Mauren Fitri https://telusuri.id/penulis/maurenfitri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 15 Jun 2023 08:21:35 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Mauren Fitri https://telusuri.id/penulis/maurenfitri/ 32 32 135956295 Dari Dapur Rawon Rampal https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/ https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/#respond Tue, 21 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36274 Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun,...

The post Dari Dapur Rawon Rampal appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun, hingga hari terakhir saya di sini, tak satupun yang sempat saya singgahi. Dengan impulsif, saya memutuskan untuk mencicipi salah satu dari daftar tersebut. Adalah rawon rampal—kuliner legendaris khas Kota Malang yang sudah ada sejak 1957—sebagai penutup perjalanan.

Ketika tiba, saya dihadapkan pada sebuah bangunan klasik layaknya rumah hunian berwarna cokelat–merah. Bentuknya memanjang ke belakang. Halamannya tak luas, hanya cukup untuk memarkir beberapa mobil saja. Di bagian depan, terpampang plang “RAWON RAMPAL” dengan warna senada. Posisinya begitu tinggi, sehingga saya harus melongok ke atas untuk membacanya dengan jelas.

raowan rempal
Papan plang warung yang menjulang tinggi/Mauren Fitri

Bagian dalam warung mengingatkan saya pada warung-warung serupa di kawasan Kota Lama Semarang. Lawas, terkesan. Kursi “kondangan” saya menyebutnya, tertata rapi di samping meja persegi panjang yang jumlahnya hanya empat buah. Di temboknya, selain tergantung menu warung ini, juga ada jam klasik dan beberapa foto tua. Saya tidak terlalu memperhatikan, tapi tampaknya foto tersebut merupakan foto “orang-orang penting” yang pernah berkunjung ke sini.

Segera saya mendatangi si empunya. Kaca lebar memisahkan kami saat berinteraksi. Mungkin untuk menaati protokol kesehatan. Seorang bapak paruh baya berkaus hijau yang menanggalkan maskernya di dagu, tampak sibuk di depan saya, ia mengambil piring dan menanyai lauk kepada pengunjung laki-laki yang berdiri di sebelah kanan saya.

Di belakangnya, aroma sedap menguar dari dua buah panci alumunium besar. Satu panci berisi kuah soto, satu lagi panci berisi kuah rawon. Gelembung-gelembung disertai suara air mendidih terdengar tipis. Mumpal-mumpal, kalau orang Jawa bilang. Dari baunya, terbayang rasa gurih di setiap tetesnya.

Usai menyiapkan pesanan laki-laki tadi, ia kemudian menanyai apa yang ingin saya makan. “Tiga porsi rawon rampal campur, yang satu porsi nasinya setengah saja,” jawab saya cepat. Masih dari bilik kaca, ia tampak cepat menyiapkan pesanan. Mengambil piring, menuangkan nasi putih, lalu menambahkan irisan daging sapi di atasnya. Terakhir, ia tuangkan kuah rawon dengan warna cokelatnya yang khas ke dalam piring, lengkap dengan topping kecambah mentah dan sambal.

“Ada tambahan lain?” tanyanya lagi sambil menyodorkan satu nampan berisi tiga piring nasi rawon rampal.

Karena tak ingin menambah menu lain, saya bergegas membawa nampan tersebut ke meja di depan. Menaruhnya satu per satu di hadapan masing-masing kawan jalan saya seraya berkata “Nih, makan enak kita hari ini.”

Saya punya cara tersendiri untuk mencicipinya, yakni dengan menyeruput kuah rawon untuk merasakan kelezatannya, lalu melanjutkannya dengan menyantap irisan daging sapi yang punya potongan cukup besar, tebal, tetapi empuk. Baru setelah menyantap kesemuanya bersama nasi. Sempurna untuk saya.

Memang tidak salah jika orang banyak rekomendasikan kuliner satu ini, kelezatannya yang tersohor sangat terbukti. Aroma gurih hingga rasa rempah-rempah yang kuat, membuat saya tak berhenti mengunyah. Selain menggunakan resep turun-temurun, cara memasak yang masih tradisional menggunakan kayu bakar menjadi satu rahasia umum yang menjadikan Rawon Rampal punya rasa dan aroma khas.

Seporsi Rawon Rampal pun ludes kurang dari 10 menit. Sisa-sisa kuah rawon yang pekat tanpa lemak saya seruput habis. Sungguh tak rela menyisakannya.

Usai si empunya memperbolehkan saya melihat-lihat dapur, saya menuju para ibu yang sedang asik berbincang sembari mengiris daging sapi. 

“Niki daging kagem rawon kaleh soto, Bu?” “Nggeh, Mbak,” jawabnya serentak.

Di depan mereka, agak ke sebelah kanan, deretan tungku-tungku besi yang nampak sudah berkarat namun nampak kokoh berjajar. Apinya sudah padam, hanya abu yang tersisa. Ada sekitar lima tungku seingat saya, kesemuanya digunakan untuk memasak daging, hingga kuah. Dua buah panci besar dan satu wajan besar “nangkring” di atasnya. Ketika saya tanya isinya apa, salah seorang ibu menjawab isinya adalah stok kuah rawon untuk hari ini.

Untuk sajian esok hari, dapur Rawon Rampal sudah bersiap meraciknya hari ini. Tentu, mereka harus memasak berpanci-panci besar kuah rawon dan pelengkap lainnya. Para ibu tampak asyik mengiris daging, kemampuan mengiris dagingnya tampak tak jauh beda dengan pedagang tempe mendoan. Iris tipis-tipis untuk paru sebagai menu pelengkap, sedangkan iris tebal untuk daging rawon. 

“Senjata” mereka juga lengkap. Selain pisau besar, asahan dari pisau yang terbuat dari batu selalu ada di sampingnya. Sesekali kami bercanda sembari berbincang. Supaya tak dikerumuni lalat, sebuah kipas angin menyala di sisi para ibu. Menghempas serangga dari ordo Diptera ini. Di belakang mereka, seorang ibu lain sedang “memberesi” cabai dan beberapa rempah lain untuk bumbu.

Saya kembali ke dalam warung. “Satu panci rawon itu bumbunya satu kilogram,” ujar si Bapak sembari mengaduk-aduh kuah rawon untuk memisahkan endapan bumbunya. Sesaat kemudian, saya melunasi hidangan yang sudah masuk ke dalam perut dan berpamitan. “Wah, lumayan juga ya Rp50.000 untuk satu porsi rawon rampal. Tapi sebanding sama rasanya sih,” celetuk saya kepada dua rekan perjalanan sembari berjalan ke tempat parkir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Dapur Rawon Rampal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/feed/ 0 36274
Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (2) https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-2/ https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-2/#respond Wed, 11 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36251 Perjalanan di Kayutangan pun kami lanjutkan dengan menyusuri sungai. Mbah Ndut bercerita bahwa saat musim hujan, air bisa meluap sampai atas. Rumah-rumah akan kebanjiran. Sudah jadi langganan setiap tahun katanya. Makanya di sisi kanan, rumah-rumah...

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan di Kayutangan pun kami lanjutkan dengan menyusuri sungai. Mbah Ndut bercerita bahwa saat musim hujan, air bisa meluap sampai atas. Rumah-rumah akan kebanjiran. Sudah jadi langganan setiap tahun katanya. Makanya di sisi kanan, rumah-rumah dibangun lebih tinggi daripada jalan.

“Makanya, sungai di sini nggak bisa dipakai untuk body rafting atau semacamnya, Mbak. Dulu pas saya masih kecil, kalau pas banjir malah senang. Saya bisa berenang di sini sama teman-teman,” kenangnya.

Sungai ini dibangun oleh Belanda, tapi hanya sampai ujung saja. Tidak sampai loji, sebuah perumahan orang Belanda yang berdiri di sebelahnya.

  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage

Ia lalu menunjukkan sebuah rumah tua dari kejauhan. Menjelaskan bahwa kami, para pengunjung, boleh memotretnya namun tak boleh mengunjunginya. Pemilik tidak memberikan izin. Di seberangnya, ada sebuah langgar. Di depannya, tertulis “Madrasah Diniyah KH Wahid Hasyim”. Jamaahnya hanya perempuan.

Untuk kesekian kali, kami melewati jembatan. Rute walking tour memang mengelilingi kampung. Keluar masuk gang, menyusuri sungai berkali-kali.

“Bro, enake narapas opo iki ewul” tertulis pada sebuah tembok rumah di pinggir sungai. Awalnya saya bingung dengan maksud kalimat tersebut, namun perlahan memahaminya ketika Mbah Ndut mengingatkan bahwa masyarakat Malang identik dengan membalik kata-kata.

“Bro, enake sarapan opo iki luwe” yang artinya, “Bro, enaknya sarapan apa ya, lapar.”

Kayutangan Heritage
Salah satu mural di pinggir sungai Kampung Kayutangan/Mauren Fitri

Kami masih menyusuri sungai, melihat beberapa mural yang tergambar di tembok-tembok rumah warga. Sebelum saya bertanya siapa yang punya ide membuat mural ini, Mbah Ndut menceritakannya lebih dulu.

“Pembuatan mural dihentikan Mbak, karena kami merasa kurang sesuai dengan identitas kampung ini. Ada beberapa masalah internal, ceritanya.”

Kami lalu melewati kumpulan anak-anak SMP di pinggir sungai, kelleran. Beberapa sedang merokok, sisanya hanya duduk-duduk saja. Mereka bukan warga Kayutangan, tapi setelah pulang sekolah, kerap nongkrong di sana. Sering juga masyarakat lain menyapa kami sambil keheranan karena jalan pas panas-panasnya.

Bicara soal Kayutangan, ternyata cukup luas. Ada Talun dan Semeru yang terhubung dengan Kayutangan. Tak bisa berdiri sendiri. Saat menjelaskan hal tersebut, kami baru saja tiba di Talun—kampung yang berada di sebelah Kayutangan.

Dulu, ada yang namanya es Talun. Namun si empunya pindah ke Pasuruan, sehingga saya tak bisa mencicipinya.

  • Kayutangan Heritage
  • Galeri Omah Lor
  • Kayutangan
  • Kayutangan

Kami lalu tiba di sebuah toko barang antik, tempatnya cukup unik. Galeri Omah Lor namanya. Papan “Jual Kopi” dan “Sugeng Rawuh” menggantung di depan rumah dengan cat hijau toska ini. Di kanan kiri pintunya ada patung Gareng dan Semar. Dinding kaca jendelanya penuh dengan stiker. Ada dua kursi besi warna putih di depannya. Toko kopinya berada di pojok kanan. Bendera merah putih berkibar di sampingnya. Sang pemilik menyapa saya, sangat ramah.

“Koleksi, Mas?”

“Kolektor, Mbak! Koleksi payu didol (koleksi, kalau laku ya dijual),” jawabnya sambil tertawa.

Saya lalu masuk ke dalamnya, rak-rak kayu penuh dengan kamera antik dari berbagai jenis merek. Vespa kuning mencuri perhatian saya. Sisi lainnya penuh dengan toples dan barang-barang antik lain seperti peralatan makan hingga telefon manual jadul. Jika tertarik dengan koleksi di sini, kamu bisa membelinya secara daring ke pemilik.

Mbah Ndut lalu berbincang dengan pemilik tentang rumah tetangga mereka yang baru saja terjual. Saya? Masih sibuk dengan kamera-kamera antik di dalam.

Usai berbincang di Galeri Omah Lor, kami melanjutkan perjalanan kaki ke Galeri Eko yang menjual barang antik juga namun tak sebanyak di galeri sebelumnya. Di sepanjang jalan, saya menemui beberapa rumah lain yang juga menjual barang-barang antik layaknya Pasar Klitikan di Kota Lama Semarang. Bedanya, barang-barang antik di sini dijual di rumah, bukan di kios. 

Seperempat perjalanan terakhir, Mbah Ndut mengajak saya melihat beberapa rumah tua yang masih berpenghuni. “Ini perkampungan yang dibangun oleh Belanda, tapi tidak ada orang Belanda yang tinggal di sini. Hanya dibangun pada era penjajahan saja.” 

Mayoritas masyarakat Kayutangan bekerja sebagai PNS, sebagian lagi berwirausaha. Makanya pas siang-siang saya datang, kampung tampak sepi.

  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage

“Ini rumah saya, peninggalan dari eyang dan bapak. Bapak saya pejuang, pernah ikut pertempuran di Siola. Ini ada tanda jasa dengan tanda tangan Soekarno—asli. Beliau ini lahir di Sidoarjo.”

Sontak, saya memelototi tanda jasa dan deretan foto berwarna hitam putih dengan bingkai coklat yang terpasang di dinding ruang tamunya. Melihatnya dengan seksama.

“Ini ijazah waktu Ayah masih SD, tahun 1936. Lalu yang ini adalah foto almarhum kakak saya, diambil 1971. Akabri juga,” ia melanjutkan.

Rumah yang ditinggali Mbah Ndut, adalah rumah punden. Rumah peninggalan yang boleh ditempati, tetapi tidak boleh diubah sama sekali apalagi dijual. Di rumah ini, seluruh keluarga besar Mbah Ndut berkumpul kala lebaran tiba. Ia menjelaskan, kalau anak dan cucunya rindu dengan orang tua, ada kenangan yang masih bisa dilihat, ada tempat jujukan untuk datang.

Kami lalu berbincang cukup lama sembari saya melihat isi rumahnya. Cukup banyak barang antik tersimpan. Di bagian depan misalnya, tumpukan kaset, televisi jadul, radio tua, sentir, rak televisi, hingga piring-piring antik terpajang. Di bagian dalam, koleksi set alat makan dan minum lebih mendominasi.

Di balik cerita-cerita menarik Mbah Ndut tentang bangunan bersejarah hingga masyarakat Kayutangan, saya masih bisa menemui kesan kumuh di beberapa sudut kampung ini. Namun, upaya untuk mengubahnya tak henti dilakukan.

“Ya memang agak susah, kita harus pendekatan ke masyarakat dulu dan itu prosesnya tidak sebentar. Untuk sekedar ngasih tahu, jangan menjemur pakaian dalam di depan rumah saja, kita memberikan pengertian berkali-kali bawah hal itu tidak nyaman dipandang mata, apalagi jika ada wisatawan datang.” ujar Mas Aan yang saya temui di Kedai Rupaduta usai berkeliling Kayutangan.

Kalau memperhatikan lebih detail, rata-rata bangunan dan interior di Kayutangan berwarna hijau toska. Entah kenapa, saya pun tak bertanya pada Mbah Ndut mengenai hal itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-2/feed/ 0 36251
Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (1) https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-1/ https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-1/#respond Tue, 10 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36252 “Mas, saya mau ke Kampung Wisata Kayutangan. Ada rekomendasi pemandu yang bisa temani saya keliling, nggak? Saya kebetulan lagi di Malang.” Begitu pesan singkat yang saya kirim kepada Mas Aan—penggiat ekowisata di East Java Ecotourism...

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mas, saya mau ke Kampung Wisata Kayutangan. Ada rekomendasi pemandu yang bisa temani saya keliling, nggak? Saya kebetulan lagi di Malang.” Begitu pesan singkat yang saya kirim kepada Mas Aan—penggiat ekowisata di East Java Ecotourism Forum, sekaligus kolaborator TelusuRI yang saya temui secara virtual pada awal pandemi COVID-19.

Ia kemudian mengirimkan nomor seorang pemuda warga Kayutangan, sekaligus bilang “Saya sudah teruskan pesan kamu ke dia, langsung hubungi saja. Kalau dia nggak bisa, hubungi nomor kedua ya!”

Lima belas menit kemudian, saya tiba di sebuah gang kecil di tepi Jalan Kawi setelah menyusuri trotoar Jalan Arif Rahman Hakim dari Toko Oen yang masih berantakan karena proyek pembangunan.

Plang “HATI-HATI! 50 M LAGI ADA PEKERJAAN PROYEK KAYU TANGAN HERITAGE” ada di sepanjang jalan yang saya lewati. Meski cukup lenggang, namun debu-debu proyek bertebaran. Membuat pejalan seperti saya tak nyaman. Pun, cuaca pas panas-panasnya, kala itu waktu menunjukkan pukul dua siang. Nafas saya mulai tersengal-sengal. Meski jarak Toko Oen ke Kayutangan tak jauh, namun ransel yang menempel di punggung lumayan berat membuat ritme jalan saya melambat. Saya mengernyitkan dahi, sambil mengelap keringat yang membasahinya menggunakan bagian lengan kaos putih kesayangan yang makin buluk.

Seorang pemuda yang mengenakan jaket dan topi warna hitam, sneakers, dan tas ransel tersenyum dari kejauhan. Di sebelahnya ada seorang bapak tua, mengenakan kaos berwarna kuning dan juga seorang pengemudi becak. Keduanya turut menyambut saya.

Karena ada kegiatan lain, Kombet Rodi—pemuda tadi—mohon izin memperkenalkan Mbah Ndut, seorang warga Kayutangan yang akan menemani saya berkeliling kampung. Beliau menjadi pemandu saya dalam rute terpanjang walking tour Kayutangan sore itu.

Kayutangan
Kartu post dari Kayutangan/Mauren Fitri

“Silakan mengisi daftar hadir dulu, Mbak.”

Saya menulis nama serta membayar HTM seharga Rp5.000 di depan Gang IV, Kampung Kayutangan. Seorang ibu kemudian mengulurkan sebuah kartu pos bergambar rumah Nyik Aisyah yang merupakan salah satu rumah tua di kampung ini. Sebelum memasuki kampung, Mbah Ndut sempat menawarkan memotret saya di gang depan, namun saya menolaknya dengan canda.

“Kami mulai membuka Kampoeng Heritage Kajoetangan pada 2018. Pada akhir tahun tersebut, kampung cukup ramai dengan kunjungan wisatawan. Penuh-penuhnya [wisatawan] sekitar tahun 2019. Sayangnya pandemi [COVID-19] datang, sehingga kami harus menutup kampung dari aktivitas wisata selama tiga tahun.”

“Nah, [baru-baru ini] kami baru buka lagi. Perlahan sih, karena sebelumnya tutup lama sekali.” Mbah Ndut lanjut menjelaskan kepada saya tentang muasal Kampung Kayutangan menjadi destinasi wisata sembari kami berjalan menyusuri sebuah gang kecil.

Selama tutup, Kampung Kayutangan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak berupa pendampingan untuk penataan kampung dan juga gang-gang yang ada di sana. UMKM sekitar juga mulai tumbuh. 

  • Kayutangan
  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan

Tiba-tiba kami sudah memasuki ujung Gang VI. Di sini, banyak berdiri rumah-rumah peninggalan zaman dulu. Rumah pertama yang kami singgahi yakni rumah kuno berarsitektur Jengki, dibangun pada tahun 1950-an. Pagarnya berwarna hijau toska, begitu juga dengan dindingnya. Meski warnanya jauh lebih terang. Di halaman dalam rumahnya, sebuah Vespa nyentrik dengan warna biru terparkir.

Dari depan, saya bisa melihat dengan jelas bentuk atap pelana dari rumah ini. Ada patahan, dan perbedaan ketinggian atap yang membuat rumah ini tampak lebih menarik dari rumah lain di sekitarnya. Dari literatur yang saya baca, arsitektur Jengki muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh arsitektur Eropa yang kala itu sangat marak. “Kalau ini memang dibangun saat perpindahan antara arsitektur Belanda dengan arsitektur Nusantara. Orang zaman dulu menyebutnya rumah separuh jadi karena atapnya tampak tidak sempurna.”

Tak banyak yang Mbah Ndut ceritakan tentang rumah dengan nomor 976 ini, ia pun buru-buru menjelaskan rumah lain yang berada di depan kanan dari rumah ini. Rumah dengan arsitektur Belanda yang dibangun pada tahun 1920-an. Salah satu ciri khasnya yakni ornamen manisan yang ada di bagian atap depan.

Rumah ketiga yang saya singgahi yakni rumah paling tua di kampung ini, dibangun sekitar 1870-an, milik almarhum Pak Nur Wasil yang sudah pindah ke Jalan Candi Mendut. Kini rumah ini menjadi base camp Pokdarwis Kayutangan.

Mengutip dari perkim.id, Kampung Kayutangan punya sejarah yang dibagi menjadi beberapa periode perkembangan. Pertama, pada periode pra-Indische (sebelum tahun 1800), Kayutangan merupakan perkampungan yang dihubungkan oleh jalan setapak. Selanjutnya, periode saat Belanda masuk ke Indonesia tahun 1800-1940. Kampung Kayutangan berkembang menjadi kawasan perekonomian di Kota Malang, jalan-jalan besar juga mulai dibangun.

Kampung Kayutangan kemudian terus berkembang hingga tahun 1980-an. Bangunan permukiman padat makin banyak berdiri mendekati area perekonomian di Kampung Kayutangan, sampai akhirnya pada tahun 1986 pembangunan kompleks pertokoan modern dekat alun-alun Malang membuat perubahan besar pada Kampung Kayutangan yang mulai ditinggalkan sebagai pusat perekonomian (Rizaldi, 2010).

Tak heran, rumah-rumah kuno hingga pertokoan memenuhi kampung ini. Meski sebagian besar di antaranya sudah hilang karena perubahan pembangunan.

  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan Heritage
  • Kayutangan
  • Kayutangan

Sesaat kemudian, saya tiba di Pasar Krempyeng. Pasar dadakan yang hanya ada pagi hari sampai sekitar pukul satu siang ini menjual berbagai kebutuhan harian masyarakat, khususnya sembako.

“Pasar ini sudah ada semenjak saya masih kecil. Sekarang usia saya 65 tahun,” terang Mbah Ndut.

Mbah Ndut kemudian menunjuk salah satu sudut pasar, “Dulu TK saya di situ. Di sebelah bangunan warna ungu. Sekarang sudah jadi losmen.”

“Olahraga siang, Mbak?” sapa seorang ibu, sambil tersenyum ramah.

Nggeh, Bu,” jawab saya meringis sambil merapikan kembali cangklongan tas ransel yang semakin tak nyaman. 

Mbah Ndut lalu mengajak saya ke sebuah terowongan tua. Terowongan ini menjadi jalan tembus antara Semeru ke Kayutangan.

“Dulu waktu TK, rumah saya ada di gang sana. Kalau ke sekolah, nggak boleh lewat atas. Harus lewat terowongan ini supaya lebih aman.” 

Seperempat jalan menyusuri Kayutangan, saya tiba-tiba teringat dengan Ciputat. Kedua tempat ini punya kesamaan yang terlihat jelas. Tak ada mobil yang bisa masuk kampung karena lebar gang kurang dari dua meter. Bangunan berdiri berhimpitan, rapat hampir tidak ada sekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan dari Cerita Mbah Ndut (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-dari-cerita-mbah-ndut-1/feed/ 0 36252
Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/ https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/#respond Thu, 05 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36815 Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130...

The post Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130 bibit pohon mangrove hasil dari kampanye Pendekar Lingkungan TelusuRI di sana.

Roda kendaraan kami mengaspal jalan, dari Jatingaleh menuju Pelabuhan Tanjung Mas. Truk tronton merayap parkir di sayap kiri, pada sepanjang jalan menuju gang masuk kawasan Tambakrejo. Usai melewati pabrik-pabrik di kawasan pelabuhan, kami berhenti tak sampai satu menit pada sebuah masjid berwarna hijau di kiri jalan. Aroma “asin” mulai tercium, menjadi tanda bahwa tujuan kami sudah dekat. “Ini kita jalan saja lurus mentok, lalu belok kiri,” ucap saya pada dua kawan lain yang mengendarai motor berbeda.

Jalan aspal mulus berganti dengan tanah kering. Kami memperlambat laju kendaraan karena jalan bergelombang. Gapura “Selamat Datang di Tambakrejo” dengan warna merah khas salah satu BUMN menghantarkan kami masuk ke kawasan Tambakrejo. Aroma khas pinggir pantai makin terasa. Begitu juga dengan udara yang terasa panas, menyengat meski matahari belum naik ke atas kepala.

Sekitar satu kilometer setelahnya, di depan Sekretariat CAMAR, Pak Yazid menyambut kedatangan kami dengan hangat. “Silakan masuk ke dalam Mbak, yang lain sudah menunggu di dalam.”

Sehari sebelumnya, beliau mengucurkan banyak rasa terima kasih karena kami karena “kembali” ke Tambakrejo. Dua tahun lalu, saya memang sempat singgah ke sini, melakukan hal yang sama dengan apa yang akan saya lakukan hari ini. Kali ini masih dengan misi yang sama, namun dengan teman perjalanan yang berbeda, saya datang mewakili para Pendekar Lingkungan yang sudah berdonasi pohon mangrove untuk penghijauan pesisir Tambakrejo.

Di sudut lain, Pak Julaimi, Ketua Kelompok CAMAR sedang asyik berbincang dengan Rivai dan Rifqi. Ketiganya tampak begitu serius. Saya menyela obrolan seru mereka dan memberikan informasi bahwa kegiatan akan segera kami mulai.

persiapan acara
Persiapan sebelum acara dimulai/Mauren Fitri

Semua berkumpul. Ada 12 orang selain anggota Kelompok CAMAR yang akan ikut menyeberang. Tiga dari LindungiHutan, lima dari TelusuRI, dan sisanya adalah relawan. Hasan memberikan arahan perjalanan ini, sebelum akhirnya kami menaiki kapal lalu menyeberang.

Langit Semarang membiru, matahari makin naik. Suara deru kapal menemani perbincangan kami yang kebanyakan baru saling kenal pagi hari itu.

“Dulu kawasan ini merupakan area tambak atau budidaya ikan. Rejo artinya hasilnya melimpah sekali. makanya orang menamainya Tambakrejo,” Pak Julaimi membuka diskusi di gazebo edupark.

“Pada waktu saya masih lulus SD, kiranya sekitar tahun 1986, untuk ke bibir pantai, saya harus berjalan satu setengah kilometer dari pemukiman. Parah-parahnya sekitar tahun 2000-an, abrasi mulai mengguncang kawasan ini. Pada tahun tersebut, saat saya buka pintu belakang rumah, ternyata sudah laut.”

Tahun 2011 baru Kelompok CAMAR didirikan. Dari sini para anggota kelompok yang terdiri dari masyarakat setempat bertekad untuk mengembalikan tanah mereka yang kini tenggelam. Tanah yang dulunya tambak, tanah yang dulunya identik dengan mangrove.

Pak Julaimi melanjutkan, “Dulu, menurut orang tua saya, mangrove itu adalah benalu karena akar-akarnya menjadi tempat ikan bersembunyi sehingga pas musim panen, tangkapan nggak maksimal.”

Lain dulu, lain pula sekarang. Kondisi Tambakrejo sangat jauh berbeda. Pak Yazid, kemudian melanjutkan sesi diskusi mengenai mangrove itu sendiri. Jenis apa saja yang tumbuh di sini, hingga bagaimana mangrove dapat bermanfaat untuk masyarakat selain untuk mengembalikan ekosistem Tambakrajo. Kami berjalan perlahan, mengitari jalur trekking yang terbuat dari bambu sepanjang kurang dari 300 meter.

“Awalnya, kawasan ini menjadi tempat untuk memberikan edukasi mangrove kepada orang-orang yang berkunjung. Sayangnya, tak banyak orang yang singgah. Apalagi saat pandemi. Apa yang kami bangun, akhirnya kurang maksimal. Hanya segelintir orang saja yang datang, itupun kebanyakan dari mahasiswa dan akademisi; bukan wisatawan.”

Bapak paruh baya yang mengenakan kaus hijau dengan logo LindungiHutan ini seorang nelayan ikan di Tambakrejo. Selain menjadi nelayan, ia juga menjadi petani pohon mangrove bersama kelompok CAMAR. Ia melakukan pembibitan mangrove di atas lahan sempit, di belakang rumahnya. Pak Yazid dan Kelompok CAMAR mulai melakukan pembibitan secara otodidak, berdasar pada pengalaman dan berguru pada stakeholder yang lebih ahli di bidang ini. 10 tahun sudah ia bergabung di kelompok ini, bahkan ia mendapatkan julukan “profesor” karena pengalamannya berjibaku dengan mangrove.

“Ayo kita ke lokasi penanaman,” ajaknya kepada kami semua setelah menghabiskan sekitar 20 menit di edupark. Kami kembali naik ke atas kapal, Pak Yazid memimpin di depan. Mesin kapal kali ini tak dinyalakan, Pak Yazid dengan galahnya yang panjang mendorong kapal perlahan menuju titik penanaman. Tak jauh ternyata, hanya sekitar 20 meter, namun tak bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Kaki kami mulai basah. Tak ada dermaga untuk mendaratkan kaki-kaki ini. Sampah-sampah di bibir pantai pun menyambut. Saya dan kawan-kawan lain yang baru kali pertama tiba di sini tiba-tiba terperangah mendapati ada makam yang tenggelam juga ikut mengucapkan selamat datang.

“Dulu ada jalan dari sana, sampai sini. Sekarang jalan itu ikut tenggelam, jadi makam ini tidak digunakan lagi,” terang Pak Yazid pada kami.

Sebagian makam memang sudah ada yang dipindahkan, namun tidak semua. Biaya untuk memindahkan makam memang tak murah, gumam saya. Menariknya, saya menemukan makam yang terbilang baru. Di nisannya tertulis meninggal pada tahun 2014 dan 2015—artinya, pada masa itu area tersebut belum tenggelam. Kalau saya hitung, jaraknya hanya sekitar 7 tahun dari sekarang. Cepat juga tenggelamnya!

Fakta lain yang baru saya tahu, ternyata tak hanya air laut yang naik hingga menyebabkan Tambakrejo tenggelam, tetapi juga ada penurunan muka tanah. “Beberapa tahun sekali, warga di sini meninggikan rumah mereka setidaknya satu hingga dua meter, Mbak.” Pak Yazid menjelaskan.

“Di mana ada reklamasi, di situ ada abrasi. Lihat saja itu pelabuhan, reklamasi bukan? Abrasinya di sini, Mbak,” sahut Pak Julaimi.

Meninggikan rumah supaya tidak terkena banjir rob, apakah solusi? Entahlah, saya tak mau berpikir berat siang itu. Matahari makin menyengat, yang berarti tanda untuk kami harus bergegas untuk mulai menanam.

Sebanyak enam orang anggota Kelompok CAMAR sudah memulai penanaman lebih dulu sehingga kami bisa melanjutkannya. Satu per satu dari kami mengambil bibit-bibit mangrove yang setiap polybag-nya berisi dua batang bibit. Tujuannya, jika satu pohon mati, masih ada pohon lain yang akan berpeluang hidup. “Kita, manusia saja diciptakan berpasang-pasangan. Begitu juga mangrove,” canda Pak Julaimi pada kami.

  • Peserta tanam mangrove
  • anggota CAMAR
  • Penanaman mangrove

Keringat mengucur sedikit demi sedikit dari kepala dan punggung kami. Topi di kepala tak cukup untuk menghalau panas. Kami pun mempercepat penanaman. “Ini caranya begini, gali dulu tanahnya, lalu masukkan polybag ke dalamnya. Setelah itu, tutup dengan tanah lagi.” Pak Yazid tampak menjelaskan bagaimana cara menanam mangrove yang benar kepada kami. Tentu, tak boleh asal tanam supaya bibit-bibit ini tetap bisa tumbuh dan bertahan saat air laut pasang nanti.

“Rata-rata, tingkat kehidupannya di atas 90%. Jadi nggak usah khawatir. Asal pohon-pohon ini tidak jatuh, dia akan tumbuh ke atas.”

1.130 pohon yang terbagi menjadi 565 polybag sudah berada di tempatnya, tertanam di tanah lumpur Tambakrejo yang tenggelam. Kaus kaki yang kami kenakan juga sudah mulai molor ke mana-mana, pertanda kami harus kembali ke daratan.

Sebelum mengakhiri perjalanan, Pak Yazid mengajak kami untuk melihat tempat pembibitan mangrovenya. Ia juga menjelaskan bagaimana cara pembibitan. Di sini, saya mendapatkan satu fakta baru lagi bahwa ternyata pohon mangrove juga bisa hidup di darat. “Ada yang pernah coba menanam, bisa hidup. Mangrove itu kan tumbuhan yang sifatnya adaptif, jadi bisa menyesuaikan dengan lingkungan dia tumbuh.”

“Wah bisa nih, kita tanam di pot! Lumayan, bisa mengurangi polusi di sekitar rumah,” celetuk salah satu di antara kami. 

***

Saya percaya, Tambakrejo tak akan tenggelam jika ada Pak Julaimi, Pak Yazid, Kelompok CAMAR, LindungiHutan, dan juga kamu yang kini berkomitmen untuk menjadi Pendekar Lingkungan.

Tabik!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/feed/ 0 36815
30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’ https://telusuri.id/pameran-rijsttafel-cita-rasa-indonesia-dalam-memori/ https://telusuri.id/pameran-rijsttafel-cita-rasa-indonesia-dalam-memori/#respond Fri, 02 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36277 Ketika menjelajahi kawasan Kota Tua Jakarta bersama kawan-kawan Kok Bisa, kami melintasi sebuah spanduk besar bertuliskan Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori, tepat di depan Museum Kesejarahan Jakarta atau yang terkenal dengan nama Museum Fatahillah....

The post 30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika menjelajahi kawasan Kota Tua Jakarta bersama kawan-kawan Kok Bisa, kami melintasi sebuah spanduk besar bertuliskan Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori, tepat di depan Museum Kesejarahan Jakarta atau yang terkenal dengan nama Museum Fatahillah. Pameran ini sejenak mengingatkan saya pada sebuah buku bersampul hijau karangan Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, yang saya dapatkan beberapa hari sebelumnya. Kami semua bersepakat untuk masuk ke dalam untuk melihat pameran yang sedang berlangsung.

Sebelum masuk, saya membaca sedikit gambaran pameran ini melalui tulisan yang tertera di spanduk. “Di atas meja rijsttafel, makan lebih dari sekedar konsumsi, kenyang, dan senang. Rijsttafel adalah ekspresi kultural: perlambanan kegigihan adaptasi, kekayaan rempah yang menguatkan cita rasa lokal, atau bahkan kenang-kenangan tak terlupakan dari tanah Hindia.” Tulisan tersebut memberi gambaran bahwa perpaduan budaya Eropa dan Nusantara di meja makan adalah sesuatu yang perlu dirayakan ketimbang sekedar mengenyangkan.

Spanduk Rijsttafel
Spanduk Rijsttafel yang terpampang di depan Museum Sejarah Jakarta/Mauren Fitri

Masuk ke dalam museum, kami melihat tatanan apik narasi-narasi yang merajut kisah dari sebuah rijsttafel. Narasi pertama berjudul “Memori Bangsa dalam Sejarah” yang merupakan ajakan menelusuri masa lalu melalui makanan dan menyatakan salah satu maksud dari pameran ini adalah menyemarakkan Hari Museum Indonesia di tahun 2022. 

Tata pamernya menjelaskan bagaimana pameran disajikan: bak buku menu  kala berada di restoran masa kolonial yang diapit oleh mangkuk porselen berwarna biru. Tak cuma menyoal narasi panjang, kita juga diperlihatkan langsung bagaimana tatanan meja makan serta kursi yang mengelilinginya. Dekorasi meja makan ala kolonial itu sukses membuat saya berandai-andai jadi pelancong Eropa abad ke-19 yang dijamu dengan sajian rijsttafel

Ong Hok Ham dalam Hindia yang dibekukan: ‘Mooi Indie’ dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial, menuliskan bahwa mengkonsumsi makanan dengan beragam lauk dan sayuran tidaklah umum bagi orang Belanda kalangan biasa, umumnya hidangan dengan banyak lauk dan sayur disajikan kepada bangsawan atau pejabat. Rijsttafel pun sebelum disajikan secara umum, adalah sajian rumah tangga yang biasa dihidangkan di hari Minggu (Soekiman, 2011). Barulah, pada 1870-an rijsttafel disajikan di hotel untuk pertama kali, khususnya hotel yang dikelola oleh keluarga (Sunjayadi, 2019).

Apa komentar para pelancong Eropa yang kala itu menyicipi rijsttafel di Hindia Belanda?  Salah satu  nukilan dari William Basil Worsfold dari Inggris yang telah diterjemahkan Sunjayadi ke dalam bahasa Indonesia, “Gaya memasak di Hindia Belanda berbeda dengan di India Inggris, dan memiliki satu kekhasan—sajian meja, nasi, yang nanti dijelaskan; dan tentu saja ada perbedaan kecil, tergantung pada kondisi tempat dan masyarakat.”

Augusta de Wit dari Belanda yang menyicipi sambal pertama kalinya di hidangan rijsttafel menyatakan rasa pedas yang ia dapat sebagai rasa terbakar yang tak tertahankan di bibir dan kerongkongan. Sedangkan Emily Richings menyebut hidangan ini sebagai “teror” dan hidangan melimpah yang membingungkan (Sunjayadi, 2019).

  • Alur Pameran
  • Rijstaffel
  • lukisan
  • Meja rijsttafel

Saya berkeliling sembari membaca urutan narasi satu per satu. Yang menarik mata saya untuk terpaku lebih lama adalah busana yang dikenakan para pelayan untuk menjamu tamu yang akan menikmati rijsttafel. Ada dua buah baju ala Eropa berwarna putih dan dua helai kain batik yang juga berwarna putih yang dipajang, beserta foto-foto gedung dan sajian yang tertata di meja makan. Pada penjelasannya tertulis juga bahwa pelayan harus berdiri berjajar dan harus siap dalam menyajikan makanan, atau apapun kebutuhan para penyantapnya. Mereka umumnya berasal dari kuli di perkebunan sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian dilatih sebagai pelayan.

Ada juga tenong: perkakas tradisional sejenis bakul yang terbuat dari anyaman bambu, berbentuk bulat, memiliki penutup, dan biasa digunakan sebagai tempat mengangkut kue basah. Saya memotret tenong yang teronggok di atas meja dari berbagai sudut. Untuk tutupnya, mengingatkan saya akan bentuk topi caping, yang hiasan tutupnya mirip topi vampir ala film Hongkong.

Pada sebuah panel, ada sorotan mengenai rijsttafel yang mulai memudar seiring masuknya masa penjajahan Jepang dan kemerdekaan. Ada anggapan bahwa rijsttafel adalah warisan budaya penjajah, namun konsep ini sejatinya masih melekat hingga kini di restoran-restoran Padang, dan juga salah satunya di Restoran Tugu Kunstkring Paleis, yang masih menyajikan makanan rijsttafel ala Betawi. 

Busana Pelayan Rijsttafel
Seperti inilah busana para pelayan rijsttafel di masa lalu/Mauren Fitri

Kilau cahaya lampu membuat saya sedikit pusing membaca teks-teks yang berseliweran di depan mata. Meskipun ruangannya tidak terlalu besar, tapi atmosfer rijsttafel berhasil dihadirkan dalam bentuk yang sederhana, narasi-narasi yang panjang memang mendeskripsikan dengan detail keterangan rijsttafel dan perjalanannya di Nusantara. Namun sayang, teks-teks yang ditampilkan terlalu text book sehingga ada beberapa narasi yang rasanya terlalu berat karena panjang. Ada kode QR yang tersedia yang bisa dipindai apabila kita menginginkan informasi lanjutan.

“Ayo lanjut ke museum!” ajak Faqih yang sudah menunggu di luar saat saya asyik menikmati sajian rijsttafel  dalam tenda berwarna putih di tengah-tengah Museum Fatahilah siang itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-rijsttafel-cita-rasa-indonesia-dalam-memori/feed/ 0 36277
Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/ https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/#respond Sat, 05 Nov 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36036 Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar...

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar 5 tahun, pohonnya menjulang tinggi, hijau, dengan cabang-cabang penuh daun. Awalnya, saya tidak mengira bahwa ini merupakan Amorphophallus mengingat rupa bunganya saat mekar tak memiliki daun.

Masyarakat Batu Katak menyebut Amorphophallus dengan nama “bunga”. Iya, hanya bunga. Bunga sudah merepresentasikan bahwa tanaman tersebut merupakan Amorphophallus, apapun jenisnya.

Dari informasi yang saya dapatkan dari Bang Zuah, Amorphophallus titanum merupakan jenis Amorphophallus terbesar di dunia. Yang paling kecil, namanya Amorphophallus prainii, rupanya seperti A. titanum tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Satu lagi, yakni Amorphophallus gigas yang berbentuk seperti mahkota. Ketiganya merupakan jenis bunga bangkai, namun berbeda dengan Rafflesia arnoldii. Di Sumatra, jenis A. titanum dan A. gigas menjadi bunga unggulan karena secara ukuran sama-sama besar. Sedangkan A. prainii, ukurannya hanya sebesar botol air mineral 1500 ml.

Saya sedikit harap-harap cemas karena sekitar tiga puluh menit berjalan, kami belum bertemu dengan satwa apapun. Kecemasan tersebut kemudian berlalu begitu saja saat saya kembali menemukan bunga. Kali ini, masih berbentuk batang bunga, tampak seperti pohon rebung.

“Yang pendek itu akan menjadi bunga,” Bang Darma yang juga pemandu kami menjelaskan kepada saya sambil menunjuk dua bakal bunga di seberang. Membutuhkan waktu kurang lebih sekitar tujuh tahun untuk si bakal bunga menjadi bunga, dan mekar. Siklus hidupnya mulai dari tumbuh batang sekitar empat hingga lima tahun, mati, baru kemudian muncul bakal bunga dan menjadi bunga tunggal, mati lagi, baru keluar bunganya. “Nah, ketika mulai saat mekar (blooming) hingga layu, bunga hanya membutuhkan waktu maksimal 36 jam saja,” terang Bang Zuah.

Tentu, hal ini menjadi magnet untuk menarik wisatawan datang ke sini. Berjumpa dengan bunga yang membutuhkan waktu tujuh tahun untuk mekar, dan hanya memiliki waktu mekar sekitar tiga hingga tujuh hari saja.

Berbeda dengan Rafflesia arnoldii, Amorphophallus tumbuh menyebar, bahkan lokasinya bisa berpindah dari lokasi tumbuh bunga yang pertama. Masyarakat Batu Katak pernah mencoba menanamnya, namun tidak berhasil tumbuh. Jadi, kalau ingin melihat bunga harus trekking ke dalam hutan. Itu pun, belum tentu beruntung bisa bertemu dengan si bunga. 

Saya kemudian teringat cerita seorang kawan yang dua minggu sebelumnya datang ke sini. Hannif bersama rekan-rekan DESMA Center mendadak punya agenda menyusuri hutan lebih dalam, dan beruntung sekali mereka mendapati bunga yang sedang mekar. Padahal, tiga hari sebelumnya mereka sudah survei menyusuri hutan namun hanya bertemu bakal bunga saja. Hari itu, entah, keberuntungan macam apa yang ia dapatkan, membuat saya pada akhirnya iri padanya.

Dari lokasi kami berdiri pula, di atas tebing ada dua batang bunga yang tumbuh besar di sela-sela jurang. Saya melongok ke atas untuk mengamatinya lebih detail. Tak jauh dari situ, Bang Darma kembali meminta kami melongok lebih ke atas lagi, ke sisi sebelah kiri kami berdiri. Kali ini ia memperlihatkan sarang orang utan. Bentuknya seperti sarang burung, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Empunya sarang sendiri, entah sedang di mana. Bang Darma juga menunjukkan pohon Ficus, salah satu pohon yang menjadi tujuan orang utan, siamang, dan juga Thomas leaf monkey saat musim buah tiba. “Paling sedikit ada dua orang utan datang kalau pas musim buah,” ujarnya.

Di dalam hutan, cahaya matahari tak banyak masuk. Meski tidak panas, tapi keringat terus mengucur dari kepala hingga menetes ke punggung. Kadang, untuk menaiki bukit, dengkul saya harus bertemu dengan jidat saking tingginya pijakan. Lumayan sekali sebagai permulaan.

Beruntungnya, sepanjang perjalanan belum ada pacet yang menggigit bagian tubuh. Perjalanan lalu kami lanjutkan, kali ini trek bebatuan besar dan kasar ada di hadapan. Saya sendiri cukup kesulitan untuk melewatinya karena selain menanjak, jalurnya juga tidak terlalu kelihatan.

Setelah satu jam perjalanan, kami berhenti sebuah sungai kecil. Airnya bening, dan dingin. Di tengah sungai, terdapat gundukan tanah dan bebatuan, di atasnya terhampar beragam jenis buah segar seperti semangka, pisang, jeruk, rambutan, dan tak lupa nanas! Tentu saja, saya langsung mengambil satu potong besar nanas Medan yang menjadi buah favorit sejak tiba di Langkat. Rasanya asam manis, meski tidak dingin, tapi lebih dari cukup untuk menjadi pemadam dahaga.

“Jika sudah selesai makan, mari kita lanjutkan perjalanannya. Setelah ini kita akan melewati hutan kering.” ucap Pak Hepi.

Saya mengganti sepatu dengan sandal sebelum berjalan kembali, rasa parno akan gigitan pacet memang menggelayuti, membuat saya memakai sepatu, dan mengganti sandal cadangan untuk digunakan saat tubing. Merepotkan dan mempersulit diri sendiri memang. Tapi ya sudahlah.

Kami sudah berjalan sekitar dua puluh menit, lepas dari sungai. Tanah yang kami tapaki masih sama, kering. Vegetasi juga tak serapat sebelumnya. Peacock fern banyak tumbuh di sini, warna daunnya agak berbeda dari yang sebelumnya saya temu di hutan tadi. Kali ini hijau dan biru. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk ke sini jauh lebih banyak daripada di dalam hutan. Bang Darma memetik beberapa lembar, lalu mengusap-usapkannya ke tangan. “Ini bisa jadi penangkal nyamuk, lho!” katanya sembari terus mengusapkannya hingga lengan.

Baru sekitar 100 meter berjalan, Kak Ely—yang juga salah seorang peserta famtrip—memberitahu saya beberapa anggrek hutan yang kami temui di pinggir jalur. Ada dua jenis, warnanya kuning dan ungu. Sayang, saya tak mengetahui lebih banyak tentang keduanya. 

Beberapa pohon tumbang menghadang kami setelahnya. Tidak terlalu banyak, namun membuat kami harus membungkuk dan berjalan perlahan hingga pemberhentian selanjutnya yakni bawah pohon kepeng—yang begitu menarik perhatian Ray, Febrian, dan Kak Ely.

  • Buah Kepeng Batu Katak
  • Buah kepeng

Dari jauh, tampak buahnya melekat pada batang pohon, menggerombol seperti anggur, namun ukurannya jauh lebih besar. Nyenengke! Warna buah yang masih mentah yakni hijau, sedangkan yang mulai matang berwarna kuning kecoklatan, mirip kelengkeng. Karena ikut penasaran, saya meminta Ray melemparkan satu buah untuk saya coba. Bang Joe, yang kebetulan membawa pisau, memetik satu untuk saya. Ia mengopernya kepada Ray, sebelum akhirnya berakhir di mulut saya.

Dari dekat, buah kepeng lebih mirip dengan manggis baik dari tekstur buah hingga bijinya, meski ukurannya tak sebesar manggis. Cara mengupasnya pun juga berbeda. Karena tak bisa membelahnya, saya asal mengupasnya dan buru-buru melahapnya. “Berrrrrrr,” reaksi saya saat memakan buah kepeng. Ray bilang, rasanya asam dan ada manisnya. Namun yang saya rasa, hanya asam, sekali. Tapi tetap enak, masih bisa saya nikmati.

Dua ekor Millipede menyambut kami di titik start tubing yang berada di pertemuan antara Sungai Sikelam dan Sungai Berkail. Salah satu binatang yang paling lambat saat berjalan ini mencuri perhatian kami lagi, berpindah dari satu tangan ke tangan lain sebelum melepaskannya kembali ke hutan.

“Wah, wah, wah! Tolong saya, Bang. Tolong,” saya berteriak panik menuju Bang Joe. Beberapa pacet tanpa saya sadari menempel di ujung kaki, hingga paha bawah saya. Mereka seolah menari-nari, menggerakkan badan, meliuk-liuk dan bersiap menghisap darah. Saya sempat kibas-kibaskan kaki ke sungai, namun pacet-pacet itu tak kunjung lepas hingga Bang Joe mencabutnya satu per satu. Akhirnya, di ujung perjalanan trekking ini, saya kena pacet juga. Pasrah.

Semua peserta kemudian bersiap tubing, satu per satu mengenakan life jacket, memasukkan barang-barang ke dalam dry bag, dan duduk manis di atas ban. Selama dua puluh menit, kami menyusuri Sungai Berkail yang hari itu airnya begitu jernih dan arusnya tak begitu besar. Meski begitu, saya tetap terjatuh dari atas ban setelah rombongan kami menabrak rombongan di depan yang tersangkut batu. Sah, basah kuyup.

Usai menyusuri Sungai Berkail, kami tiba di Jungle River—titik akhir dari pengarungan. Di sini, makan siang dengan lauk khas Karo bernama tasak telu menyambut raga lelah karena keseruan trekking dan tubing. Kali ini, tasak telu tersaji bersama ayam bumbu pedas, lalapan daun singkong, labu kukus, serta sambal goreng kentang. Perpaduan yang pas. Kata Bu Lorisma, bumbunya hanya tiga macam.

Sekilas, rupa tasak telu seperti serundeng. Warna coklat mudanya tidak begitu pekat. Serabut-serabut dagingnya tampak seperti kelapa parut. Nyemek, dan empuk. Rasanya pun tidak pedas meski dibumbui dengan cabai merah. Gurih sekali dan terasa sangat enak di lidah.

Batu Katak
Ibu Nurmayanti/Mauren Fitri

Sebagai hidangan penutup, saya mencicipi cimpa dan es kelapa muda selasih. Ini kali pertama saya makan cimpa. Dari luar terlihat seperti lepet, tetapi ternyata isinya jauh berbeda. Cimpa terbuat dari tepung pulut yang diuleni hingga lembek lalu diisi dengan gula merah dan kelapa. Pada adonannya ditambahkan sedikit merica. Daun singkut—daun yang mirip dengan daun pandan, tetapi ukurannya lebih lebar—menjadi pembungkusnya sebelum mengukusnya di atas tungku. Bu Nurmayanti-lah yang memasak sajian cimpa siang hari itu, di tengah kesibukannya, ia masih sempat menceritakan proses pembuatannya kepada saya dan Fani dengan cepat dan semangat.

Semua hidangan tadi saya nikmati di pinggir Sungai Berkail, tepatnya [masih] di Jungle River. Jika datang pada waktu tepat, satwa endemik bisa kita lihat dari sini. Hari itu, kami cukup kesiangan untuk jalan sehingga tidak bertemu dengan satwa, waktu makan mereka sudah lewat begitu penjelasan yang saya dengar dari Bang Zuah. Jika berangkat lebih pagi, sebelum pukul sembilan, dan jika beruntung, kita bisa mendengar suara monyet dan melihat mereka bergelantungan. Lalu, jika meninggalkan Jungle River terlalu sore, sekitar pukul lima hingga pukul enam, satwa juga akan menampakkan diri. Beberapa di antaranya yakni Black handed gibbon dan Yellow handed gibbon yang lumayan langka. Nah, kalau cuaca sedang hujan, biasanya ada biawak besar yang menyeberang.

“Setidaknya kami bisa melihat lingkungan, jalur jalan dan makan dulu lah sebelum bertemu langsung dengan satwanya,” gumam saya.

Para stakeholder, termasuk DESMA, selalu memberikan edukasi, dan masyarakat sepakat tidak ada feeding kepada satwa untuk memancing mereka datang saat ada kunjungan wisatawan. Jadi, kalau memang ke sini, jauhkan ekspektasi bertemu satwa karena menurut saya itu menjadi bonus dari perjalanan menyusuri Batu Katak.

Karena sepanjang jalur trekking kami tidak bertemu dengan bunga yang sedang mekar, malam harinya Bang Zuah memperlihatkan kepada saya dokumentasi Amorphophallus titanum dari gawainya. “Sekilas kayak bunga palsu, ya? Nggak seperti tanaman. Ini ukuran mini memang segitu besarnya, bukan karena efek kamera atau angle pemotretan, ya!” ujar Bang Zuah.

“Ke Batu Katak itu nggak cukup satu hari, Mbak,” kata Bang Zuah menutup obrolan malam itu.


Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Header foto: Insan Wisata/Hannif Andy


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/feed/ 0 36036
Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/ https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/#respond Fri, 04 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36035 “Di sini, ada itu yang namanya Batu Katak. Tapi batu ini tidak setiap saat bisa terlihat. Mistik, lah! Batunya ada, tapi kalau kita ke sana, nggak kelihatan. Ada hari-hari tertentu untuk bisa melihat batu tersebut....

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Di sini, ada itu yang namanya Batu Katak. Tapi batu ini tidak setiap saat bisa terlihat. Mistik, lah! Batunya ada, tapi kalau kita ke sana, nggak kelihatan. Ada hari-hari tertentu untuk bisa melihat batu tersebut. Itu pun harus bersama juru kunci.” Pak Bahagia, seorang pemandu di Ekowisata Batu Katak, menjawab rasa penasaran saya mengenai asal usul nama Batu Katak.

Iya, namanya Bahagia. Orang di sini memanggilnya dengan nama Pak Hepi (Happy), lebih mudah diucapkan. Kami bertemu kembali di perjalanan saat trekking di Gunung Kapur karena saya berjalan cukup lambat dan tertinggal oleh rombongan. Ia menjadi sweeper para peserta yang berada rombongan paling akhir hari itu. Kami tak berbincang banyak, karena saya kemudian berjalan lebih cepat untuk mengejar teman-teman lain di depan dan minggel dengan pemandu lain. Saat briefing sebelum trekking mulai, ia sempat memaparkan beberapa hal terkait Ekowisata Batu Katak.

Awalnya saya kira, nama Batu Katak diambil dari nama batu yang menyerupai katak. Sederhana. Karena memang penamaan tempat di Indonesia kerap kali berdasarkan temuan, atau hal-hal identik yang ada di tempat tersebut. Misalnya saja, Jatingaleh yang mendapatkan nama dari cerita bahwa dulunya ada dua pohon jati yang berpindah. Ngaleh, dalam bahasa Jawa artinya pindah. Atau, Pantai Siung yang namanya diambil dari sebuah tebing mirip dengan siung (taring) binatang. Ada juga kisah Surti yang penuh kasih sayang merawat anaknya yang sakit-sakitan menjadi latar belakang penamaan Pantai Siung (akronim dari kasih biyung; dalam bahasa Indonesia kasih sayang ibu).

Ekowisata Batu Katak
Ekowisata Batu Katak/Mauren Fitri

Pagi itu, setelah melakukan perjalanan kurang lebih 30 menit dari Bukit Lawang Ecolodge—tempat menginap—saya dan rombongan tiba di kawasan Ekowisata Batu Katak yang terletak di Dusun Batu Katak, Desa Batu Jongjong, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Mengutip dari laman resmi Taman Nasional Gunung Leuser, secara pengelolaan, kawasan ini terletak di Resor Bukit Lawang SPTN Wilayah V Bahorok,  BPTN Wilayah III Stabat.

Kawasan ini memiliki potensi hutan yang menjadi “ladang” Amorphophallus atau bunga bangkai, dan juga rumah untuk beberapa satwa endemik seperti orang utan, gibbon, serta siamang. Dari informasi yang saya dapat, ada lebih dari 10.000 bunga Amorphophallus tumbuh di sini. Kebanyakan tumbuh di kawasan Gunung Kapur. Sedangkan untuk bunga Rafflesia arnoldii, tumbuh di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

biring manggis
Penari biring manggis/Mauren Fitri

Suara musik mulai terdengar sesaat sebelum pembukaan kegiatan familiarization trip. Empat orang perempuan mengenakan pakaian khas Karo berwarna merah berdiri di ujung pendopo Orchid Bungalow. Sebelum mereka menampilkan tarian biring manggis, kami berbincang sejenak sambil menikmati sirup asam gelugur.

“Apa arti biring manggis, Dek?”

“Hitam manis, Kak!” jawab salah satu dari mereka.

Sirup asam gelugur ini cenderung berasa manis. Tak seperti buahnya yang asam.  Sirupnya berwarna kuning kecokelatan, tapi setelah diolah menjadi minuman, warnanya berubah menjadi kuning seperti warna buahnya. Menyegarkan, seperti sirup-sirup pada umumnya. Apalagi saat tersaji bersama es batu. Sayangnya, butuh waktu cukup lama untuk masyarakat percaya diri bahwa asam gelugur merupakan potensi yang bisa dikembangkan menjadi produk oleh-oleh unggulan. Untuk mereka, produk-produk olahan seperti ini terkesan “biasa”, padahal menurut saya justru ini yang menjadi ciri khas karena jarang ada di tempat lain.

Masyarakat di Langkat biasa menggunakan buah gelugur sebagai pengganti asam jawa saat memasak. Kalau dikeringkan, si asam gelugur bisa jadi pengawet alami. Belakangan, potensi ini dikembangkan menjadi salah satu produk UMKM pilihan. 

Mejuah-juah, mejuah-juah…”

Salam khas masyarakat Karo ini menjadi pembuka yang terucap oleh Zuah Bangun, Program Officer, DESMA Center. Masyarakat di sini biasa menggunakannya sebagai kata ganti halo. “Kalau di Medan kata sapaannya horas, kalau di sini mejuah-juah,” lanjutnya. “Kalau di Langkat, ahoi,” ucap Ibu Lorisma yang berada di sebelah saya menjelaskan lebih detail.

Saya baru kali pertama menginjakkan kaki di Langkat, penasaran dengan suku Batak yang ternyata ada banyak. Tampak dari bahasa sapaannya saja, cukup beragam. “Di Tapanuli Utara itu [sukunya] Batak Toba, kalau Parapat menuju Medan, tepatnya di kawasan Simalungun ada Batak Simalungun. Di sini ada Batak Karo, sama dengan di Berastagi, ada Batak Toba, Batak Mandailing, juga Pakpak yang dia berbatasan dengan Aceh Singkil (Aceh Tenggara). Lalu Tapanuli Selatan, perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat, punya bahasa yang berbeda meski sama-sama suku Batak,” lanjut Bu Lorisma.

Tak hanya bahasa, ternyata adat, kain, makanan, hingga motif tenun di masing-masing suku Batak ini juga berbeda satu sama lain. Mungkin ini karena berdasarkan benda-benda alam yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing. Namun satu hal yang cukup menarik, ada satu kesamaan di antara seluruh suku Batak yang ada yakni simbol binatangnya. Semuanya sama, yakni cicak.

“Ray itu kan punya biro perjalanan yang namanya Boraspati. Nah, boraspati ini binatang yang sangat diagungkan oleh orang Batak pada umumnya karena melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Di semua orang Batak ada.”

Belum selesai kami berbincang, biring manggis hadir menjadi pengantar hari yang bersemangat.

Menurut Bang Zuah, Batu Katak menjadi salah satu tempat terbaik untuk get lost, karena selain tidak ada sinyal selular, orang-orang yang datang ke sini bisa lepas dari pekerjaan. Kebanyakan wisatawan yang ke sini punya kehidupan hectic yang serba cepat, makanya mereka datang untuk lepas dari segala hal tersebut, bukan untuk mencari tempat yang ter-cover wifi dan sebagainya.”

Ia menegaskan, “Sulit untuk seseorang ter-distract sesuatu di sini.”

“Hampir semua wisatawan yang ke Batu Katak, memang mencari hal yang seperti itu. Bukan seperti di Bukit Lawang yang sudah ada treknya. Mereka [wisatawan] lebih suka kegiatan seperti bird watching, mengamati dan melihat yang ada. Kalau dapat melihat satwa ya itu rejeki, kalau nggak ada, dibuat fun aja!” lanjutnya.

Selain trekking di Gunung Kapur, ada beberapa aktivitas seperti trekking Goa Air, camping, tubing Sungai Berkail dan Sungai Sikelam, serta caving ke Goa Sibanyak yang bisa wisatawan jajal ketika berkunjung ke sini.

Agenda saya dan rekan-rekan lainnya hari itu adalah short trekking melintasi hutan Gunung Kapur dengan estimasi waktu kurang lebih dua jam dan tubing di Sungai Berkail. Jika beruntung, di sepanjang jalur trekking kami akan bertemu dengan satwa endemik hingga melihat bunga endemik Amorphophallus yang sudah mekar. Jantung saya berdegup lebih kencang, ini kali pertama kembali trekking semenjak pandemi.

Lubuk larangan
Lubuk larangan di Batu Katak/Mauren Fitri

Usai pembukaan, kami beranjak menuju jalur trekking. Kami berjalan berlawanan arah dengan aliran sungai. Dari atas, airnya tampak bening berwarna hijau. Beberapa orang tampak sedang memancing sembari berbincang satu sama lain. Masyarakat Batu Katak sepakat untuk menerapkan lubuk larangan—salah satu bentuk kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya perikanan perairan sungai—yang mana masyarakat tidak boleh mengambil ikan di sungai, selain dengan cara memancing.

“Bahkan menangkap ikan dengan menggunakan tangan pun tidak diperkenankan. Jika menangkap dengan sarung tangan, orang bisa mendapatkan ikan cukup banyak, sedangkan memancing, jumlah ikan dapat dihitung,” terang Zuah. Oleh karena itu, lubuk larangan menjadi wujud prinsip konservasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya perikanan perairan sungai.

Beberapa tahun lalu, ada program pelepasan 3.000 ikan jurung di Sungai Sikelam dan Bekali. Ikan jurung terkenal sebagai ikan seserahan para raja, karena langka dan tidak bisa dibudidayakan. Satu kilogram, harganya bisa mencapai Rp900.000. Nah, di Batu Katak, hanya dengan memancing, kita bisa mendapatkan ikan jurung. 

“Mancing di sini tidak berbayar, nggak ada rate-nya sama sekali. Masyarakat setiap sore boleh memancing, dan itu tidak dilarang sejauh mereka tidak menyetrum, meracuni, menjala, atau menangkap ikan menggunakan tangan.”

Sebelum masuk hutan, saya melewati jembatan besi, lalu bebatuan menyerupai stalaktit goa yang menyambut di sisi kanan. Warnanya krim, kecokeletan, di beberapa sisi berwarna hijau penuh dengan tumbuhan lumut. Di bawahnya, ada beberapa genangan air sisa hujan semalam, namun tak banyak. Di sisi kiri, air jernih sungai masih tampak dari pandangan. Jarak trekking kami hari itu tidak terlalu panjang, hanya sekitar 3-4 km saja, namun karena trek berliku, banyak tanjakan dan turunan, jadi terasa berjalan lebih dari 10 km.

Kami kemudian memasuki kawasan hutan basah. Vegetasi masih belum begitu rapat, pohon-pohon tinggi belum banyak saya temui. Daun kering menempel pada tanah yang masih basah. Sampai akhirnya saya mulai terperangah. Belum ada 15 menit perjalanan, kami bertemu mata air. Di sini, Pak Hepi mulai menceritakan tentang Gunung Kapur kepada saya dan Pak Johan yang saat itu berada di barisan paling belakang.

Dulunya Gunung Kapur merupakan hutan masyarakat. Hingga pada tahun 1997 sebuah perusahaan membeli lahan di sini sebesar 210 hektare untuk menjadikannya pabrik semen. Karena Gunung Kapur terletak di Batu Katak, masyarakat mengambil kesimpulan jika kawasan berubah menjadi pabrik semen, maka kampung akan hilang. “Ada kemungkinan kampung akan mendapatkan relokasi, entah di mana.”

Menjadikan Batu Katak sebagai kawasan wisata menjadi salah satu cara untuk menyelamatkan kampung. Nilai tambahnya, masyarakat sudah lama menghentikan perburuan dan penebangan liar. Mereka juga berkomitmen untuk bersatu melestarikan hutan kembali. Tahun 2013, Wisata Batu Katak resmi buka. Hingga kini, tak ada pembangunan pabrik semen dan pihak perusahaan mendukung penuh program ekowisata yang masyarakat gagas. Hutan Gunung Kapur pun, beralih fungsi menjadi hutan konservasi dengan kepemilikan tetap di pabrik semen tersebut.


Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/feed/ 0 36035
Ayam Gecok dan Sepenggal Cerita dari Cikakak https://telusuri.id/ayam-gecok-dan-sepenggal-cerita-dari-cikakak/ https://telusuri.id/ayam-gecok-dan-sepenggal-cerita-dari-cikakak/#respond Sun, 31 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31193 Seorang laki-laki paruh baya mulai menghentakkan alu, diikuti oleh dua orang ibu-ibu. Alunan gejog lesung menyambut kehadiran kami sore itu di Desa Wisata Cikakak. Terdengar begitu harmonis. Saya kerap menemui pertunjukan gejog lesung ketika berkunjung...

The post Ayam Gecok dan Sepenggal Cerita dari Cikakak appeared first on TelusuRI.

]]>
Seorang laki-laki paruh baya mulai menghentakkan alu, diikuti oleh dua orang ibu-ibu. Alunan gejog lesung menyambut kehadiran kami sore itu di Desa Wisata Cikakak. Terdengar begitu harmonis. Saya kerap menemui pertunjukan gejog lesung ketika berkunjung ke desa-desa wisata, meski tak semua menyuguhkannya sebagai penyambutan pengunjung. Namun tentu saja, nada yang dihasilkan berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya.

“Silahkan mencoba, Mbak!” ujar bapak paruh baya tersebut. Saya dan Hanif—rekan perjalanan kala itu—pun mengambil alih dua buah alu, memegangnya dengan erat, lalu mengikuti petunjuk dari beliau. Sore itu, suara jegog lesung kami memecah kesunyian Pendopo Pakoso, tempat yang menjadi pusat seni dan budaya desa ini.

Usai mengeluarkan cukup banyak tenaga untuk menghentakkan alu, kami berbincang sejenak mengenai Desa Wisata Cikakak yang baru kali pertama kami kunjungi ini sembari berjalan kaki menuju Azacraft—pusat souvenir dan oleh-oleh Desa Wisata Cikakak. Di sana, Pak Bahrudin dan pemilik ruang menyuguhkan hidangan utama yang sejak dari Purwokerto memenuhi isi pikiran.

Sejujurnya, dua hal yang membuat saya tertarik datang mendadak ke sini yakni karena ayam gecok—yang kata Pak Bahrudin sangat enak—dan juga karena penasaran dengan sentra ciu Cikakak—yang belakangan lebih dikenalkan sebagai “tirta brahma”. Saya ceritakan nanti kenapa nama baru ini muncul.

Baru-baru ini saya memang punya ketertarikan akan proses pembuatan minuman alkohol, ciu salah satunya. Saya bahkan sempat mengunjungi Bekonang dengan membawa rasa penasaran bagaimana proses pengolahan ciu di sana. Namun sayangnya, saya tak berani mengetuk satupun rumah produksi ciu. Seorang teman berkata, “Kalau nggak ada kenalan di Bekonang, nggak usah ke sana. Nanti kenapa-napa.” Rasa takut kemudian menggelayuti meski rasa penasaran membuncah. Akhirnya, waktu itu saya keluar dari kawasan Bekonang tanpa membawa cerita. 

Saatnya mencicipi ayam gecok

Sambil menyendok sepiring nasi, Mas Andi yang adalah carik sekaligus penggiat wisata di Desa Wisata Cikakak mulai menceritakan kisah-kisah menarik. Dimulai dari proses pembuatan ayam gecok yang rasanya sangat cocok dengan lidah saya.

“Ayam gecok menjadi salah satu kuliner khas di sini, kerap disajikan pada pembukaan acara adat maupun hajat. Terbuat dari bahan utama ayam kampung yang ditumbuk dan dibakar, lalu disiram santan kelapa lengkap dengan bumbu yang dibakar juga,” jelasnya.

Menariknya, santan yang digunakan untuk membuat ayam gecok tidak dimasak bersama dengan ayam di atas panggangan api. Santan dibuat dari kelapa parut yang disiram air panas, tidak direbus lagi setelahnya, langsung dituangkan ke dalam ayam yang sudah dibumbui. Aromanya makin terasa sedap karena diolah dalam tembikar.

Desa Wisata Cikakak
Ayam gecok dan sayur pendampingnya/Mauren Fitri

Rasanya yang gurih menjadi lebih nikmat ketika memakannya bersama dengan oseng kuncar dan juga orek taoge muda. Kedua hidangan ini terasa pedas. Pas dengan kuah ayam gecok yang asin.

Tidak ada penolakan dari lidah saya yang baru kali pertama memakan oseng kuncar. Renyah karena dimasak tidak terlalu matang. Orek taogenya juga tampak familiar baik dari segi rasa maupun bentuk. Awalnya saya mengira ini adalah tempe kering, tetapi setelah dilihat lebih dekat, ternyata taoge muda yang dibalut kecap dan gula jawa. Bumbu warnanya merata. Kriuk-kriuk, renyah, rasanya pedas manis.

Selain ayam gecok, di sini kita juga bisa menyantap nasi penggel, makanan yang dibagikan setelah dilangsungkannya upacara adat. Nasi penggel dipercaya membawa berkah karena mendapatkan doa dari tokoh adat setempat. Sayangnya, saat itu kami tak mencicipinya.

Setelah perut terisi penuh, saya melihat ragam oleh-oleh. Deretan kepala kera menggantung di tembok, beberapa diletakkan pada rak kayu. Kera memang menjadi salah satu ikon desa ini. Jika di Desa Sangeh, Bali, ada Monkey Forest, di sini ada Taman Kera. Kera ekor panjang hidup berdampingan dengan masyarakat di area hutan sekitar pemukiman penduduk. “Di sini terdapat tradisi Rewanda Bojana (pemanggilan kera), tradisi masyarakat sekitar untuk memberi makan kera berupa gunungan hasil bumi. Acaranya diadakan setiap tahun, ” ujar Mas Andi. Selain kepala kera yang terbuat dari batok kelapa, ada pula kerajinan lain seperti besek bambu, piring bambu, dan juga bunga hias.

Perjalanan singkat dilanjutkan ke rumah sebelah yang menjadi Basecamp Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk melihat pembibitan sayuran dan menengok dapur pembuatan wajik kethek, salah satu kuliner yang kerap dijadikan oleh-oleh.

Setelahnya, kami singgah ke Masjid Soko Tunggal yang menjadi destinasi wisata religi, melihat ramahnya kera-kera di sekitar masjid, mampir ke pesarehan Kyai Tholih yang merupakan leluhur Desa Cikakak dan pendiri Masjid Saka Tunggal, serta berkunjung ke Rumah Adat Juru Kunci (Juri Kunci Lebak, Juru Kunci Tengah, dan Juru Kunci Nduwur) yang berada dalam satu kawasan.

Kementerian dalam negeri Ditjen PMD menetapkan Desa Cikakak yang terletak di Kabupaten Banyumas menjadi desa adat dalam program Pilot Project Pelestarian Adat Istiadat dan Budaya Nusantara tahun 2011. Oleh karenanya wajar saja jika kita bisa menelusuri banyak hal di sini. Mulai dari alam, adat, budaya, hingga kuliner.

Terus, jadi ke dapur “tirta brahma” nggak?

Jadi dong! Tapi akan saya ceritakan pada lain kesempatan, ya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Ayam Gecok dan Sepenggal Cerita dari Cikakak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ayam-gecok-dan-sepenggal-cerita-dari-cikakak/feed/ 0 31193
Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/ https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/#respond Tue, 26 Jan 2021 04:07:39 +0000 https://telusuri.id/?p=26566 “Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..” Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa...

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..”

Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa rekan di sana, akhirnya saya ikut-ikutan gemar mendaki gunung.

Kalau diingat-ingat, kali pertama saya mendaki gunung itu ke Merapi. Bersama Mas Weldas dan Deta, saya dipertemukan dengan komunitas kecil Pikniker Solo. Dari perjalanan bersama mereka itulah, saya belajar bahwa mendaki gunung bukan sekadar “piknik” seperti nama komunitas kecil ini. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, tidak hanya soal peralatan dan logistik, tapi juga pengetahuan, dan etika pendakian.

Logistik pendakian organik dan minim sampah

Logistik pendakian Semeru/Mauren Fitri

Sejak pertama kali mendaki Merapi bersama teman-teman Pikniker Solo, saya disarankan untuk tidak membawa makanan cepat saji yang terbungkus plastik dan kaleng. Tidak ada mie instan, tidak ada sarden, tidak ada kopi sachet karena kami tidak suka ngopi sachet. Kecuali air mineral, (dulu) kami masih sering membawanya dengan alasan praktis.

Dalam perjalanan menuju basecamp Gunung Merapi, saya diajak mampir ke Pasar Selo di Cepogo. Di sana, kami berbelanja logistik seperti sayur, buah, tempe, bumbu masak sebagai pelengkap rasa seperti bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan daun salam dan bumbu pawon lain. Kangkung dan terong kesukaan saya, tentu tak luput dari daftar belanja.

Setelah berkali-kali naik gunung bersama mereka, saya baru paham kenapa harus belanja logistik di dekat gunung tujuan. Ya, jelas supaya bekal makanan yang berupa bahan masakan mudah busuk ini bisa bertahan lama saat perjalanan mendaki.

Berdasar pengalaman pribadi, kami biasanya menyimpan sayur-sayuran ini dengan cara membungkusnya menggunakan koran bekas atau kain sebelum dimasukkan ke dalam keril. Tujuannya supaya saat kita berjalan mendaki dan suhu di dalam tas meningkat karena sinar matahari, uap air yang dihasilkan dari sayur mayur ini terserap di koran dan kain. Jika sayur-sayuran tetap kering, maka ia akan tetap segar.

Bekal makanan di Gunung Merapi. Ada terong ada ayam goreng, sambal, tempe kering, dan roti bakar/Mauren Fitri

Lalu saat tiba di camp site, kami segera membuka bungkus perbekalan ini untuk diangin-anginkan. Kalau malam tiba, seringkali kami taruh di dalam vestibule tenda supaya terkena hawa dingin dari luar. Anggap aja seperti kulkas alami.

Dengan cara-cara ini, bekal makanan yang terdiri dari sayur, buah, dan bumbu-bumbuan menjadi lebih tahan lama dan tetap segar. Oh ya, kalau membawa minyak goreng atau margarin, kami selalu menyediakan satu buah botol kosong untuk menaruh sisa minyak habis pakai. Jadi, minyak habis pakai tersebut tetap dibawa turun, tidak ditibuang ke tanah saat masih ada di gunung.

Mulai mengganti plastik dengan dry bag, mengganti tisu dengan lap kain

Nggak dipungkiri saat awal-awal mendaki gunung, kami masih sering menggunakan plastik sebagai pembungkus pakaian, makanan, hingga alat pendakian. Tapi lama-kelamaan, banyak edukasi yang didapatkan terutama tentang dampak penggunaan plastik untuk aktivitas pendakian.

Perlahan kami mulai mengganti plastik-plastik packing dan kemasan makanan/minuman menggunakan wadah yang bisa dipakai berkali-kali. Misalnya saja, jika dulu kami menggunakan plastik packing (biasanya trash bag) untuk membungkus semua barang yang ada di dalam keril, kini kami menggantinya dengan dry bag.

Dry bag punya beragam ukuran, kita bisa membelinya sesuai dengan kebutuhan. Dan tentunya, tetap tahan air serta bisa dipakai berulang kali. Saya punya dua buah dry bag yang usianya sekitar 8 tahun, masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Hemat sampah plastik pakaian selama 8 tahun.

Oh ya, dua tahun terakhir ini saya juga sudah mulai mengganti tisu dengan kain. Kalau orang Jawa menyebutnya “gombal”, kain yang biasa dipakai untuk mengelap segala macam benda.

Setidaknya saya selalu membawa 3 buah gombal setiap camping atau naik gunung. Gombal ini saya beli di pasar tradisional seharga Rp10.000,00 tiga (sepuluh ribu dapat tiga buah gombal). Jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan membeli tisu setiap kali mau perjalanan.

Memungut sampah di jalur pendakian saat perjalanan pulang

Memungut sampah air mineral di jalur pendakian/Senna R

Hal paling menjengkelkan selama mendaki gunung adalah melihat tisu basah bekas dan botol air mineral kosong berserakan di camp site dan jalur pendakian. Nggak hanya itu sih, seringkali kami juga menemukan gundukan sampah di sudut-sudut camp site. Kadang kala, gundukan sampah ini dibakar oleh pendaki lain. Padahal, setahu saya membakar sampah di gunung berpotensi menjadi penyebab kebakaran.

Hal yang selalu rutin teman-teman Pikniker Solo lakukan saat mendaki gunung adalah membawa turun semua sampah yang dihasilkan, juga memungut sampah yang kami temui diperjalanan pulang.

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat!” sering diumpatkan oleh kami sambil memungut botol-botol air mineral bekas selama perjalanan turun gunung.

Menurut saya, mendaki gunung bukan sekedar perkara membawa pulang sampah yang dibawa dari bawah, tapi juga kurangi menghasilkan sampah selama aktivitas pendakian. Kalau bingung kiat-kiat gimana sih bisa mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah, coba baca buku Zero Waste Adventure yang ditulis oleh Siska Nirmala. Dalam buku tersebut, Siska membagikan kiat-kiat mendaki nol sampah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/feed/ 0 26566
Mendengarkan Dongeng Solo Camping di Aman Griyo Farmhouse https://telusuri.id/dongeng-solo-camping-di-aman-griyo-farmhouse/ https://telusuri.id/dongeng-solo-camping-di-aman-griyo-farmhouse/#respond Mon, 25 Jan 2021 04:10:51 +0000 https://telusuri.id/?p=26564 Perut rasanya dikocok-kocok, mual sekali. Sedangkan perjalanan menuju homestay kami, Aman Griyo Farmhouse masih cukup panjang. Saya meminta Deta untuk menepi sejenak, membeli teh panas sebagai pereda mual. Dua jam lalu saya baru saja menyantap...

The post Mendengarkan Dongeng Solo Camping di Aman Griyo Farmhouse appeared first on TelusuRI.

]]>
Aman Griyo Farmhouse
Aman Griyo Farmhouse/@saltoutfire (Instagram)

Perut rasanya dikocok-kocok, mual sekali. Sedangkan perjalanan menuju homestay kami, Aman Griyo Farmhouse masih cukup panjang. Saya meminta Deta untuk menepi sejenak, membeli teh panas sebagai pereda mual. Dua jam lalu saya baru saja menyantap ayam kampung goreng dari Warung Pak Yadi di Magelang, sayang sekali kalau sampai muntah. Nggak rela.

Malam itu jalan menuju Dieng dari Wonosobo tampak lebih sepi, dibandingkan perjalanan sebelumnya dari Magelang ke Temanggung. Warung makan masih ada yang buka, meski hanya beberapa.

Usai menyeruput segelas teh panas, kami kemudian melanjutkan perjalanan.

Sesampai di Dieng; “Lewat mana? Saya lihat rumahnya, tapi nggak tau jalan ke sana lewat mana.” Sapa saya kepada Kukuh yang saat itu sudah berada di homestay via telefon. Ia menjemput kami, dan begitu tiba di homestay perbincangan tentang solo camping mengalir hingga pagi hari.

* * *

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Sate lilit/@saltoutfire (Instagram)

Kuh, kenapa sih Outdoor Cooking Indonesia ganti nama jadi Saltoutfire?

Jadi begini, OCI itu kan dibuat berdua bareng temen pada Agustus 2019. Partner lah aku nyebutnya. Sedangkan beberapa waktu belakangan, dia ada kesibukan yang belum bisa ditinggal. Makanya, sejak diajak TelusuRI awal tahun lalu sampai sekarang, buat live cooking pas camping belum kesampaian.

Ya karena kami punya kesibukan masing-masing dan belum bisa ketemu waktu yang pas. Kalau mau live sendiri, nggak enak dong. Kami ‘kan bangun OCI berdua.

Sebulan setelah kita bagi-bagi giveaway bertepatan satu tahun terbentuknya OCI bulan Agustus 2020 lalu, dia mengundurkan diri karena sibuk di kerjaan, udah gak bisa bagi waktu lagi buat camping. Dia minta aku untuk ngelanjutin OCI sendiri. Sementara itu, dia adalah main talent alias chef-nya OCI, jadi aku nggak tau mau ngapain setelah dia mundur.

Rasanya kalau terus pakai nama OCI terlalu berat karena harus masak-masak sendiri. Sedangkan aku kan nggak ada background sekolah masak atau chef, gitu. Dan juga ekspektasi orang kalau suatu saat camping sama OCI pasti bakal dimasakin yang enak-enak. Itu beban jika aku harus tetap menjalankan OCI sendirian.

Makanya habis itu ganti nama. Itupun aku izin dulu sama dia untuk ganti nama, misal suatu saat dia mau gabung lagi ya nggak masalah, walau lebih banyak nggak mungkinnya sih. Tapi aku selalu terbuka.

Solo camping/@saltoutfire (Instagram)

Oh gitu, ya. Terus sekarang @saltoutfire ngapain? Kayaknya udah lama juga tuh nggak posting konten masak.

Konsep yang aku usung agak berubah dari yang tadinya masak-masak, sekarang lebih ke solo camping. Konten masak tetep ada, walau cuman dikit. Hanya sekitar 20% aja tersisa. Soalnya banyak pertimbangan kayak yang aku sebutin tadi.

Pertimbangan lain, ada? Apa salah satunya karena logistik yang harus dibawa banyak?

Iya, salah satunya itu. Di Saltoutfire ini aku nyoba ngelakuin semuanya sendiri, nggak bergantung sama orang lain. Kalau dulu ‘kan ada partner, jadi bawaan segambreng. Sekarang karena jalan sendirian, aku jadi belajar mengatur peralatan camping dan logistik.

Kalau dulu ada Zacky dan Ridho yang bantuin video dan editing, sekarang aku harus belajar juga tentang video dan editing ini supaya kedepannya bisa lebih baik. Jadi melakukan apa yang aku suka berdasar apa yang aku bisa dan punya aja. Sesimple itu, Ren.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Perlengkapan dan bahan masak/@saltoutfire (Instagram)

Oh iya sih, dulu bawaanmu banyak ya. Alat masak sendiri satu tas sendiri, belum bahan makanan, tenda, dan alat-alat lain. Bisa 4 ransel gede. Nah, kalau sekarang bawaan pas solo camping gimana?

Sekarang lebih ringkes yang jelas. Tas maksimal bawa dua. Alat masak dan alat makan juga bawa secukupnya. Tenda selalu bawa tapi di mobil, kalau sendirian gini lebih simple camping pakai flysheet sama hammock.

Alat-alat makan yang dari kayu, kuksa, dan printilan lain nggak aku bawa semua. Sendok-garpu kayu bawa dua set, untuk masak dan makan dan satu sendok kayu kecil buat ngeteh. Ironcast dibawa menyesuaikan logistik yang sudah direncanakan dari rumah, kalau mau masak daging pastinya ironcast otomatis dibawa. Alat masak lain yang dibawa paling cuma kompor gas beserta tabung canisternya, Picogrill 398, Snow Peak Trek 900  tempat masak titanium yang bisa sekaligus buat makan, Trangia Mess Tin 210 buat masak nasi, sama satu lagi mini bowl aluminium kayak yang dulu tak kasih ke dirimu itu.

Sesimple itu?

Iya lah. Kan sendirian, barang bawaan harus diatur dengan baik.

Itu tadi kan soal alat ya, kalau bahan makan sendiri gimana? Masih bawa bahan makanan seribet dulu?

Dulu sebenernya nggak ribet karena ada partner. Kalau sekarang, ya menyesuaikan dengan alat yang dibawa dan berapa lama kempingnya.

Pilihan menu juga lebih sederhana. Kayaknya nggak pernah deh bawa makanan basah kayak daging, ikan, ayam, dan lainnya. Eh pernah ding sekali bawa sayap ayam dan di lokasi camp cuma digoreng doang. Yang sering aku bawa sekarang misalnya beras, mie instan/spaghetti, roti, selai, telur, buah, dan teh tubruk. Misalpun bawa sayur juga paling kentang sama jamur kancing kalengan. Pokoknya yang masaknya nggak ribet deh.

Aku kan orangnya nggak begitu seneng ngopi ya, jadi selalu bawa teh. Belakangan aku juga eksperimen sama teh ini, biar rasanya nggak gitu-gitu aja, enaknya dicampur sama apa. Awalnya cuman dicampur lemon sama madu, terus iseng-iseng kucampur sama mangga muda, leci kaleng, jeruk nipis, juga sereh dan yang terakhir kemarin dicampur buah pala.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Teh mangga dan sereh/@saltoutfire (Instagram)

Ngomong-ngomong soal teh, rasa dan aroma teh tubruk ini enak banget. Sepet-sepet gimana gitu, itu teh apa?

Sebenarnya itu campuran dari tiga jenis teh tubruk. Biasanya angkringan-angkringan pakai resep ini. Makanya rasa sama aromanya beda. Baru-baru ini aku dikasih teh sama temenku, brandnya Nala Organic Tea. Teh organik gitu, tapi sayangnya belum sempet eksperimen racik pas lagi solo camping.

Ini juga sih yang jadi motivasi buat inget bikin konten masak, soalnya beberapa waktu lalu aku dikasih kuksa sama salah satu brand di Bali. Nggak enak dong kalau nggak dipakai, apalagi kuksa ini punya pemilik workshop. Ukirannya unik, cuman ada satu, nggak dijual lagi.

Kalau beruntung, ada teman yang menemani solo camping/@saltoutfire (Instagram)

Wah, menarik ya. Nggak cuman racik-racik makanan, tapi juga minuman. Nah, nanya lagi boleh ya! Selama solo camping kamu ngapain aja? Ngga bosen sendirian di hutan? Bawa buku atau apa gitu buat killing time?

Ada banyak sih. Aku kalau solo camping, bisa aja lho mainan api di Picogrill dari malem sampai subuh. Ya cuman otak atik, bolak balikin kayu, jaga api supaya nggak mati. Kan anget ya, di udara dingin, kabut bahkan kadang hujan, duduk di depan bara api. Biasanya pagi setelah subuh baru tidur.

Hah, niat banget dirimu. Dolanan geni tekan isuk! Terus, kalau siang?

Siang paling bikin konten! [Tertawa.]

Eh, ngomong-ngomong soal konten nih.. Kan di Instagram @saltoutfire ada konten video. Bikinnya gimana tuh? Sendirian, terus take berkali-kali?

Yo iya lah. Jadi emang aku ambil semua gambarnya sendiri. Buat video ini, aku pasang dulu kameranya di sekitar lokasi yang udah aku tentuin buat mendirikan shelter [flysheet dan hammock], lalu akting jalan. Namanya sendirian ya, jadi harus mengira-ngira sudut penangkapan kameranya kayak gimana. Nggak selalu sekali jadi, kadang satu adegan bisa dua sampai lima kali take [gambar].

Nanti pas ambil adegan kedua dan seterusnya ya sama. Pasang kamera dulu, pencet tombol record, baru akting. Aku bener-bener ngerasain produksi video sendiri pas ini. Angkat junjung kamera sama cari-cari angle sendiri. Ya dirimu pasti paham juga lah ya gimana prosesnya.

Aku kebayang sih gimana ribetnya, jujur aja kalau aku jadi kamu tuh mending aku nggak ngonten!

Males ribetnya ‘kan? Tapi justru ini yang ngambil banyak waktuku selama solo camping, nggak berasa aja tau-tau udah sore. Nggak berasa tau-tau udah pagi lagi. Sesekali coba lah, Ren.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Masak pas malam hari/@saltoutfire (Instagram)

Ah, enggak. Aku tim anti ribet, Kuh! Eh, jadi selama solo camping yang kadang bisa tiga hari dua malem itu kamu begitu terus?

Iyo, bahkan ada yang pernah ngeliatin dan berbisik kepada temannya gitu [Tertawa.]

Wah, mungkin ada yang menganggapmu nggak waras! [Ikut tertawa.]

Terus nih, selama di Aman Griyo ini kan kamu juga sendirian. Udah dua malem, dan akan lanjut sampai hari Minggu. Ngapain aja di sini, gabut banget.

Ya sama sih, paling gitaran, ambil-ambil gambar, aku lagi belajar timelapse. Kayak pas solo camping, laper tinggal masak. Bedanya dengan solo camping, fasilitas di sini lengkap jadi nggak ribet-ribet banget.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Solo camping di malam hari/@saltoutfire (Instagram)

Tetep ya, mau tidur di alas atau di homestay  tetep aja dewekan. Btw ya Kuh, salah satu tantangan solo camping lain menurutku adalah keberanian. Nggak ada rasa takut-takutnya apa, tinggal di hutan sendirian selama beberapa hari?

Ya banyak yang nanya sih soal ini, cuman pas di lapangan akunya biasa-biasa aja. Selama nggak “ngganggu mereka” ya nggak akan diganggu balik. Eh pernah tuh, kapan itu aku posting video malem-malem, terus ada temen indigo yang komen. Dia bilang kalau di sebelahku ada sesuatu yang juga ikutan nyender, di belakang pohon [tempat aku gantung hammock] juga ada.

Pas di sana ya aku nggak ngerasain apa-apa, pernah sih sesekali terdengar ketawa kecil dari pinggir hutan. Aku biasanya coba noleh ke sumber suara, tapi ketika gak ada apa-apa ya aku cuekin aja. Katanya kalau suaranya kecil dan jauh gitu justru itu sedang berada di dekat kita [tertawa]. Temenku ini bilang, “mereka” ini cuman pengen nemenin. Ya percaya nggak percaya ya, tapi emang begituan itu ada. Aku justru takut kalau tiba-tiba ada orang bawa golok mau ngerampok kamera dan hp ku [tertawa lagi.]

Wah, kalau aku sih udah ngibrit.

Eh, jadi, kapan mau [Instagram] live sama TelusuRI tentang masak-masak atau solo camping?

Kapan ya? [Tertawa.]

Ini aja dulu lah dibikinin konten sosmednya, tar kapan-kapan kalau udah bisa camping lagi di tempat yang enak, ada sinyal, kita [Instagram] live bareng.

Saltoiutfire Outdoor Cooking Indonesia
Outdoor cooking/@saltoutfire (Instagram)

Can put on camp and other things yang nyambung, tapi make sure there include salt and fire – Freatik, Saltoutfire.

Tau nggak kalau Saltoutfire berarti “garam di atas api,” kayak idiom aja dari memasak. Kukuh bilang, salt out fire menekankan: lagi nggak masak di dapur tapi secara implisit pas denger atau bacanya tuh, “ini masak-masak tapi ada hal lain yang ingin ditampilkan” gitu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Mendengarkan Dongeng Solo Camping di Aman Griyo Farmhouse appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dongeng-solo-camping-di-aman-griyo-farmhouse/feed/ 0 26564