Janika Irawan, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/janika/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Nov 2024 08:40:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Janika Irawan, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/janika/ 32 32 135956295 Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian https://telusuri.id/cengkih-kulon-progo-dan-sebuah-penantian/ https://telusuri.id/cengkih-kulon-progo-dan-sebuah-penantian/#respond Tue, 03 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42602 Muhammad Dwi Prasetyo, atau yang akrab saya panggil Pras adalah petani muda yang saat ini aktif menekuni pembibitan cokelat. Baginya, cokelat adalah sebuah masa depan yang menjanjikan. Camilan yang digemari semua kalangan. Namun, meskipun pembibitan...

The post Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian appeared first on TelusuRI.

]]>
Muhammad Dwi Prasetyo, atau yang akrab saya panggil Pras adalah petani muda yang saat ini aktif menekuni pembibitan cokelat. Baginya, cokelat adalah sebuah masa depan yang menjanjikan. Camilan yang digemari semua kalangan.

Namun, meskipun pembibitan yang ia kembangkan murni bisnis, tapi ia juga tak lupa, lewat bisnisnya itu dia berupaya menyediakan bibit-bibit cokelat terbaik yang bisa dibudidayakan petani. Tak jarang Pras mencari berbagai bibit terbaik di Sumatra. Dalam beberapa tahun belakangan, misalnya, sudah tiga kali ia mengarungi pulau kelahiran saya itu. Pulau yang terkenal dengan harimau sumatra, satwa langka yang saat ini habitatnya terancam punah.

Pukul 06.30 WIB saya menuju ke kediaman Pras di Tompak, Giripurwo, Girimulyo, Kulon Progo. Tak lewat pukul delapan, dari Sewon, Bantul, saya sampai di rumahnya. Setelah menyelesaikan kuliah, kami memang jarang bertemu, terakhir mungkin satu tahun lalu. Jarang bertemu tak membuat saya dan Pras merasa renggang. Bagi saya Pras masihlah Pras yang saya kenal, ramah pada banyak orang dan selalu menawarkan kepada siapa pun yang ia jumpai untuk menyambangi rumahnya. Katanya, hal itu pula yang menyelamatkannya dari perjalanan panjang ke Sumatra. Ia berpindah dari rumah satu teman ke teman yang lain.  

Tidak lama setelah sampai di rumahnya, saya disuguhi sarapan dan kopi. Saya melahap semangkuk mi dan tahu yang ia sodorkan. Selanjutnya kami berbincang layaknya sahabat yang ingin tahu kabar sahabatnya. 

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Pras memanen cokelat yang tumbuh di kebun cengkih miliknya/Janika Irawan

Saya Datang Untuk Cengkih, Bukan Cokelat

Tanpa basa-basi, Pras mengajak saya mengambil cokelat batangan yang siap konsumsi di salah satu kedai temannya. Kedatangan saya ini tidak untuk cokelat, tapi untuk cengkeh, Pras! Bukankah hal itu sudah saya sampaikan seminggu sebelum saya ke sini, setelah melihat status WhatsApp-mu?

“Sudah ada yang pesan,” ujar Pras.

Cukup lama saya dan Pras di kedai yang terletak di wilayah Purworejo itu. Di perjalanan saya sudah katakan, “Jauh juga tempatnya, Pras.” Tapi dengan sangat santai lelaki jangkung berambut gondrong ini menjawab, “Nggak jauh, cuma 30 menitan.” 

Deni, pemilik kedai, juga sangat baik hati. Ia membuat cokelat panas dan menyuguhkannya pada kami. Sebelum itu, terlebih dahulu Deni menyodorkan cokelat yang masih berupa gepengan setelah biji cokelat digiling dan dipisahkan dari minyaknya—atau yang dikenal sebagai mentega kakao, yang pada tahapan selanjutnya diperlukan sebagai perekat dalam proses pencetakan cokelat konsumsi—untuk saya cicipi.

Ini pengalaman pertama saya mencicipi cokelat murni. Rasanya kalian tahu? Pahit sekali!

“Kalau tidak pakai gula, nggak kuat minum ini,” sergah saya di tengah obrolan sembari minum cokelat panas. “Saya suka kopi tanpa gula, tapi cokelat ini pahitnya lengket banget di mulut.”

Deni tersenyum mendengar ucapan saya, dan Pras tidak memberikan reaksi apa pun. Dalam hati saya berucap, kapan kita pulang, Pras? Tujuan saya bukan untuk cokelat. Walau saya juga mensyukuri cokelat panas pagi ini, tetapi kedatangan saya tetap untuk cengkih.

Mungkin nyaris satu jam kami di sana. Setelah membayar 35 keping cokelat yang ia pesan dari Deni, cokelat yang katanya sudah dipesan pembeli sebagian, kami pun pulang. Di rumahnya, ada dua mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, satu anggota pers kampus, dan satu lagi fotografer atau lebih tepatnya pembelajar fotografi. Ia datang untuk mengambil foto petani panen cengkih.  

Setelah saya dan Pras sampai di rumahnya kembali, dua mahasiswa UIN tersebut sudah menunggu. Pras kemudian masuk. Beberapa waktu kemudian ia keluar membawa teko kopi. 

“Ini sudah mau pukul 11 siang, Pras, mau kapan lagi ke kebun?” batin saya. Kiranya setelah setengah jam ngopi dan ngobrol barulah kami bergegas. 

Kebun cengkih yang ia punya tak jauh dari rumah, kurang lebih satu kilometer. Dari rumah kami mengendarai sepeda motor ke arah barat. Jalan di tempat ini memang jalan yang rebah di punggung perbukitan. Menanjak, tentu saja. Tak beberapa lama kami menepi dan memarkirkan motor di sebuah pendopo di sisi kanan jalan.  

“Kalau cuma dekat seperti ini mending jalan aja tadi,” kata saya pada Pras setelah berkendara tak lebih dari 300 meter. Namun, Pras tak menjawab berlebihan. Dia hanya bilang, “Malas, capek.”

  • Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
  • Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian

Cengkih adalah Harapan yang Dinanti

Saya baru tahu, salah satu tanaman yang dulu pernah jadi buruan bangsa Eropa ini butuh waktu yang amat panjang untuk menuai hasil. Saya kira, tanaman seperti kopi yang saya kenal—karena orang tua saya seorang petani kopi—panen satu tahun sekali itu sudah cukup lama. Belum lagi setiap waktu, gulma-gulma harus rutin dibersihkan untuk menjaga pertumbuhan kopi agar bisa maksimal berbunga dan menghasilkan buah yang berkualitas. Bahkan masalah lain sering pula muncul, dua atau tiga tahun sekali harus berhadapan dengan hama penggerek buah. Kopi yang biasanya menghasilkan satu ton biji kering bisa menyusut lima puluh persen atau lebih jika terserang hama ini. Cengkih, tanaman yang dimuliakan, berbunga (dan menghasilkan) begitu lama.

Cengkih adalah harapan yang ditunggu bertahun-tahun. Tanaman yang sangat khas dengan racikan rokok kretek dan bumbu masakan tersebut tidak menghasilkan kuncup bunga setiap tahun. Lebih tepatnya, meskipun berbunga, bunganya tak selebat sekarang. Seperti halnya cengkih di Kulon Progo yang terakhir kali panen raya kurang lebih empat tahun lalu. Tahun ini adalah tahun emas yang dinanti-nanti. Panen raya segera tiba. 

“Cengkih ini butuh waktu kemarau panjang. Jadi, setelah musim hujan dia harus menumbuhkan dulu daunnya lalu kemudian bisa menghasilkan,” ujar Pras menjelaskan sembari kami menyusuri lahan terasering yang tertata rapi. “Orang dulu bisa menata kebunnya dengan rapi,” ia memperlihatkan susunan batu tersering yang sudah disusun mungkin puluhan tahun lalu, atau bahkan lebih dari itu.

Betapa canggihnya petani dulu, pikir saya. Teknologi pertanian tersebut mampu menjaga erosi tanah di lahan pertanian tebing yang biasanya banyak ditemui di daerah perbukitan, seperti Kulon Progo. Teknologi pertanian yang sudah lama kita kenal dan jadi bahasan di ruang kuliah, sebagaimana halnya yang pernah saya rasakan.

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Terlihat terasering yang tersusun rapi/Janika Irawan

Cengkih sebagai Tabungan

Saya kira cengkih seperti kopi atau lada yang dijual dalam kondisi kering setelah melewati beberapa hari penjemuran. Sama seperti padi, di tempat saya di Sumatra, saya tidak mengenal istilah jual gabah. Di sini, di tanah Jawa, jual gabah adalah hal yang lumrah. Bahkan, melalui televisi bapak saya pernah sangat kagum dan terpukau bahwa di Bantul, Yogyakarta, satu hektare sawah bisa menghasilkan 8,8 ton.

Berpuluh-puluh tahun bapak menyaksikan petani kampung kami begitu gigihnya mencangkul dan merawat padi, hasil sebanyak itu hanya angan-angan. Jumlah itu pada realitasnya tidak lain hanyalah gabah, sedangkan hasil bagi kami di kampung ialah hasil akhir: beras. Luluh lantak sudah keterpukauan itu jika bapak mengetahuinya. Saya tidak mengerti apakah bapak sudah mengetahui hal ini. Semoga saja iya.

Sepengetahuan saya cengkih hanya dijual dalam keadaan kering. Namun, sepenuhnya anggapan itu terbantahkan. Pras mengatakan, petani bisa menjual cengkih dalam keadaan basah setelah dipanen.

“Harga cengkih basah sekarang 33 ribuan, itu sudah lumayan. Dulu pas aku SMP pernah tembus 45–50 ribu,” ujar Pras.  

Harga cengkih kering di pasar sekarang ini murah, kata Pras, sekitar 100 ribu rupiah. Untuk itu, petani cengkih di sini terkadang lebih memilih menyimpan hasil panennya dan dijual saat harga tinggi.

Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian
Pras menunjuk tanaman rempah kemukus di area kebun cengkih/Janika Irawan

Saya membatin. Dari mana petani ini hidup, Pras, kalau hasil panen itu mereka simpan hingga harga tinggi? Daun cengkih tidak bisa mengenyangkan, bukan? Kalau harga tak beranjak hingga tahun depan lalu bagaimana, oh, Pras? 

“Jadi, kita bisa memetakan petani dari situ. Petani yang punya cengkih, hasil panennya hanya mereka keringkan lalu disimpan. Karena nanti ketika harganya 200 ribu itu mereka jual. Jadi, orang sini sehari-hari hidup dari rempah,” katanya Pras menjelaskan dan saya tidak bertanya lanjut. Di sela-sela pohon cengkih yang mungkin berjarak tujuh meteran itu dipenuhi tanaman rempah. Di antaranya lada, kemukus, dan kapulaga. Jadi, secara sederhana, petani punya siasat jitu memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Hanya dua orang petani yang kami temukan di sepanjang perjalanan mengitari kebun cengkih. Kami pun mengamati petani memanen cengkih di atas pohon setinggi kurang lebih 20 meter. Tangga dari bambu menjulang tinggi bersandar di batang cengkih, pangkalnya berpijak di tanah, ujungnya berlomba-lomba dengan tinggi pucuk pohon. Jika pohon lebih tinggi dan tangga sepanjang 10 meter tak lagi mampu menjangkau, mereka menyambungnya dengan tangga lain. Dengan tangga itulah mereka mengambil cengkih satu demi satu. 

Terlihat petani diatas pohon sedang memanen cengkih/Janika Irawan

Satu petani yang kami datangi sedang panen. Ia memetik satu demi satu tangkai putik bunga yang sudah berubah warna dari hijau menjadi putih, atau sebelum putik mekar. Kadang petani harus menarik dahannya terlebih dahulu dengan galah untuk meraih cengkih sudah layak dipanen. Namun, kami pun tak bisa lebih lama dan mengganggunya memanen.

Satu petani lagi yang kami lihat terlampau jauh. Pras menyapanya, tapi kami juga tidak bisa menjangkaunya karena teramat jauh di bawah tebing. Di akhir Juni ini masih sepi petani yang panen. Putik bunga masih hijau, belum putih dan layak dipanen.  

“Masih sepi. Dua mingguan lagi sudah banyak yang panen,” ujar Pras.  

Sekitar satu setengah jam berkeliling di ladang cengkih, kami pun melihat terik matahari yang siap mencekik. Rasanya, terik seperti apa pun, di bawah kanopi pohon cengkih yang nyaris menyatu, tiada terik matahari yang menakutkan. Dan terik matahari itu segera melumat kami di luar “gerbang” ladang cengkih.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cengkih Kulon Progo dan Sebuah Penantian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cengkih-kulon-progo-dan-sebuah-penantian/feed/ 0 42602
Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja https://telusuri.id/tur-jaba-beteng-jalan-kaki-melihat-sejarah-kota-jogja/ https://telusuri.id/tur-jaba-beteng-jalan-kaki-melihat-sejarah-kota-jogja/#respond Fri, 17 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41942 Mendung perlahan menipis dilahap terik matahari yang mulai menebal. Bangunan Indis sisa peninggalan pemerintah Hindia-Belanda, Bank Indonesia, berdiri kokoh di belakang Hans, pemandu perjalanan dan kami berdiri persis di hadapannya. Kami berkumpul menikmati suasana titik...

The post Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendung perlahan menipis dilahap terik matahari yang mulai menebal. Bangunan Indis sisa peninggalan pemerintah Hindia-Belanda, Bank Indonesia, berdiri kokoh di belakang Hans, pemandu perjalanan dan kami berdiri persis di hadapannya. Kami berkumpul menikmati suasana titik nol kilometer Jogja  yang tak pernah lekang dipadati pengunjung.

Ini kali pertama saya ikut tur jalan kaki “Jaba Beteng, Sejarah Singkat Kotamu”. bersama Jogja Good Guide (JGG). Perusahaan travel—sesuai templat media sosial mereka—yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Kalau saja tidak diajak teman saya, Fajar, mungkin saya tidak akan mengenal perusahaan travel berbasis komunitas ini. Komunitas yang terlihat amat tekun mengenalkan apa yang ada di balik layar utama kota Yogyakarta—gedung-gedung warisan kolonial—kepada wisatawan yang berkunjung ke kota ini. 

Bagi sebagian atau bahkan kebanyakan turis, baik yang lokal maupun mancanegara, berkunjung ke kota yang terkenal akan keunikannya adalah pelabuhan untuk bersenang ria. Bukankah berlibur adalah waktu untuk tenang, waktu melupakan sejenak beban-beban pekerjaan yang setiap hari mencekikmu?

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Titik kumpul awal tur di depan Bank Indonesia sembari menunggu peserta lain/Janika Irawan

Bangunan tua memang terkesan unik dan indah. Ia menebarkan aroma harum. Aroma yang membuat turis mendekat lalu menjepretnya dengan kamera. Bangunan-bangunan tua itu menjadi latar yang paling diminati. Namun, jika hanya dijadikan latar foto, bukankah bangunan-bangunan baru hasil kreasi arsitektur modern telah jauh melampaui keterpukauan kita terhadap bangunan peninggalan sejarah, dan kita menganggapnya barang yang tidak penting lagi?

Akan tetapi, menganggapnya sebagai narasi yang tidak lagi penting adalah keterbatasan—mungkin juga kemalasan—saya dan kita semua. Maka dari itu, saya rasa, Hans dan tentu komunitas yang ia kelola, ingin berbagi cerita atau informasi itu. Ia ingin wisatawan yang berkunjung ke Yogya sedikit lebihnya merasa memahami kota ini. Seperti yang dia bilang, ia tidak ingin orang yang berkunjung ke Yogya hanya sekadar menikmati suasana keramaian, angin yang berembus, berbagai kudapan, tempat-tempat wisata, dan pertunjukan budaya. Kalau hanya itu, apalah artinya berkunjung ke Yogya? Bukankah semua itu bisa dinikmati di kota mana pun?

“Paling tidak, setelah berkunjung ke Yogya ada pengalaman yang bisa diceritakan.” Kiranya begitulah kata Hans pada kami. 

Kantor Pos, Titik Nol, Bank BNI, dan Gereja Londo

Setelah berkumpul dan mendengarkan estimasi waktu perjalanan serta jalur yang akan kami lalui, Hans memandu kami bergegas. Ia mengajak kami ke arah barat. Titik awal pemberhentian di depan Kopi Pakpos. Hanya sekitar lima puluh meter dari titik kumpul sebelumnya. Sebuah kafe yang terletak di gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta. 

Hans mulai bercerita tentang sejarah kantor yang sekian lama menjadi alat yang sangat krusial bagi persuratan atau komunikasi jarak jauh itu. Dari masa kejayaannya, hingga perubahan cara mengirim surat menjadi menyediakan banyak pelayanan layaknya aplikasi pembayaran tagihan listrik, PDAM, sampai jasa antar paket. Peradaban yang canggih dan pernah menjadi media hubung yang sangat penting itu, belum lagi dengan infrastrukturnya yang tentu saja menghabiskan banyak biaya, kini telah kalah canggih oleh satu mesin zaman: gawai. 

Hans memandu kami beralih ke titik nol kilometer. Titik nol Yogyakarta ini memang agak berbeda dari kota-kota lainnya. Biasanya, di kota lain—terutama kota besar—titik nol sering terdapat kolam air mancur. Menurut Hans, dulu kolam semacam itu juga ada. Namun, karena satu dua hal untuk efektivitas lalu lalang kendaraan di kota yang sibuk, bukankah air mancur di tengah jalan raya itu merepotkan? 

Menengok ke arah titik nol, tempat yang sering dikerumuni mahasiswa untuk menuntut keadilan pada penguasa yang culas itu, Hans mendongakkan kepalanya. Bangunan Indis dengan plang Bank BNI bercokol kokoh di sana. Hans pun bercerita terkait dengan sejarah singkat bank yang didirikan oleh Sumitro, bapaknya Prabowo Subianto. Dan tentu ceritanya hanya sebatas itu, sebelum kami menutupnya dengan berfoto. 

Setelah itu, kami lekas berjalan ke arah timur, melewati trotoar yang selalu saja ramai oleh turis. Titik keringat di muka Han menandakan pagi yang gerah. Namun, langkahnya menjadikan kami tidak pernah letih. Ia begitu bersemangat.

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Belajar sejarah berdirinya Gereja Katolik Santo Franciscus Xaverius/Janika Irawan

Di depan Taman Pintar kami menyeberangi jalan dan berhenti di trotoar seberang. Tepat di hadapanku berdiri Gereja Santo Fransiskus Xaverius. Hans mulai bercerita tentang Taman Pintar. Pembangunan awalnya dimulai pada tahun 2004. Visinya adalah menjadi sarana belajar dan edukasi kepada para siswa untuk mengenal sains. Sesudahnya, beralih ke kisah gereja tertua di Yogyakarta yang dibangun pada masa kolonial Belanda kisaran tahun 1800-an. Namun, sebelum itu, Pater YB Palinckx selaku pendiri gereja telah lebih dulu membentuk pastoran di Yogyakarta.

Gereja tersebut memiliki dua nama, yakni Gereja Kidul Loji dan Gereja Londo. Disebut “Gereja Kidul Loji” karena letaknya berada di sisi selatan kawasan bekas permukiman Belanda: Loji. Kemudian “Gereja Londo” sering diucapkan warga sekitar yang melihat pada awal gereja terbangun, umat Kristen dari Belanda lebih dominan.

Kelenteng Fuk Ling Miau dan Ndalem Yudhonegaran

Dari situ, kami berjalan ke arah timur, melintasi perempatan Gondomanan dan memasuki Kelenteng Fuk Ling Miau. Gerbang bangunan berwarna merah itu memiliki simbol dua naga yang berhadap-hadapan di atas atapnya. Seperti sebelumnya, Hans langsung bercerita soal kelenteng ini.

Menurut Hans, kelenteng ini awalnya memang diperuntukkan bagi pedagang Tionghoa yang aktif berdagang di Pasar Beringharjo. Usut punya usut, kata Hans, dulu orang-orang Tionghoa sangat berpengaruh terhadap perputaran ekonomi pasar. Maka, kelenteng ini merupakan penghargaan penguasa setempat kepada orang Tionghoa untuk berserah kepada “tuhan” kepercayaan mereka. Hanya saja, lagi-lagi tanah tempat berdirinya bangunan merah merona ini tetap milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Hans (berkacamata) bersemangat menceritakan sejarah Kelenteng Fuk Ling Miau/Janika Irawan

Hans pun memanggil bapak-bapak yang keluar dari kelenteng tak lama setelah kami sampai di sana. Dia segera meminta izin untuk masuk dan kami pun diperbolehkan masuk dengan satu syarat: tidak boleh mengambil foto di dalam kelenteng!

Saya memandangnya dengan penuh tanda tanya sekaligus tetap berprasangka. Yang sakral, yang suci adalah rahasia, dan tentu memamerkannya mungkin bukanlah pilihan yang tepat. Mungkin tidak boleh difoto karena ada nuansa kesakralan yang tidak boleh dipublikasikan ke khalayak.

Namun, hal ini agak sedikit anomali. Pasalnya, foto suasana di dalam kelenteng sangat gamblang tertera di peta manusia modern, yakni Google Maps. Lalu apa artinya pelarangan itu? Saya hanya ingin mengabadikan momen, bapak yang terhormat! Ah, sudahlah, tidak perlu berdebat. Yang harus saya pegang hanya satu, saya hanyalah tamu. Selayaknya tamu saya hanya bisa menerima tanpa harus membantahnya.

Setelah panjang lebar Hans menceritakan berbagai pernak-pernik peribadatan di dalam kelenteng, kami melanjutkan perjalanan menuju persinggahan singkat kami, yaitu di Jadah Tempe Mbak Carik. Salah satu makanan kesukaan Sultan Jogja ke-XI, kata Hans pada kami. Di tempat ini kami tak berlama-lama. Hans memandu kami untuk beralih ke lokasi lain. 

Tak jauh dari situ, kami sampai di Ndalem Yudhonegaran. Hans masuk gapura dengan cat yang telah termakan usia. Kami ikut bersamanya. Di dalamnya ada sebuah pendopo yang dipenuhi “Ferrari” jenis lama. Tentu bukan sungguhan, melainkan ini “Ferrari” kerajaan: sebuah delman. 

  • Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
  • Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja

Setelah saya melihat delman yang berjejer itu, saya mencari-cari di sekitarnya; ke mana Darsam, tokoh yang sangat menyeramkan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer itu? Apakah dia sedang tidur? Apakah Nyai Ontosoroh juga sedang terlelap di dalam? Ke mana Annelis? 

Soal Darsam, entah kenapa sosok ini membuat saya selalu punya ketakutan tersendiri kepada orang Madura. Seseram itukah?

“Delman Darsam,” seloroh saya kepada Fajar, rekan dalam tur yang disambutnya dengan senyum.

Di sebelah timur pendopo ada kandang kuda. Dua kuda besar yang mungkin senilai ratusan juta (atau bahkan miliaran)? Entahlah saya tidak tahu harga pasaran makhluk kesukaan kerajaan itu. Hewan yang menjamur menghidupi banyak orang Jogja. Menukar jasanya kepada para turis yang ingin merasa sensasi naik delman Darsam, eh bukan, delman saja. Tanpa Darsam, tetapi dikemudikan oleh “Darsam” yang lain.

Sebuah Penutup di Alun-alun Utara

Seusai di Ndalem Yudhonegaran, Hans memandu kami ke arah barat. Awalnya saya kira akan berbelok ke kiri melewati lorong Plengkung Wijilan lalu jalan kaki menuju Alun-alun Kidul. Sebaliknya, Hans memandu kami lurus ke arah Alun-alun Utara. Tepat di sebelah jalan alun-alun yang telah berpagar besi dengan lapangan rumput hijau yang tertutup pasir layaknya gurun Sahara itu, Hans menghentikan langkah kami. 

Ia mengatakan, salah satu latar belakang dari pemagaran ini adalah kesucian atau kesakralan tempat itu. Kesucian; apa artinya kesucian? 

Hans bukan saja menghentikan langkah kami. Hans menghentikan sesi tur pagi itu setelah dua jam berjalan kaki. Hans mungkin cukup kelelahan, tetapi rasanya kaki kami jauh lebih lelah. Mungkin juga suaranya mulai habis, disedot penjelasan kantor pos hingga alun-alun utara yang gersang.

Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja
Hans menutup tur hari itu persis di depan Alun-alun Utara/Janika Irawan

Ia menyodorkan kode QR—seperti keterangan sebelumnya, perjalanan ini tidak gratis. Kami sepakat soal itu, memberikan imbalan seikhlasnya pada jasanya telah menemani perjalanan dan memberikan banyak cerita. Namun, menyebutnya imbalan saya rasa kurang tepat. Lalu apa yang paling tepat? Entahlah. Apa pun, berapa pun, perjalanan singkat dengan cerita yang panjang ini sangat berkesan, Hans.  Saya teringat lagi kata Hans di awal, “Paling tidak, setelah berkunjung ke Yogya ada pengalaman yang bisa diceritakan.” 

Akan tetapi, Hans, apakah setiap orang harus tahu cerita di balik bangunan tua itu? Sedangkan teknologi hanya mengajarkan cara nampang di depan gedung bersejarah, di pantai biru, di pemandangan perbukitan, dan di tempat-tempat lainnya hanya untuk mengambil gambar. Apalah artinya cerita yang kau maksud, Hans? Apakah gaung pariwisata pemerintah daerah untuk kemajuan ekonomi perlu hal semacam itu? Apakah pencerita mampu menampung semua yang berkunjung ke kota ini?

Kami pun berpamitan dan pergi. Di satu sisi yang sangat subjektif, saya senang. Namun, di sisi lain, berbagai pertanyaan itu terus menghantui saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tur “Jaba Beteng”: Jalan Kaki Melihat Sejarah Kota Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tur-jaba-beteng-jalan-kaki-melihat-sejarah-kota-jogja/feed/ 0 41942
Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/#comments Mon, 19 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41184 Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi,...

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi, setelah Andi kutanya, apakah di Magelang hujan? Ia menjawab, sudah reda. Godaan kasur saya tepis, keputusan saya bulat. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat menuju Magelang dan meluncur ke jalur pendakian Gunung Ungaran Via Mawar. 

Pukul tiga sore saya berangkat menuju Magelang, diguyur rintik-rintik hujan yang mungkin saja perlahan akan membesar. Namun lambat laun, semakin jauh dari Bantul, memasuki area Moyudan, Sleman, jalanan basah. Hujan telah pergi, semoga tak kembali lagi, gumamku sambil mengendalikan setang motor.

Pendakian kali ini masih akan sama seperti pendakian sebelumnya, pikirku. Hanya dengan 200 meter perjalanan menanjak, Andi akan mulai merasakan denyut otot kaki yang tegang karena terlampau jarang didesak aktif, dan rongga napas yang kembang kempis sebab hanya digunakan untuk sekadar bernapas. Kekhawatiran itu ditambah lagi dengan suasana dini hari yang mencekam. Pohon yang rimbun menimbulkan hawa sejuk dan menjadi sumber oksigen yang menenangkan. Akan tetapi, hal itu hanya di siang hari. Di malam hari suasananya tentu berbeda, pohon adalah lawan yang harus ditaklukkan.

Dari Magelang ke Basecamp Mawar 

Pukul empat sore lewat saya sampai di kontrakan Andi. Seperti dugaan saya, Andi belum siap untuk langsung bergegas. Alhasil kami berangkat pukul 17.00. Dari Magelang menuju basecamp butuh waktu satu jam lebih. Saya prediksi, kami akan sampai pukul 18.30.

Namun, itu sudah meleset sebelum berlangsung karena Andi belum juga tuntas. Ia memang sangat doyan menilap waktu. Coba bayangkan, bisa-bisa ia masih harus mampir di swalayan untuk membeli beberapa keperluan pribadinya dan saya harus menunggunya cukup lama. Sepuluh hingga 20 menit berlalu, belum kelihatan batang hidungnya. Kurang lebih 30 menit kemudian baru ia muncul dengan satu kantung plastik besar penuh belanjaan.

“Kenapa nggak nanti saja? Saat pulang ‘kan bisa,” gerutu saya dengan nada sedikit humor agar ia tidak tersinggung. Namun, tanpa harus begitu pun saya yakin ia tak akan tersinggung.

“Santai,” jawabnya betul-betul santai dan tak peduli saya sudah satu jam lebih mengendarai motor dari Jogja.

Kiranya pukul 19.30 kami baru sampai di basecamp, dengan badan yang mulai kelelahan dan perut mulai keroncongan. Tanpa berlama-lama Andi memarkirkan motor dan kami menuju warung, lalu memesan seporsi nasi telur untuk menuntaskan rasa lapar yang mulai kelojotan.

Pukul 10 malam kami masuk ke basecamp dan meletakkan tas yang sekaligus menandai tempat yang akan kami jadikan ruang untuk tidur. Kami duduk sebentar menghabis sebatang rokok dan setelah itu bergegas tidur. Rencananya pukul tiga pagi kami akan memulai berjalan menerobos gelap dan hawa dingin yang cukup mencekam. Sambil merokok kami mengobrol banyak hal soal politik. Betapa menggodanya isu ini di tengah masa kampanye pilpres lalu.

Di tengah obrolan yang tak ada ujung itu, rombongan pendaki lain datang. Mereka masuk ke basecamp lalu meminang tempat untuk merebahkan badan. Rombongan itu telah melihat tas kami tergeletak. Saya rasa mereka sangat tahu, jika ada tas tergeletak artinya tempat itu sudah jadi “milik” orang lain. Mereka pun bertanya kepada saya dan Andi, ini tas siapa. Andi menjawab, itu tas kami. Lalu rombongan itu meminta izin untuk menguasai area sekitarnya. Setelah itu aku tak bisa luput memandangi tas.

Pengalaman saya, tidak ada pendaki yang akan mencuri barang pendaki lain. Dan betul saja, tas kami tetap aman di posisinya. Namun, malam itu kami telah “kemalingan”. Tempat tidur yang telah kami sekat dengan tas itu telah dikuasai rombongan yang sangat sopan meminta izin, tetapi keterlaluan karena tidak menyisakan tempat untuk kami istirahat.

Rasanya saya ingin sekali marah kepada rombongan itu. Bisa-bisanya mereka yang datang belakangan lalu menyerobot tempat yang sudah kami pinang. 

Nggak apa-apa, nanti kita tidur di musala,” jawab Andi sambil melihat ke arah ruang berukuran 3×3 meter di pojok basecamp

“Tapi itu sudah keterlaluan,” jawabku setengah emosi. Kami pun lanjut ngobrol. Sekitar pukul 00.00, saya mengambil tas lalu menuju musala dengan perasaan yang sama.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Jalur di tengah perkebunan kopi yang harus dilewati menuju puncak Gunung Ungaran/Janika Irawan

Sempat Salah Jalur

Malam itu saya tidur cukup lelap. Pukul tiga pagi kami memulai pendakian. Namun, rencana tampaknya hanya sekadar wacana belaka. Kami telat satu jam. Prediksi berdasarkan peta, butuh waktu 2,5 sampai 3 jam untuk sampai ke puncak. Itu artinya kami tidak akan mendapatkan panorama matahari terbit (sunrise) yang kontras di puncak Banteng Raider, titik tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar. 

Berjalan di malam hari tidak semudah berjalan saat siang. Suasana gelap ditambah suhu udara yang makin menggigilkan badan. Meskipun jalur Gunung Ungaran Via Mawar ini sangat jelas, tetapi keliru memilih jalur bisa jadi tak terhindarkan. Belum lagi kami pendaki yang masih sangat-sangat amatiran. Berbekal senter HP kami menembus hutan. 

Menjelang Pos II, gemercik suara air terdengar jelas. Sebuah sungai yang menyejukkan. Begitu memukau daya gedornya. Kami pun terus berjalan menuju sungai. Lagi-lagi, dengan jangkauan senter handphone yang tak melebihi jangkauan dua meter itu adalah petaka. Kami melewati begitu saja petunjuk jalan yang mengisyaratkan untuk berbelok. 

Kira-kira setengah jam kami terjebak di area sungai. Beberapa kali kami mengikuti jalan yang tampaknya betul-betul jalur pendakian dan hasilnya buntu. Tidak ada jalan. Setelah beberapa lama, kami putuskan untuk sedikit turun. Tak jauh dari situ kami menemukan jalur kembali. Kami pun lanjut berjalan menuju Pos II.

Di pos tersebut kami tidak mampir. Kami langsung lanjut mengambil jalur kanan. Karena jalurnya sangat jelas kami pun tidak merasa mengambil jalur yang salah. Setelah itu, kami melewati sebuah permukiman di tengah kebun kopi. Ada beberapa rumah di sana. Setelah kami perhatikan tidak ada satu rumah pun yang menandakan ada penghuninya. Permukiman itu terlihat sedikit menyeramkan walaupun kami sampai di sana saat matahari perlahan mengusir gelap.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi berjalan melewati permukiman tak berpenghuni. Kami tidak sadar telah mengambil jalur lama/Janika Irawan

“Mungkin sudah tidak lagi ditinggali,” kata Andi kepada saya. 

“Sepertinya begitu,” jawab saya.

Saya membuka selebaran peta yang diberikan oleh pihak pengelola wisata saat kami membayar retribusi. Setelah perkampungan itu ada percabangan jalur. Berdasarkan peta, kami harus berbelok ke kiri. 

Kami melewati jalan bebatuan yang tersusun rapi dan lebar. Jalan yang tampaknya diperuntukkan agar bisa dilalui kendaraan roda empat untuk mengangkut hasil panen kopi. Namun, di jalur itu kami mulai curiga, apakah kami telah memilih jalur yang salah?

Sekitar pukul enam pagi kami sampai di Pos IV tanpa menemukan Pos III. Ini cukup aneh. Di peta sangat jelas, ada lima pos persinggahan untuk pendaki. Akan tetapi, karena jalur yang kami lewati sangat jelas, kami terus berprasangka baik bahwa kami telah menyusuri jalur yang benar.

Sebelum sampai di Tanggul Angin, kami melihat pendaki lain yang kami temui di basecamp semalam. Saya rasa rombongan pendaki itu ada di belakang kami, tetapi mereka malah sudah di berada di depan tanpa berpapasan dengan kami. 

Sekitar pukul 06.20 kami sampai di Puncak Tanggul Angin, di ketinggian 1.876 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dan betul saja, setelah kami tanya rombongan itu, saya dan Andi memang memilih trek yang keliru meskipun tetap tembus puncak yang sama. Kami telah melalui jalur lain yang lebih jauh. Mungkin itu jalur lama.

  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan

Menuju Puncak Tertinggi

Di Puncak Tanggul Angin, kami beristirahat sebentar. Andi tampak malu-malu membuka kameranya untuk foto selfie demi kepentingan update status di media sosial.

Beberapa saat kemudian, kira-kira berjalan 200 meter kami sampai di Puncak Batu (1.908 mdpl). Di puncak ini kami tidak beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Tak lama lagi kami akan sampai di Banteng Raider, puncak tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar dengan ketinggian 2.050 mdpl.

Kami sampai di puncak sekitar pukul delapan pagi. Meskipun perjalanan ke gunung ini tak begitu melelahkan, tetapi karena kami memilih jalur yang sedikit melebar dan lebih jauh dari trek pendakian, sambil tertawa halus kami mengerti telah memilih jalan yang keliru.

Kiranya satu jam saya dan Andi—begitu pun dua pendaki lainnya—menghabiskan waktu di puncak. Cuaca lamat-lamat berkabut, tetapi toh, cuaca cerah hanya bonus. Tujuan kami hanya refreshing akhir pekan di tengah kesibukan bekerja dan itu sudah terlaksana.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi (kanan) dan pendaki lain duduk menikmati suasana di Puncak Banteng Raider/Janika Irawan

Pukul 09.30 kami bergegas turun. Karena tak menyiapkan satu pun perbekalan, kami ingin segera sampai ke basecamp, tak kuasa membuat perut makin menderita.

Di perjalanan pulang kami tidak lagi melewati jalur seperti saat berangkat. Di bawah Puncak Tanggul Angin kami memilih ke kanan, meniti jalur yang disarankan. Kami menemukan Pos V, Pos IV, dan Pos III—yang tidak kami temukan sebelumnya.

Tiba-tiba, kesialan tak pernah hilang: hujan turun. Dan di tengah gempuran hujan kami hanya punya satu tujuan, menuntaskan rasa lapar.

Namun, yang sedikit menggembirakan dari pendakian ini adalah Andi mulai terlihat sebagai pendaki yang lumayan tangguh. Tidak seperti pendakian sebelumnya di gunung yang sama, tetapi via Perantunan. Tak lebih dari dua ratus meter dia sesak napas dan harus beristirahat cukup lama. Kondisi yang sangat membuatku risau saat itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/feed/ 1 41184
Obrolan di Kedai Kopi yang Berakhir pada Sunrise Embung Kledung https://telusuri.id/obrolan-kedai-kopi-yang-melahirkan-sunrise-embung-kledung/ https://telusuri.id/obrolan-kedai-kopi-yang-melahirkan-sunrise-embung-kledung/#comments Sat, 11 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28947 Bunyi-bunyi serangga hutan di pohon-pohon terdengar jelas. Di meja kayu tua yang masih sangat kokoh, ada kopi dan sepenggal obrolan yang sedang diperbincangkan hangat oleh saya dan beberapa kawan. Gemericik air kali kecil terdengar jelas....

The post Obrolan di Kedai Kopi yang Berakhir pada Sunrise Embung Kledung appeared first on TelusuRI.

]]>
Bunyi-bunyi serangga hutan di pohon-pohon terdengar jelas. Di meja kayu tua yang masih sangat kokoh, ada kopi dan sepenggal obrolan yang sedang diperbincangkan hangat oleh saya dan beberapa kawan. Gemericik air kali kecil terdengar jelas. Suara-suara daun yang dikibas angin. Hening dan tenang. Suara kendaraan benar-benar telah hilang. 

Malam itu kami sedang memulai obrolan di warung kopi. Warung kopi yang terletak di pedesaan, dan dikelilingi banyak pepohonan layaknya berada di hutan. Tanaman bambu, kayu jati, sengon, dan jenis lain yang tak saya kenali mengelilinginya. Kedai kopi kecil ini hanya ada beberapa kursi dan meja saja, serta sedikit tanah lapang. Di sini bisa tersedia tikar jika mau membentangkannya.

Disela obrolan yang hangat, sembari sesekali menenggak kopi penuh hikmat. Celetuk, obrolan hening. Kami seperti hilang kemampuan bicara, seakan pita suara hilang, dan gerak mulut seakan terkunci. Hanya diam dan diam. Sesekali gawailah yang menjadi teman percakapan. 

Tak mau berlama-lama dalam diam seakan kebingungan itu, seorang kawan memecah suasana hening, tetiba ia mengajak menikmati sunrise

“Besok pagi kita lihat sunrise,” ucap seorang kawan mengajak.

“Di mana,” jawab sekaligus pertanyaan balik seorang kawan lain.

“Temanggung aja. Embung Kledung.”

“Ayo,” walau tidak semua bersuara tapi diam seakan iya yang paling benar.

Walau terasa aneh, saya dan beberapa kawan terlihat sangat senang dengan usulan itu. Katanya sih, berlibur ke tempat wisata itu bagai obat. Katanya ya.


Pemandangan Gunung Sindoro/Janika Irawan

Obrolan di warung kopi yang kami mulai sekitarnya pukul 20.00 WIB. Suara serangga semakin jelas, tanpa terasa jarum jam sudah beranjak menuju pukul 00.00 WIB. Hari telah berganti, obrolan telah memasuki babak akhir.  

“Jam setengah tiga saja kita berangkat. Sampai sana subuh. Paslah buat liat sunrise,” ucap seorang kawan yang kelihatan paling bersemangat.

“Ayo pulang. Tidur dulu bentar kita,” ucap saya pada keenam kawan.

“Kita kumpul di kos Billy saja. Tidur di sana,” ucap seorang dari kami.

“Ia, boleh,” Billy mengiyakan.

Kami pulang dari kedai dan menuju tempat Billy di pusat kota Jogja itu. Saat itu posisi kami di Sedayu, Bantul. Kira-kira 18 km dari kos Billy. Merebahkan badan dan dua jam kemudian mata harus melek dan melanjutkannya perjalanan. Konyolnya, dalam kos 3×3 itu, setidaknya ada tujuh orang, saya membaringkan badan dan rasa kantuk benar-benar tidak mendapat tempat. 


Jarum jam telah menunjukkan angka setengah tiga pagi. Saat itu kami bertujuh, menggunakan empat motor, tiga motor berboncengan, dan satu motor sendiri.

Mengenakan jaket, celana panjang, dan sepatu; pertarungan dingin udara pagi siap kami hadapi. Harus saya katakan, perjalanan pagi hari atau tepatnya dini hari itu udaranya dingin menusuk. Baru di area Jogja saja sudah terasa, padahal kita ketahui Jogja cukup panas disiang hari. Memasuki Temanggung, ketika berada di sela-sela gunung Sindoro dan Sumbing, jaket tak cukup kuat menahan dingin, menusuk. Tapi sebuah kenikmatan, udara pagi sangat segar di setidaknya.

Lokasi camping/Janika Irawan

Dua jam perjalanan kami tempuh untuk sampai di Embung Kledung, embung yang terletak di kaki gunung, diapit oleh Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. 

Walau masih pukul lima pagi, parkir sudah dipadati pengunjung. Itu artinya sejak kemarin banyak orang camping di sini. Di bagian atas atau sebelah timur embung, ada areal camping; bertumpuk-tumpuk tenda yang dihuni banyak kalangan muda berada di situ. Ada beberapa rombongan keluarga juga yang terlihat. Saya rasa, ini merupakan tempat yang cukup asik untuk piknik, baik sesama kawan kuliah, rekan kerja, atau bahkan keluarga.

Setelah membayar tiket masuk, kami bergegas menuju embung. Udara dingin masih amat kental, gelap belum hilang benar. Berjalan menuju tempat yang lebih tinggi, tempat bercokol tenda-tenda. Hamparan luas, Gunung Sumbing, dan kebun-kebun sayur, tentunya embung yang amat dekat dihadapan.

Warung dengan view Gunung Sumbing/Janika Irawan

Matahari mulai keluar sedikit demi sedikit, sunrise, satu dua teman telah mulai cekrek-cekrek dengan kamera gawai masing-masing. Pelbagai gaya, dihadapan matahari yang mulai muncul dengan cahaya yang memukau. Saya tak berfoto, kecuali hanya satu dua saja, tapi sibuk mengambil gambar lain yakni pemandangan.

Matahari yang terbit di sela gunung dan pohon-pohon memantul ke air embung, menjadi pemandangan yang membuat mata berbinar. Terlihat indah. Udara dingin seakan juga menjadi pelengkap. Saya rasa, jika camping di sini akan lebih asik.

Setelah mulai bosan berfoto. Hasrat pagi mulai datang, perut keroncongan dan seruput kopi yang mulai memanggil. Kami memesan sarapan dan secangkir kopi. Setelah itu, sekiranya pukul 7.00 pagi, kami pulang ke Jogja. 

Rasa kantuk benar-benar hinggap menempel. Sempat kami membincangkan supaya tidur sejenak, di mana pun tempatnya, di masjid mungkin, tapi pilihan segera pulang telah mendahului keputusan. Pulang, mengendarai motor, dengan mata terkantuk-kantuk. Bahaya, jangan dicoba.


_______________________

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Obrolan di Kedai Kopi yang Berakhir pada Sunrise Embung Kledung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/obrolan-kedai-kopi-yang-melahirkan-sunrise-embung-kledung/feed/ 1 28947
Pantai Sundak dan Kemping Tanpa Rencana https://telusuri.id/pantai-sundak-dan-camping-tanpa-rencana/ https://telusuri.id/pantai-sundak-dan-camping-tanpa-rencana/#respond Sat, 04 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29019 Sekiranya tengah hari, matahari terik, dan suara-suara kendaraan yang amat mengganggu gendang telinga. Kepala terasa pening, rasanya gelisah, bosan, semua yang dilakukan di kamar kos amat membosankan. Maklum mahasiswa yang tiap hari berhadapan dengan laptop....

The post Pantai Sundak dan Kemping Tanpa Rencana appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekiranya tengah hari, matahari terik, dan suara-suara kendaraan yang amat mengganggu gendang telinga. Kepala terasa pening, rasanya gelisah, bosan, semua yang dilakukan di kamar kos amat membosankan. Maklum mahasiswa yang tiap hari berhadapan dengan laptop. Kuliah. Kuliah online, bosan bukan?

Saya tentu harus jujur sangat bosan. Siapa coba yang tak bosan menghadapi tugas-tugas yang ruwetnya minta ampun, apalagi kalau materinya sulit dipahami, ampun dah. Canda.

Saya menghubungi seorang kawan lewat WhatsApp. Siang itu. Pesan terkirim, centang dua. Beberapa menit kutunggu, setengah jam, belum ada balasan. Setelah satu jam, masih sama juga, dua jam lewat kiranya, “Ayo, gas,” balasnya.

Menyiapkan tas, sepasang pakaian ganti, kompor portable, dan wajan kecil, untuk masak. Saya berangkat menjemput kawan yang baru saja ajak. Ada beberapa kawan lain di sana. Kami ajak beberapa kawan itu untuk ikut. Mereka sepakat mau ikut.

Satu dua hal yang harus disiapkan adalah tujuan. Mau kemanapun, yang harus jelas ya tujuan. Karena camping yang diadakan, tanpa direncanakan sebelumnya, hanya berselang beberapa jam saja, karena pengen saja, tempat memang belum kami tentu. Di sinilah memakan cukup waktu lama. Kami membuka Google dan Google Maps. Pilih-pilih tempat mana yang sekiranya cocok. Tapi, mungkin satu jam, tidak ada hasil pantai mana yang mau dituju.

Beberapa teman yang kami ajak akan menyusul pagi hari. Karena tidak mau ambil pusing, jadi kami tetap berangkat berdua saja. Kami kemudian mampir di salah satu tempat penyewaan alat-alat outdoor. Satu tenda dan dua matras kami angkut. Awalnya kami tidak ingin menyewa tenda, sebab beberapa hari ini sering hujan kami pikir benda ini akan diperlukan.

Pantai Sundak jadi pilihan

Papan alamat/Janika Irawan

“Jalan saja, entar tak cari pantai sembari di motor,” ujar saya pada seorang kawan. Kebetulan saya bonceng.

Mencari-cari di Google, banyak pantai yang terlihat cukup menarik di Gunung Kidul—dipinggir pantai banyak warung yang menjajakan makan-makanan, yang tak akan kesusahan saat perut terasa lapar, tenda-tenda bercokol di sisi pinggir pantai, bukit-bukit, menjadi sangat kelihat apik di layar gawai saya yang sudah butut ini.

Sebab pertimbangan, tempat: tidak terlampau jauh, saya langsung membuka Maps, Google Maps maksudnya. Toh, dalam aplikasi ini lengkap menyajikan informasi tempat hingga foto lokasi. Klik ini, klik itu, klik lagi, hampir semua pantai yang ada di Gunung Kidul saya kunjungi, tentu lewat Google Maps. Saya tetap bingung pilih yang mana, masing-masing menarik dan indah. Ada yang asri sepi pengunjung, ada pula yang ramai dan sering jadi destinasi keluarga.

Tribun mengarah ke pantai/Janika Irawan

Tentu, buat camping kami harus memilih yang sepi, terpencil bahkan. Tapi tetap yang sedikit dekat. Sundak, ya, pantai Sundak. Itulah pilihan saya dan kawan waktu itu. Tepatnya saya sendiri yang pilih. Maps langsung saya aktifkan rutenya melalui panduan teknologi yang cukup cerdas itu. Teknologi yang amat membantu.

Pantai Sundak. Sekiranya dua jam lebih sedikit dari pusat Kota Yogyakarta, terletak di Desa Sidoharjo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Akses jalan ke pantai Sundak, dan mayoritas pantai Gunung Kidul sudah sangat baik. Aspal mulus. Ada yang parkir motor atau mobil langsung di tepi pantai, ada pula yang sedikit jauh, butuh jalan kaki sedikit ekstra. Tapi untuk Sundak, memang sangat bersahabat, tak perlu jalan kaki jauh-jauh, hanya beberapa meter saja.

Bermalam Di Pantai Sundak

Berangkat pukul 15.45—lebih atau kurang sedikit—dari Jogja, pukul 18.00 kami baru sampai. Sudah gelap, dan angin-angin pantai cukup syahdu. Gemuruh ombak yang cukup pelan dan bersahabat layak alunan nada-nada. Kami memarkirkan motor. Biaya parkir satu motor Rp10.000, dan biaya masuk kawasan wisata Rp10.000 per orang. 

Kami tidak langsung mendirikan tenda. Kami duduk di pondok-pondok kecil di tepi pantai. Kalau malam gratis, tapi kalau siang ada biaya sewanya. Bisa dibilang pantai ini cukup ramai, sangat komersialisasi bagi anak kos seperti kami. “Ini kalau siang ditagih bayar,” ujar kawan saya sembari melepaskan asap rokok dari mulutnya.

Angin pantai yang tidak terlalu kencang. Kawan saya mulai memainkan kamera gawainya, merekam sudut-sudut malam pantai. Sesekali ia arahkan ke laut lepasan, sesekali ia arahkan ke tebing.

Beberapa saat duduk menghabiskan keripik singkong, kami memilih lokasi untuk menghamparkan tenda, dan mendirikannya. Beberapa saat tenda berdiri, barang-barang kami masukkan. Dan waktu itu pula panggilan perut cukup terasa.

Kami menghidupkan kompor dan mulai memasak. Sebab kami bukan lelaki yang punya banyak uang, lebih-lebih buat ongkos pulang. Mie instan, itu menu makan malam pilihan kami. Mie kuah diterpa angin laut dan suara ombak-ombak, terasa lebih nikmat.

Pantai Sundak pagi hari/Janika Irawan

Pagi. Cahaya masuk di sela-sela jendela tenda. Saat itu saya sudah diluar sebelum matahari nampak jelas. Dari bagian barat, dan timur, sisi kiri dan kanan, ternyata Pantai Sundak cukup indah juga. Sisi-sisi tebing bebatuan, sebagian dirambah bangunan, pasir-pasir putih coklat, dan para pasangan muda yang muncul dari salah satu penginapan. Sialnya saya diminta memotret pasangan tersebut. Ah, pas lagi bermesraan lagi!

Semasa corona ini, mari pandai-pandai memilih waktu berlibur. Untuk sekedar menghela nafas diantara kesibukan kerja dan kuliah. Tapi, tetap patuhi protokol kesehatan tentunya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pantai Sundak dan Kemping Tanpa Rencana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-sundak-dan-camping-tanpa-rencana/feed/ 0 29019
P4S Tranggulasi: Bukan Hanya Sekedar Kelompok Tani https://telusuri.id/p4s-tranggulasi-bukan-hanya-sekedar-kelompok-tani/ https://telusuri.id/p4s-tranggulasi-bukan-hanya-sekedar-kelompok-tani/#comments Mon, 10 May 2021 08:00:10 +0000 https://telusuri.id/?p=27927 Tentu kita akan bertanya-tanya apa itu P4S Tranggulasi, tentang apa, dimana tempatnya, atau berbagai pertanyaan lainnya? Saya mengenal P4S Tranggulasi berawal saat saya PKL/magang, memenuhi tuntutan mata kuliah magang. Pesan dari seorang dosen ada banyak...

The post P4S Tranggulasi: Bukan Hanya Sekedar Kelompok Tani appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu kita akan bertanya-tanya apa itu P4S Tranggulasi, tentang apa, dimana tempatnya, atau berbagai pertanyaan lainnya?

Saya mengenal P4S Tranggulasi berawal saat saya PKL/magang, memenuhi tuntutan mata kuliah magang. Pesan dari seorang dosen ada banyak pilihan, mau di perusahaan, atau instansi semacam kelompok tani dan saya memilih yang lebih dekat dengan masyarakat. Pelajaran menjadi mahasiswa adalah bagaimana kita mempelajari kultur masyarakat, mengamati aktivitas yang mereka lakukan, berbaur, dan ngobrol mengenai hal-hal yang mereka rasakan. Tidak melulu harus mengatakan perbaikan, yang terbaik belajar dulu dan rasakan, perbaikan dengan sendirinya akan menjadi sesuatu yang alamiah.

Tempat diskusi kelompok tani/Janika

Tranggulasi adalah nama kelompok tani, bertempat di Dusun Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Sedangkan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) adalah nama tambahan, tentu bukan sembarang diberi saja. Kelompok tani Tranggulasi dipercaya sebagai pusat pelatihan pertanian dan menjadi contoh untuk desa-desa lain dengan pertanian organik yang mereka terapkan.

Dengan slogan “kembali ke alam” dan menghasilkan pangan sehat, P4S Tranggulasi bahkan pada 2011 berhasil merambah pasar internasional dengan mengekspor komoditas unggulan “buncis Prancis” ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Mengisi berbagai kebutuhan supermarket di Semarang dan Solo. 

Menjalin kerjasama dengan pelbagai Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), tak jarang ada akademisi melakukan kunjungan, bahkan penelitian, dan mahasiswa atau siswa yang menjalani program magang/PKL. Sama halnya saya yang sedang magang di sini, pada awal 2020 lalu.

Sejak tahun 2000-an, bertani organik telah menjadi pilihan

Pada era orde baru, saat kepemimpinan Pak Soeharto, kita mengenal Revolusi Hijau, sebuah program yang diterapkankan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Programnya cukup beragam, mulai dari perbaikan irigasi, penggunaan teknologi, penggunaan pupuk kimia, dan pestisida kimia. 

Sebelumnya, berpuluh-puluh tahun kelompok tani Tranggulasi menerapkan sistem organik, hanya menggunakan pupuk kandang dan melakukan penyiangan rutin. Setelah program Revolusi Hijau, mulai ada perbandingan dari petani yang mengadopsi pupuk dan pestisida kimia: hasilnya bagus secara fisik (menunjukkan kualitas super) dan secara kuantitas juga lebih baik dari yang organik.

Kegitan petani persipan sebelum didistribusikan/Janika

Petani Tranggulasi tentu tergiur melakukan hal serupa: menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Hasil panen yang didapatkan secara kualitas dan kuantitas baik, sesuai dengan harapan. Sistem ini berlanjut sampai beberapa tahun atau dekade setelah kebijakan Revolusi Hijau tahun 1970 an itu.

Semakin lama, masyarakat sadar bertani kimiawi menimbulkan dampak buruk, mulai dari kesehatan, tanah menjadi gersang, hama semakin resisten (tahan terhadap pestisida), dan yang paling terasa biaya produksi terlalu tinggi dan kerap tidak sesuai dengan perhitungan, rugi. 

Dari keresahan itu, sekitar tahun 20000-an kelompok tani Tranggulasi yang diketuai Pak Pitoyo Ngatimin mulai mencari alternatif lain yang lebih menguntungkan. Dicetuskanlah sistem pertanian “kembali ke alam,” bertani dengan memanfaatkan apa yang disediakan alam sekitar. Menggunakan pupuk kompos dari kotoran ternak dan sisa-sisa sayuran serta membuat pestisida nabati yang dihasilkan dari ekstrak tumbuhan-tumbuhan sekitar.

Dengan sistem pertanian organik, kelompok petani Tranggulasi mendapatkan apresiasi dan telah dua kali diundang ke Istana di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2004, diberi sebutan baru dengan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Tranggulasi, sebagai tempat percontohan pertanian. Sampai sekarang kelompok tani Tranggulasi dikenal dengan P4S Tranggulasi.

40 hari bersama petani Tranggulasi

Dari Jogja kira-kira sekitar 2 jam perjalanan, bisa memilih lewat jalur Muntilan, atau lewat kota Magelang; yang lebih singkat tentu lewat Muntilan. Selain singkat, jalur Muntilan menyajikan view yang indah dipandang, Gunung Merbabu dan Merapi terlihat jelas, apalagi suasana pagi matahari baru terbit.  

Melakukan kegiatan bersama petani, mulai dari bercocok tanam bahkan kegiatan pengajian bersama. Kita bisa belajar langsung dengan petani cara-cara budidaya organik. Berbagai cara, bisa dengan datang ke ladang atau bahkan ke rumahnya langsung. Disuguhi teh panas dan cemilan ubi rebus, makanan khas pedesaan. Bukan hanya ilmu, perut pun ikut terhibur.

Yang juga menyenangkan yaitu pengajian rutin setiap malam Kamis. Bergiliran yang menjadi tuan rumah, dari rumah paling awal dusun sampai ujung pasti kebagian. Pemilik rumah biasanya telah bersiap-siap lebih awal, membentangkan tikar, memasak berbagai hidangan, dan membuat minuman teh panas dan kopi. Setelah pengajian selesai makanan dan minuman dihidangkan.

Hal yang paling menarik adalah kultur kumpul, bukan hanya pengajiannya saja, tapi hubungan kekeluargaan yang sangat kental. Saat-saat minum kopi dan menyantap makanan, obrolan tersaji dengan hangat di tengah udara dingin yang cukup mencekam bagi saya yang belum terbiasa dengan daerah pegunungan, tapi setelah seminggu saya cukup mampu beradaptasi.

Kumpul memang budaya yang amat kental. Tidak masalah dengan tema obrolan yang sering diperdebatkan para mahasiswa atau pejabat negara, terkadang hanya kumpul bersama. Membahas harga sayuran yang naik turun, dengan solusi yang kadang mereka sendiri tak tahu menghadapinya, tapi masyarakat desa semacam telah menganggap hidup adalah hidup. Tidak untuk kesenangan semata, tapi cara-cara mensyukurinya.

Masyarakat di sini juga ramah. Hanya lewat di depan rumah atau ladang, selalu disambut sapa “pinarak Mas!” (mampir dulu Mas). Sapaan itu serasa bahasa yang paling sering didengar, wujud rasa kekeluargaan yang amat kental. 40 hari rasanya waktu yang terlalu singkat.

Setahun kemudian aku dan seorang kawan kesana, sapaan tetap sama “pinarak Mas”, tidak hanya dengan yang kenal tapi pada semua orang yang baru ia lihat sekalipun.

Tabik.

The post P4S Tranggulasi: Bukan Hanya Sekedar Kelompok Tani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/p4s-tranggulasi-bukan-hanya-sekedar-kelompok-tani/feed/ 1 27927