Karisma Nur Fitria https://telusuri.id/author/karismanurfitria/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:09:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Karisma Nur Fitria https://telusuri.id/author/karismanurfitria/ 32 32 135956295 Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/ https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/#respond Wed, 23 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46744 Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur...

The post Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur Kampung

Informasi ini saya peroleh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang saya ikuti pada suatu malam. Saya pikir, “Susur kampung? Apa yang menarik dari kampung sehingga harus ditelusuri?” Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa ada hal yang ingin disampaikan melalui kegiatan ini. Tentu saja, jika tidak, untuk apa mereka bersusah payah mengadakan kegiatan semacam itu, bukan?

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan Susur Kampung yang diinisiasi oleh Paguyuban Kalijawi. Ada beberapa rute yang ditawarkan. Sebuah keberuntungan bagi saya dihadirkan dalam kelompok rute susur kampung Sudagaran–Pakuncen–Notoyudan. 

Seluruh peserta diberikan imbauan agar tiba tepat waktu pada pukul 08.30 WIB. Sebisa mungkin saya memenuhi perintah tersebut. Perjalanan dimulai dengan berkumpul di gang DPR. Saya, sebagai penduduk sementara Yogyakarta, dengan polosnya mengira gang DPR berarti gang di sekitar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa sangka itu bermakna lain, gang DPR yang dimaksud adalah gang Daerah Pinggiran Rel. Saya cukup tergelak dengan penjelasan Bu Atik, pemandu kami pada perjalanan Susur Kampung hari itu. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Berjalan kaki menyusuri kampung ke kampung/Karisma Nur Fitria

Di Sudagaran Saya Mengubah Stigma tentang Kampung

Bu Atik, yang juga anggota Paguyuban Kalijawi, ditemani ibu-ibu lain mengajak kami menelusuri kampung. Bukan tanpa tujuan, kami diminta untuk memikirkan dua pertanyaan tentang “apa itu kampung” dan “apa potensi yang ditemukan dari kampung”. Dengan pikiran yang masih sempit, saya berpikir bahwa kampung, ya, kampung. Apalagi kampung di pinggir kali yang terkenal karena kumuhnya. Pendefinisian saya tentang kampung pinggir kali mungkin sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. 

Semuanya berubah ketika susur kampung hari itu. Saya tidak lagi mendefinisikan kampung berdasarkan apa yang saya lihat. Saya menikmati dan memaknai lebih jauh kampung melalui keberadaan masyarakat dengan segala potensi di luar predikat yang melekat padanya.

Sudagaran adalah kampung pertama yang juga menjadi titik keberangkatan kami. Berbekal informasi dari Bu Nani selaku warga Sudagaran, kami mengetahui berbagai hal. Masyarakat setempat membuat sumur komunal, yang berarti satu sumur untuk dipakai bersama. Hal ini menjadi salah satu solusi persoalan air yang ada di sana. 

Dari situ saya melihat bahwa masyarakat berusaha memelihara kampung dan komunitas yang ada di dalamnya dengan memecahkan masalahnya sendiri. Tidak berlama-lama menyusuri kampung Sudagaran, kami diajak untuk berangkat menuju kampung selanjutnya, Pakuncen.  

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Celah pemandangan langit yang terlihat dari atap rumah warga yang berimpitan/Karisma Nur Fitria

Pakuncen, Kampung yang Peduli Lingkungan

Keberadaan masyarakat yang memiliki kesadaran penuh terhadap tempat tinggalnya dapat menciptakan kehidupan kampung menjadi lebih baik. Pakuncen adalah buktinya. Penataan kampung yang mengedepankan prinsip M3K (mundur, munggah, madep kali). Saya tertarik dengan konsep yang baru saya dengar dari Bu Atik hari itu. 

Mundur artinya rumah-rumah diberikan jarak dari pinggir sungai dengan cara mundur ke belakang sekitar tiga meter. Hal ini bertujuan agar tetap ada jalan yang mudah diakses oleh mobil seperti ambulans atau pemadam kebakaran. Apabila dipikirkan ulang, memang benar beberapa kasus di daerah padat penduduk adalah kesulitan akses bagi kendaraan darurat semacam itu.

Munggah artinya naik ke atas. Sebab, rumah-rumah yang ada harus dibuat mundur sehingga solusinya adalah munggah. Penataan kampung yang cakap dan tersusun ini tentunya berkat kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat. 

Terakhir, madep kali. Ini menjadi poin yang paling menarik bagi saya. Madep kali artinya menghadap ke sungai. Rumah-rumah yang ada ditata agar menghadap ke sungai, bukan membelakangi sungai. Penataan seperti ini bertujuan agar masyarakat tidak sembarangan membuang sampah ke sungai. Ini berarti sungai ada di halaman depan rumah, sehingga masyarakat tentu segan membuang sampah ke halaman rumahnya sendiri. Lain halnya jika sungai ada di belakang rumah, maka masyarakat akan membuang sampah ke belakang rumahnya. Dari konsep ini saya tahu tentang cara masyarakat terutama di sekitar Pakuncen dan Notoyudan dalam menghargai sungai.

Kesinambungan Elemen Air, Tanah, dan Hawa di Kampung

Festival Pamer Kampung memiliki fokus pada beberapa persoalan dan potensi yang ada di kampung. Mereka menyebutnya sebagai elemen air, tanah, dan hawa. Ketiga elemen ini dijelaskan secara teori oleh Bu Atik dan rekan lainnya. Akan tetapi, saya rasa dapat dimaknai lebih dalam lagi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di kampung. 

Sepanjang perjalanan susur kampung, hal yang paling dekat dengan masyarakat adalah sungai atau air. Namanya juga kampung pinggir kali, sungai atau air ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya memenuhi kebutuhan air, tetapi juga bagaimana air dapat menghidupi masyarakat. Bu Tatik, warga lainnya, menjelaskan bahwa pasir yang diperoleh nantinya dapat dijual dengan harga Rp10.000 per karung.

Masyarakat dapat memanfaatkan potensi apa saja yang ada di sungai selain airnya. Ada hal lain yang menarik perhatian saya terkait elemen air ini. Sepanjang susur kampung, ibu-ibu yang memandu kami sering menunjukkan bahwa di beberapa titik ada “mbelik”. Saya awalnya tidak mengetahui apa itu “mbelik”, sampai di satu titik saya melihat plang yang bertuliskan “Belik Kidul” dengan keterangan mata air. Saya menemukan jawabannya tanpa bertanya. Sepanjang pengetahuan saya di Susur Kampung, sayangnya hanya “mbelik” itu yang memiliki plang nama.

Elemen berikutnya adalah tanah. Tanah berkaitan erat dengan rumah atau tempat tinggal yang pada dasarnya ada di atas tanah. Persoalan tanah bukan hal yang baru lagi di telinga masyarakat Yogyakarta, tidak terkecuali yang tergabung dalam Paguyuban Kalijawi. Berkedudukan di atas tanah informal membuat masyarakat berusaha membentuk dan memperoleh tempat tinggal yang nyaman. 

Bu Tatik menjelaskan, ada sebuah program bernama One Day One Thousand yang berhasil dikumpulkan oleh ibu-ibu untuk membangun Balai Bambu. Hal ini didasari karena tidak adanya ruang publik yang mumpuni bagi masyarakat Pakuncen. Saya kagum dengan penjelasan ibu-ibu sejak awal perjalanan kami dimulai. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Pemaparan materi di titik terakhir Susur Kampung di Notoyudan/Karisma Nur Fitria

Hal tersebut lalu menyinggung elemen hawa yang dapat berarti udara, ruang terbuka, atau bahkan perempuan. Dari sana saya mengerti mengapa tidak mengambil padanan kata suasana atau yang lainnya. Usaha pemberdayaan perempuan dalam memajukan kampung sangat menggambarkan peran perempuan tidak cukup di rumah saja. Pengelolaan ruang publik dalam Susur Kampung ini juga mengandalkan peran penting seorang perempuan.  

Kesinambungan antara elemen air, tanah, dan hawa di kampung menunjukkan arti sebenarnya dari kampung itu sendiri. Susur Kampung sangat berarti bagi saya. Masyarakat kampung tidak hanya berdampingan dengan kehidupan sosial budaya saja, tetapi juga makhluk hidup lainnya. 

Saya bertemu banyak orang dan ikut merasakan kehangatan dari setiap sudut kampung yang mereka jaga. Dari Susur Kampung, saya menjumpai pemaknaan lain dari sebuah “kampung”. Kampung tidak terbatas pada sebuah permukiman masyarakat yang tidak “kota”, tetapi kampung adalah masa depan ketika masyarakatnya terus berkembang.


Foto sampul: foto bersama peserta Susur Kampung/Dokumentasi Susur Kampung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/feed/ 0 46744
Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/ https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/#comments Thu, 20 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46355 “Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.” Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak...

The post Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.”

Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak kenal lelah untuk ngalor-ngidul, ke sana kemari, tetapi dikejar skripsi rasanya ngos-ngosan. Segala ajakan saya terima untuk berusaha menyeimbangkan diri dengan skripsi itu, salah satunya tracking di Kalitalang.

Selasa (12/2/2025) seorang rekan membawa saya melakukan tracking. Hal ini tidak pernah terpikirkan akan terjadi oleh saya sebelumnya. Salah satu wishlist yang bolak-balik masuk dari tahun ke tahun dan tidak terealisasikan akhirnya tutup buku waktu lalu. Saya senang bukan main ketika diberi tawaran semacam itu. 

Rekan yang membawa saya memenuhi mimpi itu adalah seseorang yang berpengalaman di bidangnya. Sudah banyak gunung dan bukit yang dia sambangi. Saya sebagai seorang pemula menjadi percaya dan memiliki rasa aman dalam melakukan perjalanan ini.

Sekitar pukul 08.00 WIB perjalanan kami dimulai. Sejak awal berangkat dari tempat saya tinggal, Condongcatur, cuaca sangat cerah dan Gunung Merapi memamerkan kegagahannya. Saya sangat bersemangat dalam perjalanan menuju Kalitalang. Rasanya ketika roda sepeda motor ini berputar, semakin mendekat pula Merapi kepada saya. Perlahan hawa dingin mulai mulai menyambut perjalanan kami. 

Kurang lebih lewat satu jam, sekitar pukul 09.00 kami  tiba di kawasan ekowisata Kalitalang. Pembayaran pertama, tiket perawatan ekowisata Kalitalang dikenakan biaya masuk 5.000 rupiah per orang dan 3.000 rupiah untuk biaya parkir motor. Pembayaran kedua, tiket masuk wisatawan Taman Nasional Gunung Merapi sebesar 5.000 rupiah dan tiket asuransi pengunjung 2.000 rupiah. Sekiranya perlu menyiapkan 15.000 rupiah untuk berkunjung ke Kalitalang.

Selesai dengan urusan biaya masuk, saya dan rekan memulai langkah perjalanan baru. Saya tidak menduga bahwa kegiatan ini sangat menyenangkan dan jauh dari kata menakutkan. Jujur saja, sebagai pemula saya khawatir dengan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi di alam. Namun, kekhawatiran itu tidak ada yang terjadi dan terlupa seketika ketika saya tenggelam di dalamnya. 

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Potret warga mengangkut rumput dengan sepeda motor di Kalitalang/Karisma Nur Fitria

Pelajaran dan Tracking Dimulai

“Apakah ada hal seru lainnya selain menikmati pemandangan?” Tentu saja ada. Tidak hanya bertemu dengan sesama pendaki atau wisatawan saja di sana. Seperti foto sebelum ini, yang saya pikir lebih dari sekadar potret warga yang sedang mengangkut rumput untuk ternaknya.

Saya memikirkan sesuatu yang lebih manis di sini. Manusia dan alam memang seromantis itu dalam menjalin hubungan. Sederhananya, mereka tidak saling menuntut untuk mendapatkan dan memberikan sesuatu. Keikhlasan yang ada pada mereka menyeimbangkan sesuatu yang disebut dengan “berdampingan”. Andai semua dapat melihat pemandangan semacam ini menggunakan rasa lebih dalam. 

Banyak hal baru yang dijelaskan secara sabar oleh rekan saya. Salah satunya ketika meminta izin padanya untuk mengambil gambar sejenak, lalu ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan. Pertama, dilarang mengambil apap un selain gambar. Kedua, dilarang meninggalkan apapun selain jejak. Ketiga, dilarang membunuh sesuatu selain waktu. Itu adalah pelajaran pertama yang saya peroleh hari itu. Sudah semestinya manusia tidak berlaku sembarangan kepada semua ciptaan Tuhan.

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Jalur tracking Kalitalang/Ibu S. Roestamadji

Selama tracking, saya tidak pernah berhenti untuk mencurahkan perasaan saya atas alam yang Tuhan ciptakan. Merapi tidak lagi memamerkan kegagahannya, ia ‘memanggil’ saya untuk semakin mendekat kepadanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang cukup menarik perhatian saya. 

Penampilan Merapi mulai berbeda, terkesan seperti ada topi putih yang menutup malu puncaknya. Lagi-lagi rekan saya tanpa diminta menjelaskan sesuatu, yang berarti itu pelajaran kedua di hari itu. Rekan saya menjelaskan bahwa itu adalah awan lentikular. Sesuatu yang baru di telinga saya.

Setelah sibuk berjalan sambil menjelaskan awan itu, cukup terasa bagi saya sampai akhirnya tiba di Pos 1. Melelahkan, tentu saja. Berulang kali saya meminta jeda untuk mengambil napas. Rekan saya menjelaskan bahwa trek ini tidak terlalu sulit dan cukup landai. Mungkin jika saya bukan seorang pemula tentu akan menyetujuinya dengan mudah.

Angin yang kencang dan dingin rasanya ingin membawa saya terbang. Jika bisa atau diperbolehkan, tentu saja saya ingin ikut terbang terbawa angin saja. Saya tidak lagi berorientasi pada ujung perjalanan ini. Saya hanya ingin menyelami setiap sudut mata memandang bentang alam di Kalitalang.

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Pos 1 Pangukan Kalitalang dengan latar belakang hutan dan Gunung Merapi/Karisma Nur Fitria

Meresapi Keindahan Alam

Pengalaman pertama tracking ini membuat saya merasa tidak hanya lebih dekat dengan alam, tetapi juga dengan manusia. Entah sudah langkah ke berapa yang kami tempuh, tidak terhitung pula berapa manusia yang menyapa kami dengan ramah. Rekan saya menegaskan bahwa tidak perlu merasa heran dengan situasi seperti itu. Itu menjadi pelajaran baru ketiga bagi saya. 

Ketika meresapi keindahan alam di Kalitalang, saya terpikirkan sesuatu yang sedikit menggerus perasaan. “Pemandangan ini mungkin saja lahir dari hal yang menyakitkan bagi alam atau bahkan makhluk lain dan kita mengaguminya sebagai sebuah keindahan,” ucap saya. 

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Tebing yang terbelah di lereng Merapi/Karisma Nur Fitria

Begitulah kiranya ketika saya melihat pemandangan itu. Akan tetapi, setidaknya saya tahu bahwa alam tidak perlu merasa terlalu kecewa. Pada kenyataannya rasa sakit itu melahirkan keindahan yang bisa saja membuat ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini menjadi pelajaran terakhir yang saya peroleh di siang itu.

Kalitalang membawa saya lebih jauh dari sekadar mengunjunginya. Banyak hal yang saya pelajari tentu tak lepas dari andil ketepatan rekan yang membawa saja hingga sejauh itu. 

Saya memang tidak mencapai puncaknya dan merasa cukup sampai di Pos 3. Itu bukan pencapaian jika diukur dari ujung perjalanan di Kalitalang. Akan tetapi, itu adalah sebuah keberhasilan bagi saya dalam kemampuan meresapi dan memaknai perjalanan saya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/feed/ 1 46355
Liburan Sederhana di Salatiga https://telusuri.id/liburan-sederhana-di-salatiga/ https://telusuri.id/liburan-sederhana-di-salatiga/#respond Sun, 18 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42526 Sebuah masa yang ditunggu semua orang telah menghantui. Rencana telah dirancang sedemikian rupa hingga siap merajut memori baru. Libur tengah tahun menjadi momentum menggembirakan baik bagi pelajar, mahasiswa, pekerja, terlebih para perantau. Semusim telah dilalui...

The post Liburan Sederhana di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah masa yang ditunggu semua orang telah menghantui. Rencana telah dirancang sedemikian rupa hingga siap merajut memori baru. Libur tengah tahun menjadi momentum menggembirakan baik bagi pelajar, mahasiswa, pekerja, terlebih para perantau. Semusim telah dilalui dengan memenuhi kaleng kerinduan terhadap kampung halaman. Saya adalah salah satunya. 

Merantau jauh di luar pulau yang saya kenal tentu mengundang banyak kerinduan. Berusaha mengalihkan perhatian dari Bumi Sriwijaya untuk senantiasa kerasan di Yogyakarta cukup menguras tenaga. Bagi saya, liburan kali ini tidak seistimewa seperti para perantau yang mengindahkan masa cutinya untuk mudik ke tanah kelahiran. Saya tetap di Pulau Jawa. Mengunjungi kerabat yang berada di Salatiga, sebuah kota yang terkenal dengan julukan “Hati Beriman”.

Liburan Sederhana di Salatiga
Menemui bapak-bapak di sawah saat menghabiskan waktu liburan di Salatiga/Karisma Nur Fitria

Perjalanan Menuju Salatiga

Saya menempuh perjalanan dari Yogyakarta menuju Salatiga dengan memesan travel. Saya sudah merasa cukup untuk naik bus antarkota Solo–Semarang dengan segala problematikanya. Sungguh, travel adalah pilihan terbaik apabila dompet tidak sedang paceklik. Cukup menyiapkan ongkos sebesar Rp65.000 sudah dapat menikmati perjalanan dengan nyaman dan aman—semoga.

Jalan berliku-liku mulai diterjang bus shuttle berwarna merah ini. Ditemani pemandangan yang tidak selalu menyejukkan mata, perjalanan selama kurang lebih 2 jam 30 menit itu cukup menyegarkan diri dari hiruk-piruk padatnya Kota Yogyakarta. Sekali, dua kali, akan disuguhkan indahnya pemandangan sawah yang terbentang. Tidak lupa pula dengan suasana macetnya jalanan di sore hari, dibarengi keriuhan pengendara yang ingin segera sampai rumah selepas letih bekerja. 

Saya memilih jadwal perjalanan pada pukul 15.30 WIB. Saya sengaja tidak ingin terburu waktu untuk menyiapkan diri agar lebih nyaman menikmati perjalanan di sore hari. Tepat 30 menit sebelum keberangkatan, saya disiplin dan sudah menunggu shuttle yang akan membawa menuju Salatiga. Tidak butuh waktu lebih lama lagi untuk segera berangkat. Minibus yang saya nantikan telah tiba. 

Sewaktu berjalan bersama serombongan orang yang memiliki tujuan sama, saya bertanya kepada seorang ibu paruh baya soal tujuannya. Dengan sangat kebetulan, ternyata saya adalah penumpang yang duduk tepat di sebelahnya. Begitu ramah ia membuka pembicaraan.

Perbincangan kami singkat, tetapi mampu membuat saya terkagum-kagum kepadanya. Ia merupakan seorang ibu yang sengaja meliburkan diri sebagai seorang ibu. Berangkat dari Bintaro, lalu merebahkan diri sejenak di Yogyakarta, hingga berlabuh ke Salatiga. Sendirian. Begitu hebatnya ia menceritakan “me timenya. 

Selepas beradu cerita, saya dan si Ibu terlelap. Tidak terasa, berpedoman pada aplikasi peta di gawai, ternyata tidak kurang dari 15 menit lagi saya tiba. Sekitar pukul 18.00 sopir menuruti perintah saya untuk memberhentikan mobil di Terminal Tingkir. Suasana dingin menyambut kedatangan saya dengan kasar, menusuk hidung dan tulang belakang. Rasa-rasanya memang tidak ada yang menandingi hawa dingin tempat ini sejauh saya pergi.

Liburan Sederhana di Salatiga
Kawanan bebek adus kali di pinggir sawah/Karisma Nur Fitria

Menjelajah Sawah, Meleburkan Diri

Besok paginya, Sabtu (29/6/2024), saya diajak berkeliling sekitar. Siapa yang tidak setuju dengan kenikmatan udara pagi di sawah?

Tidak jauh dari rumah, cukup lurus saja—begitu petunjuknya. Saya menemukan keajaiban alam Tuhan yang dibantu manusia dalam menatanya. Bentangan sawah seperti anak tangga yang menyegarkan sejauh mata memandang. 

Suasana tersebut belum pernah saya temukan di tanah kelahiran. Apalagi ditambah bumbu kesejukan yang datang dari gemercik sungai jernih menambah kekhidmatan sawah ini. Seketika saya ingat lirik lagu Bebek Adus Kali. Begitulah yang terlintas dalam benak saya ketika melihat sekumpulan bebek dengan riang, nyaman, dan gembira bermain air di kali. Pemandangan ini baru saya dapatkan di sini. Sederhana saja, melihat lenggak-lenggok bebek berenang dengan anggun dan membuat saya tertawa. Sembari membayangkan lirik lagu tadi, bagi saya pengalaman seperti ini sudah cukup bikin puas. 

Melanjutkan penjelajahan, saya dipertemukan dengan seorang petani. Ia tengah khusyuk membajak sawah dengan “sapi modern” yang disebut traktor. Tanah yang tadinya rata menjadi tak keruan bentuknya. Begitulah prosesnya. Sesuatu yang tampak baik belum tentu cocok untuk sesuatu yang tengah disiapkan. 

Liburan Sederhana di Salatiga
Seorang petani tengah membajak lahan sawahnya/Karisma Nur Fitria

Pagi yang sejuk mulai memancarkan sengatan matahari. Tentu saja hal ini tidak menyurutkan semangat petani itu membajak sawahnya. Mendorong traktor andalannya mondar-mandir, yang tampaknya mudah dan sangat seru.

Petani tersebut menyadari kehadiran saya lalu memberikan senyum ramah dan berbalas sapaan pula. Terjadilah percakapan singkat di antara kami. Sebatas bertanya dari mana petani itu mengenal saya sebagai kerabat dari salah seorang warga di sana.

Sebuah desa di Salatiga bernama Medayu, benar-benar menunjukkan keramahtamahan khas orang Jawa. Sepanjang saya melalui jalan menuju sawah, banyak orang dengan ramahnya saling tegur sapa. Mengobrol dengan nyaman di pinggir sawah sambil mengisap tembakau sungguh menjadi pemandangan yang damai. Seperti bapak-bapak itu, yang perbincangannya terdengar menarik sekali. Layaknya para pemuda yang tengah asyik nongkrong di kafe, mereka—para mantan pemuda—nongkrong di sawah dengan nikmat.

Liburan kali ini memang belum jadi liburan terbaik, tapi sudah jadi momen liburan saya yang paling istimewa. Melihat sawah beserta para penghuninya sungguh menenangkan. Celengan kerinduan terhadap Sungai Musi tidak tergadai dengan keberadaan sungai di sawah ini. Akan tetapi, Medayu mampu membawa saya mengagumi Salatiga.

Sawah yang mahal, begitulah sekiranya ungkapan paling tepat untuk tempat ini. Tentu mahal, dilihat dari segala hasil alamnya sebagai ciptaan Tuhan yang tidak ada tandingannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan Sederhana di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/liburan-sederhana-di-salatiga/feed/ 0 42526