Mei Basri https://telusuri.id/author/mei-basri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 05 Feb 2021 02:34:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Mei Basri https://telusuri.id/author/mei-basri/ 32 32 135956295 Membuka 2021 dengan Mengendarai Campervan di Bali https://telusuri.id/mengendarai-campervan-di-bali/ https://telusuri.id/mengendarai-campervan-di-bali/#respond Sun, 31 Jan 2021 10:02:41 +0000 https://telusuri.id/?p=26692 Di akhir 2019 lalu, sebelum pandemi tiba di Indonesia, saya bersama ke empat rekan menutup 2019 di Ujung Jawa. Tahun ini, di tengah kisruh PCR, Antigen dan Vaksin, saya dan Vero memutuskan untuk  pergi ke...

The post Membuka 2021 dengan Mengendarai Campervan di Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
Di akhir 2019 lalu, sebelum pandemi tiba di Indonesia, saya bersama ke empat rekan menutup 2019 di Ujung Jawa. Tahun ini, di tengah kisruh PCR, Antigen dan Vaksin, saya dan Vero memutuskan untuk  pergi ke Bali. Ya, saya memang seringkali memilih akhir tahun atau awal tahun untuk berhenti sejenak dan menghabiskan waktu di luar ruangan, bersama dengan teman, keluarga maupun pasangan.

Kami berencana untuk tinggal kurang lebih 1 bulan di Canggu bersama 2 rekan lainnya. Harga sewa vila di sini per bulan lumayan murah karena corona. Pun, Vero belum pernah menghabiskan tahun baru di Bali. Namun tentunya, pergantian tahun ini tak ada party-party di bar dan pub bernama latin yang berserakan di Canggu dan Seminyak. Semuanya dibatasi, warga dan turis “terpaksa” melewati malam tahun baru di rumah atau vila masing-masing.  

Kami yang berkunjung ke vila teman di Canggu pun demikian, hanya memasak bersama dan membuat sangria. Vila teman ini berlokasi dekat La Favela yang minus antrian turis -turis mabuk.  Malam itu, La Favela sepi, gelap, dan tampak suram. Tak ada gegap gempita petasan dan kembang api, malam perpindahan tahun dibungkam oleh corona.

Saya sebenarnya mensyukuri tidak ada pesta-pesta kembang api itu. Kami bisa menghabiskan malam dengan mengobrol hingga pagi, bicara tentang tahun-tahun sebelum corona, tentang mantan pacar dan bos yang menjengkelkan dan juga berjasa, tentang ibu mertua dan komplek-komplek rumah dinas pertambangan di Sumatera, dan tentang harapan-harapan tahun depan.

puku camper bali

Pemandangan pagi hari di Pinggan/Mei Basri

Tapi ternyata Vero telah menyusun rencana diam-diam, menyiapkan  sebuah “surprise trip” untuk kami berdua. Lewat kenalannya, Vero mendapatkan kontak jasa penyewaan mobil camper (campervan ) yang baru buka di Bali, bernama Puku Camper. Berlokasi di Denpasar, Puku Camper selain menyediakan beberapa armada campervan, juga memberikan rekomendasi tempat-tempat yang bisa dikunjungi dan singgah untuk bermalam.

Ini merupakan pengalaman pertama saya maupun Vero, melakukan trip kecil, mengendarai dan menginap di mobil campervan di Bali. Oleh karena itu, saya hendak berbagi pengalaman tentang trip singkat selama 3 hari 2 malam dengan mobil campervan. Semoga bisa menjadi inspirasi yang baik, mungkin bisa menjadi pilihan perjalanan saat di Bali.

Hari 1: Kabut di  Pinggan, Kintamani

4 Januari. Kami bersiap melakukan perjalanan pertama dengan campervan. Sebelumnya, kami telah sepakat dan juga direkomendasikan oleh pihak Puku, untuk menjadikan Pinggan, sebuah desa di Kintamani sebagai tujuan hari pertama.

Dari tempat tinggal kami di Canggu, kami mendatangi basecamp Puku di daerah Penatih, Denpasar. Puku sebenarnya memberikan layanan antar-jemput, namun kami memilih untuk datang menjemput, sambil mengobrol dengan Indra, pengelola Puku Camper.

Puku memiliki beberapa jenis mobil yang dijadikan armada, mulai dari Suzuki APV, Daihatsu Gran Max dan Volkswagen Transporter. Semua armada ini telah dimodifikasi, ditambahkan fitur-fitur tempat tidur, laci, sumber listrik, alat memasak dan makan, hingga tenda pendukung.

Kami memilih menggunakan mobil yang paling “besar” untuk perjalanan ini, yaitu Volkswagen Transporter. Setelah Indra menjelaskan fitur dari armada beserta tips dan triknya, kami memulai perjalan ke tujuan pertama yakni daerah Pinggan.

Ini pertama kalinya saya menyetir kendaraan sepanjang ini. Butuh waktu untuk beradaptasi, terutama di jalanan Bali yang relatif sempit dan ramai pengendara motor. Tapi berkendara, baik dengan sepeda, sepeda motor maupun mobil (di luar Jakarta) adalah hal yang saya lakukan untuk menenangkan diri. Jadi sebenarnya, saya menikmati mengendarai campervan ini.

camper van paku camp

Memanggang jagung di malam hari di Pinggan/Mei Basri

Setelah berhenti untuk membeli bahan makanan dan diesel, kami bergerak pelan menuju Pinggan, menyusuri Abiansemal lalu ke atas ke arah Ubud dan Tegalalang. Jalanan menanjak perlahan-lahan, dan hari tiba- tiba mendung. Di bulan Januari ini, memang hujan rajin datang hampir tiap hari di Bali.

Lewat kaca kami mulai melihat banyak buah terutama jeruk dijajakan di kios-kios pinggir jalan, dan tiba-tiba kabut turun. Jarak pandang yang menjadi lebih dekat membuat kami memacu mobil lebih pelan. Vero lumayan bawel kalo urusan mengemudi, jadi dia sibuk melihat kanan kiri dan mengingatkan saya untuk selalu waspada. 

Puku Camper telah mengabarkan kami untuk menjadikan Pura Puncak Penulisan sebagai patokan untuk mencapai daerah perkemahan di Pinggan. Kami sampai di Pura Puncak Penulisan di Kintamani di sore hari, dan jalanan semakin menanjak dan berkelok. Suasana ini mengingatkan saya pada jalan- jalan menuju Leuwi Hejo di Cibadak, Jawa Barat.

Di warung-warung kecil, di tengah gerimis, banyak anak-anak anjing Kintamani meringkuk di kandang, menanti laku. Ketika hampir mencapai tempat yang direkomendasikan oleh Puku, ladang sayur banyak di kiri kami, sementara di kanan, banyak disediakan tempat camping, baik yang berupa camping ground ataupun hanya sepetak tanah di ujung tebing, guna menginap dan menikmati matahari terbit keesokan hari. 

Kami memilih berhenti di Pinggan Sunrise Spot, ketika hari sudah senja. Setelah membayar Rp20 ribu untuk ongkos masuk, menggunakan toilet, dan juga listrik untuk mengecas handphone, kami mendirikan tenda. Saya juga mengeluarkan kompor gas kecil dan memanggang jagung. Tidak ada satupun orang lain yang berkemah pada malam itu, hanya saya dan vero. Setelah itu kami mandi, menyusun kasur, mengobrol dan menikmati hening, hingga tertidur.

campervan bali

Suasana matahari terbit di PingganMei Basri

Keesokannya, pagi sekali vero sudah bangun. Setelah menikmati matahari terbit, kami memasak sarapan. Setelah vero selesai berfoto-foto,mencuci piring, mengemasi tenda,  kami beranjak meninggalkan Pinggan. Tujuan berikutnya adalah Pantai Keramas. 

Hari ke 2: Tak jadi Keramas, putar balik Karangasem

Untuk menuju Pantai Keramas, kami harus jauh turun ke daerah By Pass Gianyar. Dari Pinggan, sebelumnya kami berencana untuk menuju air terjun Tukad Cepung. Namun, dalam pemberhentian kami di sebuah coffee shop dekat danau Batur, si barista  mengingatkan kami bahwa hujan dan siang hari bukan waktu yang baik untuk mengunjungi Tukad cepung. Oleh karena itu, kami mengubah rencana.

Setelah berdiskusi sejenak, akhirnya kami sepakat untuk mengunjungi Pura Tirta Empul, di Tampak Siring. Terletak bersebelahan dengan Istana Presiden, Tirta Empul terlihat sangat sepi. Ini kali kedua nya buat saya datang ke Tirta Empul, sementara Vero datang untuk yang pertama kali. Kami berganti baju, menggunakan sarung, dan ditemani seorang pemandu merangkap fotografer, kami siap mandi di kolam Tirta Empul.

Tirta Empul Bali

Segarnya mandi di Tirta Empul/Mei Basri

Bagi masyarakat Hindu, terdapat ritual penyucian pembersihan diri di Tirta Empul yang biasa disebut dengan “melukat.” Sang pemandu menjelaskan banyak hal kepada kami, yang setengah kedinginan diguyur segarnya air Tirta Empul. 

Selesai di sini kami bergegas menuju Pantai Keramas. Jalanan yang relatif kecil, berkelok, dan naik turun membuat saya untuk cukup berhati-hati mengendarai campervan. Namun, untuk kamu yang gemar berkendara, sungguh ini adalah perjalanan yang memanjakan mata. Melewati sawah-sawah yang menguning, rumpun-rumpun jepun, dan desa- desa dengan pagar dan pura khas Bali.

Kami sampai di dekat Keramas, dan menuju warung seafood. Sayangnya, tak sesedap warung-warung di dekat Pasar Kedonganan, Jimbaran. Dengan sedikit kecewa, kami menuju pantai Keramas, namun kami tambah kecewa. Pantai Keramas tidak seperti yang kami bayangkan, bahkan kami rasa kurang “asik” untuk dijadikan tempat berlabuh hari itu. Kami meminta rekomendasi ke Indra dan berdiskusi, hingga akhirnya memutuskan untuk menuju Bumi Perkemahan Bukit Asah di Karangasem. 

Matahari telah jatuh, kami memacu mobil cukup kencang di jalanan By Pass yang lenggang. Vero menyetir dari Keramas hingga Candi Dasa, sebelum berhenti untuk membeli Hatten putih. Dari Candi Dasa, perjalanan ke Bukit Asah memakan waktu hingga 40-50 menit. Jalanan yang menanjak dan tidak ada lampu jalan, membuat kami memacu kendaraan pelan.

Untuk masuk ke daerah Bukit Asah yang satu arah dengan Virgin Beach, kita harus membayar Rp10 ribu. Sementara untuk biaya menginap, termasuk parkir dan menggunakan fasum seperti toilet di Bukit Asah sebesar Rp30 ribu per orang. Di sini terdapat warung yang menjual makanan dan minuman, membuat kami malas untuk memasak. Hujan kemudian datang deras sekali hingga tengah malam, kami pun tidur ditemani rintik hingga pagi. 

camper van bali

Berfoto di kebun kelapa di Virgin Beach/Mei Basri

Kami terbangun cukup siang dari yang kami harapkan, kemudian segera bergegas. Saya memastikan semua peralatan tak ada yang ketinggalan, mengecek bahan bakar dan lampu-lampu indikator. Vero membersihkan dalam campervan, mengecek alat- alat  sudah dibersihkan, dan duduk manis di bangku depan.

Sebelum kembali pulang, kami sepakat untuk mengunjungi Virgin Beach yang tak jauh dari Bukit Asah. Vero yang sudah sering ke Virgin Beach, terperangah melihat betapa sepi nya pantai itu. Hanya ada rombongan kecil bule yang menyewa tempat perkemahan di depan pantai. Warung-warung hampir semua tutup. Kabar gembiranya, tak ada sampah plastik menggunung ataupun bertebaran di bibir pantai. Kami memesan kelapa muda dan makan pisang goreng.

Setelah pamit, kami bergegas pulang menuju Denpasar. Vero tertidur di bangku depan. Saya menyetir dengan tenang, mendengarkan lagu-lagu dari Silampukau, melintasi jalan By Pass yang cukup lenggang. Sekitar jam 4 sore, kami tiba di markas Puku Camper. 

Saya rasa, kami berdua cukup menikmati pengalaman ini, terutama bagi saya yang bermimpi di suatu hari dapat berkunjung mengelilingi Patagonia nun jauh di utara dengan campervan. Semoga ya. Astungkara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membuka 2021 dengan Mengendarai Campervan di Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengendarai-campervan-di-bali/feed/ 0 26692
Mengulang Waktu di Timur: Sumba (2) https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-sumba-2/ https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-sumba-2/#comments Sat, 21 Nov 2020 10:59:20 +0000 https://telusuri.id/?p=25401 Kami beranjak pelan-pelan meninggalkan Lamboya menuju ke Timur Sumba. Tujuan berikutnya adalah Lapopu. Bang Son mengendarai mobil perlahan. Jalanan mulus hingga Waikabubak. Dari Waikabubak, kami menuju tenggara, bertemu jalan-jalan rusak. Perut sedikit mual, terentak-entak. Kata...

The post Mengulang Waktu di Timur: Sumba (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami beranjak pelan-pelan meninggalkan Lamboya menuju ke Timur Sumba. Tujuan berikutnya adalah Lapopu.

Bang Son mengendarai mobil perlahan. Jalanan mulus hingga Waikabubak. Dari Waikabubak, kami menuju tenggara, bertemu jalan-jalan rusak. Perut sedikit mual, terentak-entak. Kata Bang Son, sudah biasa jalan begini.

Kami sampai di Lapopu tengah hari. Dari kejauhan, dari tempat kami parkir, suara gemercik air mengundang untuk segera mencari asalnya. Kami ditemani seorang pemandu, laki-laki yang tak lagi muda. Setelah jembatan bambu, Lapopu berdiri. Megah, tinggi menjulang. Air terjun puluhan meter itu punya laguna yang besar namun cukup dangkal.

Ketika tiba di hadapan Lapopu, kami semua sibuk dengan prioritas masing-masing. Buat Ver, Val, dan Niko, itu adalah berkodak demi urusan konten; bagi saya adalah mandi dan berenang. Hampir sejam saya hilir mudik, melompat, menyelam, salto depan dan belakang, hingga akhirnya lelah bermain.

Air Terjun Lapopu/Mei Basri

Saya menghampiri Bang Son dan sang pemandu di pinggir kolam. Sang pemandu lalu bercerita soal bencana yang terjadi setahun lalu di Lapopu. Dua sejoli, bule, datang bertandang, kemudian berenang di Lapopu. Entah karena apa, mereka memutuskan untuk berhubungan badan di Lapopu, kemudian tertangkap basah oleh seorang pemandu. Pemandu itu melaporkan hal tersebut ke pihak desa. Dua sejoli tersebut meminta maaf dan berjanji untuk segera meninggalkan Lapopu. Tapi orang desa tak tenang, takut pada tulah, takut kualat pada Lapopu yang menjadi sumber mata air bagi mereka dan bagi banyak desa lainnya. Bencana tak dapat dibendung, tulah pun datang. Tak lama setelah itu, longsor terjadi di Lapopu. Batu-batu dan batang-batang besar berjatuhan, menutupi kolam, menjadikan Lapopu dangkal dan rusak. Masyarakat harus berbondong-bondong membersihkan tempat ini kembali, memindahkan reruntuhan pohon, mengguling batu-batu. Kala masyarakat sibuk mengeluarkan keringat, mungkin dua sejoli kulit putih itu sedang bercinta di air terjun, pantai, atau tempat-tempat terbuka lain entah di mana—atau mungkin mereka justru sudah belajar sesuatu dari kejadian itu?

Kami pun meninggalkan Lapopu. Bang Son memacu mobil dengan kencang demi mengejar matahari terbenam di Bukit Warinding. Kami melintasi Manupeu Tanah Daru dengan tergesa. Sebagian dari kami memang terlalu memuja peristiwa terbit dan tenggelamnya matahari. Kami sampai di Warinding sedikit terlambat dari perkiraan. Tapi, dalam sore yang telah jatuh, di atas Warinding sejauh mata memandang adalah daratan berpunuk-punuk, merah, diterpa matahari yang sebentar lagi hilang. Matahari begitu dekat dan begitu indah dari Warinding.

Ver dan Val di Bukit Warinding/Mei Basri

Kami melanjutkan perjalanan ke Waingapu. Di pelabuhan kota kami berhenti untuk makan malam. Di salah satu gerai warung seafood yang menggoda kami memesan ikan, cumi, dan siput gonggong. Selesai makan, kami menuju penginapan di Bukit Morinda dan tidur dengan lelap.


Hari-hari berikutnya kami lalui dengan sedikit lebih santai dan seperti rutinitas. Kami menuju Air Terjun Tanggedu, berenang dan makan siang, minum air kelapa bersama mama-mama.

Saya ingat betul perjalanan ke Tanggedu, tentang hamparan sabana tak berujung, jalanan berbatu kapur yang memisahkan gunung dan laut, dan tanah-tanah yang sebagiannya sudah dipatok rantai grup hotel-hotel besar. Sementara, kuda-kuda kurus digembalakan. Di rumah-rumah kayu, babi dan ayam mengaso, istirahat di hari yang panas. Ladang-ladang tembakau bersinar hijau di antara rumput sabana yang cokelat kemerahan.

Selesai dari Tanggedu, dalam perjalanan pulang kami berhenti di Puru Kambera. Sapi dan kuda ramai merumput. Bangkai besar sapi yang mati, mungkin karena sakit, ditinggalkan begitu saja di tengah padang, menambah kesan magis sore yang merah di Puru Kambera itu.

Bangkai sapi di Puru Kambera/Mei Basri

Esoknya kami mendatangi Air Terjun Lakolat. Setelah trekking sekitar setengah jam, kami tiba di Lakolat yang rupanya lebih besar dan terjal dari Tanggedu. Batu-batu sungai besar di sana mulus seperti diamplas, namun berlubang-lubang.

Waktu makan siang, Bang Son banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi supir, juga bagaimana corona berdampak kepadanya. Selesai makan, kami menuju Bukit Tenau untuk kembali melepas matahari. Air terjun dan matahari tenggelam adalah rutinitas di Sumba—namun saya tidak mengeluh sedikit pun untuk itu. Malamnya kami berjalan jauh ke bawah untuk menginap di Pantai Wera. Sepasang bule Prancis, pemilik Wera Beach Club, menjadi tuan rumah kami malam itu.

Saat sarapan, saya mengobrol panjang dengan Nadine, sang istri. Nadine menghabiskan waktu yang panjang di Bali, kemudian memutuskan untuk membuka penginapan di Sumba. Nadine bercerita tentang tanah pantai Sumba yang telah habis, dibeli orang dari mana saja. Ini adalah tahun terakhir Nadine di Sumba. Mereka akan menjual propertinya dan kembali ke Avignon, selatan Prancis. Suami istri itu akan kembali menjadi tukang kayu, membangun rumah, seperti yang mereka lakukan sebelum menginjak Sumba. Nadine mencium pipi kami satu-satu sebelum berpisah; suaminya yang kekar melambaikan tangan dari kejauhan.

Bang Son mengajak kami melihat sebuah desa adat yang tak terlalu jauh dari Wera, namanya Rende. Sepi. Sepi sekali ketika kami tiba di Rende. Hanya ada babi dan anjing yang tengah berjemur di halaman. Pelan-pelan satu-dua anak bermunculan hingga jadi kerumunan.

Seekor babi di Desa Adat Rende/Mei Basri

Saya mengobrol dengan anak-anak usia SD dan SMP itu. Saya begitu terkejut dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, misalnya: “Berapa mobil yang kakak punya?” dan pertanyaan-pertanyaan lain tentang Jakarta. Jakarta sepertinya adalah kemegahan bagi mereka, tempat semua hal terjadi, tempat semua hal dipertunjukkan. Saya ingin berceramah tentang kepercayaan saya bahwa mereka pun dilimpahi dengan banyak nikmat, dengan alam indah tiada tara, tentang Jakarta yang juga kotor, yang busuk, namun saya simpan. Saya tidak berada dalam hidup mereka. Saya tidak menjalani satu hari pun menjadi mereka. Saya tidak punya satu hal pun yang bisa membenarkan saya untuk mengambil kesimpulan bahwa hidup saya lebih baik dari mereka.

Siang hari kami menuju Waimarang, air terjun kesekian yang saya hampiri di Sumba. Saya selalu menikmati perjalan menelusuri setapak sambil bercengkerama dengan Ver dan Val—atau dalam diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Laguna Air Terjun Waimarang seperti kolam renang. Kami berenang dan bersalto dan berkenalan dengan pemuda-pemuda Alor yang sedang mampir. Dari Waimarang, kami pergi lebih jauh ke Pantai Watuparunu. Kami sampai di Watuparunu malam hari. Tak ada lagi tamu selain kami. Malam itu kami menginap di Costa Beach Resort, di Pantai Watuparunu, ditemani angin kencang.

Hari berikutnya adalah hari terakhir kami di Sumba. Saya sudah membuka mata pagi-pagi, dibangunkan sinar matahari terbit yang masuk lewat sela-sela tirai bambu. Saya membangunkan Ver dan Val, lalu sarapan. Setelah sarapan, saya mengajak Ver berenang dan mengobrol panjang. Sementara Val membaca buku di kamar. Ini adalah kedua kalinya saya melanglang panjang dengan Ver, setelah bersama menghabiskan liburan tahun baru di Jawa Timur. Saya percaya bahwa melakukan perjalanan bersama bikin saya dan Ver bisa kenal lebih dalam dengan diri masing-masing.

Pohon bakau menari di Walakiri/Mei Basri

Siang hari, setelah check-out, kami menuju Waingapu. Di tengah perjalanan kami singgah di Pantai Walakiri. Pohon Bakau menari yang bikin Walakiri dikenal sekarang jumlahnya makin berkurang. Beberapa studi menduga itu karena manusia yang berjejalan menginjak-injak pasir di sekitar pohon bakau; tanah jadi padat dan pohon-pohon susah bernapas. Sebagian besar bakau itu mati, tumbang, dan meranggas. Mungkin pandemi memberi pohon-pohon bakau itu waktu untuk istirahat, mengambil napas lega dan panjang.

Kami pulang setelah matahari terbenam di Manupeu Tanah Daru.

Epilog

Sumba mungkin adalah salah satu perjalanan yang cukup berarti buat saya. Sumba mengingatkan saya pada Belitung, pada saudara-saudara saya yang jauh di barat, miskin di tanah sendiri, miskin di tumpukan karunia alam. Tapi, lebih jauh saya mungkin salah mengartikan miskin, mengartikan terbelakang dan tertinggal. Mungkin banyak hal yang tidak perlu diselaraskan, disamaartikan, apalagi hanya dalam kacamata pembangunan berkelanjutan.

Sumba tidak hanya memberikan matahari yang indah tiada tara, pantai-pantai yang begitu mengundang, dan air terjun dan sabana yang menakjubkan, tapi juga memberikan saya ruang, untuk mengenal diri sendiri, untuk mengenal pasangan saya, untuk mengenal pejuang seperti Asty Kulla, mama-mama, dan Bang Son.

Amato, Humba. Nanti beta bale lai.


Bagian kedua dari seri Mengulang Waktu di Timur: Sumba. Bagian pertama dapat dibaca di tautan ini.

The post Mengulang Waktu di Timur: Sumba (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-sumba-2/feed/ 1 25401
Mengulang Waktu di Timur: Sumba (1) https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-sumba-1/ https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-sumba-1/#respond Wed, 30 Sep 2020 07:12:31 +0000 https://telusuri.id/?p=24127 Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kudaYang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauhSementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tuaDan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh Rinduku pada Sumba adalah...

The post Mengulang Waktu di Timur: Sumba (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

Begitulah penggalan-penggalan puisi “Beri Daku Sumba” karya Taufiq Ismail, ditulis jauh sebelum ia datang ke Sumba. Adalah cerita-cerita sahabatnya, Umbu Landu Paranggi, yang menjadi referensi imajinasi dirinya tentang Sumba. Akhirnya, dua puluh tahun setelah puisi itu ditulis, sang penyair pun menjejakkan kaki di sana.

Saya bersyukur menunggu tak harus selama itu untuk akhirnya datang ke Sumba. Saya pikir-pikir ulang, mimpi-mimpi ke Sumba rasanya muncul jauh di 2014 silam, dari film berjudul Pendekar Tongkat Emas, lalu Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang baru bisa saya tonton di sebuah tempat pemutaran film kecil di Kemang, tahun 2018 lalu. Tapi, jalan ke Sumba baru seperti terbuka ketika saya bertemu Greg R. Daeng, pengacara asal Flores yang tahun lalu mengenalkan saya pada Asti Kulla, pemudi asli Lamboya, Sumba Barat.

Akhirnya, di pengujung Agustus lalu, saya dan tiga rekan, si kembar Vero dan Vali dan Niko, berangkat ke Sumba. Selain menghabiskan cuti, saya dititipi amanah untuk mengantarkan sepatu, topi, dan kaus kaki untuk adik-adik binaan Asti Kulla dan teman-teman Yayasan English Goes to Kampung (EGK).

Di pesawat menuju Sumba, di atas Laut Jawa dan Flores, saya menyembunyikan sedikit gelisah. Bepergian kala pandemi, saya pikir yang terberat bukan melengkapi administrasi dan tes kesehatan, namun meyakinkan diri sendiri untuk tidak merasa bersalah karena bepergian di saat angka kasus corona semakin melambung.

Kami tiba sore hari di Bandara Tambolaka. Bang Son, supir kami, tetap meyakinkan kami untuk mengunjungi Danau Weekuri di ujung barat. Di perjalanan menuju Weekuri, saya memandang ke luar, melihat kuda-kuda kurus yang digembalakan di pinggir jalan. Rumah-rumah dengan atap khas Sumba, sepaket dengan batu kubur, kadang menyembul di antara rumah-rumah (semi) permanen beratap seng. Pohon-pohon jambu monyet (Anacardium occidentale) penghasil kacang mede mendominasi lanskap kering. Kacang mede menjelma menjadi komoditas andalan Sumba. Ya, komoditas pangan, dengan patokan ekonomi, menjadikan pangan tak lagi sebagai the primary determinant of survival. Tahun 2020, harga kacang mede anjlok. Saya membayangkan nasib mereka-mereka yang menjadi bergantung padanya. Saya memendam pikiran-pikiran itu, menggantinya dengan bercerita tentang pohon-pohon lain yang saya lihat di jalan kepada tiga rekan yang mungkin bahkan tidak peduli tentang kelas Biologi—mendadak dan kacangan—ini.

Matahari mulai turun ketika kami sampai di Weekuri. Saya bergegas menuju danau. Saya menarik napas panjang, terposona pada Weekuri yang berwarna pirus terang dan tampak tenang. Tak ramai pengunjung, saya segera berenang. Saya lalu mengiyakan ajakan seorang anak, yang ikut berenang, untuk melompat dari atas tebing. Saya pikir, saya mungkin harus belajar mengatakan tidak pada ajakan-ajakan seperti itu—atau setidaknya mengambil waktu untuk memikirkan.

Setelah hampir satu jam berenang, saya naik ke darat, memesan kelapa muda sambil mengobrol di warung. Di pinggiran danau banyak warung, dibangun sederhana dengan kayu dan sebagian beratap terpal, menjajakan makanan dan suvenir. Si penjual bercerita, selama pandemi pengunjung berkurang drastis, ditandai kelapanya yang tak laku-laku. Tiga rekan saya hampir selesai berfoto-foto ketika matahari akhirnya benar-benar jatuh di Weekuri. Kami berganti baju, membayar kelapa, dan bergerak menuju Kota Tambolaka kembali, mencari makan sebelum menuju penginapan di barat daya, Lamboya.

Sore hari di Danau Weekuri/Mei Basri

Vero dan Vali yang pernah ke Sumba tahun 2016 menyarankan untuk makan di Warung Gula Garam, tak jauh dari Bandara Tambolaka. Warung Gula Garam, kepunyaan warga Prancis yang telah lama keliling Indonesia, mungkin lebih cocok disebut kafe. Warung dengan atap khas Sumba itu berpadu dengan furnitur dan hiasan-hiasan kayu dan etnik lainnya, seperti kontras, jomplang dengan rumah-rumah setengah permanen di sekitarnya. Dari obrolan kami, pria Prancis itu bercerita tentang bagaimana dia jatuh cinta pada alam Sumba hingga memutuskan pindah dari Bali ke sana. Pendapat-pendapatnya tentang bagaimana harusnya alam dijaga, bagaimana harusnya masyarakat Sumba memanfaatkan sekaligus menjaga alamnya, mengingatkan saya pada The White Man’s Burden-nya William Easterly. Tapi, saya menikmati pizza dan salad yang disajikan di Warung Gula Garam; saya merasa telah disogok dengan baik, padahal saya membayar sendiri tiap kunyahan itu.

Selesai makan, Bang Son memacu mobil seperti berburu dengan waktu menuju Lamboya, tempat kami akan menginap malam itu. Tak ada lampu jalan dan jalanan sangat sepi. Kadang kami bertemu pengendara motor yang tak jarang juga tak berlampu. Kami telah menyimpan peta jalan menuju penginapan dalam ponsel untuk membantu navigasi Bang Son. Tapi, Bang Son sepertinya tak butuh itu. Mungkin aplikasi-aplikasi navigasi itu hanya untuk kita, manusia-manusia urban yang semakin bergantung padanya, bukan untuk Bang Son.

Kami sampai di penginapan hampir tengah malam dan menghabiskan waktu cukup lama di halaman depan kamar, menikmati langit malam di Lamboya yang bertabur bintang. Hening sekali, seolah bintang dan malam memeluk dan meredam semua suara. Saya menanyakan kepada staf penginapan apakah gerangan cahaya yang benderang di kejauhan itu?

“Itu Nihiwatu, Kakak,” jawabnya.

Dan kata Nihiwatu itu dengan sendirinya membawa ingatan saya pada tulisan Sarani Pitor, “Memagari Ombak: Cerita Selancar Sumba.” Lebih jauh, saya mengingat sedikit memori dari tesis Sarani yang berjudul “Waves Are Sleeping” dan cerita-cerita tentang Sikerei, Ebay, dan Mapaddegat nun jauh di barat Sumatra. Malam itu, saya tidur sambil bermimpi tentang kuda-kuda di Nihiwatu, gemuk dan berbulu mengilat, rajin dimandikan demi kesan dan pengalaman-pengalaman eksotis para tamu hotel “terbaik” di dunia itu.


Keesokan hari, kami sudah bersiap sedari pagi. Saya pada akhirnya bertemu dengan Asti Kulla yang penuh dengan energi. Asty yang mungil, dengan mata yang berbinar dan senyum yang manis, menjelaskan kepada kami tentang rencana acara hari itu.

Pertama, kami mengunjungi Desa Adat Deke yang beberapa waktu lalu terbakar, menghanguskan sekitar 22 rumah adat. Asty dan teman-teman di EGK menjadi sukarelawan membantu mengumpulkan bantuan, memasak, mendirikan pos-pos darurat, hingga membuatkan healing center untuk anak-anak keluarga korban kebakaran.

Tim English Goes to Kampung berfoto bersama anak-anak usai penyampaian donasi di Desa Lamboya Dete/Mei Basri

Duo Vero dan Vali menghibur anak-anak di pusat penyembuhan itu dengan dengan cerita Tiga Anak Babi, cerita warisan dari oma mereka. Saya terpingkal-pingkal lebih dari tawa anak-anak Desa Deke waktu mendengar dan melihat mereka bercerita. Saya pikir, aksi teatrikal mereka lebih menggelikan dan menghibur ketimbang cerita babinya. Selesai di Deke, kami menuju Desa Lamboya Dete untuk makan siang bersama dan menyampaikan donasi sepatu, kaos kaki, dan topi. Sekitar 70 orang anak berkumpul untuk makan siang dan menerima donasi.


Matahari terbenam di Pantai Morosi/Mei Basri

Selesai acara, Asty mengajak kami ke Pantai Morosi. Kata Asty, matahari terbenam di Morosi cantik sekali. Saya pemuja makanan, bukan kaum “kopi dan penikmat senja,” tapi saya harus setuju dengan Asty. Saya menikmati Morosi dengan mataharinya yang terbenam pelan-pelan. Beberapa orang mencari rumput laut di antara bebatuan dan karang. Mereka menawari saya, mencoba rumput laut mentah itu. “Buat dimakan, nanti pakai nasi, Abang,” kata bapak yang embernya hampir penuh.

Ketika matahari benar-benar tenggelam, dan ketiga rekan saya sudah cukup puas dengan foto-foto untuk konten, Asty mengajak kami menuju Pantai Dassang. “Kita bikin panggang ayam, makan pinggir pantai kaka e,” ujar Asty.

Ketika sampai di Dassang, teman-teman EGK yang lain telah membuat api, menyiangi ayam, mencucinya dengan air laut, dan memanggangnya perlahan. Sebagian menyiapkan sayur bayam dan pepaya rebus untuk lalapan. Yang lain mengulek sambal rujak terasi. Kami makan dengan lahap. Saya berani bertaruh bahwa ayam panggang itu adalah ayam panggang terbaik yang pernah saya makan.

Saya berbisik pada Asty, terima kasih untuk makan malam istimewa, untuk keramahan tiada tara. Acara makan malam ditutup dengan berdansa, diiringi musik pop timur yang hentak-hentak. Hari kedua di Sumba segera selesai, kami pulang ke penginapan dan tidur dengan pulas.

Bagian pertama dari seri Mengulang Waktu di Timur: Sumba. Bagian kedua dapat dibaca di tautan ini.

The post Mengulang Waktu di Timur: Sumba (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-sumba-1/feed/ 0 24127
Ramadan dan Lebaran yang Lalu https://telusuri.id/ramadan-dan-lebaran-yang-lalu/ https://telusuri.id/ramadan-dan-lebaran-yang-lalu/#respond Sat, 30 May 2020 16:48:20 +0000 https://telusuri.id/?p=22013 Saya mengamati kolam dari jendela kamar. Dari jendela kamar, di rumah besar di kawasan Kemang yang tadinya sebelum pandemi datang disewakan melalui banyak situs penyedia jasa perhotelan. Hampir setengah juta semalam. Namun pandemi mengurung kita...

The post Ramadan dan Lebaran yang Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya mengamati kolam dari jendela kamar.

Dari jendela kamar, di rumah besar di kawasan Kemang yang tadinya sebelum pandemi datang disewakan melalui banyak situs penyedia jasa perhotelan. Hampir setengah juta semalam.

Namun pandemi mengurung kita semua, melalui tagar dan regulasi. Perjalanan bisnis dan pariwisata berhenti, dan hotel-hotel pun kosong. Industri perhotelan kocar-kacir. Karyawan-karyawan dirumahkan. Pemilik-pemilik bisnis memutar otak—termasuk empunya grup penginapan rumah besar Kemang ini—dengan manuver menyediakan paket isolasi bulanan. Kamar yang hampir setengah juta rupiah per malam dibanting menjadi 2 jutaan per bulan. Saya, yang sedang musafir di Jakarta, mengambil kesempatan itu, mengunci diri dengan paket isolasi.

Seminggu lagi Lebaran.

Tapi pandemi tak tahu hari. Pandemi tak lihat kalender.

Jauh sebelum semua ini, saya berencana untuk mudik: berlebaran ke Belitung. Pada tahun-tahun belakangan, empat tahun tepatnya, saya tidak pernah pulang Lebaran. Pekerjaan, belum beristri, dan hiruk-pikuk duniawi lainnya, terasa jadi alasan yang tepat untuk tidak mudik Lebaran. Di awal-awal tahun ini, ibu sudah berpesan, “Pulanglah, Nak. Kite Lebaran di Belitong.” Sayang seribu kali sayang, Ibu, corona lebih besar dari segala rencana kita berdua—dan rencana ibu-anak lainnya di luar sana.

Karenanya, di depan jendela kamar ini, saya membayangkan suasana Ramadan dan Lebaran di kampung halaman. Sebagai pengobat rindu, baik saya ceritakan kepada teman-teman.


Bulan Ramadan selalu disambut dengan penuh sukacita di kampung saya, di pedalaman Belitong Timur. Setidaknya itu yang saya ingat, dari ingatan masa kecil. Saf-saf di masjid selalu penuh di minggu pertama. Anak-anak Melayu laki-laki dan perempuan tumpah ruah di masjid, sebagian tarawih dan mengaji, sebagian bermain sarung dan petasan. Bapak-bapak silih berganti menjadi imam salat tarawih, datuk haji mengeluarkan ceramah-ceramah pamungkas pengisi kultum. Orang-orang bertadarus hingga malam, sebagian pulang setelahnya, sebagian tinggal di masjid untuk beriktikaf.

Di siang hari, sepulang sekolah di panas yang terik, kami berbondong-bondong mencari kulong[1] dan kali. Berenang dan berendam berjam-jam hingga sore. Sebelum pulang, kami singgah mencari buah apa saja yang kami temukan dekat hutan dan di sepanjang jalan pulang. Pulang ke rumah, badan bau dan kemungkinan kutu-kutu sudah bercokol di kepala. Namun ibumu tak marah, menahan diri karena sedang berpuasa. Jam 5 sore, selesai berganti baju, saya biasanya mencuci semua buah yang telah dikumpulkan, menatanya di meja makan, lalu pergi mengganggu ibu di dapur.

Lima belas sampai sepuluh menit sebelum berbuka, saya sudah duduk di meja makan. Saya menyendoki nasi ke piring, menyusun lauk-pauk, menyiram dengan sayuran. Biasanya ibu dan bapak tertawa melihat kelakuan ini. Kadang abang saya menggoda saya, menirukan suara beduk atau sirine penanda berbuka. Ketika beduk atau sirine berbuka berbunyi, saya langsung memulai pesta di meja makan. Air kelapa satu gelas, tandas. Buah-buah dari hutan, tuntas, Nasi sepiring beserta lauk-pauknya, amblas. Tak jarang saya sakit perut kekenyangan. Bila tak salah, saya baru bisa mengubah kebiasaan “berpesta” saat berbuka puasa ketika saya lepas SMP, tinggal di asrama sekolah SMA, terpisah dari bapak dan ibu.

Warga menikmati pemandangan saat senja di Pantai Tanjung Pendam, Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis, 7 Mei 2015 via TEMPO/Frannoto

Lalu saya tentu tak akan lupa “safari Ramadan.” Saya tak tahu karena memang tugasnya atau karena senang saja, dahulu hampir setiap bulan puasa bapak melakukan “safari Ramadan.” Walaupun tidak setiap hari, bapak berkeliling Belitung Timur, berbuka puasa dan bertarawih di berbagai tempat, dari masjid ke masjid. Kadang, saya ikut. Karena, biasanya, di safari Ramadan, tambul[2] yang disajikan banyak dan beragam.

Yang juga tak terlupakan adalah malam takbiran. Setelah mendengar pengumuman di televisi, takbir mulai dikumandangkan setelah tarawih. Sehabis tarawih pula, puluhan mobil berjejer di depan Masjid Jame’ Al Fallah. Sebagian besar berupa truk dan pikap, sebagian besar pula membawa beduk. Kami, anak anak Melayu, menyerbu, laki dan perempuan, berebut naik mobil-mobil itu. Pawai takbir dimulai, dari masjid menuju ujung kampung di selatan, memutar hingga ujung utara, dan kembali ke masjid. Biasanya hampir tiga jam pawai takbir ini baru selesai. Tentu, sampai di rumah kena marah ibu yang belum selesai menyetrika baju untuk salat Id esok hari.

Di hari pertama Lebaran, pagi-pagi sekali sebelum jam 6, ibu sudah sibuk membangunkan kami. Disuruhnya kami mandi. Sunah, katanya. Jam setengah 7 teng, kami sekeluarga pergi ke masjid. Tiap-tiap kami dibekali sajadah. Tiap-tiap kami punya sajadah. Saya baru mulai merasakan salat dengan alas koran ketika berkuliah. Ada yang menggelar salat Id di lapangan tenis peninggalan PT Timah, tapi bapak tak pernah mengajak kami salat Id di sana. Katanya, ”Salatlah di masjid yang paling dekat rumahmu. Itulah caramu memakmurkannya.”

Selepas salat dan bersalaman, kami semua menuju ke rumah alm. kakek, yang kebetulan di depan Masjid Jame’ Al Fallah. Semua adik dan kakak dari bapak akan berkumpul di sini, sebelum bersama-sama ziarah. Sebagian dari kami mencari bunga-bunga, memotong pandan dan mengisi botol air untuk keperluan ziarah. Setelahnya, kami—bapak dan hampir sembilan adik dan kakaknya beserta keluarga—menuju pemakaman umum. Kadang, pemakaman telah ramai. Selepas ziarah, kami menuju rumah masing-masing. Sesampai di rumah, bapak dan ibu biasanya duduk, dan kami sungkeman, meminta maaf atas semua tingkah di sebelas bulan sebelumnya. Selesai semua itu, kami mulai makan.

Ketupat, rendang, tekwan, dan opor adalah masakan wajib Lebaran ibu. Empat sampai tiga hari sebelum Lebaran didedikasikannya untuk memasak sajian-sajian tersebut. Tak hanya itu, meja-meja di rumah penuh dengan berpuluh-puluh jenis kue pesanan, sementara bawah meja ramai diisi minuman soda. Berbagai warna. Cuma pelangi tandingannya. Meriah. Dan Anda akan menemukan keadaan yang sama hampir di setiap rumah. Mungkin hingga kini, minimalisme masih jauh dari peradaban orang-orang Melayu Belitong. Lebaran hari kedua dan ketiga kami biasanya menerima banyak tamu, sesekali pergi ke rumah sanak saudara, kerabat, dan kolega. Saya menadahkan tangan ke siapa saja, mengumpulkan “THR” ataupun “angpau,” upah dari berpuasa. Rasa malu memang datang terlambat di hidup saya.

Lebaran keempat, biasanya kami sekeluarga besar akan pergi ke pantai. Kadang ke Pantai Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, atau Batu Baginde. Setiap keluarga membawa bekal dan peralatan. Ketika sampai di pantai, kami memilih tempat, menggelar tikar, dan menyajikan segala hidangan bekal. Saya dan sepupu-sepupu makan terburu-buru, tak sabar ingin berenang. Bapak pun begitu. Bukan untuk berenang, tapi mancing. Sama seperti saya yang berenang hingga sore, bapak pun mancing hingga dipanggil-panggil untuk pulang. Di perjalanan pulang, saya dan sepupu-sepupu tertidur kelelahan, bermimpi makan ketupat sambil berenang di pantai, dengan baju renang yang penuh dengan angpau.


Saya menghela napas panjang, masih memandang kolam dari jendela, di rumah besar di Kemang. Corona, sebagai sebuah agensi, memangkas semua mimpi tentang Lebaran, memisahkan saya dan memori tentangnya, dan, saya yakin, mimpi dan rencana lainnya. Individu maupun kolektif. Tapi corona mengajarkan saya—dan saya pikir kita semua—betapa tak berartinya segala rencana dibanding kuasa alam. Namun corona juga mengajarkan saya bahwa tak memaksakan rencana menjadi pilihan bijak untuk semua. Apa pun itu, semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan mengambil sikap dengan bijaksana, di waktu yang sulit dan tak menyenangkan untuk semua. Amin.


[1] Danau yang terbentuk dari kegiatan penambangan timah

[2] Makanan yang disajikan untuk tamu, bisa makanan berat ataupun kudapan


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ramadan dan Lebaran yang Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ramadan-dan-lebaran-yang-lalu/feed/ 0 22013
Menutup 2019, Menyambut 2020, di Ujung Jawa (2) https://telusuri.id/menutup-2019-menyambut-2020-di-ujung-jawa-2/ https://telusuri.id/menutup-2019-menyambut-2020-di-ujung-jawa-2/#comments Fri, 10 Jan 2020 15:32:24 +0000 https://telusuri.id/?p=19225 30-31 Desember 2019 Banyuwangi: hotel rasa Kuta Agenda kami selanjutnya adalah leyeh-leyeh di Banyuwangi. Setelah sempat khawatir dan capai karena Ijen, kami akan menghabiskan satu hari untuk bersantai di salah satu hotel di Banyuwangi. Hotel...

The post Menutup 2019, Menyambut 2020, di Ujung Jawa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
30-31 Desember 2019

Banyuwangi: hotel rasa Kuta

Agenda kami selanjutnya adalah leyeh-leyeh di Banyuwangi. Setelah sempat khawatir dan capai karena Ijen, kami akan menghabiskan satu hari untuk bersantai di salah satu hotel di Banyuwangi. Hotel yang kami tuju adalah Hotel Ketapang Indah yang berada di bilangan Gatot Subroto.

Sebelumnya, kami mampir untuk makan siang di Warung Rawon Bi Ati. Rawonnya maknyuss! Kalau sempat, mampirlah ke Rawon Bi Ati. Saya percaya bahwa rawon tak akan seenak itu bila tak ada kecambah mentah, mungkin seperti nasi campur Bali tak berkacang, ada yang kurang.

Perjalanan dari Ijen menuju Hotel Ketapang Indah memakan waktu sekitar 1,5 jam. Hotel itu mengingatkan saya pada hotel-hotel besar di Kuta, di depan pantai-pantainya, barangkali karena hotel itu mengusung tema hijau dan asri, dengan taman-taman yang besar dan rindang—mungkin juga karena belum sepenuhnya tereksploitasi. Namun, tak jauh dari hotel, kita bisa melihat pelabuhan industri yang tersambung langsung ke Pabrik Semen Bosowa. Pemandangan yang lumayan kontras, jukstaposisi antara asri dan industri.

Melompat dari dermaga Ketapang Indah/Mahesa Adisakty

Sore hari, setelah duduk-duduk santai di bar, kami pergi ke dermaga di pantai depan hotel yang ramai oleh anak-anak asli sekitar yang berenang dan unjuk gigi dengan bersalto ke depan dan belakang. Malam hari, kami makan malam di luar. Satu hal yang saya senang bila jalan-jalan di Jawa Tengah atau Timur adalah harga makanan kaki lima yang “beralasan.” Kami makan ayam goreng kampung dan ikan goreng di pinggir jalan lalu makan buah yang banyak dan bermain game di hotel, dan tertidur dengan pulas.


31 Desember 2019-1 Januari 2020

Hutan Instagram dan tahun baru di Pantai Pulau Merah

Kami meninggalkan Hotel Ketapang Indah dan kasurnya yang empuk dengan tenaga baru. Kami akan menuju beberapa tempat, sebelum menuju Pantai Pulau Merah di mana kami akan melalui malam tahun baru.

Vero, yang aktif membuat konten di Instagram, mengusulkan untuk mendatangi De Djawatan, hutan di tengah kota yang ditumbuhi oleh pohon-pohon trembesi tua. Tempat yang dikelola oleh Perhutani itu letaknya di daerah Cluring, Banyuwangi. Perjalanan dari Hotel Ketapang Indah ke sana kurang lebih 1 jam. Tiket masuk De Djawatan Rp5.000/orang ditambah ongkos parkir mobil.

Berfoto di De Djawatan/Lugas Hakim

Aktivitas utama di De Djawatan adalah berfoto ria demi Instragram. Memang ada kegiatan lain seperti flying fox atau bermain ATV atau berkuda, namun sepertinya hampir semua pengunjung berfokus untuk berfoto-foto. Hanya satu jam di De Djawatan, kami memutuskan mencari makan siang.

Kami memilih makan siang di Warung Nasi Tempong Mbak Har yang terletak tak jauh dari De Djawatan. Menu makan siang kala itu sungguh istimewa. Pilihan yang tersedia lumayat komplet, mulai dari cumi, ayam, paru, sayur-sayuran, dan berbagai gorengan. Namun, ada dua menu yang menarik hati saya, yaitu pepes sarang lebah dan goreng belut crispy. Ambooi, setelah mencoba pepes sarang lebah untuk pertama kali, saya pikir saya tak akan ragu untuk mencobanya kembali.

Pepes sarang lebah/Mei Basri

Setelah makan siang, kami menuju ke destinasi selanjutnya: Alas Purwo. Namun, sungguh sangat disayangkan, hujan lebat datang. Setelah berunding, akhirnya kami memutuskan untuk tidak ke Taman Nasional Alas Purwo namun langsung menuju hotel di daerah Pantai Pulau Merah.

Karena hujan yang deras, perjalanan menuju daerah Pantai Pulau Merah memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Kami tiba di One South Boutique Hotel, yang berada di depan pantai, pada jam setengah 5 sore.

Setelah check-in dan beres-beres, kami menuju pantai di depan hotel. Kami bermain frisbee dan berfoto-foto, lalu menikmati matahari tenggelam yang sangat indah. Setelah gelap kami berjalan ke arah barat menelusuri bibir pantai.

Kami agak kaget ketika sampai di ujung pantai, tepat di depan Pulau Merah. Pembangunan telah berlangsung. Terdapat panggung pertunjukan serta banyak warung di sekitar pantai. Pantai Pulau Merah ternyata juga mengundang para peselancar dengan ombaknya, ditandai dengan adanya tempat-tempat penyewaan papan selancar. Lampu-lampu terpasang lumayan rapi dan bagus.

Kami sepakat malam nanti kami akan datang lagi untuk makan dan menghabiskan malam tahun baru di pinggir Pantai Pulau Merah. Selesai mandi, kami pergi ke pantai ujung dengan mobil, dan kaget; pantai telah sangat ramai oleh pengunjung, musik yang dimainkan DJ di atas panggung diiringi kerlip lampu disko. Pantai Pulau Merah menjelma menjadi Batubelig.

Senja di Pantai Pulau Merah/Mahesa Adisakty

Kami memesan seafood (lagi-lagi dengan harga yang “beralasan”) dan Bintang, bercengkerama dan tak lupa bermain games. Jam 11-an malam, kami beranjak menuju pinggiran pantai, menggelar tikar, duduk mengobrol, menceritakan sesal di tahun lalu dan membuat resolusi untuk 2020, untuk ditertawai bersama-sama, didengar gemuruh ombak, dibawa ke samudra, menjadi doa-doa.


1-2 Januari 2020

Lika-liku ke Tumpak Sewu

Selepas makan siang, kami meninggalkan hotel dan Pantai Pulau merah menuju Lumajang. Perjalanan dari Pulau merah ke Lumajang lumayan lama, sekitar 6 jam. Hujan tetap mengiringi perjalanan kami. Saya dan teman-teman silih berganti menyetir dan memutar lagu-lagu lawas sehingga perjalanan terasa lebih baik.

Kami menuju ke Dear Traveller Guest House and Glamping, tempat kami akan menginap malam itu. Kami akan tidur di tenda dan bangun pagi keesokan hari untuk menuju areal wisata Tumpak Sewu. Dear Traveller Guest House and Glamping sebenarnya juga menyediakan kamar, namun kami memilih tidur di tenda. Selain lebih hemat, kami ingin merasakan sensasi tidur di tenda. Kami mengambil tiga tenda, dengan biaya Rp200 ribu/tenda sudah termasuk sarapan.

Coban Sewu/Mei Basri

Malam itu kami tidur cepat dan, walaupun di tenda, kami tidur dengan pulas. Dear Traveller ini sangat menarik, memanjakan mata dengan bangunan yang sederhana dan asri. Menurut saya cocok untuk teman-teman yang suka dengan nuansa natural.

Pagi sekali kami telah bangun. Setelah sarapan segera kami menuju ke Tumpak Sewu yang sangat dekat dari tempat kami menginap. Di Tumpak Sewu, untuk masuk dan parkir, dikenakan biaya Rp10 ribu/orang.

Perjalanan menuruni setapak dan tangga memakan waktu kurang lebih 45 menit. Memang sebagian tangga di Tumpak Sewu perlu dibangun dengan lebih baik demi keselamatan. Tapi, kalau hati-hati, semua akan baik-baik saja. Kami menuruni Tumpak Sewu dan sampai di areal pandang, di mana kita dapat melihat Coban Sewu. Untuk sampai ke Coban Sewu, kita harus berjalan kurang lebih 15 menit lagi dan membayar tiket kembali sebesar Rp10 ribu/orang.

Penulis dan teman-teman sebelum berpisah di Stasiun Malang/Istimewa

Selain Coban Sewu, dalam perjalanan pulang kita juga dapat mampir ke Goa Tetes dan Kali Sendang Biru, dan, tentu, harus membayar tiket kembali. Setelah selesai mandi di Sendang Biru, kami mendaki pulang. Jam 11 siang, kami siap meninggalkan Tumpak Sewu dan kembali ke Malang.

Kami tiba di Stasiun Malang sekitar jam setengah 2 siang. Mahesa dan Kartika harus kembali ke Jakarta dengan kereta jam 14.25 WIB. Sementara saya, Vero, dan Lugas, akan berada di Malang sampai besok sebelum berpisah dan kembali ke daerah masing-masing.

Nah, begitulah kira-kira catatan perjalanan kami di akhir tahun dalam rangka menghabiskan cuti dan menyambut tahun baru 2020. Semoga dapat menjadi informasi yang berguna bagi teman-teman TelusuRI semua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menutup 2019, Menyambut 2020, di Ujung Jawa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menutup-2019-menyambut-2020-di-ujung-jawa-2/feed/ 1 19225
Menutup 2019, Menyambut 2020, di Ujung Jawa (1) https://telusuri.id/menutup-2019-menyambut-2020-di-ujung-jawa-1/ https://telusuri.id/menutup-2019-menyambut-2020-di-ujung-jawa-1/#comments Thu, 09 Jan 2020 09:47:24 +0000 https://telusuri.id/?p=19185 Sebagai pekerja kantoran, akhir tahun adalah opsi bagi saya dan teman-teman untuk berlibur bersama. Diawali obrolan-obrolan santai sore hari di Jakarta Selatan, akhirnya kami sepakat mengais dan mengumpulkan cuti, membentuk grup WhatsApp, dan menyusun rencana,...

The post Menutup 2019, Menyambut 2020, di Ujung Jawa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai pekerja kantoran, akhir tahun adalah opsi bagi saya dan teman-teman untuk berlibur bersama. Diawali obrolan-obrolan santai sore hari di Jakarta Selatan, akhirnya kami sepakat mengais dan mengumpulkan cuti, membentuk grup WhatsApp, dan menyusun rencana, untuk satu tujuan: menghabiskan akhir tahun di Jawa Timur.

Berikut adalah catatan ringan dari perjalanan saya dan empat teman lainnya kurang lebih satu minggu, menghabiskan jatah cuti, menelusuri beberapa destinasi, baik yang sudah maupun yang belum pernah dikunjungi, desa dan kota, pantai dan gunung, hotel dengan beachfront view, hingga bermalam di tenda, di Jawa Timur, menutup 2019, menyambut 2020.


27-28 Desember 2019

Malang: bakso dan Bromo

Setelah itinerary disusun, kami sepakat perjalanan ini akan dimulai di Malang. Karena perbedaan jadwal dan tempat tinggal, saya, yang mendapat jatah libur akhir tahun lumayan panjang, dan Vero, yang kebetulan memiliki jadwal cukup fleksibel, memutuskan pergi ke Malang lebih dahulu—tepatnya tanggal 27 Desember—dibandingkan tiga rekan lainnya. Dua rekan lainnya, Mahesa dan Kartika, akan bertolak dari Jakarta dan tiba di Malang keesokan harinya. Sementara Lugas, teman kami yang lain, akan menyusul dari Bali tanggal 29 Desember.

Mengambil penerbangan pagi dari Jakarta, kami tiba di Bandara Abdulrachman Saleh sebelum jam makan siang. Nah, di Abdulrachman Saleh, saya tidak menemukan transportasi online seperti Gojek atau Grab—mungkin ada kesepakatan bersama tentang hal tersebut. Di bandara itu, transportasi seperti taksi bandara dikelola secara kolektif oleh semacam koperasi. Kita cukup mendatangi loket, menyebutkan tujuan, membayar dan—voila!—sebuah armada taksi siap mengantarkan ke tujuan. Prosesnya cepat, armadanya nyaman, dan supirnya pun ramah.

Kami menuju hotel di bilangan Jalan dr. Sucipto, di tengah kota. Tiba di hotel lebih awal, kami akhirnya memutuskan mencari makan.

Seporsi bakso bakar Pak Man/Mei Basri

Bakso dan Malang seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, kami sepakat untuk makan bakso siang itu. Setelah mengecek Google dan bertanya sedikit kepada staf hotel, ternyata tak jauh dari Hotel Gajahmada Graha, ada warung bakso bernama Bakso Bakar Pak Man. Cuss! Cukup jalan kaki 5 menit, kami sampai di Warung Bakso Bakar Pak Man.

Ternyata, di hari Jumat, warung tersebut buka jam 1 siang. Masih ada sekitar 45 menit untuk menunggu. Namun, saya cukup kaget mendapati warung tersebut telah ramai oleh pengunjung. Wah, mungkin pertanda bahwa bakso Pak Man ini enak. Saya memang bukan penggemar bakso. Namun, antrean pengunjung di warung yang belum buka ini cukup membuat saya dan Vero penasaran. Kami setia menunggu hingga warung dibuka.

Menu warung tersebut cuma ada dua sebenarnya, yakni bakso biasa (yang disertai mie dan kuah kaldu) dan bakso bakar. Setelah berjibaku dengan pengunjung lain, kami akhirnya dapat memesan dua porsi bakso biasa dan sepuluh bakso bakar. Saya lumayan jarang makan bakso. Namun, menurut saya, Bakso Bakar Pak Man layak dimasukkan ke list tujuan wisata kulinermu di Malang.

Kembali ke hotel dengan perut kenyang, kami istirahat dan menyiapkan diri untuk kegiatan selanjutnya: pergi ke Bromo. Saya cukup khawatir sebenarnya untuk pergi ke Bromo di pengujung tahun—takut kehujanan. Terlebih, kami berencana ke Bromo dengan motor trail. Puji Tuhan, malam itu cerah sekali.

Kami menyewa dua motor trail di Kaldera Adventure beserta seorang pemandu dengan biaya total Rp800.000/12 jam, lengkap dengan helm. Kami memulai perjalanan ke Bromo dari workshop Kaldera sekitar jam 12 malam. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi agar tidak terjebak macet di Bromo. Macet di Bromo biasanya disebabkan oleh ramainya antrean mobil-mobil Hardtop yang membawa pengunjung melihat dan menikmati matahari terbit.

Perjalanan dari Kota Malang ke Bromo dengan motor trail tidak bisa dibilang mudah, apalagi ketika mulai mendaki. Bila teman-teman ingin melakukannya, setidaknya teman-teman mesti cukup yakin dengan kemampuan mengendarai motor dan juga, yang penting, bawalah pemandu. Kami tiba sekitar jam 3 pagi di Penanjakan 3 Bromo.

Bawalah uang secukupnya, untuk membayar tiket masuk dan parkir, dan juga camilan untuk dimakan sambil menunggu matahari terbit. Teh jahe panas di tengah udara dingin Bromo yang menggigit nikmatnya ora ono lawane, rek!

Matahari terbit di Bromo/Veronika Krasnasari

Ini merupakan Bromo pertama saya, dan saya cukup kaget dengan ramainya pengunjung. Sekitar jam 4.30 pagi, orang-orang mulai ramai berkumpul menunggu matahari terbit. Lumayan sesak, tapi jadi tak begitu dingin.

Vero, yang sudah berulang kali ke Bromo, mengajak saya dan Mas Feri, pemandu kami, turun ke bawah melewati pagar. Saya tidak tahu ini legal atau tidak, tapi Vero membawa kami ke tempat yang menurut dia lebih asoy untuk menikmati matahari terbit di Bromo. Dan tenyata—ambooi—saya ingat saat itu saya begitu terpana menyaksikan semburat merah dan ungu, matahari yang perlahan merayap naik menyapu kaki-kaki Bromo memperlihatkan Mahameru di seberang sana.

Berbulan-bulan yang lalu saya ingat menyaksikan matahari terbit di Gunung Batur di Bali. Tapi, opini personal, Bromo jauh lebih cantik. Lautan pasir, kawah, sabana, dan vegetasi subalpin yang tersapu lembut matahari pagi, sungguh indah tak terperi.

Tuntas menikmati matahari terbit dengan pikiran masing-masing di kepala, kami memutuskan turun, singgah di lautan pasir, bermain dengan motor trail dan mengambil banyak foto dan video laiknya turis-turis, lalu pulang, beristirahat, dan berkumpul bersama dua rekan lain, Mahesa dan Kartika, di Malang.


28-30 Desember 2019

Baluran dan Ijen

Setelah berkumpul bersama dua rekan lain, kami menuju destinasi selanjutnya: Taman Nasional Baluran. Kami menggunakan mobil sewaan, dengan biaya sewa sebesar Rp2.450.000/7 hari atau Rp350 ribu/hari. Harga tersebut lebih mahal 50 ribu dibanding hari atau waktu biasanya, karena musim liburan.

Dimulai sekitar jam 12 siang, perjalanan menuju Baluran memakan waktu kurang lebih delapan jam ditambah waktu istirahat dan makan siang. Perjalanan menuju Baluran dari Malang lumayan lancar dengan adanya Tol Gembong-Rembang. Hanya saja, setelah melintasi Probolinggo perjalanan harus dilakukan dengan cukup hati-hati mengingat kecilnya jalan dan ramainya kendaraan. Pesannya: pastikan kondisi mobil dalam keadaan prima dan bertukar atau bergantian dalam menyetir.

Kami menghabiskan perjalanan dengan bernyanyi mengikuti lagu-lagu yang diputar atau bermain game yang santai. Sekitar jam 8 malam, kami tiba di Baluran. Setelah melapor, kami menuju Wisma Banteng, penginapan yang disediakan dan terletak di dalam areal Taman Nasional Baluran, tepatnya di Savana Bekol. Untuk menginap di Taman Nasional Baluran, teman-teman dapat menghubungi pihak Baluran sebelumnya.

Tiket masuk Baluran untuk empat orang beserta satu mobil totalnya adalah Rp84 ribu, sementara untuk menginap di Wisma Banteng semalamnya adalah Rp400 ribu. Terdapat dua kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang tamu yang luas dalam Wisma Banteng ini, dengan catatan listrik dimatikan pada pukul 10 atau 11 malam. Itu dilakukan salah satunya adalah demi kepentingan satwa liar di dalam Taman Nasional Baluran.

Savana Bekol Baluran/Kartika Dian

Pagi hari di Baluran, kami dibangunkan bermacam bunyi grasak-grusuk dan hawa yang lumayan panas. Rombongan rusa dan kerbau hilir mudik mencari rumput dan pergi berkubang. Rombongan monyet menyusul, tak terhitung banyaknya.

Setelah sarapan, kami menuju Pantai Bama, sekitar 4 kilometer dari Savana Bekol, menggunakan mobil, sekalian menunggu Lugas yang sedang dalam perjalan ke Baluran dari Bali.

Saya dan Vero sudah pernah ke Baluran. Saya ke Baluran tahun 2012 silam, sementara Vero 2015 lalu. Kami berdua cukup terkejut melihat banyaknya perubahan. Misalnya, jalan di dalam Baluran yang telah rapi diaspal, loket masuk yang rapi tertata hingga adanya larangan batasan masuk ke daerah Savana Bekol. Di daerah Pantai Bama, bangunan pendukung seperti toilet dan beberapa cottage juga baru dibangun. Tentu, seperti banyak tujuan wisata lainnya, di Pantai Bama pun terdapat ayunan-ayunan demi kebutuhan Instagram.

Setelah Bama, kami menjemput Lugas yang telah tiba di gerbang depan Baluran. Kemudian kami berkeliling taman nasional, mengunjungi Menara Pandang yang juga telah dibangun ulang. Dari Menara Pandang ini kita dapat melihat luasnya sabana Baluran juga Gunung Baluran yang kokoh di belakang. Meski sudah memasuki musim penghujan, Baluran masih gersang dengan sabana yang kering, dipercantik dengan rombongan kerbau dan rusa yang merumput dan berkubang. Inilah sebabnya Taman Nasional Baluran kerap dijuluki Little Africa van Java.

Setelah makan siang dengan nasi pecal yang enak minta ampun dan kelapa muda yang maknyuss, kami melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi.

Destinasi kami selanjutnya adalah Kawah Ijen. Saya dan Mahesa sempat bergurau berbulan-bulan sebelumnya untuk datang ke Ijen setelah melihat unggahan di Instagram model pujaan hati, Mariana Renata, di Kawah Ijen.

Dari Baluran, kami menuju penginapan di daerah tak jauh dari kawasan Kawah Ijen. Penginapan tersebut bernama Ijen Resto and Guesthouse. Tarifnya sekitar Rp180 ribu/malam. Penginapan itu tampak asri sekali, dengan taman yang luas dan bangunan kamar berbahan bambu. Perjalanan dari Baluran menuju penginapan memakan waktu sekitar 2 jam, sementara jarak dari penginapan ke Pos Paltuding yang merupakan gerbang pendakian Ijen adalah sekitar 14 kilometer atau 30 menit menggunakan mobil.

Jam 11 malam, kami mulai bersiap menuju Pos Paltuding. Kami mengenakan baju hangat secukupnya dan sepatu yang nyaman untuk mendaki. Beberapa barang yang sangat disarankan untuk dibawa untuk mendaki Ijen adalah senter atau headlamp dan masker (kualitas lebih bagus lebih baik). Pendakian Ijen baru dibuka pada jam 1 dini hari, dengan terlebih dulu membeli tiket masuk sebesar Rp7.500 (akhir pekan) untuk wisatawan domestik. Jika anda membawa kendaraan akan dikenakan biaya parkir kendaraan.

Pendakian Ijen lumayan menguras tenaga untuk saya, padahal saya lumayan suka berolahraga dan senang hiking. Untuk sampai ke daerah kawah, pendakian berjalan kaki memakan waktu 2,5 jam. Untukmu yang merasa tidak kuat untuk mendaki, jangan khawatir. Ada porter yang menawarkan gerobak untuk mengangkutmu hingga daerah Kawah Ijen dengan tarif sebesar Rp800-900 ribu/orang. Tarif turun dipatok lebih murah, yakni Rp200 ribu/orang.

Fenomena api biru di Kawah Ijen/Lugas Hakim

Setelah sampai kawah, untuk dapat melihat fenomena api biru, kita harus turun ke dekat kawah dan melanjutkan sekitar 1 jam perjalanan lagi. Penyebabnya antara lain antrean yang ramai serta jalur yang cukup sulit.

Namun yang paling saya khawatirkan selama mendaki ijen dan turun ke kawah adalah asap belerang yang menyengat. Walaupun sudah mengenakan masker hasil menyewa, saya dan teman-teman sepakat bahwa belerang masih menyengat. Dada terasa sesak dan mata terasa perih. Semakin dekat dengan kawah, sesak dan perih semakin menjadi-jadi.

Saya kemudian mulai khawatir, karena saya tidak melihat “evacuation plan” yang jelas bila terjadi sesuatu. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di dekat kawah dan segera mendaki ke atas. Saya bahkan memutuskan untuk tidak menikmati matahari terbit di Ijen. Saya diserang kekhawatiran, dan dibayangi ingatan tentang matinya Soe Hok Gie. Kami memutuskan untuk segera turun. Saya setengah memaksa.

Di perjalanan turun, setelah terang, saya melihat papan himbauan dari pihak KLHK yang kira-kira berisi larangan untuk mendaki dan menuruni kawah, dan bila terjadi sesuatu maka risiko ditanggung masing-masing. Terkesan seperti “party pooper” atau pengecut, tapi mungkin teman-teman perlu mempertimbangkan dan melakukan persiapan lebih matang bila ingin pergi ke Ijen. Kami sampai di bawah dan memesan sarapan dan segera kembali ke penginapan. Setelah istirahat dan mandi, kami bersiap pergi ke tujuan selanjutnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menutup 2019, Menyambut 2020, di Ujung Jawa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menutup-2019-menyambut-2020-di-ujung-jawa-1/feed/ 1 19185
Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (3) https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-3/ https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-3/#respond Mon, 02 Dec 2019 01:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=18877 16 Agustus 2019. Dua boat melaju kencang, memecah laut yang tenang, di tengah hari yang terik. Boat-boat itu mengantarkan kami, saya dan rekan beserta teman-teman lain, ke Pang Wadar, di mana kami memarkirkan sepeda motor...

The post Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
16 Agustus 2019. Dua boat melaju kencang, memecah laut yang tenang, di tengah hari yang terik. Boat-boat itu mengantarkan kami, saya dan rekan beserta teman-teman lain, ke Pang Wadar, di mana kami memarkirkan sepeda motor dan mobil. Waktu saya dan teman-teman memang telah usai di Patimburak. Sebelumnya, lambaian mace dan pace Patimburak, teriakan-teriakan anak kecil, mengiringi kepergian kami. Kepala dan dada terasa penuh, oleh cerita, oleh kenangan dan diskusi-diskusi panjang tentang pala, oleh pengalaman hidup di muara.

Sampai nanti, Patimburak.

Kami tiba di Pang Wadar di waktu makan siang. Kami akan tinggal beberapa hari di Pang Wadar sebelum kembali pulang ke Kota Fakfak. Di rumah Pace Kampung Ridwan, kami dijamu makan siang dengan menu lema (ikan kembung) bakar, sayur geti berkuah santan, dan sambal colo-colo.

Selesai makan kami menuju balai desa, duduk di bawah pohon asam. Di bawah pohon asam yang teduh, Pace Radani bercerita tentang Pang Wadar dan Distrik Kokas. Di Kokas, terdapat gua-gua buatan manusia, peninggalan sejarah perang. Jepang yang membuatnya, menjadi saksi bisu kisah-kisah peperangan.

Kokas: Jejak kolonial dan Pesta Kemerdekaan

Cerita-cerita yang panjang akhirnya membawa saya ke rumah Tete (kakek) Abu. Tete Abu berusia lanjut. Kantong matanya besar dan sudah turun. Ia tinggal bersama istri mudanya di Masina, kampung sebelah. Tete Abu selalu mengenakan kopiah putih khas haji-haji kampung di Indonesia. Janggam dan jenggotnya panjang dan putih, kontras dengan kulitnya yang legam. Sekilas dalam gelap, ia mungkin seperti Morgan Freeman.

Di hari yang sudah mendekati Magrib, saya menyapa tete dengan Bahasa Belanda. Sebelumnya saya sudah dikabari bahwa tete pernah mengenyam sekolah Belanda dan bekerja untuk perusahaan Belanda di Papua. Tete membalas pesan saya dengan wajah sumringah, lalu menyerocos dengan Dutch-nya. Tentu saya gelagapan mencoba mengerti. Logat Belanda tete mengingatkan saya pada Oma Ann dan Opa Paul di Nijmegen, pasangan suami-istri yang hengkang puluhan tahun lalu ke Belanda, yang kadang mengundang saya karena Oma masak banyak untuk acara gereja.

Tete Abu bercerita tentang pendidikan Belandanya, juga tentang bagaimana herr-herr atasannya memperlakukannya dengan baik, dengan sistem yang tertata. Saya mencoba menyimpan opini pribadi demi kesopanan. Saya sebenarnya fokus ke meja, karena ada kudapan yang mengundang. Saya izin untuk mencoba dan—ah!—enak sekali. Manis dan lembut, berwarna kuning gading dengan kulit garing di luarnya.

Kue lontar/Mei Basri

Kue itu bernama lontar. Kata tete, itu merupakan peninggalan Belanda. Menurutnya lontar berasal dari rond taart atau kue bulat. Mungkin zaman dulu para kompeni itu mencoba membuat sesuatu yang mirip dengan pie susu dengan bahan-bahan terbatas yang ada di Fakfak. Setelah kenyang dan bosan mengangguk-nganguk dengan cerita tete, saya permisi pulang, membungkus kue lontar yang tersisa, lalu kembali ke rumah pace kampung.

17 Agustus 2019. Pagi-pagi  saya dikagetkan cekikikan anak-anak perempuan pace kampung. Mereka sudah rapi, berseragam sekolah lengkap. Pace kampung pun tak kalah rapi, bersafari dengan nama tersemat di dada dan topi bertuliskan nama dan pangkat: Kepala Kampung. Amboi, semua sedang siap-siap upacara bendera di Lapangan Distrik Kokas. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya mengikuti upacara bendera atau upacara 17 Agustus. Saya rasanya ingin ikut. Tapi, ah, takkan sempat. Yang lain sudah siap sementara saya masih bersarung dan mengantuk.

Ada yang berbeda di tanggal 17 Agustus ini dibandingkan hari-hari biasa di Pang Wadar. Selain semarak oleh bendera merah putih yang terpajang dan berkibar di tiap rumah, listrik pun menyala sejak pagi. Di Pang Wadar, di hari-hari biasa, listrik hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi, dengan pemadaman yang rajin dan tanpa berita. Di 17 Agustus, setidaknya Pang Wadar merdeka dari tidak-ada-listrik di siang hari.

Sore hari, saya mengambil sepeda motor lalu pergi ke Pasar Sosar. Saya membeli ikan goreng dan melihat-lihat jualan mama-mama di pasar, lalu pergi ke Pelabuhan Kokas.

Di pelabuhan, warga distrik ramai berkumpul. Bermacam perlombaan untuk anak-anak dan dewasa tersedia. Tapi saya memilih menonton sepakbola anak-anak, Sekar Sosar Cup, Kampung Sisir melawan Kampung Sekar. Lapangan penuh dikelilingi para suporter dan penonton, permainan riuh diiringi teriakan mace-mace, pendukung nomor satu bagi anak-anaknya. Saya benar-benar menikmati pertandingan sepakbola anak usia SD ini. Mereka bermain dengan semangat dan serius. Tiba -tiba saya teringat Erol Iba, pesepakbola nasional kawakan yang berasal dari Fakfak. Mungkin Bang Erol pun dulu pernah bermain dan berlomba bola di acara 17 Agustus di Fakfak.

Permainan selesai. Kampung Sisir memenangkan perlombaan, menggondol piala, membawanya berpawai dalam mobil bak sambil bersorak sorai.

Arak-arakan Tim Kampung Sisir/Mei Basri/ waktu di timur
Arak-arakan Tim Kampung Sisir/Mei Basri

Saya kemudian menuju Lapangan Distrik Kokas. Warga dan aparat ramai berkumpul: upacara penurunan bendera. Upacara dimulai, pasukan paskibra memasuki lapangan. Saya tidak ikut dalam barisan peserta upacara karena tak enak cuma bercelana pendek. Saya berdiri di antara motor yang terparkir, di bawah pohon mangga, bersama Morten dan Iqbal yang menyusul. Namun, kami semua dengan patuh hormat tatkala bendera mulai diturunkan. Diiringi lagu Indonesia Raya, pelan-pelan bendera menuruni tiang hingga ditangkap dan dilipat dengan sigap oleh paskibra. Semua momen itu memberikan rasa hangat di dalam dada.

Tambaruni: duka dan kejora

19 Agustus 2019. Kami sampai kembali di Kota Fakfak. Saya dan Mei, asisten peneliti kami, memilih tidur di Grand Papua Fakfak. Sementara Pak Fadly sepakat tidur di Markas LSM tempat rekan kami bekerja. Setelah berjanji mengatur rencana diskusi, kami semua beristirahat. Setelah dua minggu lebih berada jauh di kampung-kampung ujung Fakfak, tidur beralas tikar, malam itu saya tidur nyenyak, sampai lupa untuk bermimpi.

Massa membakar pasar / waktu di timur
Massa membakar pasar/Chen Heremba

20 Agustus 2019. Bang Husenlah yang pertama mengirim kabar itu di grup WhatsApp. Terjadi perusakan di Pasar Tambaruni. Dagangan-dagangan diobrak-abrik, pinang sirih berantakan, dan telur pecah di lantai pasar. Beberapa kios dibakar. Bang Husen juga berpesan agar saya dan Mei tak keluar hotel, waspada bila kerusuhan merambat ke arah hotel. Bang Husen dan yang lain berjanji akan mengirim orang bergantian ke hotel untuk menemani kami.

Saya gusar. Ini pertama kalinya Mei datang ke Papua mendampingi program dan penelitian saya. Saya khawatir bila kerusuhan membesar. Saya mencoba menonton TV, mencari-cari berita tentang Fakfak; berita belum sampai di TV. Saya coba menelusuri laman pencarian dan mulai membaca perihal kerusuhan di Malang, asrama mahasiswa Papua, dan berita seputarnya. Saya tidur tak tenang, mengecek Mei, dan bertanya banyak hal pada Morten dan Bang Husen.

Esoknya pasar dibakar. Gedung empat lantai itu ludes dilumat api. Bang Husen dan Morten mengirim pesan, “Massa dari berbagai kampung turun ke Fakfak, berdemo.” Warung-warung semua tutup. Di restoran hotel persediaan makanan menipis. Diskusi-diskusi tentang sebab musabab, analisa dan hipotesa, serta menduga-duga menjadi panjang bersama Morten dan Bang Husen yang datang ke hotel.

Saya tak selera makan. Saya makan kedondong dua biji yang saya simpan dan menenggak segelas sopi, mencoba tidur. Esoknya, kerusuhan tak kunjung reda. Massa membakar gedung Dewan Adat, melempari gedung-gedung lainnya, menjarah dan membakar sebagian ruko dan kios. Jalan ke bandara dipalang. Pesawat-pesawat di-cancel, tak jadi terbang. Morten yang datang ke hotel menunjukkan saya sebuah video, seorang lelaki terkapar memegangi perutnya yang sobek. Morten bilang, ”Dia menaikkan bendera bintang kejora, Bang.”

Persendian saya linu, hati saya kelu. Orang-orang berebut memesan makanan—yang sudah sangat sedikit—di restoran hotel. Malam hari, saya dan Mei yang kelaparan meminta satpam menemani kami ke sebuah rumah di belakang hotel. Kami menumpang makan malam di rumah keluarga Nafan, kenalan saya saat tinggal di Bali yang ternyata orang Fakfak. Kami makan ikan dan nasi dan saya tahu mereka juga kekurangan bahan makanan. Pasar berhari-hari lumpuh. Dicekam ketakutan untuk keluar, orang-orang memilih diam aman di dalam rumah, bertahan dengan apa yang ada. Jaringan internet kacau. Saya akhirnya memutuskan mengabari orang rumah, keluarga di Bandung dan Belitung.

Gedung Pasar Tambaruni pascakerusuhan / waktu di timur
Gedung Pasar Tambaruni pascakerusuhan/Mei Basri

Saya dan Mei harusnya pulang tanggal 23 Agustus. Namun kepergian kami harus ditunda hingga tanggal 25 demi keamanan. Tanggal 24 keadaan mulai terkendali. Pasukan Brimob diterbangkan dari Makassar, berjaga- jaga di kota. Warung-warung sebagian telah buka. Atas nama penasaran setengah mati, saya meminta Bang Husen mengantar saya pergi ke luar dengan alasan membeli makan.

Kami melintasi Pasar Tambaruni yang hangus dan porak-poranda. Saya makan dalam diam, memikirkan kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa seminggu silam. Baru saja saya disambut euforia kehangatan kemerdakaan di kampung nun jauh di pedalaman, nasib kemudian membawa saya menjadi saksi kerusuhan di Tambaruni.

Diskusi-diskusi selama dan setelah itu pun panjang dengan Bang Husen dan Morten. Saya limbung menempatkan diri dan opini, membaca dan menelaah berbagai berita, opini, dan diskusi. Saya ingat sebuah artikel yang membahas pendapat Bung Hatta tentang Papua Barat, mungkin kepada hal itu saya bisa menyandarkan opini pribadi.

25 Agustus 2019. Saya ingat, saya pergi dari Fakfak, kembali ke Jawa, mengantongi banyak hal: suka, duka, dan doa.

Sampai jumpa, Papua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-3/feed/ 0 18877
Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (2) https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-2/ https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-2/#comments Thu, 05 Sep 2019 11:49:54 +0000 https://telusuri.id/?p=16994 Kami selesai mandi. Telah gelap di Air Terjun Mandoni. Iqbal dan sang anak kecil sibuk melinting tembakau untuk perjalanan pulang. Merokok tembakau, selain sebagai relaksasi, dapat pula membantu mengusir agas yang mulai ramai. Saya dan...

The post Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami selesai mandi. Telah gelap di Air Terjun Mandoni. Iqbal dan sang anak kecil sibuk melinting tembakau untuk perjalanan pulang. Merokok tembakau, selain sebagai relaksasi, dapat pula membantu mengusir agas yang mulai ramai. Saya dan Morka menyiapkan cadik, menyusun dayung, melilit handuk di leher, mengangkat jangkar.

Saya bergidik memandang sekitar. Gulita. Mungkinkah kecipak-kecipak itu bunyi anak-anak buaya muara? Saya berseru kepada Iqbal dan anak kecil untuk segera naik ke cadik. Saya berdoa untuk kedua kalinya, kepada siapa saja yang punya kuasa, untuk kemudahan dan keselamatan sampai kembali ke Patimburak.

Senter menyala. Si bocah kecil tetap paling belakang, sementara Iqbal menggantikan Morka mendayung. Sekarang Morka di tengah menimba air ke luar cadik. Saya, berteman senter dan takut, meringkuk di haluan. Cadik berlayar pelan tapi pasti meninggalkan selat, diiringi suara napas kami berempat. Saya tiba-tiba ingat Bapak. Bapak yang sering mengajak saya naik perahunya, menyusuri Laut Selindang, bersandar di gusong-gusong dan keramba, hingga malam. Kenangan berperahu bersama Bapak adalah memori yang hangat, bukan mengerikan seperti di atas cadik ini.

rokok daun nipah fakfak
Tembakau negeri yang dilinting dengan daun nipah, teman diskusi dan bercengkerama di Patimburak/Mei Basri

“Bang Sur!” Morka berseru memecah hening. “Coba matikan dolo senter.”

“Ah, ko gila, kenapa? Nanti kita nyasar, Morka,” bersungut-sungut saya menjawab Morka. “Memang ko bisa lihat dalam gelapkah?”

“Eh, sudah, kasi mati dolo. Baru Bang Sur lihat airnya!” Morka terdengar memaksa.

Setengah malas saya matikan senter, mencoba membenarkan duduk, melongok melihat air lautnya. Lalu, saya mendapati diri terpana.

Amboi! Seperti bintang-bintang, air laut yang dibelah dayung Iqbal dan sang anak kecil menjadi bercahaya! Ganggang yang agung! Jika teman pernah menonton film Life of Pi (2012), tentu ingat scene di mana Pi mendapati laut di sekelilingnya bercahaya. Tak ada kamera atau ponsel untuk mengabadikannya, tapi saya tahu saya tidak akan lupa. Saya menjadi lebih tenang, memandang cahaya-cahaya dari ganggang, sesekali menebar pandangan pada langit yang luas dan penuh bintang.

Setelah hampir satu jam, kami sampai di Patimburak disambut omelan Mace Kampung. Tapi saya tak peduli, saya akan tidur tenang malam ini; sudah mandi, bebas agas, dan akan bermimpi tentang ganggang yang gemerlapan.

Emas hitam Fakfak

Hari-hari selanjutnya di Patimburak saya lalui dengan banyak diskusi tentang pala.

Pala bukan hanya sebuah komoditas di Fakfak. Ia adalah sesuatu yang bernilai lebih dari uang dan menjadi sakral. Lahan pala yang ditanami oleh moyang-moyang, bercampur dalam hutan lebat, diwariskan turun-temurun dalam keluarga masyarakat Fakfak. Larangan menebang pohon pala betina dan juga pemberian sesajen setelah musim panen masih rutin dilakukan oleh masyarakat petani pala. Pala juga jadi tumpuan harapan bagi petani untuk dapat mengirim anak-anaknya bersekolah dan kuliah ke Jakarta, Bandung, Jogja, dan tempat-tempat lainnya.

pala papua
Pace-pace petani pala sedang bergurau di sela sela diskusi pala/Mei Basri

Pala adalah salah satu rempah primadona dunia, menjadi motivasi bangsa-bangsa Arya datang ke Nusantara, menjadi alasan orang-orang kulit putih mampir berdagang, berujung kolonialisasi.

Dalam banyak diskusi, saya telah mencoba menggali dalam-dalam mengenai praktik budidaya dan rantai nilai pala Papua. Praktik-praktik budidaya pun sarat kearifan lokal yang didapat lewat pengalaman dan cerita-cerita leluhur.

Salah satu yang menarik adalah diskusi mengenai jenis kelamin pala. Orang-orang Barat telah lama pula mendokumentasikan dan meneliti tanaman pala, baik pala Banda maupun pala Papua. M. Flach, yang ternyata satu almamater dengan saya, dahulu sudah menjelaskan peliknya permasalahan penentuan jenis kelamin pala pada usia muda atau fase vegetatif (Flach, 1966). Tanaman pala ternyata memiliki tiga jenis kelompok kelamin, yaitu jantan, betina, dan hermafrodit/berbunga ganda. Hal ini kemudian dianggap tantangan dalam upaya mencapai produktivitas maksimal, di mana dalam suatu pola tanam terdapat rasio yang baik antara tanaman jantan dan betina. Namun, petani di Fakfak mempunyai cara sendiri untuk menentukan jenis kelamin tanaman pala. Lewat ilmu warisan leluhur dan pengalaman, mereka bisa membedakan biji jantan dan betina, bibit jantan dan betina, dan juga tanaman muda jantan dan betina.

pala papua
Buah pala muda, berisi biji yang diseludangi “fuli” atau bunga pala/Mei Basri

Adalah kemudian tugas kita untuk mencari tahu dan membuktikan kebenaran dari teknik-teknik tradisional petani pala Papua.

Hidangan penutup: “song” dan “balobi”

Hari itu hari terakhir saya berada di Patimburak. Setelah makan malam dengan lauk kepiting bakau, kami bermain kartu. Permainan kartu bernama song ini saya yakin sangat digemari di Patimburak, dilihat dari antusiasme dan olok-olokan yang keluar dari pace-pace yang menjadi lawan saya bermain. Di permainan song, kami bercanda bertaruh harga diri ditemani Kopi Senang dan asap rokok yang membubung.

Baru pukul setengah sepuluh Bang Abdulrap Heremba melontarkan ide: “Bang Sur, mau balobi-kah?” Saya tadinya berpikir bahwa balobi mungkin nama buah. Ternyata balobi adalah kegiatan melaut di malam hari. Bang Abdulrap kemudian menjelaskan bahwa balobi dibantu dengan cahaya lampu petromaks yang dicantelkan di depan perahu. Dengan galah, perahu didorong pelan menyusuri pinggir pulau. Tak ada umpan yang digunakan, hanya tombak.

Mendengar itu, saya segera ganti baju sekalian menyemprot cairan anti-agas dan nyamuk sekujur tubuh. Bang Abdulrap menyiapkan perahu dan petromaks. Jam setengah sebelas, saya, Bang Abdulrap, Bang Husein, dan kedua teman lainnya siap berangkat.

Perahu bermesin itu melaju kencang meninggalkan Patimburak menuju gugusan pulau di sekitar Pulau Ugar. Setelah hampir satu jam, mesin perahu dimatikan, lampu petromaks menyala terang dikaitkan di haluan, dan Bang Abdulrap mulai memakai galah untuk mendorong perahu pelan-pelan menyisir pinggiran pulau. Bang Husein berdiri di haluan dan saya berdiri di belakangnya. Kami berdua siap dengan tombak di tangan. Dua teman lain asyik merokok di tengah, berseloroh menggoda saya. Perasaan saya bercampur aduk. Euforia karena ini pengalaman pertama, namun juga gugup membayangkan apakah saya bisa menombak apa pun nantinya yang ada.

Setelah hampir lima belas menit, akhirnya… Wuush!!! Bang Husein menghunjamkan tombaknya. Air beriak terpecah. Diangkatnya tombak—dan ikan pertama kami malam itu! Di belakang, saya tambah gugup dan tak sabar. Mata saya akhirnya mulai terbiasa, meskipun belum juga berhasil menombak satu pun makhluk laut. Bang Husein mulai sibuk menombak ke sana kemari dalam air, mengangkat ikan pari, kepiting, ikan bulanak, ikan bubara, dan udang.

kepiting bakau patimburak fakfak
Kepiting bakau rebus yang siap disantap/Mei Basri

Saya beranikan diri pindah lebih ke depan. Dan saya melihatnya, Bang Husein pun melihatnya: ada sontong karang di bawah sana! Kami berdua menghunuskan tombak hampir bersamaan. Air terpecah dan tiba-tiba menjadi hitam karena tinta yang dikeluarkan sontong. Bang Husein mengangkat tombak, namun kosong. “Ah, mungkin lepas,” keluhnya. Lalu, saya angkat tombak saya perlahan, dan—kawan-kawan, yang saya sampaikan berikut ini mungkin sedikit berlebihan—melihat sontong menggelepar di ujung tombak, ada perasaan yang saya tahu pasti bagaimana menggambarkannya: bahwa saya tidak pernah merasa sangat laki-laki, sangat jantan, sebelumnya, sampai saya berhasil menombak sontong batu pertama saya malam itu.

Lalu pesta menombak itu dimulai. Saya dan Bang Husein bergantian menombak apa saja, mengisi perahu dengan pari, kepiting, udang, sontong, dan ikan-ikan. Saya dan Bang Husein kemudian digantikan oleh dua teman lainnya, yang juga terus berpesta.

Jam setengah tiga pagi, kami memutuskan cukup dan sepakat pulang. Ada perasaan hangat mengalir, mungkin senang, atau mungkin perasaan lega bahwa saya telah membuktikan sesuatu: saya lulus balobi. Setiba di Patimburak, Bang Abdulrap menghidupkan api, sementara kami yang lain memilih sontong, udang, dan kepiting untuk dibakar. Saya memilih sontong pertama saya, yang sengaja saya pisahkan. Tidak dibasuh, tidak disiangi, cukup ditusuk dan dililit dengan batang kayu, lalu saya tancapkan di pinggir api.

Malam itu, malam terakhir di Patimburak, saya makan sontong hasil balobi pertama, ditemani wajah-wajah asing tapi bagai saudara, dengan senyuman dan perasaan hangat mengisi rumpang-rumpang dalam dada.


Referensi

Flach, M. (1966). Nutmeg cultivation and its sex-problem: An agronomical and cytogenetical study of the dioecy in Myristica fragrans Houtt. and Myristica argentea Warb. (Veenman). Retrieved from https://library.wur.nl/WebQuery/wurpubs/525698


Bagian kedua dari seri “Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora”

Baca juga:

Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (1)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-2/feed/ 1 16994
Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (1) https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-1/ https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-1/#comments Tue, 27 Aug 2019 10:18:26 +0000 https://telusuri.id/?p=16868 Kami tiba pada siang yang mendung di akhir bulan Juli. Saya ingat, tahun lalu, di hari keempat setelah Idul Fitri, saya tiba untuk pertama kali di Fakfak. Saat itu bandara belum rampung. Stasiun kedatangan digantikan...

The post Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tiba pada siang yang mendung di akhir bulan Juli. Saya ingat, tahun lalu, di hari keempat setelah Idul Fitri, saya tiba untuk pertama kali di Fakfak. Saat itu bandara belum rampung. Stasiun kedatangan digantikan sementara oleh bangunan sederhana berdinding triplek. Tak ada konveyor. Bagasi-bagasi dipilih oleh masing-masing penumpang seperti tumpukan baju loak di Ijhallen.

Setahun berselang, Bandara Torea telah siap menerbangkan burung besi dan menerima siapa saja, termasuk saya. Kali ini saya datang bersama dua kolega demi tujuan utama yang sama—mungkin sama pula dengan Portugis dan Belanda ratusan tahun lalu—yakni sebuah komoditas: Pala.

Dua kawan saya terlihat sama lelahnya. Setelah berganti pesawat tiga kali dari Jakarta menuju Fakfak, kami tersandar pada kursi tengah mobil rental yang mengantarkan kami ke hotel.  Di dalam mobil, saya mulai percakapan dengan Zaenal, sang supir, sebisa mungkin dengan dialek Fakfak, menanyakan kesehatannya, anak istrinya, dan kabar mereka-mereka yang setahun lalu pernah saya temui.

Mobil melaju santai di jalan aspal pinggir laut, lalu turun-naik berkelok mengikuti topografi Fakfak yang berbukit-bukit. “Kota” Fakfak memang berada di pinggir samudra, dengan sebuah pelabuhan penumpang dan barang yang jadi pintu menuju Sorong, Kaimana, Nabire, Makassar, Surabaya, dan Jakarta.

Buah pala Papua muda/Mei Basri

Dari kejauhan, dari dalam mobil tiba-tiba saya melihat sosok itu: tinggi besar dengan badan dan lengan hitam pekat. Lalu saya berkata pada kolega saya yang baru pertama ke Fakfak, sambil menunjuk, “Itu dia—Myristica argentea Warb.” Sosok itu adalah sebuah pohon pala Papua atau pala negeri atau, yang sekarang jadi nama varietas sahnya, pala tomandin. Si daun perak dari timur itu menjulang, dengan buah kekuningan menggantung di ujung-ujung dahan, menyembul di antara daun-daun rindang, hampir matang, hampir siap untuk panen barat.

Kami tiba di hotel, check-in, lalu merebahkan diri. Kali ini, kami akan tinggal selama kurang lebih satu bulan di Fakfak. Namun, alih-alih di hotel dalam “kota” Fakfak, sebagian besar waktu akan kami habiskan di dua desa nun jauh di timur laut Fakfak. Saya menyempatkan diri mengecek jadwal kegiatan, mengucap doa “Semoga Tuhan Berkati,” lalu memejamkan mata.

Jalan panjang ke Patimburak

Morten Kabes alias Morka memacu sepeda motor sedikit kencang. Entah berapa kelokan dan tanjakan dan turunan sudah dilewati. Di belakang, saya memegang erat besi di sisi kanan motor. Dua rekan saya bersama rombongan lain di mobil, sementara saya memilih naik motor dengan Morka, menikmati angin segar dan pemandangan hijau hutan-hutan sepanjang jalan menuju Kokas. Kami telah meninggalkan Kota Fakfak setengah jam lalu. Tak ada lagi internet. Saya bergumam dalam hati, “Aku datang, masa lalu.”

Sambil berkendara Morka bercerita bahwa jalan aspal ini masih muda usianya. Dulu, kakek, nenek, dan ibu-bapaknya, harus berjalan kaki hingga seharian penuh menembus hutan untuk membawa hasil bumi dari Kokas ke Fakfak. Kini, dengan motor dan jalan aspal, Fakfak dan Kokas hanya terpaut dua jam perjalanan saja. Tanpa macet. Tanpa sinyal.

Setelah lebih dari satu jam meluncur, kami berhenti di jembatan besar yang memisahkan sungai dan Air Terjun Kayuni. Bekal makan siang, nasi Padang, pun dibuka lalu kami santap dengan lahap ditemani cerita Morka tentang rombongan anak muda yang tenggelam di aliran Air Terjun Kayuni. “Aliran sungai nanti sampai ke Patimburak, Bang Sur, salah satu Kampung yang akan kita datangi.”

Pemandangan ketika berhenti makan siang dekat Air Terjun Kayuni/Mei Basri

Nasi habis, kami menyesap rokok, lalu melanjutkan perjalanan.

Kami tiba di Patimburak ketika matahari hampir jatuh di ufuk, disambut sahut-sahutan dari mace-mace.

Sepeda motor dan mobil telah kami parkirkan di Pang Wadar, sebuah kampung di Kokas. Untuk sampai ke Patimburak, kami harus menggunakan boat dari Kokas, dengan perjalanan kurang lebih 45 menit. “Jalannya belum jadi, susah untuk dilalui menggunakan mobil atau motor,” begitu jawaban Morka ketika ditanya apakah ada jalan darat dari Kokas ke Patimburak.

Navigator “boat” yang membawa kami ke Patimburak tertidur di haluan/Mei Basri

Mace-mace tampak sudah sibuk menyiapkan makan malam, sambil menyirih pinang dan bercakap-cakap dalam bahasa setempat. Di Patimburak, bahasa Sekar-lah yang banyak digunakan. Tak tahan dengan penasaran, saya melongok ke dapur lalu membantu mace-mace. Rupanya tambelo, cacing bakau, yang akan jadi hidangan pembuka makan malam pertama ini. Mace Kampung mengajari saya cara menyiangi tambelo, mengeluarkan isi perut dengan mengiris badan cacing menggunakan gigi dari si cacing itu sendiri. Lalu jeruk diperas, garam ditambahkan bersama rica (cabai), dan diaduk dalam wadah berisi tambelo bersih, kemudian disantap mentah-mentah. Saya yang tak begitu suka sushi ternyata juga tak terlalu minat pada tambelo.

Lalu hari-hari di Patimburak terlewati dengan lambat, dengan banyak diskusi tentang pala, juga para petani dengan segudang pertanyaan yang saban hari memenuhi rumah kepala kampung tempat kami menginap. Kadang, sore hari selesai kegiatan pelatihan, kami sempatkan bermain voli di lapangan voli satu-satunya Desa Patimburak. Berkuliah di Belanda dan berteman dengan banyak laki-laki jangkung, aneh rasanya menemukan diri saya memiliki tubuh tinggi di Desa Patimburak.

patimburak
Sepiring “tambelo” siap dihidangkan/Mei Basri

Dua rekan saya lebih suka berkunjung ke Masjid Tua Patimburak, sebuah rumah ibadah yang konon berusia lebih dari dua abad sebagaimana diklaim prasasti penyebaran Islam di Fakfak oleh Kesultanan Tidore. Pada banyak sore, kami menghabiskan waktu di laut yang meti (surut). Pak Fadly, salah seorang rekan saya, menikmati sekali mencari kerang di lumpur. Saya dan teman-teman lain biasanya memancing di pinggiran dermaga, menunggu rombongan lumba-lumba yang kadang muncul.

Sekali peristiwa di atas perahu cadik mungil

Namun ada satu sore yang saya tidak akan lupa. Ketika itu kami baru selesai bermain voli. Badan saya berkeringat, gerah tak kepalang. Tak ada sumber air di Patimburak. Masyarakat harus pergi ke Mandoni, sebuah kampung di seberang Patimburak, untuk pergi mengambil air, entah untuk minum atau mandi. Sore itu air sudah habis. Bang Aburab, anak Mace Kampung yang biasa mengajak kami pergi mandi ke Mandoni sedang tak ada. Ia sedang pergi ke Kokas naik boat untuk membeli solar.

Saya bergumam pada Morka, “Morka, beta tra bakal bisa tidur kalo tra mandi habis berkeringat bagini e.” Lalu saya duduk lesu di pinggir laut, membayangkan malam yang tak tenang karena tak mandi, dan dikerubungi agas.

patimburak
Masjid Tua Patimburak/Mei Basri

Morka diam, lalu pergi. Seperempat jam kemudian ia muncul, tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang kuning kemerahan karena sirih pinang. Ia duduk di sebuah cadik bersama bocah laki-laki, mengacung-acungkan dayung. “Bang Sur! Tong pi Mandoni [untuk] mandi. Pakai dayung saja!!!” serunya meletup. Saya lari, mengambil handuk, senter, dan sabun mandi. Iqbal Heremba, anak baru lulus SMA itu, juga mau ikut. Ia menawarkan diri mendayung nanti waktu pulang. Berangkat!

Kami berempat telah duduk dalam perahu cadik yang mungil. Saya duduk di tengah dan menimba air yang deras masuk lewat lubang kecil—bocor. Iqbal di depan. Sementara, Morka dan anak kecil itu mendayung sekuat tenaga di belakang. Saya sebenarnya takut. Cadik ini terlampau kecil dan kami berempat terlalu berat.

Lalu kami terkejut mendengar sebuah jeritan, jauh di belakang. Mace Kampung ternyata. Sekuat tenaga ia berteriak, “EEEE, gila! Tenggelam e! Putar-putar balik e!  Su mau gelaaap ee! Buaya  e!!!”

Buaya?

Saat itulah saya menyadari bahwa saya takut sekali. Saya lupa Patimburak adalah sebuah bagian dari muara yang panjang. Saya makin takut melihat bagian perahu yang terapung hanya satu buku jari dari permukaan air. Morka, seolah bisa membacanya ketakutan saya, berkata, “Abang, bisa berenangkah? Tenang Abang, buaya tidak suka kulit putih. Tong tiga ini yang dulu dimakan kalau tenggelam.” Tawa Iqbal dan anak kecil itu mengiringi banyolan Morka. Tidak membantu sama sekali.

Kami tak memutar haluan. Jeritan Mace Kampung tak kami hiraukan. Sepakat kami bahwa air terjun di Mandoni adalah tujuan. Perahu cadik terus melaju pelan dan saya menikmatinya dalam diam. Dalam diam pula saya teringat cerita pendek Seno Gumira, “Cinta di atas Perahu Cadik,” tentang suami seseorang yang bercinta dengan istri seseorang di atas perahu cadik. Tapi tak ada yang bercinta di atas perahu cadik kami. Yang ada hanya tiga manusia Papua yang terlihat tenang dan satu manusia norak yang ketakutan.

Pelan tapi pasti, Mandoni semakin mendekat. Kami sudah memasuki selat dan matahari sudah benar-benar merah di ufuk barat. Morka dan anak kecil itu memutuskan berhenti mendayung sejenak, menikmati matahari yang pelan terbenam di belakang hutan bakau, juga berkas-berkas cahaya oranye yang jatuh ke permukaan air. Cantik. Dan sunyi, sebab tiada lagi bunyi selain kecipak air. Lalu saya berkata, ”Morka, terima kasih sudah mengajak saya pergi mandi ke Mandoni dengan cadik ini.”

“Abang Sur, sabar,” balas Morka, “kita belum sampai Mandoni dan belum tentu selamat pulang ke Patimburak.” Lalu tertawa ia bersama Iqbal dan si bocah kecil.


Bagian pertama dari seri “Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora”

Baca juga:

Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (2)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulang-waktu-di-timur-pala-muara-dan-kejora-1/feed/ 1 16868