Lutfia Indah M, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/lutfia-indah-m/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 12:26:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Lutfia Indah M, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/lutfia-indah-m/ 32 32 135956295 Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/ https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/#comments Wed, 25 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47532 Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang.  Selama ini, setiap melewati kawasan...

The post Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. 

Selama ini, setiap melewati kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, saya selalu dibuat kagum dengan rumah-rumah megah bergaya arsitektur Belanda. Ternyata setiap bangunan dan wilayah memiliki sejarah yang mungkin saja tak banyak orang tahu.

Selama hampir tiga jam saya diajak berkeliling di sekitar Bouwplan VII Malang. Perjalanan kami diawali dari Simpang Balapan, Ijen Boulevard, Jalan Dempo, Jalan Tanggamus, berlanjut ke arah Jalan Cerme, dan berakhir di titik awal, yakni Jalan Pucuk. Sepanjang tiga kilometer perjalanan, banyak cerita yang saya dapatkan dari Mas Han dan Mas Yehezkiel, sang pemandu. Dari perjalanan tersebut, saya baru mengetahui bahwa ada kisah kelam yang dikenal dengan masa interniran.

  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang

Dari Arena Pacuan Kuda sampai Hamid Rusdi

Sebelum menceritakan interniran, saya akan membagikan cerita yang saya dapatkan. Pertama tentang Simpang Balapan, yang sempat saya kira namanya demikian karena sering dijadikan sebagai sirkuit balap liar. Rupanya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada tahun 1920, area yang kini menjadi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Malang, masih berupa lahan tebu. Kemudian sekitar bulan Mei 1920 dibangunlah sebuah arena pacuan kuda. Akses jalan dari pacuan kuda tersebut langsung menghadap ke timur sehingga dijuluki Simpang Balapan. Salah satu keunikan dari pacuan kuda tersebut ialah latar pemandangannya yang sangat indah, yakni Gunung Arjuno. Bahkan sekitar tahun 1938 area pacuan kuda itu dijadikan lokasi jambore internasional dari organisasi kepanduan sedunia.

Tepat di seberang Simpang Balapan, terdapat sebuah patung pria yang berdiri gagah bernama Hamid Rusdi. Ia merupakan pahlawan asli dari Pagak, Malang sekaligus pencetus bahasa walikan yang identik dengan Kera Ngalam (Arek Malang), digunakan untuk mengecoh musuh.

Pada masa pendudukan Jepang, Hamid Rusdi bergabung sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah PETA dibubarkan, banyak anggota yang bergabung pada Badan Keamanan Rakyat (BKR) termasuk Hamid Rusdi. Pada peralihan masa bersiap itulah banyak terjadi spionase dari para sekutu. Guna menjaga kerahasiaan, informasi disampaikan menggunakan bahasa walikan sehingga hanya orang tertentu yang memahaminya. Bahkan beberapa anak buah pun tidak mengetahui artinya.

Singkat cerita, pada 8 Maret 1949, tepatnya saat Agresi Militer Belanda II, Hamid Rusdi gugur di daerah Cemorokandang. Ia dimakamkan di daerah Buring, lalu tahun 1970-an makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Untuk mengenang jasa Arek Malang itu, dibangunlah monumen Hamid Rusdi yang berada di Simpang Balapan, tepat di depan Poltekkes Malang.

Kiri: Pemandu menjelaskan tentang arena pacuan kuda yang dulu ada di depan Jalan Simpang Balapan/Lutfia Indah M. Kanan: Dokumentasi pacuan kuda yang populer semasa kolonialisme Belanda/SIKN Kota Malang.

Jalan Ijen dan Rumah-rumah Mewah Orang Belanda

Simpang Balapan bersandingan dengan Jalan Ijen yang dikenal teduh, memiliki tata ruang yang cantik dengan jajaran rumah khas Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Jalan Ijen menjadi kawasan yang populer dan masuk dalam ajang bergengsi tata kota terbaik di Paris, sekitar 1930-an.

Kawasan tersebut didesain oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten yang juga mendesain daerah Bandung dan Semarang bagian atas. Pernak-pernik yang sampai sekarang masih eksis, seperti pohon palem, rumah beserta taman kecil, trotoar, jalan raya dengan diisi boulevard di tengahnya, merupakan konsep yang sudah dicanangkan sejak zaman Belanda. 

Jalan Ijen diambil dari nama gunung yang ada di Indonesia. Penamaan ini merupakan bagian dari konsep Bouwplan VII yang menggunakan nama-nama gunung sebagai salah satu temanya. Nama-nama jalan bertema gunung lainnya adalah Jalan Kawi dan Jalan Semeru. Tak terkecuali Jalan Salak, sebuah gunung di Jawa Barat yang jadi nama awal jalan di sekitar Taman Makam Pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Penamaan tersebut masih dalam satu kesatuan dengan Bouwplan VII. Namun, untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur mempertahankan Kota Malang, nama jalan tersebut diubah menjadi Jalan Pahlawan TRIP.

Selain bertemakan gunung, beberapa kawasan diberi nama dengan tema beragam, seperti silsilah kerajaan Belanda. Untuk tema ini digunakan pada Bouwplan I, yakni Wilhelminastraat (Jalan Dr. Cipto), Willemstraat (Jalan Diponegoro), Julianastraat (Jalan Kartini), dan Emmastraat (Jalan Dr. Sutomo).

Di Jalan Ijen juga terdapat Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel, gereja Katolik kedua di Kota Malang setelah gereja Kayutangan. Gereja ini didirikan pada 1934 setelah Malang menjadi kota praja dan mulai banyak penduduk.

Gereja ini dirancang oleh Rijksen en Estourgie dengan menggunakan konstruksi beton bertulang. Metode tersebut termasuk konstruksi baru dan pertama kali diterapkan di Hindia Belanda. Gereja Ijen pun akhirnya berdiri dengan sumbu lebih lebar dan panjang tanpa pilar di tengahnya. Gereja yang dibangun pada Februari–Oktober 1934 ini memiliki sebuah lonceng untuk doa kepada Santa Maria yang dibunyikan setiap pukul 06.00, 12.00, dan 18.00 WIB.

Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
Gereja Ijen berada tepat menghadap Jalan Salak (Jalan Pahlawan TRIP) dan berada di kawasan Jalan Ijen/Lutfia Indah M

Kisah Gugurnya Pasukan TRIP Mempertahankan Tanah Air

Tak jauh dari gereja tersebut, terdapat Taman Makam Pahlawan TRIP yang mengandung cerita tragis. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Warga saat itu telah mundur ke Blitar. Namun, terdapat sekelompok pemuda TRIP dari Brigade VII Batalyon 5000 ingin mempertahankan Kota Malang. Ketika mendengar bahwa pasukan Belanda akan melintasi Kota Malang, mereka bersiap untuk mengadang. 

Untuk mengadang Belanda, mereka disebar di beberapa titik. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menebang pohon di Singosari, hingga membumihanguskan Kota Malang. Setidaknya terdapat 1.000 bangunan berupa hotel, bioskop, kantor pemerintahan yang berhasil terbakar. 

Namun, ternyata perkiraan tentang arah kedatangan pasukan Belanda meleset. Pergerakan Belanda sempat terhenti di sekitar Gereja Ijen. Pasukan TRIP hanya bermodalkan senjata seadanya, tetap melawan Belanda dengan gagah berani. Pertarungan terjadi hingga di Jalan Salak. Belanda dengan masif melayangkan serangan, menyebabkan banyak pasukan TRIP tertembak. Bahkan terdapat salah satu pelajar datang membawa granat untuk dilemparkan ke arah tank, tetapi gagal. 

Agar tidak banyak memakan korban, pasukan yang masih selamat harus bersembunyi dan berpura-pura mati di parit sekitar Jalan Salak. Sore harinya, mereka kembali ke markas dan berlari ke perkampungan yang ada di daerah Gadingkasri.

Butuh waktu 3–4 hari untuk memastikan suasana sudah aman dari pergerakan Belanda. Pada saat itulah jenazah pemuda TRIP baru dapat dikuburkan. Terdapat 35 jasad yang ditemukan dan dikubur secara massal di lahan kosong Jalan Salak. Kini makam para Pahlawan TRIP telah direnovasi oleh Pemkot Malang. 

Di jalan tersebut juga dibangun sebuah monumen untuk mengenang pahlawan TRIP. Bahkan setiap bulan Juli, terdapat kelompok masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Reenactor memperingati peristiwa tersebut dengan aksi teatrikal.

Kiri: Gambaran peta kawasan kamp interniran yang digunakan untuk menahan orang Belanda pada masa pendudukan Jepang/History Dun Walk Malang. Kanan: Peta kamp interniran di Kota Malang/japanseburgerkampen.

Jepang Datang, Orang Belanda Tertahan di Kamp Interniran

Setelah perjalanan yang panjang, kami dibawa ke depan bangunan SMPN 1 Kota Malang yang berada di Jalan Lawu. Ternyata bangunan sekolah tersebut dulunya dimiliki oleh Yayasan Freemason. Tak hanya itu, Jalan Lawu juga termasuk dalam kamp interniran atau kamp konsentrasi atau penjara bagi warga keturunan Belanda pada masa pendudukan Jepang di Kota Malang.

Kamp interniran berada di dua wilayah, yakni daerah Rampal dan kawasan Jalan Ijen serta Oro-oro Dowo. Kamp Ijen berada di seluruh area yang berbatasan dengan Jalan Ijen, Jalan Wilis, Jalan Anjasmoro, Jalan Buring, Jalan Bromo, hingga Jalan Semeru. Pada saat Jepang menguasai Kota Malang, orang Belanda khususnya perempuan dan anak-anak ditahan di rumah-rumah dan bangunan yang berada di kawasan Ijen. Kamp tersebut dikelilingi dengan gedek dan kawat berduri.

Terdapat tiga pintu gerbang yang dijaga ketat oleh Tentara Jepang di Jalan Ijen, Jalan Oro-oro Dowo, dan Jalan Bromo. Setiap rumah dapat dihuni lebih dari 50 orang dan berlangsung hingga tiga tahun, dimulai saat Jepang datang ke Kota Malang pada 1942. Terdapat satu dapur umum yang terpusat di daerah Welirang dan rumah sakit di Jalan Argopuro. Namun, suplai makanan dan minuman yang disediakan sangat terbatas, bahkan untuk mengakses pakaian layak pun mereka kesulitan.

Saat ditahan dan dipaksa meninggalkan rumah masing-masing, tidak banyak barang yang dapat mereka bawa. Jepang menyita barang-barang milik Belanda yang tersisa, termasuk pagar rumah untuk digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat perang.

Diketahui bahwa penahanan tersebut salah satunya disebabkan oleh ketidaksukaan Jepang terhadap orang-orang kulit putih. Jepang ingin menunjukkan supremasi kekuasaan dan kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan Eropa. 

Beberapa sumber mengatakan bahwa rumah-rumah Belanda yang kosong akibat interniran, diserahkan kepada warga Tionghoa. Mereka dianggap lebih mampu merawat rumah-rumah tersebut, tetapi menimbulkan kecemburuan terhadap warga pribumi. Ada juga yang mengatakan bahwa setiap rumah yang kosong dapat dengan mudah ditempati oleh siapa pun. Hingga akhirnya, setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan mundur dari Indonesia, para interniran mulai dibebaskan dan dipulangkan ke negara asalnya.  

Cerita-cerita itu merupakan sedikit dari rangkuman perjalanan mencari sejarah-sejarah yang masih terkandung di Kota Malang. Siapa sangka kota yang kini sering dilanda banjir saat hujan deras dan macet ketika akhir pekan panjang, memiliki sejarah kelam yang tak gagal membuat bulu kuduk merinding. Kendati demikian, kota yang menjadi tempat saya betah merantau hingga delapan tahun ini membuat saya semakin penasaran dan ingin menyelaminya lebih dalam lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/feed/ 1 47532
Kelenteng Eng An Kiong dan Perayaan Imlek 2023 https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-dan-perayaan-imlek-2023/ https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-dan-perayaan-imlek-2023/#respond Mon, 13 Mar 2023 04:00:24 +0000 https://telusuri.id/?p=37651 Perayaan Tahun Baru Imlek pada 22 Januari 2023 lalu merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kelenteng Eng An Kiong, Kota Malang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan tua yang berdiri sejak 1825 atas inisiasi dari Letnan...

The post Kelenteng Eng An Kiong dan Perayaan Imlek 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Perayaan Tahun Baru Imlek pada 22 Januari 2023 lalu merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kelenteng Eng An Kiong, Kota Malang. Kelenteng tersebut merupakan bangunan tua yang berdiri sejak 1825 atas inisiasi dari Letnan Kwee Sam Hway. Konon Letnan Kwee Sam Hway merupakan keturunan ketujuh dari seorang jenderal pada masa Dinasti Ming, di Tiongkok. Dan, menjadi tempat beribadah untuk tiga umat beragama atau Tri Dharma, yakni Khonghucu, Tao, dan Buddha.

Saya datang pagi hari, ketika pertunjukkan barongsai sudah meramaikan halaman depan kelenteng. Saat itu banyak warga yang juga berkunjung untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut. Pasalnya, pada saat perayaan Imlek, tak hanya umat Tri Dharma saja yang dapat mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong, namun juga masyarakat umum.

Saya sempat dibuat penasaran terkait barongsai yang sangat identik dengan perayaan Imlek. Beruntungnya, saya mendapatkan kesempatan untuk bercengkrama dengan Ketua Umum Yayasan Kelenteng Eng An Kiong yakni Pak Rudy Phan. Beliau menjelaskan bahwa barongsai sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh para leluhur. Masyarakat dahulu percaya bahwa barongsai dapat mengusir roh-roh jahat, dan saat ini roh-roh tersebut diibaratkan juga sebagai aura jahat. Maka dari itu barongsai identik dengan perayaan Imlek dan tetap dipertahankan hingga saat ini.

  • Kelenteng Eng An Kiong
  • Kelenteng Eng An Kiong

Usai pertunjukan barongsai, perayaan berlanjut dengan pertunjukan liang-liong atau tari naga. Para penari membawa tiang-tiang untuk menyangga badan naga. Mereka dengan terampil dan cekatan membentuk liukan yang sangat indah pada badan naga. Tak heran pertunjukkan tersebut berhasil memukau masyarakat yang berkerumun.

Saat pertunjukkan sudah berakhir, umat Tri Dharma terlihat semakin banyak yang berdatangan. Dengan langkah yang sedikit ragu, saya akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kelenteng. Meskipun dibuka untuk umum, namun saya khawatir keberadaan saya justru akan mengganggu kenyamanan para umat yang beribadah. 

Asap dan semerbak bau dupa menyambut kedatangan saya. Dupa tersebut berasal dari umat Tri Dharma yang tengah berkeliling dari satu altar menuju altar lainnya yang menggenggam beberapa dupa di tangannya. Ada banyak sekali patung dewa dan dewi di sini. Ada sekitar 18 altar untuk memuja mereka. Sementara itu, patung dewa-dewi yang ada di sana kurang lebih berjumlah 28, dan satu di antaranya merupakan patung tertua yakni patung Dewa Bumi, Hok Tek Ceng Shin, yang berusia lebih dari 3.000 tahun.

Saat itu saya hanya memperhatikan patung-patung tersebut dari balik pintu masing-masing altar. Saya tidak ingin dengan memasuki altar yang ada, karena tidak mau mengganggu peribadatan umat Tri Dharma di Kelenteng Eng An Kiong.

Kelenteng Eng An Kiong
Altar dan salah satu patung dewa di Kelenteng Eng An Kiong/Lutfia Indah

Kendati tak memasuki altar, namun beragam ornamen yang ada di Kelenteng Eng An Kiong sudah dapat membuat saya takjub. Nuansa budaya Tionghoa sangat kental sekali di Kelenteng yang telah menjadi bangunan cagar budaya di Kota Malang tersebut. Mulai dari warna bangunan, dupa, hingga tempat untuk meletakkan dupa, didominasi dengan warna merah dan kuning keemasan. Bahkan di bagian dalam kelenteng juga terdapat ornamen kolam ikan koi dengan patung biksu yang tengah bermeditasi. 

Pak Rudy Phan juga menjelaskan bahwa di Kelenteng Eng An Kiong ini tak hanya sebagai sarana umat untuk beribadah. Mereka juga mengusung misi untuk melestarikan kebudayaan Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sanggar tari dan karawitan, pertunjukan barongsai yang menerima permintaan untuk tampil di acara besar, hingga olahraga pingpong maupun wushu. Pak Rudy juga menuturkan, di bagian belakang kelenteng juga terdapat Puskesmas kecil yang digunakan untuk melayani masyarakat sekitar. 

Berdirinya kelenteng bermula saat kaum Tionghoa yang bermukim di Kota Malang semakin banyak, lebih dari 600 tahun lalu. Mereka memiliki kecenderungan untuk membuat rumah secara terpusat. Hingga akhirnya membangun permukiman yang berada di Jalan R.E. Martadinata nomor 1, Kotalama, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

“Mereka biasanya kumpul di suatu tempat, makanya di daerah sini dinamakan Pecinan. Orang China di Indonesia sudah ratusan tahun, mereka di sini dagang. Mereka ingin berdoa, sembahyang, ya akhirnya mendirikan kelenteng,” sambung Pak Rudy.

Berkunjung ke Kelenteng Eng An Kiong membuat saya semakin merasa indahnya toleransi umat beragama di Indonesia. Bukan hanya perihal satu bangunan kelenteng yang menampung tiga umat beragama saja. Namun pada saat perayaan Imlek pun masyarakat umum dapat turut serta memeriahkannya, bahkan dipersilakan memasuki bagian dalam kelenteng.

Bentuk kebersamaan lainnya juga ditunjukkan pada rangkaian terakhir perayaan Imlek, yakni saat Cap Go Meh. Ketika perayaan Cap Go Meh, Kelenteng Eng An Kiong menyiapkan ribuan porsi lontong Cap Go Meh yang dihidangkan kepada masyarakat umum. 

Rupanya menghabiskan akhir pekan saya untuk menyambangi Kelenteng Eng An Kiong  menjadi hal catatan hari yang menyenangkan. Bangunan tersebut bukan hanya menjadi tempat peribadatan umat Tri Dharma, namun juga salah satu bukti sejarah berbaurnya berbagai kebudayaan yang ada di Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kelenteng Eng An Kiong dan Perayaan Imlek 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-dan-perayaan-imlek-2023/feed/ 0 37651
Perjalanan ke Kampung Topeng Desaku Menanti https://telusuri.id/perjalanan-ke-kampung-topeng-desaku-menanti/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-kampung-topeng-desaku-menanti/#respond Tue, 28 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37386 Terdapat sebuah cerita menarik yang datang dari salah satu perkampungan di Kota Malang, yakni Kampung Topeng Desaku Menanti. Perkampungan yang baru berdiri pada tahun 2016 silam ini dihuni oleh mantan gelandangan, pengemis, hingga pemulung yang...

The post Perjalanan ke Kampung Topeng Desaku Menanti appeared first on TelusuRI.

]]>
Terdapat sebuah cerita menarik yang datang dari salah satu perkampungan di Kota Malang, yakni Kampung Topeng Desaku Menanti. Perkampungan yang baru berdiri pada tahun 2016 silam ini dihuni oleh mantan gelandangan, pengemis, hingga pemulung yang disaring oleh pemerintah. Sematan kata “Desaku Menanti” memang tampak asing untuk nama sebuah kampung, namun unik. Ternyata, Desaku Menanti merupakan sebuah program rehabilitasi dan pembinaan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia kepada eks gelandangan dan pengemis (gepeng) dengan mendirikan perkampungan baru. 

Rupanya tidak semua eks gepeng dapat menempati rumah yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah tersebut. Dinas Sosial bersama dengan Pemerintah Provinsi dan Kemensos harus menjaring sekitar 80 gepeng untuk dilakukan proses seleksi hingga akhirnya tersaringlah sebanyak 40 KK. Para warga binaan yang telah tersaring pun harus berjanji untuk tidak kembali ke jalanan, melakukan pekerjaan seperti sedia kala ketika mereka belum tinggal di rumah yang saat ini mereka huni. 

Perjalanan yang harus saya tempuh untuk dapat menyambangi Kampung Topeng Desaku Menanti sendiri memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota Malang. Di perjalanan ketika mendekati titik lokasi, saya dibuat heran dan bingung sebab penunjuk jalan yang terpasang sudah lapuk dan tidak memadai. 

Desaku Menanti
Dua patung topeng malangan raksasa/Lutfia Indah Mardhiyatin

Akhirnya, saya berhasil menjumpai gapura masuk yang bertuliskan “Selamat Datang di Desaku Menanti Kota Malang”. Dari jauh, dua patung topeng raksasa besar sudah menyambut kedatangan saya ke kampung yang kondisinya cukup sepi kala itu. Ternyata, kedua patung topeng raksasa tersebut tak lain merupakan perwujudan dari karakter Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Meskipun sepi, kondisi sekitar terbilang bersih juga tampak apik dengan beragam ornamen, patung topeng raksasa, hingga topeng-topeng yang menghiasi kawasan yang terawat. 

Di sana terdapat sebuah bangunan dengan plang nama Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera yang sering melakukan pembinaan kepada masyarakat di kampung tersebut. Sesuai dengan program yang dicanangkan, warga binaan mendapatkan berbagai pelatihan, pembinaan, dan pembekalan keterampilan yang tak henti-hentinya digalakkan oleh pemerintah saat itu. Hingga akhirnya, Kampung Topeng pun disulap menjadi sebuah kampung wisata yang bertujuan untuk mengubah mindset warga binaan sekaligus menunjang perekonomian mereka.

Dengan dijadikan sebagai desa wisata dan banyak masyarakat yang mengunjungi kampung tersebut, pendapatan warga setempat dapat terbantu melalui penjualan tiket, souvenir, maupun parkir. Tak hanya itu, sejak warga binaan mulai memproduksi keripik dan dibantu oleh Dinas Sosial untuk pemasarannya, mereka pun perlahan dapat menabung meskipun hanya Rp1.000 sampai Rp2.000 setiap harinya.

Beberapa warga juga diberikan pelatihan untuk membuat kerajinan Topeng Malangan sesuai dengan identitas yang disematkan pada Kampung Topeng Desaku Menanti. Dahulu terdapat 10 orang yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (Kube) Topeng Malangan, dan hampir semua warga di sana memahami cara pembuatan topeng. Berkat binaan dari pemerintah pada saat itu yang membantu pemasaran produk warga setempat, pesanan Topeng Malangan pun selalu ramai untuk dikirim ke berbagai tempat. 

Hingga akhirnya ketika terjadi pergantian jabatan dari dinas terkait, eksistensi Kampung Topeng Desaku Menanti pun perlahan memudar. Hal tersebut diiringi oleh kegiatan produksi keripik maupun Topeng Malangan yang mulai ditinggalkan warganya. 

Saya sempat menemui salah satu warga binaan yang pernah tergabung dalam Kube Topeng Malangan, namanya Pak Andik. Ia menceritakan bahwa menjelang pergantian jabatan, mereka sempat mendapatkan pesanan Topeng Malangan namun pembina justru memesankannya dari pengrajin lain untuk dijual kembali. Pak Andik tak menahu terkait alasan di baliknya.

Sepinya kondisi perkampungan saat saya datang berkunjung rupanya disebabkan oleh para warga binaan yang kini telah berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Pak Andik mengungkapkan bahwa beberapa warga kini banyak yang telah bekerja di pabrik, berjualan, maupun kembali ke jalan sebagai pemulung, sama seperti yang saat ini ia lakukan. 

Pak Andik sendiri tak menginginkan untuk kembali memulung, namun ia tak dapat berbuat banyak mengingat sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak sementara kebutuhan ekonomi yang semakin kencang mengejarnya. Tak jarang Pak Andik pun menerima tawaran dari temannya ketika dibutuhkan untuk menjadi kuli bangunan. 

Dengan mengingat masa lalu, besar harapan Pak Andik untuk dapat kembali memproduksi Topeng Malangan seperti sebelumnya. Namun hambatan yang ia dan warga lainnya temukan ialah ketidakpastian pasar.

Desaku Menanti
Bengkel kerja yang kini terbengkalai/Lutfia Indah Mardhiyatin

Bahkan, bengkel kerja yang dulunya dijadikan sebagai pusat produksi keripik pun kini terbengkalai. Bengkel kerja yang mulai usang dan dipenuhi rumput liar tersebut menjadi bukti sejarah perjuangan warga binaan untuk dapat bertahan dalam ketidakpastian hidup yang harus mereka jalani. 

Mereka, para warga Kampung Topeng Desaku Menanti hingga saat ini masih menantikan adanya seorang penggerak. Mereka masih setia menantikan bantuan untuk dapat kembali hidup menjadi tempat pariwisata yang sama diperhitungkannya seperti kampung-kampung tematik lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan ke Kampung Topeng Desaku Menanti appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-kampung-topeng-desaku-menanti/feed/ 0 37386
Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/ https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/#respond Mon, 16 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36879 Kawasan Koridor Kayutangan Heritage kembali ramai setelah sebelumnya dilakukan perbaikan dan pembenahan. Memasang lampu-lampu yang sekilas tampak mirip dengan kawasan Malioboro di Koridor Kayutangan diharapkan dapat membuat kawasan ini “lebih hidup”. Pemerintah setempat juga kembali...

The post Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Koridor Kayutangan Heritage kembali ramai setelah sebelumnya dilakukan perbaikan dan pembenahan. Memasang lampu-lampu yang sekilas tampak mirip dengan kawasan Malioboro di Koridor Kayutangan diharapkan dapat membuat kawasan ini “lebih hidup”. Pemerintah setempat juga kembali menggagas Kayutangan Heritage sebagai pusat keramaian dengan menambahkan kursi-kursi dan banyak ornamen lain.

Ide tersebut ternyata berhasil. Sejak awal terpasangnya lampu-lampu tersebut, Koridor Kayutangan Heritage semakin ramai—menjadi jujukan anak muda hingga orang tua untuk nongkrong maupun sekadar berjalan-jalan santai. Keramaian ini selaras dengan pembukaan kafe-kafe bernuansa heritage tepat di sisi samping koridor. 

Meskipun pada akhirnya timbul persoalan baru seperti tidak adanya lahan parkir khusus bagi pengunjung Koridor Kayutangan, Pemerintah Kota Malang tetap kukuh dengan ambisinya untuk meramaikan Kayutangan Heritage dengan beragam acara hiburan yang dapat dinikmati secara gratis oleh masyarakat.

Salah satunya, pada Sabtu (26/11/2022) lalu, sebuah keramaian kembali terjadi di sini. Jauh hari sebelumnya, saya telah mendapatkan informasi bahwa akan ada acara besar di kawasan tersebut, yakni Malang Creativa Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Malang.

Malang Creativa Festival membawa gagasan sebagai wadah untuk menampung kreativitas warga Kota Malang untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana kebangkitan ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, ada sekitar 50 stan yang diisi oleh beragam hal seperti kuliner, kerajinan tangan, produk-produk UMKM, dan lainnya.

Ketika saya berkunjung ke acara tersebut, memang benar bahwa banyak stan yang menunjukkan kekhasan dan kreativitas masyarakat Kota Malang, akan tetapi saya merasa stan dari hotel-hotel di sekitar Malang mendominasi. Sedangkan warga sekitar Kayutangan sendiri, hanya ambil andil pada sebagian kecil stan ada.

Stan-stan dari hotel tersebut saling “berlomba” menunjukkan kuliner unggulan masing-masing. Bahkan, mereka menawarkannya dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang membelinya langsung di hotel terkait.

Meskipun acara Malang Creativa Festival dibuka gratis untuk umum, namun berbagai jenis kuliner hingga produk oleh-oleh diperjualbelikan di sini. Jelas saja, karena tujuan dari kegiatan ini memang untuk memajukan ekonomi “masyarakat”.

malang creativa
Keramaian di acara saat pagi hari/Lutfia Indah Mardhiyatin

Stan-stan miliki warga Kayutangan menarik perhatian saya. Mereka seakan membawa pernak-pernik dari kampung yang untuk dipamerkan. Alhasil, nuansanya cukup berbeda dengan stan lain. Lebih klasik, tempo dulu. Tak hanya dekorasi saja yang menarik, warga juga menjajakan produk olahan seperti kue khas Kayutangan. Dan yang paling menarik, mereka juga menghadirkan soto batok yang sesuai namanya disajikan menggunakan batok kelapa.

Selain hotel dan warga Kayutangan, kampung sebelah juga ikut unjuk gigi. Salah satunya, Kampung Keramik Dinoyo yang sesuai namanya, membawa kerajinan-kerajinan dari keramik. Saya sangat senang dengan warna-warna yang mereka gunakan dalam pembuatan keramik, tampak lembut namun menyegarkan mata. Menurut saya, hal ini menjadikan kerajinan keramik ini jauh dari kesan “tua” dan tentu saja sangat cocok untuk pajangan, membuat ruang-ruang menjadi lebih estetik. 

Para pengrajin keramik di kampung tersebut juga mencetuskan sebuah ide baru yakni membuat topeng Malang-an dari bahan keramik. Kita bisa mencoba membuatnya, ada meja putarnya. Namun sayang, tak bisa dipakai karena saat saya datang, tidak ada listrik yang terhubung ke sini.

Salah satu stan, menarik perhatian saya. Di stan tersebut memamerkan produk-produk garapan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), salah satunya yakni topeng malangan. Ketika saya mampir untuk sekedar melihat-lihat, beberapa ABK tengah sibuk mewarnai topeng-topeng yang akan mereka pajang dan diperjual-belikan nantinya. Rupanya, produk-produk tersebut sudah memiliki satu ruangan khusus di dalam Gedung DPRD Kota Malang untuk dipasarkan.

Di Malang Creativa Festival, ada gelaran musik jalanan yang biasa diselenggarakan di Koridor Kayutangan. Sebuah panggung besar pun tak ketinggalan. Selama acara berlangsung, panggung tersebut tak pernah berhenti menampilkan band-band dan hiburan lainnya, kecuali ketika hujan.

Namun siapa sangka, salah satu tujuan pemerintah daerah setempat untuk menjadikan pusat keramaian di Kawasan Kayutangan Heritage rupanya tidak sepenuhnya berjalan lancar. Ramainya kawasan koridor tidak memberikan banyak pengaruh bagi kunjungan masyarakat ke dalam Kampung Kayutangan Heritage. Ketika saya mengunjungi stan milik warga Kampung Kayutangan Heritage, saya tidak sengaja bertemu dengan Bu Mila, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Kayutangan Heritage. 

  • kayutangan heritage
  • Kampung Kayutangan Heritage
  • Karya teman-teman ABK
  • Kerajinan keramik

Bu Mila bercerita bahwa meskipun berkali-kali Pemerintah Kota Malang menggagas acara serupa di Kawasan Koridor Kayutangan, tidak akan membuat kampung tersebut sebanding keramaiannya dengan koridor. Menurutnya persoalan tersebut diakibatkan perbedaan segmen yang ada, seperti pengunjung yang datang ke Kampung Kayutangan merupakan mereka yang benar-benar ingin berkunjung menikmati nuansa heritage perkampungan. Sedangkan mereka yang datang ke kawasan koridor, tentu saja untuk mencari hiburan, memanfaatkan kursi-kursi yang ada untuk jagongan, juga pergi ke kafe-kafe untuk nongkrong.

Kendati demikian, hal tersebut tak langsung membuat para warga merasa ciut. Ramainya Koridor Kayutangan membuat mereka lebih memutar otak untuk memajukan wisata di perkampungan tersebut. Bu Mila juga berharap ketika terdapat acara di Koridor Kayutangan lagi, ia menginginkan pemerintah juga mengikutsertakan kawasan perkampungan sehingga kegiatan tidak hanya terpusat di kawasan koridor semata.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/feed/ 0 36879
Mengunjungi Kampung-Kampung Tematik di Kota Malang dalam Perayaan Festival Sungai Brantas https://telusuri.id/mengunjungi-kampung-kampung-tematik-di-kota-malang/ https://telusuri.id/mengunjungi-kampung-kampung-tematik-di-kota-malang/#respond Fri, 16 Sep 2022 02:06:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35311 Untuk memperingati Hari Sungai Nasional sekaligus menggerakkan kembali roda perekonomian, beberapa kampung tematik di Kota Malang menyelenggarakan Festival Kali Brantas yang digagas oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat. Festival tersebut telah diselenggarakan sejak tanggal 24-27...

The post Mengunjungi Kampung-Kampung Tematik di Kota Malang dalam Perayaan Festival Sungai Brantas appeared first on TelusuRI.

]]>
Untuk memperingati Hari Sungai Nasional sekaligus menggerakkan kembali roda perekonomian, beberapa kampung tematik di Kota Malang menyelenggarakan Festival Kali Brantas yang digagas oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat. Festival tersebut telah diselenggarakan sejak tanggal 24-27 Juli 2022 di kampung-kampung tematik yang dilintasi oleh aliran Sungai Brantas.

Kebetulan, saya mendapatkan kesempatan untuk hadir di 3 kampung tematik tersebut, yaitu Kampung Putih, Kampung Biru Arema, dan Kampung Jodipan. Berbagai rangkaian acara pun dilaksanakan sekaligus untuk mengkampanyekan kebiasaan hidup bersih dengan merawat Sungai Brantas yang selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat di kampung-kampung tematik tersebut.

Kampung Biru Arema
Kampung Biru Arema

Pertama, pada hari Senin tepatnya tanggal 25 Juli 2022 saya berkunjung ke Kampung Putih yang terletak persis di samping Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang. Event ini merupakan awal mula bagi Kampung Putih untuk bangkit kembali akibat pandemi dan juga banjir bandang yang memporak porandakan sebagian kampung pada November 2021 lalu. Saat saya menginjakkan kaki kembali ke Kampung Putih, rumah-rumah warga yang ambruk telah berdiri kembali, namun sayangnya salah satu taman yang berada di ujung kampung bernama Taman Daya’ tak dapat diselamatkan, kondisinya rata dengan tanah.

Mural di Kampung Putih
Mural di Kampung Putih

Pada rangkaian kegiatan tersebut, anak-anak dengan memukul kentongan dari bambu dan diikuti oleh pengunjung di belakangnya, berjalan mengelilingi kampung menuju ujung kampung tepatnya di pinggiran kali yang juga dekat dengan bekas Taman Daya’. Saat saya berjalan mengikuti iring-iringan anak-anak pemukul kentongan, sepanjang perjalanan terdapat beberapa warga yang berdiri di rumah masing-masing membawa kertas yang berisi tulisan atau ajakan untuk menjaga lingkungan sungai. Di pinggir sungai, anak-anak Kampung Putih pun menunjukkan bakat mereka untuk menari dengan dipandu oleh satu orang dewasa. Acara tersebut juga dimeriahkan oleh penampilan-penampilan musik dari pihak luar yang turut mendukung kegiatan di Kampung Putih. 

Sesuai dengan namanya, Kampung Putih dikonsep sebagai perkampungan yang setiap rumahnya berwarna seragam dominan putih dengan sentuhan warna hijau. Sayangnya, pencanangan Kampung Putih sebagai destinasi pariwisata dapat dikatakan belum cukup maksimal. Hal ini dilihat dari banyaknya cat-cat yang terdapat di rumah warga mulai memudar. Untung saja, permasalahan tersebut dapat diakali dengan mural yang dilakukan selama kegiatan berlangsung. Meskipun tidak dilakukan di seluruh tembok warga, setidaknya hal tersebut dapat sedikit membantu memperindah Kampung Putih.

Salah satu spot foto di Kampung Putih
Salah satu spot foto di Kampung Putih

Berikutnya pada Hari Selasa, 26 Juli 2022 saya kembali mengikuti rangkaian Festival Kali Brantas di Kampung Biru Arema. Kampung dengan warna serba biru melambangkan tim sepak bola kebanggaan Arek Malang ini telah menjadi kampung tematik sejak tahun 2018 yang juga dilewati oleh aliran Sungai Brantas. Berbeda dengan Kampung Putih, kegiatan yang ada di Kampung Biru Arema ini lebih untuk menghibur warga setempat dan upaya pulih dari kondisi usai pandemi.

Ketika saya sampai di lokasi, nyanyian-nyanyian dari anak-anak Kampung Biru Arema ramai terdengar. Diiringi dengan tabuhan drum, hingga iringan musik angklung, chant-chant suporter meriah dinyanyikan bersama-sama. Menariknya, tidak hanya warga Kota Malang saja yang hadir, namun turis dari luar negeri pun turut mengikuti kegiatan tersebut dengan sumringah.

Di Kampung Biru Arema, terdapat patung singa besar berwarna emas sebagai ikon atau ciri khas kampung tersebut. Di sana juga dipenuhi dengan mural yang berisi dukungan terhadap tim sepak bola Arema serta gambar para pemain. 

Terakhir, pada Festival Kali Brantas ini saya juga berkunjung di Kampung Jodipan yang sudah dikenal sebagai pelopor munculnya kampung tematik di Kota Malang. Acara yang diselenggarakan pada 27 Juli 2022 ini merupakan puncak dari festival karena bertepatan dengan Hari Sungai Nasional. Kondisi lokasi sangat padat dengan pengunjung maupun masyarakat setempat yang tinggal di sana. Rangkaian acara mulai dari tari-tarian di bibir Sungai Brantas, hingga pawai lampion pada malam harinya membuat acara menjadi sangat menarik perhatian para pengunjung.

Lampion di Kampung Warna Warni Jodipan
Lampion di Kampung Jodipan

Untuk memperingati hari sungai, sebelum kegiatan hiburan, para warga terlebih dahulu melakukan kerja bakti untuk membersihkan kali yang melintasi perumahan warga tersebut. Barulah setelah itu pada sore harinya warga kembali berkumpul untuk menyaksikan penampilan tari kreasi. Untuk memperindah lokasi hiburan, di pinggir-pinggir sungai dihiasi dengan obor yang menjadikan suasana menjadi semakin syahdu. 

Sayangnya, saya tidak dapat mengikuti kegiatan di Kampung Jodipan hingga selesai sehingga dengan terpaksa harus melewati festival lampion di sana. Sekilas yang saya lihat sebelum beranjak dari kampung tersebut, lampion-lampion yang dibawa oleh warga setempat berasal dari olahan barang bekas. Mungkin saja, hal ini juga melambangkan ajakan kepada masyarakat untuk meminimalisir adanya sampah yang terbuang dan mengotori wilayah sungai.

Jadi, seperti itulah perjalanan saya mengikuti beberapa rangkaian Festival Kali Brantas yang dipelopori oleh Pokdarwis Kota Malang. Kota Malang memang tidak memiliki wisata alam seperti yang dimiliki oleh dua saudaranya, yakni Kota Batu dan Kabupaten Malang. Namun Kota Malang tetap ingin memajukan perekonomian masyarakat melalui sektor pariwisata, akhirnya tercetuslah ide untuk menggagas kampung-kampung yang awalnya kumuh menjadi kampung wisata tematik. 

Meskipun menurut saya gagasan di beberapa kampung tematik Kota Malang masih belum dapat tertata dan berjalan dengan baik, setidaknya inisiator dan pemeran utama dalam perencanaan tersebut ialah berasal dari masyarakat setempat itu sendiri. Konon, gerakan yang berasal dari akar rumput jauh lebih kuat daripada kebijakan yang bersifat top-down atau diusung langsung oleh pemerintah kepada warganya. 

Tapi, Kota Malang tidak dapat menjadi kota yang maju hanya dalam 10 atau 20 tahun, begitu pula dengan kampung-kampung tematik yang ada di dalamnya, yang secara hitungan belum mencapai usia 10 tahun menjadi kampung tematik. Kampung-kampung tematik di Kota Malang ini masih mencoba merangkak dan berjalan dengan lancar hingga akhirnya lambat laun dapat berlari kencang untuk menjadi faktor penunjang ekonomi rakyat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Kampung-Kampung Tematik di Kota Malang dalam Perayaan Festival Sungai Brantas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-kampung-kampung-tematik-di-kota-malang/feed/ 0 35311
Mencari Sejarah yang Terkubur di Kuburan Londo, Sukun https://telusuri.id/mencari-sejarah-yang-terkubur-di-kuburan-londo-sukun/ https://telusuri.id/mencari-sejarah-yang-terkubur-di-kuburan-londo-sukun/#respond Sat, 18 Jun 2022 01:29:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33910 Meskipun terkesan menyeramkan, rupanya bukan keputusan yang salah ketika saya memutuskan untuk berjalan-jalan di kawasan TPU Nasrani Sukun di Kota Malang. TPU yang juga dikenal sebagai Kuburan Londo tersebut rupanya terkubur beberapa sejarah dan juga...

The post Mencari Sejarah yang Terkubur di Kuburan Londo, Sukun appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun terkesan menyeramkan, rupanya bukan keputusan yang salah ketika saya memutuskan untuk berjalan-jalan di kawasan TPU Nasrani Sukun di Kota Malang. TPU yang juga dikenal sebagai Kuburan Londo tersebut rupanya terkubur beberapa sejarah dan juga menyingkap bukti sejarah di Kota Malang. 

Ketika saya pertama kali berkunjung ke sana dan bertemu dengan salah satu pengurus kuburan, yakni Pak Andri, saya dibuat terkejut ternyata banyak sekali tokoh-tokoh penting baik di Kota Malang maupun di kota-kota lainnya yang dimakamkan di sini. Pemakaman yang dulunya dikhususkan sebagai pemakaman orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda, kini telah beralih menjadi makam bagi umat Nasrani.

Area pemakaman/Lutfia Indah Mardhiyatin

Pak Andri menceritakan dan menunjukkan beberapa makam tokoh-tokoh penting kepada saya dengan mengendarai sepeda motor. Pak Andri sempat menolak ketika saya memintanya untuk berjalan kaki saja, rupanya di luar bayangan, makam di area tersebut sangatlah luas. 

Mulai dari tokoh pendiri salah satu rumah sakit tua di Kota Malang yaitu RS Lavalette, pendiri Sekolah Pendeta Balewiyata, hingga makam Mami Dolly yang merupakan tokoh penting dari pendirian lokalisasi di Kota Surabaya pun disemayamkan di pekuburan ini. 

Makam dari tokoh pendiri Sekolah Pendeta Balewiyata Dr. B. M. Schuurman/Lutfia Indah Mardhiyatin

Pak Andri pun tak lupa untuk menceritakan salah satu kisah dari tokoh pendiri Sekolah Pendeta Balewiyata yang bernama Dr. B. M. Schuurman. Sekilas yang saya ingat, beliau adalah seorang Belanda yang sangat mencintai tradisi maupun kebudayaan Jawa. Kecintaannya tersebut dituangkan dengan membuat buku yang berjudul Pambiyaking Kekeraning Ngaurip. Berkat buku tersebut, ia harus menanggung risiko dijadikan oleh Bangsa Jepang sebagai kambing hitam dan dianggap telah melakukan provokasi kepada pribumi untuk melakukan perlawanan kepada Jepang.

Ternyata bukan hanya menyimpan bukti kehadiran Belanda di Kota Malang, Kuburan Londo juga menyimpan kenangan penduduk maupun tentara Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II. Menurut cerita dari Pak Andri, para ksatria Jepang yang gugur tersebut terkubur di bawah sebuah monumen yang akrab dengan sebutan Tugu Jepang. 

Setiap Bulan September, khususnya sebelum pandemi, rombongan dari Konsulat Jenderal Jepang dari Surabaya dan berbagai pengusaha Jepang yang tinggal di Indonesia datang ke Tugu Jepang untuk melakukan penghormatan kepada leluhur mereka yang terkubur di Tugu Jepang. Kebetulan Pak Andri juga merupakan pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kuburan Londo dan pernah mengikuti kegiatan tersebut. Pak Andri bercerita bahwa rombongan akan berkumpul di tenda yang didirikan di depan tugu. Pimpinan Konsulat Jenderal Jepang akan menyampaikan pidato sekaligus bertujuan untuk mendoakan para leluhur. Barulah setelah itu rombongan secara bergantian melakukan penghormatan kepada peziarah lain yang datang dan kepada leluhur atau disebut ojigi.’

Selain Tugu Jepang, Kuburan Londo juga memiliki kompleks kepastoran yang merupakan area pemakaman untuk pemuka agama Katolik. Di area tersebut bersemayam tiga pemuka agama Katolik yang merupakan orang Eropa. Kemudian pada sekitar tahun 2020 lalu uskup pertama di Kota Malang yang merupakan orang Indonesia yakni Mgr. Fransiscus Xaverius Sudartanta Hadisumarta disemayamkan di samping tiga makam utama. Setiap bulan November aka nada prosesi misa arwah untuk mendoakan biarawati maupun pastor yang dimakamkan di sana.

Beberapa makam milik orang Belanda, salah satu ciri khasnya terdapat penutup di atasnya/Lutfia Indah Mardhiyatin

Yang lebih membuat saya tercengang dan kaget adalah, ternyata Kuburan Londo juga menjadi bukti hadirnya kelompok Freemason di Kota Malang. Fakta tersebut dibuktikan dengan adanya lambang khas Freemason yang ditemukan di tiga makam orang Belanda di Kuburan Londo.

Kelompok Freemason identik dengan lambang atau simbol jangka dan penggaris siku, dan lambang tersebut ditemukan di dua pusara di Kuburan Londo, sedangkan bukti lainnya adalah lambang daun akasia yang juga diduga sebagai ciri khas dari kelompok Freemason ditemukan di salah satu makam tak bernama. Lambang tersebut ditemukan di pusara milik Pieter Allaries, dan Dr. Eyken bersama sang istri yang tak diketahui namanya.

Saat saya bertanya kepada Pak Andri perihal mengapa tidak tertulis nama di makam istri Dr. Eyken, Pak Andri menjawab bahwa Kelompok Freemason meskipun berpikiran bebas dan terbuka, namun mereka merupakan organisasi yang tertutup dan eksklusif. Karena itulah terkadang orang awam menganggap bahwa organisasi tersebut merupakan organisasi sesat.

Makam salah satu tokoh freemason, Dr. Eyken yang ditandai dengan simbol jangka dan penggaris siku/Lutfia Indah Mardhiyatin

Rupanya, Dr. Eyken dulunya adalah seorang dokter yang bekerja di dalam bidang apoteker, dahulu ia sempat menjalankan tugas sebagai apoteker di Rumah Sakit Militer yang berada di Malang.

Sebenarnya masih banyak sekali tokoh-tokoh penting yang raganya terkubur di Kuburan Londo dan beberapa sumbangsihnya masih terasa hingga saat ini. Menurut Pak Andri, dahulu masih banyak ditemukan pernak-pernik seperti patung malaikat, marmer di setiap dinding pemakaman Orang Belanda di sini, namun telah hilang karena adanya penjarahan yang dilakukan oleh warga lokal. 

Pak Andri juga menjelaskan bahwa biasanya jasad-jasad masyarakat Belanda akan dikubur bersama harta benda yang mereka miliki. Hal inilah yang pada jaman dahulu sekitar tahun 1980-an banyak makam yang dirusak, dibongkar untuk diambil barang berharganya. 

Meskipun demikian, alih-alih mendapatkan kesan yang menyeramkan, nyatanya berjalan-jalan di Kuburan Londo membuat saya mendapatkan pengalaman yang tak akan terlupakan. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan ketika mengunjungi pemakaman tersebut, bahkan hadirnya Kuburan Londo dapat mengungkap fakta sejarah yang terkubur di Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencari Sejarah yang Terkubur di Kuburan Londo, Sukun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencari-sejarah-yang-terkubur-di-kuburan-londo-sukun/feed/ 0 33910
Mengunjungi Bangunan Masa Kolonial Belanda di Kampung Heritage Kayutangan https://telusuri.id/mengunjungi-bangunan-masa-kolonial-belanda-di-kampung-heritage-kayutangan/ https://telusuri.id/mengunjungi-bangunan-masa-kolonial-belanda-di-kampung-heritage-kayutangan/#respond Wed, 23 Mar 2022 01:45:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33173 Kampung Kayutangan, atau sejak dicanangkan sebagai kampung wisata pada 22 April 2019 lalu dikenal dengan sebutan Kampung Heritage Kayutangan. Lokasinya berada di pertengahan hiruk pikuk Kota Malang, dan ternyata ada banyak sekali pintu masuk menuju...

The post Mengunjungi Bangunan Masa Kolonial Belanda di Kampung Heritage Kayutangan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Kayutangan, atau sejak dicanangkan sebagai kampung wisata pada 22 April 2019 lalu dikenal dengan sebutan Kampung Heritage Kayutangan. Lokasinya berada di pertengahan hiruk pikuk Kota Malang, dan ternyata ada banyak sekali pintu masuk menuju ke sana. Waktu itu aku memutuskan untuk masuk melalui salah satu gang yang ada di Jalan Basuki Rahmat, berada tepat di area Koridor Kayutangan.

Koridor Kayutangan/Lutfia Indah M

Kayutangan terbagi menjadi dua bagian, yaitu perkampungan yang kini menjadi kampung heritage serta area koridor. Pada area koridor, terbentang banyak sekali pertokoan yang sudah ada sejak zaman Belanda di Kota Malang. Bahkan beberapa bangunan pada zaman Belanda tersebut ada yang masih tersisa dan difungsikan hingga saat ini. Bukan hanya itu, area perkampungan yang dihuni warga pun juga memiliki sejarah yang sama panjangnya dengan koridor. Dulu perkampungan ini dikenal dengan Kampung Talun, lokasinya di tepi Hutan Patangtangan yang saat ini menjadi bagian Koridor Kayutangan.

Kampung Heritage Kayutangan mengusung konsep retropolitan dengan sentuhan gaya-gaya indische, sesuai dengan rentetan sejarah Kota Malang terkhusus Kayutangan yang kental sekali dengan kehidupan orang Belanda. Meskipun demikian ternyata orang Belanda hanya menempati area koridor saja, tidak sampai menghuni bagian perkampungan.

Ketika aku sampai di Kampung Heritage Kayutangan, aku langsung memarkirkan motor di depan Balai RW IX, aku rasa ini cukup penting karena rasanya sedikit sulit menentukan harus parkir di mana ketika memang tidak tersedia lahan parkir.. Terlebih ketika aku berkunjung ketika sektor pariwisata di Kampung Heritage Kayutangan belum berjalan maksimal lataran situasi Kota Malang yang berada di PPKM level 3.

Salah satu rumah di Kayutangan/Lutfia Indah M

Di area perkampungan ini akan banyak sekali dijumpai perumahan bergaya Belanda maupun dengan nuansa jadul. Di luar dugaan, aku menemukan salah satu tempat bertuliskan Makam Mbah Honggo. Usut punya usut, konon Mbah Honggo merupakan salah satu prajurit yang melakukan persembunyian dari kejaran Belanda dan kehadirannya justru memberikan pengaruh kepada warga Kampung Talun dulu.

Aku kemudian melanjutkan perjalanan menikmati tiap titik yang ada di perumahan ini, berbaur dengan aktivitas warga setempat. Pada beberapa sudut akan ditemukan tiang petunjuk jalan untuk mempermudah pengunjung menemui lokasi lain. 

Area Sungai/Lutfia Indah M

Langkah kaki ini membawaku pada sebuah sungai yang dilalui oleh jembatan. Udara di sana sangat sejuk, dan mural yang tergambar pada setiap dindingnya menutupi kekumuhan kampung sebelum dikelola. Menelusuri jalan di sini, seolah sedang berjelajah untuk menemukan harta karun. Tidak semua rumah yang aku temui berarsitektur Belanda, beberapa terlihat sama dengan rumah di perkampungan pada umumnya. 

Aku terus berjalan hingga tiba di Galeri Nya’ Abbas Akup. Tempat ini dulunya merupakan kediaman dari Abbas Akup, seorang sutradara terkenal dari Kota Malang. Rumah ini sudah ada sejak tahun 1930an. Informasi ini tertera pada bagian depan bangunan dengan arsitektur Jawa. 

Bagian dalam Griya Moeziek/Lutfia Indah M

Kemudian aku juga singgah ke Griya Moeziek. Saat ke sini, Pak Handoko—pemilik rumah yang merupakan putra dari salah satu maestro keroncong asal Kayutangan menyambut saya dengan hangat. Griya Moeziek menjadi satu-satunya tempat yang dapat aku kunjungi pada saat itu, sebab tempat lain masih tutup. Para pengunjung pun hanya dapat singgah di halaman depan bangunan. 

Di dalam Griya Moeziek terdapat berbagai alat musik yang dengan leluasa dapat dimainkan oleh pengunjung. Di sana juga terpajang beberapa foto kenangan dari keluarga Pak Handoko yang memang sangat erat dengan musik terutama musik keroncong. Pak Handoko sempat bercerita kepadaku bahwa kediamannya ini dijadikan basecamp para musisi musik patrol bernama Jong Oscar.

Jong Oscar merupakan musisi Kayutangan yang memainkan musik patrol bernuansa Bossa Nova. Hal ini bermula dari kegemaran para musisi dalam melakukan patrol sahur ketika masih muda. Akhirnya kelompok tersebut berlanjut menjadi sebuah grup musik non-komersial yang beberapa kali sempat mengisi acara di Kayutangan. Kebetulan ketika aku berkunjung ke sana, banyak anggota dari Jong Oscar sedang berkumpul dan bernostalgia bersama. Sebenarnya masih sangat banyak tempat yang bisa dikunjungi di Kampung Heritage Kayutangan. Seperti Rumah Rindu yang di dalam papan keterangan ternyata sudah dibangun sejak tahun 1950-an dan pada saat ini merupakan tempat untuk memproduksi bakiak yang sudah dimodifikasi. 

Ada pula Rumah Penghulu, rumah ini dibangun sejak 1920. Aku sempat dengar pemilik rumah dulunya seorang penghulu, oleh karena itu bangunan ini diberi nama Rumah Penghulu.

Tak lupa, aku berkunjung ke koridor yang kini telah didesain layaknya Malioboro. Di sinilah bagian paling menarik, sebab langsung terbesit pertanyaan dalam pikiranku tentang bagaimana bisa area perkampungan sudah di tata dengan apik bertemakan retropolitan namun area koridor malah terkesan seperti berada di Malioboro?

Ternyata konsep “Malioboro” merupakan kebijakan langsung dari Pemerintah Kota Malang yang menimbulkan kontroversi terutama oleh warga lokal Kayutangan serta pihak-pihak yang peduli dengan cagar budaya. Aku sempat berbincang dengan salah satu Dosen Ilmu Sejarah dari Universitas Negeri Malang, yakni Pak Dwi Nurcahyo. Beliau sempat bilang bahwa Kota Malang merupakan kota yang sangat erat dengan kehidupan Belanda, dalam hal sejarah tentu saja sangat berbeda dengan Kota Yogyakarta. Seharusnya, konsep yang diangkat untuk kawasan Koridor Kayutangan adalah nuansa indische, seperti yang telah lama diterapkan di kawasan perkampungan.

Tanpa mengaburkan latar belakang sejarah kawasan Kayutangan, tempat tersebut tetap menjadi pilihan yang pas bagi wisatawan yang untuk berwisata masa lalu. Sedikit banyak, ketika aku berkunjung ke sana rasanya aku berhasil terbawa kembali menemui suasana Kota Malang zaman dulu.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Bangunan Masa Kolonial Belanda di Kampung Heritage Kayutangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-bangunan-masa-kolonial-belanda-di-kampung-heritage-kayutangan/feed/ 0 33173