Kyana Dipananda https://telusuri.id/penulis/kyana-dipananda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 31 Aug 2020 00:17:36 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Kyana Dipananda https://telusuri.id/penulis/kyana-dipananda/ 32 32 135956295 Sepiring Paramaribo di Amsterdam https://telusuri.id/sepiring-paramaribo-di-amsterdam/ https://telusuri.id/sepiring-paramaribo-di-amsterdam/#comments Sun, 30 Aug 2020 01:31:48 +0000 https://telusuri.id/?p=23745 Ada wadah, ruang kelas, dan jurnal dalam TelusuRI. Kesemuanya menyoal perjalanan. Kali ini, dan mungkin akan banyak kali lainnya, saya akan menyoal makanan, kuliner, dan rasa. Hal-hal tersebut selalu menjadi bagian besar dari perjalanan-perjalanan kita,...

The post Sepiring Paramaribo di Amsterdam appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada wadah, ruang kelas, dan jurnal dalam TelusuRI. Kesemuanya menyoal perjalanan. Kali ini, dan mungkin akan banyak kali lainnya, saya akan menyoal makanan, kuliner, dan rasa. Hal-hal tersebut selalu menjadi bagian besar dari perjalanan-perjalanan kita, namun sering kali luput, [dirasa] terlampau lazim, atau bahkan dianggap lalu. Dorongan untuk menuliskan persoalan rasa hadir sebagai upaya untuk memaknai perjalanan-perjalanan kita melalui santapan.

Dalam tulisan ini saya menelusuri penganan khas Suriname di Amsterdam, yang tidak hanya nikmat dan akrab tapi juga membawa saya mempertanyakan dan merefleksikan ulang hal-hal terkait kuliner kosmopolitan, masyarakat transnasional, dan orientalisme internal.


Pada suatu pagi di musim panas yang terik, saya sudah siap-siap tidak sarapan. Agenda hari itu adalah mendatangi kedai-kedai makanan Suriname yang terkenal di Amsterdam. Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, saya menyadari satu hal menarik tentang makanan Suriname: ia mudah ditemukan di mana-mana. Saya pribadi menyerah ketika berniat menghitung berapa jumlah kedai makanan yang menjual sajian Suriname di Amsterdam. Terlalu banyak. Saya rasa, tidak ada negara lain di duniaselain Suriname sendiri tentunyayang punya kedai makan Suriname lebih banyak ketimbang Belanda.

Lucunya, saya belum pernah coba. Sama sekali. Entah karena apa. Mungkin karena sehari-hari saya memasak makanan Indonesia di rumah, Juga, jajan di Amsterdam tidak murah; saya cukup pilih-pilih mau beli apa. Sering kali pilihan jajanan jatuh pada pertimbangan ketidakmampuan saya memasak makanan yang akan saya beli tersebut. Pikiran saya segamblang, ah rugi kalau beli, ‘kan bisa buat sendiri.

Tapi, bukankah masakan Indonesia dan Suriname itu berbeda? Eh, iya nggak ya?

Berdasarkan observasi singkat, beberapa kedai makanan menulis Indonesian Surinamese Restaurant atau Javaans-Surinaams Eethuis di papan-papan penunjuk atau etalase kaca toko mereka. Eethuis (atau rumah makan dalam Bahasa Belanda) sering kali kedapatan menjual makanan Suriname dan Indonesia secara bersamaan. Tapi jangan harap kita akan menemukan sepiring cacapan iwak karing khas Banjar atau papeda dan ikan kuah kuning khas Papua pada rumah makan tersebut karena makanan Indonesia yang dijual kebanyakan bercita rasa Jawa. Dan konsep Jawa yang dihidangkan pun nyatanya adalah hasil interpretasi rasa masakan Jawa yang sudah diproduksi sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam.


Pemberhentian pertama saya adalah De Tokoman. Kedai kecil yang tidak memiliki meja makan ini punya beberapa cabang di Amsterdam. Kebetulan saya datang ke cabang yang terletak di Waterlooplein. Ada banyak jenis lauk-pauk yang terhidang di dalam etalase kaca kedai De Tokoman. Ada ayam, sapi, dan sayur-mayur yang bebas dipesan dengan format sesuka si pembeli. De Tokoman menyediakan dua jenis makanan utama, yakni roti isi dan nasi serta bakmi box dengan lauk-pauk.

Tampak depan De Tokoman/Kyana Dipananda
Etalase makanan De Tokoman/Kyana Dipananda

Berbekal ulasan-ulasan yang ada di internet, saya memesan broodje pom atau roti pom. Pom adalah hidangan oven khas Suriname yang terbuat dari ayam dan pomtajer atau parutan dari bagian batang umbi talas khas Suriname (Xanthosoma sagittifolium). Saya pribadi sangat suka dengan roti pom. Pada tampilannya, pom berbentuk seperti ayam suwir dengan konsistensi padat tanpa kuah. Saya hampir tidak bisa melihat parutan talas yang menjadi komponen utama dari pom. Pilihan menikmati pom dengan roti (semacam baguette kecil) dan bukan dengan nasi tepat bagi saya. Roti yang lembut di dalam dan renyah di luar menjadi teman yang pas ketika berpadu dengan pom. Tanpa roti, pom bagi saya terasa terlalu kuat bumbunya, didominasi rasa asin dengan sedikit rasa manis dari puree tomat. Asin dan manis ini kemudian menjadi gurih yang nikmat ketika digigit bersama dengan roti. Samar-sama saya bisa merasakan sedikit asam namun segar dari air perasan lemon.

Broodje pom/Kyana Dipananda

Sambil duduk-duduk di pinggir kanal dan mengunyah broodje pom, pikiran saya kemudian ke mana-mana. Penasaran, saya mencoba melihat resep pom di internet. Sudah diduga, sulit mencari resep pom dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Berbekal bahasa Belanda yang pas-pasan, saya mencoba mencari tahu lebih banyak tentang penganan ini. Dalam pencarian di internet, saya menemukan tulisan menarik dari majalah digital Trouw tentang pom yang berjudul Een koosjere knol (sebuah umbi kosher).

Dalam artikel tersebut, pom diyakini si penulis berasal dari hidangan Yahudi yang diadaptasi oleh masyarakat di Suriname. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa komunitas Yahudi-Suriname adalah salah satu komunitas yang telah hadir sejak abad ke-16 di Suriname dan bertahan sebagai salah satu komunitas besar di sana. Selain itu, terpengaruh oleh kebiasaan di Eropa, orang Yahudi adalah komunitas pemakan kentang. Mereka pun banyak menggunakan oven untuk proses memasaknya. Pada malam hari sebelum hari Sabat, ibu-ibu sudah menyiapkan ayam dan kentang dalam wadah untuk dimasak dengan oven oleh asisten rumah tangga mereka keesokan harinya.

Oven bukan alat masak populer di komunitas Afrika maupun Amerika di Suriname karena mereka lebih sering menggunakan api besar untuk memasak. Sementara, kebalikannya, penggunaan oven identik sekali dengan kuliner masyarakat Eropa atau Yahudi pada masa itu. Selain itu, penggunaan air perasan jeruk lemon untuk melembutkan daging ayam juga sebuah kebiasaan yang lumrah dilakukan di dapur-dapur komunitas Yahudi. Berdasarkan ketiga ciri teknik dasar memasak dan pemilihan bahan baku tersebutlah pom diyakini terinspirasi dari komunitas Yahudi-Suriname. Yang menarik, adaptasi oleh masyarakat di Suriname dilakukan dengan menukar kentang dengan talas. Karena kentang tidak tumbuh secara natural pada iklim yang tropis, talas kemudian menjadi bahan substitusi yang paling tepat untuk penganan pom.

Setelah makan broodje pom, saya masih lapar dan ingin makan kudapan ringan. Maklum, tidak sarapan. Saya pun melanjutkan perjalanan ke daerah Jordaan. Jordaan adalah salah satu daerah turis yang cukup populer di Amsterdam. Di antara tempat makan yang berderet dan dipenuhi turis, kita dapat menemukan kedai makanan Suriname yang bernama Swieti Sranang. Mirip dengan De Tokoman, kedai ini juga menjual roti isi dan nasi kotak. Tapi saya mencari bakabana. Bakabana adalah plantain atau sejenis pisang tanduk yang digoreng dengan balutan tepung dan disajikan dengan kuah kacang yang kental.

Karena bakabana saya digoreng tepat sesaat setelah dipesan, saya memakannya ketika masih panas mengepul. Dalam gigitan pertama, bakabana mengingatkan saya pada pisang goreng yang saya makan dengan sambal di Maluku. Tidak manis, cenderung tawar, bertekstur padat, dan tidak mudah hancur. Saus kacangnya lembut dan kental. Tidak cair dan, jika dirasakan di mulut, tidak ada sisa-sisa kacang yang tergerus. Pindasaus atau saus kacang yang saya temui di Belanda memang khas dengan bentuknya yang kental seperti saus pasta. Paduan pisang dan saus kacang terasa unik pada lidah Jakarta saya yang terbiasa dengan pisang goreng manis yang legit dan lembek.

Bakabana di Swieti Sranang/Kyana Dipananda

Pisang dan saus kacang adalah simbol dari makanan yang berlawanan dari tipikal makanan Belanda. Tumbuh subur di tanah tropis, keduanya adalah wajah dari makanan yang eksotis, yang asing, dan yang liyan. Meski saus kacang cukup mudah ditemukan di pasar swalayan Belanda, saya tidak pernah bisa menemukan pisang tanduk di sana. Pasar swalayan adalah tempat untuk pisang-pisang cavendish yang manis dan berbentuk seragam. Kita harus pergi ke toko-toko yang menjual bumbu makanan Asia untuk menemukan pisang tanduk yang digunakan sebagai bahan dasar bakabana.

Sambil memikirkan nasib pisang-pisang tanduk yang mungkin sudah menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke Belanda dan berujung teronggok dalam kardus di pojokan toko bumbu Asia, saya tiba di perhentian ketiga. Yang terakhir. “Grand Roopram Roti Restaurant,” begitu kata stiker yang menempel pada pintu kedai ini. Sebenarnya saya belum terlalu lapar karena waktu makan malam belum tiba. Akhirnya saya memesan satu porsi roti kip dan bara untuk berdua. Saya juga memesan dawet sebagai minuman. Tidak sampai sepuluh menit, pesanan datang dengan baki plastik. Ternyata porsinya cukup besar.

Dalam piring plastik, tersaji beberapa potong ayam berkuah kuning tua, sayur buncis tumis, dan kentang tumbuk yang disiram kuah kental. Di atasnya, saya mendapatkan roti pipih berbentuk lingkaran yang dilipat dua, seperti chapati dalam masakan India. Rasanya tawar dan hangat, seperti baru dimasak sesaat setelah saya memesan. Bara datang dengan sambal, menyerupai donat tanpa lubang. Bara sebenarnya diklasifikasikan ke dalam penganan ringan, serupa gorengan, dan terbuat dari adonan tepung terigu, tepung kacang hijau, dan cacahan halus daun talas. Saat digigit, bara terasa padat. Bumbu-bumbu seperti jintan, garam masala. dan merica terasa kuat. Walaupun digoreng, bara tidak berminyak. Saya menyantapnya bersama dengan roti kip.

Kedai Grand Roopram Roti tidak besar namun ramai pengunjung. Kebanyakan memesan untuk dibawa pulang. Dari hasil pengamatan yang cukup singkat selama saya makan, pembeli yang datang dan mengantre rata-rata memesan dalam bahasa Suriname. Mereka bercanda dan tertawa dengan penjual makanan di kasir seperti sudah kenal lama. Meski ada beberapa pengunjung yang jelas-jelas bukan orang Suriname, saya seketika merasa tidak di Amsterdam. Tata letak ruangan di kedai ini pun tidak biasa. Ada wastafel di area makan untuk mencuci tangan. Sebuah praktik yang tidak lazim saya temui di kota ini. Biasanya wastafel terletak bersama dengan toilet di bilik tertutup. Mungkin pemilik Grand Roopram Roti memikirkan pengunjung yang ingin mencuci tangan sebelum dan sesudah makan roti dengan tangan.

Saat saya iseng memerhatikan kertas yang menjadi alas baki makanan, saya menemukan fakta bahwa Kedai Grand Roopram Roti ini ternyata restaurant chain asli Suriname. Ada tiga cabang di Paramaribo, dua cabang di Amsterdam, satu di Den Haag, dan satu di Rotterdam.

Santapan di Grand Roopram/Kyana Dipananda

Sambil menyesap dawet, minuman berbahan dasar santan juga berwarna pink dan penuh aroma bunga mawar, saya mengingat-ingat kembali penulusuran hari itu.

Batas klasifikasi antara makanan Suriname dan makanan Indonesia menjadi kabur dalam daftar menu yang disajikan oleh ketiga kedai yang saya datangi. Meski De Tokoman, Swieti Sranang, dan Grand Roopram Roti secara gamblang menuliskan identitasnya sebagai kedai makanan Suriname, beberapa kedai makanan lain yang terserak di kota ini membuat saya kesulitan mendefinisikan identitas barang dagangan mereka. Di Amsterdam setidaknya, ternyata sulit untuk mendefinisikan apa itu makanan Suriname, makanan Jawa, makanan Indonesia, makanan Cina, dan bahkan makanan Karibia. Beberapa resto bahkan seperti menuliskan berbagai macam asal usul makanan dalam papan penunjuk toko mereka. Masyarakat di Amsterdam (dan juga kota-kota besar lainnya di Belanda) disuguhkan kedai-kedai makanan dengan slogan “The place serves Javanese, Surinamese, Chinese and Dutch-Caribbean dishes at reasonable prices.”

Agenda orientalis yang sempat disinggung oleh Edward Said dalam Orientalism (1978) sebagai upaya-upaya Barat untuk medominasi, menguasai, menaklukkan, dan mengkomodifikasi apa-apa yang ketimuran terasa kental terasa melalui penganan yang dijual kedai-kedai makanan seperti ini. Penikmatnya pun beragam, dari mulai warga sekitar sampai turis. Jargon Amsterdam sebagai kota kosmpolitan pun semakin lengkap dengan kehadiran kedai-kedai makanan ini.

Kita tahu bahwa warga dunia, masyarakat global. dan dunia tanpa batas adalah nilai-nilai yang menjadi jargon kosmopolitanisme. Namun, di balik agenda kosmopolitanisme dan fusion kulinernya, ada jejak-jejak kolonialisme yang tidak bisa kita pungkiri. Kolonisasi Suriname yang tercatat dimulai pada tahun 1667 oleh Belanda ditandai dengan perbudakan. Suriname sebagai salah satu koloni perkebunan Belanda di Guianas mengandalkan tenaga kerja manusia sebagai budak, yang sebagian besar dipasok oleh Perusahaan Hindia Barat Belanda, GWC (Geoctrooieerde Westindische Compagnie), dari pos perdagangannya di Afrika Barat untuk menghasilkan keuntungan bagi pembangunan negaranya di Benua Eropa. 

Keberadaan penganan Suriname (dan juga makanan Indonesia) di Amsterdam tentu tidak lepas dari kenyataan penjajahan tersebut. Namun, tanpa bermaksud membela agenda para kosmopolit barat untuk mengkomodifikasi eksotisme dan melanggengkan praktik-praktik yang memproduksi mentalitas kolonial, saya percaya bahwa kosmopolitanisme hari ini bukanlah sesuatu yang tunggal dan statis. Meski para kosmopolit terkenal memiliki reputasi sebagai kelompok elite, saya mengamini pendapat Lamont dan Aksartova (2002) yang menyatakan bahwa kaum kosmopolit juga lahir pada masyarakat pekerja dan imigran.

Gelombang migrasi dari Suriname ke Belanda yang dimulai pada tahu-tahun menjelang kemerdekaan Suriname pada 1975 dan diteruskan sampai dasawarsa 90-an, misalnya, turut menambah [jumlah] kelas pekerja komunitas ini. Sampai tulisan ini disusun, tidak hanya Suriname, berbagai motif imigrasi dan negara asal yang beragam pun turut mewarnai terbentuknya masyarakat transnasional di berbagai kota-kota besar di Belanda. Seperti dikutip dari tulisan Entzinger (2019), saat ini, seperempat populasi penduduk Amsterdam lahir di luar negeri. Jika anak-anak dari penduduk yang lahir di luar negeri tersebut masuk dalam hitungan, di masa yang akan datang lebih dari setengah penduduk Amsterdam adalah generasi imigran pertama atau kedua.

Para kelompok pendatang inilah yang menjadi motor penggerak hadirnya toko-toko yang menjual bumbu Asia dan yang biasanya menjadi rujukan untuk menilai kedai mana yang dapat diberi label autentik, the OG, original. Mereka dianggap memiliki pengetahuan kuliner mumpuni untuk mengidentifikasi rasa, meski sering kali rasa makanan adalah persoalan koleksi ingatan, kebiasaan yang diproduksi ulang, serta penyesuaian terhadap proses akulturasi.

Kedai-kedai makanan Suriname, Indonesia, Suriname-Jawa, bahkan Asia adalah manifestasi dari tanah asal. Makanan, kata Appadurai (1986), tidak hanya memiliki kapasitas untuk memobilisasi emosi yang kuat tapi juga mempertegas identitas individu. Melalui terminologi gastro-politics, Appadurai melanjutkan, materialitas makanan, gaya memasak, dan cara makan adalah cara simbolis untuk mempertegas batas antara “kita” dan “mereka.” Menjadi “mereka yang asing” melalui makanan adalah cara untuk tidak lupa. 

Reproduksi ingatan kolektif kelompok yang dituturkan melalui resep, cerita, penyesuaian bahan baku, penambahan, maupun pengurangan rasa pada makanan adalah bentuk-bentuk [cara] kelompok pendatang untuk membangun identitas baru yang hibrid. Makanan adalah narasi yang kuat dari “sejarah” kelompok pendatang ini, di mana rasa dan aroma membangkitkan hubungan emosional dan sentimental dengan suatu tempat, yang jauh, yang mungkin rumah, tapi mungkin juga bukan. Melalui tulisan ini, saya percaya, jika kita tidak melihat kosmopolitanisme sebagai sesuatu yang dinamis (tentu saja upaya ini dibarengi dengan kesadaran berpikir kritis), kita akan kehilangan kedalaman dalam melihat lebih jauh kompleksitas masyarakat transnasional yang menghasilkan kuliner-kuliner kosmpolitan seperti di Amsterdam.

Pada akhirnya, dalam rangka upaya untuk terus menjadi reflektif dan kritis terhadap diri sendiri, saya pulang tidak hanya dengan kenyang tapi juga dengan pertanyaan: apakah saya si orientalis berkulit kuning langsat yang berusaha terus relevan atas pembaruan dengan penelurusan atas penganan Suriname yang liyan atau apakah saya sekrup-sekrup kecil dari masyarakat pekerja transnasional yang berusaha mencari keakraban rumah melalui bakabana?


Referensi

Appadurai, Arjun. 1986. The Social Life of Things. The Social Life of Things. https://doi.org/10.1017/cbo9780511819582.

Entzinger, Han. 2019. “A Tale of Two Cities: Rotterdam, Amsterdam and Their Immigrants,” 173–89. https://doi.org/10.1007/978-3-319-96041-8_9.

Lamont, Michèle, and Sada Aksartova. 2002. “Ordinary Cosmopolitanisms.” Theory, Culture & Society 19 (4): 1–25. https://doi.org/10.1177/0263276402019004001.

Said, Edward W. 1978. Orientalism. Penguin Books.

The post Sepiring Paramaribo di Amsterdam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepiring-paramaribo-di-amsterdam/feed/ 2 23745
Masak-masak dan Makan-makan Semasa Corona https://telusuri.id/masak-masak-dan-makan-makan-semasa-corona/ https://telusuri.id/masak-masak-dan-makan-makan-semasa-corona/#respond Sat, 23 May 2020 16:52:22 +0000 https://telusuri.id/?p=21825 Fabio Parasecoli, seorang profesor sekaligus direktur departemen Food Studies di New York University, adalah salah satu dari sekian banyak akademisi dan penggiat studi makanan yang saya ikuti di Twitter. Kicauan beliau sering saya pantau tidak...

The post Masak-masak dan Makan-makan Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Fabio Parasecoli, seorang profesor sekaligus direktur departemen Food Studies di New York University, adalah salah satu dari sekian banyak akademisi dan penggiat studi makanan yang saya ikuti di Twitter.

Kicauan beliau sering saya pantau tidak hanya karena ketertarikan saya terhadap isu pangan dan dinamika sosial yang menyertainya tapi juga karena kepiawaiannya menulis makanan secara pop. Ringan, tapi serius. Fabio telah lama menjadi koresponden tetap sebuah majalah Italia yang memuat isu kuliner, wine, dan perkembangan makanan, Gambero Rosso.

Pada suatu pekan, satu kicauan Fabio di Twitter menjadi inspirasi awal tulisan ini dibuat:

Cuitan Fabio terasa dekat dengan keseharian. Beberapa kali saya dan kawan-kawan membuka percakapan dengan bertukar resep, membicarakan cara membuat makanan tertentu, serta bereksperimen dengan berbagai macam jenis masakan baru. Tentu saja pandemi membuat kita semua menghadapi masalah. Maka lazim bagi setiap orang untuk tidak merasa baik-baik saja. Membicarakan kemelut dan kesedihan tentu tidak mudah bagi sebagian orang. Fabio benar, tapi ada yang kurang. Resep tidak hanya menggantikan perjalanan-perjalanan yang tertunda, membicarakan makanan ternyata juga dapat menggantikan hal-hal yang tidak tersampaikan melalui kata yang menghubungkan kita.

Bagi saya, pandemi tidak hanya memberi ruang dan jeda pada banyak hal dalam hidup. Corona dan dampak yang mengakibatkan anomali dalam hari-hari saya telah menstimulasi pemikiran-pemikiran baru tentang hubungan manusia dengan kegiatan memasak dan makan.

Makanan, bukan sekadar kebutuhan jasmaniah

Studi mengenai makan dan makanan memiliki sejarah panjang dalam ilmu antropologi. Tidak hanya persoalan kontribusi makanan terhadap kesehatan tubuh (yang tentu saja sudah dipelajari lebih dalam oleh studi nutrisi dan gizi), studi makanan dalam antropologi mengangkat persoalan sosial yang lebih luas terkait peradaban manusia dan penganannya. Isu politik-ekonomi sumber daya, konstruksi sosial-identitas-memori makanan dalam komunitas sampai kajian nilai simbolis maupun material dari rantai komoditas adalah beberapa dari irisan-irisan yang dicakup oleh studi ini (Mintz dan Du Bois, 2002).

Bagi kita, manusia, makan tidak akan pernah menjadi kegiatan yang murni didorong oleh kebutuhan biologis. Makan adalah kegiatan yang sosial, publik dan politis. Makanan adalah adalah barang yang dibagikan. Orang-orang makan bersama, hampir semua acara publik ada kegiatan makan bersama-sama, waktu makan adalah waktu di mana keluarga atau bahkan komunitas berkumpul. Makanan memberikan kesempatan bagi kita untuk memberi, menerima dan mengekspresikan altruisme kepada yang dekat, atau bahkan kepada yang asing. Makanan tidak hanya menjadi simbol tapi juga realitas dari privilese, kelas sosial, tanggung jawab moral, dan pelarian.

Makan-makan bersama, tapi masing-masing

Selama dua bulan terakhir, sepertinya semua orang yang saya kenal melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram sedang atau telah memasak. Tidak hanya itu, unggahan dan konten media sosial tentang makanan pun bertebaran. Dari mulai hasil karya masakan sendiri, pengumpulan donasi dan pembagian makanan sebagai bentuk gerakan sosial, sampai hasil kiriman kerabat atau teman dalam rangka merayakan hari raya. Makanan adalah bentuk selebrasi yang dimanifestasikan ke dalam aksi mengunggah makanan tersebut di media sosial.

Makanan bermaksud untuk menunjukkan perasaan, aksi, sikap, ataupun strategi si pengirim dan penerima. Dalam bahasa Carole Counihan (2013), seorang antropolog, giving food is an important way (for individuals) to be actors in the public sphere and build social alliances. Melalui makanan, seseorang dapat membangun aliansi sosial dalam ruang publik. Berbagi makanan serta berbagi pengalaman bagaimana cara membuatnya juga dapat membantu menciptakan rasa kebersamaan, sementara, di saat yang bersamaan, faktanya kita sedang terisolasi secara sosial.

Kembalinya kita ke dapur

Home cooking merayakan kembali kejayaannya melalui aturan jarak sosial yang mengharuskan banyak orang untuk bekerja dan berkegiatan di rumah. Limitasi terhadap aktivitas di luar ruangan membuat orang-orang kembali ke dapur. Makan adalah kegiatan fungsional dan esensial, mendukung kesehatan, juga tentu saja penting untuk memerhatikan asupan gizi di tengah pandemi seperti ini. Makanan rumahan juga relatif lebih murah dari makanan yang dipesan secara daring. Sehingga masak tidak hanya menjadi suatu kebutuhan yang harus dilakukan di rumah, tapi juga menyenangkan.

Tentu saja tidak semua orang memiliki kemewahan waktu yang berlimpah selama pandemi. Beberapa orang dengan pekerjaan yang mengharuskan mereka keluar rumah dan para orangtua dengan anak-anak kecil yang masih membutuhkan perhatian tentu saja kewalahan. Tetapi, ada banyak orang dengan ketersediaan waktu yang banyak mulai memasak menu-menu yang tidak sempat mereka buat sebelum aturan tinggal di rumah diberlakukan. Roti buatan sendiri sampai mi dan pasta dari adonan sendiri, misalnya.

Memasak memberikan perasaan bahwa kita tetap bergerak, produktif dan mencapai sesuatu meski di rumah, atau di dapur saja. Saya sendiri sangat menikmati memasak karena dapat membuat saya melupakan ketakutan dan kekhawatiran saya selama pandemi. Memasak adalah kegiatan yang memiliki urutan dan pola yang harus dipikirkan. Setelah meracik bumbu, maka tunggu sebentar agar dapat dimarinasi, lalu jangan lupa panaskan minyak, tunggu sampai suhu yang tepat, lalu goreng sampai kecokelatan, jangan lupa siapkan wajan yang lain untuk membuat saus dan panci yang lain untuk merebus sayuran.

Kembali ke dapur dan memasak membuat saya harus hadir, mindful. Saya harus eling sepenuhnya atau urutan masak akan berantakan dan makanan saya tidak jadi seperti yang saya harapkan.


Referensi

Forson, P. W. and Counihan, C. (2013) Taking Food Public: Redefining Foodways in a Changing World. doi: 10.2752/175174412X13414122383006.

Mintz, S. W. and Du Bois, C. M. (2002) ‘The Anthropology of Food and Eating’, Annual Review of Anthropology, 31(1), pp. 99–119. doi: 10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masak-masak dan Makan-makan Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masak-masak-dan-makan-makan-semasa-corona/feed/ 0 21825
Menilik Kembali Hubungan Manusia dan Samudra lewat Tradisi Petik Laut di Sumenep https://telusuri.id/menilik-kembali-hubungan-manusia-dan-samudra-lewat-tradisi-petik-laut-di-sumenep/ https://telusuri.id/menilik-kembali-hubungan-manusia-dan-samudra-lewat-tradisi-petik-laut-di-sumenep/#respond Thu, 14 May 2020 07:13:23 +0000 https://telusuri.id/?p=21598 Awal Maret pada tahun 2020, lebih dari 30 negara di seluruh dunia sudah mendeklarasikan kasus-kasus pertama corona dan kanal-kanal media di Indonesia sudah mulai ramai memberitakan tentang virus tersebut. Tapi corona belum sampai ke Madura....

The post Menilik Kembali Hubungan Manusia dan Samudra lewat Tradisi Petik Laut di Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal Maret pada tahun 2020, lebih dari 30 negara di seluruh dunia sudah mendeklarasikan kasus-kasus pertama corona dan kanal-kanal media di Indonesia sudah mulai ramai memberitakan tentang virus tersebut. Tapi corona belum sampai ke Madura. Lebih tepatnya, masih menjadi dongeng di antara masyarakat setempat. Ada, buah bibir masyarakat, tapi gaib.

Saya yang sedang tinggal di suatu desa di Sumenep selama kurang lebih enam bulan terakhir untuk kegiatan penelitian tentu saja mulai merasa was-was. Kesempatan untuk mendapatkan akses informasi apa pun dari “dunia luar” melalui gawai kecil namun pintar ternyata lebih terlihat sebagai kutukan dan bukan anugerah. Nyatanya, saya seperti makhluk paranoid yang selalu membawa botol sabun cair ke mana-mana dan mencuci tangan di mana-mana. Sementara itu, kehidupan masyarakat berjalan sebagaimana biasanya. Kegiatan kumpul-kumpul berskala besar masih diadakan dengan meriah tanpa aturan jarak dan, tentu saja, bebas rasa takut.

Salah satu perayaan yang dilaksanakan dengan meriah pada bulan tersebut adalah rokat tase’ atau petik laut. Nelayan di sepanjang pesisir Pulau Jawa mengenal petik laut sebagai upacara adat atau ritual yang dilakukan sebagai rasa syukur atas melimpahnya hasil laut yang mereka dapatkan pada satu tahun ke belakang. Selain itu, petik laut juga dilakukan sebagai bentuk permohonan atas berlanjutnya berkah rezeki untuk tahun-tahun yang akan datang, serta keselamatan bagi para nelayan.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengisahkan pengalaman saya mengikuti rangkaian acara petik laut di Desa Marengan Laok, Sumenep, selama dua hari dan menceritakan bagaimana proses refleksi yang saya alami dalam memahami petik laut sebagai medium manusia berhubungan dengan alam.


Laut acap kali memainkan peran sentral dalam banyak upacara keagamaan. Beberapa kelompok masyarakat percaya bahwa laut adalah rumah bagi para dewa dan dewi, sementara beberapa komunitas lain percaya bahwa ombak akan membawa pulang roh-roh manusia ke tempatnya berasal. Laut adalah perantara. Laut dengan keluasan dan kedalamannya tidak hanya dianggap misterius, tapi juga memiliki unsur kemurniaan yang membawa manusia lebih dekat kepada “The Creator.” Mandi di laut, melarungkan persembahan sampai menyalakan lilin, dan berdoa bersama di pinggir pantai adalah bagian dari cara manusia menggunakan laut sebagai medium untuk terhubung dengan entitas yang lebih besar dari manusia itu sendiri.

Selain petik laut, ada beberapa upacara spiritual yang membawa banyak jemaah memanjatkan harapan di laut, di antaranya adalah melasti di Bali, lantern floating di Hawaii, atau Iemanjá di Brazil. Di Indonesia sendiri, selain rokat tase’ di Madura dan melasti di Bali, ada berbagai macam nama untuk ritual yang serupa di berbagai daerah. Ada nadran (dari kata nadzar) yang diadakan masyarakat di pesisir pantai utara Jawa, seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon. Ada juga labuh laut yang rutin diadakan masyarakat pesisir pantai selatan, seperti di Trenggalek. Lalu, di Timur Indonesia, ada juga ritual haroana andala yang diselenggarakan sebagai bentuk syukur masyarakat nelayan Bone-bone, Kota Baubau, terhadap berkat dan rezeki yang mereka peroleh dari laut.


Sehabis hujan reda dan menyisakan genangan-genangan kecil di jalan utama yang menghubungkan desa-desa di Kecamatan Kalianget, saya bergabung bersama warga yang mulai memadati bahu jalan. Beberapa gerobak penjual pentol, bakso, dan es puter pun ikut mengerubung.

Kami menunggu kirab atau arak-arakan pawai dari masyarakat Desa Marengan Laok. Poster besar setinggi atap rumah sudah terpasang. Pada poster tersebut tertera jadwal acara dua hari ke depan. Akan ada acara doa bersama, kirab, dan [pertunjukan] topeng pada tanggal 7 Maret; untuk keesokan harinya, tanggal 8 Maret, tertulis petik laut.

Salah satu grup pawai yang berpartisipasi dalam rangkaian acara petik laut/Kyana Dipananda

Belakangan saya paham kenapa judul poster tersebut “Rokat Dhisa dan Petik Laut.” Rokat dhisa artinya ruwatan desa. Salah seorang warga, Masnah, yang saya ajak berbincang selama menunggu pawai dimulai, mengatakan bahwa berdoa bersama-sama adalah inti dari rangkaian acara dua hari ke depan.

“Biar selamet, buang sial, banyak rezeki, Mbak,” ujarnya sambil menggendong anaknya yang masih balita.

Menariknya, selama saya mengikuti rangkaian acara rokat dhisa dan petik laut, acara berdoa bersama hanya terselenggara selama lima belas menit. Dengan pengeras suara yang terbatas, saya hampir tidak sadar acara doa bersama sudah dimulai, dan tak tahu siapa yang memimpin. Ternyata doa bersama dipimpin oleh kalebun (kepala desa) setempat dan, katanya juga, biasanya ada pengajian yang digelar sebelum rangkaian acara. Sayangnya, tidak ada pemberitahuan untuk acara pengajian tersebut.

Seorang pemain musik saronen sedang beraksi/Kyana Dipananda

Selebihnya acara diisi oleh arak-arakan warga yang menggunakan berbagai macam kostum. Ada grup yang tampil dengan kostum burung merak, kostum pengantin Madura, kostum ala ahjumma korea, kostum hantu-hantuan lengkap dengan darah buatan dan baju compang-camping. Beberapa grup juga tampil ekstra dengan kapal dan ikan paus buatan yang dibentuk dari kertas karton. Kami pun tertawa melihat tingkah laku grup arak-arakan yang berjoget lucu dengan alunan musik saronen. Seserahan juga ikut dibawa oleh grup arak-arakan ini. Ada tumpeng raksasa dan ada juga tampah dengan aneka sayuran. Semuanya dibagikan kepada masyarakat setelah prosesi kirab selesai. Pada malam harinya, saya dan warga yang menonton kirab seharian duduk-duduk menghadap layar besar dan panggung warna-warni di lapangan rumput dekat tempat bersandar kapal-kapal nelayan yang sudah dihias manis. Rintik hujan menemani selesainya rangkaian hari pertama yang ditutup dengan pertunjukan ludhruk topeng.


Pagi-pagi sekali saya sudah kembali ke Desa Marengan Laok. Sampah-sampah sisa arak-arakan kemarin masih tergeletak di pinggir jalan. Ada bungkusan makanan, sisa-sisa dekorasi maupun botol kemasan minuman.

Sambil menunggu acara petik laut dimulai, saya duduk di warung dekat lapangan rumput. Ternyata saya datang terlalu pagi. Acara petik laut baru akan dimulai ketika air laut sudah pasang. Tidak ada yang tahu jam berapa tepatnya acara dimulai. Maka saya menggunakan waktu yang ada untuk berkeliling melihat kapal-kapal yang sudah dihias.

Beberapa pemilik kapal terlihat sedang menaruh dekorasi tambahan atau membetulkan letak kain yang terpasang pada tiang-tiang kapal. Kapal-kapal ini adalah yang ikut kompetisi menghias kapal. Kapal yang tercantik menurut juri akan mendapatkan hadiah, begitu pula grup arak-arakan kirab dengan kostum dan tema yang paling unik dan bagus. Sayangnya, saya tidak bertanya apa hadiahnya dan siapa jurinya. Saya sudah terlalu asyik melihat kapal yang berwarna-warni, lengkap dengan kain-kain gemerlap, pajangan dari karton kardus, foto Presiden Jokowi dalam pigura, juga bendera merah putih. Meriah.

Kapal-kapal yang dihias (atas) dan miniatur kapal Putri Koneng dan Joko Tole untuk prosesi larung sesaji (bawah)/Kyana Dipananda

Selain kapal yang sudah dihias, saya juga berkesempatan melihat sesajen yang akan dilarung ke laut. Dua miniatur kapal setinggi 100 cm yang berisi nasi, lauk-pauk seperti ayam bakar, rendang, kerupuk, lampu minyak, minuman kemasan, buah-buahan, sampai sandal dan karpet plastik pun tersedia di dalam miniatur kapal ini.

Konon menurut penjelasan Johan, panitia petik laut tahun ini, kedua miniatur kapal merepresentasikan sosok laki-laki dan perempuan. Kapal yang laki-laki konon adalah representasi Joko Tole dan kapal yang perempuan adalah representasi Putri Koneng. Keduanya adalah ibu dan anak dalam cerita legenda rakyat Sumenep. Secara kasat mata, ukuran kapal Putri Koneng lebih besar dari ukuran kapal Joko Tole. Saat saya tanyakan pada Johan, ukuran kapal Putri Koneng ternyata menunjukkan statusnya sebagai ibu dari Joko Tole. Menarik sekali bagaimana masyarakat Madura melihat peran seorang ibu melalui persona Putri Koneng dan kapal sesajen. Menurut saya, Kapal Putri Koneng menjadi simbol seorang ibu yang berkapasitas besar dan berdaya tampung yang luas; kapal Putri Koneng pun pada kenyataannya dapat menampung lebih banyak isi dan menjadi sesajen utama yang akan dilarung ke laut.

Selain penjelasan mengenai dua buah kapal yang akan dilarung di laut, saya juga sempat bertanya kepada Johan sejak kapan tradisi petik laut ini diselenggarakan. Dari dirinya, saya juga mendapatkan informasi bahwa di beberapa desa lainnya petik laut sempat mendapatkan penolakan masyarakat karena dianggap menyimpang dari ajaran ajaran agama Islam. Setelah sempat diberhentikan, ternyata desa yang tidak menyelenggarakan upacara petik laut tersebut mengalami penurunan jumlah tangkapan ikan yang signifikan.

Penonton yang akan melihat larung saji/Kyana Dipananda

“Makanya Mbak, kami nggak pernah berhenti bikin upacara petik laut,” lanjut Johan, “yang penting ada pengajian bersama dulu sebelumnya.”

Saya mendengarkan dengan saksama.

“Lagian ya, Mbak, acara melarung sesajen begini buat sebagian warga ya seru-serunya aja. Berdoa ya masing-masing—ke masjid, gitu. Mosok ke laut? Yang seru itu ya pawai pakai kostum … menghias kapal, terutama, ludhruk itu, Mbak!” Johan tertawa geli, mungkin teringat acara ludhruk semalam.

Spiritualitas adalah konsep yang cair. Kepercayaan batin terhadap asal-usul rezeki dan sumber datangnya berkah juga tidak sama bagi setiap orang. Hubungan manusia dengan Tuhan bersifat personal, juga kompleks dan kadang kala sulit dimengerti. Begitu pula hubungan manusia dengan alam; personal, kompleks, dan membingungkan. Hubungan manusia dengan laut yang mesra melalui nilai-nilai rasa syukur yang dibawa oleh ritual petik laut kemudian terlihat paradoksal dan sebatas seremonial di mata saya. Saya menjumpai banyak sekali sampah yang mengapung dalam perjalanan melarungkan sesajen ke tengah laut, di antaranya sampah popok, bungkus kopi, bungkus Indomie, dan gelas-gelas plastik.

Sebelum saya terdengar seperti memberikan pendapat yang prematur, saya percaya setiap individu bebas memiliki interpretasi masing-masing. Dalam mengikuti rangkaian acara petik laut di Desa Marengan Laok, saya memposisikan diri sebagai penonton sekaligus lakon. Saya ikut bergerak bersama rombongan pawai, saya pun ikut naik ke dalam kapal yang mengantar sesajen ke tengah laut dan saya ikut bergabung dalam keheningan yang tercipta saat masyarakat berdoa, yang entah kepada siapa. Sebagian dengan jelas menyatakan bahwa berdoa harus menurut agama yang dianut, di mana Islam adalah agama mayoritas di Sumenep. Sebagian yang lain secara subtil mengirimkan harapan pada laut untuk mengirimkan rezeki, menghalau badai yang galak, dan menghadiahi ikan-ikan yang melimpah.


Matahari mulai tinggi. Kapal yang membawa saya ke tengah laut juga membawa kapal kecil Putri Koneng yang berisi sesajen. Kapal ini jelas memimpin di depan, diiringi kapal-kapal hias lainnya yang membawa warga yang ingin menonton prosesi larung saji. Hujan kecil lewat sebentar menyisakan awan. Lumayan, pikir saya. Tidak terlalu panas jadinya.

Saat lokasi larung saji sudah ditentukan, bapak-bapak nelayan bersiap mengangkut kapal Putri Koneng. Kapal ini cukup berat dan membutuhkan setidaknya lima orang dewasa untuk mengangkutnya bersama-sama. Meski body kapalnya dibuat dari kardus, rangka kapal bagian bawah dibentuk dari beberapa batang pohon pisang agar kuat mengapung di laut. Seorang bapak nelayan terjun ke laut dan menangkap kapal Putri Koneng. Setelah memastikan kapal sesajen tidak oleng, bapak tersebut mendorong kapal Putri Koneng menjauh dari kapal utama. Dan begitulah proses larung saji selesai. Singkat, cepat, dan dalam diam.

Seseorang melarung salah satu miniatur kapal pada acara puncak larung saji/Kyana Dipananda

Kapal-kapal yang mengiringi prosesi larung saji diharuskan mengitari kapal sesajen selama tiga kali sebelum akhirnya kembali ke darat. Selepas kami mengitari kapal sesajen, saya melihat dari kejauhan kapal Joko Tole juga sudah dilarung.

Namun, ada kapal nelayan lain yang tidak berhias diri. Kapal tersebut bukan bagian dari rombongan kami. Beberapa orang mulai berteriak, “Dipilih, dipilih, ambil!”

Saya masih mencerna.

“Sikat, sikat, ambil!”

Dari kejauhan, kapal nelayan yang tidak saya kenali tersebut mengambil barang-barang yang ada di kapal Joko Tole. Pelan-pelan saya sadar, mungkin ritual petik laut memang bukan tentang berterima kasih pada yang gaib atau mempersembahkan barang-barang duniawi tersebut pada laut. Jelas laut tidak butuh tambahan sandal jepit baru. Mungkin pada akhirnya ritual ini adalah tentang masyarakat yang berbagi kebahagiaan, melalui gelak tawa dalam pawai, alunan saronen dalam ludhruk, dan barang-barang sesajen yang ditangkap nelayan desa sebelah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menilik Kembali Hubungan Manusia dan Samudra lewat Tradisi Petik Laut di Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menilik-kembali-hubungan-manusia-dan-samudra-lewat-tradisi-petik-laut-di-sumenep/feed/ 0 21598