Komang Trisnadewi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/komang-trisnadewi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 08 Feb 2023 09:56:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Komang Trisnadewi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/komang-trisnadewi/ 32 32 135956295 Gunung Bantur dalam Bingkai Kintamani https://telusuri.id/gunung-bantur-dalam-bingkai-kintamani/ https://telusuri.id/gunung-bantur-dalam-bingkai-kintamani/#respond Fri, 05 Aug 2022 15:11:24 +0000 https://telusuri.id/?p=34870 Kali ini, saya kembali menelusuri Bali. Tepatnya di bagian utara yaitu di Kintamani, Kabupaten Bangli. Di sini, terdapat sebuah gunung yang menjadi daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara. Gunung Batur namanya. Gunung dengan ketinggian 1.717...

The post Gunung Bantur dalam Bingkai Kintamani appeared first on TelusuRI.

]]>
Kali ini, saya kembali menelusuri Bali. Tepatnya di bagian utara yaitu di Kintamani, Kabupaten Bangli. Di sini, terdapat sebuah gunung yang menjadi daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara. Gunung Batur namanya. Gunung dengan ketinggian 1.717 mdpl, berstatus masih aktif, dan terakhir meletus adalah di tahun 2000 ini menjadi salah satu alasan orang untuk rela menempuh perjalanan selama kurang lebih 100 menit dari pusat Kota Denpasar.  

Di wilayah Kintamani, tepatnya di Kawasan Pura Batur banyak dijumpai restoran atau tempat nongkrong dengan suguhan andalannya: kopi. Saat upacara besar keagamaan Hindu, para umat yang akan bersembahyang di Pura Batur—salah satu pura besar di Bali—akan memadati jalan. Selain itu, pengunjung akan menjumpai pedagang-pedagang “sementara” di sekitaran jalan tersebut.

Bali Kintamani
Gunung Batur sore hari/Komang Trisnadewi

Sebenarnya hanya dengan melintasi jalan tersebut, kita sudah bisa melihat pemandangan Gunung Batur. Namun, saya dan keluarga memilih untuk masuk ke salah satu tempat makan dan menghabiskan waktu selama di Kintamani di sana.

Baru menginjakkan kaki saja, udara dingin langsung menerpa badan. Wajar dingin, karena Kintamani memang daerah dataran tinggi. Jaket yang saya kenakan sepertinya kurang mempan untuk menangkal dingin yang berhembus bersama angin. Sesekali seperti menusuk tulang.

Beberapa mobil berjajar, menandakan bahwa tempat makan yang kami pilih sudah ramai dengan pengunjung. Orang-orang memenuhi tempat duduk yang ada. Suasana cukup ramai. Kebanyakan dari mereka bercengkrama bersama teman sambil menyantap hidangan pilihan. Sesekali, mencuri-curi pandang menikmati suasana di luar ruangan. Ada pula yang datang bersama keluarga.

Kebetulan, saya tidak menemukan orang yang datang sendirian ke sini. Memang sepertinya tempat ini cocok untuk mereka yang tidak ingin sendiri. Berbincang dengan kawan perjalanan. Saya sendiri datang bersama suami dan anak-anak.

Setelah memilih tempat duduk dan memesan makanan pada pramusaji, saya berkeliling dan mengabadikan beberapa lanskap dalam kamera. Saya beberapa kali memotret, sesekali swafoto. Sayangnya hasilnya tak begitu memuaskan. Seorang pramusaji kemudian menawarkan diri untuk membantu. Ia lalu memotret saya sembari berbagi tips bagaimana mengambil foto bagus di sini.

  • Bali Kintamani
  • Bali Kintamani
  • Bali Kintamani
  • Bali Kintamani
  • Bali Kintamani

Sore itu, langit tampak bersih. Awan-awan putih melayang di beberapa sisi. Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit berdiri memandangi panorama alam, akhirnya saya kembali ke meja untuk menyantap makanan.

Gelas minuman yang saya pesan mengeluarkan kepulan asap, tipis. Minuman hangat rasa-rasanya lebih cocok untuk hidangan. Lumayan, menghangatkan badan. Saya juga memesan pizza, makanan yang menurut saya bisa disantap secara santai sambil bercengkrama. Lain dengan anak-anak, nasi goreng selalu menjadi menu favorit mereka. Restoran ini menyajikan beragam menu makanan, harganya juga cukup terjangkau.

10 tahun lalu, saya pernah ke sini. Suasananya jauh berbeda. Kala itu, belum banyak restoran dan juga tempat nongkrong. Menu-menu makanan juga tak semenarik sekarang.

Tidak terasa hampir tiga jam sudah saya menghabiskan waktu di sini. Saatnya kembali ke Denpasar. Saat hendak masuk mobil, seorang ibu penjual jeruk menghampiri saya. Ia bercerita, bahwa jeruk-jeruk tersebut merupakan hasil dari kebun sendiri. Kintamani memang terkenal sebagai penghasil jeruk. Di sepanjang jalan Kintamani, kebun-kebun jeruk mudah kita jumpai. Jeruk Kintamani, dikenal sebagai jeruk lokal Bali dengan rasa manis dan bercampur asam. Punya predikat jeruk unggulan Bali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Bantur dalam Bingkai Kintamani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-bantur-dalam-bingkai-kintamani/feed/ 0 34870
Menyantap Bubur Bali di Rumah Ibu https://telusuri.id/menyantap-bubur-ayam-bali/ https://telusuri.id/menyantap-bubur-ayam-bali/#respond Mon, 01 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30479 Saat itu hari libur, hari dimana saya terbebas dari pekerjaan kantor. Saya habiskan waktu luang dengan mengunjungi rumah orang tua di Denpasar. Saya sendiri tinggal di daerah Gianyar yang berjarak sekitar 9 km. Tidak begitu...

The post Menyantap Bubur Bali di Rumah Ibu appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat itu hari libur, hari dimana saya terbebas dari pekerjaan kantor. Saya habiskan waktu luang dengan mengunjungi rumah orang tua di Denpasar. Saya sendiri tinggal di daerah Gianyar yang berjarak sekitar 9 km. Tidak begitu jauh memang, namun karena padatnya pekerjaan, saya baru bisa mengunjungi orang tua di hari Minggu. Hari yang saya tunggu-tunggu juga untuk menyantap kuliner Bali kesukaan ibu, bubur ayam Bali. Ibu biasanya memang menyuguhkan makanan khas Bali ketika anaknya berkunjung.

Setiap harinya ibu selalu berjalan-jalan di pagi hari, lebih tepatnya di waktu subuh. Tujuan utamanya adalah untuk membeli sayur dan lauk pauk. Namun, ada manfaat tambahan yang didapatkan, yaitu olahraga. Saat itu saya pun ikut untuk menggerakkan badan yang sedikit kaku karena terlalu banyak duduk di depan laptop.

Sebenarnya alasan terkuat saya ikut berjalan pagi dengan ibu adalah ingin melihat langsung penjual bubur Bali yang menurut pengakuan ibu enak. Ya, kami kala itu berencana akan membeli bubur sebagai sarapan. Bubur Bali memang berbeda dengan bubur Jakarta yang pernah saya cicipi. Pelengkap buburlah yang membuatnya berbeda. Saya sudah pernah merasakan bubur Bali tapi itu sudah lama dan kangen sekali untuk merasakannya lagi di lidah.

bubur ayam bali
Bubur Ayam Bali

Saya memang bukan penggemar berat bubur. Jujur makan bubur membuat saya lebih cepat lapar. Tapi sesekali, menyantap bubur juga dapat menjadi pilihan ketika sudah bosan menyantap nasi.

Mendengar kata bubur, mungkin pikiran kalian banyak yang mengarah ke makanan orang sakit atau lansia karena bubur mengandung banyak air, bubur memang lebih disarankan bagi mereka yang sedang mengalami permasalahan dalam mencerna makanan padat. Nasi dan bubur sama-sama berbahan dasar beras, namun bubur dimasak lebih lama hingga lunak dan menggunakan takaran air yang lebih banyak. Karena kadar air yang lebih tinggi, bubur dikatakan dapat mengganti cairan yang hilang saat sakit. Begitu katanya. 

Saya langkahkan kaki dengan semangat dan sesekali mengayunkan tangan ke depan dan ke belakang. Belum banyak kendaraan yang lewat dan matahari terlihat baru bersiap untuk menyapa. Tak terasa saya sudah berjalan selama 15 menit dan akhirnya sampai di tempat penjual bubur tujuan kami.

Sudah ada beberapa orang yang berdiri mengantri dan beberapa orang lainnya terlihat sudah duduk di kursi yang disediakan sambil menikmati hidangan di piring masing-masing. Di bagian pojok terdapat plang bertuliskan lawar ayam, bubur ayam, nasi lawar ayam. Itu artinya tidak hanya bubur yang dijual, tapi juga ada nasi dengan lauk andalannya menggunakan daging ayam.

beberapa pengunjung yang sedang antre
Beberapa pengunjung yang sedang antre

Terdapat etalase kaca pada warung itu sehingga para pengunjung dapat dengan jelas untuk melihat ragam makanan yang dijual. Tidak ketinggalan, saya pun mengintip dari kaca tersebut. Terlihat berbagai macam olahan ayam yang sungguh menggugah selera. Mulai dari lawar ayam hingga ayam suwir. Tentunya saya juga melihat bubur andalan dalam wadah yang sangat besar. Dilihat dari teksturnya, bubur ini memang terlihat sama saja dengan bubur kebanyakan, namun yang membuatnya berbeda adalah lauk pelengkapnya, salah satunya lawar. 

Lawar pasti sudah tidak asing lagi bagi para penikmat kuliner. Lawar merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan makanan khas Bali yang terdiri dari potongan sayur dan daging cincang yang dicampur bersama bumbu lengkap khas bali atau disebut bumbu genep. Biasanya sajian ini akan sering ditemukan saat kegiatan keagamaan di Bali dan menggunakan daging babi. Namun sekarang, daging yang digunakan tidak hanya daging babi, namun bisa juga ditemukan lawar dengan menggunakan daging ayam atau bebek.

Beberapa minuman yang dijual
Beberapa minuman yang dijual

Di bangunan sebelah, saya melihat tempat khusus untuk menjual minuman.  Beberapa pilihan minuman terdapat disana dan sangat sering dijumpai saat mengunjungi warung-warung yang menjual makanan bali.  Minuman itu adalah es gula, minuman yang berbahan dasar air putih yang kemudian diisi larutan gula kental yang sudah diberi pewarna merah sebagai pemikat dan terakhir diberikan perasan jeruk nipis yang membuatnya menjadi segar. Pilihan lainnya adalah teh, minuman sejuta umat.

Belum puas melihat-lihat, ibu sudah memanggil dan mengajak pulang. Ternyata ibu sudah menenteng plastik berisi beberapa bungkus makanan yang saya yakini adalah bubur Bali. Saya pun segera bergegas meninggalkan warung yang mulai ramai pengunjung itu. Selama perjalanan pulang, tak henti-hentinya saya memikirkan lezatnya makan kudapan ini. 

Sesampainya di rumah, saya buka kertas minyak pembungkus bubur. Tampak bubur putih yang diletakkan di bagian dasar dengan taburan lauk yaitu lawar ayam, ayam suwir bumbu kuning, urap sayuran, dan tidak ketinggalan sambal. Tidak lupa juga saya tuangkan kuah yang diberikan dalam bungkus plastik secara terpisah.  

Dengan menggunakan sendok, saya mengambil sedikit bubur putih, ditambah sedikit sayur urap, lawar bali, ayam suwir, sambal dan terakhir kuah. Lalu saya arahkan menuju mulut yang sudah dari tadi tidak sabar ingin melahap. Ketika mendarat di lidah, ada sensasi kuat yang muncul. Ada perpaduan rasa gurih dan pedas, sesuai harapan.Kekhasan bumbu genep juga amat terasa. Dari suapan pertama, rasanya begitu enak. Ada bermacam-macam rasa,  yang mendominasi yakni gurih pedas dari perpaduan sempurna bumbu, daging, dan sayurnya. Cobain deh!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Menyantap Bubur Bali di Rumah Ibu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyantap-bubur-ayam-bali/feed/ 0 30479
Menghabiskan Waktu Petang di Pantai Mertasari https://telusuri.id/menikmati-pantai-merta-sari-di-waktu-petang/ https://telusuri.id/menikmati-pantai-merta-sari-di-waktu-petang/#respond Sat, 14 Aug 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29660 Sama sekali tidak ada rencana kala itu untuk pergi ke pantai. Ajakan ibu akhirnya meluluhkan hati saya untuk ikut bertandang ke tepi laut, tepatnya Pantai Mertasari.  Saya berangkat dengan menaiki mobil bersama 4 orang anggota...

The post Menghabiskan Waktu Petang di Pantai Mertasari appeared first on TelusuRI.

]]>
Sama sekali tidak ada rencana kala itu untuk pergi ke pantai. Ajakan ibu akhirnya meluluhkan hati saya untuk ikut bertandang ke tepi laut, tepatnya Pantai Mertasari.  Saya berangkat dengan menaiki mobil bersama 4 orang anggota keluarga lainnya dari arah Denpasar, tepatnya dari daerah Panjer.

Kira-kira, sekitar 15 menit kami menghabiskan waktu di perjalanan menuju pantai yang berlokasi di kawasan Sanur itu. Suasana lalu lintas kala itu sangat bersahabat. Tidak ada kemacetan berarti yang kami jumpai. 

Pukul 4 sore, kami pun tiba di sana. Sebelum memarkir mobil, kami bertemu beberapa orang berpakaian pecalang (polisi adat bali) yang berjaga di pinggir jalan dekat pantai. Mereka memberikan karcis masuk kepada saya setelah saya memberikan satu lembar uang lima ribu rupiah.

Saat mobil sudah berhenti melaju dan berada di parkiran, segera saya meraih tas berisi minuman dan bergegas membuka pintu. Baru saja menurunkan sebelah kaki, sudah saya rasakan angin pantai yang menyapa dan menyambut kedatangan saya.

Memang itu bukan kali pertama saya berkunjung ke sana, tapi rasanya selalu antusias untuk melihat hamparan pasir putih di pantai ini.

Tumpukan kano dan pelampung yang disewakan
Tumpukan kano dan pelampung yang disewakan/Komang Trisnadewi

Dari parkiran kami langsung mencari jalan yang sudah disediakan untuk pejalan kaki. Sekitar 5 menit kami berjalan ke arah utara menyusuri  jalan yang terkadang dilalui juga oleh pengendara sepeda dan sepeda motor.

Di sebelah kanan, dari kejauhan sudah terlihat pantai yang dipenuhi orang-orang dengan melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang sedang menjajakan dagangannya, ada yang sedang bermain air, ada yang sedang berendam, ada yang sedang berenang, ada yang sedang duduk sambil menikmati pemandangan dan udara pantai, dan ada juga yang bermain kano.

Di satu bagian, saya melihat tumpukan pelampung dan kano yang siap untuk disewakan bagi mereka yang  ingin mencobanya. Warna yang disediakan untuk ban pelampung pun berwarna warni, menarik perhatian.

Dari kejauhan, pengunjung yang saya lihat pun beragam, mulai dari bayi, anak-anak, remaja bahkan dewasa. Tidak hanya warga lokal saja yang memenuhi pantai saat itu, tapi saya juga melihat beberapa turis yang ikut berbaur di sana.

Di sebelah kiri, pandangan saya dimanjakan oleh bangunan pendukung pariwisata mulai dari hotel, restoran dan café yang menyajikan santapan yang tentunya menggugah selera saya mulai dari kuliner lokal dan mancanegara seperti tipat cantok, rujak, pizza, spaghetti, dll. Sesekali langkah saya terhenti untuk sekedar mencari tahu nama tempat dan makanan yang disajikan. 

Langkah kaki kami akhirya berbelok ke kanan menuju laut yang dikelilingi pasir. Segera kami mencari tempat strategis, tempat yang tentunya berjarak dengan pengunjung lain agar lebih leluasa untuk meletakkan barang-barang bawaan.

Setelah menentukan posisi yang tepat, segera saya membuka alas kaki, menggesernya ke sebelah kanan dan langsung duduk sambil memeluk lutut. Tak lupa saya memainkan pasir dengan jari-jari kaki lalu sesekali menyembunyikannya ke dalam pasir. Ah, sungguh menyenangkan. Angin pantai memang agak kencang jadi saya akali dengan dengan memakai topi agar kepala tidak pusing. Cuaca saat itu berawan, syahdu.

Menghaturkan Canang Sebelum Melukat
Menghaturkan Canang Sebelum Melukat/Komang Trisnadewi

Saat itu tujuan awal kami ke pantai adalah untuk melukat atau membersihkan diri. Umat Hindu di Bali biasanya melukat pada hari Purnama, Tilem.  atau Kajeng Kliwon dan banyak yang melakukannya di pantai.  Nah kebetulan saat itu bertepatan dengan hari Kajeng Kliwon, jadi tidak hanya kami saja yang datang untuk melukat, tapi ada beberapa orang lain yang saya lihat memakai kamen (kain bawahan pakaian adat Bali) sambill membawa canang untuk dihaturkan terlebih dahulu sebelum membersihkan diri dengan air pantai seperti yang kami lakukan. 

Kebetulan saat itu saya sedang kedatangan tamu bulanan jadi tidak ikut masuk merasakan segarnya air pantai. Saya hanya duduk sambil melepaskan pandangan ke hamparan pasir putih dan birunya laut. Sama sekali tidak membosankan. Rasanya sangat bahagia melihat orang-orang tertawa lepas, berteriak-teriak sambil bermain air dengan puasnya. Terkadang mereka saling memercikkan air satu dengan yang lainnya, berkejar-kejaran dan ada beberapa yang hanya sekedar duduk di atas pasir sambil memainkannya dan membentuknya menjadi gunung, istana atau imajinasi lainnya. 

Saat sedang asyik menikmati sekeliling, tiba-tiba  pandangan saya teralihkan oleh seorang lelaki paruh baya yang sedang melintas sambil menyunggi kotak berisi makanan dengan ditutupi plastik. Ia seorang penjual lumpia. Lumpia adalah makanan khas yang dapat dijumpai di daerah pantai. Sangat identik dengan pantai dan menurut saya sangat cocok disantap sambil menghabiskan petang di pantai. Segera saya memanggilnya, “Lumpia!” Dengan sigap penjual tersebut menolehkan kepala dan membalikkan tubuhnya sambil tersenyum. Senyum bahagia menyambut pelanggan.

Lumpia di Pantai Merta Sari
Lumpia di Pantai Merta Sari/Komang Trisnadewi

Saat menurunkan dagangan yang disunggi dan membuka tutup plastiknya, saya dapati beberapa jenis gorengan. Gorengan yang dijual tidak hanya lumpia, ada juga tempe, tahu, dan ote-ote. Saya membeli satu porsi dengan isian yang dicampur. Gorengan tersebut dipotong-potong kecil dan selanjutnya disiram dengan saus kacang kental dan ditaburi irisan cabe hijau yang menambah cita rasa lumpia menjadi agak pedas.

Cukup dengan uang lima ribu rupiah, saya sudah bisa mencicipi makanan yang katanya adalah jajanan tradisional perpaduan Tionghoa-Jawa. Beberapa penjual lumpia memang terlihat lalu lalang di pantai dan sesekali juga terlihat penjual minuman, namun jumlahnya tidak banyak. Saya langsung menikmati santapan lezat itu dengan menggunakan alas plastik makanan yang dibentuk kerucut dan lidi sebagai sendoknya sembari menunggu anggota keluarga lainnya yang sedang berendam.  

Langit dan Air Pantai Merta Sari
Langit dan Air Pantai Merta Sari/Komang Trisnadewi

Setelah puas berendam dan menikmati lumpia, kami pun bergegas meninggalkan pantai. Sebelumnya keluarga saya sudah mengganti pakaian di tempat yang telah disediakan Terdapat bangunan khusus untuk berganti pakaian dan mandi yang berada di deretan restoran dan café di bagian barat. Di sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, pandangan saya tak henti-hentinya melirik ke arah pantai hingga beberapa kali saya tersandung.

Langit biru berawan, laut biru tenang dan hamparan pasir putih sangat menggoda saya. Pemandangan pantai itu seakan-akan memanggil saya untuk kembali duduk di sana. “Iya, saya akan datang lagi,” bisik saya dalam hati.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menghabiskan Waktu Petang di Pantai Mertasari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-pantai-merta-sari-di-waktu-petang/feed/ 0 29660