Idhy Adhyaninda Sugeng Mulyandini https://telusuri.id/penulis/idhy-adhyaninda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 03 Dec 2022 09:22:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Idhy Adhyaninda Sugeng Mulyandini https://telusuri.id/penulis/idhy-adhyaninda/ 32 32 135956295 Sepinya Aktivitas di Boyolali saat PPKM https://telusuri.id/sepinya-aktivitas-di-boyolali-saat-ppkm/ https://telusuri.id/sepinya-aktivitas-di-boyolali-saat-ppkm/#respond Wed, 01 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29637 Tepat dihadapanku, terpampang sebuah kertas berisi angka. Sebuah kertas yang seringkali dibagikan ketika tahun baru telah datang. Ya, apalagi jika bukan sebuah kalender yang telah penuh dengan coretan agenda. Sekarang angka tepat berada di barisan...

The post Sepinya Aktivitas di Boyolali saat PPKM appeared first on TelusuRI.

]]>
Tepat dihadapanku, terpampang sebuah kertas berisi angka. Sebuah kertas yang seringkali dibagikan ketika tahun baru telah datang. Ya, apalagi jika bukan sebuah kalender yang telah penuh dengan coretan agenda. Sekarang angka tepat berada di barisan bawah, menandakan bulan baru akan segera menyapa. “Tanggal 29, hmmm,” aku bermonolog dengan pikiran yang mulai berkelana. Hari ini, tepat sebulan setelah aku pulang dari kampung halaman. 

Mungkin bagi sebagian orang, hal ini akan terdengar biasa saja. Namun, bagiku tidak. “Secuil kisah terukir dibalik setiap perjalanan,'”sebuah kalimat yang selalu aku percaya. Termasuk perjalananku kali ini, dimana aku harus membelah jalan di tengah-tengah situasi corona yang tengah merebak. Parahnya lagi, tepat di tanggal ini sebuah regulasi telah diberlakukan. Apalagi kalau bukan PPKM, yang menyebabkan beberapa jalan harus ditutup dengan sengaja. 

Jika kau berpikir aku adalah seorang pelanggar, dapat dipastikan itu salah besar. Tak ada niat setitikpun untukku tak mematuhi sebuah aturan, hal ini terjadi sebab rasa ketidaktahuan. Mungkin, akibat dari kurangnya aktivitas kehidupan televisi di dalam rumah. Hingga pada akhirnya informasi menjadi minim untuk didapatkan. 

Persawahan di daerah Pengging, Kecamatan Banyudono, Boyolali via TEMPO/Denny Sugiharto

Sedikit menantang adrenalin, sungguh. Awal perjalanan sepeda motor ini terus melaju. Lancar, tanpa ada kemacetan yang mengganggu. Sehingga kupikir “Ah akhirnya masyarakat bisa sadar untuk tidak bepergian terlebih dahulu.” Namun, kesenggangan jalan semakin membuatku bingung. Barulah jawaban atas pertanyaan di otak terjawab ketika melihat jalan yang ditutup. 

Jalan yang ditutup tersebut ditemukan ketika memasuki kota Boyolali. Akhirnya tanpa pikir panjang, aku membawa sepeda motor ini untuk mencari jalan lain. Melalui jalan kampung dan menjauhi jalan alternatif. Bermodalkan sebuah kata nekat, walau tidak tau arah, aku segera mengikuti motor dan mobil lain dengan percaya diri. Walau di dalam hati sedikit berdoa agar tidak nyasar ataupun tertangkap polisi. 

Setelah mengekor sedikit lama, akhirnya jalur yang kulalui menemukan sebuah titik terang. Dengan kata lain, ibuku—yang membonceng motorku—paham dan memastikan bahwa tersesat. Kami tiba di pasar Sunggingan. Melihat sekitar, aku menemukan sesuatu yang berbeda. Pasar ini ditutup, dan tak ada satupun toko atau warung yang berani untuk membuka tendanya. Sangat berbanding terbalik dengan yang ada di Semarang. Di sini benar-benar patuh akan peraturan. Tidak adanya kehidupan di pasar, membuat keadaan jalanan kembali lenggang. 

Patung Pahlawan di jalan menuju pintu masuk kawasan kompleks terpadu perkantoran Pemerintah Kabupaten Boyolali via TEMPO/Rizki Putra

Setelah beberapa belokan dan kembali menelusuri jalan desa, akhirnya aku menemukan alasan di balik patuhnya masyarakat di sini. Beberapa mobil sedang terparkir dengan rapi. Bukan sembarang mobil, melainkan mobil polisi yang tengah berpatroli. Ditambah lagi, terdapat sebuah tank dengan cairan desinfektan sebagai isi. Terlihat pula beberapa polisi dan TNI sedang memantau para pengendara dengan mata yang sedikit menelisik. Dan tentu saja kembali harap kulantunkan dalam hati. “Semoga tidak ada razia untuk kami.” 

Lagi-lagi Tuhan mendengarkan suara hatiku, dan mereka, para penjaga jalan tidak mengusik bahkan mengganggu. Beberapa pengguna sepeda juga meluncur dengan tersenyum. Menikmati lenggangnya jalan dengan oksigen bersih mengalir menuju paru-paru. Sungguh, seperti inilah suasana kota yang kuinginkan sedari dulu. Aman, nyaman, tidak bising, dan jauh dari asap bahkan debu yang dapat membuat kesehatan menurun. Kecepatan motor saat ini selalu dibawah angka enam puluh. Sengaja, ingin berlama-lama menelusuri jalan di bawah pohon-pohon yang teduh. Lagipula ibuku tak suka jika aku mengebut.

Menempuh perjalanan yang bisa dibilang cukup panjang, akhirnya kami berdua sampai di tempat tujuan. Berusaha tetap menjaga jarak, menjauhkan orang tersayang dari virus yang sedang marak. Menjaga rindu yang tertahan, agar seluruh rumah merasa aman. Semoga saja, kedatangan kami di sini tak membuat suasana menjadi bermuram durja. 

Ibu segera masuk ke salah satu kamar, untuk menyelesaikan beberapa urusan. Sedang aku hanya menunggu di kursi luar sembari menatap mereka dari kejauhan. Ditemani dengan secangkir teh hangat, dengan beberapa mangkuk buah disampingnya. Sesekali keponakan selalu berusaha untuk mendekat. Seperti dulu bermain bersama tanpa adanya sebuah sekat. Untung saja aku mampu menahannya, berusaha menghindarkan mereka dari virus yang mungkin saja aku bawa. “Huft, ya sudahlah pasrah,” ucapku dengan menghela nafas. 

Kurang lebih keperluan mendesak tersebut selesai dalam waktu dua jam. Tentu saja ada kegiatan pengisi perut sebagai jeda. Hitung-hitung sebagai energi tubuh untuk perjalanan pulang. Bertujuan agar aku dan ibu bisa selamat sampai rumah dengan keadaan sehat wal afiat. Begitu kata bibiku dengan kalimat yang sungguh perhatian. Berat hati kami berpamitan dan memutuskan untuk pulang. Dengan rasa yang sedikit berbeda tentunya. 

Terlepas dari kejadian di desa, perjalanan pulang kali ini juga membuatku sedikit tercengang. Sepanjang jalan dari desa hingga memasuki Kota Boyolali, benar-benar hanya sedikit kendaraan yang kutemui. Bahkan, toko-toko di sepanjang sisi jalan juga terlihat sudah tidak beraktivitas. Para karyawan mereka pulang tepat pukul 16.00. Jelas berbeda dengan Semarang yang masih melonggarkan jamnya hingga setelah adzan Maghrib berkumandang. Salut dan haru mulai menyeruak, kupikir masyarakat telah jenuh karena pandemi terlalu lama dan memilih untuk bertindak gegabah. Nyatanya, masih banyak warga yang taat aturan dan tidak egois dalam menuruti hawa nafsunya. 

Warga mencari ikan di Waduk Cengklik, Kecamatan Ngemplak, Kota Boyolali via TEMPO/Denny Sugiharto

Semoga dengan usaha yang seperti ini, dapat mengurangi angka pasien terjangkit. Dan doa paling serius yang kupanjatkan, semoga kasus COVID-19 cepat berakhir. 

Aamin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepinya Aktivitas di Boyolali saat PPKM appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepinya-aktivitas-di-boyolali-saat-ppkm/feed/ 0 29637
Sebuah Perjalanan Pelampiasan https://telusuri.id/sebuah-perjalanan-pelampiasan/ https://telusuri.id/sebuah-perjalanan-pelampiasan/#respond Tue, 23 Mar 2021 09:05:20 +0000 https://telusuri.id/?p=27466 Semua manusia pasti pernah dilanda gundah dan tentunya berteman dengan masalah. Bukan atas dasar keinginan, namun semuanya sudah diatur dalam suratan. Ditentukan oleh Tuhan dan dijalankan oleh kita para makhluk bernafas. Intisarinya sama, hanya saja...

The post Sebuah Perjalanan Pelampiasan appeared first on TelusuRI.

]]>
Semua manusia pasti pernah dilanda gundah dan tentunya berteman dengan masalah. Bukan atas dasar keinginan, namun semuanya sudah diatur dalam suratan. Ditentukan oleh Tuhan dan dijalankan oleh kita para makhluk bernafas. Intisarinya sama, hanya saja persoalannya pasti berbeda. 

Tidak memandang tua atau muda, kaya atau melarat, pria atau wanita, semuanya pasti pernah berduka. Begitu pula denganku, seorang gadis biasa yang tengah menginjak fase remaja. Telah melewati awal pubertas dan katanya hendak dewasa. Entahlah, sedikit rumit jika berbicara tentang usia. Apakah itu perlu dipermasalahkan? Hmmm, sepertinya tidak.

Aku tertunduk, melihat sepasang sepatu berwarna kelabu. Kakiku diam membisu, tak bergerak, sama seperti tubuhku yang kaku. Mataku terus menatap lurus, tak berkedip bahkan bisa dianggap membeku. Perlahan, angin sepoi menyapa halus menembus setiap inci dari pori-pori tubuh. Huft, aku mendengus, dan tak menunjukkan sedikit senyum.

Getar pada telepon genggam terus menyapa. Pahaku sedikit bergetar dibuatnya. Berbagai pesan muncul secara bersamaan, membuat emosiku semakin membludak. Segera saja, kumatikan data dan mengesampingkannya untuk beberapa saat. Aku, hanya butuh waktu sendiri agar tetap derana. 

Tanpa terasa bendunganku rubuh, karenanya air mataku terjatuh. Aku mengusapnya dengan buru-buru, takut-takut akan ada yang melihat dan menertawaiku. Walau kutau, saat ini aku hanya sendiri dengan sebuah kursi tunggu. Sudah sejam berlalu, tapi aku tetap setia terduduk. Tak menunggu, hanya mencoba merenung di sebuah fasilitas umum. 

Beberapa bus telah lalu lalang di hadapanku. Tak jarang beberapa diantaranya berhenti untuk bertanya apakah aku ingin bergabung. Namun jawabku tetap satu, sebuah gelengan dengan bibir mencoba tersenyum. Aku seperti orang linglung, tak heran jika beberapa penumpang berusaha untuk menegur. Aku berdalih, mengatakan bahwa aku sedang menunggu seorang tamu. Akhirnya, tentu saja mereka hanya akan mengangguk dengan lugu.

Priiittt!

Sebuah suara memekik membuyarkan ruang lamunan. Aku sedikit tersentak mendengarnya. Berkali-kali mengerjap mata hingga pandanganku tertuju pada seorang pria di tengah jalan. Pria yang tak lagi muda dengan sebuah peluit kecil dan bendera merah di tangan kanan, berfungsi untuk memberitahukan pengguna jalan bahwa akan ada beberapa orang yang hendak menyeberang. Aku mengamati gerak-geriknya dengan khidmat, terkadang aku juga memandang langit dengan penuh awan. Tidak cerah, namun cukup memikat. Segera, insting liarku berkata bahwa pemandangan ini harus diabadikan.

Cekrek!

Satu gambar yang mungkin beberapa orang akan bilang itu estetik. Kini aku mulai asyik dengan telepon genggam yang tadinya tak kulirik. Menyalakan data, dan mengeditnya dengan energik. Maklum saja, aku memang sangat suka mengedit, dan mengotak-atik. Siapa tahu bukan, nantinya aku juga bisa menuangkan hobiku itu di ranah dunia politik? Tunggu saja sua dari takdir.

Setelah dirasa siap, aku mulai menambahkannya pada laman sosial media. Benar kataku, mereka menyukainya. Beberapa bahkan memintanya secara terang-terangan, dan mungkin saja ada pula yang diam-diam mengambil sebuah tangkapan layar. Tak apa, toh aku juga suka berbagi hasil editan tangan.

Hasrat berkelilingku seketika bangkit. Sepertinya seru jika aku berkeliling, sua sang batin. Dengan sigap, tanganku segera menyiapkan uang recehan untuk tur pribadiku kali ini. Bukan untuk keluar kota, hanya berkeliling menyusuri kota tanah lahir dengan sebuah bus yang disediakan untuk publik. 

bus trans semarang
Jalan di Kota Semarang/Idhy Adhyaninda

Menunggu selama 15 menit lebih tentu bukan hal yang menjadi persoalan. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu menjadi penumpang namun kamu tidak diberi sebuah kepuasan. Terlalu berdesakan hingga terkadang membuat tubuh susah untuk bernafas. Tapi syukurlah, situasi itu tak kurasakan. Ruangan bus tampak lenggang, bahkan aku bisa merasakan nyamannya duduk di kursi berwarna merah. Setelah mendaratkan pantat, bus melaju dengan pelan. Memulai sebuah perjalanan, walau itu hanya sekadar cara untuk melampiaskan.

Aku yang duduk pada kursi paling belakang terus saja menatap ke arah luar jendela. Memilih bus dengan jalur berbeda, membuatku menyaksikan hal-hal yang tak pernah aku lihat biasanya. Keadaan langit masih tetap sama, mendung dan bertabur dengan awan. Beberapa jepretan gambar tak akan kulewatkan, maklum sebenarnya aku adalah seorang nephophile (penyuka awan).

Pengamatan masih terus kulanjutkan, baru kali ini aku berkelana di Semarang bagian bawah. Pemandangannya sungguh berbeda. Jika biasanya aku melihat aneka gedung dan rumah mewah, kini  berderet-deret jambar tersaji di depan mata. Latar belakang tempat tinggal mereka bukanlah sebuah mall atau perkantoran, melainkan sebuah kanal. Aku jadi meragukan keselamatan mereka ketika banjir mulai melanda. 

Memang ada perumahan mewah yang biasa aku lihat, namun tak sebanyak perkampungan rakyat biasa yang lebih akrab berbelanja dengan sistem tawar menawar. Mataku terus menatap dan memperhatikan, rasanya tak mau lepas. Kehidupan di salah satu kotaku ini masih sangat sederhana.

Ibu-ibu yang duduk di depan warung sambil asyik mengghibah, para remaja lelaki yang sibuk memodifikasi kendaraan dengan kaos punk yang khas, serta segerombolan anak-anak yang terus bermain bahkan berlarian di pinggir jalan, seakan tidak takut jika bahaya bisa mengincar nyawa. Ah berbicara tentang anak, mengingatkanku dengan komunitas jalanan yang aku punya.

Sayangnya aku tidak bisa mengabadikan momen tersebut, karena bus tidak bisa dituntut. “Huft, kapan-kapan aku akan kembali berkunjung.”

Bus telah mencapai akhirnya, semua penumpang diturunkan dan dipersilakan untuk mengganti koridor dengan arah berlawanan. Termasuk juga aku, memilih bus lain yang tidak pernah kusambangi, sepertinya. Sudahlah, pelampiasan ini membawaku kepada jalur nekat sebuah perjalanan.

Kali ini, bus mengajakku menyusuri daerah yang penuh dengan truk-truk pengangkut barang. Truk itu beragam ukurannya, namun rata-rata yang ada disana sangatlah besar. Bahkan, aku sempat bergidik ketika melihatnya. Aku membayangkan, bagaimana sensasi jika berada di kedua truk besar yang saling berdekatan? Ah! Pikiranku semakin tidak jelas.

Sayangnya, rute kedua ini tidaklah jauh. Baru sebentar, kami para penumpang kembali diturunkan. Ketika melihat sekitar, aku tidak menemukan sesuatu yang bisa kuabadikan. Dengan berat hati, akhirnya aku memilih pulang ke rumah. 

Walau begitu, perjalanan seperti ini sangat mengasyikkan. Meluangkan waktu untuk diri sendiri dan melupakan segala masalah yang tengah menerjang. Menyaksikan kondisi dimana banyak orang yang lebih kurang namun mereka bisa lebih bahagia. Sebuah pelajaran yang diambil dari kehidupan, agar diri ini selalu ingat untuk bersyukur pada Tuhan.

“Aku jadi ingin mengulangnya, seru ternyata!”

The post Sebuah Perjalanan Pelampiasan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sebuah-perjalanan-pelampiasan/feed/ 0 27466
Perjalanan Menuju Kesembuhan https://telusuri.id/perjalanan-menuju-kesembuhan/ https://telusuri.id/perjalanan-menuju-kesembuhan/#respond Thu, 14 Jan 2021 04:50:10 +0000 https://telusuri.id/?p=26330 Peluh menetes, menyeruak keluar dari setiap pori tubuh. Langkah berderap, membuat bising lorong-lorong penuh tubuh terduduk. Semua mata menelisik, memandang arah tertuju. Demikian juga denganku, khusyuk memandang segerombolan orang pembawa pasien dengan kekuatan laju. Entah...

The post Perjalanan Menuju Kesembuhan appeared first on TelusuRI.

]]>
Peluh menetes, menyeruak keluar dari setiap pori tubuh. Langkah berderap, membuat bising lorong-lorong penuh tubuh terduduk. Semua mata menelisik, memandang arah tertuju. Demikian juga denganku, khusyuk memandang segerombolan orang pembawa pasien dengan kekuatan laju. Entah untuk penyelamatan atau sekadar pemeriksaan, aku pun tak tahu. Yang jelas sorot mata mereka menunjukkan sebuah pilu.

Di sini aku, duduk termangu menanti panggilan dari mereka berbaju biru. Mereka tampak sibuk, meladeni kami para pejuang sembuh. Aku memandang sekitar, mengamati setiap pergerakan. Aku tau ini tak berguna, tapi entahlah aku suka melakukannya.

Kursi-kursi berjarak sudah terisi penuh, lansia serta anak duduk bukan bersimpuh. Mungkin beberapa terlihat tidak lumpuh, alih-alih hanya takut jika kambuh. Di belakang kami anggota keluarga ikut menunggu. Dengan mendekap tangan atau akhirnya bertengger pada saku. Hanya sorot mata mereka yang dapat berseru, karena mulut dan hidung kami tertutup kain pelindung. Berusaha untuk menembus jutaan partikel yang bisa saja menjadi virus.

“Antrian A nomor 214, silahkan ke loket tiga,”  begitu bunyi yang menggema di ruang kami. Aku melirik kartu yang kupegang sedari tadi. Ternyata aku sudah dapat berdiri, menuju ke loket yang baru saja berbunyi. 

“Ini nanti ibunya harus periksa ke dokter bedah dulu ya, dokternya ada di poliklinik 3. Setelah itu, nanti dapat instruksi lanjut dari dokter yang ada disana,” ujar wanita muda dengan piawainya.

Aku mengingat semua informasi dan kuletakkan dalam memori. Sebelum akhirnya mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Aku berjalan mundur dan segera mendorong kursi roda dari wanita yang kupanggil ibu. Ku katakan padanya bahwa hari ini perjalanan kita akan cukup rumit.

Seperti instruksi, kami sudah sampai di sebuah ruangan bertuliskan poliklinik 3 pada bagian depan. Kami disambut oleh suster cantik dengan perut yang menggembung berisi janin. Ia menggiring kami menemui dokter yang nampaknya sudah sangat berpengalaman.

Foto: Unsplash/NeONBRAND

“Ini harus dioperasi bu, mulai besok mondok di rumah sakit. Agar nanti tubuhnya bisa diawasi sebelum hari operasi tiba,” katanya. Aku sedikit melirik ibu, ia nampak mengangguk dan tersenyum. Walau aku tau nyatanya ia pasti merasa terpukul.

Setelah mendapat surat rujukan, kami kembali ke rumah. Menyiapkan segala kebutuhan bahkan mental. Khususnya bagi mental ibu.

Hari berikutnya, kami mendapat konfirmasi untuk datang setelah adzan dhuhur berbunyi. Dengan terik yang menusuk diri, kami sudah siap secara lahir dan batin. Lagi-lagi bukan aku, melainkan ibu yang sudah pasrah terhadap Sang Ilahi.

Setelah melakukan perjalanan menggunakan kereta beroda empat, kami tiba di pelataran. Aku segera meminta tolong satpam untuk meminjami kami sebuah kursi roda. Dengan sedikit tertatih kami mulai untuk berpetualang.

Ruangan yang kami tuju pertama kali adalah ruang konfirmasi. Disana, aku seperti seorang artis. Memberikan tanda tanganku dengan percuma di beberapa lembar kertas izin rumah sakit.

Dari mulai mengizinkan untuk rujukan, mengizinkan untuk operasi, hingga mengizinkan untuk segala biaya yang akan ditanggung. Semuanya sudah sah dengan tanda tangan serta nama terangku yang nemplok di atas sana. Aku menghela nafas, sudah pasrah.

Selesai, ku mulai mendorong kursi roda itu kembali. Menuju sebuah ruangan yang menjadi ruang scanner bagi para pasien calon penghuni kompleks rumah sakit. Disana kami ditodong banyak pertanyaan, lebih tepatnya untuk ibuku, pertanyaan itu beragam, dari mulai kapan sakit ini menyerang, keluhannya apa saja, alergi obat atau tidak, hingga pernahkah kami kontak langsung dengan pasien virus yang sedang viral. Semacam angket dari mereka.

Setelah puas, mereka menganjurkan kami untuk pergi pemeriksaan paru serta darah. Tujuannya untuk mengidentifikasi apakah ibu cukup aman untuk bisa mondok hari ini juga atau tidak. Katanya, jika ibu tidak aman alias terkena paparan virus, dengan berat hati kami harus isolasi diri di rumah.

Jantung ini terus berdetak kencang selama perjalanan. Mulutku tak henti mengucap baitan-baitan doa, berharap agar hasil periksa ibu nantinya akan berbuah negatif. Agar ibu segera dirawat dan tak perlu merasakan sakit lagi.

Ruang pemeriksaan paru dan darah sudah kami lewati, kini jarum-jarum pada jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Terhitung, sudah hampir 4 jam kami mondar-mandir dengan segala keperluan. Untuk sekali lagi, kami harus menunggu hasil keputusan yang pasti.

Foto: Unsplash/Daan Stevens

Pukul 17.00 seorang dokter mengabarkan bahwa ibu sudah bisa masuk ke ruangan dengan hasil pemeriksaan yang negatif. Senyum mengembang di sudut-sudut bibir kami, rasa syukur terus terucap walau hanya di dalam batin.

Walau sudah mendapat ruangan, kami tidak boleh asal masuk seperti majikan. Kami harus rela untuk menunggu seseorang untuk menjemput dan mengantarkan ke ruangan. Dengan APD lengkap, seorang lelaki bertubuh tambun menyapa kami dengan hangat.

Beliau mengantarkan kami pada ruangan lantai dua, ruangan ini terbagi atas 3 sekat. Tentu saja satu sekat untuk satu pasien, dan kami memilih sekat ujung dekat dengan jendela. Lagi-lagi, sebelum memasuki ruangan dengan sah aku harus menandatangani sejumlah dokumen resmi dari mereka. Ah sungguh melelahkan.

Kurang lebih seminggu kami berada di ruangan ini. Menurutku itu waktu yang sangat lama, karena kegiatanku sangat terbatas. Hanya berkisar makan, menjaga, dan bolak-balik ke rumah, bahkan terkadang aku harus rela begadang karena tidur yang tidak bisa nyenyak.

Hari ini adalah hari ibu operasi. Ia harus berpuasa selama 6 jam terlebih dahulu. Ada satu kegiatan yang aku senangi selama disini, yakni memandang orang-orang dari ketinggian. Menyandarkan kepala pada dahan jendela, serta menikmati angin lembut yang menyapa.

Di bawah sana, orang-orang beragam jenis terus berlalu-lalang. Membawa banyak kebutuhan atau bahkan hanya sebuah niat. Baik pasien, kerabat, maupun dokter silih berganti melewati lorong seberang yang bisa kupandang.

Tak jarang aku melihat beberapa dokter melajukan ranjang pasien dengan tergesa. Menuju ke sebuah ruangan yang aku tak tahu itu apa. Terkadang mereka panik namun tak jarang juga mereka bersikap biasa saja.

Aku menengok ke arah kamar mandi yang berada di depan sekat. Disana ada seorang wanita tua yang menjadi pasien di ranjang ujung dekat pintu. Dia nampak terbatuk dan berusaha untuk berjalan walau sebenarnya dia bisa memakai pispot, jika ingin.

Kini giliran ibu yang menjadi sorotanku, kulit putih pucat dengan beberapa kerutan di sana sedang tertidur sangat pulas. Aku menggenggam tangannya, kulihat selang infus masih terpasang. Jari jemari itu ku perhatikan satu-persatu, mengingat bagaimana ibu harus menahan sakit setiap suntikan menyentuh kulitnya.

Kami menunggu cukup lama, akhirnya kami dijemput oleh beberapa perawat. Dibawa-lah kami keluar ruangan yang ternyata akan menuju pada gedung di seberang sana. Setelah sampai di gedung operasi, aku tidak diperbolehkan masuk dan harus menunggu di luar. Mau tak mau aku harus mematuhinya.

Glodak glodak glodak..

Suara ranjang pasien lewat di hadapanku, menampakkan seorang lelaki paruh baya terbaring di atas sana dan didorong oleh banyak perawat. Ia berambut putih, dengan banyak kerutan yang mulai muncul, bisa kuperkirakan usianya sekitar 50 tahun ke atas. Sama sepertiku, keluarga dari lelaki itu tidak diperbolehkan masuk.

Setelah 1 jam berlalu, ibu keluar dari ruangan dengan masih memakai baju operasi lengkap. Kami akan kembali ke ruangan dengan ditemani dua orang perawat yang bertugas mendorong ranjang ibu. Sebelum memasuki lift, aku mendengar isak tangis pecah dari keluarga lelaki pasien tadi, kulirik mereka dan kudapati salah seorang bahkan pingsan terbaring di lantai.

Dua hari setelahnya kami diperbolehkan untuk pulang.

Dengan mendorong kursi roda, aku memandang situasi yang sama dari lingkungan sekitar. Kami bergegas menuju pintu keluar dan menunggu mobil jemputan. Setelah sampai, dengan hati-hati kubaringkan tubuh ibu untuk masuk ke mobil.

Aku menatap lama gedung rumah sakit ini, gedung yang menyimpan banyak peristiwa, bahkan sejarah tentang kepulangan mereka. Ya, hari ini aku bersyukur karena perjuangan ibu untuk kembali ke rumah telah dipenuhi. Karena aku tahu, permintaan kembali bisa jadi tidak sesuai keinginan.

Ada yang kembali ke ruangan dan menunggu operasi kedua, ada yang kembali sakit karena penyakitnya mendadak kambuh, bahkan ada yang kembali ke pangkuan Sang Pemilik Alam Semesta. Itu semua bisa terjadi bukan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Menuju Kesembuhan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menuju-kesembuhan/feed/ 0 26330
Asal Kalian Tahu, Ini Bukan Ulah Kami https://telusuri.id/asal-kalian-tahu-ini-bukan-ulah-kami/ https://telusuri.id/asal-kalian-tahu-ini-bukan-ulah-kami/#respond Tue, 20 Oct 2020 10:15:48 +0000 https://telusuri.id/?p=24608 Oktober 2020, Indonesia kembali berada dalam masa tidak baik-baik saja. Rakyat kembali digegerkan oleh keputusan para wakilnya yang mengandung banyak kejanggalan. Di saat semua rakyat tertidur pulas, para anggota dewan tengah bekerja keras. Membahas dan...

The post Asal Kalian Tahu, Ini Bukan Ulah Kami appeared first on TelusuRI.

]]>
Oktober 2020, Indonesia kembali berada dalam masa tidak baik-baik saja. Rakyat kembali digegerkan oleh keputusan para wakilnya yang mengandung banyak kejanggalan.

Di saat semua rakyat tertidur pulas, para anggota dewan tengah bekerja keras. Membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja, katanya. Mengatasnamakan kepentingan rakyat lantas mengambil keputusan secara tergesa, bahkan terkesan sepihak.


Dia mengamati jagat media sosial dan pemberitaan yang kini tengah ramai dipenuhi judul besar “RUU Cipta Kerja” atau “Omnibus Law.” Membaca dan menganalisisnya, serta menemukan beberapa poin penting, membuatnya sadar ternyata banyak sekali sisi negatif yang dihasilkan oleh RUU ini. Otaknya bekerja dan semakin bertanya-tanya, “Apa benar yang mereka sahkan ini adalah suara dari rakyat? Lantas suara rakyat mana yang mereka wakili?”

Lama dia berpikir, hingga sebuah pesan masuk muncul dari telepon genggamnya. Pesan masuk itu berisi pemberitahuan tentang diadakannya demo gabungan mahasiswa dan buruh di seluruh Indonesia, 8 Oktober 2020.

Dia, seorang mahasiswa baru, mengikuti demo bukan hanya karena sebuah ajakan atau tuntutan dari kampus. Dia sadar, ada aspirasi rakyat yang seharusnya disampaikan dan didengar oleh dewan. Dia rela berangkat dari Purwodadi jam 9 pagi menuju ke titik kumpul demonstrasi yang berada di Semarang.

Sepanjang perjalanan dia tidak melihat tanda-tanda dari para demonstran daerah lain. Suasana jalanan sepi. Akhirnya dia sampai di titik kumpul demo yakni Pelabuhan Tanjungmas. Suasana di titik kumpul sudah sangat ramai, dipadati oleh para mahasiswa dan buruh yang serentak mengenakan baju berwarna hitam serta ber-almet kampus masing-masing.

Setelah dirasa cukup, massa mulai melakukan perjalanan pada pukul 11.00 WIB. Mereka bersama-sama melewati arteri pantura, pelabuhan, dan bandara hingga sampai ke tujuan akhir, kantor DPRD Jawa Tengah. Perjalanan ini mereka lakukan dalam beberapa gelombang agar tidak terlalu memadati jalan dan membuat kisruh.

Perjalanan menuju DPRD Jawa Tengah/Mr D

Sayangnya, dugaan mereka meleset. Saat tiba di kantor DPRD, mereka telah dihadapkan situasi yang ricuh antara aparat dengan demonstran dari rombongan lain. Bahkan gerbang kantor telah rubuh akibat kericuhan tersebut.

Mahasiswa, massa aksi dari pelabuhan, berusaha untuk mendamaikan suasana hingga akhirnya situasi dapat dikendalikan dan orasi mulai dilakukan dalam keadaan duduk. (Orasi ini sempat didengar. Ada salah seorang anggota dewan dari Fraksi Demokrat yang keluar dan berinteraksi dengan massa.)

Dia merasa senang karena demo kali ini berjalan lancar dan tidak terjadi keributan. Selama aksi pun tak jarang mereka menyenandungkan mars mahasiswa agar semangat massa tetap terjaga. “Semoga saja hasil demo ini nantinya mendapat kesan yang baik,” pikirnya.

Situasi dan kondisi masih terkendali dengan baik sampai sekitar pukul 15.30 hingga massa menyatakan sikap dan tuntutan. Usai, massa mahasiswa pun diinstruksikan untuk mundur. Namun, belum sempat massa mahasiswa membubarkan diri, muncul segerombolan provokator yang memancing para anak-anak STM untuk menyerang aparat. Provokator-provokator itu tidak berjaket almamater, bahkan sebagian besar memiliki tato di bagian tubuhnya—dapat dipastikan mereka bukan buruh ataupun mahasiswa.

Massa aksi duduk mendengarkan orasi di depan DPRD Jawa Tengah/Mr D

Melihat hal itu, para mahasiswa bersama-sama membuat barikade di depan aparat. Namun usaha mereka gagal dan barikade yang dibuat jebol begitu saja. Lalu situasi menjadi tidak kondusif. Puncaknya, aparat akhirnya menyerang memakai meriam air dan gas air mata.

Keadaan kacau, massa berhamburan tak tentu arah, suara teriakan dan tembakan entah-apa pun menjadi satu padu sore itu. Dia juga segera melajukan motornya, pergi menjauh dari lokasi demonstrasi untuk mengamankan diri, khawatir akan ditangkap dan dituduh sebagai provokator. Susah payah dia berusaha beranjak sejauh mungkin dari tempat kejadian. Tak jarang dia berhenti sejenak untuk mengistirahatkan mata. Maklum saja, matanya perih terkena gas air mata.

Setelah aksi itu, dia mendapat kabar bahwa beberapa kawan satu kampus ikut tertangkap bersama para mahasiswa kampus lain dan juga anak STM. Di antaranya ada yang sempat dikabarkan menghilang alias tidak ditemukan keberadaannya. Dia bingung, sebab salah seorang teman perjalanannya juga tertangkap.

Akhirnya dia memutuskan untuk meminta bantuan dari LBH setempat. Syukur ia panjatkan karena temannya berhasil bebas dari kantor polisi sekitar pukul 2 dini hari. Beberapa kawan yang sempat menghilang juga satu per satu mulai ditemukan. Saat berada di kantor polisi, dia melihat banyak sekali anak STM yang tertangkap. Dia juga mendapat informasi bahwa yang tertangkap 260 orang—200 lebih pelajar STM, sisanya mahasiswa.

Pikirannya sempat bekerja, “Andai saja gerombolan provokator itu tidak datang pasti demo tidak akan berakhir seperti ini.” Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Begitu pula dengan pemberitaan yang muncul setelah aksi.

Banyak yang menyalahkan mahasiswa, mereka berkata bahwa peserta demo kali ini anarkis, tidak berperilaku baik, hanya bisa merusak fasilitas negara, dan ujaran-ujaran kebencian lainnya. Dia tidak menyalahkan opini masyarakat yang beranggapan seperti itu. Pasalnya, memang media massa dari mulai koran hingga TV hanya menampilkan cuplikan dari kejadian demo, dengan judul-judul yang menyudutkan posisi mahasiswa.

“Cih!” miris dia melihat ketidakadilan di negeri ini. Mahasiswa turun ke jalan demi harkat martabat rakyat, memperjuangkan suara rakyat, dengan keringat bercucuran, suara habis tak tersisa, bahkan ada sebagian yang harus berlumuran darah. Bukannya dibela, mahasiswa kembali disalahkan atas apa yang tidak mereka perbuat.

Sesederhana ini dibuat kecewa oleh negeri sendiri.


Kisah dari temanku, seorang mahasiswa baru.

The post Asal Kalian Tahu, Ini Bukan Ulah Kami appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/asal-kalian-tahu-ini-bukan-ulah-kami/feed/ 0 24608
Belajar dari Para Pejuang Cilik https://telusuri.id/belajar-dari-para-pejuang-cilik/ https://telusuri.id/belajar-dari-para-pejuang-cilik/#respond Thu, 13 Aug 2020 02:44:34 +0000 https://telusuri.id/?p=23571 Berkumpul dan bisa mengenal mereka adalah hal berharga yang tak akan pernah lepas dari ingatanku. Mereka siapa? Mereka pejuang-pejuang cilik yang sehari-hari berjibaku menghadapi pahitnya kehidupan: anak-anak jalanan. Aku mendeskripsikan demikian sebab mereka benar-benar hebat...

The post Belajar dari Para Pejuang Cilik appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkumpul dan bisa mengenal mereka adalah hal berharga yang tak akan pernah lepas dari ingatanku. Mereka siapa? Mereka pejuang-pejuang cilik yang sehari-hari berjibaku menghadapi pahitnya kehidupan: anak-anak jalanan.

Aku mendeskripsikan demikian sebab mereka benar-benar hebat dan kuat—dan aku telah menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Hidup dengan keterbatasan ekonomi membuat mereka mesti rela terjun ke jalanan mencari koin recehan. Ada pula di antara mereka yang tak berkesempatan merasakan cinta dan kasih sayang keluarga. Banyak pengalaman yang mesti mereka sisihkan—indahnya kehidupan masa kecil, pendidikan yang menjanjikan masa depan—demi menyambung hidup.

Aku masih ingat hari pertamaku menghabiskan waktu bersama para pejuang cilik itu. Aku jadi salah satu anggota komunitas relawan yang mengabdikan diri membantu kehidupan anak-anak jalanan dengan mengajar. Sudah jam 15.30 WIB saat sekolah usai hari itu. “Huh, aku harus cepat ini. Sudah terlambat,” pikirku. Meskipun aku masih memakai seragam sekolah, dengan pikiran masih melekat pada catatan-catatan guru di papan tulis, aku bersemangat sekali sekali untuk segera bertemu mereka. Buru-buru kugas Honda tuaku menuju tempat belajar para pejuang cilik itu.

Setiba di sana, aku merasakan udara panas, dikepung asap, dan dibekap aroma tak sedap. Tempat itu semacam pelataran dari sebuah bangunan yang masih dalam tahap pembangunan. Di sekitarnya adalah ruko-ruko sederhana yang sesore itu sudah banyak yang tutup. Motor lalu-lalang, membuat kebisingan kian terasa, bersahut-sahutan dengan gonggongan anjing.

Aku bersyukur ternyata aku belum setelat itu. Belum ada satu pun anak yang datang. Di tempat itu baru ada beberapa orang relawan yang sedang mengatur tempat untuk belajar. Tak ada bangku, tentu. Yang ada hanya alas duduk sekadarnya yang diadakan secara swadaya oleh para relawan. (Salah seorang kawan relawan bercerita bahwa lokasi ini ternyata di pagi hari menjadi tempat penjualan ikan. Mendengarnya, aku jadi memaklumi aroma tak sedap itu.)

Lalu aku diajak menjemput anak-anak untuk belajar. Ritual “menjemput anak-anak” itu memang sudah biasa dilakukan para relawan. Jika hanya menunggu, dapat dipastikan takkan ada yang datang. Banyak dari anak-anak itu yang tak terlalu memikirkan soal menggali ilmu “tambahan.” Bagi mereka, ilmu “dasar” seadanya dari sekolah saja sudah cukup. Komunitas kami memang mengajar anak-anak [jalanan] yang juga sudah disekolahkan oleh pemerintah.

Seorang anak jalanan berjalan di rel kereta api (KA) saat pulang dari sekolah menuju rumahnya di permukiman kumuh bantaran rel kereta api Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin, 8 Juni 2015 via TEMPO/Subekti

Menjemput mereka bukan perkara mudah! Kau harus menahan emosi ketika mereka sedang mempermainkanmu, entah dengan lari-lari ke sana kemari atau kabur entah ke mana saat diajak. Tentu saja sabar adalah kunci utamanya. Apalagi jika kau mengalami hal sepertiku: mengangkut empat anak menggunakan satu sepeda motor. Aku mesti berusaha menyeimbangkan motor bermuatan ekstra, mengendarainya di tengah jalan yang berbatu, dan mati-matian melihat jalan sebab pandangan terhalang sepasang kepala anak-anak—dan semua jadi makin menantang begitu mataku terkena debu. Untung saja rute yang kutempuh tak terlalu jauh.

Tiba di tempat belajar, kulihat beberapa relawan masih sibuk meladeni anak-anak yang sedang bermain—sepak bola, mengejar burung dara, atau “beradu argumen” dengan anjing tetangga. Sungguh berwarna macam dan rupanya. Sekitar setengah jam kemudian barulah situasi sedikit aman. Kami pun memulai kelas, dengan meninggalkan beberapa anak yang masih “bandel.” Kata salah seorang relawan senior, “[Biarkan saja.] Toh nantinya mereka akan gabung dengan sendirinya.”

Sebelum belajar, kami mendaraskan doa bersama-sama. Aku memegang grup anak berusia di bawah tujuh tahun. Rasanya gemas sekali melihat tingkah mereka. Jika berkata-kata saja masih terbata-bata, berdoa apalagi. Ketika pelajaran dimulai, aku melihat pemandangan yang mengharukan. Mereka sangat antusias, bersemangat, dan selalu menyunggingkan senyum di bibir. Sesekali mereka bermanja-manja kepadaku, minta gendong, minta foto, dan ada pula yang selalu duduk dalam pangkuanku. Sangat menggemaskan.

Orang yang melihat barangkali menganggap aku mengajar. Tapi sebenarnya aku justru belajar dari mereka. Aku belajar bahwa kebahagiaan itu sangat sederhana. Dan siapa pun dirimu, dari mana pun asalmu, seperti apa latar belakangmu, kau pantas merasa bahagia. Dari mereka aku juga belajar arti perjuangan. Sekecil itu mereka harus terjun ke jalan—entah untuk berjualan koran, mengamen, atau bahkan mengemis.

Pengalaman berharga di hari itu akan terus terekam dalam memoriku. Aku juga berharap semoga semakin banyak manusia baik yang mau membantu sesama. Semoga saja.

The post Belajar dari Para Pejuang Cilik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-dari-para-pejuang-cilik/feed/ 0 23571
Magang Hari Kedua https://telusuri.id/magang-hari-kedua/ https://telusuri.id/magang-hari-kedua/#respond Fri, 24 Jul 2020 16:31:43 +0000 https://telusuri.id/?p=23223 Matahari menyambutku dalam teriknya, ditemani awan-awan yang perkasa dengan jubah putihnya. Kulirik jam di pergelangan, ternyata tepat tengah hari. Aku harus bergegas. Sedikit berlari aku ke halte agar tak ketinggalan bus. Ini hari kedua sejak...

The post Magang Hari Kedua appeared first on TelusuRI.

]]>
Matahari menyambutku dalam teriknya, ditemani awan-awan yang perkasa dengan jubah putihnya. Kulirik jam di pergelangan, ternyata tepat tengah hari. Aku harus bergegas. Sedikit berlari aku ke halte agar tak ketinggalan bus. Ini hari kedua sejak aku memulai aktivitas baru: magang. 

Jika kau bertanya di mana aku magang, kujamin jawabanku akan bikin pertanyaanmu beranak pinak membelah diri bak ameba. Aku kuliah Teknik Komputer dan Jaringan, tapi kemarin, saat diberikan penjelasan di tempat magang, tampaknya aku akan magang sebagai penulis.

Hari kedua magang ini aku diajak ke Seoul Palace. Kupikir semula di Seoul Palace aku akan diberikan pengarahan lebih lanjut soal magang ini. Ternyata tidak. Ini semacam liputan kuliner. 

Walaupun aku suka nongkrong di luar, tak pernah sekali pun aku menginjakkan kaki di restoran Korea seperti Seoul Palace. Tentu hati kecilku berteriak kegirangan. Kesempatan yang berharga, rezeki yang tak boleh ditolak.

Rombongan kami disambut ramah oleh sang pemilik resto. Ia adalah seorang perempuan berpenampilan sederhana. Meskipun demikian, auranya menunjukkan bahwa ia punya otoritas di tempat ini. Selain keramahan, ia juga menyuguhkan kepada kami makanan-makanan andalan resto. Dua meja besar yang kami kelilingi penuh makanan warna-warni.

Makanan-makanan pembuka di Seoul Palace/Idhy Adhyaninda

Sembil menunggu aba-aba untuk mencoba, aku melihat-lihat sekeliling. Desain interior resto ini bernuansa Korea. Ada boneka memakai hanbok. Di sudut sana ada rumah-rumahan kecil bergaya khas Asia Timur. Menariknya, ada pula tempat untuk menggantung kartu permohonan.

Tapi lama-lama mataku lebih fokus pada makanan menggugah selera yang sudah tersaji di meja. Dalam hati aku berseru, “Perut, kau akan tidur nyenyak nanti!” Entah karena lapar atau doyan makan, aku akhirnya menghabiskan enam santapan. Rakus? Tidak. Aku hanya menghargai makanan. Masih banyak orang yang kesusahan mendapat makanan dalam kehidupan sehari-harinya, ibuku pernah bilang begitu. 

Dari Seoul Palace, sekitar jam setengah tiga sore kami bergerak ke sebuah restoran yang tampaknya cocok sekali untuk kawula muda masa kini. Namanya Red Rabbit Resto. Dekorasi restoran kedua ini menyatu dengan pepohonan rimbun. Siapa pun yang mampir ke sini pasti akan betah. Karena tempatnya instagenik, aku sempatkan untuk berswafoto di sini. Sebelum mampir ke Red Rabbit, kukira tempat ini adalah semacam bar yang hanya buka malam hari, dengan pelanggan muda-mudi yang duduk berkeliling sambil menenggak bir.

Red Rabbit Resto/Idhy Adhyaninda

Sebaliknya, ternyata Red Rabbit adalah restoran yang sehat. Menunya adalah makanan-makanan tradisional yang banyak di antaranya berasal dari Indonesia Timur. Mataku terbuka lebar begitu menjumpai sebuah makanan pencuci mulut warna-warni berbahan alami yang begitu menggugah selera.

Nyaman sekali di tempat ini. Bangunan Red Rabbit bergaya retro dengan pohon besar di tengah yang bikin udara makin segar. Suasana makin enak karena nada-nada kicauan burung yang merdu tak henti-henti masuk ke telingaku. 

Sambil menikmati klappertaart yang manis dan lembut, aku mendengarkan para sesepuh berbagi pengalaman. Mereka membahas hal-hal dasar dalam pekerjaan, berbagi tips jurnalistik, berbagi cerita tentang kiprah mereka, sampai membahas hal yang sedang menggemparkan dunia: corona. Ditemani makanan aduhai yang menggoyang lidah, pengetahuan rasanya mudah sekali menerobos otak dan mengendap dalam ingatanku.

Asyik berbincang, tak terasa sudah hampir petang saat akan beranjak pulang. Di dalam mobil aku melihat foto-foto kegiatan barusan hasil jepretan tanganku. Seulas senyum tercipta. Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Impianku akhirnya dikabulkan oleh semesta. Sedari dulu, ketika anak-anak ingin jadi dokter atau guru, aku bercita-cita untuk menjadi presenter acara kuliner.

Terima kasih, semesta.

The post Magang Hari Kedua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/magang-hari-kedua/feed/ 0 23223