Laillia Dhiah Indriani https://telusuri.id/penulis/laillia-dhiah-indriani/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 30 Oct 2023 07:41:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Laillia Dhiah Indriani https://telusuri.id/penulis/laillia-dhiah-indriani/ 32 32 135956295 Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/#respond Mon, 30 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39976 “Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun...

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun pendaki yang tidak ingin menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencapai puncak. Hanya sekitar dua jam perjalanan, pendaki sudah dapat merasakan keindahan tujuh gunung dalam sekali waktu dari ketinggian sekitar 2.365 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Gunung Bismo mungkin kurang populer daripada Gunung Prau yang lokasinya tidak terlalu berjauhan. Padahal Gunung Bismo juga menawarkan bentang alam yang menakjubkan.

Suatu siang, saya bersama dua teman mengawali perjalanan dari Yogyakarta menuju Dieng untuk melihat secara langsung keindahan Gunung Bismo. Kami memutuskan mendaki Gunung Bismo via Sikunang, Kecamatan Kejajar. Tidak ada pertimbangan khusus, hanya karena basecamp itulah yang pertama kali kami temukan.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Basecamp Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Setibanya di basecamp, kami beristirahat sebentar dan menata kembali barang bawaan yang akan kami bawa naik ke puncak. Menata barang bawaan dengan baik akan mempermudah perjalanan sekaligus mengurangi beban pada tas carrier. Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan untuk packing basah, yaitu mengemas semua barang dalam kantong tahan air. Sebuah cara terbaik mengingat cuaca yang tidak bisa kami prediksi. 

Saat itu kondisi basecamp cukup ramai. Terdapat beberapa rombongan yang juga hendak mendaki di hari itu. Rasanya masuk akal karena waktu akhir pekan di musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk mendaki gunung dan melepas penat.

Memulai Langkah Pertama

Usai menata barang bawaan, kami memulai pendakian tepat pukul 17.30 WIB. Perjalanan dari basecamp menuju Pos 1 melewati perkampungan dan persawahan milik warga. Jalur cukup mudah dengan tanjakan yang masih minim. Kami hanya memerlukan waktu sekitar 15—20 menit untuk sampai di pos pertama.

Ketika kami tiba di Pos 1, langit Dieng perlahan meredup. Cahaya jingga mulai menguasai dan suara azan Magrib berkumandang. Silih berganti dari masjid satu ke masjid yang lain. Kami duduk sebentar menunggu azan selesai. Tak lama, perjalanan kami lanjutkan dan mulai dari sinilah Gunung Bismo menampakkan keistimewaannya.

Jalur pendakian dari Pos 1 menuju Pos 2 mulai bergelombang. Walaupun demikian masih tergolong aman karena penduduk setempat sering menggunakan jalur tersebut ketika hendak berladang. Terdapat dua jalur yang bisa pendaki pilih, yaitu jalur landai atau curam.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Papan informasi Pos 2 Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Karena menganggap bahwa trek curam lebih cepat, kami memilih jalur tersebut. Namun, kami kemudian menyesali keputusan ini. Setelah bertemu penjaga warung di Pos 3, beliau bilang jika jalur landai justru lebih cepat dan medannya lebih mudah.

Langit benar-benar gelap seutuhnya ketika kami mencapai Pos 3. Saat itulah kerlip lampu-lampu di Dieng mulai terlihat dari ketinggian. Sepanjang perjalanan, alam menyuguhkan kami pemandangan yang mengagumkan. Rasanya seperti berjalan di tempat-tempat wisata, seperti paralayang atau Bukit Bintang. Pemandangan tersebut membuat perjalanan kami tidak begitu terasa melelahkan. Apalagi udara sejuk yang menyelimuti Dieng, membikin perjalanan kami kian menyenangkan. Panorama Dieng dari ketinggian itu kemudian menemani perjalanan kami hingga ke puncak.

Mencari Tempat Berkemah

Jika pendakian di gunung lain umumnya melewati hutan-hutan lebat, Gunung Bismo tidak demikian. Pohon-pohon rimbun seperti terpusat di beberapa titik saja. Sisanya hanya berupa lembahan dan ladang penduduk yang asri. Masyarakat Sikunang benar-benar mendesain jalur ini menjadi sangat ramah bagi pendaki.

Tidak lama berjalan, kami mencapai satu-satunya warung yang berdiri di sekitar Pos 3. Warung itu menjual air mineral, mi instan, dan aneka gorengan. Penjualnya adalah laki-laki yang sudah berumur. Kami beristirahat sebentar di warung tersebut sembari bertanya lokasi camp terbaik untuk kami berkemah malam ini.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Lampu-lampu permukiman Dieng di malam hari dari ketinggian Gunung Bismo/Laillia Riani

Bapak penjaga warung pun menjelaskan, “Ada banyak puncak, Mbak, di sini. Paling dekat dari sini ada Puncak Nemu-nemu, lalu Puncak Tugel, dan paling tinggi ada Puncak Indraprasta. Tapi pendaki enggak boleh camp di puncak, soalnya takut angin kencang. Bahaya. Nanti setelah puncak Tugel itu, ada camping area. Biasanya pendaki camp di situ. Tapi kalau mau jalan sedikit lagi nanti akan nemu lokasi yang bagus juga buat camping. Kalau jalan pasti nanti tahu sendiri lokasinya. Semoga belum dipakai orang.”

Setelah mendengar informasi tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Tugel yang katanya tidak jauh lagi. Langit begitu cerah malam itu. Cahaya bulan dan gemerlap bintang seolah menerangi perjalanan kami. Keindahan ini semakin nyata ketika akhirnya kami tiba di Puncak Tugel.

Kami mulai mencari camping area usai puas menikmati suasana malam di puncak Tugel, yang sudah berisi sekitar lima tenda besar. Teringat kata bapak penjaga warung tadi, kami mencari lokasi camp yang beliau maksud.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Berpose di Puncak Tugel Gunung Bismo saat akan turun/Laillia Riani

Kami terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan sebuah area datar yang hanya cukup untuk satu tenda. Di area ini terdapat pohon yang menghalangi angin yang mulai bertiup kencang bersamaan dengan suhu udara yang kian menusuk. Kami pun memutuskan segera membangun tenda. Lokasinya seperti private camp karena hanya  ada tenda kami saja. 

Selepas tenda berdiri, kami memutuskan lekas beristirahat agar besok pagi bisa mengejar matahari terbit. Rasanya dingin yang luar biasa menyelimuti dataran tertinggi di wilayah Wonosobo malam itu. Baju berlapis dan sleeping bag ternyata tidak cukup untuk menghalau suhu Gunung Bismo yang seperti membeku.

Pemandangan Tujuh Gunung dari Puncak Indraprasta

Keesokan harinya, lamat-lamat kami mendengar langkah kaki di sekitar tenda. Tandanya pagi sudah datang dan orang-orang sudah bersiap menyaksikan matahari terbit. Kami pun tak ingin ketinggalan. Kami segera mengemas barang-barang yang perlu kami bawa, mengunci tenda, lalu berangkat ke puncak tertinggi Gunung Bismo, Puncak Indraprasta.

Cahaya emas matahari pagi perlahan mulai meninggi. Suasana dingin berangsur hangat bersamaan dengan pemandangan yang makin terlihat jelas. Gunung-gunung api Jawa Tengah yang berjajar di sekitar Gunung Bismo.

  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo

Dari Puncak Indraprasta, kami bisa memandang Gunung Sumbing dan Sindoro yang begitu gagah. Di sebelah timur terdapat Gunung Prau yang memanjang. Di sudut antara ketiga gunung itu, tampak dari kejauhan Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu. Tak lupa Gunung Slamet juga terlihat di ujung barat. Tidak hanya itu, Bukit Sikunir dan Gunung Kembang pun tak absen dari sajian panorama pagi itu.

Kami melihat pemandangan berbeda tatkala mengedarkan mata ke arah Dataran Tinggi Dieng. Terdapat petak-petak ladang sayur milik penduduk setempat yang sekilas tampak menawan dan berwarna-warni.

Setelah puas menikmati puncak Gunung Bismo, kami kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan dan kemudian berkemas. Tepat pukul 10.00, kami turun gunung. Bagi kami, Gunung Bismo benar-benar meninggalkan kesan indah yang tak terlupakan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/feed/ 0 39976
Sebuah Perjalanan Menuju Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang https://telusuri.id/sebuah-perjalanan-menuju-pantai-kondang-merak/ https://telusuri.id/sebuah-perjalanan-menuju-pantai-kondang-merak/#respond Mon, 23 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36930 Bagi saya, alam adalah tempat yang sempurna untuk “melarikan diri”. Bersyukurnya, bentang alam di Malang tidak pernah mengecewakan. Pas sedang jenuh dengan rutinitas, keinginan saya “melarikan diri” terjawab oleh tim Action Research yang membutuhkan relawan...

The post Sebuah Perjalanan Menuju Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi saya, alam adalah tempat yang sempurna untuk “melarikan diri”. Bersyukurnya, bentang alam di Malang tidak pernah mengecewakan. Pas sedang jenuh dengan rutinitas, keinginan saya “melarikan diri” terjawab oleh tim Action Research yang membutuhkan relawan fotografer untuk membantu melakukan aksi ke daerah Kondang Merak di Kabupaten Malang. Jujur, sebagai perantau, saya kurang familiar dengan nama daerah tersebut. Alih-alih ragu, saya malah menjadi terpancing untuk menelusuri Pantai Kondang Merak.

Hari keberangkatan tiba, saya dan ketiga rekan melakukan survei ke lokasi. Usai berkendara motor selama kurang lebih 2,5 jam, kami tiba di “pintu masuk” menuju Kondang Merak. Kami sempat syok dengan suasana yang tampak berbeda, bahkan saya sempat ingin mengurungkan niat untuk masuk ke kawasan ini. Tapi rasa penasaran lebih besar dari sekadar apa yang saya lihat. Jalan aspal halus berganti menjadi tanah lengkap dengan bebatuan sepanjang jalan menyambut.

Deretan lampu jalan, berganti menjadi pohon nan rimbun berjajar membentang. Kami memperlambat laju kendaraan karena jalan ini tidak seharusnya kami lewati dengan motor matic. Beruntungnya, hari itu tidak turun hujan. Beberapa kali kami terhenti karena batu besar menghalangi jalan hingga akhirnya tiba di kawasan Kondang Merak. Hawa panas sontak tergantikan dengan oleh angin yang lebih sejuk, lengkap dengan “aroma pantai”. Menyenangkan!

  • Pantai Kondang Merak
  • Pantai Kondang Merak
  • Pantai Kondang Merak
  • Pantai Kondang Merak
  • Pantai Kondang Merak

Sampai di sana, seorang warga desa yang juga pengelola konservasi alam menyambut kehadiran kami dengan cerita-cerita seru seputar Kondang Merak. Setelah itu, ia mengajak berkeliling desa.

Hutan lebat mengelilingi desa, satwa di dalamnya pun masih hidup dengan damai, tak banyak manusia yang mengusik. Lutung Jawa adalah salah satu yang hidup nyaman di dalam hutannya. Sayangnya, kami belum berkesempatan menjenguk lutung Jawa karena satu dan lain hal. Sampai akhirnya, ia membawa kami ke salah satu gubuk untuk melihat-lihat berbagai macam foto satwa satu ini. Setiap lutung Jawa punya nama, uniknya nama mereka seperti manusia. Ada Lala, Udin, Dimas, dan lainnya.

Tidak terasa kami berbincang hingga hari beralih ke petang, sejenak kami melipir untuk menyaksikan senja di Pantai Kondang Merak. Kami berjalan ke area pantai, melewati kapal-kapal nelayan yang siap melaut saat malam tiba, dan hutan mangrove penjaga abrasi pantai ini.

Pantai Kondang Merak
“Menyelamatkan” terumbu tarang/Laillia Riani

“Kalian mau ikut menyelamatkan terumbu karang?” kata salah satu aktivis lingkungan yang menemani kami. Sore hari memang waktu yang tepat untuk memulai misi ini. Terumbu karang yang rusak akan kami angkat supaya tidak mengganggu ekosistem di sekitarnya. Pada lain waktu, kami akan menggantikannya dengan terumbu karang baru hasil dari transplantasi.

Tanpa ragu dan tanpa berpikir panjang—bahwa nyatanya tak satupun dari kami yang membawa baju ganti—ajakan tersebut tidak bisa kami tolak. Kami pun mengikuti mereka ke pantai. Air sudah mulai pasang saat saya menceburkan diri ke air laut, tingginya mencapai pinggang. Ketika mulai berjalan ke tengah, seseorang berteriak, “Hati-hati ada bulu babi!”

“Deloken sek mbok idek, tiati lunyu.” (Lihat yang mau kamu injak, hati-hati licin.)

Masih banyak bulu babi di sekitar kami, mereka tampak berada di celah antara terumbu karang.

Langit makin gelap, air makin tinggi. Semesta telah memerintahkan kami untuk menyingkir agar para nelayan bisa leluasa berlayar. Kami pun akhirnya menepi.

“Habis ini jangan pulang dulu, ada gurita sama cumi-cumi untuk santap malam kita.”

Tentu saja, kami tak akan melewatkan bagian yang satu ini. Saya yang belum pernah makan gurita, menyambut ajakan tersebut dengan mata berbinar. Makin asyik karena menyantapnya di pinggir laut, pikir saya.

  • Pantai Kondang Merak
  • Pantai Kondang Merak

Tiba di rumah salah seorang warga, gurita tersaji lengkap dengan nasi yang masih mengepul. Kudapan ini kami habiskan dalam waktu beberapa menit saja, padahal kami menyantapnya sembari membahas rencana konservasi kedepannya. Beberapa isu yang akan kami angkat yakni kelalaian manusia dalam menjaga alam dan akses jalan yang sulit menuju tempat wisata. Ada juga isu lain yang berkaitan dengan lingkungan tentunya.

Waktu menunjukkan pukul 19.30 saat kami usah menyelesaikan diskusi. Tiba juga pada penghujung hari, kami akan kembali ke Malang.

Seketika perasaan aneh menyelimuti saya. Sebuah perasaan enggan meninggalkan Kondang Merak, serta rasa takut akan perjalanan pulang. Tentu, jalur yang kami lewati begitu sulit. Keinginan untuk menginap sungguh besar, tapi apa mau dikata, rutinitas sudah menanti di ujung sana.

Beberapa menit setelah meninggalkan desa, jalanan benar-benar gelap. Hanya cahaya bulan di atas sana yang menerangi perjalanan kami. Hutan di sepanjang jalan yang saat siang tadi sangat menyejukkan, kini menunjukan sisi seramnya. Tidak ada lagi rumah penduduk yang menyambut kami sepanjang perjalanan. 

Kami memutuskan berjalan perlahan sehingga waktu tempuh dalam perjalanan pulang jauh lebih lama jika dibandingkan saat berangkat tadi. Selang satu jam berlalu, barulah jalan aspal kami temui. Rasanya lega.

Sambil meneruskan perjalanan menuju indekos masing-masing, otak saya berputar hebat. Manusia dan alam saling berbagi ruang untuk saling bergantung. Mereka saling menjaga satu sama lain. Pengalaman ke Kondang Merak akan selalu melekat di hati saya. Keinginan untuk kembali selalu bersemayam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sebuah Perjalanan Menuju Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sebuah-perjalanan-menuju-pantai-kondang-merak/feed/ 0 36930