Izzatul Mucharrom https://telusuri.id/penulis/izzatul-mucharrom/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 20 Mar 2025 03:24:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Izzatul Mucharrom https://telusuri.id/penulis/izzatul-mucharrom/ 32 32 135956295 Liburan Indie di Kakek Bodo Campground, Pasuruan https://telusuri.id/liburan-indie-di-kakek-bodo-campground/ https://telusuri.id/liburan-indie-di-kakek-bodo-campground/#respond Mon, 20 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29274 Saya adalah seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu dari Senin-Sabtu untuk datang ke kantor jam 08.30 WIB dan pulang bersama dengan para pekerja lain—yang seringkali terjebak kemacetan setiap jam 18.00 WIB. Kalian pasti bisa menebak,...

The post Liburan Indie di Kakek Bodo Campground, Pasuruan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya adalah seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu dari Senin-Sabtu untuk datang ke kantor jam 08.30 WIB dan pulang bersama dengan para pekerja lain—yang seringkali terjebak kemacetan setiap jam 18.00 WIB. Kalian pasti bisa menebak, apa yang saya rasakan jika kegiatan ini kita ulangi terus menerus setiap hari selama  satu tahun lebih. Ya, bosan, jenuh, lelah, itu semua saya rasakan. 

Pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda reda ini, membuat banyak sekali rencana perjalanan saya tertunda. Bahkan, saya hampir tidak pernah meninggalkan Kota Surabaya selama satu tahun ke belakang. 

Sekitar bulan April 2021, dua orang kawan mengajak saya liburan santai—dan tentu saja murah, saya langsung mengiyakan saja karena sudah penat dengan situasi dan kondisi yang sedang saya hadapi. 

Camping di Kakek Bodo Campground, Prigen, Pasuruan

Setelah mencocokkan jadwal pekerjaan, terpilihlah tanggal 12-13 Juni 2021. Bertepatan dengan hari ulang tahun saya ke- 25 tahun. Itung-itung, ini adalah rasa terimakasih terhadap diri saya sendiri setelah berhasil bertahan melewati satu tahun yang sulit—paling sulit karena ibu saya berpulang pada 18 Februari 2021 lalu.Bersama lima orang  kawan, saya berbagi tugas membawa barang. Kurang lebih, ini daftar perlengkapan yang kita bawa: 2 tenda ukuran sedang, 1 kompor portable, 1 set nasting (pinjam teman), sendok (bawa dari rumah masing-masing), 1 buah gas (beli di minimarket sekitar Rp30 ribu).

Untuk meminimalisir biaya, kami memanfaatkan bahan makanan yang ada di rumah, seperti mie instan, garam, lada, saos sambal, dan penyedap masakan. Khusus daging barbeque, sosis & bakso, kami membelinya. Kami tidak membawa nasi atau beras untuk dimasak, karena kami pikir, bahan-bahan ini sudah cukup untuk kita makan 2 kali. 

Sabtu  ba’da Maghrib, saya dan kawan-kawan berangkat ke campground Kakek Bodo. Dari Surabaya, normalnya perjalanan sekitar 90-120 menit. Tetapi, terjebak macet di sepanjang Bungurasih-Gedangan Sidoarjo. Alhasil, kami mencari jalan alternatif lain agar tidak terlalu lama dikepung kemacetan.

Suasana Campground
Suasana campground/Izzatul Mucharrom

Pintu masuk ke Campground Kakek Bodo ada 3, tetapi kita memilih masuk lewat jalur belakang yakni Hotel Surya karena lebih dekat dengan campground. Kami tiba di sana sekitar jam 20.00, harga tiket masuk Rp20 ribu per orang, kami harus mengisi semacam formulir pendaftaran dengan nama dan tanda tangan 1 orang penanggung jawab, kami cantumkan juga jumlah orang di rombongan yang ikut serta.

Harga tiket parkir motor Rp3 ribu. Dari tempat parkir, kami harus berjalan sekitar 5-10 menit sedikit menanjak untuk sampai di campground. Kami memilih lokasi yang dekat dengan kamar mandi, tidak terlalu ke atas. Karena kondisi malam hari, kami segera membangun tenda untuk kemudian menyiapkan makan malam. 

Kami masih mendengar kawan-kawan yang telah sampai lebih dulu di campground bercengkrama, bergurau, memetik gitar sambil bernyanyi, dan ada pula yang memasak. Setelah tenda berdiri, kami menyiapkan perlengkapan untuk pesta perut, alias makan-makan. Dengan bumbu-bumbu sederhana dan racikan ala kadarnya, kami berhasil menyantap mie instan dengan topping daging, sosis dan bakso sapi. Ditambah saus sambal dan dinginnya udara Prigen pada 12 Juni. Ah, sungguh momen perayaan ulang tahun yang tak akan pernah saya lupakan. 

Kami berbincang tentang banyak hal, mulai dari yang biasa-biasa saja sampai merembet ke gosip. Maklum, kami berenam sudah jarang bertemu. Padahal, semasa satu UKM saat kuliah dahulu, hampir setiap hari kami bertemu. Ini adalah kegiatan sederhana, terlampau sederhana, atau, kalian lebih sering melakukannya. Tetapi bagi saya yang masa mudanya direnggut kapitalisme ini, momen ini sangat berharga. Istilahnya, golden moment-lah ya.

Saat itu terbersit di pikiran saya: banyak sekali tempat indah dan waktu-waktu yang bisa dihabiskan dengan orang-orang tersayang, tapi mengapa masa muda saya harus dihabiskan setiap hari dari pagi-petang untuk duduk menatap layar komputer? Dengan tuntutan ini itu dan rasa jenuh yang kian menumpuk. Tapi ya sudahlah.

Telentang Dibawah Langit
Telentang Dibawah Langit/Izzatul Mucharrom

Esok paginya, saya bangun paling akhir. Kawan-kawan sudah membuatkan kopi sambil merokok, berbincang entah membicarakan apa. Saya bangun dan pergi ke kamar mandi untuk bersih diri, kemudian bergabung dengan mereka. Saya tidur telentang menatap langit, dengan pohon-pohon di sekeliling. Sesekali, saya memejamkan mata sambil menghirup-hembuskan napas dalam-dalam. Rasanya, saya tidak ingin pulang. Tidak ingin ke kantor dan pulang dengan rasa penat lagi. 

Setelah itu, kami sarapan, dengan menu yang sama, tetapi suasana berbeda. Karena terang, kami bisa melihat kawan-kawan yang lain. Mereka memasak, mengantre di kamar mandi, bergurau, berfoto, mencuci piring, dan lain-lain. 

Urusan perut beres, saya jalan-jalan ke ground atas. Ada Ground A sampai F, kalau saya tidak salah lihat. Alternatif lain setelah kalian camping di sini, kalian bisa mampir ke air terjun, sekalian berendam di sana. Semua rasa penat kalian terhadap kota akan hilang sejenak!

Kami juga mampir ke warung yang ada di campground, di warung itu tersedia beberapa minuman hangat seperti kopi, teh, dan minuman sachet lain. Ibu warungnya juga jual gorengan lho, saya sempat mencoba pisang gorengnya, rasanya enak, cuma Rp1 ribu harganya. Awalnya, saya mau pesan es, lalu ibunya berkata, ”Nggak ada es di sini Mbak, lagi pula sudah dingin gini kok ya cari es to?” 

Salah seorang laki-laki usia 50 tahun di warung itu menjawab cepat, “Ini saya lihat-lihat sepertinya orang Surabaya yaa. Dari cara bicaranya saja sudah kelihatan, memang orang Surabaya ya kalo nggak minum es nggak afdhol.”

Kami semua tertawa.

Kami sempat mengobrol dan akhirnya kami tahu bahwa bapak itu mampir di campground setelah melakukan perjalanan bersama komunitas sepeda gunungnya.

Dari penjual makanan dan bapak tersebut pula kami tahu bahwa daerah ini sempat diguyur hujan deras Sabtu malam sekitar jam 18.00-19.00. Bahkan ibu warung sampai meminjamkan terpalnya ke salah satu pengunjung ground karena air hujan yang akhirnya becek di tanah masuk ke tendanya.  Alhamdulillah, kami terhindar dari hujan itu. Kami kembali ke Surabaya jam 13.00, bonus landscape pegunungan dalam perjalanan pulang. Benar-benar refresh otak dengan harga murah, kurang lebih saya mengeluarkan budget Rp150 ribu saja. Singkat memang, tak sampai satu hari, tapi ini sungguh berharga bagi saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan Indie di Kakek Bodo Campground, Pasuruan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/liburan-indie-di-kakek-bodo-campground/feed/ 0 29274
Vaksinasi COVID-19 Massal di Stadion Gelora 10 November https://telusuri.id/vaksinasi-massal-di-stadion-gelora-10-november-surabaya/ https://telusuri.id/vaksinasi-massal-di-stadion-gelora-10-november-surabaya/#respond Fri, 30 Jul 2021 00:45:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29412 Apakah kamu sudah menjalani vaksinasi COVID-19? Seperti yang kita tahu, pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya menyelenggarakan vaksinasi massal kepada seluruh lapisan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk meredam penyebaran COVID-19. Berbagai program vaksinasi pun dilakukan. Salah...

The post Vaksinasi COVID-19 Massal di Stadion Gelora 10 November appeared first on TelusuRI.

]]>
Apakah kamu sudah menjalani vaksinasi COVID-19? Seperti yang kita tahu, pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya menyelenggarakan vaksinasi massal kepada seluruh lapisan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk meredam penyebaran COVID-19. Berbagai program vaksinasi pun dilakukan. Salah satu bagian dari program ini juga turut saya rasakan.

Awalnya, saya mendaftarkan vaksinasi melalui website yang disediakan Pemkot Surabaya. Satu minggu kemudian, saya mendapatkan SMS konfirmasi yang akan terhubung ke aplikasi Halodoc. Setelahnya saya harus konfirmasi appointment di Puskesmas tempat saya tinggal.

Kala itu, saya mendapatkan jadwal vaksinasi pada 8 Juli 2021 di Puskesmas Tenggilis Mejoyo, Surabaya. Tetapi sehari sebelumnya, saya mendapatkan SMS kembali bahwa lokasi vaksinasi dialihkan ke Stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya. 

Saya berpikir, wah lumayan jauh nih dari rumah. Saya mencari informasi di internet, ternyata Pemkot Surabaya sedang mengadakan vaksinasi massal untuk semua warga Surabaya mulai tanggal 7-11 Juli 2021. Jadi, semua yang mendapatkan jadwal vaksin di Puskesmas pada tanggal tersebut, lokasinya dialihkan ke Stadion Gelora 10 November. 

Saya ragu-ragu, melihat pemberitaan di media. Banyak sekali warga yang menyerbu Stadion Gelora 10 November. Apakah akan aman jika saya vaksinasi di sana?

Bukankah malah memicu kerumunan dan berpotensi menularkan COVID-19?

Setelah bertanya ke teman-teman yang sudah mendapatkan vaksinasi lebih dulu di sana, mereka bilang bahwa protokol kesahatan diberlakukan cukup ketat. Pun, selama persyaratan kita lengkap, pasti akan mendapatkan vaksin.

Dengan mantap saya menyiapkan formulir yang saya unduh melalui website Pemkot. Saya cetak, kemudian mengisi data diri. Kemudian saya menyiapkan fotokopi KTP sebagai pelengkap syarat. Untuk warga yang dengan alamat KTP di luar Surabaya, mereka harus mencantumkan surat keterangan domisili dari RT dan RW. Kalau tidak disertakan, tidak bisa mendapat vaksin. 

Bersama kakak, saya berangkat ke lokasi. Sampai di sana sekitar pukul 10.00. Saya bertanya ke petugas parkir, “Mas, ini antrean yang cepet sebelah mana ya?” Ia menjawab, ”Lewat pintu yang samping ini aja Mbak, kalo yang sana antrenya panjang.”

Saya menerima saran tersebut. Dan ternyata benar! Hanya 5 menit saya antre di depan gate, setelah itu berjalan masuk dan duduk di tribun.

Relawan dan Satpol PP berjaga di beberapa titik tribun. Mereka akan menegur orang-orang yang duduknya tidak teratur atau bergerombol. Alurnya adalah, kita akan duduk secara teratur dari tribun atas sampai bawah. Bagian baris paling depan akan dipanggil petugas untuk berjalan ke tengah lapangan dan diarahkan ke tenda screening

Warga Duduk di Tribun
Masyarakat duduk di tribun/Izzatul Mucharrom

Ada banyak tenda dengan ratusan tenaga medis dan relawan yang akan membantu proses vaksinasi. Setelah satu baris paling depan berjalan ke lapangan, baris atasnya akan turun 1 tingkat. Begitu seterusnya. Tapi, yang namanya juga vaksinasi massal—ada ribuan orang berpartisipasi, jadi saya menunggu di tribun kurang lebih 2 jam.

Selama saya menunggu, banyak sekali kejadian lucu dari orang-orang di sekitar. Kebetulan, saya dikelilingi orang tua. Minim anak muda seumuran. Saya mendengar beberapa perbincangan mereka. Ada yang bergosip, ada yang sedang membicarakan para petugas vaksin, hingga perbincangan seputar tetangga yang terpapar COVID-19 dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. “Nah iya gimana sih? Kalau dibuat PPKM lagi, suami saya sepi jualannya. Modal nggak balik.” Celetuk  seorang ibu di samping kiri saya. 

“Aduh panas banget, ingin sehat kok ya gini banget perjuangannya.” Suara perempuan yang entah di mana letak duduknya. Saya Cuma senyum-senyum sendiri mendengarkan keriuhan ini. Mau bagaimana lagi, namanya juga masyarakat, pasti memiliki banyak keresahan yang disampaikan dengan cara-cara sederhana. 

Antrian Rapi Vaksinasi
Antrian rapi vaksinasi/Izzatul Mucharrom

Tidak sedikit yang berusaha curang dengan mendahului orang di depan atau di sampingnya, kalau istilah jawanya “nyerobot” lah. Ada juga yang belum giliran masuk lapangan, tapi nyelonong gitu aja. Alhasil, dia ditarik petugas dan harus mengulang duduk di tribun bagian atas. 

Banyak warga yang sudah terlanjur lama mengantre, tapi harus pulang kembali karena tidak membawa surat keterangan domisili dari RT dan RW. Sayang sekali kan? Padahal sudah menunggu berjam-jam lamanya. 

Saya salut dengan kesabaran petugas dan relawan. Setertib-tertibnya warga, tetap saja jumlahnya banyak. Pasti ada saja hal aneh yang mereka lakukan. Petugas pun tidak henti-hentinya menegur mereka yang tidak tertib, baik secara langsung atau melalui megaphone.

Antri Penyuntikan Vaksin
Antri penyuntikan vaksin/Izzatul Mucharrom

Akhirnya sekitar jam 12 siang, saya mendapat giliran. Screening aman. Saya tidak punya riwayat penyakit yang dapat menghambat proses vaksinasi. Lanjut ke penyuntikan vaksin. Saya kira akan sakit, ternyata malah nggak kerasa apa-apa. Nggak ada sakit sama sekali. Oke, mission completed

Setelah vaksinasi, jantung ini berdebar cukup kencang. Sedikit pusing dan serasa ada yang mengalir ke seluruh bada. Orang Jawa menyebutnya, “kemerenyeng.” Tapi saya baik-baik saja. Sekitar jam 1 saya sudah tiba di rumah. Malam harinya, lengan kiri saya terasa sakit, tapi esok paginya sudah kembali normal.

Alhamdulillah, saya tidak merasakan efek menggigil atau sakit yang lain seperti yang disebutkan orang-orang. Setelah vaksinasi, saya tetap bisa bekerja seperti semestinya. Vaksin kedua saya dijadwalkan tanggal 7 Agustus 2021. Tak sabar.

Satu minggu kemudian, saya mendapatkan SMS notifikasi sertifikat vaksin bisa dilihat dan diunduh pada laman atau aplikasi pedulilindungi.id. Sertifikat ini banyak dijadikan syarat bepergian, entah di dalam kota atau di luar kota. 

Kalau kalian gimana, sudah vaksin? 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Vaksinasi COVID-19 Massal di Stadion Gelora 10 November appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/vaksinasi-massal-di-stadion-gelora-10-november-surabaya/feed/ 0 29412
Dari Mereka yang Turun ke Jalan https://telusuri.id/dari-mereka-yang-turun-ke-jalan/ https://telusuri.id/dari-mereka-yang-turun-ke-jalan/#respond Wed, 14 Oct 2020 09:19:07 +0000 https://telusuri.id/?p=24485 Rabu malam, 7 Oktober 2020, saya mendapat kabar dari seorang adik tingkat di kampus. Beberapa mahasiswa akan turut aksi penolakan omnibus law di Gedung Grahadi, Surabaya. Kabar yang cukup mengejutkan. Ia menanyakan apakah saya bisa...

The post Dari Mereka yang Turun ke Jalan appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu malam, 7 Oktober 2020, saya mendapat kabar dari seorang adik tingkat di kampus. Beberapa mahasiswa akan turut aksi penolakan omnibus law di Gedung Grahadi, Surabaya. Kabar yang cukup mengejutkan. Ia menanyakan apakah saya bisa bergabung aksi atau tidak. Tentu saja saya jawab tidak bisa. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan, deadline sedang menumpuk.

Maka saya hanya bisa memberikan beberapa saran, terlebih perihal keselamatan seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di lapangan. Tak lupa saya meminta untuk selalu diberikan kabar terbaru soal keadaan teman-teman, soal apakah mereka baik-baik saja di sana atau tidak.

Esoknya, 8 Oktober, sekitar pukul 10, dari kantor di Jl. Ngagel saya melihat massa aksi dari kalangan mahasiswa berangkat menuju lokasi, ramai-ramai menggunakan motor. Mereka memakai jas almamater. Ada dua orang yang mengibarkan bendera merah putih. Saya terenyuh. Selain merasa sangat egois karena tidak bisa turun aksi, saya juga menyadari bahwa masih ada orang-orang yang begitu sayang dengan negeri ini. Jika pemerintahnya salah, ya, jelas harus dikritik, dong.

Sejujurnya, ada rasa waswas dalam hati saya ketika memantau informasi demonstrasi omnibus law melalui media sosial. Terlebih, saat melihat respons-respons yang represif. Di kota-kota selain Surabaya, massa mulai bergerak ke beberapa titik. Saya berharap teman-teman yang turun aksi, di mana pun itu, selalu dalam lindungan-Nya.

Menjelang sore, teman kantor membagikan video kekacauan demonstrasi di Malang. Saya otomatis teringat pada adik tingkat yang menghubungi saya tadi malam. Saya mengirim pesan, menanyakan kondisinya, tapi tak ada jawaban. Di Twitter ternyata sudah ramai cuitan mengenai demonstrasi di berbagai kota. Tersebar pula video aparat yang mengejar, memukul, dan menendang demonstran, ditambah dengan menembakkan gas air mata.

Lagi, saya punya seorang kawan yang tinggal di Jakarta. Ia rutin datang ke Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Saya mengira dia pasti turun aksi hari ini. Saya coba hubungi dia. Tidak ada jawaban.

Malam hari, dua orang yang saya hubungi akhirnya merespons. Huh, saya bernapas lega. Syukurlah, keduanya dalam keadaan baik-baik saja. Saya bombardir mereka dengan berbagai pertanyaan. Utamanya: apakah mereka terluka?

Dari mereka saya tahu bahwa, pertama, Gedung Grahadi sisi depan rupanya hancur. Bisa disimak di berbagai media bagaimana massa aksi menjebol pagar dan merusak beberapa fasilitas gedung. Kedua, halte dan beberapa titik di Jakarta Pusat terbakar. Asap mengepul hitam di beberapa lokasi. Namanya juga ibu kota, pasti gelombang massa di sana akan lebih besar dibandingkan yang berada di kota-kota lain, setidaknya begitu menurut pengamatan saya.


Lebih rinci, kira-kira begini cerita mereka:

Di Surabaya, rombongan buruh dan mahasiswa melakukan mars panjang (long march) dari Bundaran Waru sampai Gedung Grahadi. Sekitar pukul 13.00, tiba segerombolan massa STM dan mahasiswa. Lima belas menit kemudian, massa mencoba mendobrak pagar Gedung Grahadi dan pagar berduri, tetapi tidak berhasil.

Pukul 13.30 pagar berduri berhasil dirobohkan, barikade polisi pun disiapkan. Di tengah, massa mulai melakukan pembakaran. Orasi tetap berlangsung di bagian kanan dan kiri jalan. Tak lama setelahnya, demonstran mulai menyeret bak sampah ke dalam kobaran api. Api membesar. Orasi dilanjutkan dengan bersama-sama menyanyikan lagu, salah satunya Indonesia Raya.

Kemudian, salah seorang demonstran memanjat tiang untuk memutus kabel CCTV. Kondisi mulai memanas. Dua puluh menit setelahnya, polisi maju ke arah demonstran. Gas air mata dilemparkan dari jarak dekat, meriam air (water cannon) disemprotkan ke arah demonstran. Kericuhan pun terjadi.

Tidak jelas siapa yang memulai kericuhan. Entah pihak mana yang membuat emosi antara demonstran dengan aparat meningkat. “Karena di sana ada mahasiswa, ada juga anak STM, ada juga orang yang pakai baju hitam-hitam,” ujar kawan saya.

Kericuhan tak dapat dihindari. Terjadi baku hantam antara demonstran dengan aparat kepolisian. Media telah mengabarkan bahwa banyak demonstran dan jurnalis yang ditangkap. Selain itu, mereka juga mendapatkan tindak kekerasan baik secara verbal maupun nonverbal dari aparat. Hingga malam hari, kericuhan belum juga surut. Polisi terus berusaha memukul mundur massa sampai bubar. Pukul 9 malam, kawan saya baru berhasil keluar dari kerumunan aksi.

Pemberitaan yang ada di media, bercampur dengan ramainya cuitan dan video yang tersebar di Twitter malam itu, sungguh menciptakan kesimpulan yang tidak utuh. Saya merasa ada banyak sekali informasi, ratusan bahkan ribuan. Entah mana yang harus dipercayai.

Yang jelas, saya meyakini bahwa tindakan represif aparat benar adanya. “Paramedis jalanan sampai kewalahan,” kata kawan saya. Tak lama kemudian tersebar video Tri Rismaharini, Bu Risma, mendatangi para demonstran. Yah, belum lengkap pemahaman kami, harus diganti dengan narasi kepedulian sang walikota.

Tetapi, yang saya tangkap, justru bukan kepedulian yang tersirat dari hadirnya Bu Risma malam itu, tetapi rasa kecewa. Kecewa akan rusaknya fasilitas kota, bukan kepada para demonstran yang luka-luka.

Ada beberapa kalimat yang hingga sekarang menempel di kepala saya: “Polisi juga manusia!” “Kalian ke sini ngapain?” “Awakdewe iki rakyat, awakdewe iki anakmu, Buk!

Jadi bagaimana? Silakan Anda simpulkan sendiri.


Kawan saya di Jakarta mengabarkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Saat terjadi pembakaran halte di daerah Bundaran HI, asap hitam mengepul, suasana Jakarta begitu kelam hari itu. Ekonomi seakan lumpuh. Yang ada hanya para demonstran dan kekecewaannya pada negara.

“Yang marah, ya, kami, rakyat. Jangan percaya narasi media, deh. Dikit-dikit bilangnya perusuh apa segala macem. Kalo menurut gue, ya, ini bentuk protes dan kecewanya rakyat,” ujarnya.

Kebakaran Halte Bus TransJakarta Sarinah, Jakarta, 8 Oktober 2020/Istimewa

Ia menambahkan, ”Gue juga takut waktu kondisi itu. Ngga keitung berapa kali gue kena gas air mata—anjir perih banget. Gue lari, semua lari nyelametin diri masing-masing. Pilihannya, ya, lo lari atau ditangkep. Gitu aja.”

Perihal pro dan kontra pembakaran halte serta aksi damai yang ramai dibicarakan netizen—“Kenapa, sih, harus rusuh? Emang ngga bisa aksi damai? Kalian tuh ngerusak fasilitas negara. Kalo udah gini yang rugi siapa?”—begini sekira tanggapannya, ”Mau aksi damai? Coba, deh, lihat, Kamisan udah 13 tahun aksi damai depan Istana. Ngga ada respon. Sama halnya kayak warga Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa.”

Menurut saya, halte yang dibakar tidak sebanding dengan korban luka-luka, yang kepalanya bocor berdarah-darah, yang dipentungi kepalanya, ditelanjangi. Dan ini terjadi hampir di semua wilayah yang rakyatnya berdemonstrasi. Publik begitu mudahnya terkecoh narasi halte-haltean. Padahal omnibus law mengancam kehidupan hari depan.

Baginya, dan saya menyetujuinya pula, ini adalah wujud rasa kecewa rakyat kepada para petinggi negara. Orang-orang yang berlabel “wakil rakyat” toh nyatanya tak memihak atau sekadar mendengar protes-protes dari rakyat. Tanpa memandang kelas, apakah buruh, petani, mahasiswa, dll., siapa pun itu, sah-sah saja jika ingin turun aksi untuk memperjuangkan hak-haknya yang dirampas.

Tak perlu mendebatkan sebetulnya siapa perusuh siapa bukan perusuh. Atau, lebih konyol lagi, siapa yang mendanai aksi ini, siapa dalang di baliknya. Semestinya tak perlu ada lagi narasi yang membelokkan inti dari demonstrasi ini. Luapan kekecewaan rakyat ada di jalanan, melalui demonstrasi.

Jika tak ada tindak lanjut atau keputusan tegas dari jajaran tinggi negara, atau mereka masih saja berkelit ini-itu perihal omnibus law, sepertinya demonstrasi akan terus berjalan karena rakyat memang tak bisa dihentikan. Bukankah memang semestinya begitu? ‘Kan ini negara demokrasi, siapa pun berhak bersuara.

Semoga kawan-kawan yang berjuang turun aksi selalu dalam keadaan baik. Terima kasih kawan-kawan telah menyuarakan apa yang semestinya diutarakan. Panjang umur, perlawanan.

The post Dari Mereka yang Turun ke Jalan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-mereka-yang-turun-ke-jalan/feed/ 0 24485
Tirtayatra di Pura Penataran Agung Besakih https://telusuri.id/tirtayatra-di-pura-penataran-agung-besakih/ https://telusuri.id/tirtayatra-di-pura-penataran-agung-besakih/#respond Wed, 13 May 2020 11:23:24 +0000 https://telusuri.id/?p=21568 Saya merasa beruntung saat datang ke Bali. Turis tidak banyak, bahkan bisa dibilang jarang. Jalanan di Bali pun tampak lebih lengang. Inilah Bali yang saya cari, tenang dan syahdu. Ada satu tempat yang menarik perhatian...

The post Tirtayatra di Pura Penataran Agung Besakih appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya merasa beruntung saat datang ke Bali. Turis tidak banyak, bahkan bisa dibilang jarang. Jalanan di Bali pun tampak lebih lengang. Inilah Bali yang saya cari, tenang dan syahdu.

Ada satu tempat yang menarik perhatian saya, yakni Pura Penataran Agung Besakih di daerah Bangli. Saat tiba di sana, tak ada wisatawan domestik, semuanya manca. Tentu saja mereka didampingi para pemandu wisata.

Tiket masuk Pura Besakih 30 ribu rupiah per orang. Dengan harga itu kita mendapatkan sebuah sarung, brosur, dan layanan ojek. Masuk Pura Besakih, pengunjung harus mengenakan sarung, kecuali bila telah memakai celana panjang atau rok panjang. Boleh juga membawa sarung sendiri dan memakainya.

Fasilitas ojek disediakan karena jalanan menuju pura menanjak. Sampai di pintu masuk pura, kita akan berhadapan dengan para penjual canang dan dupa. Mereka menjualnya dengan harga 10 ribu rupiah. Kita bebas hendak membeli atau tidak.

Pemandangan dari Pura Besakih/Izzatul Mucharrom

Setelah menunjukkan tiket masuk, para pemandu akan menawarkan jasa. Kita bisa menyewa mereka untuk mendapatkan cerita sejarah mengenai Pura Besakih, atau informasi lain yang berhubungan dengan pura ini. Uang lelah mereka dapat dinegosiasi. Tetapi saya memilih untuk tidak menggunakan jasa mereka.

“Hari ini ada doa bersama di sini, Bu. Bagus kalau mau foto-foto, karena momen seperti ini jarang,” kata sang pemandu sebelum saya melanjutkan langkah.

Penasaran, saya pun bertanya, ”Doa bersama dalam rangka apa, ya, Bli?”

“Wah, kurang tau, Bu. Pokoknya, doa bersama begitulah,” jawabnya sambil tersenyum.

Saya pun mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan ke pura. Pura Penataran Agung Besakih terletak di atas bukit. Bangunannya berdiri megah di tanah yang sangat luas. Dari bawah, kita dapat melihat tangga-tangga dan pintu pura utama yang besar.

Gerbang pura utama/Izzatul Mucharrom

Ketika saya sedang mengambil foto, dari arah pintu masuk datang rombongan berpakaian khas Bali. Perempuan dan laki-laki, lengkap dengan keben (besek) di tangan. Jumlah mereka sangat banyak, terlihat masih muda dan bersemangat.

Mereka adalah siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar kelas sembilan, datang ke Pura Besakih untuk melaksanakan tirtayatra, sembahyang bersama. Tujuannya untuk meminta kepada Sang Hyang Widhi supaya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dapat berjalan lancar. Kalau di agama Islam, seperti istighosah akbar begitulah.

Sembahyang pertama dilakukan di pura-pura kecil yang ada di samping kanan pura utama. Mereka harus sembahyang di pura sesuai dengan kasta masing-masing. Kasta yang dimaksud adalah sesuai silsilah keluarga, dibedakan sesuai garis keturunan raja atau bukan raja.

Jadi, mereka harus menemukan pura mana yang sesuai dengan kasta keluarga masing-masing. Bila telah menemukan pura yang sesuai, mereka bisa segera bersembahyang.

Yang unik dan menyita perhatian saya adalah keben yang mereka bawa. Keben kira-kira sama dengan besek di Jawa, yakni sebuah wadah dari anyaman bambu. Satu keben yang mereka bawa berisi canang, satu buah pisang, satu buah lainnya sesuai selera, jaje begine (makanan ringan), rasmen (tempat kacang saur), tipat kelanan (telur dan ketupat), beberapa makanan ringan tambahan sesuai selera, dupa, dan tirta (air suci).

Canang-canang yang dibawa siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar/Izzatul Mucharrom

Karena mereka masih SMP, canang yang mereka letakkan, selain ada bunga dan dupa, juga berisi lembar uang dua ribu rupiah, lima ribu rupiah, serta beberapa makanan ringan dengan kisaran harga 500-2.000 rupiah.

Menurut juru kunci Pura Besakih, keben harus dibawa karena merupakan salah satu aturan sembahyang. Makanan ringan yang disertakan bersama canang harus dibeli sesuai kemampuan ekonomi. Jadi tak heran bila makanan ringan yang mereka sertakan beragam, semisal Momogi, Oreo, Tango, Richeese Nabati, dan kawan-kawannya.

Setelah berdoa, mereka melakukan dana punia (bersedekah), untuk membantu pemeliharaan dan kebersihan pura. Nominalnya seikhlasnya saja, tidak ada patokan harga.

Saya diarahkan juru kunci pura untuk melihat struktur kasta raja-raja Bali. Di bagan tersebut tertulis dengan lengkap silsilah keturunan sejak raja Bali pertama hingga yang terakhir. Bagan ini disediakan di pura agar orang-orang yang mau sembahyang dapat memeriksa dan memastikan tidak salah tempat untuk sembahyang. Untuk wisatawan seperti saya tentu saja bagan itu sekadar sumber informasi.

“Jadi, di sini dibedakan. Ada bagian keturunan raja, ada keturunan ksatria, dan lain-lain, itu tidak boleh salah,” kata sang juru kunci yang kemudian melanjutkan, “kalau pura utama, ada di sana, di tengah yang paling besar itu.”

Saya bertanya, ”Sembahyang di sini berarti dua kali ya, Bli? Di sini dan di pura utama?”

Ia mengangguk, lalu melanjutkan, ”Yang namanya [Pura] Penataran Agung itu, ya, yang di tengah-tengah itu. Di sana nanti kembali lagi, berdoa kepada siapa, entah Syiwa, Indra, Krisna, atau yang lainnya.”

Setelah sembahyang di pura-pura kecil, siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar itu digiring untuk masuk ke kawasan utama pura terbesar di Bali ini. Di sana, mereka berdoa bersama para guru.

Tirtayatra di Pura Besakih/Izzatul Mucharrom

Selain pura utama dan pura-pura kecil di sampingnya, di bagian paling atas Pura Besakih terdapat Pura Gelap. Umumnya, orang-orang Hindu Bali datang ke pura ini bersama keluarga saat Purnama Kedasa (Purnama Kesepuluh) yang jatuh satu tahun sekali. Tidak bisa dipastikan Purnama Kedasa jatuh tepat pada bulan apa, umumnya, antara bulan Maret dan April.

Bila kita menaiki tangga terus ke atas, kita akan menemukan stan-stan yang menjual aneka buah tangan khas Bali dan minuman penawar dahaga. Saya berhenti di depan sebuah stan oleh-oleh, memandangi perbukitan yang seolah sambung menyambung, hijau dan sejuk di mata. Ia berpadu dengan langit yang kala itu begitu biru, awan yang bergerombol, juga angin sepoi-sepoi.

Atap-atap pura yang berbentuk runcing tertata rapi. Saya menghirup napas dalam-dalam. Ah, Bali sungguh membikin tenang. Udara yang seolah bersahabat dengan paru-paru saya, ditambah bau bunga dan dupa, rasanya membuat saya tak ingin cepat-cepat pulang.

Turun dari pura, saya duduk di gazebo. Ternyata, siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar sudah meninggalkan pura. Suasana kembali lengang, hanya beberapa turis mancanegara yang tampak asyik berfoto. Tapi hanya sementara. Sebentar kemudian, datang lagi serombongan mengenakan pakaian khas Bali dan membawa keben.

Mereka siswa-siswi dari SMK Dwijendra Denpasar kelas 12 yang, seperti anak-anak SMP PGRI 5 Denpasar tadi, juga akan tirtayatra supaya dilancarkan dalam Ujian Kompetensi Keahlian (UKK) dan UNBK.

Saya menyempatkan untuk berbincang dengan beberapa siswi seusai mereka sembahyang. Momen-momen seperti ini, sembahyang atau berdoa bersama, adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Ini menyenangkan bagi mereka. Karena sekolah mereka berada di Denpasar, mereka harus mengendarai bus untuk ke pura ini.

Mereka sedang bersemangat sekali karena sebentar lagi Nyepi. (Saya ke Bali memang berdekatan dengan Hari Raya Nyepi. Hampir di setiap banjar, warga sedang menyempurnakan ogoh-ogoh.) Menjelang Nyepi begini, anak-anak akan berbondong-bondong datang ke banjar untuk melihat pembuatan ogoh-ogoh yang akan diarak semalam sebelum Nyepi.

Saat mengobrol dengan anak-anak SMP itu, saya menyadari satu hal: para remaja Bali begitu bangga dengan adat istiadat, budaya, dan agama yang mereka miliki. Mereka, menyatu dengan segala elemen yang ada di Bali, bersama-sama sembahyang dan berdoa, dua hal yang akan terasa lebih menyenangkan bila dilakukan bersama-sama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tirtayatra di Pura Penataran Agung Besakih appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tirtayatra-di-pura-penataran-agung-besakih/feed/ 0 21568
Sebuah Pesan dari Desa Adat Penglipuran https://telusuri.id/sebuah-pesan-dari-desa-adat-penglipuran/ https://telusuri.id/sebuah-pesan-dari-desa-adat-penglipuran/#respond Sun, 10 May 2020 16:50:54 +0000 https://telusuri.id/?p=21485 Awal Maret 2020, dengan memanfaatkan miringnya harga tiket pesawat, saya terbang ke Bali. Saya tidak liburan mewah ala turis; di sana saya tinggal di kos kawan lama yang dulu tinggal di Surabaya. Lokasi kos kawan...

The post Sebuah Pesan dari Desa Adat Penglipuran appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal Maret 2020, dengan memanfaatkan miringnya harga tiket pesawat, saya terbang ke Bali. Saya tidak liburan mewah ala turis; di sana saya tinggal di kos kawan lama yang dulu tinggal di Surabaya. Lokasi kos kawan saya berada di Renon, Denpasar. Jadi, tidak terlalu jauh dari Bandara I Gusti Ngurah Rai.

Setelah mendarat dengan selamat, saya makan di sebuah warung yang menyajikan menu-menu makanan Jawa. Karena saya terlalu lapar, jadi tidak sempat mencari warung yang menjual menu khas Bali.

Kawan saya mengajak mampir ke emperan depan kampusnya. Karena masih jam 6 sore, saya mengiyakan. Saya kira emperan yang ia maksud adalah sebuah angkringan, ternyata tidak. Benar-benar emperan, di depan sebuah kantor bank swasta. Kami duduk di sana, memesan es teh, menikmati suasana Bali di malam hari tetapi tidak mewah seperti di Kuta atau Seminyak. Kami bercerita ini itu sampai perut saya lapar lagi.

Untungnya, di sebelah emperan tersebut ada pasar kaget. Ada para penjual pakaian, aksesori, dan, paling banyak, penjual makanan dan minuman. Saya memutuskan membeli bakso. Sebelum memesan, kawan saya menjelaskan bahwa ada dua jenis bakso yang dijual, yakni bakso sapi dan bakso ayam.

Bakso sapi umumnya dibeli oleh konsumen yang beragama di luar Hindu, sedangkan bakso ayam dibeli oleh mereka yang beragama Hindu. Harganya murah, 10 ribu rupiah satu porsi, dan rasanya enak.

Keesokan hari, saya melanjutkan perjalanan menuju Desa Adat Penglipuran di daerah Bangli. Sepertinya, hampir setiap orang yang berlibur di Bali pasti datang ke desa ini. Saya pun tak kalah penasaran.

Setelah membayar tiket masuk seharga 15 ribu rupiah per orang, kami—saya dan kawan—berjalan santai menyusuri setiap lekuk Desa Adat Penglipuran. Jalan di desa ini naik dan turun dengan landai, dicor rapi dengan batu-batu berukuran sedang di atasnya sehingga tetap terlihat estetis.

Jalan utama Desa Adat Penglipuran/Izzatul Mucharrom

Dahulu, jalanan di desa ini adalah tanah liat. Perbaikan jalan dilakukan sejak adanya potensi pariwisata yang dapat dikelola untuk memperkenalkan budaya dan memberdayakan penduduk Desa Adat Penglipuran. Karena tak ingin mengubah bentuk jalan menjadi terlalu modern, dibuatlah model seperti itu.

Di kanan dan kiri jalan desa yang relatif lurus, terpasang janur kuning (penjor) yang membikin desa ini tampak seperti contoh-contoh gambar perspektif bila dipotret dari sudut yang tepat.

Rumah-rumah penduduk masih mempertahankan gaya tradisional Bali, dengan gerbang klasik yang disebut angkul-angkul. Penduduk desa sepakat untuk mempertahankan bentuk bangunan sebagai upaya pelestarian budaya Bali.

Di depan rumah-rumah penduduk terdapat sanggah, pelinggih (bangunan) untuk meletakkan canang dan dupa, sebuah altar yang biasanya dibebat saput poleng, kain kotak-kotak hitam-putih khas Bali.

Salah satu sanggah di Penglipuran/Izzatul Mucharrom

Desa ini bersih sekali, sampah yang saya temui hanyalah dedaunan yang jatuh secara alami dari dahan-dahan pohon. Tong sampah yang disediakan di sepanjang jalan memilah sampah organik dan non-organik.

Penduduk diberdayakan untuk menjual oleh-oleh khas Bali, seperti pakaian, aksesori, mainan, atau hiasan rumah. Jadi, ketika datang ke Desa Adat Penglipuran, kita bisa membeli minuman, makanan, ataupun buah tangan. Stan-stan tersebut menyatu dengan rumah penduduk asli desa, sehingga desa ini tetap terlihat rapi dan asri.

Saat asyik mengedarkan pandangan, seorang laki-laki berusia senja menghampiri saya. Ia memakai kemeja dan celana kain, bersandal jepit, serta topi biru yang menutupi rambutnya yang telah memutih. Ia menyapa dan bertanya, ”Permisi. Dari mana, Bu?”

Saya tersenyum kepadanya, ”Saya dari Surabaya, Pak.”

Ia melanjutkan pertanyaannya, ”Ada keperluan apa di Bali? Liburan atau kerja?”

“Saya main-main saja kemari, Pak. Kebetulan, teman saya ini tinggal di Denpasar.”

Lalu, saya balik melempar pertanyaan kepada beliau, “Bapak warga asli desa ini?”

Obrolan kami berlanjut. Beliau begitu ceria dan menyenangkan. Yang saya dapatkan dari obrolan tersebut adalah: namanya Wayan Alus, warga asli Desa Adat Penglipuran, suku Bali asli, yaitu Bali Aga.

Wayan Alus sekeluarga melanjutkan pendahulu mereka yang juga tinggal di Desa Adat Penglipuran. Yang diperbolehkan tinggal menetap hanyalah orang asli Desa Adat Penglipuran, dari suku Bali Aga, beragama Hindu, dan dari keluarga yang sejak dahulu sudah tinggal di situ.

Salah seorang putra Wayan Alus merantau dan menikah dengan perempuan Manado beragama Islam. Meskipun tetap memeluk Hindu, putranya tidak diizinkan tinggal di Desa Adat Penglipuran.

Alasannya, putra Wayan Alus tidak menikah dengan sesama penduduk Desa Adat Penglipuran, serta istrinya tidak beragama Hindu. Kini, putra Wayan Alus tinggal di Denpasar dengan keluarga kecilnya. Meski begitu, tak ada masalah yang serius, mereka sama-sama memahami hukum dan aturan adat, dan mereka mematuhinya.

“Kita semua ini sama, kewajiban kita juga sama, melakukan kebaikan. Agama apa pun toh sama, ya; semua mengajarkan kebaikan. Saya Hindu, kamu Muslim, tapi ndak apa-apa, di mata Tuhan kita semua sama,” tutur Wayan Alus.

Penduduk Desa Penglipuran/Izzatul Mucharrom

Saya mengangguk-angguk, kagum dengan apa yang ia ucapkan. Lalu ia melanjutkan, ”Tugas kita sebagai manusia adalah saling toleransi, itu yang paling penting. Orang beda agama tidak masalah, sama-sama berdoa dan meminta. Saya dengan menantu saya beda agama, tak masalah. Saya sangat menghargai toleransi.”

Mata saya berlinang. Iya, toleransi antaragama, itu yang harus kita miliki.

Saya juga baru tahu bahwa ada peraturan adat yang mengatur bahwa penduduk asli Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memadu atau menikah lebih dari satu kali. Yang melanggar peraturan adat ini akan diberi hukuman pengucilan. Maksudnya, ditempatkan di sebuah bangunan yang juga disebut memadu.

Mereka yang telah tinggal di memadu tidak diperbolehkan beraktivitas bersama penduduk desa lainnya, juga tidak boleh melintasi jalan utama desa. Itu merupakan hukuman tegas karena telah melanggar peraturan adat.

Tetapi, menurut pengakuan Wayan Alus, belum ada satu pun penduduk Desa Adat Penglipuran yang melanggar peraturan adat tersebut.

Bila ada penduduk desa yang meninggal dunia, mereka tetap melaksanakan ngaben. Jika keluarga memiliki cukup dana, ngaben dapat segera dilaksanakan. Sementara bila keluarga belum memiliki dana, jasad orang yang meninggal dunia dapat dikuburkan di pemakaman.

Letak pemakaman tersebut tidak jauh dari desa. Yang dimaksud dikuburkan adalah meletakkan jasad di atas tanah. Jasad laki-laki diletakkan telentang, sedangkan jasad perempuan diletakkan tengkurap. 

Setelah cukup berbincang, Wayan Alus pamit kembali ke rumahnya. Saya melanjutkan langkah menuju memadu dan hutan bambu. Memadu dikelilingi tanaman-tanaman yang segar dan rapi, menunjukkan bahwa tempat tersebut memang dirawat sebaik mungkin. Dan di ujungnya terdapat pepohonan bambu.

Hutan bambu di Desa Adat Penglipuran berada di jalan penghubung desa ini dengan desa lainnya. Karena itu tak heran bila banyak kendaraan lalu-lalang. Namun, harus saya akui, hutan bambu di sini termasuk luas. Dengan jalanan yang berkelok dan sempit, cocok bila dijadikan tempat berfoto ala anak indie.

Usai menelusuri hutan bambu, saya kembali ke jalan utama desa. Wah, ternyata sudah penuh dengan rombongan mahasiswa yang, setelah saya cari informasi, berasal dari Jogja. Mereka datang seperti koloni semut yang mengerumuni sebuah donat. Saya sampai kesusahan untuk lewat.

Banyak dari mereka yang mengenakan sarung, udeng, atau aksesori lain khas Bali. Pokoknya, mereka berdandan semaksimal mungkin agar terlihat seperti turis. Sebagian besar dari mereka sibuk berfoto dengan berbagai gaya, mulai dari foto selfie hingga foto ala-ala selebgram.

Ada yang merekam video dengan berbagai peralatan—kamera ponsel, mirrorless, hingga DSLR—bahkan ada juga yang live Instagram.

Sampai sini saya baru menyadari, sejak datang kemari saya hanya beberapa kali mengambil foto. Saya terlalu menikmati suasana desa, apalagi ketika berbincang dengan Wayan Alus.

Ah, sangat disayangkan suasana setenang itu harus hancur seketika karena rombongan ini. Tidak bisa disalahkan; mungkin saya yang salah waktu. Dan tidak saya sesali. Sudah saya dapatkan hal yang berharga di desa adat ini.

Kebaikan dan toleransi antaragama, keduanya harus berjalan beriringan, maka hidup ini akan baik-baik saja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sebuah Pesan dari Desa Adat Penglipuran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sebuah-pesan-dari-desa-adat-penglipuran/feed/ 0 21485