura di Dusun Ngadirejo, Sukoharjo. Rasa penasaran memicu saya untuk melacak jejak kediaman Pangeran Puger, pewaris takhta Keraton  Kartasura.

Lokasi yang diduga menjadi bekas kediaman berhasil saya temukan. Hanya saja, saat ini telah berubah menjadi dua bukit kecil di tengah hamparan sawah Desa Malangjiwan. Menurut cerita turun-temurun warga sekitar, dua bukit ini disebut Puthuk Pugeran, bekas tempat tinggal Pangeran Puger dari Keraton Kartasura.

Awalnya ragu ketika saya harus melewati pematang sawah untuk mencapai lokasi. Namun, setelah melihat jejak roda motor dan mengikuti arahnya, sampai juga saya di Puthuk Pugeran.

Matahari yang bersinar terik pagi itu tidak mematahkan semangat untuk banyak memotret, termasuk warga penggembala. Mereka tidak banyak tahu sejarah, selain Puthuk Pugeran merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. 

Saya pun mulanya tidak mengetahui, karena tidak ada reruntuhan yang bisa disaksikan. Hanya ada satu sumur dan altar kecil menghadap ke selatan dan timur di kedua bukit. Sempat berpikir areal tersebut merupakan bekas pemakaman Tionghoa, tetapi rupanya bukan. 

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Kehidupan Masa Lampau Pangeran Puger

Kediaman Pangeran Puger di Malangjiwan kini hilang tak bersisa, berbeda dengan singgasananya di Keraton Kartasura. Meski menyisakan reruntuhan tembok benteng, masih beruntung tidak hancur total.  

Pada masa mudanya, Pangeran Puger bernama Raden Mas Darajat. Putra Sunan Amangkurat I dari permaisuri kedua, yakni Ratu Wetan yang berasal dari Kajoran, Pajang, sekaligus cucu Sultan Agung dari Pleret, Bantul. 

Ketika terjadi konflik antara Amangkurat I dan Raden Mas Rahmat—yang kelak bergelar Amangkurat II—Pangeran Puger dinobatkan sebagai putra mahkota bergelar Adipati Anom di Keraton Plered. Raden Mas Rahmat merupakan putra dari permaisuri pertama Amangkurat I, yakni Ratu Kulon, sehingga berstatus saudara tiri Pangeran Puger.

Eskalasi konflik keluarga kian memanas, seiring dengan terjadinya pemberontakan Pangeran Trunajaya dari Madura pada 1677. Jantung Keraton Plered diserang, menyebabkan Amangkurat I melarikan diri ke Banyumas dan meminta Amangkurat II mempertahankan Keraton Plered.

Namun, sialnya Amangkurat II turut melarikan diri menuju Desa Wanakerta, sehingga Pangeran Puger menjadi putra mahkota berdiri di ujung tanduk perlawanan dari Keraton Plered. Kalah perang memaksa Pangeran Puger melarikan diri ke Desa Jenar, lalu mendirikan istana kecil bernama Keraton Purwakanda dengan Sunan Ngalaga.

Pangeran Puger tidak tinggal diam. Ia sempat hendak mengambil alih kembali Keraton Plered yang telah diduduki Pangeran Trunajaya setelah menumpas sisa-sisa prajurit Trunajaya. Namun, usahanya sia-sia karena Keraton Plered sudah rusak cukup parah. 

Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
Sudut sisi timur tembok benteng Keraton Mataram Kartasura/Ibnu Rustamadji

Raja Tanpa Istana dan Konflik Keluarga Tiada Henti

Selama pelarian, Amangkurat II adalah raja tanpa istana. Ia lantas mendirikan padepokan di tempat yang kini disebut Keraton Mataram Kartasura, hingga mencapai puncak kejayaan tahun 1680. Padepokan diubah menjadi Keraton Kartasura oleh Amangkurat II, menggantikan Keraton Plered hingga wafat tahun 1702.

Tidak lama kemudian, takhta kerajaan diwariskan ke putra Amangkurat II, Raden Mas Sutikna (Amangkurat III). Ia lantas meminta bantuan pemerintah Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan VOC) di Jakarta untuk membantunya memimpin Keraton Mataram Kartasura. Pada Februari 1686, kedua pihak meneken perjanjian, yang salah satu poinnya membantu menangkap buronan Untung Suropati di Kartasura. Melalui perjanjian inilah konflik keluarga kian meruncing. 

Sejatinya, Amangkurat II sebelum wafat sempat berwasiat dan menunjuk Amangkurat III sebagai raja, agar menjalin hubungan baik dan kembali bersatu dengan Pangeran Puger. Salah satu upayanya adalah menikahkan Amangkurat III dengan Raden Ayu Lembah, putri Pangeran Puger.

Akan tetapi, apa yang diharapkan tinggallah kenangan. Selama kepemimpinan Amangkurat III, kekisruhan semakin menjadi lantaran tabiat yang tidak baik darinya. Perebutan takhta atas hak sebagai raja antara Pangeran Puger dan Amangkurat III pun tak terelakkan.

Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
Bagian dalam reruntuhan Keraton Mataram Kartasura di sisi barat laut/Ibnu Rustamadji

Pangeran Puger, putra sah Amangkurat I sebagai calon penerus takhta kerajaan, lantas menempati kediaman yang kini bernama Puthuk Pugeran. Tujuannya untuk mempermudah pengawasan Keraton Kartasura

Sebelum akhirnya naik takhta, Pangeran Puger sempat diadu domba dan menjadi tahanan rumah selama setahun atas perintah Amangkurat III. Sebab, Pangeran Puger menuduh Amangkurat III atas dugaan persekongkolan perebutan takhta dan intrik keluarga. Amangkurat III beranggapan jika tuduhan tersebut sengaja diembuskan untuk menjatuhkan takhta. 

Padahal, faktanya intrik keluarga Amangkurat III yang terjadi adalah hubungan asmara terlarang antara Raden Ayu Lembah—istrinya—dengan Raden Sukra, putra pejabat pemerintah Semarang. Raden Sukra akhirnya dieksekusi di Keraton Kartasura dengan dipenjara di kandang macan hingga wafat. 

Tak lama kemudian, Amangkurat III bersama istrinya menemui Pangeran Puger, lalu memerintahkannya mengeksekusi sang istri dengan hukuman lawe atau gantung. Kekejaman sang keponakan membuat Raden Suryokusumo, putra Pangeran Puger, marah besar dan ingin membalaskan dendam keluarga. 

Konflik kian memanas, Amangkurat III memerintahkan keluarga Pangeran Puger diburu dan dieksekusi mati. Untungnya seluruh keluarga Pangeran Puger tidak ada yang tertangkap dan dieksekusi. Hanya Pangeran Puger yang menjalani tahanan rumah selama setahun.

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Setahun kemudian, Pangeran Puger akhirnya dibebaskan oleh Amangkurat III atas bujukan Patih Sumabrata. Pangeran Puger tidak tinggal diam. Ia segera berangkat ke Semarang untuk mengunjungi petinggi pemerintah Hindia Timur di sana. Ia kemudian menghimpun prajurit untuk membantunya mengambil alih takhta raja Keraton Kartasura.

Mendengar informasi adanya upaya kudeta dari Pangeran Puger, Amangkurat III memerintahkan prajurit mencari dan mengeksekusi Pangeran Puger. Usahanya sia-sia, karena Raden Jangrana II, selaku Bupati Surabaya yang memimpin pengejaran, berbalik mendukung Pangeran Puger. 

Amangkurat III pun semakin terpojok. Raden Rangga Yudanagara dari Semarang menjadi mediator perdamaian konflik antara pemerintah Hindia Timur, Amangkurat III, dan Pangeran Puger mengenai kematian Francois Tack, perlawanan Trunajaya, dan pengejaran Untung Suropati. Tanda tangan kesepahaman diteken pada tanggal 6 Juni 1704. Sebagai imbalan, Pangeran Puger  diangkat sebagai Raja Mataram bergelar Sunan Pakubuwanan Senapati ing Ngalaga Abdurahman Saayyidin Panatagama Khalifatullah I.

Pangeran Puger lantas merangsek masuk Keraton Kartasura didukung prajurit gabungan Belanda, Semarang, Madura, dan Surabaya. Tujuannya mengambil alih takhta dari Amangkurat III. Perlawanan Amangkurat III dibantu dengan pimpinan Arya Mataram, adik Pangeran Puger. Pecahlah perang suksesi Jawa pertama itu.

Arya Mataram mengalami kekalahan. Ia lantas membujuk Amangkurat III pergi dari Keraton Kartasura. Arya Mataram kemudian berbalik mendukung sang kakak, yakni Pangeran Puger. Puncaknya terjadi pada tahun 1705, ditandai dengan runtuhnya pertahanan Amangkurat III menghalau serangan Pangeran Puger dan pemerintah Hindia Timur di Ungaran.

Amangkurat III dan keluarga melarikan diri ke Ponorogo. Di sana ia membuat keonaran dengan mengeksekusi Adipati Martowongso, sang bupati Ponorogo. Demi menjaga keselamatan, mereka melarikan diri menuju Kediri dan meminta bantuan Untung Surapati melawan pasukan gabungan Pangeran Puger, yang akhirnya menewaskan Untung Surapati.

Amangkurat III akhirnya menyerah dalam pelarian kepada pemerintah Hindia Timur dan Pangeran Puger. Tahun 1708 menjadi akhir pelariannya. Tidak lama setelah menyerah, ia menghabiskan masa tua di pengasingan di Sri Lanka hingga wafat tahun 1734.

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Keraton Mataram Kartasura, Riwayatmu Kini

Keraton Kartasura akhirnya dipimpin Pangeran Puger atau Pakubuwana I, tetapi sistem pemerintahan sepenuhnya dikendalikan Belanda. Pangeran Puger dan keluarga sepenuhya tinggal di Keraton Kartasura. Phutuk Pugeran, seiring waktu tidak lagi ditempati, hanya ada beberapa pengikutnya saja. 

Tidak diketahui secara pasti, kapan tempat tinggal tersebut hilang meninggalkan gundukan bukit. Ada dugaan seiring Boyong Kedhaton atau perpindahan Keraton Mataram Kartasura menuju Desa Sala, tempat Keraton Kasunanan Surakarta saat ini. Jejak Keraton Kartasura yang masih bisa disaksikan sekarang adalah bagian tembok keraton. Hanya saja, bagian dalam sudah beralih fungsi menjadi pemakaman Islam.

Sangat disayangkan memang, tetapi faktanya demikian. Keraton Kartasura saat ini tak ubahnya perkampungan. Kompleks kedaton di sisi timur dan barat, lalu sisi utara keraton hingga Jalan Slamet Riyadi Kartasura merupakan alun-alun utara, sedangkan sisi sebaliknya dari keraton merupakan alun-alun selatan.

Saat ini kedua alun-alun sudah tidak tampak, berganti menjadi hunian warga. Semoga saja, keberadaan sisa-sisa Keraton Mataram Kartasura tetap lestari sebagai pengingat sejarah perang suksesi Jawa di masa depan. 

Tidak lupa, sebelum beranjak dari Kartasura, saya menyempatkan diri berdoa dan menyambangi beberapa sudut keraton yang masih tersisa. Di masa kini bangunan tersebut sudah tidak mewah lagi, tetapi sangat mewah di masa kejayaannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-penelusuran-jejak-pewaris-takhta-keraton-kartasura/feed/ 0 44578
Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/ https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/#respond Thu, 05 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44365 November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik....

The post Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik.

Tujuan saya tak lain ingin melihat kondisinya saat ini dan ikut memahami apa yang dia rasakan selama ini. Mengalami kondisi tuna rungu, bagi saya sudah sangat mengganggu. Namun, apalah daya, itu merupakan pemberian istimewa dari yang Mahakuasa.

Secara fisik tampak sempurna, tetapi ia tidak bisa mendengar suara sedikit pun. Bahkan untuk mengatakan satu kalimat saja kesulitan. Meski begitu, ia paham kondisi sekitarnya dalam keheningan yang menyelimuti. Bagi Heru, kehidupan di bumi sangatlah hening. Berbanding terbalik dengan apa yang kita rasakan.

Kedatangan saya ke rumah Heru didampingi ibu saya, seorang pensiunan guru sekolah dasar tempat Heru pernah menimba ilmu—selanjutnya ditulis sang guru. Tujuannya untuk mempermudah dan menyaksikan bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tunarungu-wicara. Selama hidup, baru kali ini saya berbicara menggunakan bahasa isyarat langsung.

Ketika berbincang dengan orang lain, kita biasa menggerakkan refleks tangan untuk memperkuat penjelasan. Namun, berbeda jika gerakan tangan ditujukan untuk perbincangan lama. Tanpa bekal apa pun dan langsung menggunakan bahasa isyarat, sungguh bagi saya ini pengalaman luar biasa.

Sayangnya, tidak banyak komunikasi di antara kami. Sebab, ia malu tidak bisa berkomunikasi baik. Alhasil, ibu Heru dan sang guru menjadi mediator. 

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Perjumpaan kembali antara murid dan sang guru setelah beberapa tahun/Ibnu Rustamadji

Sempat Mengenyam Pendidikan Dasar

Butuh waktu sekitar 10 menit berkendara dari kota menuju kediaman Heru. Hamparan perkebunan warga dan kemegahan sisi timur Gunung Merapi senantiasa menemani perjalanan.

Akhirnya, sampailah saya di depan rumah Heru. Ibunya menyambut hangat seraya mempersilakan masuk. Tidak saya duga, sang guru sudah datang terlebih dahulu. Ia lantas memperkenalkan saya kepada Heru dengan bahasa isyarat. Semua terdiam tanpa satu patah kata.

Hal yang saya rasakan pertama saat menyaksikan pembicaraan keduanya, seperti dunia hampa seketika. Hingga saya tidak kuasa mengatakan sesuatu, padahal pagi itu cukup ramai suara. Ketika saya di dalam rumahnya dan mencoba menelaah pembicaraan, tiba-tiba semua suara hilang entah ke mana.

“Ini (menujuk saya), namanya Benu. Pengin kenalan sama kamu,” ungkap sang guru dengan bahasa isyarat. Heru membalas dengan anggukan kepala dan mengajak berjabat tangan. 

Sang guru bilang, “Inilah yang dia (Heru) rasakan selama ini, tidak bisa mendengar apa pun, tetapi dia tahu siapa yang di sekitarnya. Dia bisa berjabat tangan. Cara inilah yang dia gunakan untuk mengenali.”

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Ibu saya (tengah) berbincang dengan Heru dan sang ibunda/Ibnu Rustamadji

Heru sebenarnya masih memiliki sisa pendengaran, tetapi sangat sedikit. Dahulu sempat diajak terapi pendengaran dan menggunakan alat bantu dengar. Namun, karena kondisi, perawatan Heru dilakukan secara sederhana. Orang tuanya pun sempat kewalahan, sampai akhirnya mampu menerima dengan sabar melayani. Setiap hari, Heru beraktivitas layaknya anak normal. Hanya saja, lebih banyak terdiam karena memang tidak mendengar apa-apa.  

Pendidikan yang ia tempuh hanya sampai jenjang sekolah dasar (SD). Sekolahnya pun khusus, yakni sekolah inklusi. Ibu saya sendiri, Susilo Setyastuti, merupakan guru pendidikan inklusi di SD Negeri 1 Sukorame, Musuk, Boyolali. Peraih Juara III Lomba Guru Berprestasi Tingkat Nasional sebagai guru sekolah dasar penyelenggaran pendidikan inklusi tahun 2016 lalu.

Sang guru mengatakan sesuatu hal yang menarik. Saat SD, Heru belajar bersama murid normal lainnya. Mereka tetap belajar seperti biasa, hanya saja pelajaran yang diberikan kepada Heru tentu berbeda. Guru tidak bisa memaksakan harus mampu menguasai materi, tetapi menyesuaikan diri dengan kondisi mood atau suasana hati Heru.

“Heru ini termasuk anak berkebutuhan khusus, tidak bisa disamakan dengan anak lain. Harus pendampingan khusus. Kalau di sekolah, harus dibimbing guru pendidikan khusus. Tidak semua guru memahami itu,” jelasnya.

Kalau dia sudah merasa bosan, maka harus berhenti dan alihkan perhatiannya dengan kegiatan lain, seperti mengajak mengobrol atau bermain. Namun, semua itu ada batasan. Waktu Heru SD, ada kalanya ikut di dalam kelas reguler daripada kelas pendidikan khusus.

“Asalkan tidak saling mengganggu dan materi yang diajarkan sudah tentu berbeda. Heru saya ajak di kelas reguler, supaya mudah dalam pengawasan. Murid lain tidak ada masalah,” ungkapnya. 

Saya tidak menyangka. Heru adalah salah satu murid yang berhasil membawa ibu saya meraih gelar guru berprestasi. Satu-satunya guru SD penyelenggara pendidikan inklusi dari Kabupaten Boyolali. Latar belakang pendidikannya sebagai guru inklusi membuatnya sangat paham untuk mengurus anak berkebutuhan khusus seperti Heru.

Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali
Foto lama saat Heru belajar didampingi sang ibunda dan guru SD pendidikan inklusi yang lain/Ibnu Rustamadji

Semangat Hidup di tengah Keterbatasan

Sejatinya, semenjak lulus bangku SD, Heru sudah diarahkan untuk melanjutkan pendidikan formal SMP dan SMA inklusi di Kota Surakarta. Akan tetapi, karena faktor keluarga, cita-cita tersebut harus terpendam. Usia Heru kini sudah selayaknya bersekolah di perguruan tinggi. 

Namun, asa tinggallah asa. Ia tidak melanjutkan pendidikan dan membantu sang ibu di rumah. Malahan adiknya yang melanjutkan pendidikan kejuruan di kota Boyolali. Tulang punggung keluarga ada di pundak sang adik, sehingga setelah lulus diharapkan mampu meningkatkan derajat orang tua.

Meski begitu, Heru tidak tinggal diam. Ia belajar elektronik secara otodidak, berbekal handphone usang. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia memiliki akun media sosial di Instagram dan Tiktok. Tidak ada yang membantunya, tetapi juga tidak asal tekan. Ia mahir menggunakan kedua media sosial itu, meski hanya untuk melihat isi konten tanpa bisa mendengar. Fakta yang saya dapat, ia mampu mengubah tampilan layar utama lebih menarik dari orang lain.

“Wah, ini seandainya mendapat beasiswa bisa kuliah teknologi informatika,” ucap saya.

Ternyata, anak-anak seperti Heru memiliki kemampuan khusus yang selama ini mungkin tidak dipahami. Mereka tidak mampu jika dituntut memahami materi pendidikan secara formal. Namun, mereka lebih cermat pada keterampilan dan teknologi. Mereka normal, tetapi terbatas.

Keseharian Heru membantu sang ibu mengurus rumah. Ia paham jika ada piring kotor segera dicuci. Begitu juga menyapu lantai. Tak jarang juga membantu menjemur daun tembakau, mengangkat barang hasil panen dari kebun belakang rumah. Semua dilakukan dalam kondisi diam seribu bahasa. 

Heru ternyata juga aktif di lingkungan sekitar. Tak jarang ia bertemu kawan sebaya maupun tetangga. Ia pun mampu berbelanja, meski dengan catatan yang diberikan sang ibu agar tidak salah beli barang. Tetangga sekitar sangat menerima kekurangan Heru dan keluarga, serta tidak mempermasalahkan kondisi tersebut.

Ketika seorang tetangga mengadakan hajatan, orang tua Heru pasti diundang sebagai anggota juru masak sampai acara selesai. Bahkan tempat tinggal Heru saat ini merupakan bantuan swadaya masyarakat desa. Meski masih sangat sederhana, tetapi sangat layak dan mewah bagi keluarga Heru. 

“Bisanya cuma seperti ini, yang penting pelan-pelan dan sabar. Punya rumah sederhana, sama merawat Heru saja sudah sangat mewah bagi saya,” ungkap sang ibu.

Rumah Heru dan keluarga sebelum dan sesudah renovasi (kanan)/Ibnu Rustamadji

Dari perjumpaan dengan Heru, saya mendapat pelajaran berharga. Mungkin, jika bisa saya ungkapkan, janganlah selamanya melihat ke atas. Ada kalanya melihat ke bawah. Hidup mewah tidak harus bergelimang harta, karena tidak selamanya membuat bahagia. 

Jika menikmati hidup dengan sederhana dan mensyukuri nikmat, tentunya akan terasa mewah. Hidup di desa tidak selamanya terbelakang. Asalkan ada niat untuk mengembangkan diri, niscaya derajat seseorang akan meningkat seiring berjalannya waktu. Selain itu, harus mampu mengimbangi perkembangan zaman. 

Waktu menunjukan pukul 16.20. Saatnya kami beranjak pulang. Sang guru memutuskan untuk mengakhiri obrolan kami dan melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami berswafoto bersama di depan rumah Heru sebagai kenang-kenangan.

“Sehat terus, ya, kalian. Kapan-kapan saya main ke sini lagi,” ucap ibu saya mengakhiri perjumpaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertemu Heru, Penyandang Tunarungu-wicara di Desa Jelok Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertemu-heru-penyandang-tunarungu-wicara-di-desa-jelok-boyolali/feed/ 0 44365
Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2) https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-2/ https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-2/#respond Wed, 27 Nov 2024 21:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44229 Penelusuran saya berlanjut ke Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus Gedangan. Lokasinya yang saling berhadapan dengan gereja, membuatnya menarik dikunjungi meski hanya sekadar menikmati keindahan gedungnya. Tentu tidak asal menyelonong masuk. Pengunjung harus...

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Penelusuran saya berlanjut ke Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus Gedangan. Lokasinya yang saling berhadapan dengan gereja, membuatnya menarik dikunjungi meski hanya sekadar menikmati keindahan gedungnya. Tentu tidak asal menyelonong masuk. Pengunjung harus mematuhi aturan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak.

Gerbang regol kayu memikat mata siapa pun yang melintas. Di balik regol, suasana berubah bagaikan di istana. Sesuai namanya, susteran, tentu mereka yang tinggal di sini adalah para suster Ordo Santo Fransiskus. Mereka tinggal untuk mejalankan kaul biarawatinya, sedangkan bruderan menjadi tempat tinggal para bruder dan romo.

Masing-masing memiliki tempat dan ajaran berbeda, sesuai dengan pendidikan yang diemban. Gedung susteran biasa disebut juga sebagai biara. Sarana prasarana pendukung kegiatan masih sangat lengkap, seperti saat awal berdiri. 

Setelah mendapat izin dari perwakilan biara, saya pun tak menyia-nyiakan waktu untuk menikmati detail ornamen bangunan. Tak lupa saya memotret sejumlah momen dan mencari tahu cerita di baliknya.

  • Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2)
  • Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2)

Berdiri di Lahan Bekas Rumah Sakit VOC

Merujuk informasi dari Albertus Kriswandono, gedung berarsitektur indis Neo-Classic ini sejatinya menempati bekas rumah sakit swasta zaman Hindia Belanda. Didirikan tahun 1732 oleh seorang pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bernama Frederik Julius Coijet.

Ketika Kota Semarang masih di bawah cengkeraman VOC, kawasan ini sangat sepi. Ideal untuk membangun rumah sakit, sebagai antisipasi penyakit menular kepada orang yang sehat yang tinggal di Kota Lama Semarang—notabene kampung Eropa. Prasasti peringatan pendirian rumah sakit sampai sekarang masih terpahat apik di dinding belakang susteran. 

Seiring berjalannya waktu, gedung rumah sakit mengalami renovasi sampai seperti sekarang. Menariknya, di susteran terpahat satu prasasti lain berbahasa Belanda sebagai peringatan 100 tahun pendirian panti asuhan di Kota Semarang.

Pendirian panti asuhan tersebut dilakukan oleh Pastor Prinsen atas wasiat Wilhelmus Bezagter, seorang pensiunan militer yang sakit-sakitan. Wilhelmus Bezagter berwasiat ingin menitipkan kedua anaknya, yakni Katharina Wilhelmina dan Wilhelmus Bartholomeus, kepada gereja sehingga sang anak dapat tumbuh dewasa dengan baik.

Untuk mengurusi pekerjaan tersebut, Pastor Prinsen membentuk Kerk en Armenbestuur atau Pengurus Gereja dan Kaum Miskin (PGKM) pada 28 Januari 1809. Nama pengurus terabadikan dalam prasasti. Awal didirikan, mereka mengasuh dua anak dari Wilhelmus Bezagter. Namun, karena belum memiliki tempat, pengasuhan dilakukan dari satu keluarga ke keluarga lain.

Sekitar pertengahan 1815, berembus angin segar dari seorang janda Nieuwenhuis. Ia bersedia mengasuh anak secara tetap. Pada 1820, seiring dengan kembalinya para prajurit militer ke Belanda, Belgia, dan Prancis, banyak anak mereka yang telantar dan membutuhkan tempat layak huni. Alhasil, panti asuhan pun semakin membeludak anak asuhnya.

Setibanya Pastor Henricus Scholten di Semarang pada 1828, yang menjadi perhatian pertama adalah pendirian tempat hunian permanen untuk anak panti asuhan, yang tinggal sementara di sebuah rumah kontrakan. Ia pun membeli bekas gedung rumah sakit VOC di Gedangan, Semarang—kini Susteran St. Fransiskus—seharga 18.000 gulden, dengan pinjaman dana pemerintah Kerajaan Belanda sebesar 16.156 gulden. 

Kala itu, gedung rumah sakit dikelola kolonel VOC bernama H.C. Cornelius. Setelah menjadi milik PGKM, Pastor Scholten lalu membuka sekolah pendidikan anak yatim piatu. 

Bersama Gereja Katolik Gedangan, susteran ini ternyata juga menyimpan cerita kelam ketika Jepang menguasai Indonesia (dulu Hindia Belanda) pada 21 Oktober 1943. Kedua kompleks digunakan sebagai kamp interniran sementara bagi warga Belanda, terutama anak dan perempuan lanjut usia, sebelum dipindah ke kamp Bangkong dan Lampersari Sompok Semarang.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2)
Prasasti peletakan batu pertama pendirian rumah sakit oleh Frederik Coijet di tembok belakang gedung susteran/Ibnu Rustamadji

Menangani Konflik Internal

Namun, begitu Pastor Scholten pindah tugas ke Batavia, terjadi perselisihan dalam tubuh PGKM semasa kepemimpinan Pastor Mouriks. Perselisihan berawal dari pernyataan sikap atas pengambilan kebijakan sekolah panti asuhan, yang harus dibuka untuk anak di luar panti. Dua kubu saling memanas, ditambah dengan informasi seorang anggota memasukkan anaknya ke sekolah panti. Pastor Mouriks mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan sang anak dari sekolah.

Guna menyelesaikan konflik, pemerintah turun tangan dalam kepengurusan PGKM. Namun, langkah tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan Residen Semarang Le Clerq. Pasca Perang Jawa berakhir, anak yatim piatu—baik akibat orang tua wafat sebagai prajurit atau lahir dari hubungan di luar nikah—pun melonjak. Mereka butuh perawatan dan perlindungan PGKM.  Akan tetapi, anak-anak menerima kondisi yang tak layak. Terlebih adanya narapidana yang dipekerjakan sebagai juru masak dirasa sangat memperburuk psikis anak.

Angin segar berembus kembali tahun 1858, seiring kedatangan Pastor Josephus Lijnen di Semarang. Ia menyumbangkan gajinya 2.000 gulden lebih untuk disumbangkan ke panti asuhan. Pada 17 Oktober 1868, sang pastor kembali ke Belanda untuk menjalin kerja sama dengan kongregasi OSF Biara Induk di Heythuysen. Mereka dengan senang hati mengirimkan para suster ke Semarang pada 5 Februari 1870.

Saat para suster datang, kehidupan anak panti berubah signifikan. Setahun kemudian, didirikanlah sekolah Eksternaat untuk anak luar panti dan pendirian sekolah Frobelschool di utara panti. Frobelschool menempati bekas kediaman Radhoven, yang dibeli seharga 43.300 gulden.

Peningkatan jumlah anak asuh diimbangi dengan pendirian kedua sekolah di luar wilayah Gedangan. Area biara Gedangan lantas digunakan sebagai sekolah calon biarawati untuk perempuan pada 1892. Lalu tahun 1923 dibuka untuk biarawati pribumi.

Seiring waktu panti asuhan harus membiayai diri sendiri untuk bertahan. Salah satunya dengan menggelar lotre pada 1888. Sebagian keuntungan untuk pembangunan gedung baru hasil rancangan arsitek Westmaas Sr. Upacara peletakan batu pertama dilakukan Residen Semarang, Pieter Sijthoff pada 16 Februari 1905.

Keheningan dan Kemegahan Susteran Menghadapi Tantangan Alam

Ketika saya melangkahkan kaki ke utara biara, mata lensa langsung tertuju satu bangunan mewah berwarna merah merona. Kapel bergaya gothic ini dibangun sekitar 1891. Merujuk inskripsi Hic Primarius Lapis Positus Est. die 17 Septembris A: MDCCCCXCI, upacara peletakan batu pertama kapel dilakukan tanggal 17 September 1891. Lalu upacara peresmian pembukaan kapel berlangsung pada  6 Agustus 1892 oleh Pater Keyzer.

Deretan kursi jemaat berhias buah anggur sebagai simbol darah Kristus dan desain interior kapel masih asli seperti sediakala. Kaca patri bergaya gothic pun tetap bertengger apik di jendela yang mengelilingi kapel. Hamparan tegel motif cetak timbul, senantiasa menghiasi seluruh lantai.

Altar doa cukup sederhana. Kontras dengan bangunan kapel. Mungkin, karena fungsi awal kompleks ini sebagai biara, sehingga altar doa dibuat lebih sederhana. Jika ingin misa atau sembahyang hari raya, maka dilakukan di Gereja Katolik Gedangan.

Keindahan detail biara tidak berhenti hanya di kapel, tetapi juga gedung Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik di utara kapel yang dibangun pada 1899. Awal pendirian gedung ini memiliki dua fungsi, yakni tempat tinggal suster dan ruang kelas kesenian sekolah Eksternaat. 

Keadaan di dalam kedua gedung tersebut lebih tenang dan hening, meski suara kendaraan di luar sangat bising. Bahkan mereka yang tinggal di dalamnya pun tidak merasa terganggu. Hanya saja yang menjadi perhatian mereka saat ini adalah jika suatu saat terjadi banjir rob.

Posisinya yang lebih rendah dari jalan membuat kedua kompleks rentan terendam banjir rob setiap tahun. Banjir rob tidak hanya disebabkan hujan, tetapi juga gelombang pasang laut utara Jawa yang masuk ke Semarang.

Menurut saya, pembenahan kawasan Gedangan sangat diperlukan. Minimal menyelesaikan atau meminimalisasi genangan air rob masuk ke kompleks gereja dan susteran, sebagai upaya penyelamatan kebudayaan. Dua gedung dengan seribu cerita masa lalunya itu layak mendapat perhatian.

Jika dihitung, dua kompleks suci di Gedangan tersebut sudah berusia lebih dari tiga abad. Setia menemani perkembangan Kota Semarang hingga kini. Sejak masih berupa kebun pisang, dibangun rumah sakit hingga panti asuhan. Semuanya terekam kuat. 

Puas menelusuri, saya putuskan berpamitan dengan pengelola masing-masing gedung. Saya ingin melihat situasi kampung di sekitarnya. Tidak banyak aktivitas warga sore itu, hanya mobilitas kendaraan pribadi dan truk-truk besar silih berganti keluar masuk Pelabuhan Tanjung Mas.

Terik sinar matahari mulai berubah oranye. Besar harapan, Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus Gedangan mampu bertahan menghadapi perubahan zaman dan gempuran rob tahunan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-2/feed/ 0 44229
Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/ https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/#respond Tue, 26 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43971 Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama. Suatu...

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama.

Suatu kebetulan, perjalanan saya lakukan saat hari kerja, sehingga lalu lintas kendaraan tidak terlalu ramai. Bisa dibayangkan jika akhir pekan, jalan protokol kota dan kampung sekitar akan macet. Membuat saya kurang puas menikmati momen.

Kemacetan terjadi bukan karena hilir mudik warga, melainkan mobilitas wisatawan dengan armada bus besar yang memenuhi badan jalan. Masyarakat kota lebih memilih tinggal di rumah. Sekalinya mereka pergi pun akan menuju luar kota.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Tampak depan Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Setibanya di Kampung Gedangan, saya lekas menuju sisi timur Jalan Pengapon. Di antara bangunan-bangunan indis yang menghiasi sepanjang jalan, tujuan utama saya ada di depan mata dan saling berhadapan. Keduanya adalah Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus.

Gereja Katolik Pertama di Kota Semarang

Cuaca panas Kota Semarang tak menjadi penghalang bagi saya untuk berkunjung ke gereja tersebut. Setelah mendapat izin dari ibu paruh baya, yang ternyata koster gereja, lensa kamera tak henti bekerja.

Ingin menyaksikan keindahan secara dekat. Itulah alasan utama saya berkunjung. Saat perlahan melangkahkan kaki memasuki gereja, mata dibuat terbelalak dengan keindahan ornamen yang ada. 

“Wah. Depan saja indah. Ternyata bagian dalam lebih indah dan menawan,” begitu kira-kira kalimat pertama yang saya ucapkan.

Di tengah asyik mengamati detail ornamen, muncul ingatan untuk mencari tahu masa lalu gereja dan susteran di kampung lawas Gedangan itu. Saya pun menghubungi seorang rekan, Albertus Kriswandono, untuk mendapat jawaban atas rasa penasaran saya.

Menurut dia, Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dibangun atas dasar keprihatinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, atas kondisi umat Katolik di Hindia Belanda yang harus beribadah secara sembunyi-sembunyi. Mereka melakukan hal tersebut lantaran takut terhadap cengkeraman kuasa Vereeniging Oost-Indie Compagnie (VOC), sebagai akibat kebencian VOC terhadap agama Katolik pascaperang antara Belanda-Spanyol. Banyak imam Katolik dipenjara, sehingga misa tidak bisa dilakukan terang-terangan.

Sekian lama tenggelam dalam perdebatan, Daendels yang dikenal kejam mengizinkan umat Katolik di Hindia Belanda kembali beribadah. Pada 8 April 1808, Gereja Katolik Vatikan lantas mengutus dua pastor misionaris, yakni Jacobus Nielsen dan Lambertus Prinsen ke Batavia. Dua hari kemudian, mereka merayakan misa umum di Batavia yang dihadiri ratusan umat Katolik.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Pintu masuk menuju ruang utama gereja/Ibnu Rustamadji

Misa perdana tanggal 10 April 1808 itu lantas dikenang sebagai hari kelahiran misionari Katolik di Hindia Belanda. Delapan bulan berselang, tepatnya 27 Desember 1808, Pastor Lambertus Prinsen tiba di Kota Semarang. Hanya saja,  umat Katolik di Semarang belum memiliki gereja sendiri. Misa pertama digelar dengan cara menumpang di Gereja Protestan “Blenduk” pada 18 Januari 1809.

Lazim terjadi jika satu gereja digunakan untuk ibadah dua agama secara bergantian, karena keterbatasan kemampuan umat. Mereka beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa adanya segregasi di gereja yang sama, tetapi dengan waktu yang berbeda. Kedua umat saling menghormati menghadapi kondisi tersebut.

Meski begitu, Pastor Prinsen memahami jika umatnya tidak bisa menumpang di gereja Protestan lebih lama. Pada 1825, ia kemudian berinisiatif membeli sebuah gedung berlantai dua—kini dikenal Semarang Contemporary Art Gallery di utara paradeplein atau Taman Srigunting saat ini—seharga 6.000 gulden. Setelah itu, misa pertama di gereja Katolik pertama di Semarang akhirnya digelar.

Ketika Gubernur Jenderal C.F. Paud berkunjung ke Kota Semarang tahun 1859, ia melihat tempat ibadah umat Katolik dalam kondisi memprihatinkan. Setelah terjadi perdebatan di kerajaan, akhirnya pemerintah menyetujui hibah dana sebesar 50.000 gulden. Hanya saja, dana baru turun sekitar 10 tahun kemudian.

Awal perencanaan gereja dibangun di Heerenstraat atau Jalan Letjend Soeprapto di dalam Kota Lama. Namun, karena lahan dirasa kurang luas, akhirnya rencana pembangunan dipindah ke areal kebun gedang (pisang) di sisi timur kota. Warga lalu biasa menyebut kedua bangunan itu Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dan Susteran St. Fransiskus Gedangan.

Beragam Tantangan sepanjang Pembangunan Gereja

Proyek pembangunan berjalan perlahan lantaran adanya permasalahan penggunaan lahan dan dana untuk membiayai pembangunan gereja. Setelah masalah teratasi, akhirnya upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan oleh Pastor Lijnen pada 1 Oktober 1870.

Akan tetapi, masalah berikutnya muncul. Hasil perhitungan dana hibah tidak mencukupi pembangunan. Pastor Sander kemudian menggalang dana dengan menjual tanah dan bangunan gereja yang lama. Setelah mendapat sumbangan dana dari seorang dermawan, proyek pembangunan gereja pun dilanjutkan. W. van Bakel dipercaya sebagai perancang gereja. Ia lantas mendesain gereja bergaya Neo-Gothic.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Sudut kiri altar/Ibnu Rustamadji

Pada 12 Mei 1873, saat pembangunan tengah berlangsung, tiba-tiba bagian atap gereja roboh tanpa diketahui penyebabnya. Alhasil, pihak berwenang memutuskan perubahan total rancangan gereja. Bagian depan yang sedianya berhias lonceng dan struktur gedung gereja yang monumental, harus dipangkas karena khawatir bahaya bencana alam,

Setelah melalui beragam tantangan, gereja Katolik ini akhirnya selesai. Tanggal 12 Desember 1875, gelaran upacara pentasbihan gereja Katolik Kota Semarang digelar. Gereja Katolik Gedangan Kota Semarang menjadi gereja Katolik terindah di Hindia Belanda saat itu, jauh sebelum Gereja Katedral Batavia (Jakarta) dibangun.

Warna merah pada bangunan gereja sejatinya bersumber dari ekspos batu bata merah yang didatangkan langsung dari Eropa dengan kapal dagang. Bagian pintu dan jendela tetap bergaya Neo-Gothic seperti rancangan awal. 

Gereja ini semakin menawan dengan adanya patung Pastor Lijnen, sang peletak batu pertama pembangunan gereja, berdiri di sudut barat daya. Orgel kuno buatan 1903 masih bertengger apik di balkon—di atas pintu masuk utama— menghadap altar. Sisi kanan dan kiri terdapat panil lukisan kisah Perjanjian Baru dan penggalan doa dalam bahasa Belanda.

Pilar bundar di bagian tengah gereja dan deretan kaca patri bergambar santo semakin memberikan kesan mewah. Altar pada bagian depan yang bergaya gotik diimpor langsung dari Düsseldorf, Jerman. Namun, kondisinya masih terawat dan terjaga meski kini tidak lagi digunakan.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Gedung pastoran Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Puas mengabadikan keindahan di bagian dalam gereja, tidak lupa saya mampir sejenak di pastoran yang berada tepat di samping gereja. Salah satu uskup Pastoran Gedangan yang cukup terkenal dari kalangan pribumi adalah Monsinyur Mgr. Soegijapranata, S.J. Sebuah kehormatan bagi saya dapat menyaksikan jejak Romo Soegija di Kota Semarang.

Matahari mulai bergeser ke ufuk barat. Saya bergegas menyambangi gedung susteran yang terletak persis di seberang Gereja Katolik Gedangan. Menurut catatan yang Kriswandhono miliki, gedung susteran tersebut berusia lebih tua. Paling tua di Gedangan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/feed/ 0 43971
Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/ https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/#respond Fri, 22 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43520 Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik...

The post Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik Laweyan..

Hilir mudik warga Kampung Laweyan tidaklah sesering warga Kampung Banaran Sukoharjo, yang melalui Laweyan untuk bekerja di Solo. Keramaian Kampung Laweyan dimulai menjelang senja. Mereka lebih memilih beraktivitas di sore hari. Sekadar melepas lelah setelah bekerja mbatik (membuat batik) dengan bercengkerama di pinggir jalan kampung.

Berbeda dengan mbok mase—sebutan untuk saudagar batik Kampung Laweyan—lebih memilih bersantai di kediamannya yang bergaya indis, di balik tembok tebal setinggi empat meter. Hal ini lazim karena pabrik batik tulis Laweyan ada di belakang kediaman mbok mase. Para saudagar tidak perlu setiap hari keluar rumah untuk mengontrol produksi batik.

Masing-masing saudagar Laweyan memiliki ciri khas batik tulis dengan kerumitan pola yang berbeda. Ada satu saudagar Laweyan yang cukup mentereng di abad ke-18 hingga namanya berkibar di Eropa, yakni Tiga Negeri. Di kawasan Tiga Negeri Laweyan inilah tempat bunker Setono berada dan akan saya jelajahi.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Bocah-bocah bersepeda di gang sempit Kampung Laweyan/Ibnu Rustamadji

Mencari Bunker Setono

Deretan tembok tebal dan tinggi Laweyan senantiasa menemani sepanjang perjalanan. Hanya tampak satu pintu regol kayu jati sebagai akses masuk utama. Namun, jika mendapat izin menengok ke dalam, kita bakal menjumpai kediaman bergaya indis lengkap dengan kemewahannya. 

Tidak semua saudagar Laweyan membuka pintu untuk berkunjung secara bebas. Harus izin dahulu meski sekadar ingin melihat. Tidak boleh asal menyelonong masuk dan wajib menghormati tuan rumah. Mereka juga butuh kenyamanan dan privasi untuk keluarga, sehingga harus saling memahami. Hal inilah yang menjadikan Kampung lawas Laweyan menarik untuk dijelajahi.

Setibanya di Jalan Tiga Negeri Laweyan, saya dikejutkan delapan anak berkumpul memenuhi “gang senggol” kampung. Awalnya saya kira ada kegiatan warga, ternyata tidak. Mereka tengah sibuk berboncengan sepeda ontel. Saya mengobrol sambil memotret kekocakan mereka dalam lensa kamera.

Tidak banyak warga, hanya sepeda motor yang terparkir mepet di dalam gang yang saya jumpai. Gang di dalam Kampung Laweyan sejatinya dibangun hanya sebagai penghubung antarkediaman saudagar. Tak ayal jalanan hanya bisa dilalui dua orang berjalan kaki.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Gapura regol kayu berwarna kuning di ujung gang Jalan Tiga Negeri/Ibnu Rustamadji

“Oh, ikut gang ini terus mentok ada regol kayu kuning. Sebelahnya ada gang ke selatan, ikuti terus nanti rumahnya di barat jalan,” begitu kiranya arahan warga menuju rumah bunker Setono. 

Di ruas jalan yang sama, tepatnya RT 02 RW 11, rumah bunker Setono yang tersisa di kampung lawas ini ada di hadapan mata. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengetuk pintu untuk izin berkunjung.

Tampak pria paruh baya dengan ramah membukakan pintu sembari mempersilakan masuk. Beliau adalah Harun Mulyadi, pewaris rumah bunker Setono. Sembari menunjukan lokasi ndalem ageng dan bunker, ia banyak bercerita mengenai masa lalunya selama mendiami rumah keluarganya ini. 

Ia bercerita, jika rumahnya merupakan warisan Bei Kertoyudo, seorang priyayi Kerajaan Pajang di Kartasura. Namun, ia tidak tahu persis kebenaran maupun kapan rumah tersebut dibangun. Ia menambahkan, kedua orang tuanya pun tidak tahu-menahu sosok Bei Kertoyudo. Ia menduga, Bei Kertoyudo adalah kakek buyutnya.

Sejarah Bunker Setono sebagai Jalur Perdagangan Opium di Solo

Sembari asyik mengobrol, sampailah kami di pintu bunker Setono. Tepat di depan krobongan ndalem ageng. Tampak meja bundar dengan alas kayu persegi panjang, sebagai kamuflase pintu masuk bunker. Perlahan kami pindahkan meja dan papan guna melihat bunker lebih dekat.

Tampak dari atas, pijakan tangga batu merah siap menyambut di tengah kegelapan total. Saya lantas turun ke bawah bunker dan mencari jalur penghubung menuju kediaman lain di sekitarnya. Ada satu bukaan mengarah ke timur, diduga jalur penghubung yang kini telah ditutup tembok. 

Dugaan saya selama ini rupanya benar. Bunker Setono sejatinya dibangun untuk penyelundupan opium dari Bandar Kabanaran di selatan rumah bunker. Saat ini situs Bandar Kabanaran yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo dekat Laweyan tampak memprihatinkan.

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Opium kala itu dibawa pedagang menuju Laweyan dengan kapal jung (sejenis kapal layar) yang berlabuh di Bandar Kabanaran. Rumah bunker Setono adalah pusat transit opium dari dermaga sebelum dikirim kepada para saudagar Laweyan. Penggunanya buruh pekerja batik, sebagai tamba lara atau penyehat setelah lelah bekerja seharian.

Rumah bunker Setono di Laweyan tak ubahnya Rumah Merah Lasem. Sama-sama sebagai pusat perdagangan opium di abad ke-18. Opium dikirim dengan kapal jung supaya terbebas dari pajak pemerintah. Di beberapa sudut Kota Solo, terdapat opiumverkooplast atau tempat penjualan opium. Kampung Laweyan merupakan salah satu pusat perdagangan opium yang menjadi komoditas tersohor di Solo saat itu. 

Sekadar informasi, opium atau candu merupakan bagian dari narkotika dan obat berbahaya. Tidak disarankan untuk mencari atau mengonsumsi bunga opium. Narkotika, obat berbahaya dan sejenisnya menjadi legal ketika digunakan untuk keperluan medis dan kimiawi. Menjadi ilegal, ketika diedarkan dan disalahgunakan. 

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Puas mengabadikan detail bunker, saya putuskan kembali ke atas. Sebab, jika terlalu lama semakin pengap. Setibanya di atas bunker, Harun menambahkan sejatinya bunker ini saling terhubung ke beberapa rumah saudagar di sisi utara. Fakta yang saya temukan dengan cerita Harun Mulyadi memiliki kecocokan. Hanya saja, sudah banyak bunker di rumah lain yang ditutup. Selama ini Harun Mulyadi mewarisi dan merawat semampunya.

Kurangnya literasi dan data pendukung membuatnya kesulitan untuk bercerita lebih banyak. Ia hanya bisa berbagi pengalaman dan cerita kehidupannya bersama rumah bunker Setono. Menurut cerita tutur keluarga, bunker Setono sudah ada sejak tahun 1625 atau mungkin lebih tua. Saya menduga, dari sisi desain, bunker ini dibangun pada awal 1810 sebagai pendukung perdagangan di Bandar Kabanaran.

Menurut Harun, bunker dibangun untuk menyimpan harta, seperti emas dan kain batik tulis supaya tidak dicuri, terutama oleh saudagar batik lain. Dikhawatirkan adanya penjiplakan motif batik tulis.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Tampak jalur penghubung di dalam bunker Setono yang kini ditutup/Ibnu Rustamadji

Bagi saya, informasi tersebut kurang masuk akal. Alasan pertama, kain batik tulis tidak mungkin disimpan di bunker dengan kelembapan tinggi. Kain tersebut pastinya rusak dan mengurangi nilai jual ke Eropa kala itu. Alasan kedua, setiap saudagar batik tulis memiliki ciri khas dan kerumitan berbeda. Sedikit kemungkinan mereka akan mencuri. Tembok setinggi empat meter menjadi pertanda jelas jika mereka semaksimal mungkin melindungi karyanya tanpa harus menyimpannya di dalam bunker.

Berbeda cerita, jika para saudagar berkolaborasi menciptakan kain jarik Tiga Negeri. Jarik Tiga Negeri merupakan hasil karya saudagar Lasem sebagai pewarna merah darah ayam, Pekalongan sebagai penyedia kain mori dan pewarna biru,  dan Laweyan sebagai pusat pewarna cokelat sogan.

Bunker Setono kemudian beralih fungsi sebagai jalur pelarian pejuang ketika agresi militer Belanda di Solo. Pascakemerdekaan, banyak bunker mulai ditutup lantaran marak terjadi perampokan melalui bawah rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/feed/ 0 43520
Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/ https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/#respond Sat, 16 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43050 Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali. Kampung Recosari...

The post Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali.

Kampung Recosari berada di persimpangan Jalan Pandanaran, yang notabene merupakan jalan utama antara Semarang–Surakarta, serta Jalan Kutilang. Meski di pinggir jalan protokol, keberadaan Kampung Recosari sedikit lebih menjorok ke dalam dibanding jajaran ruko di depannya.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Gapura bekas kompleks makam Belanda yang kini menjadi Kampung Recosari/Ibnu Rustamadji

Patokan gamblang Kampung Recosari adalah gapura berwarna hijau pupus berinskripsi “Memento Mori 1939”. Gapura ini sejatinya bukan gerbang masuk perkampungan, melainkan pintu masuk Europese Begraafplaats atau makam Eropa Belanda. Makna inskripsi tersebut adalah “Ingatlah pada Kematian”. Selain di Recosari, ada makam Belanda lainnya di Boyolali, seperti kompleks makam keluarga milik Clara Hortense Juch di tengah kota dan Marius van Braam di Kampung Pambraman.

Sebelum menjelajah lebih jauh, saya sempat berpikir mengenai penamaan Kampung Recosari. Apakah “Recosari” diserap dari kata “reco” atau “arca” dalam bahasa Jawa, mengingat dahulu di dalam kompleks makam terdapat puluhan monumen kematian yang mungkin dianggap warga sebagai arca?

Dugaan saya karena munculnya Kampung Recosari yang bertepatan dengan pembongkaran seluruh makam pada medio 1970. Alasannya tidak lain dampak  perkembangan kota dan penataan kampung. Setelah pembongkaran, beberapa nisan dipindahkan ke kompleks TPU Sonolayu. Sisanya tidak diketahui rimbanya.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Jalan menuju bekas kompleks makam Belanda di Recosari/Ibnu Rustamadji

Riwayat Makam Belanda Recosari dan Wabah Pes

Saya menjelajahi kampung sekalian bersepeda pagi. Layaknya kampung pada umumnya, rumah warga berjajar di sepanjang jalan menjadi pemandangan setiap hari. Hanya saja, tidak ada sesepuh warga setempat yang bisa saya jumpai waktu itu. 

Alhasil, saya hanya bisa memotret kondisi kampung dan lokasi yang dahulu adalah tanah pemakaman—kini menjadi lahan kosong. Hanya ada satu ruas jalan utama di dalam kampung, sisanya jalan buntu dibatasi sungai. Jelas jika sungai dan pintu gapura di sisi barat membatasi luas wilayah kompleks makam.

Kompleks makam yang kini menjadi Kampung Recosari direnovasi sekitar tahun 1939, sebagai akibat peningkatan jumlah warga Belanda di Boyolali. Selain itu juga untuk mengakomodasi makam Belanda yang sudah penuh sesak di tengah kota, yang kini menyisakan makam Clara Hortense Juch dan Carel Simon. 

Di sisi utara kompleks makam Kampung Recosari terdapat kompleks makam Tionghoa yang menghadap ke Selatan. Saat ini hanya menyisakan dua bong atau makam Tionghoa milik sepasang suami istri yang tinggal di Jl. Merbabu, Kampung Singoranon, Boyolali.

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Lokasi bekas pemakaman Belanda yang kini menjadi permukiman padat/Ibnu Rustamadji

Pemerintah kolonial Belanda di Boyolali kala itu, dalam membuka tanah pemakaman, sudah melalui beberapa pertimbangan, antara lain harus ada di pinggiran kota dan tidak boleh terlalu dekat dengan permukiman. Dasarnya adalah pertimbangan kesehatan dan kenyamanan warga. Tentu banyak hewan liar bersarang meski pemakaman terlihat mewah dan terawat, sehingga sangat rentan muncul wabah penyakit menular, seperti pes yang disebabkan bakteri Yersinia pestis atau dikenal dengan wabah hitam (Black Death).

Penularan pes berasal dari bangkai tikus yang hidup di sekitar pemakaman dan perkebunan. Tikus hidup di tempat kotor, lalu mati di areal pemukiman dan sangat cepat penyebaran infeksinya. Tak ayal pemerintah memutuskan membangun kompleks makam, seperti di Kampung Recosari Banaran saat ini, sedikit jauh dari permukiman dan pusat kota.

Merujuk informasi dari Hans Boers, kawan saya di Belanda, ditemukan satu laporan tahun 1892 mengenai pemakaman Dr. J.H.D.G. Sanger, seorang dokter umum kelahiran Boyolali yang tinggal di Klaten. Berdasarkan laporan tersebut, diketahui ia wafat tanggal 13 Agustus 1892, pukul 13.00 siang, tetapi baru ditemukan sore hari oleh asistennya.

Ia tidak menderita sakit sebelumnya. Namun, ia ditemukan tewas dengan sepucuk revolver dan surat wasiat di samping jasadnya. Ia murni tewas bunuh diri dengan cara menembak mati, diduga karena depresi. Hal itu diperkuat dalam laporan, meski tidak ditemukan di mana anak dan istrinya.

Malam harinya, jasad sang dokter dibawa ke Boyolali menggunakan kereta jenazah lalu dikubur di makam Eropa Belanda—kini Kampung Recosari—keesokan harinya. Upacara pemakaman sang dokter dilakukan sederhana sesuai permintaan keluarga di Boyolali.

Sayangnya, laporan tersebut tidak menyebut alamat kediaman keluarga. Terlebih tidak ada satu pun monumen atau batu nisan yang tersisa. 

  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali

Menemukan Mausoleum Terakhir di Boyolali

Selanjutnya saya menjelajahi bagian utara pemakaman. Makam Ringin, begitu kira-kira namanya. Saat melangkahkan kaki masuk, mata saya langsung tertuju pada dua makam unik di sisi selatan dan tengah. Pucuk dicinta ulam pun tiba; di hadapan saya adalah mausoleum

Hanya saja, keduanya tidak ada plakat batu nisan yang bisa saya identifikasi. Hans mengkonfirmasi itu Memang tiada informasi orang Belanda yang wafat dikebumikan di makam Ringin Kampung Recosari. Ada dugaan plakat dibongkar oleh keluarga untuk dikremasi, atau memang sengaja tidak dipasang.

Pada mausoleum di sebelah selatan, terdapat satu peti mati; sedangkan mausoleum di tengah memiliki dua peti mati. Uniknya kedua mausoleum itu membujur ke utara–selatan selayaknya makam Islam Jawa lain di sekitarnya. Bukaan pintu kedua mausoleum menghadap ke selatan, dengan ekspos batu bata berbentuk setengah lingkaran di bagian bawah. Ada dugaan bentuk tersebut merupakan sejatinya merupakan tempat plakat berada.

Meski begitu, saya merasa puas dan bangga masih bisa ikut menjaga mausoleum terakhir di pusat kota Boyolali. Puas memotret kedua mausoleum tersebut, penjelajahan berlanjut. Saya mencari kediaman peninggalan warga Belanda yang ada di Kampung Recosari.

  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
  • Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali

Menelusuri Wisma Bhayangkari

Setelah berkeliling kampung selama 30 menit, tibalah di tujuan berikutnya, yakni  Wisma Bhayangkari. Gedung tinggi berwarna kekuningan ini terimpit deretan ruko, tepat di tepi Jalan Pandanaran. 

Sebenarnya gedung tersebut cukup menarik perhatian bagi siapa pun yang melintas di depannya. Hanya saja, tidak diketahui siapa pemilik awal Wisma Bhayangkari. Ada dugaan milik tuan tanah antara keluarga Juch, keluarga van Braam, keluarga Rademaker, atau keluarga Dezentje. 

Ketika masuk untuk mengabadikan lebih detail lewat lensa kamera, saya tiba-tiba terpikir kampung lawas Bledog, tempat tinggal keluarga Juch.  Kampung Bledog kemungkinan saat ini menjadi Kampung Ngledok, tepat di timur Kampung Recosari. Kedua kampung ini persis bersebelahan. 

Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali
Tampak depan Wisma Bhayangkari yang sempat menjadi hunian Belanda/Ibnu Rustamadji

Pada abad ke-18 hingga ke-19, sering terjadi salah penulisan nama tempat sehingga dapat dimaklumi. Lokasi gedung Wisma Bhayangkari tepat di depan kompleks makam Belanda (kini gapura Memento Mori Kampung Recosari).

Gedung ini paling megah di antara bangunan lain di sekitarnya, bahkan mungkin satu-satunya di Kampung Recosari. Tampak dari depan saja kemewahan sudah sangat kentara. Begitu menengok ke dalam, semakin mewah dengan ekspos hiasan kelopak bunga di ruang depan.

Hanya ada tiga kamar tidur utama di dalam, sisanya di paviliun timur gedung utama. Saat ini gedung Wisma Bhayangkari dipergunakan sebagai ruang rapat anggota polisi wanita Polres Boyolali. Meski begitu, tidak ada perubahan fisik secara signifikan.

Dari Wisma Bhayangkari, saya putuskan kembali ke rumah melalui jalan antarkampung di sekitar Kampung Recosari. Tujuannya melihat peninggalan lain yang terlewatkan sebelumnya. Beberapa saya temukan, tetapi mayoritas sudah berubah bentuk dan fungsi, menyisakan sedikit keaslian.

Sepanjang jalan kampung yang saya lewati, saya tidak menemukan lagi makam Belanda selain di Kampung Recosari. Kalaupun ada, makam tersebut berbentuk makam pada umumnya, karena beberapa pria Belanda yang tinggal di Boyolali memiliki istri Jawa. Ketika ia wafat, kemudian dimakamkan di pemakaman Islam Jawa sekitar tempat tinggal mereka. Ini lumrah terjadi. Tidak banyak makam keluarga Belanda di Boyolali.

Saya berharap, semoga keberadaan kompleks Europese Begraafplaats, mausoleum, dan Wisma Bhayangkari tetap terjaga di masa mendatang. Melindungi dari perusakan atau vandalisme, sudah termasuk ikut menjaga dan melestarikan warisan budaya. Warisan budaya negara lain yang ada merupakan bukti perkembangan zaman suatu wilayah. Apabila warisan tersebut terawat, tentu penduduk kampung mendapat nilai positif dari masyarakat luar. Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Makam Belanda Tersisa di Kampung Recosari Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-makam-belanda-tersisa-di-kampung-recosari-boyolali/feed/ 0 43050
Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang https://telusuri.id/melihat-lebih-dekat-jejak-saudagar-kulit-hewan-di-semarang/ https://telusuri.id/melihat-lebih-dekat-jejak-saudagar-kulit-hewan-di-semarang/#respond Sat, 02 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42965 Kampung lawas tidak selalu membosankan ketika dijelajahi. Selalu ada kejutan yang selama ini tersembunyi dan menunggu untuk diceritakan. Hal tersebut sering saya alami setiap kali mengunjungi kampung lawasan. Tidak hanya kejutan dari warganya, tetapi juga...

The post Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung lawas tidak selalu membosankan ketika dijelajahi. Selalu ada kejutan yang selama ini tersembunyi dan menunggu untuk diceritakan. Hal tersebut sering saya alami setiap kali mengunjungi kampung lawasan. Tidak hanya kejutan dari warganya, tetapi juga tabir cerita masa lalu kampung itu sendiri.

Kali ini saya menjelajahi kampung lawas Kulitan di Kota Semarang. Seperti halnya kampung, gang kecil diapit rumah dan keramaian anak-anak menjadi pemandangan lumrah.

Dulunya, kampung ini adalah tanah milik satu keluarga pengusaha kulit. Warga yang tinggal sekarang adalah keturunan Tasripin, sang pengusaha kulit sekaligus pendiri Kampung Kulitan Semarang. Selain itu ada juga warga pendatang yang menempati gang-gang kecil di sekitarnya. Mereka hidup berbaur, sehingga cukup sulit untuk mengetahui siapa di antara mereka yang benar-benar keluarga Tasripin.

Untungnya, saya didampingi Albertus Kriswandono dan Cahyono Raharjo, rekan sekaligus sejarawan Kota Semarang. Tujuannya supaya saya mendapat cerita langsung di kampung lawas tersebut.

Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang
Jalan sempit di tengah Kampung Kulitan Semarang/Ibnu Rustamadji

Gurita Bisnis Tasripin di Semarang

Kampung Kulitan ada di persimpangan Jalan Kampung Kulitan dan Jalan M.T. Haryono, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah. Letaknya ada di dalam gang sempit. Gapura sederhana bertuliskan “Kp. Kolitan” di antara pertokoan menjadi penanda. 

Jika tidak jeli melihat, pasti akan terlewat. Jalan di Kampung Kulitan hanya satu ruas, terimpit rumah bergaya Melayu-Belanda milik keluarga Tasripin yang tinggal berhadapan satu sama lain. Hampir tidak ada jarak antara jalan kampung dan rumah di sepanjang jalan. Menilik gaya rumahnya, menunjukan bahwa Tasripin bukan pengusaha sembarangan. Mereka tak ubahnya Oei Tiong Ham, sang raja gula dari Semarang.

Tasripin memiliki nama lengkap Tasripin bin Tassimin Koetjeer. Ia putra Tassimin Koetjeer, seorang pedagang hasil bumi dan penyamakan kulit dari Kecamatan Karanganyar, Kebumen. Menuai sukses di Kebumen, keduanya lantas mengadu peruntungan di Kota Semarang.

Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang
Detail keindahan motif ulir bagian beranda depan salah satu rumah Tasripin di Kampung Kulitan/Ibnu Rustamadji

Awal meniti usaha, mereka membuka rumah jagal hewan dan gudang penyimpanan kulit di Kampung Bleduk Semarang. Kulit tersebut kemudian diolah menjadi bahan pembuatan wayang kulit, dengan gaya campuran antara Yogyakarta dan pesisir. Lambat laun dikenal sebagai wayang Tasripin. Penyamakan kulit menjadi wayang menuai sukses. Ia kemudian mengembangkan bisnis di bidang ekspor kapuk, kopra, dan vanili. 

Pada 1900, ia mendirikan kantor dagang bernama Tasriepin Concern hingga berakhir tahun 1950. Ia harus membeli tanah di Ungaran, Srondol, dan daerah pinggiran kota untuk membuka perkebunan yang ia miliki. Selain membuka areal perkebunan, ia juga mendirikan gudang untuk disewakan kepada pemerintah Belanda maupun pengusaha Tionghoa. Banyak pula tanah yang dimiliki dibangun hunian untuk disewakan kepada orang Eropa.

Tanah perkebunan sangat luas. Setengahnya untuk rumah singgah keluarga dan sisanya hunian pekerja perkebunan yang berasal dari pinggiran Kota Semarang. Pekerja perkebunan turut diperhatikan oleh keluarga Tasripin, karena mau bekerja di perkebunan dengan upah yang tidak seberapa kala itu.

Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang
Salah satu rumah paling besar di Kampung Kulitan. Diduga rumah milik Tasripin/Ibnu Rustamadji

Puncak kejayaan usaha keluarga Tasripin terjadi pada 1910. Tanggal 11 Maret, ‘s Rijks. Ethnographic Museum di Leiden menerima hadiah dari Tasripin. Hadiah itu berupa 12 kulit binatang dengan representasi warna layaknya wayang kulit melalui E.L.K. Schmulling yang notabene seorang pengawas pemerintah Belanda di Demak.

Empat tahun kemudian, Taslamet, salah satu putranya, memenangkan undian lotre di Semarang. Sebagian uang yang didapat ia gunakan untuk mengembangkan usaha keluarga, termasuk mendirikan pabrik es batu di Jalan Cipto Mangunkusumo Semarang, serta memperluas usaha perkebunan dan properti. 

Sebaran wilayah kampung yang dimiliki keluarga Tasripin antara lain Kampung Kulitan, Kampung Kepatihan, Kampung Wot Prau, Kampung Gendingan, dan beberapa kampung lawas lain di pinggiran Semarang. Ia memilih menghuni Kampung Kulitan, tempat sang ayah tinggal.

Selain hasil bumi dan penyamakan kulit, Tasripin juga memiliki armada kapal dagang di Pelabuhan Kali Semarang. Cerita kesuksesannya terdengar Ratu Wilhelmina di Kerajaan Belanda. Ketika Feestvreugde Koningin Verjaardag atau perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina di Kerajaan Belanda, keluarga Tasripin hadir diwakili Amat Tas’an bin Tasripin dan Mohammad Ajoeb.

Kedekatan Tasripin dengan Kerajaan Belanda membuatnya mendapatkan uang koin bergambar wajah sang ratu di kedua sisi. Tasripin pun mengabadikan uang koin tersebut dengan cara dipasang di lantai rumah.

Total kekayaan Tasripin hingga tahun 1919 sekitar 45 juta Gulden atau setara kira-kira 411 triliun rupiah. Kekayaan ini bersumber dari semua usaha di Kota Semarang dan usaha keluarga Tassimin Koetjeer di Kebumen. Keluarga Tasripin diduga memiliki andil terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI)—yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI)—dan kepengurusan Nahdlatul Ulama Semarang. Gedung SI Semarang di Jalan Ligu Selatan, Kampung Gendong Utara, Semarang Timur, disebut-sebut juga dibangun dengan biaya dari Tasripin. Ia pula yang meresmikan pembukaan gedung tersebut.

Sabtu pagi, 9 September 1919, Tasripin meninggal dunia di usia 85 tahun. Kabar pertama tersiar dari keluarga yang tinggal di Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo dan Pandeyan Lamper, Semarang. 

Pemakaman dilaksanakan Minggu pagi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang. Mulanya direncanakan upacara pemakaman yang mewah. Namun, keluarga lebih memilih upacara pemakaman sederhana. Masa hidup Tasripin dikenal memiliki karakteristik bersahaja, seperti kampung yang ia tempati bersama keluarga.

Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang
Rumah paling besar tampak dari sisi timur di depan rumah sang anak/Ibnu Rustamadji

Jejak Lain Tasripin

Sayang, kejayaan Tasripin tidak sebanding dengan kondisi Kampung Kulitan saat ini, yang terjepit bangunan-bangunan ruko. Begitu pun yang terjadi di luar Kampung Kulitan. Seperti di kawasan Wot Prau. Semua peninggalan sudah beralih rupa, kecuali papan nama jalan Kampung Wot Prau. 

Namun, saat keluar dari Jalan Wot Prau ke arah utara menuju Kota Lama, tiba-tiba mata saya tertuju pada satu rumah peninggalan Belanda bergaya indis. Setelah mendapat izin pemilik rumah, lensa kamera saya tak henti mengabadikan setiap detail yang ada. 

Rumah yang saya telusuri tersebut diduga masih berkaitan dengan Tasripin. Hal itu disebabkan karena kampung ini dulunya merupakan bagian dari kampung lawas Wot Prau milik Tasripin. Jarak wilayah antarkampung pun tidak terpaut jauh.

Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang
Salah satu rumah indis di Jalan Wot Prau, sebelah timur Kampung Kulitan Semarang/Ibnu Rustamadji

Tidak semua kampung milik satu keluarga layaknya Tasripin. Ada juga yang milik keluarga Oei Tiong Ham di Jalan Gergaji. Masing-masing kampung lawas memiliki cerita masa lalu yang tidak kalah menarik. Kalau diceritakan semua, tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menjelajahi setiap sudut kota. Warga asli Semarang pun belum tentu tahu semua sisi kotanya. Mereka paham wilayah kelurahan maupun kecamatan, tetapi tidak mengenal kampung lawasnya. 

Tidak perlu berkecil hati jika mendengar cerita kelam kampung lawas di masa lampau. Justru menjadi pelajaran yang lebih baik agar peristiwa kelam tersebut tidak terulang di masa depan. Menjadi warga kampung lawas pun tidak selamanya kurang pergaulan atau serba ketinggalan, bahkan bangga sebagai pewaris peradaban kampung lawas dan peninggalannya. 

Semoga seluruh kampung lawas di Indonesia mampu bertahan di tengah semakin gilanya pembangunan kota modern.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Lebih Dekat Jejak Saudagar Kulit Hewan di Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-lebih-dekat-jejak-saudagar-kulit-hewan-di-semarang/feed/ 0 42965