Melynda Dwi Puspita, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/melynda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 23 Mar 2023 01:37:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Melynda Dwi Puspita, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/melynda/ 32 32 135956295 Singgah ke Masjid Tiban https://telusuri.id/masjid-tiban-malang/ https://telusuri.id/masjid-tiban-malang/#respond Tue, 30 Nov 2021 12:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31468 Bulan Ramadan adalah bulan suci bagi umat muslim di seluruh dunia. Penganut agama Islam akan berlomba-lomba menambah frekuensi beribadat kepada Tuhan. Bersimpuh kepada Sang Maha Pencipta biasanya dilakukan di rumah ataupun di masjid. Lalu bagaimana...

The post Singgah ke Masjid Tiban appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan Ramadan adalah bulan suci bagi umat muslim di seluruh dunia. Penganut agama Islam akan berlomba-lomba menambah frekuensi beribadat kepada Tuhan. Bersimpuh kepada Sang Maha Pencipta biasanya dilakukan di rumah ataupun di masjid. Lalu bagaimana jadinya jika niat peribadatan dibarengi dengan berwisata? Bisa, wisata religi jawabannya. 

Kekhusyukan doa yang dipanjatkan pada bulan ini, mengingatkan saya akan kunjungan ke sebuah masjid di Kabupaten Malang, Masjid Tiban. Masjid yang menjulang tinggi di antara pemukiman rumah warga nampak kontras dengan rangkaian arsitektur khas Timur Tengah. Dominasi warna biru dan putih mampu membuat nilai kemewahannya meningkat.

Masjid yang terletak di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang ini tidak hanya sebuah masjid yang umum ditemui. Cerita dari mulut ke mulut terkait unsur mistis mengiringi kemegahan bangunannya. Hal inilah yang mampu menarik minat jamaah sekaligus wisatawan untuk singgah.

Pintu Masuk Masjid Tiban
Pintu masuk Masjid Tiban/Melynda Dwi

Kisah pembangunan satu malam

Bukan hanya Candi Prambanan dengan tokoh Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang-nya. Ataupun Dayang Sumbi dan Sangkuriang pada Tangkuban Perahu saja. Pembangunan Masjid Tiban disebut-sebut masyarakat setempat telah dikendalikan oleh jin.

Äh, karena kepercayaan inilah yang menjadikan saya terbawa suasana. Bagaimana tidak, saat melangkahkan kaki menuju pintu masuk. Saya begitu terpedaya dengan cerita tersebut tatkala melihat menara masjid. Kemewahan yang dibalut nuansa mistis sangat kental menggelayuti pikiran.

Kata ‘tiban’ dalam Bahasa Jawa berarti sesuatu yang muncul secara tiba-tiba atau timbul dengan tidak diduga. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya isu di masyarakat bahwa kemunculan Masjid Tiban adalah mendadak tanpa perencanaan. Karena ini juga yang menyebabkan masyarakat dari luar kota berbondong-bondong mengunjungi Masjid Tiban untuk membuktikannya. Sehingga masjid ini tidak pernah terlihat sepi pengunjung.

Pembangunan Masjid Tiban
Pembangunan Masjid Tiban /Melynda Dwi

Nyatanya hal ini hanyalah mitos belaka yang entah dari mana asalnya cerita ini bermula. Isu masjid yang mendadak jadi dan tanpa ada proses pembangunan sudah terbantahkan. Masjid Tiban telah dibangun sejak tahun 1968 hingga 1978. Dan pembangunan masjid ini sebenarnya masih terus dilakukan hingga saat ini dengan tujuan semakin memperindah.

Pembangunan masjid yang berada satu kompleks dengan Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Bihaaru Bahri’ Asali Fadlaailir Rahmah, dipimpin oleh Kiai Haji Ahmad Baru. Beliau adalah pengasuh ponpes sekaligus sebagai pengarah bagi para santri dalam kegiatan pembangunan. Namun ada hal unik dari aktivitas pembangunannya, karena beliau tidak menggunakan jasa arsitek. Penentuan ukuran, pemilihan warna dan penggunaan hiasan dilakukan melalui proses salat istikharah. Petunjuk yang diperoleh dari salat istikharah ini yang mampu menghasilkan keindahan masjid yang saat ini ada di depan saya ini.

Tujuan pendirian Masjid Tiban digadang-gadang sebagai obat atau penyejuk hati umat Islam terutama para santri. Tidak ada jumlah pasti besaran dana yang telah dikeluarkan, tetapi kira-kira telah mencapai angka 800 miliar.

Masjid Tiban begitu identik dengan banyaknya menara yang terpajang. Dari pintu masuk saja, pengunjung akan disajikan menara berbentuk persegi panjang dengan dua kubah tersusun vertikal. Selanjutnya pengunjung akan menemui bangunan mengerucut berwarna jingga sebagai pos penjagaan. Kubah terbesar berada di puncak masjid, yang disebut sebagai gunungan. Tidak ada tarif masuk yang dikenakan, tetapi sumbangan dari penjuru negeri sudah mampu menyukseskan pembangunannya.

Ada “pasar” di dalam masjid

Seperti ketika memasuki kawasan masjid pada umumnya, jamaah diwajibkan melepaskan alas kaki. Dengan luas yang sangat besar, saya merasa tidak Seperti ketika memasuki kawasan masjid pada umumnya, jamaah diwajibkan melepaskan alas kaki. Dengan luas yang sangat besar, saya merasa tidak berkunjung ke sebuah masjid. Namun serasa sedang mengelilingi perumahan.

Satu hal yang membuat saya berkesan, yaitu saat bertualang tanpa menggunakan sandal. Setiap orang terlihat setara, tidak memandang harta dan tahta, semuanya sama di hadapan Tuhan. Layaknya abdi dalem pada suatu kerajaan, jamaah tak beralas kaki seakan hidup hanya untuk mengabdikan diri kepada-Nya.

Suasana dalam Masjid
Suasana dalam Masjid TIban/Melynda Dwi

Selain kata megah yang mampu menggambarkan Masjid Tiban, kata luas juga pantas disematkan untuknya. Masjid Tiban berdiri di kompleks ponpes dengan luas sekitar 6,5 hektare. Padanan ornamen mosaik keramik Turki, India, Mesir, Spanyol hingga Rusia menambah nilai estetika.

Ukirannya sangat rapi, saat saya menyentuhnya begitu terasa halus. Karena hampir keseluruhan permukaan bangunan berlapiskan keramik, suasana sejuk nan dingin akan menembus kulit. Bangunan masjidnya pun terdiri dari 10 lantai dan konon katanya tidak ada yang tahu jumlah pasti keseluruhan ruangan yang mencapai ratusan itu. 

Saat berwisata religi, tidak lengkap rasanya jika melewatkan satu hal, yaitu berbelanja. Seperti pada Sunan Bonang di Tuban atau Sunan Drajat di Lamongan, selalu ada pasar di luar areal makam bagi pengunjung yang ingin berburu oleh-oleh. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju pintu masuk Masjid Tiban, berjejer pedagang mulai dari makanan hingga pakaian.

Namun ada satu hal yang menurut saya unik di Masjid Tiban ini. Di dalam masjid, tepatnya di lantai 5 difungsikan sebagai kawasan pertokoan. Iya, jadi pengunjung berbelanja di dalam masjid. Barang-barang yang dijual juga beragam, mulai dari tasbih hingga jenang. Karena saya baru tahu ada pasar di dalam masjid, yang hanya ada di Masjid Tiban ini.

Mungkin ada masjid yang lain?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Singgah ke Masjid Tiban appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-tiban-malang/feed/ 0 31468
Jejak Tsunami Aceh di Monumen Kapal PLTD Apung https://telusuri.id/jejak-tsunami-aceh-di-monumen-kapal-pltd-apung/ https://telusuri.id/jejak-tsunami-aceh-di-monumen-kapal-pltd-apung/#respond Sun, 28 Nov 2021 11:00:44 +0000 https://telusuri.id/?p=31072 Gegap gempita perkotaan berubah menjadi keheningan jiwaSusunan rapi perumahan telah tergantikan oleh hamparan raga tak bernyawaKetakutan, tangisan, dan histeris teriakan dari saudara sebangsaKenangan kelam Tsunami Aceh 2004 silam masih membekas bergelora Peristiwa mengerikan pada Desember...

The post Jejak Tsunami Aceh di Monumen Kapal PLTD Apung appeared first on TelusuRI.

]]>

Gegap gempita perkotaan berubah menjadi keheningan jiwa
Susunan rapi perumahan telah tergantikan oleh hamparan raga tak bernyawa
Ketakutan, tangisan, dan histeris teriakan dari saudara sebangsa
Kenangan kelam Tsunami Aceh 2004 silam masih membekas bergelora

Peristiwa mengerikan pada Desember 2004 tentu menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang kehilangan sanak saudara. Bukan hanya bagi warga Aceh, tetapi seluruh masyarakat Indonesia juga merasakan hancurnya jiwa akibat tsunami. Walau telah bertahun-tahun berlalu, ingatan akan hal itu terus saja menggelayuti. Bayangan akan tsunami masih dapat disaksikan dengan keberadaan Monumen PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung. Sebuah kapal tua sepanjang 63 meter dengan bobot mencapai 2.600 ton yang telah beristirahat selamanya di pusat kota Banda Aceh.

‘Takjub’ adalah satu kata yang dapat saya ucapkan ketika menengok langsung Monumen PLTD Apung. Bukan karena heran dengan kemegahannya, tetapi berusaha mencerna bagaimana bisa kapal raksasa itu bergerak ke tengah perkotaan. Bukti kedahsyatan air bah yang berasal dari Samudera Hindia.

Gerbang Masuk PLTD Apung
Gerbang masuk PLTD Apung/Melynda Dwi Puspita

Setibanya di pintu masuk yang bertuliskan Situs Tsunami PLTD Apung, mata saya tidak bisa berpaling dari besi-besi tua yang mulai berkarat. Kerangka-kerangka kapal yang mulai menua, tetapi masih bisa berdiri kokoh menyimpan segala memori pahit tentang tsunami. Kapal yang terseret sejauh 4 kilometer dari Pelabuhan Ulee Lheue itu, hanya bisa menyelamatkan satu orang dari 13 awak kapal.

“Ayo,” seru seorang kawan yang meminta saya untuk segera menaiki anak tangga. Langkah demi langkah setiap anak tangga menuju dek kapal telah saya lalui. Tak sengaja tangan saya menyentuh pegangan besi di sisi kanan dan kiri tangga. Berusaha membayangkan bagaimana para pekerja kapal melawan rasa takut dan kegelisahan untuk menyelamatkan diri. Tatkala kapal milik PLN (Perusahaan Listrik Negara) itu secepat kilat mengantarkan mereka kepada ajal.

Hampir semua bagian kapal berwarna coklat kehitaman akibat karat yang menggerogoti, cat-catnya pun juga telah banyak yang mengelupas. Bukti kekuatan air laut dan waktu yang terus berjalan. Hanya nampak beberapa bendera merah putih berkibar tertiup angin yang seakan-akan meminta kita, bangsa Indonesia untuk kembali bangkit. Tidak untuk terus-menerus berlarut dalam kesedihan akibat salah satu bencana terbesar yang pernah menimpa bumi pertiwi. Semua mesin-mesin kapal dan pretelan kecil-kecilnya pun masih ada di tempat semula. Kapal itu masih bisa menahan beban para pengunjung yang datang silih berganti.

Langkah saya terhenti sejenak pada sebuah tugu berbentuk miniatur kapal yang dilahap ombak. Nampak sepeti sebuah patung biasa yang mudah ditemui di banyak tempat. Namun terdapat perbedaan yang jelas terlihat di tugu itu sehingga membuat saya merinding berbalut kesedihan. Berbaris-baris nama warga sekitar yang menjadi korban tsunami terpatri di keseluruhan bagian tugunya. Begitu banyak nama yang tertulis hingga terlihat seperti semut-semut yang sedang berhenti bergerak.

Pemandangan Kota
Pemandangan kota/Melynda Dwi Puspita

Saya memperhatikan pengunjung yang juga lalu lalang. Ada yang nampak bahagia menikmati pemandangan kota dari atas kapal, ada yang asyik berswafoto bersama teman-teman. Ada pula yang secara khusus membaca satu-persatu nama-nama korban pada tugu kapal. Entah ia hanya sekadar memuaskan rasa ingin tahu, ataukah ingin mencari salah satu nama yang mungkin dikenali. Hingga saat ini masih banyak korban tsunami yang menghilang tidak ditemukan jasadnya.

Butuh waktu bermenit-menit bagi saya supaya bisa menelusuri semua bagian kapal. Begitu besarnya Kapal PLTD Apung itu telah menunjukkan begitu besarnya pula manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar. Ketika dulunya kapal itu telah berjasa memasok kebutuhan listrik. Hingga tiba saatnya saya sampai di akhir perjalanan, kepala saya mulai menengadah memperhatikan seluruh sisi cerobong asap yang tinggi menjulang. Konon katanya, cerobong asap yang berada di puncak kapal itu, telah menjadi tempat yang mampu menyelamatkan nyawa satu korban pekerja kapal.

Teropong PLTD Apung
Teropong PLTD Apung/Melynda Dwi Puspita

Terdapat pula teropong berwarna putih keabu-abuan di puncak kapal yang dulunya digunakan awak kapal untuk memandang jauh ke arah lautan, kini telah beralih menjadi alat yang hanya bisa mengamati pemukiman di sekitar PLTD Apung. Tak ada lagi lumpur yang menggunung, reruntuhan bangunan yang berserakan, maupun tumpukan tubuh-tubuh korban keganasan gulungan ombak tsunami. Nampak deretan rumah-rumah yang telah dibangun kembali, hijaunya pepohonan, dan ribuan manusia yang mulai beraktivitas. Hamparan pegunungan di salah satu sisi PLTD Apung juga menambah keelokan Kota Banda Aceh yang telah kembali hidup.

Rasa lelah tidak saya rasakan walau harus berkeliling mengitari seluruh bagian kapal. Hembusan angin kota yang terus menerpa telah menjadi obat kesejukan. Ada banyak pelajaran yang saya terima ketika diberi kesempatan untuk melawat singkat ke PLTD Apung. Saya dipaksa untuk lebih menghargai hidup yang tidak akan datang kedua kalinya. Terlepas dari tujuan pengalihfungsian PLTD Apung menjadi destinasi wisata edukasi. Namun PLTD Apung telah menyajikan kesadaran dan ajakan untuk bersama-sama merangkul kehidupan dan tidak melupakan sejarah.

Masyarakat sekitar juga merasa terbantu dengan keberadaan Monumen PLTD Apung sebagai tempat wisata. Ada banyak warga yang membuka toko-toko kelontong yang menjajakan oleh-oleh khas Aceh ataupun menjadi pemandu wisata. Mereka, para warga Aceh, telah kembali tersenyum menyambut para pengunjung dan menapaki kehidupan baru.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Jejak Tsunami Aceh di Monumen Kapal PLTD Apung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-tsunami-aceh-di-monumen-kapal-pltd-apung/feed/ 0 31072
Perempuan Madura dalam Balutan Penyepuhan Emas https://telusuri.id/perempuan-madura-dalam-balutan-penyepuhan-emas/ https://telusuri.id/perempuan-madura-dalam-balutan-penyepuhan-emas/#respond Wed, 17 Nov 2021 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30149 Emas telah menjadi bagian kehidupan manusia, di dalam perangkat elektronik, media investasi, dan tidak ketinggalan pula untuk menaikkan status sosial. Sejak zaman dahulu, telah diyakini bahwa emas merupakan simbol yang menunjukkan harga diri. Alhasil banyak...

The post Perempuan Madura dalam Balutan Penyepuhan Emas appeared first on TelusuRI.

]]>
Emas telah menjadi bagian kehidupan manusia, di dalam perangkat elektronik, media investasi, dan tidak ketinggalan pula untuk menaikkan status sosial. Sejak zaman dahulu, telah diyakini bahwa emas merupakan simbol yang menunjukkan harga diri. Alhasil banyak orang terutama kaum hawa yang menjadikan emas sebagai perhiasan.

Makna perhiasan emas bagi perempuan Madura

Bagi perempuan Madura, emas merupakan alat pesolek untuk merias diri. Mereka begitu gemar mengenakan perhiasan emas yang mencolok. Budayawan Sumenep, H. Ibnu Hajar menyatakan bahwa perempuan Madura dahulu dinilai berlebihan karena menggunakan perhiasan gelang emas di tangan dan kaki, anting, kalung, cincin, dilekatkan pada baju, serta ditancapkan pada sanggul. Namun dalam perkembangannya, saat ini, mayoritas perempuan Madura lebih memilih gelang, anting, cincin, atau kalung.

Nilai perhiasan emas ditujukan untuk meningkatkan pamor bagi penggunanya. Seperti hasil penelitian Masmadia (2018) yang mengungkapkan bahwa pemakaian perhiasan emas oleh perempuan Madura di Kota Surabaya tidak hanya bertujuan untuk supporting finansial, tetapi juga didasarkan oleh perasaan gengsi saja. Bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, impian mempercantik diri dengan kilauan emas bukan angan semata. Alternatifnya, bisa dengan melakukan penyepuhan emas atau biasa disebut “membuat emas KW” yang tidak sepenuhnya palsu.

Perhiasan Emas Sepuh
Perhiasan emas sepuh/Melynda Dwi

Sebagai perempuan yang berasal dari Probolinggo, saya telah merasakan akulturasi budaya Madura yang sangat kental. Seperti daerah Tapal Kuda Jawa Timur lainnya, Probolinggo memiliki keunikan adat istiadat tersendiri yang disebut sebagai budaya Pendalungan. Pada budaya Pendalungan, kebiasaan mengenakan perhiasan emas seperti perempuan Madura, juga diterapkan oleh masyarakat Tapal Kuda. Akibat tingkat perekonomian yang relatif rendah, membuat masyarakatnya mencari ‘akal’ untuk tetap eksis menggunakan perhiasan emas. Salah satunya dengan mengakali bujet dengan pembelian emas sepuhan.

Proses melapisi logam dengan emas

Pak Sutrali, Pengrajin Sepuh Emas
Pak Sutrali, pengrajin sepuh emas/Melynda Dwi

Pada tahun 2014 silam, saya berkesempatan untuk mempelajari dan melihat langsung proses pembuatan perhiasan emas sepuhan. Di Probolinggo sendiri, pengrajin penyepuh emas sangat menjamur karena permintaan konsumen yang begitu tinggi. Pak Sutrali namanya, pria paruh baya berusia 64 tahun yang telah bergelut dengan logam emas selama belasan tahun dan mempunyai gerai toko sepuh emas pribadi di Pasar Sebaung, Probolinggo. 

Pembuatan perhiasan emas sepuhan merupakan aplikasi sel elektrolisis (materi pelajaran kimia yang saya dapatkan saat duduk di bangku kelas 12 Sekolah Menengah Atas). Sesungguhnya pemanfaatan sistem penyepuhan bertujuan mencegah korosi (karat) pada logam yang dilapisi. Namun, penyepuhan ini justru diterapkan untuk ‘menutupi’ logam murah seperti tembaga, perak, ataupun besi agar terlihat mentereng layaknya emas.

Peralatan yang digunakan cukup sederhana, yaitu kompor minyak, 5 buah baterai ABC 1.5 V, kayu tempat meletakkan baterai, 2 buah kabel tembaga, sikat, buah lerak (Sapindus mukorossi), power supply, dan 3 mangkuk besi. Sementara bahan yang diperlukan ialah perhiasan dari logam lain (tembaga, perak, dan besi, kecuali baja dan stainless steel), logam emas murni (24 karat), larutan potassium, dan air bersih.

Proses pelapisan emas pada logam terbilang mudah dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Logam (tembaga, perak, atau besi) dimasukkan ke dalam campuran air mendidih dan potassium. Tidak ketinggalan pula dengan emas 24 karat yang telah diikatkan pada kawat tembaga (kabel). Dibiarkan beberapa saat, hingga logam menguning sesuai keinginan. Pemanasan air terus berlanjut saat penyepuhan, karena bertujuan untuk mempermudah proses penempelan emas. Selanjutnya perhiasan direndam dan disikat dalam air mengandung busa yang berasal dari lerak untuk menghilangkan sisa potassium. Lalu dibilas menggunakan air bersih yang mengalir.

Saat menyepuh emas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Misalnya tangan dari pengrajin tidak boleh berkeringat dan juga disarankan untuk tidak mengonsumsi makanan yang mengandung lemak karena menyebabkan emas susah menempel pada perhiasan. Proses penyikatan dan pembersihan dari sisa potasium juga menjadi kunci keberhasilan proses penyepuhan. Sebab apabila terdapat kandungan potasium pada perhiasan, mampu mempengaruhi kualitas perhiasan emas sepuhan. Ketebalan emas pada perhiasan sepuhan berkisar antara 0,03 hingga 0,05 mm.

Dengan ketebalan emas yang sangat tipis ini, menyebabkan perhiasan emas sepuhan (gold plated) mudah terkelupas akibat goresan. Selain itu, air yang terlihat tenang, juga menjadi momok yang menakutkan bagi perhiasan emas sepuhan. Emas tipis yang menempel akan mudah luntur oleh air dan menimbulkan noda atau bercak pada perhiasan. Alhasil, seiring berjalannya waktu, estetikanya sangat dipertaruhkan dan seketika menghilang.

Harga perhiasan emas sepuhan yang dipatok sangatlah bervariasi, mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Hal ini tergantung jenis logam yang digunakan, kerumitan model perhiasan, dan ketebalan emas yang menempel.Terlepas dari ‘cara kreatif’ dan beragam tujuan masyarakat Indonesia untuk menggunakan perhiasan emas sepuhan. Pehiasan emas sepuh dinilai sebagai opsi untuk terlihat berkelas dan menaikkan derajat di mata masyarakat. Sebab, selain murah dan mudah dijumpai, pemakaian perhiasan emas sepuhan menjadi wujud pelestarian tradisi terutama Suku Madura.

Referensi
Masmadia, A. S. (2018). Makna perhiasan emas bagi kalangan wanita Madura di Kota Surabaya. Jurnal S1-Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, 1-16.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Perempuan Madura dalam Balutan Penyepuhan Emas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perempuan-madura-dalam-balutan-penyepuhan-emas/feed/ 0 30149
Hatiku Terpaut Kepada Sendang Biru https://telusuri.id/hatiku-terpaut-kepada-sendang-biru/ https://telusuri.id/hatiku-terpaut-kepada-sendang-biru/#respond Mon, 28 Jun 2021 01:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28297 Entah berapa kali aku pergi ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Sendang Biru. Walaupun tidak menyajikan bibir pantai yang tertutup hamparan pasir. Bagiku, Sendang Biru menyuguhkan keindahan dan kenangan yang tidak ternilai harganya.  Sendang Biru dikenal...

The post Hatiku Terpaut Kepada Sendang Biru appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah berapa kali aku pergi ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Sendang Biru. Walaupun tidak menyajikan bibir pantai yang tertutup hamparan pasir. Bagiku, Sendang Biru menyuguhkan keindahan dan kenangan yang tidak ternilai harganya. 

Sendang Biru dikenal sebagai lokasi bongkar muat hasil nelayan melaut. Tidak hanya itu, Sendang Biru menjadi ikonik Kabupaten Malang atau Malang Selatan. Banyak produksi sumberdaya perikanan yang dihasilkan, mulai dari cumi-cumi hingga komoditi utama berupa tuna. Sehingga Sendang Biru bukan hanya bertujuan untuk rekreasional semata, tetapi roda perekonomian juga berputar disana.

Menumpang kapal bermotor di Pantai Sendang Biru

TPI Sendang Biru/Melynda Dwi Puspita

Lain halnya dengan TPI Sendang Biru, Pantai Sendang Biru menjadi salah satu destinasi wisata yang cukup populer. Pantai ini berlokasi di Desa Sumber Agung, Kecamatan Sumbermanjing Wetan yang bersebelahan langsung dengan TPI Sendang Biru. Nama pantai ini juga dikenal sebagai tempat untuk melaksanakan tradisi Petik Laut setiap tahunnya. Tradisi yang bertujuan sebagai ungkapan wujud rasa syukur para nelayan atas melimpahnya hasil melaut. 

Mengunjungi pantai, merupakan pengalaman pertama di tahun 2018 dan belum pernah terulang kembali hingga saat ini. Seperti halnya pantai yang ada di Malang Selatan lainnya, mendatangi Pantai Sendang Biru akan dikenakan tarif masuk sebesar Rp10 ribu. Pantai ini dikelola langsung oleh pihak Perhutani KPH Malang. 

Pantai Sendang Biru/Melynda Dwi Puspita

Bibir pantai memiliki pasir putih yang bersekat dengan sebuah beton penghalang. Sekat ini berfungsi untuk mengaitkan tali kapal nelayan yang parkir. Melihat deretan kapal berjejer, membuat diri ini ingin mencoba diterpa ombak, melawan arus air dan berada di tengah lautan lepas. Banyak kapal nelayan yang bersandar, mulai dari perahu kecil hingga kapal bermotor. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku bersama beberapa orang teman mencoba menumpang kapal bermotor. Dengan bermodalkan Rp100 ribu, kami diberi kesempatan untuk mengelilingi perairan Sendang Biru. Apabila beruntung, seringkali terlihat lumba-lumba yang melintas.

Selain hanya digunakan berkeliling, kapal nelayan menjadi moda transportasi untuk mengantarkan penumpang menyebrangi lautan menuju Pulau Sempu. Mengingat Pulau Sempu menjadi satu-satunya Pulau Taman Nasional yang berada di selatan Pulau Jawa. Saat ini Pulau Sempu tidak dibuka untuk kegiatan wisata.

Bercengkerama dengan nelayan

Aku berdua bersama seorang rekan, pernah menuju ke Pantai Sendang Biru jauh-jauh dari Kota Malang. Hanya untuk mengabadikan foto terkait aktivitas nelayan dan kapal melaut. Kami juga sempat membuat obrolan ringan bersama para nelayan yang nampak asyik membenahi jaring ikan. “Saya berasal dari Pemalang, Jawa Tengah. Teman-teman yang lain juga sama”, ucap seorang nelayan berkaos biru langit sembari telunjuknya mengarah kepada kumpulan pria dewasa.

Kami juga sempat naik ke kapal yang terlihat ada cumi-cumi sedang dijemur di atas deck. Seorang pria berkaos hitam dan tanpa mengenakan celana nampak ramah mempersilahkan kami untuk sejenak mengamati kondisi di dalam kapal. Aku sendiri terbiasa bertemu nelayan yang seakan-akan ‘porno’ di atas kapal. Bukan karena keinginan mereka, karena saat itu kemungkinan pakaiannya sedang basah terkena air laut maupun air hujan. “Saya dari Makassar, mbak”, ujarnya.

Aku jadi teringat ucapan seorang pria jangkung yang asli berasal dari kawasan Sendang Biru. “Kalau, warga asli Sendang Biru banyak yang jadi petani atau berkebun. Yang jadi nelayan malah kebanyakan dari luar daerah”. Mungkin terdengar ironis, karena harta karun dari wilayah sendiri malah ‘diambil’ orang lain. Namun tidak ada yang bisa disalahkan karena laut adalah kekayaan milik bersama.

Memancing 

Sendang Biru memiliki perairan yang subur. Sehingga tidak mengherankan apabila nelayan selalu mendapatkan ikan walaupun tidak sedang musimnya. Momen ini tidak dilewatkan oleh penggiat hobi memancing. Setiap harinya akan terlihat banyak orang yang sedang terduduk di tepi jembatan beton untuk menunggu ikan menyambar kailnya. Begitu pula dengan beberapa temanku.

Walaupun aku pernah berkuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Perikanan. Belum pernah rasanya diri ini mencoba aktivitas memancing. Aku hanya bisa mengamati dan menemani teman-teman yang memiliki hobi menarik alat pancing.

Memborong Ikan

Pasar Ikan/Melynda Dwi Puspita

Tidak hanya ilmu kehidupan yang diperoleh, bertandang ke TPI Sendang Biru akan rugi rasanya tidak membeli ikan-ikan segar. Memasuki kawasan TPI Sendang Biru ini, sebenarnya ditarik biaya kurang lebih sebesar Rp2.000 hingga Rp3.000. Namun berkali-kali aku pergi kesana, tidak pernah sekalipun aku dihadang petugas tiket. “Mungkin memang rezeki,” pikirku.

Selain dapat mengamati proses pelelangan ikan, pengunjung juga diperbolehkan membeli ikan di sebuah pasar ikan. Harga yang ditawarkan juga relatif terjangkau. Banyak pula jenis seafood yang diperjualbelikan, udang, lobster, tuna, cakalang dan masih banyak lagi. Sebaiknya berkunjung di awal hari, karena biasanya nelayan mulai berdatangan membawa hasil tangkapan.

Saat melaksanakan magang di kawasan ekowisata bahari, yang bertetangga dengan Sendang Biru. Aku dan kawan-kawan pernah mencicipi tuna bakar berukuran besar di salah satu rumah makan. Hal itu menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan bagiku karena mengonsumsi ikan besar secara bersama-sama.

The post Hatiku Terpaut Kepada Sendang Biru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hatiku-terpaut-kepada-sendang-biru/feed/ 0 28297
Kami “Melarikan Diri” ke Pantai Remen https://telusuri.id/melarikan-diri-ke-pantai-remen/ https://telusuri.id/melarikan-diri-ke-pantai-remen/#respond Thu, 24 Jun 2021 01:10:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28291 Saat itu kami bersepuluh sedang melaksanakan magang di kawasan tambak udang di Tuban. Karena bosan setiap hari melakukan aktivitas yang sama, menebar pakan dan mengukur kualitas air kolam. Akhirnya kami ingin sejenak ‘kabur’ (jangan dicontoh)...

The post Kami “Melarikan Diri” ke Pantai Remen appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat itu kami bersepuluh sedang melaksanakan magang di kawasan tambak udang di Tuban. Karena bosan setiap hari melakukan aktivitas yang sama, menebar pakan dan mengukur kualitas air kolam. Akhirnya kami ingin sejenak ‘kabur’ (jangan dicontoh) menuju salah satu pantai yang ada di Kabupaten Tuban. Bermodalkan nekat dan secuil informasi salah seorang dari kami yang berdomisili di Tuban. Segera kami memutuskan untuk beranjak pergi menuju satu-satunya pantai berpasir putih yang ada di sana, yaitu Pasir Remen.

“Eh, ayo main!” Ucap seorang wanita berkerudung merah dan bercelana putih. “Ngawur!” Jawab saya keheranan. “Gapapa, sekali-kali.” Balasnya.

Nama Tuban mungkin tidak seterkenal daerah lain di Jawa Timur yang memiliki keindahan wisata baharinya. Seperti Malang, Banyuwangi ataupun Pacitan. Namun, Tuban memiliki tepian diantara barisan pabrik yang berdiri, salah satunya adalah Pantai Remen. 

Terlihat orang-orang masih mempersiapkan diri untuk memulai kegiatan. Matahari pun belum terlalu bersemangat mengeluarkan energinya. Begitu pula dengan kami yang belum mengisi perut sama sekali. Namun nasi dan lauk pauk sederhana telah rampung diolah serta siap untuk dilahap. Alhasil, tidak ada pilihan selain membawa makanan menuju pantai dan berencana untuk menikmatinya disana.

Menuju Pantai Ramen

“Eh, beneran dibawa sama magic com-nya?” tanya saya kebingungan. “Ya iyalah, mau gimana lagi, gak ada wadah,” jawab wanita yang mengenakan cardigan biru langit. Bergegas kami mengendarai motor sembari membawa magic com merah muda kapasitas 1 kg.

Pantai Remen terletak di Desa Remen, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban. Tidak seperti halnya karakteristik pantai utara Pulau Jawa yang biasanya berpasir dan memiliki air laut hitam. Pantai Remen menyajikan putih dan halusnya pasir pantai. Kami mengawali perjalanan dari Desa Dasin melewati jalanan padat pantura penuh kendaraan berbobot raksasa ke arah Rembang.

Laguna/Melynda Dwi Puspita

Begitu tiba di Pantai Remen, gugusan pohon cemara laut menyambut kami. Jujur saja, saya belum pernah menengok hutan cemara laut serimbun dan seindah ini. Tidak ada uang sepeserpun yang kami keluarkan dari kantong. Padahal dari informasi yang kami peroleh, terdapat tarif tiket masuk dan ongkos parkir. Mungkin keberuntungan sedang berpihak kepada kami.

Kami melewati sebuah cekungan berisi air yang disekelilingnya terdapat cemara laut berjejer. Laguna tersebut cukup besar membentuk sebuah kolam yang apik. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, kami menghentikan motor sejenak untuk bergaya di depan kamera ponsel. Bahkan kami juga sempat mencelupkan kaki ke dalamnya sembari menengadahkan tangan berusaha mengangkat air. Tidak ingin berlama-lama, kami melanjutkan perjalanan menuju bibir pantai.

Menyantap bekal di Pantai Ramen

Menikmati Bekal dan Suasana Pantai/Melynda Dwi Puspita

Di pagi hari yang cerah itu, ternyata sudah banyak pengunjung yang nampak asyik dengan berbagai kesibukan. Kami terus melaju bersama motor mendekati bibir pantai. Perut sudah terasa keroncongan. Lekas saja kami membuka bekal yang telah dibungkus dengan rapi. Saya hanya tertawa melihat tingkah konyol diri-sendiri dan teman-teman yang lain.

Membawa magic com tanpa ada rasa malu dan gengsi. Selanjutnya membagi rata makanan yang dibawa, salah satu dari kami bersahut, “Ayo Pak Ustaz, pimpin doa”, sambil menunjuk seorang rekan bertopi abu-abu. Sontak saja kami tertawa mengibaratkan diri sendiri seperti anak TK yang sedang belajar berdoa bersama. Tanpa pikir panjang, kami menyantap makanan yang terlihat menggiurkan.

Setelah membereskan piring, sendok dan sebagainya. Tidak lupa kami menjangkau air laut yang nampak menyegarkan. Kami melepas alas untuk membiarkan telapak kaki berinteraksi dengan halusnya pasir pantai. Tidak terlihat ombak tinggi, yang ada hanyalah arus air terbawa angin. Sehingga Pantai Remen sangatlah cocok dijadikan sebagai tempat berenang ataupun sekedar bermain air.

Sayang seribu sayang, kami tidak mempersiapkan baju ganti. Alhasil, berenang hanyalah sebuah khayalan semata. Kami sempat memikirkan kemalangan nasib yang melanda. Sehari-hari terpapar cahaya matahari membuat kulit menggelap. Hingga hanya gigi yang terlihat. Demi sebuah kesenangan dan pengalaman berharga.

Suasana jelang malam

Formasi Cemara Laut/Melynda Dwi Puspita

Tidak hanya sebatas tempat singgah, Pantai Remen digunakan sebagai lokasi untuk camping. Sebagai salah satu kawasan industri, Tuban memiliki kilau lampu pada malam hari yang menyilaukan mata. Mendirikan tenda di tepi pantai dan menikmati suasana malam hari diiringi cahaya penerangan sungguh memukau. 

Lalu lalang kapal-kapal tongkang juga menjadi pemandangan tersendiri. Banyak pula nelayan yang sedang menjala atau memancing ikan. Sehingga tawaran wisata kuliner seafood juga tersedia di Pantai Remen. Apabila bosan menikmati suara ombak, memancing menjadi alternatif aktivitas yang menyenangkan.

Setelah lelah menghampiri, kami hanya terduduk manis di atas pasir pantai. Membiarkan panas matahari menerpa raga dan merasuk melalui pori-pori kulit. Matahari mulai meninggi menandakan waktu berwisata telah berakhir. Kami tersadar untuk melanjutkan aktivitas yang sengaja sempat tertunda. Menebar pakan di sore hari untuk udang-udang yang kelaparan. Sembari memikirkan alasan mengapa kami sejenak menghilang.

“Dasar, anak-anak bandel,” pikir saya.

The post Kami “Melarikan Diri” ke Pantai Remen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melarikan-diri-ke-pantai-remen/feed/ 0 28291
Pelawatan Singkat ke Museum Tsunami Aceh https://telusuri.id/pelawatan-singkat-ke-museum-tsunami-aceh/ https://telusuri.id/pelawatan-singkat-ke-museum-tsunami-aceh/#respond Sun, 20 Jun 2021 01:13:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28263 “Maaf, teman-teman, saya harus pulang dulu,” sapa saya menghentikan keheningan. Sontak saja semua orang berdiri dan mengatakan salam perpisahan. Hanya dua hari satu malam saya merasakan suasana provinsi di ujung paling barat Indonesia ini, yaitu...

The post Pelawatan Singkat ke Museum Tsunami Aceh appeared first on TelusuRI.

]]>
“Maaf, teman-teman, saya harus pulang dulu,” sapa saya menghentikan keheningan. Sontak saja semua orang berdiri dan mengatakan salam perpisahan. Hanya dua hari satu malam saya merasakan suasana provinsi di ujung paling barat Indonesia ini, yaitu Aceh. Sebelum pada akhirnya saya harus meninggalkannya dan bergegas menuju Kota Bandung. Namun kesedihan saya segera sirna saat seseorang bersuara, ”Ayo, aku ajak jalan-jalan sebentar aja.” Saya dibuat kebingungan antara menerima ataupun menolak tawaran tersebut. Karena saya takut ketinggalan pesawat. Pada akhirnya saya mengiyakan ajakan itu.

Dengan menumpang sebuah mobil hitam, saya dan ketiga orang yang lain segera meluncur entah kemana. Saya hanya diam terduduk sembari terus-menerus menengok arah jarum jam yang melekat pada pergelangan tangan sebelah kiri. Hingga saya sontak mengangkat kepala saat seorang pria berkata, “Ini Masjid Baiturrahman, ikon kota kita, dulu aman dari Tsunami, tapi gak usah kesini ya.” Saya yang berharap untuk sejenak mengamati keindahan dan keagungan masjid, hanya bisa menelan pil pahit.

Perjalanan terus berlanjut hingga mobil membelokkan dirinya menuju sebuah bangunan yang terlihat cukup megah. Dengan tulisan besar berwarna biru, Museum Tsunami Aceh. Selanjutnya kami langkahkan kaki menuju sebuah gedung rancangan Gubernur Jawa Barat itu, Ridwan Kamil. Saat itu Kang Emil, sapaan akrab beliau, memenangkan sayembara desain gedung yang diadakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Walaupun kejadian yang menggoyahkan hati nurani dan mempora-porandakan Aceh telah berlalu 16 tahun yang lalu. Tepatnya pada 26 Desember 2004, tetapi seluruh peristiwa tetap membekas di hati seluruh penduduk Indonesia, terutama warga Aceh. Sehingga pembangunan museum ini, tidak hanya sebagai wujud mengenang saja, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan diri.

Museum ini bertemakan Rumoh Aceh as Escape Hill yang memadukan unsur tradisional dari rumah adat Aceh dan bentuk gelombang seperti tsunami. Museum Tsunami Aceh terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Tiket masuknya berkisar antara 2000 hingga 10.000 rupiah yang terbilang terjangkau. Pada mulanya untuk masuk ke museum ini tidak dikenakan biaya. Namun semenjak kontrak kerja sama Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah habis, alhasil pengunjung wajib membayar tiket masuk. Museum ini beroperasi dari pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Terlihat gaya arsitektur yang sangat apik dengan tembok penuh relief. Benar saja karena pembangunan gedung ini menghabiskan dana mencapai Rp140 miliar. Museum ini memiliki 4 lantai dan berdiri di atas lahan seluas 2.500 meter persegi.

Ruang The Light of God/Melynda Dwi Puspita

Saat mulai melangkahkan kaki ke dalam ruangan, kami disambut oleh sebuah lorong kecil dan pencahayaan remang. Perasaan dibuat tertekan, takut, dan gelisah saat disuguhkan suara azan dan percikan air. Hal ini sebagai penggambaran suasana yang dirasakan warga Aceh saat tsunami dulu. Lorong ini disebut sebagai Ruang Renungan. Setelah itu, kami memasuki ruang kaca dengan fasilitas berupa monitor yang bisa digunakan untuk mengakses informasi terkait tsunami Aceh. Ruang kaca ini dikenal dengan nama Memorial Hill.

Selanjutnya terdapat ruangan bertuliskan nama-nama korban tsunami yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Nama tersebut tertulis pada dinding berwarna hitam dengan minim sumber pencahayaan yang mengibaratkan Cahaya dari Tuhan (The Light of God). Belum lagi dengan didengarkan suara lantunan ayat suci Al-Quran semakin membuat batin terasa tersayat. Dan tidak bisa membayangkan apa yang telah dialami secara langsung oleh warga Aceh. Pada bagian atas terdapat seni kaligrafi terukir lafadz Allah.

Jembatan Harapan/Melynda Dwi Puspita

Kemudian kami dihadapkan pada sebuah jembatan yang diatasnya terdapat 25 bendera negara yang berjasa karena turut andil membangkitkan Aceh. Jembatan tersebut disebut sebagai Jembatan Harapan. Untuk menuju jembatan ini, kami harus jalan memutar sebagai wujud perjuangan warga Aceh menghindar dari dahsyatnya terjangan gelombang tsunami. 

Foto Tsunami Aceh/Melynda Dwi Puspita

Selain itu, terdapat ruangan yang menyajikan 26 foto terkait tsunami Aceh, 22 alat peraga serta 7 maket berbentuk kapal, masjid dan sebagainya. Fasilitas yang tersedia juga sangat lengkap, mulai dari musala, toilet, tempat parkir, toko souvenir, pusat kuliner, perpustakaan hingga ruang geologi. Ruang geologi ini bertujuan untuk mempelajari dan mitigasi tsunami.

Atap museum dibiarkan terbuka dengan beberapa tanaman terlihat berjejer. Tujuannya adalah sebagai lokasi evakuasi apabila terdapat bencana alam kembali. Ruang evakuasi ini terletak di lantai teratas. Sayangnya masyarakat umum tidak diperbolehkan untuk masuk, agar tetap steril dan selalu siap sedia digunakan. Namun harapannya peristiwa kelam di masa lalu tersebut tidak terulang kembali.

Tidak terasa satu jam telah kami habiskan dalam ruangan penuh makna. Selanjutnya kami hanya bisa membayangkan seluruh peristiwa. Dan ternyata waktu masih banyak tersisa. “Ayo, sekarang kita ke Kapal PLTD Apung, sekalian beli oleh-oleh,” tutur seorang pria berkemeja coklat.

The post Pelawatan Singkat ke Museum Tsunami Aceh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelawatan-singkat-ke-museum-tsunami-aceh/feed/ 0 28263
Pantai Pulodoro, Sebuah Kesunyian https://telusuri.id/pantai-pulodoro/ https://telusuri.id/pantai-pulodoro/#respond Thu, 10 Jun 2021 00:44:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28203 Mencari informasi mengenai Pantai Pulodoro di Google, akan tersaji sebuah berita terkait penemuan mayat tanpa kepala. Sungguh terdengar menyeramkan. Nama Pantai Pulodoro memang terdengar cukup asing di telinga para wisatawan bahari Malang Selatan apabila dibandingkan...

The post Pantai Pulodoro, Sebuah Kesunyian appeared first on TelusuRI.

]]>
Mencari informasi mengenai Pantai Pulodoro di Google, akan tersaji sebuah berita terkait penemuan mayat tanpa kepala. Sungguh terdengar menyeramkan. Nama Pantai Pulodoro memang terdengar cukup asing di telinga para wisatawan bahari Malang Selatan apabila dibandingkan dengan Pantai Sendang Biru, Pantai Tiga Warna, Pantai Balekambang, Pantai Goa Cina dan pantai terkenal lain di Kabupaten Malang. Tidak mengherankan apabila pantai ini layak dijadikan destinasi wisata favorit bagi orang-orang yang menghindari kerumunan pengunjung. Pantai Pulodoro berlokasi di Desa Banjarejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Kecamatan paling barat di Kabupaten Malang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar.

Pada awalnya, saya sendiri tidak pernah tertarik untuk mengetahui pantai-pantai di kawasan Kecamatan Donomulyo karena terlampau jauh untuk dijangkau dari Kota Malang. Akhirnya sebuah ajakan dari seorang teman, mampu menggoyahkan diri. Ia menjanjikan bahwa tidak hanya keindahan satu pantai yang terpampang, namun hidangan berupa keelokan beberapa pantai dalam satu kawasan di Pantai Pulodoro akan memanjakan. Saya pun dengan yakin mengiyakan tawaran tersebut.

Seperti pada umumnya ketika mengunjungi pantai di kawasan Malang Selatan. Suguhan pemandangan khas pedesaan dan hutan lindung begitu terasa. Karena bukan menjadi salah satu pantai favorit pengunjung. Rute perjalanan yang menghadang begitu membuat produksi hormon adrenalin meningkat. Melewati jalanan berbatu yang membelah hutan menjadi tantangan tersendiri selama kurang lebih tiga puluh menit lamanya.

Pantai Bantol/Melynda Dwi Puspita

Begitu sampai pada sebuah bangunan berbahan kayu, kami mengistirahatkan motor yang sedari tadi dipaksa menghadapi jalanan terjal berliku. Kami sodorkan uang beberapa puluh ribu dari dompet yang tersimpan rapi di dalam tas, kepada seorang pria yang nampak asyik bermain dengan kepulan asap rokok. Kemudian kami langkahkan kaki menuju gundukan pasir bebatuan kapur yang cukup menukik. Dengan sisa tenaga yang sedikit terkuras selama perjalanan, kami menerobos hambatan yang ada di depan mata. Sayup-sayup irama gempuran ombak membangkitkan semangat. 

Hingga tiba waktunya untuk kami dapat berdiri di atas luasnya hamparan pasir putih kecoklatan dengan batuan kecil yang menyebar. Pantai itu ialah Pantai Bantol, sebagai awalan dan penawar rasa lelah bagi kami. Bibir pantai cukup panjang sehingga bisa membuat kami merasa menjadi sosok mini yang hidup di dunia. Terjangan ombak pun hanya mencapai pulau karang yang tersedia jauh di depan mata. Tidak lama waktu yang kami habiskan, hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Pantai Watu Seling Buceng/Melynda Dwi Puspita

Kebahagiaan kami segera sirna ketika harus melewati rawa-rawa dan kawasan hutan mangrove yang masih asri. Ia, hanyalah satu-satunya jalan yang harus diseberangi. Hening, selain hanya terdengar suara hewan-hewan asing yang menemani. Namun angan menikmati suasana Pantai Pulodoro menjadi pemicu kami untuk lanjut menelusuri. 

Sebaran batuan putih dengan ukuran lebih besar menyambut kami. Batu-batu karang juga tidak malu menampakkan dirinya. Air laut menjauh dari bibir pantai saat kami mencoba mendekati. Ia adalah Pantai Watu Seling Buceng, pantai kedua yang kami temui sebelum menuju tujuan utama. Tidak hanya kami berdua yang berusaha mengarahkan pandangan ke arah lautan. Namun juga terdapat beberapa orang bersenda gurau di dalam sebuah tenda berwarna jingga dengan pintu terbuka.

Pantai Kedung Celeng/Melynda Dwi Puspita

Melanjutkan perjalanan ke sisi barat, tidak hanya bentangan pasir pantai yang menyambut. Namun ada pula kumpulan tanaman waru yang mengering terkena sengatan sinar matahari. Terlihat juga sebuah penyekat, yaitu pulau karang di sebelah kanan. Gulungan ombak lebih besar dibandingkan dua pantai sebelumnya yang telah dilalui. Pantai Kedung Celeng menjadi penanda, petualangan hampir berakhir.

Beberapa hewan bercangkang hitam dengan duri-duri panjang juga hadir. Walaupun tak bernyawa lagi, cangkang Bulu Babi itu sempat mengingatkan kami akan beranekaragamnya ciptaan Tuhan. Terlihat pula sebuah batu karang yang telah memutih terseret ombak dan memutuskan menetap di pinggir pantai.

“Tinggal sedikit lagi,” suara-suara bermunculan di dalam pikiran. Segera kami berusaha mengeluarkan sisa energi demi menengok salah satu keajaiban alam. Dua pulau karang menyapa kami, ombak pun jauh dari jangkauan. Hanya ada kumpulan air asin tenang membentuk cekungan seperti setengah lingkaran. Bak sebuah kolam pribadi, banyak orang yang memanfaatkannya sebagai wahana untuk berenang ataupun sekadar membasahi raga. Air laut pun jernih berwarna kehijauan menambah kesejukan. Akhirnya kami mencapainya, Pantai Pulodoro, pantai keempat, sekaligus yang terakhir.

Tidak membawa bekal dan peralatan, sehingga kami memutuskan untuk bersandar pada sebuah pohon. Mengamati perilaku alam, ataupun menengok pengunjung lain yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Berusaha menghimpun lagi bahan bakar untuk modal mengakhiri perjalanan. Ingin rasanya menanti mentari kembali ke tempat peristirahatan. Sayang jarak dan waktu yang membatasi impian.

The post Pantai Pulodoro, Sebuah Kesunyian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-pulodoro/feed/ 0 28203
Susah Sinyal, Terbayar oleh Momen di Pantai Wedi Awu https://telusuri.id/susah-sinyal-terbayar-oleh-momen-di-pantai-wedi-awu/ https://telusuri.id/susah-sinyal-terbayar-oleh-momen-di-pantai-wedi-awu/#respond Thu, 03 Jun 2021 00:54:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28197 “Biasa aja,” pikir saya saat melihat pasir pantai berwarna hitam dengan ombak yang cukup besar. Waktu membandingkan pantai ini dengan pantai-pantai yang lainnya. Sebagai seorang Thallasophile alias pecinta lautan, mengunjungi banyak pantai sudah menjadi kewajiban...

The post Susah Sinyal, Terbayar oleh Momen di Pantai Wedi Awu appeared first on TelusuRI.

]]>
“Biasa aja,” pikir saya saat melihat pasir pantai berwarna hitam dengan ombak yang cukup besar. Waktu membandingkan pantai ini dengan pantai-pantai yang lainnya. Sebagai seorang Thallasophile alias pecinta lautan, mengunjungi banyak pantai sudah menjadi kewajiban tersendiri bagi saya. Sehingga saya sudah hafal betul kriteria pantai cantik itu seperti apa. Namun ini murni penilaian subjektif saya sendiri.

Pantai ini adalah Pantai Wedi Awu yang terletak di Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang. Berada di sebuah kecamatan yang hampir berbatasan dengan Kabupaten Lumajang. Pantai Wedi Awu tergolong pantai yang masih sepi pengunjung. Apabila menengok pantai di daerah Malang Selatan yang lain, pengunjung selalu dikenakan tarif. Saat itu, akhir tahun 2018, di Pantai Wedi Awu belum diberlakukan biaya tiket masuk. Bisa dibayangkan sehening apa pantai ini?

Sebagai pantai yang bukan merupakan salah satu destinasi favorit wisata. Jangan harap untuk menemui perjalanan yang mudah. Jalanan berkelok nan berbatu dengan tepian dikelilingi jurang sudah menjadi pemandangan lumrah apabila ingin berkunjung ke Pantai Wedi Awu. Jadi, pastikan bahwa pengendara motor maupun mobil merupakan orang yang berpengalaman menghadapi curamnya jalan. Meskipun jauh dari kata ‘wah’ dan fasilitas mewah. Pantai ini sangat cocok bagi Anda yang ingin sekali mencari ketenangan pikiran.

Suasana Asri Pantai Wedi Awu

Muara Sungai di Pantai Wedi Awu/Melynda Dwi Puspita

Walaupun tidak ada pasir putih seperti sebuah pantai yang memiliki pengunjung membludak. Saya merasa tidak rugi sama sekali bisa berkunjung ke Pantai Wedi Awu. Karena bagi saya, keindahan sebuah pantai tidak hanya terletak pada putihnya pasir atau jernihnya air laut. Namun suasana sepi dan pemandangan rimbunnya pepohonan bisa menjadi penyembuh kekecewaan.

Diberikan kesempatan untuk menginap di salah satu rumah penduduk kawasan pesisir Wedi Awu adalah sebuah pengalaman tidak terlupakan. Sebagai kawasan pantai yang dikelilingi tebing-tebing, kesusahan menemukan sinyal merupakan pil pahit yang harus kami rasakan. Saat itu, saya dan dua orang teman sedang melaksanakan program pengabdian sehingga mengharuskan untuk tinggal selama tiga hari dua malam. Bahkan rasanya saya sangat jarang pegang HP karena sudah tidak ada gunanya lagi. Hanya saat itu saja, saya merasa bahwa baterai smartphone begitu awet hingga sedikit menghilangkan dampak kecanduan gadget. Channel TV pun hanya ada satu yang tersambung. Mau tidak mau kami harus mencari hiburan lain. Yang tidak lain dan tidak bukan dari keindahan alam.

Di setiap pagi hari, kami selalu menyempatkan diri untuk merasakan semilir angin pantai. Yang hanya berjarak kurang lebih lima puluh meter dari rumah tempat kami singgah. Tidak lupa kami membawa jajanan dan mie instan untuk menghilangkan rasa dingin yang melanda. Kami juga meminjam gitar berwarna biru yang satu senarnya sudah putus. Saat matahari hampir selesai bertugas dan kembali ke peraduannya, kami juga tetap mengunjungi pantai ini. Suasana senja benar-benar membuat kami sejenak melupakan beban mengerjakan skripsi. 

Pantai Wedi Awu/Melynda Dwi Puspita

Saya duduk di atas pasir hanya beralaskan sandal gunung lima puluh ribuan. Sambil berusaha mengingat kembali kunci gitar dan bernyanyi bersama teman-teman serta dua anak warga sekitar. Kami menyanyikan beberapa lagu mulai dari band lokal seperti Peterpan hingga Kelas Barat, yaitu Shania Twain. Walaupun nada suara gitar melenceng kemana-mana. Tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Serta merasa menjadi manusia paling bahagia di dunia.

Selain itu, kami juga mengamati perahu-perahu nelayan yang berangkat maupun pulang melaut. Melihat kebersamaan para nelayan yang saling bahu-membahu mengangkat beban berat perahu. Membuat kami begitu enggan untuk segera meninggalkan Pantai Wedi Awu. Beberapa hari di pantai, tetap begitu lengang. Sepertinya hanya kami yang bukan warga lokal. Kami merasa memiliki pantai pribadi dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Pantai Wedi Awu jadi Pusat Surfing di Malang

Peselancar cilik/Melynda Dwi Puspita

Sebagai sebuah pantai yang memiliki karakteristik berupa ombak cukup besar, menjadikan Pantai Wedi Awu sebagai salah satu lokasi para peselancar untuk melatih diri. Tidak mengherankan apabila kami melihat pemandangan berupa surfer cilik yang begitu gagah dan berani. Mereka seakan menantang kuatnya hantaman ombak untuk mencari kepuasan diri.

Saya juga sempat berkenalan dengan salah satu peselancar anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya melontarkan pertanyaan konyol kepada anak itu, “nggak takut kena ombak?” Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seakan meyakini bahwa ombak telah menjadi bagian dari dirinya.

Saya tidak melewatkan kesempatan untuk meminjam papan selancar hanya untuk mengambil foto. Kalau disuruh mencoba belajar berselancar, jelas saya tidak mau. Lah wong saya berenang saja belum fasih. Bisa-bisa hanya papan selancarnya yang kembali ke bibir pantai.

Walau mungkin Pantai Wedi Awu tidak masuk standar kawasan wisata pantai yang indah. Namun dengan segala kenangan yang saya peroleh disini. Telah mematahkan persepsi saya tentang definisi pantai cantik dan menarik.

The post Susah Sinyal, Terbayar oleh Momen di Pantai Wedi Awu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/susah-sinyal-terbayar-oleh-momen-di-pantai-wedi-awu/feed/ 0 28197
Merasakan Jatuh Bangun di Pantai Peh Pulo https://telusuri.id/merasakan-jatuh-bangun-di-pantai-peh-pulo/ https://telusuri.id/merasakan-jatuh-bangun-di-pantai-peh-pulo/#respond Thu, 20 May 2021 01:22:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27893 Blitar tidak hanya dikenal dengan Museum Bung Karno dan Wisata Kampung Coklat-nya saja. Namun, salah satu kota di Jawa Timur yang berbatasan dengan kabupaten Malang ini juga menyuguhkan wisata pantai yang menarik untuk dikunjungi. Tidak...

The post Merasakan Jatuh Bangun di Pantai Peh Pulo appeared first on TelusuRI.

]]>
Blitar tidak hanya dikenal dengan Museum Bung Karno dan Wisata Kampung Coklat-nya saja. Namun, salah satu kota di Jawa Timur yang berbatasan dengan kabupaten Malang ini juga menyuguhkan wisata pantai yang menarik untuk dikunjungi. Tidak mengherankan apabila Blitar mendapatkan julukan “Seribu Pantai.”

Dengan menumpang kereta api lokal dari Malang, saya nekat untuk sambang ke indekos salah satu teman yang sedang berkuliah di sebuah kampus negeri di Kota Blitar. Perjalanan hanya memakan waktu kurang lebih dua hingga tiga jam. Sesampainya di Blitar, saya langsung disambut dengan pertanyaan, “mau ke pantai mana?” Saya yang baru pertama kali ke Blitar dibuat kebingungan.“Terserah, yang penting sepi dan ada tulisannya.”

Perjalanan dimulai keesokan harinya. Saya dan tiga orang yang lain sempat mampir ke sebuah kedai yang menjual sate tahu, salah satu makanan khas Kota Blitar. Makanan tersebut kami jadikan bekal untuk mengganjal perut saat telah tiba di pantai. 

Pantai ini terletak di Desa Sumbersih, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Dengan mengemudikan dua kendaraan bermotor, kami mencoba melalui jalan yang ditunjukkan oleh arah anak panah Google Maps. Kami juga melewati kawasan yang seluruhnya hutan, hanya dibelah oleh jalanan berbeton. Total waktu perjalanan kira-kira selama dua jam dari pusat Kota Blitar. Karena saat itu musim hujan, kami harus dihadapkan oleh jalanan setapak ekstrem penuh lubang dan berlumpur. Hingga motor teman saya harus terperosok ke dalam parit. Bukannya menolong, kami malah tertawa (jangan ditiru).

Setelah sempat bergulat dengan kondisi jalan yang sungguh menguras tenaga. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak menghantam karang. Tidak ada biaya masuk, hanya ada biaya parkir sebesar lima ribu rupiah. Selanjutnya kami menarik langkah kaki menuju sebuah gubuk kayu di pinggir pantai. Segera kami membuka pembungkus kertas sate tahu yang sedari tadi tersimpan rapi di dalam tas. Sungguh nikmat rasanya merasakan gurih dan manisnya bumbu kacang sate tahu sembari melemparkan pandangan ke arah lautan Samudra Hindia.

Pantai Peh Pulo/Melynda Dwi

Seperti halnya slogan yang tertempel pada papan kayu di bibir pantai ini. ‘Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak/mantan’, kami tidak lupa untuk segera membuang kertas pembungkus pada sebuah tempat berbentuk bundar berisikan beragam jenis sampah. Sungguh beruntung, karena hanya kami bertiga yang menjadi pengunjung. Nampak air laut meninggi menutupi batuan karang. Terhampar beberapa tebing batu karang, tidak mengherankan jika Pantai Peh Pulo disebut sebagai Raja Ampat-nya Blitar. Sepertinya pantai ini belum dikelola oleh Pemerintah ataupun swasta. Sehingga keasrian dan kealamiannya benar-benar masih terjaga. Namun jangan khawatir, karena sudah ada toilet dan musala.

Tidak ada aktivitas yang terlihat, hanya ada seorang nelayan yang tengah memperbaiki jala. Serta tampak dari kejauhan sebuah bangunan sederhana bertuliskan ‘warung’. Tanpa pikir panjang kami menghampiri pemilik warung untuk meminta membuatkan kami beberapa gelas es degan (kelapa muda). Saya yang sedari awal merasakan peluh terus mengucur, langsung saja memesan dua gelas sekaligus. Makanan dan minuman yang ditawarkan terhitung sangat terjangkau. Hanya dengan mengeluarkan uang sebesar tiga ribu rupiah, sudah bisa menikmati segelas es kelapa muda. Bahkan terdapat juga menu olahan seafood seperti ikan bakar yang ditangkap langsung oleh nelayan.

Foto Pemandangan dari Atas Bukit/Melynda Dwi

Setelah merasa stamina telah terkumpul, kami memutuskan untuk menikmati view dari atas bukit. Diawali dengan melewati jembatan bambu, kami harus menghadapi jalanan menanjak melawan gravitasi bumi dengan berjalan kaki. Kami disuguhkan dengan sebuah perkebunan jagung yang telah nampak menguning. Tidak melewatkan kesempatan, kami sempat untuk mengabadikan foto diantara rimbunnya pohon jagung. Terlihat pula sebuah tumpukan kayu bekas api unggun yang menandakan bahwa telah ada manusia yang camping disini sebelumnya. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah tebing beralas tanah. Pemandangan gundukan pasir membentuk perbukitan sungguh memanjakan mata. Untuk beberapa menit kami mengamati pergolakan air laut dari atas. Namun tiba-tiba ombak menyambar tebing yang kami singgahi. Masih beruntung kami tidak mengalami suatu hal yang tidak diinginkan.

Foto Batu Karang/Melynda Dwi

Selanjutnya kami berkeinginan sejenak merasakan dinginnya air laut Pantai Peh Pulo. Saat mentari semakin terik, nampak air laut telah menjauh dari bibir pantai. Batu-batu karang tanpa ragu muncul ke permukaan. Bergegas kami menuruni bukit dan singgah sejenak ke sebuah warung yang tadi didatangi. Hanya saya yang membeli es kelapa muda lagi. Total ada tiga gelas es kelapa muda yang telah saya teguk dalam sehari. “Ya Allah, Mbak Mel, awas jadi sapi gelonggongan,” ucap seorang perempuan berkerudung navy panjang. Saya hanya membalasnya dengan tertawa kecil.

Saat menuju gugusan batu karang yang tertutup lumut. Kami menjumpai sosok kecil penghuni laut, semacam cacing yang terbawa oleh air pasang. Kami hanya menatapnya dari kejauhan karena merasa geli. Kami lebih tertarik untuk menikmati suara ombak dan hembusan angin yang terus menerpa.

The post Merasakan Jatuh Bangun di Pantai Peh Pulo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merasakan-jatuh-bangun-di-pantai-peh-pulo/feed/ 0 27893
Coban Pelangi dan Kenangan Apik https://telusuri.id/coban-pelangi-dan-kenangan-apik/ https://telusuri.id/coban-pelangi-dan-kenangan-apik/#respond Tue, 11 May 2021 09:00:24 +0000 https://telusuri.id/?p=27939 Ketika berkunjung ke rumah seorang teman di daerah Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, saya dan dua orang teman sebenarnya tak memiliki rencana apa-apa. Hanya ingin sekadar sambang dan menumpang makan tidur dua hari semalam. Namun sang...

The post Coban Pelangi dan Kenangan Apik appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika berkunjung ke rumah seorang teman di daerah Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, saya dan dua orang teman sebenarnya tak memiliki rencana apa-apa. Hanya ingin sekadar sambang dan menumpang makan tidur dua hari semalam. Namun sang tuan rumah berinisiatif untuk mengajak kami ke salah satu air terjun terdekat yakni Coban Pelangi.

Katanya air terjun ini menjadi salah satu destinasi favorit selain Coban Rondo, Coban Talun, dan Coban Rais. Kami semua manut saja dengan sebuah tawaran yang dilontarkan. Air terjun yang dalam bahasa Jawa disebut coban ini, memiliki keunikan tersendiri. Apabila beruntung, kami akan menengok pelangi diantara gemercik air yang berhamburan. Karena itu, air terjun ini dikenal dengan nama Coban Pelangi.

“Semoga motornya kuat nanjak,” seru teman sekaligus pemilik rumah. Ya, kami menggunakan dua motor matic dengan masing-masing satu orang dibonceng. Segera kami mempersiapkan diri dan tidak lupa mengenakan jaket cukup tebal.

Perjalanan cukup menukik, benar saja kami harus menuju kepada ketinggian 1.400 mdpl. Selain melewati perumahan, kami juga berpapasan dengan deretan mobil Jeep di sepanjang jalan. Ternyata jalan yang kami lalui menjadi salah satu rute menuju Gunung Bromo. Tidak ketinggalan hutan rindang, perbukitan, dan jurang di kedua sisi jalan menemani perjalanan kami. Jalanan tak selalu mulus, ada tikungan tajam dan berkelok-kelok.

Coban Pelangi terletak di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Tepat pukul 11.00 WIB, kami telah tiba. Dengan harapan dapat menengok keindahan warna-warni cahaya pelangi saat matahari mulai aktif bekerja. Katanya muncul sekitar pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB. Dengan bermodalkan tiket masuk sebesar Rp6 ribu per orang dan biaya parkir, yaitu lima ribu rupiah per motor. Kami bisa melenggang masuk menerobos gapura penyekat.

Jalur Perjalanan/Melynda Dwi Puspita

Kami melewati jalan setapak menurun membelah hutan sejauh kurang lebih 1,5 km. Kira-kira membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke air terjun. Cukup melelahkan memang, tetapi segala keindahan yang kami temui di sepanjang jalan lumayan membuat gairah tetap bergelora. Suasana sejuk cukup terasa, karena berbagai jenis pepohonan sangat bersemangat untuk berkembang. Suara burung berkicauan juga tidak luput dari indra pendengaran.

Tenda beragam warna juga nampak berdiri rapi diantara keheningan suasana hutan. Ada yang sedang melahap cemilan berbungkus plastik alumunium foil. Ataupun hanya memasrahkan diri terduduk di dalam tenda beralas terpal. Adapula yang terfokus melipat hamparan tenda roboh di atas tanah kecoklatan. Menandakan akhir dari perjalanan sebuah momen perkemahan.

Tidak banyak interaksi dan guyonan yang kami lontarkan di sepanjang perjalanan. Bukan hanya untuk menghemat tenaga yang tersisa. Namun juga karena rasa penat yang telah melanda.

Sesekali kami menghentikan langkah untuk mengabadikan momen terindah. Terlihat pula beberapa ekor kuda berjejer membentuk beberapa formasi. Kuda-kuda tersebut menjadi alternatif transportasi untuk bisa mencapai air terjun tanpa menguras energi. Dua sejoli yang asyik bersenda gurau di sebuah gubuk, seakan tidak ada lagi manusia selain mereka di dunia ini.

Jembatan Bambu/Melynda Dwi Puspita

Hingga tiba saatnya kami menemui jembatan bambu sederhana yang nampak kokoh. Banyak orang yang antre untuk sekadar mendapatkan beberapa foto terbaik. Kami enggan untuk mengekor menunggu jembatan menjadi kosong. Kami lebih memilih untuk melalui derasnya air sungai sembari mencoba mencicipi dinginnya air.Kami berusaha memilah dan memilih bebatuan yang nampak tak berlumut. Agar tidak terjadi sebuah insiden kemalangan. Ternyata, sungai tersebut tidak hanya menjadi sumber mata air warga sekitar namun juga menjadi arena rafting arung jeram para penggiat aktivitas petualangan.

Tidak ingin berlama-lama, kami menyudahi diri untuk segera bangkit melanjutkan perjalanan. Sudah banyak orang yang terlihat, hal ini menandakan air terjun semakin dekat. Kami percepat saja langkah kami walau letih telah memuncak. Suara air jatuh menghantam bebatuan sudah semakin jelas. Ingin rasanya segera membiarkan diri tergeletak tak berdaya terbawa air. Namun sayang, itu semua hanya impian tidak berdasar.

Aliran air/Melynda Dwi Puspita

Keberuntungan sedang tidak berpihak kepada kami, tidak ada tanda-tanda kemunculan gugusan cahaya pelangi. Tak mengapa, kami masih bisa mengamati air yang terus-menerus berguguran. Walau tak bisa menyentuhnya langsung karena terpisahkan oleh sebuah pagar bambu.

Berbagai jenis tumbuhan di sekitarnya tampak sumringah karena dialiri air yang tidak pernah surut. Riuh suara air benar-benar menyejukkan jiwa. Tak henti-hentinya bibir ini berucap syukur dan kagum atas salah satu keelokan ciptaan Tuhan. Sehingga tak ingin kami pergi meninggalkannya.

Berat rasanya raga ini untuk mengangkat kaki menjauhi air terjun. Bukan hanya karena keindahannya. Namun bayangan jalanan menanjak sejauh 1,5 km kembali harus kami lintasi.“Ayo rek, ndang mulih, maringene tak jak tuku bakso, sing terkenal enak ndek kene,” (ayo, cepat pulang, sebentar lagi aku ajak membeli bakso enak yang terkenal disini), sahut seorang teman berkerudung hijau. Membangkitkan semangat kami untuk lekas mengganjal perut.

The post Coban Pelangi dan Kenangan Apik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/coban-pelangi-dan-kenangan-apik/feed/ 0 27939