Perempuan Banyu https://telusuri.id/penulis/lucia-widi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Nov 2024 08:41:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Perempuan Banyu https://telusuri.id/penulis/lucia-widi/ 32 32 135956295 Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang https://telusuri.id/merentangkan-tangan-dalam-sekotak-makan-siang/ https://telusuri.id/merentangkan-tangan-dalam-sekotak-makan-siang/#comments Fri, 11 Oct 2024 05:55:02 +0000 https://telusuri.id/?p=42833 “Melihat perjuangan para pasien dan pendampingnya, mengingatkanku pada mendiang orang tua dan sahabatku. Ini adalah salah satu upayaku, merawat kenangan untuk mereka.” — Diena Utomo. Senin, 27 Mei 2024, pukul 11.00. Panas siang itu. Kemarau...

The post Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang appeared first on TelusuRI.

]]>

“Melihat perjuangan para pasien dan pendampingnya, mengingatkanku pada mendiang orang tua dan sahabatku. Ini adalah salah satu upayaku, merawat kenangan untuk mereka.”

— Diena Utomo.

Senin, 27 Mei 2024, pukul 11.00. Panas siang itu. Kemarau mulai masuk di Yogyakarta. Saya berdiri di samping meja satpam Gedung Instalasi Kanker Terpadu Tulip Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito. Ramainya melebihi sebelumnya musabab libur panjang akhir pekan lalu. Seorang teman, Diena, sudah terlebih dahulu datang. Ia menunggu teman lainnya dan sebuah sedan hitam yang dikendarai Pak Jono datang. Mobil sedan itu membawa hasil pengumpulan donasi uang, yang kemudian diwujudkan berupa kotak nasi. Wujud donasi ini akan dibagikan gratis kepada para pendamping pasien untuk makan siang.

Diena menceritakan kepada saya ihwal awal kegiatan yang digagasnya. Ia berkeluh kesah betapa sulitnya mencari dan mendapatkan makan, ketika harus menunggu ayah dan ibunya yang kala itu dirawat di rumah sakit. Bahan kerap tak makan karena tak sedetik pun ia bisa meninggalkan ayah dan ibunya. Pun pengalamannya merawat seorang sahabat yang juga tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Diena juga mendengarkan keluh kesah seorang teman lain, Eva, yang juga kesulitan mencari makan. Bayi yang baru saja dilahirkan mengalami gangguan kesehatan dan harus dirawat di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU), sementara Eva harus rutin memberikan ASI.

Ceritanya berlanjut. Upayanya merawat kenangan mendampingi orangtua dan sahabatnya—yang telah tiada— dengan mengajak teman lainnya, Nindya dan Sari, untuk turut serta. Mereka memilih Sardjito karena merupakan rumah sakit pusat yang menjadi rujukan daerah lain. Di RSUP Sardjito, mereka kemudian mendatangi bangunan masjid yang dirasa sesuai sebagai lokasi pembagian makan siang gratis. Namun, yang terjadi di lapangan berbeda. Selain jumlah kotak makan siang tidak sebanding dengan jumlah orang yang berada di masjid, yang kemudian menjadikan keadaannya tidak kondusif, pemilihan masjid sebagai titik pembagian donasi juga kurang tepat sasaran. Mereka merasa, para pendamping yang berada di masjid masih bisa meninggalkan kerabatnya yang dirawat di rumah sakit tersebut. Bukan berarti salah, melainkan mereka merasa ada yang lebih membutuhkan.

Mereka memutar otak lagi. Kembali berkeliling, memilah dan memilih pendamping pasien dari gedung mana yang dirasa benar-benar kesulitan mendapatkan makan. Letaknya jauh, sementara pasien atau antrean obat tidak bisa ditinggal.

Dan di sinilah, Gedung Instalasi Kanker Terpadu Tulip, saya dan Diena berdiri. Beruntun datang Nindya, Ian, Nanto dan Venty, lalu diakhiri Sari dengan membawa tiga boks air kemasan. Tak lama tampak sedan hitam yang dikendarai Pak Jono datang. Dari 30 Oktober 2023 sampai sekarang, kegiatan pada tiap Senin di Sardjito itu disebut dengan Peduli Caregiver. Sementara saya baru bergabung pada 4 Maret 2024. 

Kekuatan yang Tumbuh dari Keberanian

“Hari ini 400 kotak nasi, Mbak,” ucap Pak Jono ramah. Jumlah yang tak kalah banyak dengan pasien yang, menurut penuturan Mbak Yuli, satpam Instalasi Tulip, mencapai seribu orang dan biasanya datang bersama dua sampai tiga pendamping.

Dari meja satpam, kami membawa sebagian kotak nasi menuju boks kaca yang sudah disediakan di area ruang tunggu lantai 1 Gedung Tulip. Lalu kami memasukkan kotak-kotak nasi ke dalamnya. Melihat kami menyusun kotak nasi, orang-orang menyambut dengan berduyun menghampiri. Menanggapi keramaian, Nanto sigap mengatur orang-orang untuk mengantre dua baris ke belakang agar kerumunan tidak mengganggu lalu lintas. Ada yang menurut, tapi ada pula yang berusaha menerobos antrean.

“Jangan dorong-dorongan, ya, Bapak-Ibu. Kasihan yang di depan,” seru Nanto lantang mengingatkan.

Lepas antrean terurai habis, kami beranjak membawa sebagian kotak nasi dari lantai 1 menuju lantai 7. Berbeda dari sebelumnya, di lantai 7 kami berjalan menghampiri para pendamping yang sedang duduk menunggu untuk memberikan secara langsung kotak nasi.

“Kebetulan sekali saya lapar,” ucap seorang bapak dengan wajah semringah. Ia sedang mendampingi anaknya menjalani kemoterapi.

Kegiatan ini memerlukan keberanian. Saya membutuhkan waktu berpikir yang lama untuk berani bergabung. Mengikuti kegiatan yang disebut dengan #SenindiSardjito ini melalui akun media sosial Diena dengan diam, saya berusaha menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di kepala. Apakah saya punya waktu? Apakah saya bisa konsisten untuk hadir di tiap pekan? Dan apakah saya berani?

Saya kemudian menyadari, tidak ada waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali hari ini. Maka di suatu malam saya mengirim pesan singkat kepada Diena, memberi tahu bahwa saya ingin ikut ambil bagian. Syahdan, kalimat sederhana yang terlontar dari seorang bapak tadi, juga kalimat lain yang kerap saya dan teman lainnya dengar, menjadi kekuatan untuk terus berusaha agar kegiatan ini tetap berlangsung di tiap Senin.

Selesai di lantai yang khusus melayani kemoterapi anak, kami beranjak turun melalui tangga, menyisir tiap lantai, membagi-bagi secara langsung kotak nasi sampai habis. Tidak berhenti di situ. Di siang yang masih saja panas, dari ujung belakang kompleks RSUP Sardjito, kami melanjutkan kegiatan dengan berjalan kaki menuju Gedung NICU dan ICU yang berada di area depan.

Setiap makanan dan minuman yang hendak dibagikan harus melalui pengecekan dan perizinan dari Instalasi Gizi RSUP Sardjito/Peduli Caregiver

Donasi sesuai Kebutuhan agar Tepat Sasaran

Banyak pertanyaan yang kerap datang kepada kami perihal sumber dana. Melalui tulisan ini saya menjelaskan bahwa Peduli Caregiver adalah murni kegiatan kemanusiaan. Di tiap pekan, akun Instagram Peduli Caregiver membuka donasi berupa uang, buah, dan air mineral. Tim Peduli Caregiver juga menyambut teman-teman yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk ambil bagian dalam kegiatan ini di setiap Senin siang di RSUP Sardjito.

Target Peduli Caregiver memang hanya untuk para pendamping pasien sesuai dengan izin yang didapatkan dari Instalasi Gizi RSUP Sardjito. Sebab biasanya para pasien memiliki pantangan makanan khusus perihal penyakitnya. Namun, jika di lapangan ada pasien yang meminta kotak nasi, tim harus memastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada pantangan makanan apa pun. Tim Peduli Caregiver juga selalu menyetorkan dua kotak makanan yang dibagikan tiap minggu ke Instalasi Gizi sebagai pertanggungjawaban atas izin yang telah diperoleh.

Bagi saya, kegiatan ini menghadirkan kekuatan tersendiri. Saya bisa berdiri kuat di antara kesedihan yang melanda bapak yang mendampingi kemoterapi anaknya. Dan orang lainnya yang bernasib sama, yang duduk di tangga karena tidak kebagian tempat duduk di ruang tunggu hingga tertidur. Pun ibu yang menunggu dengan harap cemas anaknya yang baru saja dilahirkan untuk bisa ia bawa pulang.

Saya dan teman-teman melihat harapan. Kebahagiaan hadir dari kotak-kotak makan siang yang dibagikan. 

Semoga kegiatan baik ini berumur panjang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merentangkan-tangan-dalam-sekotak-makan-siang/feed/ 2 42833
Berumah di Kebun Buku https://telusuri.id/berumah-di-kebun-buku/ https://telusuri.id/berumah-di-kebun-buku/#respond Thu, 22 Sep 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35376 Si Hitam melaju tenang. Barangkali hanya 30 km/jam. Motor roda dua yang saya miliki itu memang tak bisa melaju lebih dari 60 km/jam. Maklum, sudah tua. Jika melebihi batas maksimum kecepatannya, rodanya akan goyang, seperti...

The post Berumah di Kebun Buku appeared first on TelusuRI.

]]>
Si Hitam melaju tenang. Barangkali hanya 30 km/jam. Motor roda dua yang saya miliki itu memang tak bisa melaju lebih dari 60 km/jam. Maklum, sudah tua. Jika melebihi batas maksimum kecepatannya, rodanya akan goyang, seperti kaki yang gemetar ketika turun gunung. Meski begitu, sejak 2004 ia setia menemani saya mengaspal. Kata montir yang kerap menyervis di bengkel langganan, mesinnya masih bagus dan bersih. Suatu kebanggan, bukan? Namun tulisan ini bukan tentangnya, melainkan sebuah rumah yang hendak saya tuju pada sore kali ini.

Papan petunjuk Kebun Buku/Perempuan Banyu

Rumah itu berada di selatan Kota Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Minggiran No. 61A. Rumah yang selalu menjadi tujuan jika saya hendak pergi entah ke mana; Kebun Buku.

Menyeberangi Jalan Mataram, melawati Pasar Beringharjo lalu menembus Malioboro, saya berhenti di simpang Nol Kilometer Yogyakarta. Melintasi Alun-alun Utara, saya berbelok sedikit ke timur untuk kemudian menuju Panembahan dan terus ke selatan hingga bertemu simpang Gading. Lepas lampu hijau menyala, motor masih saya lajukan ke selatan memasuki kawasan Mantrijeron, dan di suatu simpang tiga, saya berbelok ke barat. Belokan terakhir memasuki Kampung Minggiran. Matahari masih bungah pada jam lima sore yang sinarnya membuat silau. Saya pelankan laju dan mengulur jarak dengan kendaraan di depan. Takut kalau-kalau saya tidak melihat yang terlalu dekat. Namun keadaan itu tak bertahan lama, hingga akhirnya motor berhenti di suatu lahan di sisi utara jalan. Kebun Buku berada di seberangnya.

“Hai, Bestie,” teriak Ifah sembari melambaikan tangan ketika ia melihat saya hendak menyeberang jalan. Sambutan yang ramah dan akan selalu ramah.

Tampak Depan Kebun Buku
Tampak depan Kebun Buku/Perempuan Banyu

Memasuki gerbang hijau, Ariel tampak duduk menghadap laptop. Ifah dan Ariel adalah dua punggawa Kebun Buku. Ariel akan menjawab segala pertanyaan tentang buku dan Ifah yang menyeduhkan minuman untukmu sementara sore terus langsir menuju senja. Kali ini saya memesan cokelat panas dan memang demi minuman itu saya selalu datang. Juga untuk melanjutkan membaca buku Keberangkatan karya NH Dini koleksi Kebun Buku.

Di antara kepulan uap panas secangkir cokelat panas dan temaram lampu kuning, saya teringat memori pertama kali mengenal Kebun Buku.

Sore berdebu pada tarikh pertengahan 2020. Saya memasuki ruangan dengan pintu lipat abu-abu yang setengah tertutup. Kala itu saya bertemu janji dengan seorang teman lama. Ia mengirimkan peta lokasi di suatu pesan singkat sebelumnya yang kemudian mengarahkan saya ke tempat ini. Melihat tampak depan, saya merasa tak asing dengan rumah ini. Saya mencoba mengingat-ingat. Oh, ya. Tempat ini sempat dipakai oleh suatu kolektif seniman yang cukup senior di Yogyakarta; Ruang Mes 56.

Kursi Rotan
Kursi rotan/Perempuan Banyu

Memasuki ruangan yang penuh sarang laba-laba, seorang lelaki mempersilakan saya masuk yang kemudian dikenal dengan nama Jun. Saya duduk di suatu kursi sedan rotan yang menua. Meski begitu, tak berkurang kekuatan dan pula keindahannya. Sementara pasangan meja dan kursi lainnya, berdiam di beberapa titik.

“Ini tempat aku ngumpet,” ucap teman yang sudah dulu datang.

Saya menjawab dengan anggukan kepala yang lalu mengarahkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Lukisan-lukisan memenuhi dinding putih gading, sementara beberapa pottery terpajang di meja-meja. Lampu sorot tak menyala semua. Redup.

“Ini galeri, Mas? tanya saya ke Jun.

“Iya,” jawab Jun, “biasa buat pameran mahasiswa ISI.”

Awal ihwal tempat ini bernama Kebun Bibi. Pemiliknya seorang Belanda yang, barangkali mencintai Indonesia. Hans Knegtmans, biasa disapa Pak Hans. Tubuhnya ramping menjulang tinggi. Usianya telah menempuh separuh hidup. Namun jangan ragukan kaki jenjangnya itu berjalan serta tangannya bergemulai mencari yang entah apa.

Lepas pengalaman sebelumnya beberapa kali berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali, pada Oktober 2014 Pak Hans datang ke Yogya. Barangkali, kecintaannya pada seni dan budaya menjadi musabab tatkala ia injakkan kaki di Kota Budaya untuk melihat geliatnya. Pada Januari 2015, Pak Hans mendirikan Kebun Bibi yang diperuntukkan sebagai galeri ruang pajang karya untuk para seniman.

“Lalu, buku-bukunya dari mana?” tanya saya ke Jun mengenai koleksi buku yang tersusun rapi di rak-rak.

“Pak Hans sendiri yang cari,” jawabnya.

Jun melanjutkan cerita. Januari 2020 Kebun Bibi berubah menjadi Kebun Buku. Barangkali, ya, barangkali, ia ingin memperluas “rumahnya” itu menjadi tak sekadar ruang pamer. Juga karena belum tersedianya ruang-ruang yang menyediakan buku-buku impor di Yogya.

Tiap enam bulan Pak Hans berpindah tinggal antara Belanda dengan Indonesia. Di kampung halamannya, Pak Hans mencari buku-buku layak baca lalu mengirimkannya ke Indonesia. Lagi-lagi saya mafhum musabab koleksi buku-buku yang kebanyakan berbahasa Belanda, beberapa Inggris, dan sedikit Jerman.

Suasana di Kebun Buku
Suasana di Kebun Buku/Perempuan Banyu

Saya membayangkan fragmen film. Lelaki sedang berjalan, menyusuri kota tua dengan deretan bangunan yang tak kalah renta di Eropa. Angin berhembus kencang pada suatu musim dingin. Lelaki itu memasuki kios loakan lalu tangannya mulai menyelinap di tumpukan, mencari yang, orang banyak menyebut sebagai jendela dunia. Dikumpulkan buku-buku itu di rumahnya, disusun dalam dus-dus, lalu dikirimkan ke Indonesia. Buku-buku itu melanglang buana seperti kakinya yang telah hinggap dari Barat Jauh menuju Timur Jauh. Supaya bisa dibaca oleh mata-mata yang sebelumnya hanya mampu mendengar kisahnya samar-samar, seperti cerita Leo Tolstoy, Henry James, dan Shakespeare.

“Tapi lagi tutup karena pandemi,” ucap Jun.

Ah, kini saya tahu musabab tentang laba-laba yang bersarang di sudut-sudut.

Secangkir cokelat panas buatan Ifah telah menjadi hangat. Saya menyesapnya perlahan, menimbulkan bunyi decak. Bunyi yang kembali mengantar saya pada memori perayaan ulang tahun Kebun Buku ketujuh pada Januari 2022 lalu. Sahabat berdatangan memenuhi ruangan dengan lantai tegel tua berwarna abu-abu. Ada orang lama dan sisanya teman baru. Beberapa di antaranya mempersembahkan nyanyian sementara makanan dan minuman mengalir tanpa henti. Pun tawa renyah menghangatkan suasana. Pesta ulang tahun sederhana itu menjadi titik balik rumah ini kembali bergeliat lepas dua tahun redup.

Kebun Buku adalah Yogya Kecil. Sejak 2014 menetap di Yogya, saya telah dipertemukan dengan banyak hal; teman-teman baru, pengalaman baru, juga rasa yang baru. Orang memang datang dan pergi, tapi tak sedikit juga memilih menetap karena rasa atau energi yang sama. Kebun Buku juga mengingatkan saya pada masa kuliah, medio 2000an. Orang-orang yang telah memilih menetap di sebuah ruang kolektif, kemudian menjadikan kedatangannya tanpa alasan, yang secara organik akan membentuk lingkar pertemanannya sendiri. Seperti pulang ke rumah untuk bertemu dan menghabiskan waktu, atau sekadar membaca seraya menikmati seduhan dalam cangkir.

Klub Buku Yogya salah satunya. Komunitas ini, tiap minggu kedua dan keempat secara regular mengadakan diskusi buku. Tak melulu harus membaca buku terlebih dahulu yang akan didiskusikan, tapi sah-sah saja jika ingin datang hanya untuk mendengarkan. Tidak akan ada penghakiman. Anggap saja seperti berbincang sederhana.

“Basis komunitasnya kuat banget,” ucap Erni, seorang yang saya kenal di Kebun Buku ketika kami bertemu di suatu lawatannya ke Yogya.

“Di Yogya enggak ada kompetisi, tapi kolaborasi,” Byan, teman lain yang saya kenal ketika pesta ulang tahun Kebun Buku lalu, menyambung.

“Yogya itu kecil,” kali ini saya menyahut, “orangnya, ya, itu-itu aja. Kalau komunitasnya enggak solid, kegiatan seni dan budayanya bakal bubar jalan.”

Deretan buku-buku
Deretan buku-buku/Perempuan Banyu

Sampai catatan ini saya buat, tak terhitung telah seberapa panjang deretan perbincangan yang terjadi di Kebun Buku. Terbersit harapan, semoga terus memanjang. Singgahlah jika ada kesempatan. Karena inilah Yogya sesungguhnya, jujur dan sederhana. Sudut-sudutnya adalah rumah, yang selalu memanggil untuk datang lagi dan lagi. Yang tak akan penghakiman jika kita berjalan sendiri dan yang tak harus ada alasan hanya untuk bertemu di beranda rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berumah di Kebun Buku appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berumah-di-kebun-buku/feed/ 0 35376
Minggir ke Omah Minggir https://telusuri.id/minggir-ke-omah-minggir/ https://telusuri.id/minggir-ke-omah-minggir/#respond Tue, 09 Mar 2021 12:30:42 +0000 https://telusuri.id/?p=27319 Sebagai seseorang yang tinggal di pusat kota, kadangkala perlu sejenak menepi untuk mencari udara yang lebih luas. Terlebih setahun ini, kita dipaksa untuk sebanyak mungkin berada di rumah dan berkutat di dalam dinding-dinding yang dingin....

The post Minggir ke Omah Minggir appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seseorang yang tinggal di pusat kota, kadangkala perlu sejenak menepi untuk mencari udara yang lebih luas. Terlebih setahun ini, kita dipaksa untuk sebanyak mungkin berada di rumah dan berkutat di dalam dinding-dinding yang dingin. Keluar hanya untuk mencari makan. Benar-benar dibuat bak tikus, seperti tahun Tikus Logam yang baru saja lewat.

Satu hari menjelang pergantian tahun dalam perhitungan kalendar Cina, saya dan seorang teman, Bulan, melakukan perjalanan 20 kilometer meninggalkan pusat Kota Yogyakarta. Cukup jauh jika dilihat dari parameter jauh-dekatnya Yogyakarta. 45 menit perjalanan tercatat pada Google Maps.

Kami akan mengunjungi sebuah warung kopi yang terletak di daerah Minggir, kecamatan paling barat Sleman sebelum melintasi Sungai Progo. Tampak langit berwarna kelabu. Sedikit khawatir akan turun hujan. Maklum, menjelang Imlek. Musim pun belum berganti dan masih di penghujan.

Dari pusat Yogyakarta, kami melaju dengan sepeda motor menuju arah Godean. 15 kilometer dari titik keberangkatan, kami sampai di Perempatan Moyudan lalu berbelok arah ke utara, menuju Minggir.

Jajaran ruko di sepanjang Jalan Godean berganti dengan hamparan hijau sawah dengan Bukit Menoreh sebagai batasnya. Matahari yang semula malu-malu, kini keluar menampakkan diri. Awan yang semula semu kelabu, diterbangkan oleh angin yang berembus lebih kencang dari sebelumnya, menyisakan biru lazuardi pada langit.

Pada sisi timur, Saluran Van der Wijck mengalir sejajar dengan jalan raya dari utara ke selatan, dari Sungai Progo sebagai hulu menuju hilir di Sedayu. Bok Renteng, begitu kanal itu biasa disebut, dibangun oleh Pemerintah Hindia-Belanda sebagai saluran irigasi untuk perkebunan tebu pada masa Sri Sultan HB VIII.

Lepas lima kilometer dari perempatan yang lalu, kami berbelok ke arah barat memasuki gapura Dusun Ngaranan. Tak jauh dari gapura, kami akhirnya tiba di tujuan; Omah Minggir.

Omah Minggir Jogja
Pintu masuk Omah Minggir/Perempuan Banyu

Pilihan yang tepat, pikir saya ketika memasuki pagar bambu Omah Minggir. Tampak bangunan rumah beratap limasan dengan dinding batu bata merah beserta jendela-jendela krepyak lawasan. Rumah kampung tanpa banyak polesan akhir. Ia apa adanya. Berbagai macam tumbuhan menghijaukan pekarangan. Beberapa di antaranya, merambat pada dinding rumah. Berada di posisi hook, Omah Minggir mendapatkan pemandangan yang lebih luas dari lainnya.

“Monggo, Mbak,” sapa ramah seorang bapak penjaga Omah Minggir.

Lepas bercakap sebentar dengan bapak yang menyambut, saya dan Bulan memasuki area utama yang berada di tengah. Sebuah bangunan joglo berukuran 10 kali 10 meter persegi dengan lantai tegel. Beberapa set meja dan kursi yang juga lawasan, memenuhi rumah joglo. Sepertinya rumah ini dirancang untuk menciptakan nuansa tua. Meski tua, rumah ini tidak renta. 

Di sisi utara, pintu gebyok tanpa ukiran berdiri sebagai pintu masuk menuju area penginapan. Oiya, selain sebagai warung kopi dan makanan, Omah Minggir juga memiliki homestay. Suara gemericik air dari kolam ikan menyambut kedatangan kami menapakkan kaki di rumah joglo.

Seorang bapak lain keluar dari dapur, juga menyambut, mempersilakan kami untuk berkeliling Omah Minggir.

“Di atas juga bisa,” sapanya ramah.

Omah Minggir Jogja
Lantai dua Omah MInggir/Perempuan Banyu

Maka, kami pun bergerak menuju lantai dua Omah Minggir melalui tangga kayu lawas di samping dapur. Menuju sebuah ruangan berdinding gebyok dan kayu-kayu lain yang tak kalah tua disangga oleh kejujuran kolom dan balok beton tanpa polesan. Di sudut, perabot lawasan mempercantik ruangan. Di sisi lain ruangan, satu rak berisi buku dan majalah sepertinya sengaja diletakkan agar tamu berkunjung terasa betah untuk membaca buku membuang waktu. Dan kursi-kursi sedan itu, berjajar menghadap jendela dengan pemandangan hamparan sawah. Amboi!

Lepas berkeliling, kami kembali menuju rumah joglo. Memilih duduk di set meja dan kursi tengah yang menghadap satu pintu gebyok di sisi selatan. Kolam ikan yang berada di sisi barat menyambung menuju sisi selatan rumah joglo, dirancang seperti sebuah sungai yang berisi ikan-ikan cethul kecil-kecil.

Saya jadi teringat masa kecil yang kerap mencari ikan cethul di Sungai Code. Biasanya, ikan hasil tangkapan itu akan digoreng kering oleh simbah saya. Rasanya gurih, nikmat sekali menjadi lauk nasi yang baru saja tanak.

Sayang, menu ikan cethul atau badar atau awan dikenal sebagai wader ini sedang tidak tersedia. Ikan belum bisa dipanen karena masih kecil-kecil. Alhasil, kami memesan iwak kali yang dimasak presto, lengkap dengan lalapan dan sambal mentah. Bulan memesan mendoan dan cocktail sebagai menu sampingan, sementara saya memesan singkong goreng dan kopi panas yang diseduh dengan vietnam drip.

Warung sepi. Hanya ada empat tamu termasuk saya dan Bulan. Beberapa waktu kemudian, datang dua orang lain. Suasana hening, tanpa ada deru bising.

Di dalam rumah joglo, duduk menghadap pintu gebyok dan kolam ikan, seperti sedang berada di beranda rumah kakek-nenek di desa. Semilir angin yang masuk tanpa sungkan membuat segala indra terasa rileks. Menu yang disediakan pun merupakan masakan rumahan dengan olahan iwak kali menjadi andalan.

Tak ada batas antara tuan rumah dan tamu, beserta lingkungan sekitar. Sesekali juga saya menganggukkan kepada warga yang kebetulan lewat dan memandang ke arah kami, atau menyahut sapaan anak-anak kecil yang baru saja bermain di sungai. Saya dan Bulan bercakap sederhana seperti bersenda gurau di beranda rumah. Barangkali memang itu yang ingin disuguhkan oleh si pemilik, agar para tamu merasa seperti berada di rumah sendiri, atau seperti berlibur ke rumah kakek-nenek di desa.

Sepertinya hidup di lingkungan pedesaan, rumah kampung dengan bentangan alam yang lebih luas dari lainnya adalah impian manusia kota seperti saya. Suara gemericik air, kecipak bebek-bebek di sawah, senyum ramah manusia lain adalah obat dari hingar bingarnya suara kota.

Tak terasa sudah menjelang sore. Saya dan Bulan harus beranjak meninggalkan Omah Minggir untuk kembali pulang. Saya sendiri sebenarnya masih ingin berlama-lama, memesan lagi segelas kopi untuk menghabiskan sore, tapi sepertinya kesempatan itu sedang tidak berpihak, mungkin lain kali saya harus kembali.

Bagi saya, minggir kali ini cukup menyenangkan. Tempat yang tenang dengan makanan yang sederhana berhasil menghangatkan syaraf-syaraf yang kusut dan dingin oleh dinding-dinding tembok rumah.

The post Minggir ke Omah Minggir appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/minggir-ke-omah-minggir/feed/ 0 27319
Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu https://telusuri.id/halili-dan-topi-nunu/ https://telusuri.id/halili-dan-topi-nunu/#respond Wed, 24 Feb 2021 09:30:26 +0000 https://telusuri.id/?p=27203 Di Tanah Celebes, pohon nunu tumbuh di hutan-hutan. Tubuh besarnya mampu menaungi apapun yang ada di bawahnya. Sementara akarnya mampu mengikat tanah. Konon katanya, pohon nunu didiami setan-setan. Maka, tiada orang yang berani menebang. Pada...

The post Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Tanah Celebes, pohon nunu tumbuh di hutan-hutan. Tubuh besarnya mampu menaungi apapun yang ada di bawahnya. Sementara akarnya mampu mengikat tanah. Konon katanya, pohon nunu didiami setan-setan. Maka, tiada orang yang berani menebang.

Pada zaman prasejarah, ketika serat sintesis belum tercipta, manusia menggunakan pakaian yang terbuat dari alam. Di Sulawesi Tengah, ada karya nusantara yang dibuat dengan tekun oleh para perempuan. Ina Tobani, ditemani Hasna, menceritakan salah satunya kepada saya, tentang Halili dan Topi Nunu, pakaian tradisional dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, yang terbuat dari kulit kayu.

“Dari zaman kita punya orang tua, hanya membuat Halili dan Topi Nunu dari pohon nunu dan tea. Nunu itu artinya beringin. Jadi pohon nunu itu beringin dan tea itu mirip seperti pohon sukun,” ucap Hasna.

Proses Pembuatan Halili dan Topi Nunu

Ina Tobani menceritakan proses panjang pembuatan Halili dan Topi Nunu kepada saya di Rabu siang. 

Lepas musim tanam padi, kulit nunu dipanen pada pertengahan bulan muda, ketika daun pohon nunu sudah tampak mengkilat. Namun jangan sampai terlalu hitam, karena kulit kayu sudah tebal dan keras sehingga sulit untuk dikupas. 

Bagian yang diambil adalah yang berada di antara tulang dalam pohon dan kulit luar. Sementara batang pohon yang dipangkas adalah bagian cabang atau ranting pohon nunu.

Halili dan Topi Nunu
Proses pembuatan Halili dan Topi Nunu/Diyah Deviyanti

“Kami tidak menebang pohon. Hanya mengambil cabang atau rantingnya saja,” Hasna menjelaskan.

Kulit nunu yang sudah berhasil dikupas, lalu dicuci, dan kemudian direbus untuk menghilangkan getah dan kotoran yang menempel. Lepas bersih, kulit kayu dibungkus dengan tanaman belukar bernama daun lebonu, lalu diperam dalam bakul selama tiga malam.

Keesokan paginya, peralatan lain disiapkan. Pembuatan kain kulit nunu memasuki proses selanjutnya; penghalusan kulit nunu dengan cara dipukul-pukul. Dua buah balok kayu diletakkan dengan jarak tertentu di atas ambin di pekarangan. Kayu itu bernama pola

Selembar kayu lain yang lebih lebar dan panjang, tatua, diletakkan di atas kedua pola, sebagai landasan  untuk meletakkan kulit nunu yang akan dipukul. Sebuah kayu panjang dari pelepah enau yang disebut pala berfungsi sebagai alat pemukul.

“Dipukul sampai hancur, sampai dia menjadi lunak, tiada lagi bajari-jari, lalu dipukul lagi deng batu banama ike,” ucap Ina Tobani dengan logat Melayu yang kental.

Tak hanya satu, ada beberapa jenis batu ike yang dipakai untuk menghaluskan kulit kayu. Penghalusan pertama menggunakan batu ike tinahi, merupakan batu ike terbesar yang berfungsi untuk memanjangkan kulit nunu. Dilanjutkan dengan batu ike tiwa yang berfungsi memanjangkan kulit nunu, lalu batu ike pogea untuk melebarkan kulit nunu, dan penghalusan kulit nunu berakhir dengan menggunakan batu ike popapu yang bergerigi besar dan kasar pada bagian belakang sementara sisi lainnya berukuran lebih kecil.

Ina Tobani, perempuan yang sudah membuat kain kulit nunu sejak tahun 1957 itu terus bercerita. Kulit nunu kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. 

Lepas mengering, kulit nunu kemudian diawetkan menggunakan pengawet alami dari pohon ula. Pengawetan ini dimaksudkan untuk menguatkan kulit kayu agar tidak sobek. Pohon yang, semacam buah manggis ini, juga digunakan sebagai pewarna alami untuk menghasilkan warna merah.

Setelah halus seperti kain, kulit nunu kemudian dibersihkan dengan cara direndam ke dalam air, diperas, lalu dijemur hingga kering. Lepas semua usai, barulah kulit nunu dibentuk sesuai dengan pakaian yang ingin dibuat.

“Semua bahan kami ambil dari alam. Pewarna hitam dari lumpur, dan ada kulit kayu tertentu yang menghasilkan warna merah. Kalaupun ingin menggunakan aksesoris, manik-manik dari alam saja. Ada pohon-pohon yang kecil di hutan.” ucap Hasna.

Alam adalah Ibu

  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu

Adat istiadat dan budaya nusantara memang selalu berjalan sejajar dengan kelestarian alam. Hidup dalam satu bentangan alam tertentu, membuat masyarakat memiliki filosofi hidup “alam adalah ibu”. Bahwa alam harus dijaga agar terus lestari sampai ke anak-cucu. Mereka mengambil seperlunya, tidak berlebihan, karena menyadari, jika alam rusak, mereka pun akan kehilangan rumah dan segala kebutuhan hidupnya.

Pun yang terjadi pada pembuatan Halili dan Topi Nunu. Tidak ada pohon yang ditebang, tidak ada alam yang rusak. Mereka hanya mengambil ranting-ranting pohon nunu, selain sebagai upaya untuk meremajakan pohon itu sendiri.

“Beringin ini ‘kan perakarannya kuat. Karena kami di pegunungan, daerah-daerah di kemiringan, keberadaan pohon nunu untuk menahan erosi agar tidak longsor,” ucap Hasna.

Ada cerita menarik yang terlontar dari Hasna ketika saya bertanya mengenai mitologi pohon nunu yang, barangkali, dipercaya oleh warga Kulawi. Ia menceritakan bahwa pohon nunu ditakuti oleh warga. Mereka memercayai bahwa pohon nunu dihuni oleh setan-setan.

“Mungkin orang tua kami dulu menciptakan mitos bahwa pohon itu banyak setan agar orang tidak menebang.”

Simbol untuk Konservasi

  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu

Di Pulau Jawa, tempat tinggal saya sekarang, pohon beringin juga dipercaya sebagai pohon yang dianggap mistis karena dihuni oleh roh-roh nenek moyang. Di Yogyakarta, pohon beringin memiliki perannya sendiri bagi Kesultanan Yogyakarta. Pohon besar dan rimbun itu dianggap sebagai simbol pengayoman seorang raja untuk rakyatnya. 

Dua pohon beringin yang dipagari berdiri tegak di tengah Alun-alun Utara dan Selatan Yogyakarta. Ringin kurung, begitu masyarakat menyebutnya, dipercaya sebagai gerbang muka dan belakang Keraton Yogyakarta yang dilalui sumbu imajiner antara gunung di utara dan pantai di selatan. Tak heran, masyarakat Yogyakarta memercayai pohon beringin sebagai pohon pusaka.

Saya jadi tergelitik, barangkali sama dengan yang terjadi di pohon nunu, orang Jawa zaman dulu membuat mitos bahwa pohon beringin itu adalah pohon pusaka agar tidak sembarang ditebang. Tidak ada yang tahu pasti.

Pada zaman ketika peradaban kain belum masuk ke nusantara, Halili dan Topi Nunu ini merupakan pakaian sehari-hari, tidak ada yang istimewa. Namun, kini telah bergeser. Pakaian dari kulit nunu itu memiliki peran khusus dalam adat istiadat.

“Kalau sekarang naik derajat menjadi pakaian adat yang digunakan dalam upacara-upacara adat seperti menari dan menerima tamu,” jelas Hasna.

Saya berpendapat, dengan keanekaragam kekayaan alam ini, yang juga sejalan dengan filosofi ibu bumi, membuat nusantara memiliki komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu yang juga sangat beragam. 

Selain kain kulit nunu, Hutan Itu Indonesia mencatat dalam hutanitu.id/pesonahutan, tanaman hutan berupa pandan, nipah, bambu, dan rotan memungkinkan untuk diolah menjadi suatu barang yang memiliki nilai jual lebih seperti kain tenun, anyaman, tikar, bahkan sebatas pewarna alami.

Sepi Penerus

Halili dan Topi Nunu

Meski begitu, ada kegundahan yang menderu di benak Hasna. Ia mengkhawatirkan tentang daerah lain yang tidak meneruskan tradisi pembuatan kain kulit ini kepada generasi muda, mengingat pembuatan Halili dan Topi Nunu yang memiliki proses rumit dan panjang.

“Ini soal kepedulian dan minat orang,” ucapnya lantang. Di Pulau Sulawesi, kekayaan Nusantara ini hanya terdapat di Kabupaten Sigi dan Poso. Di Sigi sendiri ada di Kecamatan Kulawi, Lindu, Tipikoro, dan Kulawi Selatan. Sementara di Poso, terdapat di Bada dan Besoa. 

“Di pulau ini tinggal satu-dua tersisa orang seperti Ina Tobani ini yang mau melanjutkan,” Hasna meneruskan keluh kesahnya.

“Bagaimana dengan dukungan pemerintah daerah?” tanya saya kemudian.

Hasna menjawab, “Dukungan pemerintah daerah hanya sebatas membantu dalam hal dokumentasi dan promosi. Belum sampai pada aturan atau himbauan.”

Lagi-lagi, ini masalah yang sudah lumrah terjadi di Indonesia. Tidak maksimalnya dukungan pemerintah membuat banyak karya anak bangsa yang luntur satu demi satu, menghilang dari ingatan. Ditambah dengan kurangnya minat generasi muda untuk meneruskan tradisi nenek moyang. Mereka lebih memilih pergi ke kota-kota besar, bekerja menjadi pegawai, lupa pada akar rumput. Hingga akhirnya tersadar, bahwa sudah tiada lagi pohon nunu dan hijau hutan meranggas menjadi abu-abu kerasnya bangunan.

Jangan sampai.


Artikel ini merupakan kolaborasi TelusuRI dengan Hutan Itu Indonesia.

The post Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/halili-dan-topi-nunu/feed/ 0 27203
Kopi dan Dongeng Bukit Turgo https://telusuri.id/kopi-dan-bukit-turgo/ https://telusuri.id/kopi-dan-bukit-turgo/#respond Sun, 17 Jan 2021 09:41:34 +0000 https://telusuri.id/?p=26408 Bukit Turgo memiliki tempat istimewa di hati saya. Bagaimana tidak? Tempat ini menjadi sumber inspirasi untuk saya menuliskan novel pertama. Di tempat yang sunyi dan udara sejuk pegunungan dengan halimun yang keluar lebih kerap dari...

The post Kopi dan Dongeng Bukit Turgo appeared first on TelusuRI.

]]>
Bukit Turgo memiliki tempat istimewa di hati saya. Bagaimana tidak? Tempat ini menjadi sumber inspirasi untuk saya menuliskan novel pertama. Di tempat yang sunyi dan udara sejuk pegunungan dengan halimun yang keluar lebih kerap dari lainnya ini pula yang menjadi pintu bagi saya mengenal Gunung Merapi.

Segelas kopi turgo telah tersaji. Sebuah warung kopi sederhana, Gubuk Jo’atmo berdiri di tengah pemukiman yang sunyi, di antara hutan pohon bambu, dadap, dan kopi Dusun Turgo, di batas utara Yogyakarta sebelum memasuki Taman Nasional Gunung Merapi. Pemiliknya adalah sepasang suami istri yang juga petani kopi, Pak Musimin dan Bu Rosinah. Di sebuah Sabtu siang, saya mampir sejenak lepas melakukan trekking ringan ke Bukit Turgo.

Dusun Turgo

Dusun Turgo/Perempuan Banyu

Cerita tentang kopi Bukit Turgo

“Sejak zaman Belanda, Mbak,” jawab Bu Rosinah ketika saya bertanya tentang keberadaan tanaman kopi di Dusun Turgo.

Perbincangan hangat di tengah udara Turgo yang sejuk kemudian terjadi. Tanaman kopi sudah ada sejak Johannes van den Bosch mencetuskan tanam paksa di nusantara, terutama di tanah Jawa. Lemahnya pengetahuan tentang pengolahan kopi, para petani khususnya di Turgo hanya memanen ceri dan menjualnya pada tengkulak. Belum lagi, kawasan Turgo sempat dihantam awan panas Gunung Merapi pada tahun 1994.

Wedhus gembel itu sebenarnya menghantam punggung Bukit Plawangan yang berada di sisi timur, kemudian memantul dan mengarah ke Turgo. Tragedi yang berhasil meluluhlantakkan Turgo. Pun mengubah cara pandang masyarakat yang memercayai bahwa Bukit Turgo yang usianya lebih tua itu akan melindungi mereka dari ancaman Merapi. Bahwa gunung yang dihuni oleh arwah dua empu sakti pembuat pusaka, Rama dan Permadi, tak akan berani kepada bukit yang dianggap sebagai ibu yang telah setia memangku siang dan malam.

Namun Gunung Merapi punya rumusnya sendiri. Ia layaknya tuan rumah yang bebas melakukan apa saja. Sementara kita, manusia hanyalah tamu. Meski begitu, Merapi tidak pernah ingkar janji. Ia selalu memberikan tanda-tanda jika hendak punya hajat, yang bisa dibaca melalui ilmu pengetahuan dan teknologi maupun mitologi.

Kopi Turgo

Kopi Turgo/Perempuan Banyu

Peristiwa meletusnya sebuah gunung dipercaya bukan sebagai bencana, melainkan merupakan proses alam yang memang seharusnya terjadi, membuktikan bahwa alam itu hidup. Lepas semuanya usai, tanah akan menjadi subur oleh unsur hara yang dihasilkan dari aktivitas vulkanik tersebut. Hal itu bisa dilihat dari kehidupan masyarakat di suatu lereng gunung yang hidup berdampingan dengan alamnya. Mereka percaya, bahwa gunungnya itu akan selalu memberikan keberkahan jika tidak serakah.

Kopi tersisa setengah. Masih di Gubuk Jo’atmo. Cerita tentang kopi berlanjut. Pak Musimin mengaku hanya memiliki tanaman kopi robusta. Sementara untuk arabika, beliau harus mendapatkannya dari kebun lain yang berada di ketinggian yang lebih tinggi. Pak Musimim juga sempat mengajak saya memasuki dome tempat ia menjemur biji kopi yang berada di samping rumahnya.

“Untuk roasting saja yang belum bisa saya lakukan sendiri karena belum punya alatnya,” akunya sekali lagi.

Pak Musimin mengaku, awalnya ia tidak begitu menaruh perhatian kepada tanaman kopi di dusunnya itu. Sisa-sisa batang tanaman kopi yang selamat dari awan panas yang lalu, ia ubah menjadi rumah untuk tanaman anggrek miliknya. Lepas seorang dosen salah satu universitas swasta di Yogyakarta melakukan riset tentang tanaman anggrek, melihat bahwa kopi turgo memiliki potensi untuk dikembangkan, barulah Pak Musimin mulai belajar mengolah kopi.

Rumah Anggrek

Rumah Anggrek/Perempuan Banyu

Seturut waktu, ia pun kemudian berani membeli ceri kopi dari warga sekitar dengan harga lebih tinggi dari tengkulak lalu mengolahnya sehingga menjadi bubuk siap saji yang bernilai jual tinggi. Usahanya itu pula yang kini membuat kopi turgo ikut bergeliat.

“Sekarang bisa buka (warung) setiap hari, Mbak,” jawab Bu Rosinah ketika saya bertanya tentang kepindahan warung yang semula di pinggir jalan dusun menuju samping rumahnya.

Sebelum berpindah tempat menjadi satu bersama rumah anggrek milik Pak Musimin di depan rumah, warung kopi ini bernama Kedai Kopi Alam Merapi, yang hanya buka di tiap hari Sabtu dan Minggu saja. Selain kopi, warung ini juga menyediakan teh dari kulit biji kopi atau dikenal dengan kaskara serta beberapa kudapan seperti pisang dan tahu goreng.

Untuk menuju Dusun Turgo sendiri, memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota Yogyakarta. Dari Tugu Golong Gilig, terus melaju ke arah utara, mengikuti alur Jalan Monjali. Lepas melewati jalanan dengan hutan bambu di kanan dan kiri, suasana Yogyakarta yang semula ramai, berubah menjadi sepi dengan kabut yang datang lebih kerap dari lainnya, hingga akhirnya memasuki Dusun Turgo.

Pendakian ke Bukit Turgo

Pendakian Bukit Turgo juga memakan waktu yang sama. Dimulai dengan memasuki hutan bambu yang masih sedikit terbuka, jalan setapak berlanjut dengan tangga batu di kelokan pertama hingga kemudian benar-benar berada di dalam hutan yang pekat.

Meski tidak terlalu tinggi, saya tidak pernah sekalipun meremehkan alam liar. Pendakian bukit yang memiliki ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut ini, tidak bisa dikatakan mudah. Hutan yang tertutup, jalur yang sepi, ditambah di beberapa lokasi, harus melewati tangga batu yang curam, berpegangan pada tali tambang, dengan jurang Sungai Boyong di sebelah kanan. Belum lagi suasana yang cukup membuat bulu di sekujur tubuh meremang dan bau tanah yang sangat lembab dan dingin, serta aroma dupa yang cukup santer tercium ketika berada di Gua Jepang. Puncak bukit pun banyak berupa area terbuka yang tak terlalu luas dengan satu bangunan makam berlapis keramik merah muda.

Merapi dari Puncak Bukit Turgo

Merapi dari Puncak Bukit Turgo/Perempuan Banyu

Menurut penuturan seorang pemuda yang saya jumpai di puncak Bukit Turgo, ketika kami bersama-sama istirahat di suatu sudut rimbun, sebenarnya masih ada area terbuka di ujung bukit, tapi jalur menuju ke tempat itu berupa rumput liar yang tinggi, yang kalau diinjak, rumput itu cepat kembali berdiri. Menutup jejak sehingga banyak orang yang tersesat.

Namun yang pasti, di puncak Bukit Turgo itu pulalah saya bisa melihat puncak Gunung Merapi paling dekat dari sebelumnya. Memang, alam liar selalu punya rahasia. Ia punya rumusnya sendiri. Manusia hanya perlu membaca dan mempelajari agar geliatnya tak hanya membuat merenung, tapi juga tersenyum.

Sementara, Dusun Turgo pada zaman dulu adalah hutan belantara. Letaknya yang diapit dua sungai yang sering menjadi tempat muntahan lahar Gunung Merapi, Sungai Krasak dan Boyong, membuat Bukit Turgo terisolasi oleh hutan lebat dan menjadikannya tempat keramat, layak sebagai tempat pelarian. Orang-orang datang untuk sesuatu yang bersifat spiritual.

Di puncak Bukit Turgo, terdapat bangunan yang dipercayai sebagai makam Syeh Djumadil Qubro, orang yang pertama kali datang untuk melakukan laku, kemudian bermukim, dan pada akhirnya wafat. Pada era Tanam Paksa, kawasan ini menjadi tempat pelarian para pribumi untuk menghindari pajak yang tinggi. Kini, Bukit Turgo masih kerap didatangi para peziarah terutama di malam wingit.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kopi dan Dongeng Bukit Turgo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kopi-dan-bukit-turgo/feed/ 0 26408
Geliat Bertahan Hidup di Alor https://telusuri.id/geliat-bertahan-hidup-di-alor/ https://telusuri.id/geliat-bertahan-hidup-di-alor/#respond Mon, 19 Oct 2020 07:29:23 +0000 https://telusuri.id/?p=24581 Di dasar lautan dangkal nan hangat Alor, gerombolan lamun membentuk padang yang didiami dugong mencari makan. Di permukaan, di atas perahu yang mesinnya telah dimatikan, seorang lelaki tua, Onesimus Laa, merapal mantra hingga dugong mendengar...

The post Geliat Bertahan Hidup di Alor appeared first on TelusuRI.

]]>
Di dasar lautan dangkal nan hangat Alor, gerombolan lamun membentuk padang yang didiami dugong mencari makan. Di permukaan, di atas perahu yang mesinnya telah dimatikan, seorang lelaki tua, Onesimus Laa, merapal mantra hingga dugong mendengar panggilannya dan muncul menari di antara riak halus laut Alor.

Alexandra Maheswari, Dugong and Seagrass Conservation Site Manager Alor, WWF-Indonesia, saat itu, 2017, datang ke Alor membawa kertas berisi sebuah pertanyaan: mengapa makhluk yang dikenal pemalu itu berubah bersahabat?

Suatu Jumat siang mengantar sore, ia bercerita kepada saya. Menurut penuturan masyarakat, awalnya dugong hanya melihat dari jauh bila perahu tampak di lautan mencari ikan. Lama-lama, semakin kerapnya lalu-lalang perahu membuat mamalia penyendiri itu terlihat bersahabat. Namun kadang kala mereka tampak tak nyaman—seperti merasakan ancaman untuk padang lamun rumahnya, berubah menjadi agresif, dan menghampiri perahu-perahu dengan tubuh besarnya yang mampu menarik dayung itu. Ada beberapa cerita tentang dugong yang tak mau lepas dari perahu, sampai-sampai ekor mereka luka terkena baling-baling.

Berdasarkan riset tingkah laku dugong yang dilakukan tim WWF-Indonesia dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Alor, BPSPL Denpasar kantor Kupang, BKKPN, dan Universitas Nusa Cendana pada tahun 2017, perubahan perilaku dugong itu disebabkan setidaknya oleh dua hal: terancam, yang kemudian berubah protektif di wilayahnya, dan sedang mengalami fase reproduksi. Agresivitas dugong tersebut menjadi hal yang cukup membahayakan bagi dugong sendiri dan juga manusia.

Perubahan perilaku dugong itu kemudian oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai potensi untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Mulanya hanya satu kemudian menjadi berlipat ganda, perahu-perahu nelayan mulai membawa orang-orang yang penasaran ke laut dan mengantar mereka bertemu dugong. Lantas, wisata memanggil dugong tercipta. Sayangnya, permintaan pelancong untuk memegang dugong dan berenang bersamanya masih menjadi prioritas. Mereka tidak memahami bahwa ada satu ekosistem yang barangkali bisa hilang karena aktivitas memanggil dugong.

Dugong dugon, yang dikenal sebagai duyung, termasuk dalam deretan satwa yang rentan mengalami kepunahan dan merupakan jenis satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Sementara itu, padang lamun yang didiami dugong juga menjadi rumah bagi beberapa makhluk laut lainnya seperti teripang, baronang, dan rajungan. Melestarikan dugong adalah perihal melestarikan ekosistem; melestarikan ekosistem adalah menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Seekor dugong berenang di atas padang lamun via WWF-Indonesia/Juraij

“Syukurnya sudah tidak ada keinginan masyarakat Alor untuk memburu dugong sejak awal 90-an. Kejadian terakhir dugong tertangkap adalah [ketika ada dugong yang] tidak sengaja terjebak jaring nelayan pada 2016, kemudian [masyarakat] telah mendapat sosialisasi [tentang dugong] sebagai hewan dilindungi dan terancam punah dari Dinas Kelautan dan Perikanan Alor,” cerita Alexa.

Lebih dalam, Alexa menceritakan kegiatannya bersama masyarakat dan pemerintah setempat selama tiga tahun berada di Alor. Selain melakukan aktivitas konservasi duyung, masyarakat juga kemudian terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi pesisir laut melalui Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dalam bentuk komunitas pengembangan pariwisata berbasis desa.

“Kami membantu pemerintah dan masyarakat setempat melakukan riset, yang hasilnya kemudian dijadikan rekomendasi melalui Dinas Pariwisata dan Dinas Kelautan dan Perikanan, sudah disahkan dalam Peraturan Bupati Alor juga, bahwa (dugong) hanya dilihat saja, tidak boleh berenang dan dipegang; membawa kapal juga harus mematikan mesin setiba di habitat dugong. Namun sampai akhir 2019 masih belum terlalu patuh dan dalam tahap penyesuaian,” tutur Alexa.

Yusuf Tande, teman WWF lainnya, juga menceritakan kepada saya tentang kegiatannya bersama masyarakat Alor. Bersama komunitas, Usu melakukan pemetaan dan penggalian untuk menemukan atraksi yang bisa menjadi opsi, seperti wisata pantai, susur hutan bakau (mangrove), dan jelajah Pulau Sika. Niatnya sederhana, ingin melibatkan banyak pihak agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terjaga. Mereka juga memberikan bimbingan kepada masyarakat mengenai pentingnya konservasi, untuk terus menjaga kelestarian alam dan lingkungan, pun melakukan pengawasan aktivitas pelanggaran peraturan seperti penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang seperti bom ikan dan racun ikan, juga eksploitasi penambangan pasir.

Mengamati dugong dari kapal via WWF-Indonesia/Mala Tours

“Sudah ada Forum Komunikasi Nelayan Kabola. Awalnya hanya [dikelola] satu bapak yang menjadi tokoh adat dan beberapa kelompok masyarakat dan beberapa nelayan setempat, tapi sekarang sudah diikuti oleh nelayan dan masyarakat lain. Jadi semakin banyak yang ikut terlibat dalam wisata dan konservasi. Di FKNK, ada kelompok wanita yang bisa menyediakan makanan bagi tamu dan anak muda juga yang terlibat sebagai pemandu. Pelan-pelan, masyarakat bersama dengan Pemerintah Daerah Alor berusaha untuk terus menguatkan potensi yang ada,” tambah Alexa.

Hidup memang dilematis. Manusia dihadapkan pada memenuhi kebutuhan dan menjaga kelestarian alam. Maka saya paham apa yang dilakukan Alexa, Usu, masyarakat, dan pihak lainnya adalah perjuangan yang panjang. Selain harus mencari jawaban atas pertanyaan di atas kertas itu, mereka juga mendampingi masyarakat dan menyebarkan gagasan bahwa melestarikan alam adalah tanggung jawab bersama, bahwa kelestarian alam dan lingkungan adalah kepentingan masyarakat untuk jangka waktu yang panjang.


Maret, efek pandemi virus corona tiba di Alor. Masyarakat jadi lebih sering berada di rumah. Pariwisata yang biasanya menggeliat kini meredup. Aktivitas wisata hanya berjalan secara lokal dan domestik. Warga yang menggantungkan hidup pada pariwisata harus dirumahkan. Para pemilik penginapan pun kemudian kembali ke daerah asal. Pasar-pasar sepi.

Usu kemudian bercerita tentang bagaimana masyarakat Alor bertahan hidup di kala pandemi. Salah satu yang mereka lakukan adalah kembali melihat laut.

Pemandu wisata Kabola menyusuri Kampung Mali, Kecamatan Kabola, Kabupaten Alor via WWF-Indonesia/Alexandra Maheswari

“Budi daya rumput laut di Alor cukup berkembang. Oleh nelayan, hasil tangkapan disetorkan ke beberapa pengepul. Lalu, dari pengepul kemudian dipasarkan ke beberapa daerah seperti Flores, Makassar, dan Kupang,” jelas Usu.

Lain itu, mereka juga kembali mengolah ladang, kembali menjual hasil bumi untuk bertahan hidup. Alor yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung menyimpan hasil bumi seperti jagung, kenari, palawija, kemiri, dan vanili, komoditas-komoditas yang mampu menjadi benteng pertahanan ketika pariwisata tak (lagi) menggeliat. Mereka juga berupaya mencari jalur perdagangan lain untuk tenun dan beragam hasil kerajinan.

Meski begitu, kekhawatiran tetap muncul. Kalau saja terjadi penurunan ekonomi, ada peluang terjadi kegiatan perikanan yang merusak.

Saya teringat perkataan seorang teman: manusia adalah satu-satunya makhluk hidup di muka bumi yang bisa berteman dengan segala makhluk dan sekaligus menjadi satu-satunya makhluk yang mempercepat kehancuran bumi.

Dugong hanyalah salah satu dari banyak kasus eksploitasi alam atas nama sebuah pisau bermata dua bernama pariwisata. Banyak dari pelancong yang belum memiliki kesadaran soal ekologi, sementara perut mereka yang mencari rezeki dari pariwisata harus terus diisi. Maka sudah semestinya kita, pejalan, memahami etika berwisata; bahwa alam harus dijaga di mana saja dengan cara apa saja; bahwa kearifan lokal mesti dihormati dan dipatuhi.

Namun, di tengah segala problematika, tersiar ihwal yang cukup menggembirakan hati Alexa. Masyarakat Alor yang memegang teguh iman agamanya sudah mentransformasikan kearifan lokal menjadi nilai-nilai religius. Para tetua agama, lewat khotbah dan dakwah, menyebarkan doktrin-doktrin positif tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Ini juga menjadi respons mereka terhadap perubahan iklim yang kian mengancam. Maka dilakukanlah gerakan-gerakan menanam bakau, mengurangi penggunaan plastik, membersihkan sampah, dan melestarikan bahkan menabung air.

Pandemi ini pada akhirnya menjadi teguran bagi manusia agar mengubah haluan pada perilaku yang mendukung kelestarian alam. Perlahan, kesadaran ekologis merasuk pada pikiran-pikiran manusia. Di kota, orang-orang mulai bercocok tanam meski dengan lahan yang terbatas. Dalam dunia pariwisata, tema besar konservasi bisa menjadi landasan menciptakan iklim wisata yang baru. Pun menjawab pertanyaan perihal bertahan hidup. Menjaga kelestarian alam bukan hanya sekadar berbicara waktu sekarang, juga untuk generasi mendatang. Barangkali konservasi adalah jawaban atas segala permasalahan.

“Masyarakat sudah melek pariwisata biasanya lebih mengerti untuk menjaga lingkungannya agar menikmati alam dan keuntungan dari wisata di tahun-tahun selanjutnya,” Alexa terus mendaraskan harap.

Selasa malam, ketika menulis ini, saya menerima pesan dari Alexa. Isinya beberapa tautan artikel tentang acara tahunan Expo Alor yang tetap dilaksanakan di tengah pandemi. Beberapa kegiatan publik di kabupaten mulai berjalan kembali sejak bulan Juli. Di satu sisi, itu adalah usaha untuk menggulirkan roda perekonomian di tingkat lokal, sebagai upaya bertahan hidup. Di sisi lain, meskipun sudah diwajibkan untuk dilaksanakan dengan memerhatikan protokol kesehatan, ajang itu tetap saja mengandung risiko. Ah, betapa dilematisnya hidup.

Barangkali benar yang ditulis Pramoedya dalam Rumah Kaca, “Betapa sederhananya hidup ini sesungguhnya. Yang pelik hanya liku dan tafsirannya.”


Gambar unggulan: WWF-Indonesia/Juraij

The post Geliat Bertahan Hidup di Alor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/geliat-bertahan-hidup-di-alor/feed/ 0 24581
Benteng Pertahanan Pulau Kabung https://telusuri.id/benteng-pertahanan-pulau-kabung/ https://telusuri.id/benteng-pertahanan-pulau-kabung/#respond Sun, 04 Oct 2020 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=24193 Empat puluh lima menit berlayar dari daratan Singkawang menuju Laut Natuna, bagan-bagan berjajar di atas laut tak jauh dari garis pantai. Di daratan, tampak desa dengan rumah-rumah panggung suku Bugis berdiri di atas umpak. Konon,...

The post Benteng Pertahanan Pulau Kabung appeared first on TelusuRI.

]]>
Empat puluh lima menit berlayar dari daratan Singkawang menuju Laut Natuna, bagan-bagan berjajar di atas laut tak jauh dari garis pantai. Di daratan, tampak desa dengan rumah-rumah panggung suku Bugis berdiri di atas umpak. Konon, mereka yang di sana adalah imigran yang menyelamatkan diri dari pemberontakan Kahar Muzakkar yang terjadi di Sulawesi pada tarikh 1950 sampai 1965. Namun, pulau itu kini dihuni juga oleh orang Melayu Sambas yang juga membawa serta bahasa mereka. Di pekarangan pinggir pantai, ikan teri dan sotong berjajar di atas gelaran terpal-terpal. Mengulur beberapa jarak dari pasir putih, pohon-pohon kelapa berjajar, bersama-sama tanaman lain menghijaukan bukit rempah.

Fadhil Mahdi bercerita tentang Pulau Kabung.

“Tidak ada perubahan yang berarti,” jawab Fadhil ketika saya bertanya dampak pandemi virus corona di Pulau Kabung. Ia melanjutkan, “tapi pulau memang ditutup.”

Wisata yang biasanya bergeliat tak tampak gelagatnya. Pulau hanya menerima tamu cukong-cukong dari Singkawang yang akan mengambil hasil tangkapan nelayan bagan sekaligus menyuplai bahan pangan untuk warga. Mereka bertahan dengan menutup penyebaran COVID-19 yang sedang melanda agar tidak masuk ke pulau. Meski begitu, kehidupan warga Pulau Kabung tak banyak berubah.

Sebuah bagan di perairan Pulau Kabung, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat/Fadhil Mahdi

Seturut ceritanya kemudian, di sana Fadhil melihat aktivitas warga yang tetap berjalan seperti biasa. Menjelang petang, pria-pria Pulau Kabung melepas ikatan tali kapal pada patok-patok di dermaga dan berlayar menuju bagan. Tak jauh memang, hanya lima belas menit mengarung. Para nelayan akan berada di bagan semalaman, memutar katrol, melepaskan ikatan jaring pada empat tiang, menurunkan jaring ke dalam laut.

Di dalam bilik kecil di tengah bagan, genset menyala, menghidupkan lampu-lampu yang kemudian diletakkan di atas lokasi jaring, menyinari air laut. Lampu-lampu itu akan mengundang plankton-plankton untuk menghampiri terang. Lantas rantai makanan berlanjut. Ikan-ikan teri yang lapar akan bergerak mendekati kerumunan plankton, sotong dan ikan-ikan besar lainnya yang juga lapar akan mencari ikan-ikan teri sebagai santapan. Pada akhirnya jaring dinaikkan dan para nelayan menyaring ikan yang terjerat dan meletakkannya pada keranjang-keranjang rotan. Satu putaran pemancingan selesai. Para nelayan akan terus memutar hingga subuh menjelang. Kala matahari hendak beredar di ufuk timur, para nelayan kembali ke pulau. Di sana, ibu-ibu dan anak gadis sudah menunggu di depan tungku-tungku di bawah rumah panggung, siap merebus hasil tangkapan agar tidak busuk.

Hasil tangkapan ikan di bagan dipindahkan ke keranjang-keranjang rotan/Fadhil Mahdi

“Di sana, makan sotong jadi sesuatu yang biasa.”

Saya tertawa mendengar ucapan Fadhil itu. Warga Pulau Kabung tiap hari makan sotong. Sementara orang-orang kota seperti saya begitu bergembira ketika bisa menyantap sotong sekali-sekali. Bagi saya, sotong adalah menu mewah yang jarang dijumpai di meja makan.

Musim berganti. Merah kuning hijau pala, cengkih, dan serai di atas bukit merekah. Orang Bugis yang pelaut itu juga mahir dalam rempah. Pala dan cengkih sang primadona kini panen. Warga rutin menuju atas bukit untuk memetik rempah dalam beberapa bulan musim panen. Rempah-rempah itu diolah menjadi beragam manisan dan bumbu masak; dan oleh seseorang yang giat, pala, cengkih, dan serai disuling dijadikan beragam minyak lalu dipasarkan secara daring. Warga juga menanam beragam sayuran untuk ketahanan pangan selama pandemi.

Merebus hasil tangkapan di bagan agar tidak busuk/Fadhil Mahdi

Saya bertanya, “Kepada siapa segala hasil bumi itu dijual?”

Fadhil bercerita bahwa semua hasil tangkapan nelayan, panen rempah, dan segala hasil bumi masyarakat Pulau Kabung hanya boleh dijual pada tengkulak-tengkulak dari Singkawang. Baru kemudian dari tangan tengkulak hasil bumi itu bisa tersebar ke berbagai daerah. Pun sebaliknya, bahan pangan lain yang dibutuhkan warga dibeli dari para tengkulak.

Di pulau, kehidupan masyarakat berjalan seperti biasa. Yang hilang hanya pariwisata. Pun dengan kegiatan belajar mengajar. Di Pulau Kabung hanya terdapat satu bangunan sekolah dasar. Lepas itu, mereka harus keluar pulau jika ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Proses penjemuran hasil tangkapan/Fadhil Mahdi

“Uniknya, para orangtua memiliki tradisi melarang anak-anak yang melanjutkan sekolah untuk kembali ke pulau,” ucap Fadhil. Lalu bagaimana nasib bagan dan kebun di atas bukit jika tidak ada yang meneruskan?

(Satu yang disayangkan, masyarakat Pulau Kabung tidak bisa mengatur keuangannya secara baik. Di beberapa kala, dalam satu kali transaksi penjualan tangkapan bagan, mereka mampu mendapatkan uang sebesar tiga puluh juta rupiah. Nominal yang besar itu tidak mereka sisihkan untuk ditabung, pergi mengalir begitu saja. Jadi, ketika uang itu habis, mereka mengalami kesulitan keuangan.)

Saya berpikir, barangkali memang begitulah kehidupan masyarakat desa. Para orangtua tidak ingin anak-anaknya mengalami hidup susah seperti mereka. Mereka ingin anak-anak bisa berkembang di luar pulau. Dengan akses yang tak mudah itu pula, masyarakat pulau harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri secara mandiri. Seperti kehidupan manusia rimba, mereka berburu cukup untuk makan hari ini. Tidak berlebihan. Esok cari lagi. Tidak merusak alam. Imunitas mereka adalah kabut yang keluar dari rongga-rongga tanah dan pepohonan. Mereka percaya alam akan terus memberi jika manusia tidak serakah. Toh, pangan tidak melulu soal nasi.

Warga berkumpul di gubuk pengolahan ikan Pulau Kabung/Fadhil Mahdi

Berbeda dengan orang kota yang bergantung pada pasar, yang ketika pandemi mewabah seperti saat ini kesulitan bergerak. Sebagian menimbun segala pangan, vitamin, dan rempah. Tak peduli lainnya. Terus dan terus membeli. Sebagian lainnya, yang cerdik, lantas memutar otak. Berjaga-jaga, menghadapi sengkarut ekonomi, terutama di tingkat lokal, yang bisa saja terjadi. Kelompok kedua itu kemudian mengadopsi pola kehidupan masyarakat desa, memulai gerakan tahan pangan mandiri. Dengan lahan—yang barangkali terbatas—menanam sawi, kangkung, terong, dan segala sayuran. Jika beruntung, mereka bisa membikin bibit sendiri.

Lalu pertanyaannya: kapan pandemi ini akan menemui titik? Di luar sana hanya ada prediksi. Tak ada yang tahu pasti. Sepertinya, tidak untuk waktu dekat. Lantas ketahanan seperti apa yang bisa dipraktikkan manusia agar bisa selamat dan melanjutkan peradaban?

Syahdan, hidup itu seperti permainan bola, yang tak hanya perkara menyerang. Kadang kala, kelompok yang menang adalah yang mampu membentangkan kokohnya benteng pertahanan.

The post Benteng Pertahanan Pulau Kabung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/benteng-pertahanan-pulau-kabung/feed/ 0 24193
Cerita tentang Bocah Penjaja dan Harapan Sederhana di Amuntai https://telusuri.id/cerita-tentang-bocah-penjaja-dan-harapan-sederhana-di-amuntai/ https://telusuri.id/cerita-tentang-bocah-penjaja-dan-harapan-sederhana-di-amuntai/#respond Fri, 02 Oct 2020 19:14:51 +0000 https://telusuri.id/?p=24185 Seratus sembilan puluh kilometer utara Banjarmasin, di siang hari kota Amuntai, seorang bocah lelaki mengayuh sepeda tua. Dalam keranjang sepedanya terdapat jajanan kacang, kerupuk, dan penganan kecil lain yang barangkali dibuat oleh ibunya. Bocah itu...

The post Cerita tentang Bocah Penjaja dan Harapan Sederhana di Amuntai appeared first on TelusuRI.

]]>
Seratus sembilan puluh kilometer utara Banjarmasin, di siang hari kota Amuntai, seorang bocah lelaki mengayuh sepeda tua. Dalam keranjang sepedanya terdapat jajanan kacang, kerupuk, dan penganan kecil lain yang barangkali dibuat oleh ibunya. Bocah itu meninggalkan desanya, berkeliling di pusat kota, berjualan di tengah hari yang panas tanpa pernah merasa malu.

Akhmad Ismail menceritakannya kepada saya. Di suatu hari, seorang teman melihat si bocah mengayuh sepeda tua di tengah kota dengan plastik-plastik jajanan di keranjang. Seorang bocah lelaki yang asing, bukan berasal dari kota Amuntai. Temannya merasa aneh; pemandangan yang dilihatnya itu tak pernah terjadi sebelumnya. Ia lalu bertanya mengapa si bocah harus berjualan.

“Untuk beli handphone dan paket data, Om,” jawab si anak.

Si bocah kemudian bercerita, semenjak pandemi virus corona mewabah, kedua orangtuanya tidak lagi bekerja. Seturut anjuran pemerintah, orang-orang dirumahkan. Masyarakat Amuntai yang sebagian besar adalah pedagang menjadi kelompok paling rentan terdampak. Mereka tak bisa bekerja seperti semula. Segala aktivitas dilakukan dari rumah, secara daring. Kota lenggang.

Bagi masyarakat desa pelosok dengan akses yang sulit dan tidak memiliki jaringan komunikasi, hal ini tentu bukan masalah yang mudah. Termasuk si bocah ketika harus berhadapan dengan situasi baru: bersekolah secara daring. Hampir sebulan ia berjualan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Si bocah mengaku bahwa dirinya berinisiatif berjualan agar bisa terus sekolah, tak mau menambah beban kedua orangtuanya yang tak lagi berpenghasilan.

Kejadian pada siang hari tersebut sempat direkam oleh teman Akhmad Ismail lalu disebarkan ke beberapa grup WhatsApp. Oleh Akhmad, video itu lalu diteruskan ke teman lain yang bekerja di salah satu perusahaan seluler, berharap bantuan. Pada akhirnya usaha baik akan bertemu dengan kebaikan lainnya. Si bocah mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Cerita Akhmad menimbulkan satu pertanyaan lain. “Bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil?” tanya saya kemudian.

Akhmad menjelaskan tentang masalah yang ia temui di beberapa desa dengan status Terdepan, Terluar, dan Terpencil (3T) di Kalimantan Selatan.

“Di Desa Puyun, Kabupaten Balangan, tetangga Kabupaten Hulu Sungai Utara, belum terdapat jaringan GSM,” jelas Akhmad, melanjutkan, “anak-anak di sana harus melakukan perjalanan sejauh 15 km, keluar dari desa untuk bisa bersekolah daring. Mereka berbondong-bondong menumpang kendaraan aparat desa menuju kota.”

“Bahkan di Desa Uren, masih di Kabupaten Balangan,” Akhmad menyambung cerita, “anak-anak harus berjalan kaki selama dua sampai tiga jam menuju satu bukit, hanya untuk mendapat sinyal.”

Akhmad kembali bercerita tentang si bocah, “Memang, dia sudah mendapat bantuan, tapi jangan stop di situ. Komunikasi tetap dibutuhkan.”

Yang terjadi kemudian adalah banyak perusahaan operator GSM memberikan bantuan paket data gratis kepada masyarakat, kemudian bersinergi bersama pemerintah daerah bergerak mendirikan repeater seluler di daerah-daerah pelosok yang belum terjangkau jaringan, pun memperbaiki sarana yang sebenarnya sudah ada tapi mengalami kerusakan.

Saya teringat akan pengalaman saya bersama beberapa teman yang tergabung dalam unit kegiatan fotografi kampus dulu ketika kami melakukan ekspedisi di Gunung Patuha, Jawa Barat, 2004 silam. Desa Sukasari yang kami tinggali adalah desa yang terisolir. Suasana dengan kabut yang turun lebih awal menjadikan sore gelap seperti malam. Jalanan berupa bebatuan dan tanah yang barangkali hanya bisa dilalui oleh roda kendaraan besar. Perjalanan kami ke sana pun menumpang truk bak terbuka pengangkut teh. Desa itu berada di tengah lembah, diapit bukit-bukit, dan hanya kebun teh mengelilingi. Tidak ada sinyal. Setiap harinya, kami harus berjalan kaki selama satu setengah jam menuju atas bukit di seberang lembah hanya untuk mendapatkan sinyal agar bisa memberi kabar kepada teman lain di kampus. Sumber listrik desa berasal dari mesin genset yang menyala dari jam enam sore sampai sembilan malam, setiap harinya.

Enam belas tahun berlalu, keadaan belum berubah. Masih ada daerah terpencil di Indonesia yang belum memiliki akses mudah dan jaringan komunikasi yang memadai bahkan sambungan listrik.

Kemudian pandemi corona datang. Kondisi yang memaksa manusia untuk mengubah perilaku. Lebih awas tentang kebersihan dan kesehatan, lebih merawat bumi, dan tentu lebih membuka mata terhadap teknologi. Semua dilakukan serba daring; petani dan nelayan menjual hasil bumi, melakukan transaksi jual-beli, bekerja, dan sekolah. Perubahan perilaku itu tentu memiliki tantangan baru. Di dunia pendidikan, misalnya, tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem belajar-mengajar daring yang lebih efisien, terutama untuk masyarakat daerah terpencil.

Saya juga membaca keluh kesah Akhmad tentang masyarakat Amuntai yang belum bisa mengolah material alam menjadi produk kerajinan tangan yang lebih bernilai, kemudian menggunakan teknologi untuk memasarkannya. Sebagai kota transit, tempat yang dipilih untuk berbelanja masyarakat luar Hulu Sungai Utara, Amuntai memiliki potensi untuk menciptakan sesuatu yang baru yang bisa menjadi daya tarik tersendiri.

Di akhir perbincangan, Akhmad menceritakan kepada saya tentang cita-cita sederhana.

“Saya pernah kasih saran ke TelusuRI untuk membuat program Rumah Harapan,” ucap Akhmad.

Ide itu terinspirasi dari kejadian bom atom Hirosima dan Nagasaki. Tragedi yang terjadi pada Perang Dunia II itu berhasil membuat Jepang hancur lebur. Kondisi yang, menurut Akhmad, tak jauh berbeda dari kondisi di masa pandemi saat ini.

“Mengumpulkan pemuda. Memberikan motivasi bahwa masih ada harapan. Jangan menyerah pada keadaan. Lebih maju dari sebelumnya. Di Rumah Harapan itu disediain laptop atau handphone dengan internet gratis untuk masyarakat daerah tertinggal,” tukas Akhmad.

Saya berdoa dalam hati, harapan baik akan bertemu dengan kebaikan lainnya. Harapan yang, semoga, menemukan rumahnya.

The post Cerita tentang Bocah Penjaja dan Harapan Sederhana di Amuntai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-tentang-bocah-penjaja-dan-harapan-sederhana-di-amuntai/feed/ 0 24185
Desa Manumpitaeng dan Ancaman Hilangnya Ingatan Wastra Koffo https://telusuri.id/desa-manumpitaeng-dan-ancaman-hilangnya-ingatan-wastra-koffo/ https://telusuri.id/desa-manumpitaeng-dan-ancaman-hilangnya-ingatan-wastra-koffo/#respond Fri, 02 Oct 2020 10:03:09 +0000 https://telusuri.id/?p=24165 Di antara gemerlap warna-warni wastra nusantara, ada satu yang meredup. Dalam ingatan, ia diredupkan oleh kolonialisme Barat beserta segala yang dibawanya. Padahal di setiap tetes warna yang menyerap pada serat ada lantunan mantra seorang anak...

The post Desa Manumpitaeng dan Ancaman Hilangnya Ingatan Wastra Koffo appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara gemerlap warna-warni wastra nusantara, ada satu yang meredup. Dalam ingatan, ia diredupkan oleh kolonialisme Barat beserta segala yang dibawanya. Padahal di setiap tetes warna yang menyerap pada serat ada lantunan mantra seorang anak untuk ibunya, yang akan terus teringat jika dirawat. Pada hakikatnya, melestarikan wastra adalah perihal merawat ingatan.

Di Sangihe ihwal itu berdiam:

Pisang hote tumbuh subur di Kepulauan Sangihe. Batang tanaman itu menghasilkan serat alami bernama abaka yang kemudian dipintal menjadi benang-benang halus, diberi warna alami hijau daun dan ungu akar, lalu dijadikan kain. Kain bukan sembarang kain. Kain itu adalah adat. Wujud sebuah penyatuan manusia dengan alam yang dianggapnya sebagai ibu. Kain itu bernama koffo.

Pada zaman ketika kerajaan-kerajaan di Sangihe masih berjaya, koffo adalah kain yang digunakan sebagai pakaian tarian adat dengan iringan musik bernama ori. Tradisi Sangihe memercayai ori sebagai sesuatu yang magis, sebagai mantra untuk menolak bala dan penangkal segala bencana. Pun sebagai lagu memanggil hujan lepas kemarau panjang. Koffo adalah pakaian untuk mengantar mantra-mantra itu pada semesta, mengirim doa-doa kepada leluhur. Namun, kedatangan Portugis perlahan mengubur koffo, ori, dan segala daya magisnya, tenggelam di balik tanah. Agama Katolik yang turut singgah dan menyebar di Sangihe menganggap tradisi koffo dan ori hal yang syirik dan harus dimusnahkan. Kini, Sangihe kesulitan mencari tangan-tangan yang mau mencari akar-akar koffo hingga kembali muncul ke permukaan.

Batang pisang hote di Sangihe/Annise Rohman

Maria Silangen, seorang teman di Manado, merasa gelisah melihat redupnya tenun koffo ketika ia berkunjung ke Desa Manumpitaeng di Kecamatan Manganitu. Dalam kunjungannya, ia melihat desa yang sepi. Tidak ada geliat tradisi koffo dan ori. Ketika ia berkesempatan berjumpa dengan keluarga yang masih menyimpan koffo, Maria mendapati bahwa lepas ditinggal orang tua tidak ada yang meneruskan tradisi wastra itu.

Maria juga bercerita, pernah suatu kala ada pihak yang memberikan bantuan agar warga desa dapat menghidupkan kembali tradisi koffo, atau barangkali bisa menjadikan desa tersebut sebagai tujuan wisata budaya agar tradisi koffo bisa dikenal secara luas. Sayang, rencana itu tidak berjalan dengan baik. Koffo kembali terkikis.

Keberadaan kain koffo di Manumpitaeng hanya diketahui oleh warga sekitar saja dan orang-orang yang pernah datang ke desa. Informasi mengenai koffo belum tersebar dengan baik. Padahal desa tersebut tidak dikatakan sebagai daerah tertinggal. Aksesnya mudah dan infrastruktur bagus.

“Orang-orang desa tidak lagi mengenal sejarah koffo dengan baik. Anak-anak mudanya lebih memilih melakukan sesuatu yang lebih mudah. Jadi di sana sudah tidak ada yang bisa menenun. Koffo adalah tradisi yang terlupakan,” ucap Maria.

“Sayang sekali,” saya menyambung obrolan, melanjutkan, “padahal punya potensi.”

Maria mengaku, ia akan senang jika dapat menjalin kembali ingatan wastra koffo bersama Pijar, startup yang digagasnya untuk pemberdayaan talenta-talenta dalam bidang kreatif. Namun sayang, ia belum menemukan seseorang yang mampu menghadirkan kembali kain koffo sebagai satu wastra nusantara.

“(Koffo) Ini harus dilakukan oleh orang yang memiliki komitmen untuk mengangkat sesuatu yang sudah mau mati,” Maria menutup cerita.

Cerita Maria didukung oleh Annise, seorang teman lain yang bersama Maria mengunjungi desa itu tahun lalu. Ia berkata, “Generasi mudanya kurang. Rata-rata mereka besar hanya sampai SMA, selebihnya keluar dari pulau dan jarang kembali.”

Annise beruntut bercerita lebih jauh di suatu Sabtu malam. Sangihe memiliki kerajaan sendiri. Sebuah kerajaan tua dengan hierarki dan sistem feodalisme yang kuat, seperti Yogyakarta. Ia terpisah dari mitologi Minahasa dan sejarah Sulawesi Utara lainnya. Mereka pun memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan Manado. Jika dirunut, orang Sangihe atau biasa disebut Sanger adalah keturunan Mindanau, Filipina.

“Postur wajahnya lonjong seperti orang Filipina,” jelas Annise.

Sampai akhirnya Portugis datang. Bangsa itu tak suka melihat sesuatu yang kuat. Hierarki kerajaan Sangihe harus runtuh dan feodalisme adalah dua sisi mata uang yang menjadi senjata kehancuran. Melalui kolonialisme, adat dan segala tradisi dihilangkan dari Tanah Sanger. Merantas segala akar. Mereka beranggapan bahwa seni magis yang berhubungan dengan adat dan keyakinan, termasuk koffo dan ori, bertentangan dengan agama barat yang dibawanya.

Selembar kain koffo/Annise Rohman

“Apa-apa diharamkan. Apa-apa dimusyrikkan,” ucap Annise.

Masih di Sabtu malam yang sama, cerita silih berganti pada kain koffo Manumpitaeng. Ia bertandang ke rumah Pak Yumbure, seseorang yang masih menyimpan kain koffo dan ori, di rumahnya, meski tak lengkap. Pak Yumbure mengaku ibundanya adalah seorang penenun, sementara neneknya pemain ori.

“Apa yang membedakan kain koffo dari Manumpitaeng dengan kain tenun daerah lain?” tanya saya.

Annise menjawab, “Koffo tidak memiliki motif [tertentu]. Jika ada kain tenun bermotif, itu bukan koffo. Tenun Sangihe bukan hanya koffo.”

Saya melihat foto-foto yang dikirimkan Annise, sementara ia melanjutkan cerita bahwa kain tenun bermotif itu biasanya berupa ragam hias, seperti untuk sekat bilik atau gorden ketika pementasan tarian. Koffo sendiri berupa baju panjang, sarung, saputangan, dan ikat kepala.

“Kata teman-teman yang mencoba, (koffo) enak dipakai, nyaman buat bergerak,” aku Annise.

“Oiya?” saya penasaran. Tapi kain itu tampak lemas.

“Nampaknya saja lemas, tapi itu kaku. Dilipat pun enggak bisa,” jelas Annise.

“Padahal buat menari. Seharusnya lemas,” saya masih penasaran.

“Itu keajaiban orang zaman dulu,” jawab Annise.

Koffo juga hanya memiliki dua warna: hijau dan ungu, selain perbedaan antara yang digunakan untuk perempuan dan laki-laki. Annise mengaku bahwa ia hanya mendapatkan kain perempuan. Pak Yumbure sebagai tuan rumah tidak lagi memiliki kain koffo untuk laki-laki.

“Sudah rusak,” ucap Annise meneruskan ucapan sang tuan rumah.

Annise juga menyayangkan keadaan desa yang tampak sepi. Banyak rumah tak berpenghuni. Rumah-rumah yang tertutup itu membiarkan alat tenun hanya tersimpan, rusak karena tak terpakai.

Memang, ada pihak lain yang sudah berusaha mengembangkan kain tenun koffo di luar Manumpitaeng. Namun tak ada yang bisa menggantikan autentisitas filosofi Ibu Bumi, yang tersemat dalam kain tenun koffo, yang diyakini oleh masyarakat Manumpitaeng. Hal yang membuat koffo sebagai adat, yang seharusnya tak terpisahkan dari ori dengan segala seni magisnya, tidak muncul di ingatan. Saya berpendapat perbedaan itu mungkin saja terjadi, karena, barangkali, sejarah dan mitologi yang memang berbeda.

Dua orang perempuan Sangihe berfoto dengan koffo/Annise Rohman

“Gara-gara koffo aku jadi keranjingan shibori pewarna alami. Kemarin sudah berhasil membuat shibori pakai ampas kopi, sekarang mau coba pakai daun mangga dan kulit bawang merah,” Annise menutup cerita tentang koffo.

Minggu malam, ketika menulis ini, saya memikirkan kembali cerita Maria dan Annise. Yang terjadi pada koffo di Manumpitaeng memang sungguh menyedihkan. Perihal merawat koffo tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak. Selain warga Manumpitaeng sendiri, kesadaran merawat warisan leluhur Sangihe juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.

Layaknya sebuah tenunan, ia adalah benang-benang yang saling terikat. Hote tidak akan tumbuh di tanah yang tak terawat. Harus ada banyak tangan liat yang saling terentang untuk kembali mencari akar yang terkubur, merawat tanah dan menjaga haranya agar subur, menanam hote, menyerut batang hingga menemukan serat, mengikat, lalu menjadikannya koffo. Jika tidak, koffo hanyalah sebuah sejarah di atas kain usang yang akan mati terkubur serat sintesis zaman.


Cerita ini didedikasikan kepada Pak Yumbure yang sudah berpulang tanggal 12 September 2020 lalu.

The post Desa Manumpitaeng dan Ancaman Hilangnya Ingatan Wastra Koffo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/desa-manumpitaeng-dan-ancaman-hilangnya-ingatan-wastra-koffo/feed/ 0 24165
Tangan yang Terentang dalam Sebongsang “Donasi Sayur” https://telusuri.id/tangan-yang-terentang-dalam-sebongsang-donasi-sayur/ https://telusuri.id/tangan-yang-terentang-dalam-sebongsang-donasi-sayur/#respond Thu, 18 Jun 2020 15:21:19 +0000 https://telusuri.id/?p=22420 Ada mata rantai yang terputus. Di hulu sana, Dusun Tunggilis Pojok, Cianjur, Jawa Barat, para petani resah. Panenan sayur tak terserap dengan baik. Tak sedikit yang terbuang. Sudah pula dibagi-bagikan. Pun jika berhasil terjual, dihargai...

The post Tangan yang Terentang dalam Sebongsang “Donasi Sayur” appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada mata rantai yang terputus. Di hulu sana, Dusun Tunggilis Pojok, Cianjur, Jawa Barat, para petani resah. Panenan sayur tak terserap dengan baik. Tak sedikit yang terbuang. Sudah pula dibagi-bagikan. Pun jika berhasil terjual, dihargai sangat murah. Keuangan bandar tak lancar, tak sanggup membeli banyak panenan para petani seperti biasa, sekaligus tak mampu memenuhi dengan baik permintaan dari hilir, yakni pasar-pasar di Jakarta. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah pandemi virus corona.

Seorang teman, Anastasia Ika, kemudian memutar otak. Di buku kecilnya, ia menarik garis, membuat dua kolom, kiri dan kanan. Kolom kiri, ia beri judul “Petani.” Kolom kanan, “Warga Miskin.” Ia tuliskan juga kebutuhan pada tiap kolom itu, lalu menemukan satu kesamaan: vitamin.

Ketika pandemi ini mulai menjalar, vitamin berada pada deretan atas rangkaian kebutuhan yang berguna untuk menjaga imunitas tubuh, selain arahan untuk berada di rumah saja guna memutus rantai penyebaran virus corona.

Di suatu sore, Ika mengirim sebuah pesan di grup WhatsApp. Pesannya cukup panjang. Kalimat itu dimulai dengan, “Selamat siang, Bapak-Ibu-Oom-Tante sekalian. Saya mewakili teman-teman petani sayur di sekitar Tunggilis dan Sarongge….”

Kang Dudu sedang memanen cabe di Dusun Tunggilis Pojok/Donasi Sayur

Ika menjelaskan tentang sebuah program donasi; menyumbang sejumlah uang yang akan dikonversi menjadi 200-300 paket sayur-mayur panenan petani Dusun Tulinggis Pojok yang dikemas dalam satu bongsang atau keranjang anyaman bambu berlapis daun pisang tanpa plastik. Paket bongsang sayur itu kemudian akan diberikan kepada warga miskin atau kelompok-kelompok paling rentan terdampak pandemi. Satu bongsang dihargai Rp25.000, setimpal dengan harga sayur-mayur yang ada di dalamnya, upah memanen dan menata paket, pun keringat-keringat yang mengucur di tubuh petani.

Beberapa hari sebelum pengiriman, Ika akan berkeliling ladang, mendata sayur yang siap dituai. Ia juga memutar otak agar sayur satu keranjang itu bisa diolah menjadi satu atau dua jenis masakan untuk empat orang dalam tiga kali makan, berharap tidak ada yang terbuang.

Paket-paket itu akan dibawa dengan mobil pikap yang mampu menampung 200-300 bongsang dalam satu kali ekspedisi ke satu lokasi dan diserahkan kepada penerima lalu dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan. Sebenarnya, satu pikap bisa memuat lebih dari 300 bongsang, tapi jika hal itu dipaksakan sayur-mayur bisa rusak.

Barangkali mengajak orang lain berdonasi adalah perkara mudah, tapi bagaimana 300 bongsang itu bisa diantarkan ke satu titik dan tersalur dengan baik?

“Sementara aku sebar di Facebook, ya, Ika. Aku enggak tahu titik sasarannya. Biar ketemu banyak kemungkinan,” tulis saya menyambung obrolan.

Tangan terentang. Pesan pun estafet dari satu laman ke laman lainnya, disebarkan ke kelompok-kelompok teman terdekat yang barangkali punya potensi.

Empat orang warga Dusun Tunggilis Pojok sedang menata bongsang/Donasi Sayur

Lalu bersambut. Unggahan di media sosial itu kemudian sampai dan terbaca oleh Dimas Jayasrana, inisiator Lumbung Pangan, sebuah gerakan yang kurang lebih memiliki kesamaan visi-misi dengan program yang Ika inisiasi; pemenuhan kebutuhan dapur dan lauk untuk warga. Lumbung Pangan juga akhirnya menjawab pertanyaan perihal pendistribusian 300 bongsang itu. Satu pintu akan bertemu dengan pintu lainnya yang senada.

Program ini kemudian berkembang menjadi gerakan Donasi Sayur dengan tagar #bantupetanibantusesama. Banyak orang tergerak membantu. Tanpa diminta, bersama-sama merentangkan tangan, menyambung rantai vitamin yang semula terputus. Orang-orang menyisihkan sebagian uang untuk disumbangkan. Bahkan ada yang rela menerjang hujan kemudian mengirimkan foto bukti transfer berupa kertas resi basah dan lusuh yang tak mungkin tidak menggugah mata yang melihat.

Isi bongsang yang hendak disalurkan/Donasi Sayur

Pandemi ini mengubah banyak hal yang menurut saya bergerak ke arah positif. Orang-orang mengubah perilaku, menjadi sadar kebersihan dan kesehatan diri, peduli terhadap sesama karena rasa empati, serta lebih peduli kepada lingkungan sekitar. Corona membuat kita menuju era peduli kemanusiaan dan kelestarian alam raya.


Jumat, 29 Mei 2020. Donasi tahap pertama sudah memenuhi target 200 bongsang. Lepas istirahat siang, langit Tunggilis semu pucat mengantar halimun beranjak turun, menyisakan pemandangan Gunung Gede-Pangrango yang ikut-ikut memucat. Sebentar lagi hujan. Ika baru saja selesai berkeliling ladang, mendata sayur-mayur yang siap panen untuk isi bongsang.

Seturut rencana esok hari, para petani memungkas tuaian pada pagi hingga siang, ketika matahari bungah memancarkan semangat. Lalu pada sore ibu-ibu berkumpul di sanggar, melapisi bongsang dengan daun pisang, mengepak sayur-mayur.

Antrean warga yang menunggu penyaluran bongsang sayur/Lumbung Pangan

Pada subuh di hari berikutnya, mobil pikap hitam melaju dari Cianjur, menyusuri Jalan Raya Puncak yang meliuk-liuk dan dingin. Di balik kemudi, Kang Ojek ditemani Kang Dudu yang mengepalai Kelompok Tani Satria Mandiri, membawa 200 bongsang berisi sayur-mayur hasil panen menuju Gondangdia, Jakarta. Mereka tiba di kantor Lumbung Pangan pada jam setengah tujuh pagi.

Jam tujuh pagi, warga mengantre dalam dua baris, mengikuti protokol keselamatan dengan menjaga jarak sepanjang satu meter dan mengenakan masker, siap menerima bongsang sayur dan kebutuhan dapur lainnya.

Seorang warga menerima sebongsang sayur/Lumbung Pangan

Kang Dudu tidak melepaskan sarung tangannya selama di Jakarta. “Nanti kena virus,” katanya. Namun, barangkali hatinya bahagia melihat tuaian vitaminnya sampai ke orang lain.

Saya menyaksikan itu semua dari balik layar gawai, menggeser satu per satu foto yang dikirimkan Ika, melihat semangat teman relawan Lumbung Pangan mendata dan mengatur warga—katanya mereka datang tanpa diminta, melihat senyum-senyum yang mengembang.

“Ika, kira-kira boleh enggak aku pakai foto Lumbung Pangan untuk tulisan? Tolong izinkan ke Mas Dimas,” tulis saya mengirim pesan ke Ika.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tangan yang Terentang dalam Sebongsang “Donasi Sayur” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tangan-yang-terentang-dalam-sebongsang-donasi-sayur/feed/ 0 22420