Karunia Haganta, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/karunia-haganta/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 04:18:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Karunia Haganta, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/karunia-haganta/ 32 32 135956295 Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/ https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/#respond Thu, 20 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45702 Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh,...

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.

Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah. 

Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Sampul buku Sejarah Garam Madura karya Imam Syafi’i terbitan LIPI/Meita Safitri via LIPI

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai

Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.

Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14). 

Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.

Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV

Garam dan Kekuasaan

Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.

Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).

Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam. 

Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Perahu janggolan di muara Sungai Rajeh Sreseh, Kabupaten Sampang, yang sudah digunakan sejak abad ke-19/Dokumentasi Imam Syafi’i tahun 2012

Perjalanan dan Pengangkutan Garam

Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial. 

Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).

Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Foto seorang nakhoda dan anak buah kapal perahu janggolan. Keduanya berada di salah satu studio foto di Palembang setelah mengangkut ga-ram dari Madura ketika menunggu muatan kayu menuju Jakarta/Dokumentasi Maksum tahun 1983

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.

Garam Madura Sepeninggal Belanda

Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.

Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.

Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).

Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8

Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/feed/ 0 45702
Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta https://telusuri.id/angkutan-dan-karikatur-perjalanan-di-jakarta/ https://telusuri.id/angkutan-dan-karikatur-perjalanan-di-jakarta/#respond Tue, 17 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44604 Jakarta punya segudang cerita. Sebagai kota metropolitan, beribu fenomena bisa ditemukan di Jakarta. Sayangnya, karena metropolisnya Jakarta pula, kehidupan Jakarta terasa membosankan dan menjemukan. Sudah sejak lama, citra negatif seperti macet dilekatkan pada Jakarta. Kenyataan...

The post Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Jakarta punya segudang cerita. Sebagai kota metropolitan, beribu fenomena bisa ditemukan di Jakarta. Sayangnya, karena metropolisnya Jakarta pula, kehidupan Jakarta terasa membosankan dan menjemukan. Sudah sejak lama, citra negatif seperti macet dilekatkan pada Jakarta. Kenyataan ini sulit dibantah, apalagi jika melihat warga Jakarta yang berbondong-bondong keluar Jakarta tiap musim liburan. 

Tidak salah jika cara untuk mengisahkan keseharian dengan menarik adalah melalui karikatur. Wagiono Sunarto dalam buku Perang Karikatur: Mengangkat dan Menjatuhkan Soekarno Tinjauan Sejarah 1959-1967 (2013), mengartikan karikatur sebagai ungkapan visual tentang keadaan masyarakat yang melebih-lebihkan salah satu karakteristiknya dan umumnya untuk menyindir. Penggambaran Jakarta melalui karikatur ini dapat dilihat dari karya-karya Benny Rachmadi dan Muh. ”Mice” Misrad alias Benny dan Mice.

Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta
Sampul depan buku Roikan. Buku ini merupakan karya terpilih dalam program Akuisisi Pengetahuan Lokal BRIN/Karunia Haganta

Angkutan Umum dalam Karikatur

Buku Angkutan Umum dan Gaya Hidup: Etnografi Semiotika Kartun Lagak Jakarta Karya Benny Rachmadi Edisi Transportasi (2021) yang ditulis Roikan ini menganalisis penjelajahan yang dilakukan oleh Benny melalui karikaturnya, terutama dalam Lagak Jakarta: Transportasi (1997). Uniknya, Roikan menggunakan autoetnografi untuk menuliskan telaahnya. Autoetnografi adalah cara penulisan etnografi yang menggunakan pengalaman personal untuk memeriksa, mengkritisi fenomena kultural dalam lingkup yang lebih luas (hal. 18). 

Alhasil, kita dibawa menjelajahi pengalaman Roikan mengeksplorasi penjelajahan dalam karikatur Benny dan Mice. Penulisan ini diawali dengan pengalaman Roikan menumpangi bus-bus di Yogyakarta. Menurut Roikan, aspek keseharian ini adalah bagian dari proses kreatif, apalagi bagi seniman. Proses kreatif melalui perjalanan ini yang juga mendorong Roikan untuk melihat kreasi tentang perjalanan transportasi umum, seperti yang dibuat Benny Rachmadi.

Lagak Jakarta: Transportasi memang disusun sendiri oleh Benny, setelah Lagak Jakarta: Trend dan Perilaku (1997) disusun oleh Mice. Beberapa karakter yang ditampilkan di antaranya tukang bajaj, ibu dan anak, tukang tidur dalam bus, dan Benny sendiri. Benny menganggap bahwa karakternya hadir bukan sebagai bentuk narsisme, melainkan pelengkap penderita. Transportasi umum lain juga ada, kecuali KRL. Alasannya adalah KRL saat itu belum tersebar dengan jalur yang “di situ-situ aja” (hal. 40).

Walaupun judul edisinya “Transportasi”, Roikan melihat karikatur ini menggambarkan keseharian warga Jakarta bukan hanya di transportasi umum, melainkan aspek kehidupan lain yang berkaitan dengannya. Kutipan wawancara dengan informan bernama Rendra menggambarkannya secara tepat, “masuk jam delapan berangkat jam enam, artinya ada persiapan dua jam dan itu juga tercatat dalam kartun Lagak Jakarta itu, digambarkan macetnya Jakarta terus, dan kekerasan yang ada di sana” (hal. 51). 

Pasalnya, sebagai “kota yang tidak pernah mati”, mobilitas transportasi umumlah yang menghidupkan Jakarta. Pilihan transportasi umum di Jakarta juga sangat beragam dan terkadang untuk pergi ke suatu tempat, seseorang memang harus menggunakan beragam moda transportasi umum. Roikan menjelaskan bahwa Benny menggambarkan masing-masing jenis transportasi umum, seperti ojek, bajaj, maupun bus berdasarkan karakteristik kendaraannya, pengemudinya, penumpangnya, atau keluh kesah mereka. 

Masing-masing moda transportasi memiliki cerita uniknya. Contohnya, pengalaman salah antar yang dialami Roikan saat menggunakan jasa tukang ojek (hal. 64). Ini karena ojek tidak punya trayek, tetapi berdasarkan tujuan yang disebutkan penumpang. Alhasil, karena salah mendengar tujuan, tukang ojek jadi salah mengantarkan. 

Hal serupa bisa dialami juga ketika menaiki bajaj. Bukan karena bajaj tidak memiliki trayek atau salah dengar, melainkan karena supir bajaj kerap merupakan perantau yang baru sampai di Jakarta dan belum mengenali daerah sekitarnya (hal. 83). Setiap kisah unik transportasi umum ini oleh Roikan dipadukan antara pengalaman pribadi, wawancara informan, dan dengan karikatur Benny.

Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta
Beberapa contoh kreatif penggambaran karakter dalam komik Benny yang diulas oleh Roikan/Karunia Haganta

Angkutan yang Bergerak, Kisah yang Berserak

Ini membuktikan bahwa transportasi umum bukan hanya sarana mobilitas. Ada banyak cerita, termasuk interaksi orang-orang di dalamnya, mulai dari pengemudi dengan penumpang, antarpenumpang maupun antarpengemudi, yang telah dikemas dalam karikatur Benny. Terkadang interaksi ini terjadi tidak hanya dalam transportasi umum, tetapi juga lokasi lain, seperti pangkalan ojek. Sebab, transportasi umum tidak hanya berisikan orang-orang yang ingin bepergian, tetapi juga mencari nafkah dari transportasi umum itu. 

Tidak hanya sopir, tetapi juga kondektur dan kernet yang membantu sopir. Ada pula yang turut mencari nafkah di dalam transportasi umum, seperti pengamen, pedagang asongan, atau bahkan yang cenderung negatif seperti pengemis dan pencopet. Semuanya punya cerita masing-masing dan saling membentuk perjalanan setiap orang saat menggunakan transportasi umum.

Tidak salah jika Roikan akhirnya membedah masyarakat dan gaya hidup metropolitan setelah bercerita mengenai transportasi umum. Kutipan wawancara dari informan bernama Irmayanti berikut menjelaskan alasannya: “Mobilitas masyarakat metropolitan tinggi sekali… di situ kan digambarin dari anak-anak, ibu-ibu… ibu-ibunya pun mulai sing dandan rapi sampek sing gawe kebaya segala macem itu menggunakan transportasi Jakarta, jadi seandainya transportasi diilangin yo mati… mati wong Jakarta kebosanan gak bisa ke mana-mana,” (hal. 224). 

Tangkapan layar buku Roikan tentang taksonomi angkutan umum Kota Jakarta (kiri) dan dokumentasi pribadi Roikan saat memotret pengamen bus/Karunia Haganta

Transportasi umum adalah bagian penting gaya hidup metropolitan warganya. Namun, seperti karikatur Benny, transportasi umum juga menjadi tempat warga Jakarta menunjukkan gaya hidupnya, dari pakaian yang digunakan, moda transportasi yang dipilih, sampai dengan komunikasi yang terjadi.

Dalam pandangan saya, buku ini menarik karena mengangkat dua hal yang selama ini kurang diberi perhatian. Pertama, komik yang—sebagai media hiburan—dianggap kurang serius, apalagi untuk dikaji secara ilmiah. Kedua, keseharian warga Jakarta dan transportasi umum yang dianggap membosankan dan terlalu menjemukan untuk dibahas. Penyajian yang dilakukan Roikan dengan turut menuturkan pengalaman pribadinya membuat kedua hal tersebut jadi makin menarik.

Pembaca disuguhkan banyak lapis perjalanan yang mungkin bagi sebagian pembaca juga akan merasa dekat dengan apa yang dikisahkan. Apalagi, buku ini sebenarnya diangkat dari skripsi penulis yang disusun pada 2007. Alhasil, pembaca disuguhkan tidak hanya kisah tentang transportasi umum, tetapi juga nostalgia melalui cerita pengalaman, catatan lapangan, serta foto-foto dari masa itu.

Buku ini, akhirnya, menjadi “artefak” dari perjalanan sejarah transportasi umum di Jakarta itu sendiri, yang bisa pembaca nikmati sekian tahun berselang. Terlebih dengan banyaknya perubahan moda transportasi di Jakarta dan status Jakarta yang sudah tidak lagi menjadi ibu kota negara. Buku ini juga dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Angkutan Umum dan Gaya Hidup: Etnografi Semiotika Kartun Lagak Jakarta Karya Benny Rachmadi Edisi Transportasi
Penulis: Roikan
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxviii + 264 hlm.
ISBN: 978-602-496-292-0

Foto sampul: Tangkapan layar salah satu potret karikatur karya Benny Rachmadi dengan judul “Derita Naik Ojek 1” dalam Lagak Jakarta: Transportasi


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/angkutan-dan-karikatur-perjalanan-di-jakarta/feed/ 0 44604