Intan Idaman Halawa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/intan-idaman-halawa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:00:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Intan Idaman Halawa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/intan-idaman-halawa/ 32 32 135956295 Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/ https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/#respond Wed, 07 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46861 Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama...

The post Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama satu semester di Universitas Nusa Cendana (UNDANA) akan berakhir, menandai kepulanganku ke Tangerang Selatan.

Bukit Cinta di kawasan Kelapa Lima, dengan panorama sunset-nya yang memukau, menjadi pilihan sempurna untuk merenungkan perjalanan akademis dan budaya yang telah mengubah perspektifku selama empat bulan terakhir.

Transformasi Akademis di Indonesia Timur

Beta mau ajak katong ke Bukit Cinta sore ini,” ajak Filan dengan logat Kupang yang masih kental dengan aksen Manggarai, mengundangku dan Jein untuk menikmati sunset setelah kuliah.

Setelah satu semester, dialek lokal yang awalnya terdengar asing kini terasa akrab di telinga. Beradaptasi dengan bahasa lokal menjadi salah satu keterampilan tak tertulis yang kudapatkan dari program pertukaran ini—bagaimana kata “kita” berubah menjadi “katong” dan “tidak” menjadi “sonde” dengan intonasi yang naik turun seperti gelombang laut Timor.

Selama empat bulan menuntut ilmu di UNDANA, aku mengambil beberapa mata kuliah di Program Studi Matematika. Adaptasi di lingkungan baru memang tidak mudah, dan aku mengalami sedikit kesulitan dalam beberapa minggu pertama. Terlebih dengan mata kuliah yang cukup menantang, seperti Struktur Aljabar Lanjutan dan Analisis Real—mata kuliah yang benar-benar membuat rambut keriting!

Namun, pengalaman belajarku tidak terbatas pada ruang kelas saja. Melalui Modul Nusantara yang berbobot 4 SKS, aku berkesempatan menyelami kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat NTT. Di bawah bimbingan Pak Tom, dosen pendamping kami, 20 mahasiswa PMM dari berbagai universitas di Indonesia bersama-sama menjelajahi keindahan dan kekayaan budaya NTT setiap akhir pekan.

Hari Sabtu dan Minggu menjadi waktu yang paling dinantikan. Setelah lima hari bergelut dengan perkuliahan, kami menyegarkan pikiran dengan berbagai kegiatan yang menarik. Kami mendaki Bukit Fatuleu, menjelajahi gua-gua di sekitar Fatusuba, hingga berlayar ke pulau-pulau terdekat, seperti Semau, Rote, dan Alor.

Di Rote Ndao, kami mempelajari proses pembuatan sopi, minuman tradisional yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Di Timor Tengah Selatan (TTS), kami belajar seni menenun kain dengan motif-motif khas daerah. Pengalaman spiritual juga kami dapatkan melalui kunjungan ke Masjid Al-Muttaqin dan Gereja HKBP Kupang, tempat kami belajar tentang indahnya toleransi antarumat beragama di NTT.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Tampak depan rumah susun mahasiswa UNDANA/Intan Idaman Halawa

Rusunawa, Tempat Berteduh Mahasiswa Pertukaran

Setelah menyetujui ajakan Filan, aku kembali ke rusunawa—rumah susun yang dikhususkan bagi mahasiswa pertukaran—untuk bersiap. Gedung sederhana dua lantai ini telah menjadi rumah bagi lebih dari 300 mahasiswa PMM dari berbagai penjuru Indonesia. Di sinilah aku pertama kali belajar tentang keberagaman Indonesia yang sesungguhnya.

Kamarku dihuni empat orang dari pulau yang berbeda. Aku dari Nias yang merantau di Pamulang, Kak Eris dari Depok dengan tinggi hampir 170 cm, Kak Yuli dari Lampung dengan keahlian memasaknya, dan Kak Uni dari Bandung yang sedang berhalangan datang ke Bukit Cinta. Perbedaan budaya dan kebiasaan yang awalnya sering menimbulkan kesalahpahaman kecil, perlahan berubah menjadi pembelajaran berharga tentang toleransi dan adaptasi.

Rusunawa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga laboratorium sosial tempat kami belajar mengelola konflik, berkompromi, dan menghargai perbedaan. Setiap lantai memiliki dapur komunal yang menjadi saksi bisu bagaimana mahasiswa Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku bertukar resep dan cerita. Di sinilah persahabatan lintas budaya terjalin, jauh lebih kuat dari sekadar pertemanan di ruang kelas.

Koper-koper sudah mulai dikeluarkan dari bawah tempat tidur. Beberapa teman sudah mulai mengepak barang, meski masih ada yang berpura-pura perpisahan masih jauh. Aku termasuk yang kedua, menunda segala persiapan kepulangan—seolah dengan begitu waktu akan ikut tertunda.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Aku berpijak di atas batu-batu yang samar di antara rerumputan Bukit Cinta/Intan Idaman Halawa

Renungan di Bukit Cinta

Kami tiba di Bukit Cinta sekitar pukul 16.15 WIB. Jalanan menanjak dan berkelok membuat mobil Maxim kami mendengus seperti kerbau tua. Dari ketinggian, Kota Kupang terhampar dengan keunikannya—perpaduan antara modernitas perkotaan dan kesederhanaan kampung pesisir. 

Bukit Cinta terletak tidak jauh dari kampus. Tempat ini menjadi favorit warga lokal untuk menikmati panorama matahari terbenam di Kupang. Konon, nama ini berasal dari banyaknya pasangan yang datang untuk menikmati pemandangan romantis.

Bukit Cinta, dengan bebatuan dan vegetasi khasnya, adalah cermin sempurna tentang ketangguhan alam NTT. Dari kunjungan-kunjungan ke desa sekitar selama program pertukaran, aku belajar bagaimana masyarakat lokal bertahan di tengah tantangan iklim kering dan lahan berbatu. Mereka mengembangkan sistem pertanian lahan kering yang unik, menanam jagung dan kacang di antara bebatuan dengan cara yang telah diwariskan turun-temurun.

“Bagaimana perasaan kaka empat bulan di Kupang?” tanya Filan saat kami duduk menghadap matahari yang mulai turun. Pertanyaan sederhana ini membuka diskusi panjang tentang pengalaman kami selama program pertukaran.

Jein, mahasiswa lokal UNDANA yang kini menjadi sahabat dekat, bercerita bagaimana awalnya ia merasa ada jarak dengan mahasiswa pertukaran. “Kami pikir kalian dari Jawa pasti memandang rendah Kupang yang kecil dan kering,” akunya jujur. “Tapi cara kalian beradaptasi dan menghargai budaya kami mengubah pandangan itu.”

Pertemanan lintas budaya seperti ini adalah inti dari program PMM. Melalui Filan dan Jein, aku belajar bahwa keramahan orang NTT bukan sekadar basa-basi. Mereka mengajariku tentang “utang budaya”, konsep bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, bukan dengan materi. Prinsip ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal yang selalu siap membantu meski hidup dalam keterbatasan.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Tiga mahasiswa PMM mengapit dua mahasiswa UNDANA (baju hitam dan putih di tengah) sedang duduk di atas batu lebar Bukit Cinta/Intan Idaman Halawa

Jejak yang Tertinggal dan Dibawa Pulang

Langit berubah jingga saat matahari perlahan turun, melukis garis-garis merah di ujung langit. “Di Kupang, kita mungkin tidak punya mal mewah atau bioskop besar,” ucap Jein pelan. “Tapi kami punya sunset terbaik di Indonesia.” 

Jein benar. Selama empat bulan di sini, aku menyaksikan bagaimana senja menjadi ritual harian warga Kupang. Dari pedagang kaki lima hingga pejabat, semua menyempatkan diri untuk menikmati keajaiban alam ini.

Senja di Kupang adalah demokratisasi keindahan, tersedia gratis untuk semua orang tanpa memandang status sosial. Ini mengajariku tentang kebahagiaan sederhana yang sering kulupakan di tengah hiruk-piruk Tangerang. Di sini, keindahan alam bukan sekadar latar untuk foto Instagram, melainkan pengalaman spiritual yang dirayakan setiap hari. Obrolan hangat mengalir diiringi jepretan kamera yang berusaha mengabadikan kebersamaan. 

Ketika langit mulai gelap dan pengunjung lain beranjak pulang, kami masih bertahan, enggan mengakhiri momen berharga ini. Empat bulan di Kupang telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam diriku. Bukan hanya tentang pengetahuan akademis, melainkan juga kearifan hidup yang sulit ditemukan di daerah urban. Masyarakat NTT mengajariku tentang ketangguhan dalam menghadapi keterbatasan, kegembiraan dalam kesederhanaan, dan ketulusan dalam persahabatan.

Keceriaan di tengah senja yang kian gelap/Intan Idaman Halawa

Program pertukaran ini membuatku memahami bahwa Indonesia jauh lebih kaya dan beragam dari yang selama ini kubayangkan. Setiap pulau memiliki cerita dan kearifannya sendiri, yang sayangnya sering tidak mendapat tempat dalam narasi pembangunan nasional yang terpusat di Jawa.

Dengan tangan-tangan kami yang kotor setelah bermain di rerumputan bukit, kami memutuskan untuk kembali ke Rusunawa. Cahaya terakhir senja telah lenyap, digantikan oleh lampu-lampu kota yang mulai menyala seperti konstelasi bintang buatan manusia. Dari ketinggian, lampu-lampu permukiman warga terlihat seperti refleksi langit malam, pengingat bahwa keindahan bisa hadir dalam berbagai bentuk.

Saat kami turun dari bukit dalam gelap malam, dengan hanya cahaya ponsel menerangi jalan, aku tahu bahwa Kupang telah memberiku lebih dari sekadar pengalaman akademis. Ia telah memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai tentang ketangguhan, keberagaman, dan keindahan Indonesia yang sesungguhnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/feed/ 0 46861
Mendadak Main Salju di Trans Snow World Bintaro https://telusuri.id/main-salju-di-trans-snow-world-bintaro/ https://telusuri.id/main-salju-di-trans-snow-world-bintaro/#respond Mon, 24 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45733 Hujan yang turun pagi itu sepertinya sedang mengolok-olok. Di saat Jakarta mulai dipanggang matahari, rintiknya justru mengingatkanku pada impian bertahun-tahun yang masih tersimpan rapi: merasakan musim dingin di negeri empat musim. Sebenarnya bisa saja aku...

The post Mendadak Main Salju di Trans Snow World Bintaro appeared first on TelusuRI.

]]>
Hujan yang turun pagi itu sepertinya sedang mengolok-olok. Di saat Jakarta mulai dipanggang matahari, rintiknya justru mengingatkanku pada impian bertahun-tahun yang masih tersimpan rapi: merasakan musim dingin di negeri empat musim. Sebenarnya bisa saja aku menabung lebih lama untuk terbang ke Swiss, atau negara-negara lain di Eropa. Namun, dengan inflasi yang tidak kenal ampun, bisa-bisa kenaikan tabunganku kalah cepat dengan harga tiket pesawat. Dan di sinilah aku, menatap tetesan hujan sambil berpikir: kalau tidak bisa ke negeri bersalju, kenapa tidak membawa salju ke hadapanku saja?

Jariku bergerak membuka aplikasi pemesanan tiket daring di ponsel. Seolah alam semesta sedang berbaik hati, ada potongan harga 55% untuk Trans Snow World Bintaro, Tangerang Selatan. Mungkin ini pertanda bahwa mimpi bermain saljuku tak perlu menunggu sampai dompet pensiun, atau lebih tepatnya, sebelum kartu kreditku pensiun bulan depan.

Pukul 10.49 WIB, setelah menyelesaikan ritual beres-beres ala mama—rezeki tidak datang ke rumah yang berantakan!—aku dan pacarku Pras bergegas keluar. Sarapan yang menyasar jam makan siang—atau sebut saja brunch versi warteg—kuhabiskan dengan semangkuk soto ayam. Aku mengeluarkan jaket kuning tebalku yang biasanya hanya jadi penghias lemari, mengabaikan pandangan mengejek dari orang-orang di sekitarku. Yang mereka tidak tahu, aku sudah menghabiskan semalaman menonton vlog pengunjung Trans Snow World. Berlebihan? Mungkin. Tapi, hei, aku lebih suka menyebutnya ‘persiapan matang.’

Lobi Trans Snow World di dalam Transpark Mall Bintaro menyambut dengan embusan AC, yang seolah berlatih jadi angin musim dingin. Kami mengantre di depan loket untuk memperoleh tiket masuk dengan harga Rp310.000 untuk dua tiket—harga yang membuatku berpikir apakah ini salju premium yang diimpor langsung dari Kutub Utara. Toko perlengkapan di sebelah loket tiket memajang jaket-jaket tebal dengan label harga yang membuatku menelan ludah: Rp599.000. Topi dan sarung tangan, masing-masing Rp49.000, seperti menertawakan tabungan yang sudah susah payah kukumpulkan.

Namun, logikaku bekerja cepat membenarkan pengeluaran ini. “Masih lebih murah dari visa Schengen,” bisikku pada dompet yang mulai menipis.

Perlengkapan Musim Dingin ala Mal Bintaro

Proses persiapan berlanjut dengan mencoba sepatu bot. Saat mengantre di konter, aku memerhatikan beragam ekspresi pengunjung yang mencoba sepatu—ada yang meringis karena kebesaran, ada yang berjalan seperti pinguin karena belum terbiasa. Aku maju dengan percaya diri dan meminta ukuran 9.0, berharap tidak mempermalukan diri sendiri di depan petugas yang sudah pasti bosan melihat tingkah pengunjung pemula sepertiku.

“Plot twist” pertama datang saat mengetahui sepatu bot tidak dilengkapi kaus kaki—sebuah kejutan yang membuatku teringat iklan lawas: “Ada yang kurang? Beli lagi!” Terpaksa merogoh kocek tambahan Rp10.000 untuk sepasang kaus kaki. Aku memilih yang abu-abu, Pras hitam—kombinasi warna seperti Yin dan Yang. “Matching couple socks dengan budget terkontrol,” candaku.

Tiket kami sudah termasuk jam pengingat yang terlihat seperti smartwatch versi ekonomis, sepatu bot, dan tiket kereta gantung yang entah kenapa ada di tengah mal. Loker seharga Rp50.000—cukup untuk membeli dua puluh porsi pisang goreng di depan kompleks rumah—menjadi tempat penitipan tas kami sebelum bergegas menuju pintu masuk wahana. Beberapa pengunjung lain yang tadinya mengejek jaket tebalku kini mulai memeluk diri sendiri begitu pintu terbuka. “Siapa yang terakhir tertawa sekarang?” bisikku penuh kemenangan dalam hati.

Begitu melangkah ke area utama, sensasi dingin langsung menyapa tanpa “permisi” atau “shalom”. Rasanya seperti membuka freezer raksasa, bedanya kali ini aku yang masuk ke dalamnya. Yang paling menakjubkan adalah melihat uap napas sendiri mengepul di udara—sesuatu yang selama ini kukira hanya ada di drama Korea atau efek CGI murah. Berkali-kali kuembuskan napas dengan dramatis, sampai rasanya seperti naga yang sedang flu berat.

Bukit Salju dan Sensasi “Swiss Alps” 4 Meter

Di tengah wahana, salju buatan turun perlahan bagai konfeti pesta pernikahan yang diputar slow motion. Aku berlari menghampirinya dengan semangat berlebih, membiarkan butiran-butiran putih itu menari di atas jaket tebalku. “Akhirnya, momen yang kutunggu-tunggu!” teriakku girang, mengundang tatapan geli dari pengunjung lain. Sensasi dingin yang menggelitik ini membuatku tertawa lepas—persis seperti anak TK yang baru pertama kali melihat badut ulang tahun.

Di sekeliling, anak-anak berlarian mengumpulkan salju sambil berteriak “Dingin! Dingin!”—sebuah observasi yang sangat akurat dan tidak terbantahkan. Sementara itu, aku sibuk berpose dengan snowman yang berdiri kokoh di sudut arena. Dia terlihat sedikit bosan dengan pekerjaannya yang monoton: berdiri diam sepanjang hari dengan senyum permanen yang sepertinya dipasang setengah hati.

Di puncak bukit salju buatan, jiwa penggemar Disney-ku tak terbendung. Tanpa peduli pandangan sekeliling, aku menyanyi Let It Go lengkap dengan koreografi seadanya. “The cold never bothered me anyway!” teriakku dramatis, minus gaun biru berkilau dan kepang pirang ala Elsa.

Pengunjung lain pura-pura tak melihat—terlalu sibuk dengan kebahagiaan mereka sendiri. Pasangan muda bergandengan tangan mengabadikan momen, keluarga dengan anak-anak kecil bermain lempar salju, dan beberapa pengunjung solo asyik berfoto. Bukit ini seolah jadi studio foto dadakan, tempat berbagi tawa dan swafoto bergantian. Ekspresi takjub yang sama terlukis di wajah setiap orang, seolah kami semua sedang mewujudkan mimpi kecil tentang salju di tengah kota tropis.

Panel digital menampilkan angka 9 derajat Celsius, membuatku menepuk jaket tebal dengan bangga. Interior wahana ini memang totalitas: rumah-rumah bergaya Eropa berjajar rapi dengan atap tertutup salju, menciptakan ilusi desa musim dingin yang nyaris sempurna. Nyaris—karena alunan Aku Ra Mundur yang merembes dari toko sebelah menyadarkanku bahwa aku masih di tanah air. Tapi, hei, kapan lagi bisa main salju diiringi dangdut koplo? Mungkin inilah yang namanya wisata crossover: Swiss-Jawa dengan sentuhan Mal Bintaro.

Sorotan utama petualangan datang saat menaiki kereta gantung yang membawa kami setinggi 4 meter. “Cuma empat meter, sih, tapi anggap saja sedang di Swiss Alps,” gumamku pada diri sendiri sambil tersenyum. Tujuh sampai sepuluh menit perjalanan terasa seperti roller coaster versi santai—cukup lama untuk memenuhi galeri foto, terlalu singkat untuk benar-benar menikmati pemandangan, tetapi pas untuk pamer di Instagram.

Mendadak Main Salju di Trans Snow World Bintaro
Foto terakhir di depan konter pencetakan foto/Intan Idaman Halawa

Bakso Premium dan Jam Pengingat

Setelah petualangan di “negeri salju”, kami menghangatkan diri dengan semangkuk bakso. Meski harganya Rp75.000 untuk satu porsi dan sebotol air mineral—harga yang membuatku yakin bahwa ini adalah bakso dengan bumbu salju impor—kehangatan kuahnya tak ternilai setelah bermain di suhu rendah. Mungkin ini bakso termahal yang pernah kumakan, tetapi setidaknya bisa menikmatinya dengan pemandangan salju.

Jam pengingat di pergelangan tangan menjadi penanda waktu yang tersisa, dengan sistem warna yang mengingatkanku pada lampu lalu lintas: biru (lebih dari 10 menit), hijau (10 menit), kuning (5 menit), dan merah (habis). Ada denda Rp150.000 jika melewati batas waktu, sebuah motivasi yang sangat efektif untuk bergerak lebih cepat.

Saat keluar, kami melewatkan tawaran paket foto yang harganya mulai dari Rp350.000 hingga di atas satu juta—dengan harga segitu, kurasa lebih baik disimpan untuk beli tiket ke Jepang beberapa tahun ke depan. Meski begitu, ponselku sudah penuh dengan foto-foto yang mungkin tidak seprofesional fotografer resmi, tetapi setidaknya gratis dan penuh dengan tawa asli.

Dua jam di Trans Snow World mungkin tidak sebanding dengan pengalaman musim dingin yang sesungguhnya. Namun, setidaknya untuk sementara, rasa penasaranku tentang salju sudah terobati. Lagipula, di mana lagi kau bisa merasakan sensasi musim dingin sambil makan bakso? Mungkin ini yang dinamakan winter wonderland versi Indonesia—tidak perlu paspor, tidak perlu visa, cukup modal nekat dan kartu kredit yang masih dalam limit wajar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendadak Main Salju di Trans Snow World Bintaro appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/main-salju-di-trans-snow-world-bintaro/feed/ 0 45733
Panggung Kehidupan Rahasia di BXSea https://telusuri.id/panggung-kehidupan-rahasia-di-bxsea/ https://telusuri.id/panggung-kehidupan-rahasia-di-bxsea/#respond Tue, 24 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44692 Rencana awal mengunjungi Bapak Uda di Malaysia untuk Natal berubah total menjadi petualangan tak terduga di BXSea, Tangerang Selatan. Setelah mengurus paspor di Unit Layanan Paspor (ULP) Bintaro yang membuat saya mirip tahanan yang baru...

The post Panggung Kehidupan Rahasia di BXSea appeared first on TelusuRI.

]]>
Rencana awal mengunjungi Bapak Uda di Malaysia untuk Natal berubah total menjadi petualangan tak terduga di BXSea, Tangerang Selatan. Setelah mengurus paspor di Unit Layanan Paspor (ULP) Bintaro yang membuat saya mirip tahanan yang baru ditangkap—dengan foto seadanya dan berkas tersusun rapi—perjalanan singkat itu membawa saya ke wahana yang menawarkan pertunjukan mencengangkan dari kehidupan bawah laut.

Tiket seharga Rp150.000 dan gelang kuning di tangan—yang membuat saya merasa seperti pasien VVIP—mengantarkan saya memasuki dunia fantastis. Ruangan pertama langsung memukau dengan permainan cahaya spektakuler, mirip kaleidoskop raksasa. Biru, ungu, merah, merah muda, dan hijau berpadu menciptakan atmosfer magis, seolah saya tenggelam dalam mimpi berwarna-warni.

Lampion hiu seakan berenang di udara, menggantung dengan elegan di antara cahaya berkilauan. Di sekelilingnya, kerang-kerang seperti menari, bergoyang lembut dalam simfoni cahaya yang memukau. Setiap detail dirancang untuk menciptakan ilusi dunia bawah laut yang hidup dan bernapas.

Panggung Kehidupan Rahasia di BXSea
Tampak patung macan tutul yang di dahan pohon/Intan Idaman Halawa

Panggung Misterius Alam

Setiap ruangan di BXSea menyimpan kejutan yang membuat mata tak bisa berkedip. Area hutan menjadi panggung pertama dalam pertunjukan misterius ini. Suara-suara alamiah—gonggongan anjing dan kicauan burung—mengalir dari pengeras suara tersembunyi, menciptakan soundscape yang begitu nyata. Saya berkali-kali menoleh, memastikan tidak ada anjing sungguhan yang mengintai.

Di antara pepohonan buatan, patung macan tutul bertengger dengan anggun di cabang tertinggi. Posisinya mirip boss level dalam game, mengawasi pengunjung dengan tatapan tajam yang seolah berkata, “Foto saja, tapi jangan lama-lama.” Di dahan pohon yang lain tampak patung ular berwarna kuning melilit dahan—tempat para pengunjung berlalu lalang. Sedikit mengerikan jika ular itu nyata dan jatuh menimpa pengunjung. Detail ekspresi dan postur patung begitu sempurna, hampir membuatku lupa ini adalah replika—bukan macan tutul hidup yang siap melompat.

Di habitat buatan mereka, berang-berang berkeliaran seperti pelaku aksi ekstrem. Mereka berenang dengan gerakan gemulai, melompat dengan presisi, dan bermain dengan energi tak terbatas. Setiap gerakan terlihat spontan namun terkontrol—seperti koreografer berbakat yang tak pernah lelah.

Melihat mereka, saya jadi teringat program “weekend warrior gym”-ku yang selama ini cuma jadi wacana. Kontras sekali dengan makhluk mungil ini yang memamerkan kemampuan fisik tanpa ragu, tanpa lelah, dengan kegembiraan murni yang menular ke setiap pengunjung.

Panggung Kehidupan Rahasia di BXSea
Ular tiruan yang meilit batang pohon di atas/Intan Idaman Halawa

Pertunjukan Bawah Laut

Lorong akuarium melengkung sepanjang sepuluh meter ini adalah puncak petualangan, sebuah teater bawah laut hidup yang membuat waktu seolah berhenti. Di bawah konstruksi kaca melengkung, penyelam bergerak dengan gerakan apung yang memesona, memberi makan ikan dan membersihkan karang—menciptakan reality show bawah laut yang tak terduga.

Ikan-ikan berenang di atas kepala dengan elegansi seorang bintang film. Gerakan mereka begitu sempurna, seakan setiap ekor dan sirip telah diatur sutradara profesional. Sesekali, mereka tampak sengaja berpose, memperlihatkan sisi terbaik untuk kamera pengunjung—memainkan peran antara penonton dan yang dipertontonkan.

Terlihat juga petugas yang menyelam untuk membersihkan terumbu dan memberi makan ikan. Dengan gerakan lambat dan terkontrol, dia menurunkan ember berisi makanan ke dalam air. Ikan-ikan langsung berkerumun. Aku seperti menonton pertunjukan makan malam eksklusif. Setiap gerakan tampak penuh perhitungan—layaknya seniman yang sedang menyelesaikan karya mahakaryanya.

Panggung Ubur-ubur

Berjalan lebih jauh dari lorong akuarium, ruangan ubur-ubur membuka panggung pertunjukan tersendiri. Belasan akuarium tabung menjulang tinggi, berisi ubur-ubur transparan yang bergerak dengan gerakan paling puitis yang pernah saya lihat.

Ubur-ubur menari lambat, seolah tengah mempertunjukkan koreografi bawah laut yang rumit. Cahaya berubah-ubah menciptakan efek hipnotis—merah menyala berganti ungu, hijau lembut bertransisi ke biru elektrik.

Setiap pergerakan ubur-ubur terlihat tanpa usaha, mengalir begitu saja seperti seniman yang telah menguasai seni gerak bertahun-tahun. Tubuh transparan mereka menyerap dan memantulkan cahaya, menciptakan pertunjukan visual yang nyaris tak terpikirkan sebelumnya. Di ruangan ini, waktu seolah berhenti. Pengunjung terpaku menyaksikan tarian hipnotis makhluk laut yang tampak begitu rapuh, tetapi tak terbantahkan keindahannya.

Panggung Kehidupan Rahasia di BXSea
Ruangan khusus berisi lampion dan tabung akuarium ubur-ubur/Intan Idaman Halawa

Nostalgia dan Misteri

Semua nuansa nostalgia dan mistis berpadu dalam ruangan berikutnya. Di hadapan pintu masuk, sebuah pondok sederhana beratap rumbia menyambut pengunjung—mengingatkan pada rumah nenek di kampung, minus hantu yang biasa nongkrong di pojok. Di sebelahnya, berdiri anggun ukiran kayu berbentuk tabung dengan detail yang memukau; bagian atasnya lebih ramping dari alasnya, seperti jam pasir raksasa yang memutuskan untuk pensiun dan berkarier sebagai karya seni.

Pemandangan makin misterius dengan kehadiran pohon tanpa daun di sampingnya. Rantingnya mencuat ke berbagai arah seolah sedang menunjuk-nunjuk pengunjung yang lewat. Sementara di sisi kanan, batu-batu hitam besar berjajar bagai Penjaga Silent yang setia. Keseluruhan ruangan ini sukses menciptakan ilusi sebuah situs peninggalan sejarah—membuat saya sempat lupa kalau dompet masih berisi uang zaman sekarang, bukan kepingan emas kuno.

BXSea bukan sekadar wahana akuarium, melainkan teater kehidupan laut yang dikemas dengan sentuhan seni dan teknologi. Setiap sudut menawarkan kejutan dan pembelajaran, menghadirkan pelarian singkat dari rutinitas kota ke dunia bawah laut yang menenangkan.

Satu tiket membuka akses ke seluruh wahana, memberi kebebasan untuk mengeksplorasi setiap detail tanpa terburu-buru—kecuali saat aku sempat masuk ke toilet disabilitas tadi. Saat keluar dari BXSea, aku membawa pulang lebih dari sekadar foto-foto dan tiket bekas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Panggung Kehidupan Rahasia di BXSea appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/panggung-kehidupan-rahasia-di-bxsea/feed/ 0 44692
Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang https://telusuri.id/cerita-sabtu-dari-pasar-malam-pamulang/ https://telusuri.id/cerita-sabtu-dari-pasar-malam-pamulang/#respond Thu, 19 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44625 Senja mulai merangkak turun di pengujung minggu kedua November, tepatnya Sabtu, 9 November 2024. Tercipta bias oranye keemasan yang menerobos lewat celah-celah gedung pencakar langit Tangerang Selatan.  Di sudut kamar kosku yang sederhana, jam dinding...

The post Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang appeared first on TelusuRI.

]]>
Senja mulai merangkak turun di pengujung minggu kedua November, tepatnya Sabtu, 9 November 2024. Tercipta bias oranye keemasan yang menerobos lewat celah-celah gedung pencakar langit Tangerang Selatan. 

Di sudut kamar kosku yang sederhana, jam dinding berbentuk burung beo kuning bercampur biru dan hitam—dengan ekor yang berayun setiap detik—mengingatkanku pada kehangatan Kupang. Hadiah perpisahan dari Uni, teman sekamarku selama program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 2 itu, kini menjadi saksi bisu perjalanan hidupku di perantauan. Jarum pendeknya menunjuk angka 6, sementara jarum panjangnya melewati angka 6, membentuk formasi yang meneriakkan pukul 18.30 WIB.

Kusampirkan Alkitab usang di tas selempang, bergegas menuju Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Tangerang Selatan, gereja yang menjadi potongan kecil Pulau Nias di tengah hiruk-piruk kota metropolitan ini. Melintasi Pamulang Square, mataku dimanjakan oleh gemerlap lampu pasar malam bagai kunang-kunang urban.

Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang
Jam beo kesayangan/Intan Idaman Halawa

Sabtu Malam yang Berulang

Pasar malam selalu punya cara unik untuk mengubah kanvas gelap malam menjadi pameran yang hidup dan berkedip. Setiap sudut menyala dengan ceritanya sendiri: lentera-lentera plastik yang menari di atas gerobak bakso hingga lampion-lampion murah yang bergoyang diterpa angin. Semuanya bersekongkol menciptakan aurora jalanan yang membuat kita lupa, bahwa ini hanya pasar malam biasa di pinggir kota, bukan festival cahaya di negeri dongeng.

Asap sate taichan bergulung di udara, membawa aroma pedasnya beradu dengan manisnya gulali yang mengambang seperti awan gula-gula. Jagung bakar menambahkan aksennya sendiri—gurih dan hangat. Sementara itu, jalanan Pamulang menggelar konsernya: dengung knalpot bersahutan dengan protes klakson yang tersangkut macet, menciptakan melodi khas penutup pekan.

Sebagai pengurus Komisi Remaja dan Pemuda, aku seharusnya sudah hafal untuk berangkat lebih awal. Namun, entah mengapa waktu seolah berkonspirasi melawanku—selalu saja ada lima menit yang ‘hilang’ di perjalanan. Mungkin terselip di antara godaan sempol yang mengepul atau tersangkut di antara kerumunan pembeli cilok yang mengular. Rasa bersalah menggelayut di pundak setiap kali aku terlambat dengan sengaja, seperti dosa kecil yang tak terampuni.

Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang
Terjebak kemacetan di depan Pamulang Square/Intan Idaman Halawa

Setiap Sabtu malam, jalanan di depan Pamulang Square memiliki warna tersendiri. Di antara gemerlap lampu kendaraan yang bergerak lambat dan aroma bermacam jajanan yang menguar, pasar malam ini menjadi saksi bisu rutinitas mingguanku menuju BNKP Tangerang Selatan. Biasanya, aku hanya melintas dengan masker terpasang rapat, menghalau asap kendaraan yang bergulung-gulung di tengah kemacetan.

Mobil-mobil merayap bagai siput di depanku, “rel merah” berpendar memanjang di hadapanku—bukan rel kereta sungguhan, tapi untaian lampu rem yang berkedip. Mobil-mobil bergerak dalam tempo mengantuk, kadang mendesis berhenti, kadang tersentak maju seperti robot tua yang engselnya berkarat. Jaket kulit sang pengemudi ojek menguar aroma campuran bensin dan parfum maskulin murah, mengingatkanku pada bengkel motor tempat kendaraanku dirawat. Jari-jariku mencengkeram ujung jaketnya dengan canggung—sebuah gestur yang selalu terasa asing meski sudah puluhan kali kuulangi selama sebulan terakhir naik ojek daring.

Motor kami menyelip di antara celah sempit dalam tarian yang sudah terlalu familiar di jalanan kota: gas-rem-gas-rem, sebuah koreografi yang membuat perutku seperti sedang menaiki roller coaster mini. Ketika motornya kembali melesat menemukan celah, genggamanku pada ujung jaket mengerat. Bukan gestur ketakutan, melainkan semacam ritual bertahan hidup yang kupelajari dari ratusan perjalanan sebelumnya.

Jalanan kembali lengang, deretan motor terparkir rapi di depan stan jajanan/Intan Idaman Halawa

Singgah Mencuri Waktu

Angka digital di smartwatch Samsung putih—hadiah dari pacarku yang ia buru saat flash sale, menawar harga dari sejuta menjadi Rp499.000—berkedip menunjukkan 21.05 WIB. Ibadah pemuda baru saja usai, jalan pun sudah tidak semacet saat aku berangkat tadi. Kendaraan berlalu-lalang dengan lega, sedang para penikmat jajanan sibuk dengan dunianya. 

Ini adalah kali pertamaku memberanikan diri menepuk pundak tukang ojek dan meminta berhenti. Suaraku terdengar seperti anak sekolah yang ketahuan membolos, tapi responsnya mengejutkan. “Tidak apa-apa, Mbak. Kebetulan Anda penumpang terakhir saya hari ini,” ucapnya dengan senyum yang membuat keragu-raguanku luruh seperti es yang mencair.

Malam menghampar di hadapanku bagai kanvas hitam yang ditaburi titik-titik cahaya. Deretan lapak pedagang kaki lima memanjang bagai ular neon yang meliuk, ujungnya menghilang di kegelapan Danau Pamulang yang bagai cermin obsidian. Di tepiannya, siluet-siluet manusia bergerak dalam slow motion: sepasang kekasih yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri, penyendiri dengan secangkir kopi yang beruap, dan sekelompok remaja yang tawanya mengambang di udara malam. Sesekali aku melirik waswas, membayangkan kemungkinan mereka tergelincir ke dalam air yang kelam.

Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang
Tepian Danau Pamulang dan para penikmatnya/Intan Idaman Halawa

Gerimis mulai turun seperti konfeti transparan yang ditaburkan langit. Tidak cukup deras untuk menghancurkan hasil karya satu setengah jam di depan cermin—ritual kecantikan yang kumulai sejak pukul lima sore dengan serum vitamin C, moisturizer, sunscreen (yang sebenarnya tidak terlalu penting di malam hari), foundation, bedak, dan sentuhan akhir berupa maskara tahan air.

Tetesan air yang jatuh justru menciptakan prisma-prisma mini di bawah lampu pedagang, membuat malam terasa seperti adegan dalam film yang direkam dengan lensa blur. Pemandangan ini membawa ingatanku melompat ke beberapa waktu lalu; saat Mawar, kakakku si pekerja keras, dan Ardin, adikku yang sibuk dengan dunia perkuliahan Hukum di UNPAM—tempat perkuliahan dengan biaya terjangkau di Pamulang—menemani petualangan kulinerku di sini.

Dua celana knit yang kubeli hari itu kini hanya menjadi penghuni pasif lemari, tapi kenangan mencicipi jajanan bersamanya masih terasa hangat. Telur gulung yang mengepul, cimol yang masih bermandi minyak, dan sempol yang menggoda—semuanya dijejer rapi di atas meja plastik biru dengan harga yang bersahabat: sepuluh ribu per porsi. Saat itu kami masih bisa bebas mondar-mandir dengan motor bekas kebanggaan kami, sebelum akhirnya si kuda besi memutuskan untuk ‘ambil cuti’—istilah halus untuk mogok—selama sebulan terakhir.

Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang
Penjual sempol dan bakso bakar serta pelanggan yang sedang menunggu pesanannya
/Intan Idaman Halawa

Suasana Hiburan Jalanan

“Telur gulung masih hangat, Kak!” tawaran ramah ini selalu menggoda setiap kali aku melewati deretan pedagang. Aroma gurih mengusik hidungku, bersaing dengan dengung aktivitas pasar malam. Di tengah ingar-ingar itu, petikan gitar retak membelah udara—melodi Memori Berkasih mengalun dari ujung jari seorang pengamen berjaket lusuh. Nadanya sumbang, tapi entah mengapa terasa pas dengan gemerlap lampu stan yang berkedip-kedip.

Tak jauh dari mereka, sosok manusia silver—anak kecil dengan tubuh berlumur cat perak—berjalan mendekat, menyodorkan kotak pengamen sambil menundukkan kepala. Matanya—satu-satunya bagian yang tidak tersentuh cat—menatap ke bawah, seakan menghitung retakan aspal. 

Hatiku mencelos saat hanya bisa merapatkan tangan dan meminta maaf. Dompetku telah kosong malam itu. Belum lama sosok berkilau tersebut berlalu, sepasang badut dan ondel-ondel Betawi berbaju merah dengan topeng berhias melintas, menambah warna-warni kehidupan malam.

Di tengah semua pertunjukan ini, seorang tukang parkir sibuk meniup peluitnya, mengarahkan motor-motor yang berdatangan mencari tempat berhenti. Suara peluitnya berbaur dengan dentingan gitar pengamen dan celoteh pengunjung, menciptakan simfoni khas pasar malam Pamulang.

Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang
Ondel-ondel merah dan kawannya berbaju hijau muda lusuh/Intan Idaman Halawa

Makna Perjalanan

Dari tempatku berdiri, Pamulang Square tampak berbeda. Bukan lagi sekadar gedung yang kulewati dengan masker terkatup rapat, melainkan panggung tempat kehidupan malam beraksi. 

Para pedagang masih tekun mengaduk penggorengan, seolah waktu belum beranjak dari sore. Di tepian danau yang berkilau memantulkan lampu-lampu stan, beberapa orang duduk dengan secangkir kopi kemasan—mungkin juga mencari ketenangan mereka sendiri di tengah kebisingan kota.

Malam mengajariku bahwa keramaian kota punya ritmenya sendiri. Ada yang bergegas seperti diriku biasanya, ada yang memperlambat langkah seperti diriku malam ini. Para pedagang yang bertahan hingga larut, pengunjung yang mencari kedamaian di tepi danau, bahkan mas Gojek yang menjadikanku penumpang terakhirnya—semua punya cerita yang tak terlihat saat kita terlalu sibuk bergerak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Sabtu dari Pasar Malam Pamulang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-sabtu-dari-pasar-malam-pamulang/feed/ 0 44625
Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/ https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/#respond Thu, 12 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44552 Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah...

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah properti syuting film tentang nelayan tradisional yang kesasar di pelabuhan. Mesinnya mendengkur seperti kucing tua yang sedang flu. Tidak meyakinkan sama sekali.

“Bagaimana kalau perahu ini mogok di tengah laut? Bengkel mana yang harus disinggahi?” gumamku sambil berdiri kaku di Pelabuhan Bolok, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan skenario lain yang berkelebat dalam kepala. Bagaimana jika ternyata ada portal dimensi di dasar Selat Semau; yang akan menyedot kami ke dunia paralel di mana manusia hidup di laut dan ikan-ikan hidup di darat?

Oke, mungkin itu agak berlebihan. Tapi, siapa yang tahu? Segitiga Bermuda saja masih misteri, apalagi Selat Semau yang jarang diliput National Geographic!

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Aktivitas di Pelabuhan Bolok/Intan Idaman Halawa

Gejolak saat Menaiki Perahu

Aku adalah peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 2. Program dari Kemendikbud ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar provinsi asal. Perjalananku ke Pulau Semau menjadi simpul tak terduga dalam peta pendidikanku. Awalnya, aku membidik dua perguruan tinggi, yaitu Universitas Udayana Bali dan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang. Namun, keterbatasan kuota di Udayana mengalihkanku sepenuhnya ke UNDANA—yang kemudian membuka pintu menuju petualangan yang menakjubkan.

Sebagai pendatang yang baru pertama kali menyeberang dengan perahu, otakku bekerja lebih keras dari mesin perahu. Aku membayangkan segala kemungkinan terburuk. Bahkan sempat terpikir untuk mengikat diriku ke tiang perahu dengan tali ransel—ide yang langsung kutepis karena sadar hal itu hanya ada di film-film.

Di tengah guncangan perahu yang membuatku hampir menjatuhkan ponsel ke laut, mataku menangkap pemandangan yang membuat ketakutanku sejenak terlupakan. Air di bawah sana begitu jernih, seperti kaca yang bergerak. Ikan-ikan berwarna-warni berenang dalam kelompok kecil, sesekali berpencar lalu berkumpul lagi, seolah sedang bermain kejar-kejaran.

Rintik hujan mulai turun, lembut dan dingin. Setiap tetes menciptakan lingkaran kecil di permukaan air, seperti ribuan koin perak yang dijatuhkan secara bersamaan. Kuulurkan tangan, membiarkan air laut menyentuh ujung jari. Sensasi dingin air laut membuatku tersadar; ini nyata, bukan simulasi. Sebuah perahu kayu sederhana benar-benar bisa mengapung dan membawa kami melintasi selat. Fisika Newton, kau sungguh ajaib!

Setelah tiga puluh menit yang terasa seperti perjalanan menembus dimensi lain, perahu kami akhirnya merapat ke dermaga kayu Pulau Semau. Pak Sopir, pemilik pikap hitam yang sudah menunggu di pelabuhan, melambai ke arah kami. Mobilnya tampak seperti veteran perang yang masih gagah. Cat hitamnya sudah termakan usia di beberapa bagian, tetapi mesinnya menderu penuh semangat.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Menikmati perjalanan di atas perahu/Intan Idaman Halawa

Menjelajahi Pantai Otan

Di bak belakang pikap, dua bangku kayu panjang dipasang berhadapan. Aku memilih duduk menghadap depan, bukan karena lebih berani, melainkan setidaknya bisa melihat bahaya yang akan datang. Jemariku mencengkeram tepian bak mobil yang terasa panas karena sinar matahari.

“Siap semua?” tanya Pak Sopir dari kursi kemudi, matanya berkilat jahil dari kaca spion.

Belum sempat kami menjawab, pikap sudah melaju. Deru mesin bercampur dengan suara “krek-krek” dari bangku kayu, yang bergesekan dengan bak mobil setiap kali roda menghantam bebatuan. Ada retakan kecil di kaca belakang, hasil dari entah berapa ribu perjalanan sebelum kami.

Pikap melaju menuju pantai Otan, sesekali terguncang diiringi teriakan saat melewati bebatuan. “Mamaaa! Bapaaak!” jerit kami diiringi ketakutan.

Pikap terus melaju, mengambil belokan tajam yang membuat kami semua bergeser ke satu sisi. “Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan,” Becca komat-kamit sambil memeluk ranselnya seperti pelampung darurat. Seruan itu berulang setiap kali mobil menuruni jalan berkelok.

Setelah lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun, pikap akhirnya berhenti di tanah lapang dekat Pantai Otan. Kami turun dengan kaki gemetar, beberapa masih mengucap syukur berkali-kali.

Di hadapanku terbentang hamparan pasir putih yang bertemu dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Angin pantai bertiup kencang, membawa aroma asin yang membuatku merasa seperti keripik kentang berjalan. Kulihat Yazid sudah melepas sandalnya, berlari ke arah pantai sambil berteriak, “Pantai, i’m coming!”

Sementara teman-temanku berenang dan bermain air layaknya putri duyung yang baru menemukan kolam renang, aku memilih untuk menjadi arsitek pasir. Kubangun istana-istana megah, yang pada akhirnya diinjak oleh teman-temanku yang berlarian di tepi pantai.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Seorang teman berperan sebagai putri duyung di Pantai Otan/Intan Idaman Halawa

Menerjang Hujan menuju Perteduhan

Namun, alam punya selera humor tersendiri. Langit yang tadinya secerah presenter ramalan cuaca mendadak berubah jadi backdrop film horor. Hujan deras dan petir mengguyur pantai, menghancurkan kompleks istana pasirku dalam sekejap. Kami berdesakan di bawah pondok kecil yang jelas tak cukup untuk menampung semua orang. Sebagian pasrah bermain hujan. Slogan kelompok kami, “Sonde jalan sonde asyik” ternyata benar-benar terwujud hari ini. Tak ada momen yang terlewatkan, tak ada cerita yang terlupakan.

Teman-temanku yang masih basah seusai berenang menggigil kedinginan, bibir mereka membiru seperti habis makan permen blueberry beku. Sementara aku berusaha menghubungi Pak Thom, dosen pembimbing kami yang lebih dulu pergi ke rumah kenalannya. Telepon genggamku mulai bertingkah seperti remaja labil. Kadang ada sinyal, kadang tidak, kadang hanya bergetar tanpa alasan jelas, seolah sedang merajuk di saat yang paling tidak tepat.

Tapi seperti kata orang tua, segala sesuatu ada waktunya. Akhirnya Pak Thom mengangkat teleponku. Kujelaskan situasi kami yang sudah mirip es lilin dalam freezer. Beliau langsung sigap menghubungi sopir pikap yang tadi untuk menjemput kami ke rumah kenalannya, tidak jauh dari Pantai Otan.

Perjalanan menuju tempat berteduh ternyata menyimpan kejutan tak terduga. Dua puluh mahasiswa Asekae Nusantara—nama kelompok kami dengan slogan tadi yang terdengar seperti moto komunitas pendaki yang hobi karaoke—berdesakan di bak pikap hitam. Kami persis sarden kalengan versi manusia, lengkap dengan “kuah” air hujan yang tak henti mengguyur.

Kak Oswald, liaison officer kami yang baik hati, memutuskan untuk mengikuti dengan sepeda motor dari belakang. Mungkin sebagai bentuk solidaritas untuk mengurangi beban pikap yang sudah mengeluh lewat suara mesinnya. Atau, mungkin juga karena tak tega melihat kami yang sudah seperti bubur dalam blender. Hujan yang masih setia menemani membuat jalanan becek dan—oh, astaga—dipenuhi kotoran kerbau yang mencair bagai cokelat leleh yang salah resep.

Ban pikap kami melindas genangan demi genangan, mencipratkan “air” ke segala arah. Tawa kami meledak ketika mendengar seruan kaget Kak Oswald yang wajahnya tak sengaja terkena cipratan kotoran kerbau dari ban mobil kami. 

“Astaga!” teriaknya dalam logat Flores yang kental, seperti aktor sinetron yang baru tahu naskahnya diubah mendadak. Bahkan dalam kondisi menggigil kedinginan, kami tak bisa menahan tawa. Dalam situasi ini tidak ada yang kepikiran untuk mengabadikan momen tersebut dalam lensa kamera. 

Setibanya di tempat perteduhan itu, sepasang suami istri yang menjadi tuan rumah menyambut kami dengan hangat. Pak Thom dan pemilik rumah sudah membeli ikan basah sebelumnya untuk kami bakar. Aroma ikan bakar dan mangga Semau legendaris yang manis membuat perutku bernyanyi lebih keras daripada suara hujan di luar.

Halaman belakang rumah mereka yang luas dihiasi dengan deretan kayu bakar yang tidak tersusun rapi dan dihiasi rumput-rumput liar. Di antara tumpukan kayu itu, beberapa ekor ayam berjalan dengan gaya yang mengingatkanku pada fashion show— lengkap dengan kepala yang mengangguk-angguk seolah sedang menilai penampilan satu sama lain.

Sore harinya, setelah hujan mereda dan perut kami kenyang, kami menuju Kolam Penyu Uisimi. Uisimu merupakan sebuah kolam alami berisi air payau yang bening, tempat penyu-penyu berenang dengan bebas. Meski ukurannya tidak begitu besar, kolam ini dihiasi dengan pepohonan rimbun dan bebatuan karang di sekelilingnya.

“Hati-hati licin,” Kak Oswald mengingatkan. Wajahnya sudah bersih dari insiden “air cokelat” sebelumnya.

Aku memilih bermain ayunan yang tergantung di pohon tua di pinggir kolam. Dari sini, aku bisa mengamati teman-temanku yang berusaha berenang bersama penyu. Tiba-tiba, sesuatu menyentuh kakiku yang terendam air. Seekor ikan kecil, dengan tampang sepolos tukang parkir yang tidak sengaja menggores mobil, sepertinya menganggap jari kakiku adalah makanan.

“Maaf kaki saya bukan menu hari ini,” bisikku gemas melihat ikan itu.

Kembali ke Kupang

Menjelang senja, kami terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada kolam penyu dan kembali ke pelabuhan. Dari jauh lampu-lampu Kupang mulai berkedip di kejauhan, seperti sekumpulan kunang-kunang yang sedang mengadakan festival musik elektronik. 

Di atas perahu motor, suara mesin berdentum seperti drumben dadakan, berpadu dengan nyanyian serak kami. Lagu Project Pop Ingatlah Hari Ini mengiringi perjalanan pulang. Percikan air laut dan embusan angin malam seolah ikut bernyanyi bersama kami. Butiran-butiran air asin mendarat di wajah, menciptakan sensasi dingin yang menyegarkan.

Kami bernyanyi lebih keras, mencoba mengalahkan deru ombak dan angin. Lagu demi lagu mengalir, dari Laskar Pelangi sampai Sepatu, dari Bento sampai Yogyakarta. Setiap lagu membawa kenangan tersendiri, setiap nada mengukir momentum yang tak terlupakan.

Ketika perahu akhirnya merapat ke dermaga, kami masih bisa merasakan getaran lagu terakhir di dada. Lampu-lampu Pelabuhan Bolok menyambut hangat, menandai akhir dari sebuah hari yang penuh cerita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/feed/ 0 44552