Miftahul Aulia, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/miftahul-aulia/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 08 Aug 2024 04:30:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Miftahul Aulia, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/miftahul-aulia/ 32 32 135956295 Cerita Lima Hari di Parepare https://telusuri.id/cerita-lima-hari-di-parepare/ https://telusuri.id/cerita-lima-hari-di-parepare/#respond Thu, 08 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42475 Butuh tujuh tahun bagi Rifkah, seorang teman, untuk mengajak saya mencicipi sebuah pekerjaan yang benar-benar baru bagi saya, yaitu sebagai enumerator. Pekerjaan yang memerlukan keahlian berkendara. Rifkah, yang selama itu pula sudah menggeluti bidang ini,...

The post Cerita Lima Hari di Parepare appeared first on TelusuRI.

]]>
Butuh tujuh tahun bagi Rifkah, seorang teman, untuk mengajak saya mencicipi sebuah pekerjaan yang benar-benar baru bagi saya, yaitu sebagai enumerator. Pekerjaan yang memerlukan keahlian berkendara. Rifkah, yang selama itu pula sudah menggeluti bidang ini, berani mengajak saya bergabung karena memperhitungkan kemampuan saya dalam komunikasi seperti komunikasi. Selain itu, kebetulan banyak teman kuliah saya juga di lokasi survei—Parepare, Sulawesi Selatan. 

Cobami dulu. Sapatau bisa saya ajak tandem di Makassar, kalau lincah mako (Coba ikut saja dulu. Mana tahu kita bisa jadi pasangan survei di Makassar kalau kamu sudah jago),” kata Rifkah lewat telepon.

Setelah penuh pertimbangan, akhirnya saya mengiyakan tawarannya. Saat itu saya juga sedang butuh tambahan uang untuk memperbaiki laptop yang rusak. Apalagi di Parepare nanti ada rumah teman saya. Saya pikir untuk urusan tidur setidaknya sudah aman.

Masalahnya kemudian, saya tidak bisa mengemudikan moda transportasi apa pun. Kecuali sepeda pancal, yang tidak saya miliki. Namun, jika punya pun, mengayuh sepeda ke Parepare sepertinya akan butuh lebih dari dua hari. Terlebih saya pernah membuat kehebohan di jalanan Pare, Kediri, Jawa Timur, karena bersepeda seperti orang mabuk arak. Banyak miring dan rentan keluar jalur.

Perjalanan Malam ke Parepare

Dua orang akhirnya bersedia memberi tumpangan. Satu orang akan berangkat malam itu juga, sedangkan satunya lagi menunggu sampai Subuh tiba. Saya memilih ikut jalan malam biar tidak diburu waktu untuk mengurus keperluan survei paginya di tempat yang asing bagi saya. Tentu saja saya sudah siap berbagi uang bensin dan camilan di perjalanan nanti. 

Senin malam (6/5/2024), pukul 21.00 WITA, saya janjian dengan Raiz—teman baru si pemberi tumpangan. Setelah mandi, makan malam, dan mengemas barang bawaan untuk lima hari lima malam, saya diantar menuju tempat kami janjian. 

Perjalanan malam selama jam dimulai. Untuk memecah rasa canggung antara saya, Raiz, dan adiknya, kami banyak bicara di sepanjang jalan sejauh 154,2 km. Basa-basi tentu saja, mulai asal universitas hingga bagaimana kami bisa berakhir sebagai sesama pemula di lembaga survei bernama LRI. Fokus tujuan lembaga ini untuk mengetahui pilihan dan aspirasi politik masyarakat terkait calon-calon pemegang kebijakan, yang akan bertarung di Pilkada serentak November 2024 nanti.

Saya menyukai atmosfer dari perjalanan bersama teman baru. Meskipun agak jengkel juga dengan ruas jalan Kabupaten Pangkep–Barru yang minim pencahayaan dan penuh lubang. Saat siang saja rentan celaka, apalagi kalau gelap gulita. Ditambah ulah pengendara truk yang mengemudinya seperti kejar setoran. 

Di tengah segalara riak, pukul 01.14 WITA kami tiba juga di Parepare. Saya turun di rumah teman dan berpisah untuk memulai urusan kami masing-masing keesokan harinya.

Cerita Lima Hari di Parepare
Saya di lokasi survei di kawasan Bacukiki, Parepare/MIftahul Aulia

Bertemu Orang Baru dan Masalah Jam Karet

Saya tidak menyangka aplikasi ojek daring di gawai saya akan berguna di Parepare. Memanfaatkan itu, saya menuju ke kantor Kelurahan Galung Maloang, Kecamatan Bacukiki.

Saya tidak tahu, tapi citra buruk staf kelurahan yang jutek dan jarang senyum, tidak saya temukan di sini. Justru yang membuat saya gondok setengah mati adalah harus menunggu surat izin yang dipegang rekan kerja—leader saya—untuk ditandatangani lurah. Surat itu sebagai pelicin agar kami bisa berseluncur mewawancarai warganya.

Surat izin tersebut berlaku tanggal 6—10 Mei 2024. Dalam rentang waktu lima hari yang singkat itu, 44 surveyor yang terpencar di empat kecamatan (Bacukiki, Bacukiki Barat, Soreang, dan Ujung) harus mewawancarai 10 responden yang terhimpun dalam satu kelurahan.

Sesuai kesepakatan kerja, kami seharusnya ada di lokasi pukul 09.00 WITA, tapi sang leader baru tiba pukul 13.00 WITA. Dalam kondisi seperti itu, mau tidak mau saya dipaksa belajar mengelola emosi. Meskipun pagi saya dimulai dengan jadwal yang berantakan di kota orang. Sambil menunggu dan misuh-misuh, saya sempat mengintip mesin pencari dan mengetik di gawai: sejak kapan istilah jam karet mulai ada?

Saya tidak menemukan informasi spesifik. Namun, saya jadi tahu bahwa ternyata di antara beberapa negara, Indonesia cukup dikenal dengan konsep elastisitas waktunya. Kata Parhan dkk. (2022), sebagian besar masyarakat Indonesia menganut konsep waktu polikronik, yakni teori yang menganggap bahwa waktu bisa terulang kembali. Makanya kadang ada saja yang suka menunda pekerjaan hingga melahirkan sikap toleran terhadap waktu alias ngaret. 

Cerita Lima Hari di Parepare
Barista Gudmud sedang mengerjakan pesanan pengunjung/Miftahul Aulia

Menikmati Kanse 

Untung saja, malamnya saya diajak ketemu oleh teman untuk mengusir perasaan kesal. Lokasinya di kedai kopi Gudmud Jl. Sulawesi, sekitar 15 menit perjalanan dari tempat saya. Dari jok belakang vespa ojek daring, saya mengamati Parepare. Meskipun letaknya di tepi laut, saya baru sadar bahwa sebagian besar wilayah Parepare ternyata berbukit-bukit dan cukup padat bangunan. Saya menyukai bentuk bangunan-bangunan tua khas kolonial yang tetap dipertahankan. Meski kata bapak ojek, sudah banyak juga bangunan baru yang perlahan menggilas habis persawahan.

Tiba di Gudmud, saya memesan kopi aren. Saya duduk di kursi kayu di sudut ruangan yang tak seberapa luas, tetapi memanjakan mata. Ada toples kaca kedaung yang menampung kombucha serta buku di atasnya. 

Sembari memerhatikan tangan barista bekerja, saya mengkonfirmasi ke teman, “Saya perhatikan, rumah di Parepare banyak yang bawahnya batu terus atasnya rumah panggung begini.”

Ia menimpali, itu salah satunya untuk mengantisipasi banjir yang kadang tiba-tiba saja meluap padahal hujan hanya sebentar. Saya baru tahu, Parepare ternyata sering dilanda banjir. Penyebabnya drainase mampet. 

Perasaan saya membaik. Kekesalan yang tadinya menumpuk menguap entah ke mana. Tidak salah kedai ini bernama Gudmud. Saya juga diajak menikmati kuliner khas Parepare. Namanya kanre santang (kanse). Artinya makanan bersantan. Olahan beras yang diberi santan. Mirip dengan pembuatan nasi uduk oleh masyarakat Sunda. 

Rasanya gurih. Berpadu dengan pedas dari sepotong ikan tuna goreng berbumbu dan telur rebus. Ditambah mi goreng, perkedel, dan sambal. Sempurna sekali di lidah saya yang menyukai cita rasa kuat dan menantang. 

Hampir Kena Pelecehan

Dua hari berikutnya saya memutuskan untuk memulai hari dengan menyantap makanan enak lebih dulu. Pagi pertama dengan semangkuk bakso kuah coto, lalu pagi berikutnya nasi kuning. Nasi kuning ini adalah hadiah setelah saya jalan menanjak 10 menit dari tempat saya menginap di Bacukiki.

Selesai makan, saya kembali berjalan kaki. Berbagi jalanan dengan kendaraan yang melaju cepat. Hingga tiba-tiba seorang pengendara berhenti di samping saya. Menawari tumpangan dan mengaku ojek. Sempat menolak, tapi saya naik juga dengan pertimbangan lokasi survei yang akan saya tuju—Desa Lariang Nyarangnge (Lanyer)—butuh 20 menit berkendara. Bisa dipastikan jika nekat lanjut jalan kaki, saya akan kehabisan energi untuk berkeliling mencari rumah responden di atas bukit. 

Apesnya, saat motor mulai tancap gas, saya ditanya beragam pertanyaan dan pernyataan aneh. Satu yang paling mengganggu adalah ketika orang ini bilang tubuh saya sangat bagus. Ia memperlambat laju motornya, mulai memundurkan bagian tubuh bawahnya dan mendekat ke arah saya.

Berusaha tetap tenang, saya ingat di jalan menuju lokasi survei ada kantor keamanan. Akhirnya saya minta diturunkan saja di sana dengan dalih ada urusan. Meski sempat menolak dan tidak mau menghentikan motornya, saya meronta dan sedikit memaksa dengan memukul. Barulah ia berhenti dan mematikan mesin motor. Saya lalu menyodorkan uang dan memberikan nama serta nomor yang salah saat ia minta Whatsapp saya. Lantas saya berjalan meninggalkannya tanpa menoleh.

Setibanya di pos keamanan, dengan wajah bingung petugas melihat saya datang. Entah bagaimana, tubuh saya mendadak lemas. Sambil menangis tersedu dan suara bergetar, saya menjelaskan kondisi saya kepada petugas tersebut. 

Tanpa saya minta, dia inisiatif memelototi pengendara tadi yang ternyata menunggu saya. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Mungkin karena segan dilihat terus oleh petugas keamanan, orang itu akhirnya pergi sambil menoleh memerhatikan saya.

Saya tidak pernah menyangka akan mendapat pengalaman tidak menyenangkan seperti ini. Padahal sebelumnya saya bertemu dengan beberapa tukang ojek dan warga yang ramah. Mereka menawari tumpangan karena melihat saya jalan kaki dan menggendong ransel. 

Meski begitu, perjalanan lima hari saya di Parepare tetap menyenangkan. Pertemuan dengan beberapa teman baru berkarakter unik, warga yang ramah, panorama yang indah, sapi-sapi gemuk dan anjing yang malu-malu, serta kulinernya yang sedap di lidah pasti akan menjadi salah satu momen yang saya rindukan.


Referensi

Parhan, M., Maharani, A. J., Haqqu, O. A., Karima, Q. S., dan Nurfaujiah, R. (2022). Orang Indonesia dan Jam Karet: Budaya Tidak Tepat Waktu dalam Pandangan Islam. Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi. Vol. 12, No. 1 (2022), hal. 25–34. https://doi.org/10.17509/sosietas.v12i1.48065.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Lima Hari di Parepare appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-lima-hari-di-parepare/feed/ 0 42475
Kuliner Laha Bete dan Dialek Orang Bugis Sinjai https://telusuri.id/kuliner-laha-bete-dan-dialek-orang-bugis-sinjai/ https://telusuri.id/kuliner-laha-bete-dan-dialek-orang-bugis-sinjai/#respond Wed, 31 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38835 Namanya laha bete, olahan makanan berbahan dasar ikan teri basah yang bagian kepalanya dipisahkan dan dibuang tulangnya. Di daerah saya, Sinjai, bagian timur Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 223 km dari Kota Makassar, kami menyebutnya...

The post Kuliner Laha Bete dan Dialek Orang Bugis Sinjai appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya laha bete, olahan makanan berbahan dasar ikan teri basah yang bagian kepalanya dipisahkan dan dibuang tulangnya. Di daerah saya, Sinjai, bagian timur Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 223 km dari Kota Makassar, kami menyebutnya ikan bete-bete.

Beberapa pekan lalu saya membuatnya, karena merindukan sajian segar tersebut di perantauan. Momen ini sekaligus untuk memenuhi janji pada seorang kawan, yang mengendap tiga tahun lamanya.

Saya pun berbelanja ke pasar dengan modal Rp20.000. Dari uang segitu saya berhasil membawa pulang sekantung hitam kecil ikan bete-bete, cabai rawit, kelapa parut, cuka, dan jeruk purut. Sayangnya, saya lupa membeli mangga dan daun kemangi. Meskipun dua bahan tersebut sebenarnya hanya bersifat opsional.

Berbekal ingatan mengamati para orang tua yang lihai membuat laha bete setiap kali ada hajatan di kampung, saya segera memulai eksperimen di dapur indekos.

Proses Pembuatan Laha Bete

Untuk menghasilkan sepiring laha bete, tidaklah serumit membuat coto Makassar atau konro yang menggunakan bahan rempah cukup banyak. Pun, waktu memasak dua kuliner khas itu lama, karena mesti mengolahnya di atas bara api alias kompor. Lain halnya dengan laha bete, yang tidak melalui proses pemasakan.

Awalnya, saya merasa kelelahan saat memisahkan kepala dan tulang dari badan ikan. Kami menyebut proses ini dengan nama mappangaja’ bete. Kalau sedang ada acara pernikahan, bisa satu baskom besar berisi ikan bete-bete yang mengantre untuk kami lepas kepalanya. Biasanya, sebaskom ikan ini dikumpulkan lebih dari tiga orang ibu, yang saling bekerja sama mappangaja’ bete sambil berbincang.

Jika bagian ini sudah terlewati, tahap pengolahan selanjutnya akan lebih mudah tetapi juga paling krusial. Di sinilah cuka seharga dua ribu rupiah yang sudah saya beli tadi akan berguna.

Setelah mencuci, proses selanjutnya adalah menyirami ikan dengan larutan cuka. Saya harus berhati-hati agar rasa ikan menjadi tidak terlalu asam. Selain untuk mematangkan daging ikan, penggunaan cuka juga bertujuan untuk menghilangkan bau amis. Peran cuka hampir sama saat kita membuat susyi.

Sambil membuat laha bete, saya juga bercerita ke Nu’—yang dari tadi sudah tidak sabar mencicipi kuliner khas Sinjai untuk pertama kali. Saya katakan padanya, “Sebenarnya resep membuat laha bete ini ada lagunya. Hanya saja, memang berbahasa Bugis.”

Adapun potongan lirik resepnya berbunyi: “Riteppang kaluku fura faru, Ripeccorang lemo-lemo, Ricoberang ladang-ladang pesse’, Ritellani laha bete” (diberi parutan kelapa, diberi perasan air jeruk, diberi cabai rawit pedas yang habis diulek, jadilah namanya laha bete).

Lagu itu adalah karya Muhannis, seorang pemerhati sejarah Sinjai yang meninggal beberapa hari lalu. Kemudian Masrah, yang masih berstatus sebagai pelajar SMA kala itu, menyanyikan lagu ini sekitar tahun 2006. Lagu tersebut kembali populer meski sebenarnya sudah tercipta sejak tahun 1995.

Akhirnya selesai juga eksperimen saya. Kami berdua menyambut girang. Nu’ coba mengambil sedikit, lalu mencobanya dengan ragu karena sempat curiga akan ada cita rasa ikan mentah. Namun, rupanya lidah Nu’ menyambut senang sampai laha bete ludes tak tersisa.

Tentunya, sebelum semua laha bete kami lahap habis, saya mengabadikannya dalam bidikan kamera dan mengunggahnya ke media sosial. Tak saya sangka, ada komentar menarik dari seorang kawan. Dia bilang kuliner serupa juga ada di Adonara, mereka menyebutnya belawa. Olahan yang sama persis lalu menambahkannya dengan taburan irisan bawang merah mentah melimpah.

Laha dan Lawa, Apa Bedanya?

Sebenarnya laha memiliki banyak varian, seperti halnya urap—hidangan dengan bahan dasar aneka sayuran yang direbus dan dicampur dengan kelapa muda—di Jawa. Sumatra juga punya hidangan serupa, namanya anyang. Meski ada yang menggunakan ikan maupun sayur sebagai bahan dasar, olahan kuliner ini sama-sama mengandalkan parutan kelapa muda sebagai pengunci rasa.

Nama laha bete hanya dipakai oleh orang-orang Bugis Sinjai. Beberapa penutur bahasa Bugis lainnya, seperti Bone, Sidrap, Wajo, Pinrang, dan Soppeng menyebutnya lawa bale (ikan) atau lawa bete, karena perbedaan dialek. 

Entah bagaimana, hanya dialek Sinjai yang agak berbeda dari dialek Bugis lainnya. Contohnya dalam penggunaan huruf “w” di bahasa Bugis, orang berdialek Sinjai seringkali menukarnya dengan huruf “h”. Maka sebutan lawa bagi penutur bahasa Bugis lain, berubah menjadi laha jika dilafalkan oleh orang Bugis Sinjai.

Masih ada lagi. Huruf “c” dalam dialek bahasa Bugis umumnya, di Sinjai berubah menjadi “sy”. Misal, cemme’ (mandi) menjadi syemme’. Perbedaan dialek ini sudah sering jadi bahan candaan berkat komedian asal Makassar yang pernah membuat viral dialek Sinjai lewat videonya.

Kalau kebetulan saya sedang mengikuti satu kegiatan dan memperkenalkan diri sebagai orang Sinjai, biasanya saya akan mendengar sahutan “Sinjai lo”. Bukan lo atau lu yang berarti ‘kamu’ seperti yang biasa orang-orang Betawi gunakan. Dua huruf pada lafal “lo” menjadi sebuah identitas bagi orang Sinjai. Itu justru membuat saya menjadi peserta yang gampang orang lain ingat, sehingga tentu saja saya tidak pernah keberatan dengan itu. 

Walaupun, ya, kadang-kadang ada saja kesalahan teknis. Beberapa orang mengira Sinjai sama seperti Binjai, kota di Sumatra Utara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Laha Bete dan Dialek Orang Bugis Sinjai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-laha-bete-dan-dialek-orang-bugis-sinjai/feed/ 0 38835
Into the Wild: Manifesto Perjalanan Chris McCandless https://telusuri.id/into-the-wild-manifesto-perjalanan-chris-mccandless/ https://telusuri.id/into-the-wild-manifesto-perjalanan-chris-mccandless/#respond Sat, 22 Apr 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38407 “S.O.S. SAYA MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN ANDA. SAYA TERLUKA, HAMPIR MATI, DAN TERLALU LEMAH UNTUK BERJALAN KELUAR DARI TEMPAT INI. SAYA SENDIRI, INI BUKAN MAIN-MAIN. DEMI TUHAN, TETAPLAH TINGGAL DAN SELAMATKAN SAYA. SAYA SEDANG KELUAR UNTUK MENGUMPULKAN...

The post Into the Wild: Manifesto Perjalanan Chris McCandless appeared first on TelusuRI.

]]>
Into the Wild (2007)
Into the Wild (2007)/TVNZ

“S.O.S. SAYA MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN ANDA. SAYA TERLUKA, HAMPIR MATI, DAN TERLALU LEMAH UNTUK BERJALAN KELUAR DARI TEMPAT INI. SAYA SENDIRI, INI BUKAN MAIN-MAIN. DEMI TUHAN, TETAPLAH TINGGAL DAN SELAMATKAN SAYA. SAYA SEDANG KELUAR UNTUK MENGUMPULKAN BUAH RASBERI DI SEKITAR TEMPAT INI DAN AKAN KEMBALI SORE INI. TERIMA KASIH, CHRIS MCCANDLESS. AGUSTUS?”

Pesan bernada cemas ini tertulis pada sobekan halaman dari novel karya Nikolai Gogol. Tertempel di pintu bus bernomor 142 dengan cat hijau putih yang sedikit terbuka. Dari dalamnya, terhirup aroma busuk yang sangat nyata dan menusuk hidung sepasang pejalan dari Anchorage, 6 September 1992. 

Terlalu takut karena implikasi bau dan catatan aneh, akhirnya seorang dari rombongan pemburu rusa yang datang tidak lama setelah sang pasangan, memberanikan diri mengintip lewat jendela bus. Matanya menangkap senapan Remington, kotak plastik kerang, delapan atau sembilan buku bersampul tipis, beberapa celana robek, peralatan masak, dan sebuah ransel mahal. Ia melihat dan meraih kantung tidur berwarna biru, yang jelas membungkus sesuatu. Entah apa. Namun, saat ia goyangkan, terasa sangat ringan. Berpindah ke sisi lain, ia melihat kepala mencuat.

Itu adalah Christopher Johnson McCandless, yang mati kira-kira dua setengah minggu lalu. Pria dari keluarga kaya lulusan Universitas Emory berpredikat cum laude, yang meninggalkan segala privilesenya untuk mengembara. Melintasi Amerika Utara menuju alam liar Alaska pada tahun 1990. 

Jon Krakauer adalah orang pertama yang memublikasikan cerita perjalanan nekat Chris di majalah Outside, edisi Januari 1993. Jon kemudian mengabadikan kisah Chris lebih panjang dalam sebuah buku berjudul Into the Wild yang terbit tahun 1996. Sebelas tahun berselang, sutradara Sean Penn mengadaptasinya menjadi sebuah film berjudul sama.

Potret Chris McCandless
Potret Chris McCandless, ditemukan pada film kameranya yang belum dicetak/Film Affinity

Minim Dialog, Namun Menghanyutkan

Adegan Chris tiba di Stampede Trail menjadi pembuka film. Ia diantar Jim Gallien, warga lokal terakhir yang Chris temui, sebelum benar-benar mengasingkan diri di Alaska yang tidak pernah mudah ditaklukkan. Apalagi bagi seorang pemuda yang tidak membekali dirinya dengan kemampuan bertahan hidup. Di alam liar sendirian pula dengan persediaan makanan terbatas dan cuaca dingin yang menembus tulang.

Dari Alaska, Sean Penn memulai cerita menggunakan banyak adegan kilas balik yang fokus pada perjalanan Chris—yang kemudian menamai dirinya sebagai Alexander Supertramp. Ia menyusun rencana petualangannya sejak lama. Mendonasikan seluruh tabungan pribadi untuk amal, menggunting semua kartu identitas, meninggalkan mobil sendiri di gurun tanpa plat nomor, memutus komunikasi dengan keluarga serta teman-temannya, dan membakar habis sisa uang tunai yang ia miliki. 

Chris benar-benar sudah muak pada kehidupan peradaban yang gila. Orang-orang bersikap buruk terhadap orang lain. Termasuk para orang tua, hipokrit, hingga politisi yang mengontrol semuanya melalui relasi kekuasaan. 

Ia memimpikan hidup di alam bebas. Tanpa arloji mahal yang memberitahu waktu—yang kadang-kadang bagi sebagian orang cukup menakutkan—karena harus berkejaran dengan target pekerjaan. Tiada orang lain dan omong kosong. Hanya dirinya sendiri.

Dalam dua tahun perjalanannya, Chris bertemu dengan beberapa orang yang menyenangkan. Meski tetap saja, tidak ada satu pun yang berhasil meredam tekat kuatnya melihat sungai, pegunungan besar, dan langit dari sudut yang sunyi.

Sayangnya, Chris hanya mampu bertahan selama 113 hari. Napasnya purna usai sekuat tenaga bertahan di tengah ketangguhan Alaska, kawasan dengan kondisi dan cuaca yang terlalu ekstrem untuk hidup. 

Durasi dua jam lebih rasanya tidak cukup merangkum kisah si petualang super. Visualisasi lanskap Alaska berhasil membuat jantungku berdebar. Adegan-adegannya minim dialog, tetapi justru menghanyutkan. Narasi puitis Chris dan adiknya adalah kekuatan film ini.

Bagian favoritku adalah kutipan-kutipan Leo Tolstoy dan Thoreau yang Chris yakini tanpa keraguan sedikit pun. Salah satunya ia lontarkan pada pasangan “Rubber Tramps”, “Rather than love, than money, than fame, give me truth”. Dan surat-suratnya kepada Wayne. Catatan-catatan perjalanannya terdengar sangat jujur. 

Tampilan dalam magic bus Fairbanks City 142
Tampilan dalam magic bus Fairbanks City 142/Spread Better Blog)

Magic Bus

Kisah Chris meledak di kalangan penggila petualang. Beberapa media menyebut, ratusan orang pernah mencoba menelusuri jejak-jejaknya. Banyak yang terjebak dan sebagian cukup beruntung diselamatkan otoritas setempat.

Ada juga yang menemui takdir sial dan tragis. Seperti pasangan Veranika Nikanava dan Piotr Markielau dari Belarus. Veranika tersapu arus sungai Teklanika yang kuat pada Juli 2019. Ia bernasib sama dengan Claire Jane Ackermann pada Agustus 2010. Warga negara Swiss itu kehilangan pijakan saat berusaha menyeberangi sungai. Dua tahun kemudian, Jonathan Croom, penggemar kisah Chris yang lain dari Oklahoma, hilang dan mayatnya ditemukan di pegunungan Oregon. Lalu tahun 2013, Dustin Self juga hilang. Mayatnya baru ketemu setahun setelahnya di bagian selatan Alaska.

Mereka semua ingin mencapai situs kematian Chris. Seperti peziarah yang mengunjungi makam.

Fairbanks 142, bus yang sengaja ditinggalkan oleh kru perusahaan konstruksi Yutan pada tahun 1961, biasa terpakai sebagai tempat istirahat para pemburu. Maka saat pertama kali Chris menemukan Fairbanks 142, bus itu sudah memiliki tempat untuk tidur, meja, dan peralatan masak seadanya. Tanda-tanda kehidupan setidaknya pernah ada di sana.

Chris bernaung di dalamnya dan memberi nama magic bus. Ia mengukir awal perjalanan dan jati diri yang baru di sebuah kayu. Ia terlahir dengan nama baru: Alexander Supertramp. Dia lari, berjalan sendiri menyusuri daratan agar hilang di alam liar. Tak lagi teracuni peradaban.

Namun, karena alasan keamanan dan upaya mengakhiri rentetan kematian, sebuah helikopter akhirnya mengangkut magic bus pada Kamis, 18 Juni 2020. Awalnya lokasinya dirahasiakan. Namun, pada September 2020, Museum of the North di University of Alaska mengumumkan akan memperbaiki magic bus tersebut. Mereka memajangnya di pameran luar ruangan permanen bersama dengan replika magic bus yang Sean Penn gunakan pada film.

Bagi saya, kepindahan magic bus sangat menyedihkan. Sayang sekali.

Dokumentasi pemindahan magic bus dengan helikopter
Dokumentasi pemindahan magic bus dengan helikopter/Youtube Reuters

Akting Memukau Emile Hirsch dan Pesan Terakhir Chris

Harus saya akui, keberhasilan film ini berkat totalitas Emile Hirsch memerankan Chris. Akting Emile mampu menciptakan atmosfer reflektif. Saya bisa membayangkan ekspresi wajah asli Chris dan pergolakan jiwanya; kemarahan, kesedihan, dan kesenangan yang ia rasakan. 

Demi mendalami peran, Emile bahkan menurunkan berat badannya hingga 18 kilogram. Kamu bisa melihat perubahan drastis tubuhnya di akhir film. Ia juga menolak menggunakan pemeran pengganti untuk beberapa adegan berbahaya. Termasuk adegan di sungai berarus deras dan berhadapan dengan beruang grizzly. Hampir semua adegan di film ini dilakukan sesuai dengan catatan perjalanan Chris. Begitu pun lokasi syuting.

Jim Gallien juga layak memperoleh apresiasi tinggi. Ia memerankan diri sendiri dengan sangat baik. Saat mengantar Chris, ia diberi jam tangan emas mahal miliknya. Jim menghadiahkan arloji itu kepada Emile, yang akhirnya ia pakai di film.

Into the Wild termasuk dalam kategori 1001 film yang harus kamu tonton sebelum mati, menurut Steven Jay Schneider. Meskipun begitu, film ini juga mendapat kritikan. Beberapa orang menganggap bahwa tindakan Chris sebagai upaya bunuh diri yang bodoh dan tragis. Ia hanya mengandalkan bantuan alam yang kapan saja bisa menjadi sangat ganas, sedangkan wawasannya terhadap survival amat minim. 

Namun, untuk mengakhiri petualangannya dengan tenang, Chris menulis pesan terakhir yang berbunyi, “I HAVE HAD A HAPPY LIFE AND THANK THE LORD. GOODBYE AND MAY GOD BLESS US ALL,” setelah sebelumnya sempat menulis, “HAPPINESS ONLY REAL WHEN SHARED.”

Ya, walau kebahagiaan tidak pernah sederhana, tetapi saya berharap Chris bisa tahu bahwa ia telah berhasil berbagi kesenangan perjalanannya kepada banyak orang. Ia menolak kekacauan sistem masyarakat lewat pencarian jati diri di alam bebas. 

Rest in peace, Alexander Supertramp.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Into the Wild: Manifesto Perjalanan Chris McCandless appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/into-the-wild-manifesto-perjalanan-chris-mccandless/feed/ 0 38407
Main-main di Detakata https://telusuri.id/main-main-di-detakata/ https://telusuri.id/main-main-di-detakata/#respond Thu, 06 Apr 2023 04:00:05 +0000 https://telusuri.id/?p=38154 Mengandalkan ingatan, siang ini saya cukup percaya diri menjadi pengganti Google Maps, dan mengarahkan Nu’—sobat jalanku, yang berkendara pelan dan selalu hati-hati, melaju menyusuri sepanjang Jalan Ratulangi. Berhenti sejenak di lampu merah, lalu belok kiri...

The post Main-main di Detakata appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengandalkan ingatan, siang ini saya cukup percaya diri menjadi pengganti Google Maps, dan mengarahkan Nu’—sobat jalanku, yang berkendara pelan dan selalu hati-hati, melaju menyusuri sepanjang Jalan Ratulangi. Berhenti sejenak di lampu merah, lalu belok kiri ke Hj. Bau, menuju Arief Rate, dan melewati Taman Segitiga yang sepi. Makassar memang sedang terik, dan siapa juga yang mau duduk di taman minim pohon, serta berisik lalu lalang kendaraan di jalan raya yang semrawut. Apalagi jika tenggorokan kering karena ikut puasa. 

Misi saya hari ini, menuntun Nu’ dan motornya tiba dengan selamat di Toko Buku Detakata yang berlokasi di Jalan Boto Lempangan No 57.

Tidak jauh dari taman, kami mengambil jalan belok kanan dua kali, dan berhenti tepat di depan sebuah bangunan bergaya modern. Dengan penanda di atasnya bertuliskan Bothlaim Space, dan beberapa usaha jejaring yang bernaung di bawah atapnya.

Sudah benar ini tempatnya.

Detakata yang akan kami tuju, berada di salah satu pintu ruangan kecil di lokasi ini. Tapi, kami sedikit bingung mengenai parkiran. Akhirnya saya bertanya pada seorang yang kebetulan berada di jalan masuk, “parkirnya di mana?” dan ia menjawab, “Iya di situ.”

Di situ yang dia maksud adalah parkir di bahu jalan.

Saya yakin, dengan ketenaran dan niat orang-orang nongkrong di banyak pilihan space instagramable-nya, parkir on street ini akan sangat padat. Tapi ya sudahlah, toh parkiran seperti ini ada banyak.

Toko Buku Detakata
Space Baku Tukar Artani/Aul Miftah

Setelah mengamankan helm di tempat helm, kami mampir sebentar ke Toko Curah Artani. Masuk melalui pintu utama, yang ternyata adalah kafe, dengan orang-orangnya yang sibuk membersihkan sebelum menemui para pelanggannya. Tepat di sebelah kanan, tidak jauh dari pintu utama, sebuah pintu geser membawa kami terhubung ke Artani. 

Singkat saja, dan kami telah bertukar sapa, juga berbagi informasi seputar daun mint, sereh kering, oregano, serta teh hijau dengan dua penjaga Toko Artani. Sambil menyerahkan beberapa buku untuk kegiatan baku tukar. 

Jadi, buku-buku dan pakaian yang saya bawa, akan memperoleh kancing. Kancing yang menjadi tiket untuk ditukar dengan buku atau pakaian milik orang lain. Semacam berburu thrift, tapi tanpa mengeluarkan uang. Hanya barang yang ditukar dengan barang layak pakai lainnya. Dan, saya telah mendapatkan bacaan juga pakaian baru, tanpa perlu menumpuk yang sudah jarang terpakai di rumah.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, saya dan Nu’ bergegas menuju Detakata untuk kegiatan selanjutnya. Detakata berada di belakang Artani. Hanya butuh beberapa langkah, dan mata sudah bisa menjangkau seluruh ruangannya yang tidak seberapa luas, melalui pintu dan jendela kaca yang transparan. 

Di dalam, sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu agenda main-main. Kami akan meluangkan waktu sampai sore nanti untuk membuat pembatas buku bersama Kairascraft. Bahannya dari herbarium. Koleksi spesimen tumbuhan utuh atau bisa berupa bagian tumbuhan yang diawetkan. Mulanya herbarium digunakan untuk keperluan penelitian ilmiah, dan media belajar klasifikasi tanaman. Tapi, karena ada peluang cuan dan ramai peminatnya, perlahan herbarium mulai dijadikan aksesoris estetik. 

Ada banyak macam bunga yang disediakan Kaira. Bunga-bunga yang ia keringkan dengan cara dibungkus tisu, lalu menyembunyikannya di antara halaman-halaman buku. Mulai dari tanaman paku, daun paria, ilalang, sampai edelweis juga ada.

Saya baru tahu, edelweis ternyata sudah menjadi komoditi juga. Bisa dibeli secara resmi di Desa Wisata Edelweis Wonokitri, yang berada di pintu masuk kawasan Gunung Bromo. Harganya entah berapa. Selain tanaman, ada juga kupu-kupu yang diawetkan. Kalau kupu-kupu ini, di Bantimurung, Maros, tempatnya. Cantik. Tapi, agak aneh di mata saya yang lebih suka melihat kupu-kupu hidup dan terbang. 

Agenda Bikin-bikin pembatas buku pun dimulai. Intim, karena terbatas hanya untuk sepuluh peserta. Ali dan Najwa jadi peserta paling lucu, muda, dan bersemangat. Di atas kertas laminating, isi kepala dan perasaan disulap menjadi karya pembatas buku yang rupa-rupa warnanya. 

Macam-macam herbarium saling berpadu. Bertemu juga dengan sayap kupu-kupu. Dan tulisan tangan untuk mengabadikan momen.

Detak dan Kata

Meski sempat ada drama mati lampu, dan adegan mencungkil mesin laminating pakai obeng, karena ada-ada saja pembatas buku yang menolak keluar. Bikin-bikin ini tetap menyenangkan. Dan semua orang punya pembatas buku hasil tangannya sendiri.

Membuat pembatas buku, tentu saja harus ada bukunya. Makanya secara bergiliran, setiap individu yang ikut main-main tadi, menceritakan alasannya memilih satu buku berjudul apa saja yang mereka ajak berpetualang ke Detakata.

Jihan membawa Wonderful Life karya Amalia Prabowo. Buku bersampul biru cerah yang menceritakan tentang anak disleksia, yang tidak hanya sulit melafal kata dan merangkai kalimat, tapi juga susah membaca, menulis, dan berhitung. Tapi, malah membuat orang tuanya menemukan dunia yang penuh warna, imajinasi, dan kegembiraan. Kata Jihan, buku ini menjadi motivasinya kuliah jurusan Pendidikan Khusus. 

Di antara banyaknya pilihan buku, ada satu buku yang berkesan bagi pembacanya. Dan secara ajaib mampu mengubah cara melihat sesuatu, bahkan dunia. Pikiran semacam itulah yang melahirkan nama Detakata.

Detak yang identik dengan tanda kehidupan, bersanding dengan kata. Kata yang bisa saja ada karena perasaan marah, sedih, senang, bingung, kritis, bahkan mungkin mabuk. Segala persoalan hidup yang menjadi huruf-huruf di kertas, dibawa ke mana saja, menghuni rak buku, dan bertemu dengan pembaca. 

Detakata berharap seperti itu dari namanya. 

Detak Kedua

Dan ya, dari apa yang saya temui di kunjungan pertama, banyak kata-kata berseliweran di tempat ini. Ulasan buku dari kawan ke kawan. Rekomendasi bacaan tentang pangan lokal. Sampai obrolan tentang jalur transportasi umum yang ternyata cukup murah, tapi mulai sepi pengguna. Beda dari awal-awal mereka beroperasi karena masih gratis.

Berkunjung ke Detakata tidak melulu berarti harus jajan buku. Kamu yang ngiler melihat banyak buku baru yang menggoda untuk dibaca, tapi berat di dompet, mungkin bisa ikut program Detak Kedua dulu.

Mengantar buku-buku lamamu yang hanya nangkring di rak buku, dan sudah tidak mau kamu baca berulang kali, untuk bertemu pemilik barunya di Detakata. Detak Kedua akan menampung dan mempertemukan buku-buku lamamu di sebuah rak khusus. Dan melabeli mereka dengan harga yang sudah kamu tentukan. 

Mereka menerima buku milikmu pada setiap Jumat dan Minggu. Dan akan menghubungimu jika lolos kurasi. Lalu melaporkan hasil penjualan bukumu jika laku. Selambat-lambatnya 30 hari setelah bukumu menghuni Detakata.

Udah. Kamu bisa membeli buku baru dengan hasil penjualan buku lamamu. Jika tidak laku? Keputusan ada di kamu. Mau tetap menyimpannya atau membawanya pulang kembali bersamamu. Lalu, mulai menabung untuk membeli buku baru idamanmu. Seperti saya yang akan bersabar menabung lebih lama, sampai bisa menjemput semua buku bertema pangan lokal di Detakata. hihi..

Klub Buku dan Diskusi Buku Momentum

Detakata bisa menjadi tempat melepas diri dari jam-jam siang yang sibuk. Jalanan yang sengkarut, yang membuat hampir semua orang berkerut dan saling klakson. Menepi sebentar untuk mencari kawan diskusi buku yang sudah banyak kamu baca juga bisa. Karena mereka juga punya klub buku.

Tapi, untuk bisa terhubung di jaringan telekomunikasinya, kamu sebaiknya ikut diskusi luringnya lebih dulu. Lagi-lagi, pesertanya terbatas hanya sepuluh orang. Agar diskusi bisa lebih dekat, dan semua individu dapat bagian bercerita. 

Klub bukunya bakal membahas satu buku yang disepakati sama-sama. Dibaca dulu terus ketemu lagi untuk saling bertukar opini di waktu yang sudah ditentukan. Tapi, kalau kamu mau temanya yang lebih bebas, kamu bisa ikut diskusi buku momentumnya. 

Akhirnya, meski baru berusia dua bulan, Detakata hampir selalu hidup dan berdetak setiap hari menyambut para pengunjung barunya. Mendengar cerita mereka, dan kadang-kadang malah masuk feed Instagram-nya. Tidak perlu malu-malu buat mampir. Bulan puasa begini juga enak buat ngabuburead. Mereka buka pukul 13.00-21.00 WITA.

Saat saya tanya, kenapa bukanya siang? Katanya sih tidak ada alasan khusus. Tapi ya cukuplah, delapan jam kerja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Main-main di Detakata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/main-main-di-detakata/feed/ 0 38154
Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/ https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/#respond Wed, 29 Mar 2023 04:00:28 +0000 https://telusuri.id/?p=37522 April, 2022, sebuah pesan singkat disertai dengan e-flyer terbaca di layar gawai saya. “Ayo ikut ajang ini. Bertiga sama Ais.” Ajang yang dimaksud kawan saya bernama Valen itu adalah lokakarya produksi konten untuk komunitas Indonesia...

The post Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
April, 2022, sebuah pesan singkat disertai dengan e-flyer terbaca di layar gawai saya. “Ayo ikut ajang ini. Bertiga sama Ais.” Ajang yang dimaksud kawan saya bernama Valen itu adalah lokakarya produksi konten untuk komunitas Indonesia Timur, namanya Bacarita Digital.

Bacarita, istilah khas yang menyesuaikan aksentuasi orang-orang di tengah dan timur Indonesia, yang populer dipahami sebagai bercerita. Ditambah embel-embel digital, sudah jelas bahwa ajang ini bakal fokus pada penggunaan teknologi, dan output-nya yang akan memanfaatkan sosial media.

Penyelenggaranya Rumata’ Artspace—sebuah rumah budaya yang lahir dari proyek bersama mantan jurnalis Kompas, Lily Yulianti Farid, dengan sutradara film lokal Indonesia favorit saya, 3 Hari untuk Selamanya (2007), Riri Riza. Lokasinya di Jalan Bontonompo, No.12A, Gn. Sari, Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kalau kamu pernah mendengar Makassar International Writer Festival (MIWF), yakni festival yang menghubungkan penulis lokal, nasional, dan internasional di Benteng Rotterdam Makassar, nah manusia-manusia di Rumata’ ini jugalah para biang keroknya. 

Workshop Bacarita Digital Sesi 1/Arsip Rumata’

Dengan pertimbangan, saya telah lebih dulu mengenal Rumata’ dan beberapa kali menjadi penonton film-film pendek yang mereka tayangkan secara eksklusif, juga sebagai pengunjung MIWF yang sayangnya alfa setelah pandemi, saya pikir mencoba terlibat sebagai calon peserta yang lebih intim akan sangat menyenangkan. 

Apalagi ide yang mereka bawa pada lokakarya Bacarita Digital sebagai upaya menggagas cerita, narasi, dan nilai budaya dari keragaman konteks lokalitas masing-masing daerah peserta adalah peluang besar. Maksud saya, ini kesempatan bagi Indonesia Timur menyuarakan isu-isu terabaikan di tempatnya yang selama ini tertutupi info-info kehidupan selebriti dari Jawa. Atau sekadar berbagi cerita personal menghangatkan hati bahkan mengejek. Hingga resep kuliner khas tradisional yang jarang muncul di layar televisi, dan mengambil tempat dalam pariwisata.

Kami pun mendaftar. Dan tiga individu melebur jadi satu dalam komunitas bernama Dari Halaman Rumah—sebuah komunitas kecil yang baru terbentuk di 2022 demi ajang Bacarita. Komunitas ini memutuskan fokus untuk menghidupkan narasi-narasi ekologis, nilai budaya dan sosial, serta ekonomi bagi manusia-manusia Bugis.

Ide cerita dan data diri kami kirimkan. Hingga tiba hari pengumuman di bulan Juni. Tujuh komunitas dari 29 komunitas di sembilan provinsi yang mendaftar, berhasil lolos ke tahap wawancara. Tujuh komunitas itu berasal dari Sulawesi, Kalimantan, Jayapura, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka melangkah maju ke tahap wawancara oleh pihak Rumata’ dan sutradara film dokumenter pendek Ibu Bumi (2020), yang menyoroti partisipasi generasi muda petani Kendeng melawan pabrik semen, Chairun Nissa.

Empat komunitas sayangnya harus gugur. Dan hanya tiga komunitas terpilih yang melanjutkan perjalanan.  Ketiga komunitas itu adalah Hakola Huba (Sumba Barat, Nusa Tenggara Barat), Indonesia Art Movement (Jayapura, Papua), dan Dari Halaman Rumah (Pangkep, Sulawesi Selatan).

Petualangan baru kami pun dimulai pada akhir Juni. Ketiga komunitas bertemu untuk pertama kalinya di Rumata’. Dan mengikuti workshop pra produksi Bacarita Digital sesi pertama selama empat hari pada 30 Juni–3 Juli 2022. Bersama para mentor, yakni Yusuf Radjamuda (Sutradara Film-Palu), Chairun Nisa (Sutradara Film-Jakarta), dan Ratrikala Bhre Aditya (Penulis & Sutradara Film-Jakarta). 

Dan co-mentor Ishak Iskandar (Sinematografer-Makassar), Rahmadiyah Tria Gayathri (Penulis & Sutradara-Palu) dan Rahman Saade (Sinematografer-Makassar). Serta para pemateri, yakni Yandy Laurens (Sutradara), Evi Mariani (Direktur Eksekutif Project Multatuli), M. Nawir (Penulis, Peneliti, dan Pengajar), serta Riri Riza (Sutradara).

Launching perdana konten Bacarita Digital di CGV Panakkukkang, Makassar/Arsip Rumata’

Sesi dua berlanjut di bulan Agustus. Berlokasi di daerah masing-masing komunitas. Didampingi para mentor, co-mentor yang telah dibagi pada sesi pertama. Proses  produksi yang berlangsung singkat selama empat hari. Namun, menyita beberapa bulan untuk proses editing. Hingga akhirnya, karya ketiga komunitas resmi launching perdana pada sesi ketiga Bacarita di 24 Februari 2023 kemarin. 

Ditayangkan di bioskop CGV Panakkukang, Makassar. Suara, wajah, dan cerita para komunitas menggema di sudut-sudut bioskop. Disaksikan puluhan pasang mata. Meski ada sedikit kendala teknis yang agak menyebalkan. Tapi, malam itu berakhir dengan wrap up party yang menyenangkan ditemani steak dan minuman fermentasi nanas. Juga celetukan dan tawa lepas yang besoknya hanya bisa dikenang.

Merawat Ingatan-ingatan Nenek

Kisah yang dibawa Dari Halaman Rumah ke bioskop mungkin yang paling personal. Bercerita tentang perempuan kota yang sakit, dan penat dengan keriuhan Jakarta. Lalu memutuskan pulang ke desa. Tapi, bukan ke rumah orangtuanya. Melainkan ke rumah neneknya yang hidup sendirian di Desa Tabo-tabo, Pangkep. 

Proses Produksi Dari Halaman Rumah/Arsip DHR

Ais, nama perempuan itu, lalu belajar banyak hal. Tentang tanaman yang bisa menyembuhkan lebih baik dari obat-obatan kimia. Tentang tangguhnya seorang wanita paruh baya yang menghidupi ternak dan kebunnya. Saling menghidupi. Ritual-ritual untuk berterima kasih kepada alam dengan sumber dayanya yang melimpah. Hingga betapa memuakkannya pabrik-pabrik semen, dan marmer yang telah merangsek masuk ke desa neneknya. Tentu saja, ada cerita tentang truk-truk pencuri batu dari sungai yang asap hitamnya mencemari udara yang seharusnya menyegarkan. 

Desa dan kota hampir tidak ada lagi bedanya. Tapi, Ais, tidak ingin kehilangan memori-memori magis, dan manis di desa neneknya. Jadilah ia memulai mendokumentasikan si nenek dalam projek bernama merawat ingatan-ingatan nenek. Ingatan yang menjadi konten digital tiga episode berjudul Rumah Diri. Dan bisa disaksikan di laman YouTube Dari Halaman Rumah akhir Maret ini.

Pinang Tumpuk dan Cerita Mama Nela

Sementara, Indonesia Art Movement (IAM) tidak melupakan pinang tumpuk yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Papua. Tradisi mengunyah atau makan buah pinang yang diwariskan turun temurun mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Yang konon katanya, buah pinang ini diperkenalkan oleh manusia berbahasa Astronesia yang datang ke pesisir dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Papua. Hingga kini menggapai pegunungan. Seperti yang dituliskan Hari Suroto (2010) dalam bukunya “Prasejarah Papua”.

Proses Produksi IAM/Arsip IAM

Dari pinang yang dikunyah, dan lepehan cairan kental berwarna merah yang biasanya diludahkan ke tanah oleh para pengunyah pinang, siapa sangka cerita-cerita justru berdatangan. Kisah asmara yang menggelitik, persoalan ekonomi dan mahalnya harga pinang, sampai larangan memasuki hutan bakau perempuan bagi laki-laki, dan sanksi adat yang menunggu. 

Semuanya dikemas dalam balutan komedi sedikit satir melalui obrolan-obrolan ringan Mama Nela, si penjual pinang tumpuk Kampung Enggros bersama para pelanggannya. Dan bisa kamu jumpai di laman YouTube Indonesia Art Movement, yang tahun ini akan memproduksi Season 1 dengan lima episode. 

Obed Kampung Sodan

Dan, Hakola Huba, atau Sokola Sumba yang berada di bawah payung Sokola Institute ini menjadi komunitas yang pemeran di filmnya cukup banyak. Dengan satu pemeran utama bernama Obed yang menghadapi kecemasan gagal panen. 

Proses Produksi Hakola Huba/Arsip Hakola

Masalahnya kian pelik, tatkala pupuk tidak berhasil ia pinjam dari kerabatnya. Padahal sang kekasih sudah mendesak untuk segera dilamar. Tak habis akalnya, Obed bahkan berniat meminjam uang dan menggadai parang hulu tanduk yang sebenarnya ia siapkan sebagai mahar.

Kisahnya terekam apik dan orisinil karena menggunakan bahasa Laboya sepanjang film. Ditambah pemandangan Kampung Sodan, Sumba Barat, dengan uma mantoko atau rumah menaranya. Dan kebiasaan menyambut tamu dengan tikar, dan suguhan pinang. 

Film fiksi berjudul Obed secepatnya juga akan ditayangkan di laman YouTube agar menemui para penontonnya. 

Bacarita Digital Volume 2

Akhirnya, dunia yang luas ini bisa kita telanjangi dan bawa kemana-mana. Ide dan cerita yang tadinya hanya ada di kepala bisa dibaca dan ditonton banyak orang, melalui benda kecil yang selalu ada di dalam tas. 

Mungkin saja kamu juga tertarik untuk mendokumentasikan kisahmu agar tidak dilupakan, Bacarita Digital Volume 2 akan kembali diadakan. Mengenai akomodasi dan transportasi, kamu tidak perlu khawatir. Karena Rumata’ yang didukung oleh Kemendikbud Ristek akan membiayai full komunitas dari luar Sulawesi Selatan.

Hanya saja, untuk biaya produksi tetap akan diserahkan pada sumber daya mandiri komunitas masing-masing. Jadi, saran saya sih persiapkan alat-alat produksi yang mumpuni seperti kamera DSLR, handy recorder, hardisk, dan laptop.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/feed/ 0 37522