Laily Nihayati https://telusuri.id/author/lailynihayati/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 23 Dec 2024 05:17:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Laily Nihayati https://telusuri.id/author/lailynihayati/ 32 32 135956295 Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/ https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/#respond Sat, 21 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44645 Hanya punya waktu sebentar di Pariaman? Singgahlah ke Pulau Angso Duo! Salah satu pulau yang terhampar di kawasan Pantai Gandoriah, Kelurahan Pasir, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat ini menawarkan wisata bahari dan sejarah...

The post Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo appeared first on TelusuRI.

]]>
Hanya punya waktu sebentar di Pariaman? Singgahlah ke Pulau Angso Duo! Salah satu pulau yang terhampar di kawasan Pantai Gandoriah, Kelurahan Pasir, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat ini menawarkan wisata bahari dan sejarah unik yang bisa dinikmati dalam sehari.

Usai menghadiri acara di Kota Padang, saya menemui Ratih di Stasiun Simpang Haru. Sahabat semasa kuliah di Solo ini mengajak saya liburan ke Pariaman, kota kelahirannya. Rencananya kami akan mengunjungi Pulau Angso Duo yang terkenal dengan panorama alamnya itu. 

Perjalanan dari Kota Padang menuju Pariaman menggunakan kereta membutuhkan waktu sekitar dua jam. Tiba di Stasiun Pariaman, kami berjalan kaki menuju arah Pantai Gandoriah. Di pantai terdapat perahu-perahu yang menjadi moda transportasi menuju Pulau Angso Duo. Jarak antara kedua tempat ini hanya sekitar dua kilometer saja, sehingga keberadaan Pulau Angso Duo terlihat jelas dari bibir pantai.  

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Perahu-perahu yang bersandar di Pantai Gandoriah, siap mengantar wisatawan ke Pulau Angso Duo/Laily Nihayati

Menyeberang ke Angso Duo

Harga sewa perahu per penumpang Rp50.000 pergi-pulang, sudah termasuk tiket masuk Pulau Angso Duo. Satu perahu muat untuk enam orang penumpang.

Setelah membayar tiket, kami dan penumpang lainnya bergegas naik perahu. Saat mesin perahu dinyalakan, semua penumpang sudah duduk di bangku dan siap berangkat menuju Pulau Angso Duo.

Perahu pun bergerak pelan meninggalkan dermaga pantai. Musik Minangkabau mulai mengalun, iramanya yang rancak membuat hati semakin semarak. Sepanjang perjalanan kami terhibur dengan keindahan pemandangan laut yang biru, diiringi perahu-perahu kecil yang berlalu-lalang. 

Tanpa terasa 20 menit telah berlalu, perahu kami akhirnya merapat ke pulau cantik berhias pohon-pohon nyiur. Penumpang sudah tidak sabar turun dari perahu demi melihat pasir putih dan jernihnya air di Pulau Angso Duo. 

Saya pun turun. Begitu menjejakkan kaki di air laut yang dangkal, tampak ikan-ikan kecil menari kian kemari seolah menyambut kedatangan kami. Ratih langsung menggandeng tangan saya dan mengajak berlari menuju jembatan yang menghubungkan ke pintu gerbang Pulau Angso Duo. 

Kami berfoto sejenak di bawah tulisan Angso Duo, sebelum melangkahkan kaki memasuki areal pulau. Ratih menginformasikan, pulau ini memiliki luas keseluruhan sekitar 5,13 hektare, dengan 1,25 hektar di antaranya berupa hamparan pasir putih yang lembut. Angso Duo juga sering dijuluki Pulau Harapan. Mitosnya, siapa pun yang berhasil mengelilingi pulau ini bakal terkabul harapannya. Saya semakin tidak sabar untuk segera menjelajahinya. 

  • Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
  • Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo

Jejak Ulama Syekh Katik Sangko di Pulau Angso Duo

Kami berjalan menelusuri jalan setapak. Di kanan dan kiri terdapat pohon-pohon yang meneduhi perjalanan. Sekitar 50 meter, langkah kami terhenti di depan makam yang panjangnya mencapai 4,5 meter. Saya bertanya-tanya dalam hati, berapakah tinggi orang yang dimakamkan di sini hingga makamnya begitu panjang? 

Petugas penjaga Pulau Angso Duo, Samsul Bahri, menjawab rasa penasaran saya. Dia bilang, makam panjang tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir Syekh Katik Sangko dan istrinya. 

Samsul Bahri lalu menceritakan sosok Syekh Katik Sangko, yang merupakan kerabat sekaligus pengawal dari Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama legendaris asal Pariaman. Nama Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar tarekat Syattariyah yang sangat berpengaruh di daerah Minangkabau. Mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Syekh Burhanuddin lahir pada 1646 dengan nama Pono. Ibunya bernama Nili, bersuku Guci, sedangkan ayahnya bernama Pampak dari suku Koto. Ia lahir di wilayah Pariangan, dekat Kota Padang Panjang, dan besar di wilayah Sintuk, Lubuk Alung, pesisir Sumatra Barat.

Masa kecil Pono belum banyak mengenal ajaran Islam, lantaran mayoritas masyarakat pesisir Sumatra Barat saat itu masih menganut agama Hindu dan Buddha. Ketertarikan Pono pada agama Islam bermula ketika ia diajak ayahnya berniaga dengan pedagang muslim Gujarat.

Ketika beranjak dewasa, Pono memutuskan untuk menjadi mualaf dan berniat mendalami agama Islam. Pedagang Gujarat tersebut menyarankan dia untuk merantau dan berguru  kepada Syekh Abdurrauf Singkil, seorang mufti berpengaruh di Kerajaan Aceh. 

Pono lantas mengajak Katik Sangko berlayar menuju Aceh dan bertemu dengan Syekh Abdurrauf Singkil. Di sanalah mereka diajarkan tentang Alquran,  hadis, bahasa Arab, tafsir,  fikih, tauhid, akhlak, dan tasawuf. Mereka juga mempelajari tarekat Syattariyah dari Syekh Abdurrauf Singkil. Ulama inilah yang kemudian memberikan gelar Syekh Burhanuddin pada Pono.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Cungkup makam Syekh Katik Sangko/Laily Nihayati

Setelah 10 tahun menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin dan Katik Sangko memutuskan kembali ke Minangkabau untuk berdakwah, menyebarkan apa yang mereka pelajari selama di Aceh kepada masyarakat. Selain menjadi ulama, mereka juga turut berjuang melawan penjajahan Belanda (VOC). Syekh Burhanuddin dan Katik Sangko bahu-membahu membantu Kerajaan Pagaruyung yang terlibat konflik dengan Belanda. 

Semasa hidup mereka, Pulau Angso Duo kerap menjadi markas, tempat berteduh, dan bermusyawarah dalam menyebarkan ajaran Islam serta mengatur siasat menghadapi penjajah Belanda. Konon penamaan pulau ini juga terinspirasi dari kedua tokoh tersebut. Saat berdakwah, Syekh Katik Sangko dan Syekh Burhanuddin kerap mengenakan jubah putih panjang, yang apabila tertiup angin akan melambai serupa kepak angsa dari kejauhan. Gambaran dua angsa atau “angso duo” dalam bahasa Minang inilah yang dijadikan nama pulau. Jika Syekh Katik Sangko dimakamkan di Angso Duo, Syekh Burhanuddin yang meninggal pada 20 Juni 1704 (usia 58 tahun) dimakamkan di daerah Ulakan, dekat dengan surau miliknya.

Hingga kini, banyak orang dari berbagai kota yang datang untuk berziarah ke makam Syekh Katik Sangko sekaligus rekreasi. Terlebih, sejak tahun 2022, gubernur dan wakil gubernur Sumatra Barat menetapkan Pulau Angso Duo sebagai Daya Tarik Wisata Unggulan (DTWU). Penetapan ini menjadi bagian program dari pencanangan Visit Beautiful West Sumatra 2023, sehingga Pulau Angso Duo terus dikembangkan agar lebih menarik dengan fasilitas yang lebih lengkap. Contohnya, pembangunan penginapan.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Surau yang dibangun untuk mengenang jasa ulama sekaligus panglima perang Katik Sangko/Laily Nihayati

Sumur Bertuah Berusia Ratusan Tahun

Tak jauh dari makam, terdapat surau yang didirikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pariaman untuk tempat beribadah bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Angso Duo. Kami pun menyempatkan salat Zuhur di surau Katik Sangko yang berbentuk rumah panggung itu.

Selepas salat, Ratih mengajak saya menengok sumur tua yang disebut-sebut bertuah oleh masyarakat setempat. Sumur yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda ini memiliki kedalaman sekitar dua meter. Demi keamanan dan keselamatan pengunjung, di sekeliling sumur diberi pagar.

Air dari sumur tua tersebut dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit. Meskipun belum ada penelitian mengenai kandungan air sumur dan kemanjuran khasiatnya, banyak peziarah yang penasaran mencobanya. Samsul Bahri menceritakan, pernah ada pengunjung dari Sumatra Utara yang mengambil air sumur untuk membantu pengobatan lumpuh dan rematik. 

“Apakah benar-benar mujarab, saya juga tidak tahu,” ungkapnya.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Sumur tua yang dipercaya bertuah oleh masyarakat/Laily Nihayati

Menikmati Keseruan Wisata Bahari

Kami meneruskan perjalanan menyigi sisi-sisi lain Pulau Angso Duo. Karena perut sudah keroncongan, saya dan Ratih memutuskan untuk mencari kedai. Ada banyak pilihan makanan. Kami memilih menu hidangan laut dan segelas kelapa muda yang menyegarkan. Usai urusan perut beres, kami mengabadikan momen liburan di studio foto alam yang menyediakan lokasi-lokasi menarik.

Hari pun beranjak senja. Sembari menunggu perahu menjemput, kami menjajal keseruan bermain banana boat dan jet-ski. Tidak hanya wahana itu saja yang bisa dinikmati. Beberapa wisatawan ada juga yang asyik snorkeling, berenang, berkeliling pulau, atau sekadar bermain ayunan di tepi pantai. Segala aktivitas bisa dilakukan selama jam operasional pulau, yaitu pada pukul 08.00 sampai dengan 17.00 WIB.

Tatkala mentari perlahan menuju peraduannya, kami bergegas pulang. Kembali ke Pariaman membawa kenangan berkesan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/feed/ 0 44645
Merah Putih Berkibar di Green Canyon https://telusuri.id/merah-putih-berkibar-di-green-canyon/ https://telusuri.id/merah-putih-berkibar-di-green-canyon/#respond Sun, 13 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42843 Momen kemerdekaan 17 Agustus lalu saya rayakan bersama teman-teman dari Komunitas Pecinta Jalan-Jalan di Green Canyon. Sejak merencanakan perjalanan ke daerah wisata sekitar Pangandaran, Jawa Barat, kami sangat antusias menyambut liburan sekaligus merayakan hari paling...

The post Merah Putih Berkibar di Green Canyon appeared first on TelusuRI.

]]>
Momen kemerdekaan 17 Agustus lalu saya rayakan bersama teman-teman dari Komunitas Pecinta Jalan-Jalan di Green Canyon. Sejak merencanakan perjalanan ke daerah wisata sekitar Pangandaran, Jawa Barat, kami sangat antusias menyambut liburan sekaligus merayakan hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kami sudah bersepakat untuk membawa bendera ke sana.

Green Canyon, yang kami tuju, berada di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Kami berangkat dari Jakarta tanggal 16 Agustus, pukul 21.00 WIB. Kami memilih rute lewat Bandung menuju Tasikmalaya. Dari Tasik, lanjut ke jalur timur melewati Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran, Parigi lalu Cijulang. Jalur ini memiliki jarak kurang lebih 170 km.

Sebenarnya ada yang lebih singkat, yakni melalui jalur selatan melewati Kota Tasik, Cipatujah, Cikalong, Cimanuk lalu Cijulang, dengan jarak kurang lebih 60 km. Namun, jalur ini kurang disarankan karena akan berhadapan dengan hilir mudik truk pengangkut pasir besi. Truk-truk tersebut mengakibatkan jalur selatan rusak parah dan membuat perjalanan lebih lama.

Setelah menempuh perjalanan sekitar sembilan jam, tibalah kami di Green Canyon atau oleh warga setempat disebut dengan Cukang Taneuh. Arloji di tangan menunjuk angka 06.30. Masih ada waktu satu jam sebelum loket buka. Kami pun memanfaatkan jeda waktu untuk mandi dan berganti baju. Upacara bendera segera dimulai. Kendati sederhana, prosesi hormat bendera berlangsung cukup hikmat. Puncaknya, kami berfoto bersama di depan Cukang Taneuh dengan bendera yang kami bentangkan.

Tepat sejam kemudian loket buka. Kami segera membeli tiket sebelum antrean mengular panjang. Kami lalu masuk menuju dermaga Ciseureuh. Di dermaga, perahu-perahu atau yang disebut ketinting sudah berjajar dan bersiap mengantar kami menuju Green Canyon. Harga sewa perahu dipatok sebesar Rp75.000 untuk lima orang.

  • Sungai Cijulang Green Canyon di Pangandaran Jawa Barat (Laily Nihayati)
  • Sungai Cijulang Green Canyon di Pangandaran Jawa Barat (Laily Nihayati)

Menyusuri Lembah Hijau 

Kami menaiki ketinting yang sudah berjajar rapi. Tukang perahu dan asistennya memberikan jaket pelampung untuk keamanan selama perjalanan. Setelah semua siap, perahu mulai bergerak membelah Sungai Cijulang. Belum lama melaju, kami sudah jatuh cinta dengan pesonanya. Air sungai begitu jernih dengan warna toska. Di kanan-kirinya berdiri kokoh tebing-tebing yang terpahat alami. Selain tebing, juga terdapat bukit-bukit setinggi 20–30 meter dan dataran rendah yang ditumbuhi pepohonan. Tak salah jika tempat ini dijuluki lembah hijau atau Green Canyon. 

Adalah Frank dan Astrid, turis asal Prancis dan Swiss yang memopulerkan nama Green Canyon. Mereka datang pertama kalinya ke Cukang Taneuh tahun 1990. Versi lainnya mengatakan ada turis asal Amerika bernama Bill Jones (Bill John), yang pada 1989 sempat menyusuri lokasi tersebut dengan menggunakan perahu kayuh tanpa mesin. Sepulang dari sana, dia memberikan komentar sungai tersebut memiliki kesamaan dengan Grand Canyon di Colorado, Amerika Serikat, atau Okazaki, Kyoto, Jepang. Untuk itu kemudian disebut Green Canyon.  

Cukang Taneuh memiliki arti “jembatan tanah”. Disebut demikian lantaran di atas lembah dan jurang Green Canyon terdapat jembatan dari tanah yang mempunyai lebar tiga meter dan panjang mencapai 40 meter. Jembatan ini menghubungkan antara Desa Kertayasa dengan Desa Batukaras. Sekaligus juga menghubungkan dua tebing di atas aliran air sungai yang membentuk sebuah terowongan.

Warna air Sungai Cijulang bisa berubah sesuai cuaca. Waktu terbaik untuk berkunjung ke sini adalah musim kemarau, antara bulan Juni hingga September. Saat musim kemarau, air akan terlihat jernih dan debitnya bagus. Ketika musim hujan, biasanya akan berubah keruh atau cokelat akibat debit air yang tinggi karena curah hujan. Sebutannya bukan Green Canyon lagi, melainkan Brown Canyon. Selain itu ada kemungkinan air sungai akan pasang, sehingga tempat ini ditutup untuk umum demi keselamatan pengunjung.

Tak hanya kejernihan air dan panorama tebing yang menggoda mata. Di antara rimbunnya pepohonan, sesekali kami menangkap gerak-gerik hewan liar, seperti monyet, biawak, bahkan buaya. Burung-burung berkicau memecah keheningan Sungai Cijulang. 

Pemandangan kian menakjubkan ketika kami mulai memasuki gua besar dengan stalaktit dan stalakmit yang spektakuler. Di depan apitan lereng tebing, terlihat air terjun yang disebut Palatar. Masuk lebih dalam lagi, kami seperti berada di sebuah gua besar dengan atap yang terbuka, sehingga sinar matahari dapat masuk ke celah-celahnya. 

Perahu berhenti di dalam gua dan mustahil bisa menelusuri lebih dalam lagi, karena terhalang batu besar dan lorong semakin menyempit. Tak ada jalan lain untuk melaluinya kecuali berenang atau merayap ke tepi batu. Tukang perahu membantu kami menyusuri sungai dengan menggunakan tali yang dibentangkan.  

Jika tidak ingin meniti jalan dengan tali, bisa menggunakan pelampung berupa ban yang banyak disewakan di sana. Harga sewanya cukup murah, hanya sepuluh ribu rupiah. 

Merah Putih Berkibar di Green Canyon
Foto bersama bendera Indonesia di antara tebing-tebing Green Canyon/Laily Nihayati

Memacu Adrenalin di Tebing

Setelah beberapa menit berjalan di air, kami tiba di kolam putri. Tampak batu karang besar yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Kami menuju ke sana untuk berfoto ria, tak lupa sambil membawa bendera. Meskipun tubuh dan baju kami kuyup, kami tetap bersemangat. Kami bentangkan Sang Saka Merah Putih di atas tebing yang berada sekitar lima meter dari permukaan air sungai. 

Beberapa teman mencoba memacu adrenalin dengan melompat dari tebing ini. Saya pun tergoda melakukannya, karena merasa aman dengan pelampung dan teman-teman yang siap menolong di bawah. Byur! Saya melompat dan jatuh ke air. Sensasinya luar biasa! Tak sia-sia melawan rasa takut.

Teman-teman di bawah menyambut dengan sorak-sorai. Kami tertawa gembira. Sore itu kami habiskan dengan bermain di aliran sungai dan menikmati air terjunnya. Kami juga sempat masuk di dalam gua yang terdapat banyak kelelawar.  

Tak terasa dua jam sudah kami di Green Canyon. Kami harus kembali ke pangkalan perahu sebelum tutup operasional dan meneruskan perjalanan untuk menginap di Pangandaran. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merah Putih Berkibar di Green Canyon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merah-putih-berkibar-di-green-canyon/feed/ 0 42843
Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/ https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/#respond Sat, 27 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42407 Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan...

The post Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara appeared first on TelusuRI.

]]>
Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
Tampak depan Masjid Mantingan atau Astana Hadlirin Jepara (Laily Nihayati)

Legasi Kesultanan Demak di Jepara, Jawa Tengah antara lain menyuguhkan keragaman budaya Jawa, Cina, Islam, Hindu, dan Buddha. Di sini juga terdapat makam para pejuang dan tokoh penguasa Islam, yakni Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dan Raden Abdul Jalil atau dikenal dengan Sunan Jepara.

Bulan lalu saya dan keluarga mengunjungi bulik yang tinggal di “Kota Ukir” tersebut. Selain bersilaturahmi, kami berniat berburu ukiran untuk menghias rumah. Zaki, sepupu saya berbaik hati mengantar kami ke sentra-sentra ukir di Jepara. Saya membeli beberapa vas dan tempat aksesoris yang dihias ukiran indah, sementara kakak saya membeli kaligrafi yang dibingkai dengan kayu berukir.

Menjelang Zuhur, Zaki mengajak kami ke sebuah masjid. Lokasinya berada di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara. Dari pusat kota Jepara, jaraknya sekitar lima kilometer arah selatan. Sesuai dengan lokasi, masjid ini bernama Masjid Mantingan atau dikenal juga dengan Masjid Astana Sultan Hadlirin.

Gapura lengkung bertulis kalimat syahadat menyambut. Kami menaiki tangga berundak untuk masuk ke halaman masjid. Suasana asri langsung terasa begitu menapakkan kaki di halaman masjid yang banyak ditumbuhi tanamanan. Kendi-kendi berjajar rapi menghias latar masjid. Zaki bercerita, kendi-kendi tersebut menyimpan air yang dipercaya masyarakat Jepara bertuah untuk menguji kejujuran seseorang setelah meminumnya. 

Perpaduan Kekayaan Budaya

Azan berkumandang. Kami langsung menuju tempat untuk berwudu dan bersiap melaksanakan salat Zuhur berjamaah. Usai ibadah, saya beranjak menuju dinding masjid yang dihiasi dengan panel relief. Saya amati bentuk-bentuknya yang beragam. Ada yang persegi, lingkaran, geometris, dan heksagon. Menariknya, di dalam panel-panel ini terdapat relief beraneka motif, mulai dari sulur, bunga, daun, untaian tali, bangunan, candi hingga binatang yang distilir (disamarkan).

Teknik stilir tersebut menunjukkan peralihan seni Hindu-Buddha ke Islam yang melarang menggambarkan makhluk bernyawa. Adapun relief geometris dan flora (sulur-suluran tumbuhan) merupakan adaptasi dari seni kaligrafi. 

Panel relief tidak hanya terdapat di dinding depan masjid, tetapi juga ada di dinding belakang dan dinding pembatas antara ruangan tengah dengan ruang di samping kiri dan kanan. Saya hitung jumlahnya ada 51 panel relief yang terpasang. Zaki mengatakan totalnya ada 114 panel relief, sisanya disimpan dalam sebuah museum sederhana di samping masjid.

Tidak hanya panel relief yang menarik perhatian, arsitektur bangunan masjidnya pun menawan. Atapnya berbentuk tumpang, disangga dengan empat tiang atau soko guru. Terdapat mustaka di atasnya, khas masjid kuno Jawa. Masjid ini memiliki lantai tinggi yang ubin dan undak-undakannya didatangkan langsung dari Makau. Pengaruh seni Cina yang lain terlihat pada piring-piring tembikar berwarna biru yang menghiasi dinding luar masjid. 

Jejak agama dan budaya Hindu juga tampak di area masjid seluas 2.935 meter persegi ini. Di antaranya gapura yang berbentuk lengkungan sebagai pintu masuk kawasan masjid, gerbang Candi Bentar pada makam, dan beberapa petilasan candi meski kini tak utuh lagi.

  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara

Jejak Sejarah Kesultanan Demak 

Masjid Mantingan dibangun pada era Kesultanan Demak. Melalui prasasti “Rupa Brahmana Warna Sari” yang terukir di mihrab, diketahui pembangunan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak ini rampung pada 1481 Saka atau 1559 Masehi. 

Pembangunan masjid tersebut diinisiasi oleh Ratu Kalinyamat. Dikutip dari buku Sejarah dan Hari Jadi Jepara (1988), nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retno Kencono. Ia adalah putri dari Sultan Trenggono (1521–1546), pemimpin kerajaan Islam Demak. 

Sebelum diangkat menjadi sultan di Demak, Trenggono pernah menjabat sebagai bupati di Jepara. Di masa itulah, Pangeran Toyib—putra dari Sultan Aceh yang bernama Mughayat Syah—datang ke Jepara untuk berdakwah. 

Pangeran Toyib dikenal sebagai seorang ulama sekaligus saudagar yang gemar berkelana menuntut ilmu hingga ke mancanegara. Salah satu negara yang ia singgahi adalah Campa, Tiongkok. Di sana ia diangkat menjadi anak seorang menteri kerajaan Campa bernama Tjie Hwio Gwan. Pangeran Toyib mendapat nama baru Tjie Bin Thang atau Win-tang dalam ejaan Jawa.

Kemudian, Win-tang dan Tjie Hwio Gwan hijrah ke Jepara. Mereka mendirikan desa Kalinyamat. Win-tang lalu dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Kehadiran mereka disambut baik oleh bupati Jepara. Singkat cerita, sang bupati menikahkan putrinya, Retno Kencono dengan Pangeran Kalinyamat. Ratna Kencana pun mendapat gelar sebagai Ratu Kalinyamat. Mereka berdua memimpin kerajaan Kalinyamat yang berada dalam wilayah Jepara.

Saat masuk menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak, Pangeran Kalinyamat dianugerahi gelar Sayyid Abdurrahman Ar Rumi atau Sultan Hadlirin. Ia diberi gelar Sultan Hadlirin, yang artinya “Raja Pendatang” karena asal-usulnya bukan merupakan orang Jawa asli.

Ketika Trenggono diangkat menjadi sultan Demak, Jepara diserahkan kepada Pangeran dan Ratu Kalinyamat. Wilayah kekuasaan Kerajaan Kalinyamat meluas meliputi Jepara, Kudus, Pati, Mataram (Jogja dan Solo yang masih hutan belantara). Di bawah kepemimpinan keduanya, Kerajaan Kalinyamat mencapai masa kejayaannya. 

Ayah angkat Pangeran Kalinyamat, Tjie Hwio Gwan turut membantu pemerintahaan kerajaan Kalinyamat dan menjadi patih bergelar Sungging Badar Duwung. Ia juga yang mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.

Perebutan Takhta dan Kematian Sultan Hadlirin

Sultan Hadlirin memimpin Kerajaan Kalinyamat sampai tahun 1549. Ia tewas di tangan utusan Arya Penangsang yang berupaya berebut takhta kerajaan Demak. Semua berawal dari perseteruan antara anak-anak Raden Patah (Jin Bun), raja pertama Kesultanan Demak.  Raden Patah memiliki enam putra dari tiga istrinya: Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Surowiyoto, Pangeran Trenggono, Raden Kanduruwan, dan Raden Pamekas.

Sepeninggal Raden Patah, takhta diturunkan kepada Pangeran Sabrang Lor atau dikenal dengan Pati Unus. Penobatan ini tidak ada yang menentang. Semua berlancar mulus lantaran Pati Unus merupakan putra mahkota tertua dari istri pertama. Secara silsilah memang dia yang paling berhak menduduki tampuk kekuasaan. 

Api pertikaian mulai tersulut ketika Pati Unus mangkat atau wafat pada 1521 tanpa meninggalkan putra. Terjadilah perebutan takhta antara Pangeran Surowiyoto dan Pangeran Trenggono. 

Kedua belah pihak saling mengklaim paling berhak menjadi pemimpin kesultanan Demak. Pangeran Surowiyoto atau yang dikenal juga dengan Raden Kikin merasa berhak menggantikan Pangeran Sabrang Lor karena dialah yang berusia paling tua. Masalahnya, Raden Kikin adalah putra dari istri ketiga. Sementara Trenggono, walaupun usianya lebih muda, tetapi ia merupakan anak dari istri pertama Raden Patah. 

Perseteruan kedua putra raja dan para pendukungnya tersebut berlangsung sengit hingga menumpahkan darah. Raden Kikin tewas dibunuh oleh anak buah Sunan Prawoto yang tidak lain adalah putra sulung dari Trenggono. Mahkota pun jatuh ke Trenggono. Perebutan kekuasaan antara putra Jin Bun ini tercatat dalam kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong di Semarang dengan tarikh tahun 1521.

  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara
  • Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara

Sultan Trenggono tewas dalam perang Panarukan tahun 1546. Meninggalnya Sultan Trenggono ini membuka kesempatan Arya Penangsang, putra Raden Kikin untuk merebut takhta. Dalam buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia (2020) karya Binuko Amarseto, disebutkan Arya Penangsang memiliki dendam kesumat terhadap keluarga Sultan Trenggono, terutama Sutan Prawoto yang menjadi dalang terbunuhnya ayahanda. 

Arya Penangsang pun bersiasat mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa pada tahun 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto dan berhasil membunuhnya. Rangkud juga tewas terkena tusukan keris Sunan Prawoto. Tidak berhenti menyingkirkan Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang dianggap sebagai kandidat kuat Sultan Demak berikutnya.

Kematian Sultan Hadlirin membuat Ratu Kalinyamat sedih dan murka. Ia bersumpah akan bertapa hingga Arya Penangsang terbunuh. Untuk mengatasi kesedihannya, Ratu Kalinyamat membuatkan makam serta masjid di daerah Mantingan yang dipersembahkan untuk suaminya, Sultan Hadlirin. 


Referensi

Amarseto, B. (2020). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Istana Media.
Na’am, M. F. (2018). Pertemuan antara Hindu, Cina dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan Jepara. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten jepara.
Olthof, W. L. (2014). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Mantingan, Potret Akulturasi Budaya dan Agama di Jepara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-mantingan-potret-akulturasi-budaya-dan-agama-di-jepara/feed/ 0 42407
Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah https://telusuri.id/resto-sambat-luwe-nikmatnya-bersantap-di-tepi-sawah/ https://telusuri.id/resto-sambat-luwe-nikmatnya-bersantap-di-tepi-sawah/#respond Thu, 27 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42243 Mengusung slogan Culinary, Heritage & Agriculture, restoran Sambat Luwe hadir menawarkan alternatif wisata kuliner yang komplet dan menarik di kota Malang. Cocok untuk bersantai bersama keluarga maupun teman-teman di akhir pekan. Resto yang berlokasi di...

The post Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengusung slogan Culinary, Heritage & Agriculture, restoran Sambat Luwe hadir menawarkan alternatif wisata kuliner yang komplet dan menarik di kota Malang. Cocok untuk bersantai bersama keluarga maupun teman-teman di akhir pekan.

Resto yang berlokasi di kawasan Jalan Mayjen Sungkono, Kedungkandang, Kota Malang ini baru buka bulan April 2022 lalu. Namun, animo pengunjung tidak surut hingga sekarang. Apalagi saat akhir pekan, Sambat Luwe penuh dengan rombongan keluarga yang datang. 

Pengelola restoran ini adalah Prasetya Indra Wiratama, seorang pengusaha yang sudah lama berkecimpung di dunia kuliner. Sebelumnya, dia sukses membuka pujasera modern untuk keluarga di wilayah pusat kota Malang. 

“Sambat Luwe” dalam bahasa Jawa berarti mengeluh lapar. Ketika kesal mencari anaknya yang tidak kunjung pulang, para orang tua zaman dahulu sering mengucapkan kalimat “engko lak moleh-moleh dewe lek sambat luwe (nanti juga pulang-pulang sendiri, jika mengeluh lapar”.. Nah, resto yang dibangun di atas lahan seluas satu hektare ini merupakan persinggahan tepat ketika sambat luwe.

  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah
  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah

Resto Bernuansa Retro

Berada di restoran ini, pengunjung seakan diajak pulang kampung. Desain bangunannya ala rumah Jawa kuno milik seorang demang. Halamannya luas, di depannya terdapat kolam ikan. Sebuah bajaj terparkir di depan pintu menambah nuansa retro kian terasa. Bajaj berwarna biru itu ternyata bukan hanya pajangan untuk swafoto, melainkan bisa dikendarai juga. Pengunjung bisa merasakan asyiknya berkeliling di area resto naik bajaj.

Memasuki resto, ornamen kayu begitu mendominasi. Beragam perabotan antik yang berada di area kasir menarik perhatian, membawa angan ke masa lalu. Di kasir, pengunjung bisa memilih dan memesan menu terlebih dahulu, sebelum memutuskan ingin duduk di sebelah mana.

Jangan khawatir tidak kebagian tempat, karena di sini merupakan resto dengan konsep terbuka. Terdapat beberapa saung dan pendopo yang bisa dituju. Pengunjung bebas memilih tempat untuk menikmati santap lezat sambil menyaksikan bentangan sawah dan kebun tebu. 

Pemandangan asri nan hijau disertai angin sepoi-sepoi menambah nikmatnya makan bersama. Sambat Luwe Malang memang sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat bercengkerama dengan keluarga, sahabat, maupun pasangan.

Resto ini juga kerap menjadi lokasi pilihan untuk menggelar acara atau kegiatan besar. Seperti pernikahan, arisan, pertemuan kantor, dan lain sebagainya. Selain tempatnya luas dan mendukung, makanan yang disajikan pun sesuai dengan suasana dan kebutuhan beragam acara. Menggelar acara outdoor dengan pemandangan alam yang menyejukkan tentunya akan menghadirkan pengalaman yang berkesan dan akan terus terkenang. 

Wisata Kuliner sekaligus Edukasi Keluarga

Tidak sekadar menawarkan tongkrongan dan kuliner yang menyenangkan, Sambat Luwe juga cocok sebagai sarana edukasi. Di sini pengunjung bisa membawa anak-anak untuk belajar dan mengenal aktivitas agraris, seperti menanam padi di sawah, berkebun sayur di green house, dan memberi makan ikan di kolam.

Masih di area restoran, pengunjung dapat melihat peternakan domba dan marmot. Anak-anak bisa memberi makan dua satwa yang lucu itu di kandang. Tentunya ini akan menjadi kegiatan edukatif yang seru dan menyenangkan bagi mereka. 

Selain itu tersedia juga tempat bermain anak-anak, seperti ayunan yang membuat betah. Bagi penggemar fotografi, Sambat Luwe menyediakan lanskap dan sudut yang menarik untuk dipotret. Apalagi saat senja luruh, pemandangan semakin memukau dengan semburat warna yang dipancarkan sang surya sebelum kembali ke peraduan. 

  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah
  • Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah

Aneka Hidangan Penggugah Selera

Sesuai dengan konsep bangunannya, menu di Sambat Luwe didominasi hidangan tradisional Jawa. Harganya cukup variatif dan terjangkau, mulai dari harga Rp11.000 hingga Rp106.000. Menu andalannya antara lain djangan pedes tahu tempe cecek Rp23.000, lodeh tewel Rp20.000, nasi ayam goreng kremes Rp42.000, gurami bakar Rp82.000, dan gurame goreng Rp79.000. Sedangkan minuman tradisionalnya ada teh serai hangat Rp13.000 dan wedang jahe Rp11.000. 

Selain menu tradisional, tersedia juga masakan oriental, seperti fuyunghai, capcai, nasi goreng mandarin, bakmi, dan sebagainya. Tidak hanya makanan berat, Sambat Luwe menyajikan aneka jajanan macam limpang-limpung (varian pisang goreng), tempe menjes, tempe kacang, bakwan, dadar jagung, dan kentang goreng; yang cocok dijadikan sebagai camilan penutup.

Tentunya masih banyak lagi menu makanan dan minuman yang bisa kalian nikmati di Sambat Luwe. Terbaru, ada varian paket bebakaran dengan menu tradisional. Cukup membayar Rp45.000, kamu bisa menikmati keseruan nge-grill di tepi sawah. Isian grill-nya cukup variatif, yaitu ayam, bakso, cecek, jamur, dan lalapan. DItambah pelengkap berupa sambal matah, sambal kecap, sambal bawang, kremesan, dan serundeng lengkuas yang menambah nikmat. 

Agar tidak lama penasaran, coba langsung saja berkunjung ke restorannya. Sambat Luwe buka setiap hari. Pada Senin–Jumat buka mulai dari pukul 10.00 sampai dengan pukul 20.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu buka lebih awal, yaitu pukul 09.00.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resto Sambat Luwe, Nikmatnya Bersantap di Tepi Sawah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resto-sambat-luwe-nikmatnya-bersantap-di-tepi-sawah/feed/ 0 42243
Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa https://telusuri.id/pulau-paserang-mutiara-di-selat-alas-sumbawa/ https://telusuri.id/pulau-paserang-mutiara-di-selat-alas-sumbawa/#respond Fri, 01 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41270 Di musim kemarau, bukit di Pulau Paserang menjelma padang ilalang dan rerumputan berwarna kecokelatan. Pesonanya semakin berpendar dengan hamparan pasir putih dan birunya laut yang mengelilinginya. Selat Alas yang memisahkan  pulau Lombok dan Sumbawa memiliki...

The post Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Di musim kemarau, bukit di Pulau Paserang menjelma padang ilalang dan rerumputan berwarna kecokelatan. Pesonanya semakin berpendar dengan hamparan pasir putih dan birunya laut yang mengelilinginya.


Selat Alas yang memisahkan  pulau Lombok dan Sumbawa memiliki gugusan pulau yang dikenal dengan sebutan Gili Balu. Dalam bahasa Sumbawa, “gili” memiliki arti pulau dan “balu” artinya delapan. Terdapat Gili Paserang, Gili Kenawa, Gili Mandiki, Gili Kambing, GIli Belang, Gili Namo, Gili Ular, dan Gili Kalong. Dari delapan pulau yang tidak berpenghuni tersebut, baru dua pulau yang dikembangkan menjadi tempat wisata, yaitu Gili Paserang dan Gili Kenawa.

Saya sudah penasaran dengan Pulau Paserang sejak kawan di Lombok bercerita tentang pesonanya. Tanpa pikir panjang saya langsung setuju mengubah itinerary perjalanan dan ikut bersamanya menyeberang dari Lombok ke Sumbawa. 

Pagi-pagi, kami berangkat ke Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur dengan menggunakan mobil sewaan dari penginapan kami yang terletak di Kota Mataram. Selama berlibur di Lombok kami memang menyewa mobil untuk kemudahan transportasi. Tarif per harinya 200 ribu rupiah sudah termasuk sopir dan BBM. Namun, hari itu kami hanya membayar separuh harga karena hanya mengantarkan sampai pelabuhan saja. Kamu tidak harus menyewa kendaraan untuk menuju pelabuhan, karena saat ini sudah tersedia layanan angkutan DAMRI rute Mataram ke Pelabuhan Poto Tano di Sumbawa Barat. 

Jarak dari Mataram menuju Pelabuhan Kayangan sekitar 79 Kilometer. Setelah sekitar dua jam perjalanan akhirnya kami tiba di pelabuhan dan segera membeli tiket kapal. Harga tiketnya sebesar Rp18.800 per orang untuk penumpang dewasa. Kami pun masuk ke kapal feri yang sudah bersiap menuju Pelabuhan Poto Tano yang jaraknya 31 km.

Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa
Merapat di dermaga Pelabuhan Poto Tano/Laily Nihayati

Setelah semua penumpang masuk, kapal feri segera melaju membelah Selat Alas yang menghubungkan Pulau Lombok dan Sumbawa. Perjalanan laut menyuguhkan panorama alam yang membuat mata betah memandang. Jika sedang lelah dan hanya ingin berada di dalam kapal saja tidak perlu khawatir akan bosan, karena pengelola kapal menyediakan layar kaca yang memutar film-film Indonesia dan mancanegara.

Hiburan di dalam dan luar kapal membuat perjalanan berdurasi sekitar 1,5 jam tidak terasa menjemukan. Setibanya di Pelabuhan Poto Tano, kami langsung menuju kampung nelayan untuk menyewa perahu motor yang akan membawa keliling pulau-pulau di perairan Selat Alas. 

Perahu motor tersebut hanya beroperasi pada pukul 08.00 hingga 17.00 WITA. Harga sewanya berkisar antara Rp300.000—500.000 per perahu berkapasitas 8 atau 10 penumpang. Perahu ini akan mengantar dan menjemput ke Pulau Paserang dan pulau-pulau sekitarnya seharian. 

Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa
Perahu motor berlabuh di tepi pulau/Laily Nihayati

Menjelajahi Sabana di Kaki Bukit

Perjalanan laut menuju Paserang membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Dari kejauhan pulau ini sudah menarik hati. Bentuknya melingkar dan dikelilingi pasir putih. Begitu mendarat pesonanya makin kuat memikat. Padang sabana berupa rumput-rumput kering meranggas berwarna kecokelatan serupa jerami empuk. Kami jadi tidak sabar untuk menjelajahinya.

Setelah perahu merapat ke daratan, kami pun langsung mengeksplorasi pulau mungil yang hanya memiliki luas 47 hektare ini. Kami menyusuri jalan setapak. Di kanan kirinya berhias ilalang dan rumput kering memanjakan mata. Eksotisnya padang sabana ini membuat langkah kaki kami berkali-kali berhenti untuk mengabadikan pemandangan alamnya dengan kamera.

Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa
Bersiap mendaki bukit kecil Pulau Paserang yang ada di belakang saya/Laily Nihayati

Kemudian kami menuju bukit dengan tujuan mencari objek yang lebih menarik. Untuk mencapai puncak bukit, kami dimudahkan dengan adanya jalan setapak yang sudah dilapisi semen sehingga tidak perlu repot-repot. Namun, karena tidak ada tangga untuk pijakan dan pegangan, kami tetap harus berhati-hati dan menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terpeleset.  

Akhirnya setelah sedikit berjuang mendaki, sampailah kami di puncak bukit. Dari atas kami bisa melihat keseluruhan pulau 360 derajat. Di sebelah timur, tampak jelas Pulau Sumbawa dan gugusan pulau-pulau kecil yang mengitarinya. Di sebelah selatan, terdapat Pulau Belang dan Pulau Kalong. 

Memandang sisi Barat, kami langsung disuguhi panorama laut biru dan pantainya yang berpasir putih. Kontras dengan hamparan sabana yang mengering kecokelatan. Sungguh memanjakan netra. Di bagian barat pulau yang berdekatan dengan pantai juga dibangun pondok-pondok kayu atau cottage menambah keelokannya. 

Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa
Pondok-pondok yang selesai dibangun di Pulau Paserang/Laily Nihayati

Terlihat ada enam pondok dengan tipe yang berbeda. Tipe pertama atapnya setengah bertumpuk di bagian depan. Bahannya adalah sirap yang terbuat dari kayu. Bangunannya bercat warna kuning. Tipe pondok yang kedua berbentuk limasan dengan atap berupa sirap juga. Bangunannya didominasi oleh kayu polos tanpa dicat.

Pulau ini memang sedang bersolek untuk menarik hati wisatawan agar semakin betah dan kerap berkunjung. Demi mengembangkan potensi pariwisata Nusa Tenggara Barat, pemerintah setempat bekerja sama dengan PT Nusantara Oriental Permai (NOP) Perwakilan NTB untuk membangun sebuah resor bernama Paradise Resort dan Cottage. Resor ini rencananya akan berisi 350 cottage, termasuk 90 cottage di antaranya berkonsep water villa.

Menikmati Akuarium Raksasa Bawah Laut

Usai mengeksplorasi daratan Gili Paserang, kami bersiap menjelajahi pantainya yang tidak kalah cantik. Kami menyusuri pantai dengan bertelanjang kaki merasakan lembutnya pasir putih menyentuh kulit. Deretan pohon bakau meneduhkan sinar mentari mulai terik.

Mendekati bibir pantai, terlihat permukaan air laut yang begitu jernih. Kami bahkan bisa melihat dengan jelas terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang ke sana kemari memikat hati. Ah, jadi tidak sabar untuk masuk ke bawah laut yang pastinya lebih memesona daripada yang terlihat di permukaan. 

Segera kami keluarkan peralatan snorkeling yang kami pinjam dari teman yang tinggal di Lombok. Di pulau ini masih jarang tempat persewaan snorkel dan alat selam. 

Kami lalu mencari spot terbaik. Di bawah permukaan laut, kami langsung terpana melihat keindahan hamparan terumbu karang, ikan warna-warni, dan bintang laut.

  • Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa
  • Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa

Kami seperti berada di sebuah akuarium raksasa. Beragam biota laut unik ada di sini,  termasuk ikan pari manta (manta ray) polkadot. Kami beruntung bisa melihatnya melintas saat snorkeling. Pesona yang tersaji di bawah laut Paserang sungguh menakjubkan hingga tak terasa waktu berlalu. Baru ketika perut keroncongan, kami tersadar hari sudah beranjak siang. 

Setelah mengemasi peralatan snorkeling dan membersihkan tubuh, kami menuju warung untuk makan siang. Aneka hidangan laut yang ditawarkan menggugah selera. Saya memilih menu udang bakar dan sup kepiting yang segar. Ditambah segelas kelapa muda peluruh dahaga. 

Kami istirahat sejenak di pondok. Sore harinya kami kembali bermain di pantai dan memancing. Cukup banyak ikan yang berhasil kami tangkap. Ikan-ikan itu kami jadikan hidangan makan malam. Lezatnya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Paserang, Mutiara di Selat Alas Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-paserang-mutiara-di-selat-alas-sumbawa/feed/ 0 41270
Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon https://telusuri.id/petualangan-di-taman-nasional-ujung-kulon/ https://telusuri.id/petualangan-di-taman-nasional-ujung-kulon/#respond Fri, 23 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41217 Taman Nasional Ujung Kulon, yang tercatat sebagai situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada 1991, menawarkan ragam aktivitas jelajah alam yang komplet. Mulai dari berselancar, menyelam, snorkeling, trekking, hingga mengamati satwa dan berbagai jenis flora....

The post Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon appeared first on TelusuRI.

]]>
Taman Nasional Ujung Kulon, yang tercatat sebagai situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada 1991, menawarkan ragam aktivitas jelajah alam yang komplet. Mulai dari berselancar, menyelam, snorkeling, trekking, hingga mengamati satwa dan berbagai jenis flora.

Kawasan taman nasional tertua di Indonesia ini terletak di ujung barat daya Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Luasnya 120.551 hektar, yang mana 76.214 hektar di antaranya digunakan untuk konservasi flora dan fauna, lalu sisanya menjadi bagian dari laut sebagai konservasi kelautan. Wilayah Taman Nasional Ujung Kulon mencakup beberapa cagar alam, yaitu Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, Pulau Panaitan, Gunung Honje, dan Semenanjung Ujung Kulon.

Saya dan teman-teman berkesempatan mengunjungi dua pulau yang indah pada awal Oktober lalu. Kami berangkat dari Jakarta melalui rute Serang—Pandeglang—Labuan—Sumur. Waktu tempuh perjalanan dari Jakarta menuju Kecamatan Sumur kurang lebih tujuh jam.

Perjalanan darat berakhir di Desa Sumur. Setelah itu kami harus menggunakan moda transportasi kapal. Dari dermaga di Kecamatan Sumur ini, kami menyewa kapal nelayan yang menuju ke Pulau Handeuleum dan Peucang.

Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
Perahu nelayan mengantar wisatawan dari pesisir desa ke kapal motor yang berlabuh di tengah laut/Laily Nihayati

Ketika kami tiba di pantai, laut sedang pasang sehingga tidak memungkinkan untuk naik kapal dari bibir pantai. Kami terpaksa harus berjalan dulu ke tengah melewati air laut setinggi paha. Setelah semua penumpang naik, kapal jukung berisikan 15 orang pun melaju.

Kapal membelah lautan, angin berembus sepoi-sepoi, gugusan pulau dan birunya laut memanjakan netra. Sejam kemudian, kapal jukung nelayan berhenti. kami harus berganti kapal motor yang lebih tangguh menghadapi ombak yang deras dan angin kencang.

Perjalanan mengarungi lautan pun berlanjut. Sajian panorama indah menanti dieksplorasi. Kami berhenti di titik yang menawarkan panorama laut yang aduhai. Miniatur badak, ikon Taman Nasional Ujung Kulon terlihat di permukaan air laut yang jernih. Di sekelilingnya berhias terumbu karang buatan. Aneka warna ikan-ikan yang menawan membuat hati ingin segera menjelajahi keindahan bawah laut lebih dalam lagi.

Mengarungi Sungai Cigenter

Setelah ber-snorkeling kami kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Handeuleum. Pulau ini menarik karena dipenuhi mangrove. Dari informasi petugas Taman Nasional Ujung Kulon yang mendampingi kami, hutan mangrove yang berada di sekitar Pulau Handeleum didominasi oleh tiga jenis vegetasi mangrove, yaitu api-api (Avicennia), pidada (Sonneratia), dan bakau (Rhizophora).

Jenis-jenis bakau tersebut tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak laut. Namun, tanaman ini tidak hanya berfungsi menahan erosi saja, tetapi juga sebagai tempat berkembang biaknya ikan, kepiting, dan udang.

Menariknya lagi, di pulau ini kami bisa merasakan sensasi mengarungi Sungai Cigenter dengan menggunakan kano. Perahu kano yang terbuat dari kayu itu bisa mengangkut tujuh orang. Kami mendayung melewati hutan lebat tropis dan melihat berbagai tanaman dan hewan yang berada di kanan dan kiri tepi sungai.

Di bagian hilir banyak kami jumpai pohon dahon, mangrove, dan gebang. Semakin ke hulu semakin beragam dan didominasi oleh tanaman keras, seperti kiara dan langkap. Adapun fauna di kawasan ini banyak terdapat aneka jenis burung, biawak, babi hutan, badak, dan buaya—kerap disebut “penganten” oleh masyarakat Ujung Kulon.

Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
Menyusuri Sungai Cigenter/Laily Nihayati

Menuju Pulau Peucang

Hari beranjak siang. Kami kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Peucang, tempat menginap nanti. Kami menikmati perjalanan sambil menyantap makan siang yang sudah disiapkan. 

Perjalanan ke Pulau Peucang masih sekitar tiga jam. Kami mengisi jeda waktu dengan ngobrol, berfoto, dan menikmati suguhan panorama alam. Di kejauhan kami melihat Pulau Panaitan yang menjadi favorit para peselancar. Kami menyaksikan keseruan para peselancar bermain ombak. Panaitan dikenal memiliki ombak bagus yang sering disebut  kalangan para penikmat surfing sebagai “one palm point”.

Sore menyambut ketika kami tiba di Pulau Peucang. Perjalanan cukup melelahkan, tetapi terbayar kontan dengan keindahan yang tersaji di depan mata. Hamparan pasir putih yang lembut dan jernihnya air yang memperlihatkan ikan-ikan dengan beragam warna. Tak sabar rasanya untuk segera bermain-main di bersama mereka. Namun, kami menundanya terlebih dahulu. Tas dan barang harus segera diturunkan dari kapal.

Kami melangkah menuju dermaga. Dari kejauhan terlihat dinding ucapan “Selamat datang di Pulau Peucang”. Suasana damai dan tenang terasa sejak menjejakkan kaki di pulau mungil yang diteduhi pepohonan ini.

Pulau Peucang, yang mengambil nama dari hewan sejenis siput yang sering ditemukan di area pantai, memiliki luas 450 hektar. Terdapat aneka flora dan fauna yang kami temukan di sini. Saat menuju penginapan, kami bertemu dengan monyet-monyet berekor panjang yang asyik dengan makanannya. Kami tak perlu khawatir, karena mereka jinak dan tidak usil seperti kera-kera yang ada di Sangeh, Bali. Di sini juga ada rusa, kijang, merak, dan babi hutan.

  • Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
  • Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon
  • Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon

Berburu Sunset di Karang Copong

Usai istirahat sejenak di penginapan, kami bersiap memburu sunset di Karang Copong. Tempat ini merupakan bukit koral besar yang terletak di dekat pantai. Copong dalam bahasa Sunda berarti bolong atau berlubang. Nah, di tengah bukit koral itu terdapat lubang besar akibat abrasi air laut. Uniknya, bukit ini seolah terpisah dari pulau ketika laut sedang pasang. Namun, begitu air surut kami dapat menyeberanginya bahkan bisa naik ke puncak karang. 

Untuk mencapai Karang Copong kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam menembus hutan dari Pulau Peucang. Kami melewati pohon-pohon yang sudah langka, seperti merbau, bungur, palahlar, trembesi, cerlang, dan kiara atau beringin pencekik yang konon usianya sudah 100 tahun.

Setelah berjalan sekitar satu jam menembus hutan dan menyusuri pantai, kami menemukan tempat tersembunyi yang menyuguhkan pemandangan laut dan Karang Copong di atas bukit. Air lautnya berwarna biru jernih, membuat kami mampu memandangi kehidupan bawah laut tanpa harus menyelam. Di atas bukit karang yang tepat menghadap barat tersebut kami menikmati pesona sang surya meluruhkan sinarnya.

Langit mulai redup tanda kami harus kembali ke penginapan. Kami kembali menembus hutan dengan senter di tangan sebagai pemandu. Setelah mandi dan makan malam kami tertidur pulas.

Padang Rumput Cidaon, Habitat Banyak Satwa

Keesokan harinya kami bersiap pulang ke Jakarta. Dalam perjalanan kami akan menyambangi tempat-tempat menarik lainnya yang ada di area Taman Nasional Ujung Kulon. Destinasi pertama kami adalah padang rumput Cidaon. 

Padang rumput Cidaon merupakan habitat bagi banyak satwa liar, seperti banteng, merak, rusa, dan ayam hutan. Cidaon merupakan padang penggembalaan buatan untuk menunjang mata rantai kehidupan fauna di Ujung Kulon.

Biasanya satwa-satwa liar itu beraktivitas mulai pukul 06.00 hingga 07.30 WIB dan sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Untuk menuju ke tempat ini bisa menggunakan perahu dari Pulau Peucang dan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan. Selain jalur laut, Cidaon juga dapat ditempuh melalui jalur darat.

Dari Cidaon kami melanjutkan perjalanan ke Cibunar, padang sabana luas yang menjadi tempat makan banteng-banteng liar. Padang sabana ini hanya dibatasi oleh bongkahan batu karang yang besar dari laut. Ada juga muara sungai air tawar dan hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai.

Perjalanan pulang kami tempuh dengan berlayar kembali menuju daratan di Desa Sumur. Di sela-sela perjalanan, kami sempatkan berhenti untuk snorkeling jika menemukan lokasi yang bagus untuk melihat aneka biota di bawah laut. 

Kami tiba di Desa Sumur menjelang Asar. Kami pun menyempatkan diri untuk mandi dan berganti baju bersih. Bus yang akan mengantar kami ke Jakarta sudah siap di tempat.

Selamat tinggal, Ujung Kulon! Kenangan indah di sana akan selalu terpatri di hati kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Petualangan di Taman Nasional Ujung Kulon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/petualangan-di-taman-nasional-ujung-kulon/feed/ 0 41217