Mochamad Rona Anggie https://telusuri.id/penulis/mochamadronaanggie/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 10 Jun 2025 04:47:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Mochamad Rona Anggie https://telusuri.id/penulis/mochamadronaanggie/ 32 32 135956295 Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/ https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/#respond Mon, 09 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47351 Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian. Teks & foto:...

The post Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai appeared first on TelusuRI.

]]>
Berada di ketinggian 2.944 meter di atas permukaan laut (mdpl), Goa Walet selalu mengundang penasaran pendaki yang melewatinya. Namun, tidak banyak yang mampir karena letak gua tidak berada persis di jalur pendakian.

Teks & foto: Mochamad Rona Anggie


Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Pendaki mengintip ke arah Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Para pendaki Gunung Ciremai yang naik via Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka) bakal melintasi Pos 9 Goa Walet. Sampai pos ini, kondisi pendaki biasanya sudah kelelahan. Medan berbatu menguji mental dan ketahanan fisik. Dalam beberapa situasi, ada saja pendaki yang menyerah. Memilih tak meneruskan ke puncak. Takluk oleh tanjakan Goa Walet.

Semakin tinggi, jalur memang bertambah terjal. Belum lagi rimbunnya pepohonan cantigi, membuat pendaki mesti tetap fokus menentukan langkah. Jangan sampai salah jalur karena bisa terperosok ke jurang.

Sebenarnya, jarak dari Goa Walet ke titik tertinggi Jawa Barat tinggal 280 meter. Tapi, ya, itu tadi. Lutut ketemu dagu ketika menaiki bebatuan besar dengan kemiringan 60–75 derajat. Kalau kalah mental, selesai. Puncak tak tergapai.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Jalur terjal berbatu dari Goa Walet menuju puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Dekat di Mata, Jauh di Kaki

Perjalanan summit attack (menuju puncak) dari transit camp (TC) terakhir di Pos 6 Pasanggrahan, saya melewati Pos 7 Sanghiyang Ropoh dan Pos 8 Simpang Apuy sebelum tiba di Goa Walet. Pos 7 adalah batas vegetasi. Pepohonan besar khas hutan hujan tropis dengan kanopi rapat, berganti tanaman perdu (rerumputan) serta bunga edelweis. 

Pemandangan selepas Sanghiyang Ropoh semakin terbuka. Kalau cerah, puncak terlihat jelas. Menambah semangat untuk segera sampai. Namun, jalur konstan menanjak. Medan tanah-berakar antara Pos 6 ke Pos 7, berubah bebatuan dan kerikil. Pendaki rentan merosot. Harus pandai memilih pijakan. 

Menuju Simpang Apuy, kita bakal tersadar, ternyata puncak begitu dekat di mata, jauh di kaki. Ya, begitulah kalau sudah berada di medan terbuka. Target perjalanan seolah sebentar lagi tergapai, tetapi nyatanya masih harus berjuang sekuat tenaga mewujudkan keinginan muncak.   

Kiri: Area Pos 8 Simpang Apuy. Ketika turun ke kiri rute Palutungan, ke kanan Apuy. Kanan: Rimbun habitat cantigi di sekitar Pos 9 Goa Walet, menambah tantangan tersendiri agar jangan salah jalur saat menuju puncak/Mochamad Rona Anggie

Dulu, Boleh Buka Tenda di Goa Walet

Pada pendakian 9 April 2025, saya naik Ciremai bareng Evan Hrazeel Langie (Ali). Saya mendampingi salah satu anak kembar saya itu, dalam upayanya menggapai puncak untuk keempat kalinya. Ali mau menyamai capaian saudara kembarnya, Rean Carstensz Langie (Zaid) dan adiknya, Muhammad, yang berhasil keempat kalinya menapaki atap Jawa Barat pada 6 Oktober 2024. Sementara pendakian perdana mereka ke Ciremai berlangsung 15–16 Agustus 2022. Waktu itu Muhammad kelas 1 SD, Zaid dan Ali kelas 6. Alhamdulillah, berhasil muncak dan turun dengan selamat.

Sebelumnya, saya terakhir mendaki Ciremai pada 31 Mei 2012, bersama sohib SMAN 3 Kota Cirebon yang kini berdomisili di Yogyakarta, Peri Surya Febianto, plus seorang rekan anggota Himapala STT Mandala Bandung, Yudi Marsahid. Ketika itu saya dan Peri sudah bekerja, sedangkan Yudi baru lulus kuliah di usia 27 tahun. Kami mendaki via Palutungan dan menyempatkan turun ke Goa Walet. Zaman itu gunung belum seramai sekarang. Hanya ada kami bertiga di Goa Walet. Pun saat tiba di puncak, tak ada pendaki lain.

Kiri: Jalan setapak di atas awan, mengarah ke Goa Walet sebelum berbelok turun. Kanan: Muhammad (7 tahun), scrambling mendekati pucuk Ciremai pada pendakian perdananya, 16 Agustus 2022/Mochamad Rona Anggie

Tahun 2002, saya pernah berkemah di depan Goa Walet. Gunung Ciremai belum berstatus taman nasional. Belum ada larangan buka tenda di sana. Kalau sekarang, dilarang camping di area Goa Walet. Menghindari potensi sampah dan bahaya kebakaran. Sebab, lazimnya saat memutuskan berkemah di tengah pendakian—terlebih di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl—pendaki akan membuat perapian untuk menghalau dingin dan binatang yang coba mendekat.

Saat berkemah di Goa Walet itu, saya mendaki bersama tiga orang teman via Apuy. Di Goa Walet sudah ada tim pendaki lain dari perkumpulan pencinta alam Curah Rimba yang berbasis di Pangandaran, Ciamis.

Saya ingat betul “hantu” dingin leluasa menggigit tubuh kami. Perlengkapan masih terbatas. Kami bawa tenda prisma yang biasa dipakai pramuka, bukan tenda dome. Tak punya kantung tidur, hanya pakai sarung. Kaus kakinya tipis. Dingin menyerbu masuk tenda. Saya bungkus kedua kaki pakai kresek dan diikat sebisanya. Tubuh menggelepar sepanjang malam, bertarung melawan dingin.   

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Rupa mulut Goa Walet dan vegetasi rimbun di sekitarnya pada 2022/Mochamad Rona Anggie

Memasuki Goa Walet bersama Ali

April lalu, saya dan Ali sampai di titik tertinggi Ciremai (3.078 mdpl) pukul 06.00 WIB. Cuaca cerah. Pemandangan tak tertutup kabut. Setengah jam menikmati suasana puncak sudah cukup buat kami. Sebotol susu cokelat dan sekerat roti, mengisi tenaga untuk kembali bergerak.

Perjalanan turun selalu ditempuh lebih cepat. Namun, tetap harus waspada, jangan terlena. Turunan curam mengadang. Melangkah perlahan saja, tak perlu buru-buru. Hindari banyak melompat. Khawatir persendian lutut cedera karena entakan berlebih.

Hari masih pagi. Langit biru menaungi. Begitu sampai Pos 9 Goa Walet, saya ajak Ali turun melihat langsung gua. Awalnya Ali menolak. Ia ingin cepat sampai tenda lagi di Pos 6, lalu berkemas pulang. Tapi saya yakinkan, waktu sangat memungkinkan. Tidak akan kesorean di jalan. Dan, kapan lagi bisa mampir Goa Walet? Akhirnya Ali mengikuti langkah saya menuju gua.

Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai
Beberapa pendaki terlihat memasuki Goa Walet saat kami tiba setelah turun dari puncak, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie

Dari jalur naik, mau ke Goa Walet belok kanan. Sementara yang turun dari puncak, ikuti setapak ke kiri. Jalannya terlihat jelas. Tidak tertutup semak. Usai setapak landai, jalur menurun hingga tiba di pelataran depan mulut gua. Kalau dihitung vertikal dari atas ke Goa Walet sekitar 50 meter. Adapun jaraknya kurang dari seratus meter. 

Pendaki lain ada yang turun juga ke Goa Walet. Mereka mau mengisi perbekalan air. Dulu, tahun 2002 saat saya masuk ke gua, banyak bekas botol air mineral menampung tetesan air dari stalaktit yang menggantung di langit-langit gua. Banyak air terisi dalam botol-botol itu. Para pendaki memanfaatkannya untuk keadaan darurat (kehabisan air saat perjalanan naik atau turun dari puncak). 

Tapi kemarin, botol-botol itu sudah tidak ada. Berganti sebuah gentong plastik berisi air, sementara di satu sudut gua ada cerukan tergenang air. Para pendaki mengambil air dari cerukan.

Kiri: Pendaki yang kehabisan air, memanfaatkan genangan air dalam gua untuk mengisi ulang botol minum mereka. Kanan: Bunga edelweis yang sedang mekar di area Pos 9 Goa Walet/Mochamad Rona Anggie

Sudah Dikunjungi sejak Hampir 100 Tahun Lalu

Mengutip akun Instagram resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) di @gunung_ciremai, penampakan Goa Walet dari atas seperti cekungan menyerupai kawah. Di dinding barat cekungan, terdapat lubang besar yang disebut Goa Walet, karena konon tempat bersarang burung walet.

Seorang peneliti Belanda, Van Gils mengungkapkan, Goa Walet merupakan kawah yang tercipta akibat erupsi gunung Ciremai kisaran 1917. Di sekitar Goa Walet tumbuh flora edelweis (Anaphalis javanica), cantigi (Vaccinium varingifolium), dan sengon gunung (Albizia montana). TNGC melarang pendaki camping di kawasan Goa Walet demi menjaga keasriannya.

Tangkapan layar Instagram TNGC yang membandingkan foto Goa Walet tahun 1929 dan 2022. Nyaris seabad silam, gua di bawah puncak Ciremai ini sudah dikunjungi manusia

Selepas menziarahi Goa Walet, saya dan Ali melanjutkan perjalanan turun gunung. Kami tiba di Pos 6 pukul 09.00, rehat sejenak lalu melipat tenda. Target kami zuhur sampai Pos 1 Cigowong dan lanjut berjalan menuju titik finis basecamp Cadas Poleng, Palutungan, pukul 13.45. Kami kembali ke rumah di Cirebon pukul lima sore. 

Pendakian yang menyenangkan. Semoga Gunung Ciremai senantiasa lestari.


Foto sampul:
Perlu keberanian menziarahi Goa Walet. Tampak pendaki keluar dari mulut gua yang berada di bawah jalur pendakian Apuy dan Palutungan, 10 April 2025/Mochamad Rona Anggie


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menziarahi Goa Walet di Gunung Ciremai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menziarahi-goa-walet-di-gunung-ciremai/feed/ 0 47351
Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami https://telusuri.id/berenang-di-kiara-danu-majalengka-menikmati-sumber-air-alami/ https://telusuri.id/berenang-di-kiara-danu-majalengka-menikmati-sumber-air-alami/#respond Tue, 03 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47300 Bisa jalan bareng sahabat masa kecil merupakan kebahagiaan. Ini yang saya lakoni bersama Rafdiansyah (39) dan Muhammad Romadhoni Yudistira (40) ketika mengunjungi objek wisata Curug Kiara Danu di Majalengka, Sabtu (19/4/25). Sebenarnya kami mengajak seorang...

The post Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami appeared first on TelusuRI.

]]>
Bisa jalan bareng sahabat masa kecil merupakan kebahagiaan. Ini yang saya lakoni bersama Rafdiansyah (39) dan Muhammad Romadhoni Yudistira (40) ketika mengunjungi objek wisata Curug Kiara Danu di Majalengka, Sabtu (19/4/25).

Sebenarnya kami mengajak seorang teman lagi, hanya saja berhalangan karena dia harus bekerja. Di masa sudah berkeluarga sekarang, agenda kumpul-kumpul memang tidak semudah saat masih bujang dulu. Ada prioritas yang tak bisa ditinggalkan. Jadi, ketika akhirnya kami bertiga bisa pergi bersama, patut disyukuri sebagai anugerah bagi kaum bapak.   

Rute menuju Curug Kiara Danu melewati jalur utama Cirebon–Majalengka. Perjalanan ditempuh sekitar 45 menit menggunakan mobil. Gapura Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Sindangwangi, menjadi penanda memasuki kawasan wisata alam di sana.

Sebelum ke tujuan utama, Rafdi mengajak kami ke hutan pinus Telaga Pancar. Di bumi perkemahan ini saya pernah camping bareng santri pondok tahun 2019. Kami sempatkan bersantai di sekitar Telaga Pancar. Letaknya di tengah kelebatan hutan pinus. Sungai berbatu dengan air mengalir deras ada di sisi telaga. Di seberangnya bukit hutan pinus menaungi. Saya mendaki bukit ini bersama para santri hingga ke puncak, lalu turun lintas jalur ke balik bukit. Petualangan seru!   

Pemandian air alami ada di sisi sungai dan persawahan. Tampak Rafdi dan Doni berbincang di sudut kolam (foto kiri, sudut kanan bawah)/Mochamad Rona Anggie

Pilih Kolam Dekat Sungai

Curug Kiara Danu ada di bawah Telaga Pancar. Area kolam renang tersusun berundak, menyesuaikan terasering sawah di sekitarnya. Banyak komentar menyebutkan Curug Kiara Danu mirip pemandian resor-resor di Ubud, Bali. Saya menilainya juga demikian. Kehadiran pepohonan dan sungai yang mengalir di pinggir kolam renang jadi daya tarik natural. Belum lagi warna biru dasar kolam amat menggoda. 

Azan Zuhur sayup terdengar ketika kami melangkah dari parkiran ke loket tiket. Rafdi sigap mengeluarkan ponsel lantas memindai kode batang yang tertempel guna melakukan pembayaran digital. Harga karcis masuk untuk dewasa Rp15.000, anak-anak Rp10.000.

Kami melewati petugas jaga menuju anak tangga yang mengarah turun. Siang itu tidak banyak pengunjung. Kami mengincar kolam renang paling bawah dekat sungai. Gazebo di atas kolam jadi tempat bersantai menikmati bekal. Saya bawa suun dikecap dan kerupuk melarat dengan sambal kacang.

Pohon kelapa tegak di hadapan, memisahkan saung dan kolam. Obrolan kami melompat ke sana kemari. Cerita silih berganti membuka memori tentang kenangan tempo dulu. “Yang lain main bola, kita belajar merokok,” kata Doni ke Rafdi, mengungkap satu kenakalan ketika masih remaja. “Kita juga hampir dihajar orang, gegara nakutin pengguna jalan pakai kemoceng, biar disangka landak,” timpal Rafdi menoleh ke saya. Kami terpingkal-pingkal ingat keusilan itu.

Ada Lima Kolam Renang    

Air kolam nan bening dengan dasar biru memikat seolah melambai, meminta diselami. Setelah putaran suun dan kerupuk melarat sekian kali, kami bergegas ke musala untuk salat lantas berganti pakaian renang.

Tanpa banyak kata, byur! dua kawan langsung berbasah-basahan. Sementara saya mengumpulkan dokumentasi foto untuk bahan tulisan ini. Saya berkeliling tiap sudut. Keseluruhan area dilapisi batu alam. Pepohonan rindang mengitari. Angin sepoi kerap menyapa. Terasa sejuk dan menenangkan jiwa. Rasa-rasanya kalau sekali datang ke sini, dijamin ingin balik lagi.  

Saya hitung ada lima kolam renang. Kolam untuk anak ada tiga. Tersebar di dekat sungai dan lainnya agak di atas bersisian dengan air terjun (curug) buatan. Kalau kolam dewasa: satu sebelah sungai, satu lagi berukuran paling luas menawarkan panorama persawahan. Ada wahana mini waterboom, dua perosotan, ember tumpah, dan mandi busa di kolam terbesar. Kedalaman bervariasi mulai antara 50–120 cm.

Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami
Kolam renang Kiara Danu ada di kaki bukit hutan pinus/Mochamad Rona Anggie

Air Terjun Sedap Dipandang

Dari kolam terluas, saya menaiki tangga melewati beberapa saung dan tiga kolam terapi ikan. Tampak pengunjung mencelupkan kaki ke dasar kolam, menikmati layanan gigit gratis dari ratusan ikan kecil. Kedalamannya sebetis orang dewasa. Gigitan ikan secara bersamaan ke kaki, serasa kita sedang dicubit-cubit. Lantas muncul getaran menggelikan di area kulit yang dikerubuti ikan-ikan itu. 

Titik tertinggi menjadi lokasi air terjun berada. Letaknya di bawah pintu masuk ketika pertama kali datang. Seperti saya jelaskan di awal, kolam renang Curug Kiara Danu didesain berundak ke bawah. Air terjun dibuat bertingkat dengan aliran air cukup deras dan sedap dipandang. Banyak wisatawan berswafoto atau mengabadikan momen bareng keluarga dengan latar “curug” yang bergemuruh. 

  • Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami
  • Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami

Ngobrolin Kesehatan

Setelah dirasa cukup, saya pun bergabung dengan kedua rekan. Menjajal kesegaran air kolam dan terus berkecipak menggerakkan kedua kaki serta tangan, dari ujung ke ujung kolam.

Rafdi dan Doni berbincang di tepi kolam. Saya puaskan berenang. Melatih otot pernapasan, meningkatkan kualitas paru-paru sekaligus memastikan kebugaran raga. Buat kami yang sudah usia 40 tahun, obrolan tentang kesehatan rupanya menjadi topik penting. Rafdi mengungkapkan sekarang dirinya tak mau olahraga terlalu lelah. “Kondisi (tubuh) beda. Cukup (renang) empat balikan saja,” kata karyawan bank itu.

Termasuk ketika turun gunung, lanjut dia, pemulihan berlangsung agak lama. “Capeknya kayak enggak hilang-hilang,” ujar sahabat pendaki yang kini bergantung kepada tukang angkut (porter) jika bertualang ke gunung.

Sementara Doni mengeluh kelebihan berat badan (overweight), dan baru aktif lagi joging setelah salah satu kawan wafat kena serangan jantung. “Kumpul sambil berenang gini bagus. Sekalian ada teman olahraga,” ucap pemilik usaha khitan itu. 

Kiranya hanya saya yang tidak bakat gendut, dan masih memanggul carrier “kulkas” ke gunung. Bahkan sejak 2022, saya berperan sebagai pelatih merangkap porter buat tiga anak lanang. Alhamdulillah, saya bersyukur atas nikmat sehat dan waktu lapang yang diberikan-Nya.

  • Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami
  • Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami

Luas Lima Hektare, Dirintis sejak 2019 

Hal menarik lainnya di Kiara Danu adalah pengunjung tak hanya bisa mandi di kolam renang, tapi juga main air di sungai berbatu. Air sungai mengalir deras dengan kedalaman selutut, membuat siapa saja betah basah-basahan di situ. Buat orang kota, jelas ini pengalaman luar biasa. Merasakan sensasi mandi di sungai dengan naungan pepohonan dan pemandangan sawah menghijau.

Di akhir kunjungan, saya dan rekan sempat bertemu Danu Saki Wijaya, pemilik Curug Kiara Danu. Lelaki ramah itu melepas kepulangan kami. Kebetulan Pak Danu dan mertua lelaki Rafdi pernah satu masa menjabat sebagai kuwu (kepala desa).

Sepekan kemudian saya mewawancarai Pak Danu via sambungan telepon. Salah seorang wali santri merupakan warga Desa Lengkong Kulon, tempat Pak Danu menjabat kuwu sejak 1997 selama dua periode, lantas terpilih lagi pada 2015-2021. “Begitu purnatugas saya fokus mengembangkan wisata,” kata lelaki 66 tahun itu.

Pak Danu merintis Curug Kiara Danu sejak 2019 di atas lahan lima hektare. Dia ingin mengoptimalkan potensi alam desanya. Apalagi di lahan miliknya ada sumber mata air yang terus memancar. “Saya manfaatkan air alami itu untuk membuat pemandian, kan segar berenang dengan air dari sumber mata air,” tuturnya bangga.

Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami
Curug Kiara Danu merupakan salah satu destinasi wisata unggulan Majalengka/Mochamad Rona Anggie

Pembangunan Curug Kiara Danu sempat terhambat pandemi COVID-19, dan baru tahun 2022 resmi beroperasi. Masyarakat antusias merespons. Terbukti, kata Pak Danu, tingkat kunjungan terus melonjak. Terlebih di momen libur Lebaran, pelancong mencapai 3.000–3.500 per hari. Sedangkan di hari libur biasa (weekend), terdata 1.500 pengunjung. “Catatan Disparbud Majalengka, kami nomor satu tingkat kunjungan saat libur Idulfitri lalu,” ucapnya senang.

Selain didatangi wisatawan domestik, Curug Kiara Danu sering pula jadi tempat acara reuni dan syukuran ulang tahun. Jumlah pengunjung dipastikan berlipat bila momen itu ada di akhir pekan. Sejauh ini daya tampung area rekreasi dan tempat parkir memadai. Petugas juga siaga di pinggiran kolam, mengantisipasi hal tak diinginkan. 

Pak Danu merangkul pula warga setempat dalam pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Di area Curug Kiara Danu terdapat gerai makan-minum aneka macam. “Saya ingin warga desa juga mendapatkan berkah dan manfaatnya. Pemberdayaan UMKM lokal jangan dilupakan,” pungkas ayah tiga anak dan kakek lima cucu itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berenang di Kiara Danu Majalengka, Menikmati Sumber Air Alami appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berenang-di-kiara-danu-majalengka-menikmati-sumber-air-alami/feed/ 0 47300
Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa https://telusuri.id/mengunjungi-pasar-ayam-plered-sedih-melihat-anakan-elang-jawa/ https://telusuri.id/mengunjungi-pasar-ayam-plered-sedih-melihat-anakan-elang-jawa/#comments Mon, 26 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47182 Persimpangan lampu merah itu salah satu titik paling ramai di wilayah barat Kabupaten Cirebon. Menghubungkan tujuan wisatawan ke pasar tradisional, pasar hewan, pusat batik Trusmi, dan kuliner khas empal gentong. Pasar hewan yang dimaksud adalah...

The post Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Persimpangan lampu merah itu salah satu titik paling ramai di wilayah barat Kabupaten Cirebon. Menghubungkan tujuan wisatawan ke pasar tradisional, pasar hewan, pusat batik Trusmi, dan kuliner khas empal gentong.

Pasar hewan yang dimaksud adalah sentra jual beli unggas terbesar di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Populer dengan sebutan Pasar Ayam Plered, karena dekat perempatan Plered. Jaraknya sekitar 50 meter ke arah selatan.

Pasar Ayam Plered padat pengunjung pada momen pasaran setiap hari Minggu. Beberapa kali saya ke sana, kerap menemukan binatang langka dijual. Pasaran mengundang banyak pedagang dari seputaran Jawa Barat. Aneka satwa ditawarkan, terutama burung hias. Keindahan suara dan tampilan mereka begitu memesona.     

Setelah memarkir kendaraan di halaman Masjid Al-Mustaqim, Minggu (18/5/2025), saya melangkah ke gang menuju Pasar Ayam. Pagi itu sudah ramai pengunjung. Ada yang cari sarapan, memilih pakan, melihat sangkar, hingga membeli anak ayam dan bebek demi menyenangkan buah hati.

Pitik warna-warni itu memang menggemaskan. Orang tua menyerahkan uang Rp10.000 untuk tiga ekor anakan ayam. Jika dipelihara dengan baik, pitik-pitik itu akan tumbuh menjadi ayam pedaging siap konsumsi. 

Unggas mungil lainnya yang menarik perhatian bocah adalah anakan bebek dan ayam petelur berbulu alami. Masing-masing per ekor dijual Rp10.000. “Dua bulan sudah menghasilkan telur,” kata si pedagang. Keunikan ayam petelur adalah bisa bertelur tanpa harus dikawini pejantan.

Pedagang melayani pembeli yang sedang memilih anak ayam dan bebek/Mochamad Rona Anggie

Aneka Burung di Tengah Lapangan   

Melewati Kantor Desa Weru Kidul, saya menembus kerumunan ke arah lapangan. Di situlah pusat pasaran. Para pedagang burung kicau berkumpul. Ada yang menjajakan langsung di atas rumput lapangan. Ada yang membangun tenda semipermanen, lengkap dengan tiang untuk menggantung sangkar.

Saya mendekati penjual burung kenari. Penasaran mau tahu harganya. Burung bertubuh kecil itu punya warna mencolok. Siapa saja yang melihatnya akan tertarik. Suaranya berisik kalau sudah rajin bunyi. Istilah kalangan kicau mania: gacor

Buat anak-anak, burung kenari kuning pasti familiar. Serial kartun di televisi menjadikannya karakter Tweety yang imut. Di sana kenari kuning (jantan) dijual Rp250.000, sedangkan betinanya Rp100.000. Ada pilihan warna oranye dan cokelat. 

Pedagang burung puter terlihat pula menanti pembeli. Dua ekor puter putih dalam kandang menarik perhatian, karena biasanya berwarna abu-abu. “Ini puter albino,” kata penjual lalu menyebut harga Rp120.000 sepasang. “Kalau yang ini puter pelung. Bunyinya kaya orang ketawa, bisa mirip suara kuntilanak,” tambahnya berusaha meyakinkan. 

Saya mengangguk-angguk lantas perlahan menjauh, ketika penjual menirukan bunyi puter pelung versi kuntilanak. “Kur tekukur kur kur…” Ngeri juga kalau suaranya mirip makhluk gaib, batin saya. Persis backsound di film horor saat hantu perempuan berambut panjang itu mau nongol.

Lanjut keliling, saya menyaksikan burung hias lainnya menggoda dompet. Ada si cantik parkit, love bird nan lucu, ciblek yang aktif, anakan kutilang minta disuapi, murai yang anggun, si gacor titimplik, beo sang orator, wambi yang berwibawa, poksay, kolibri ninja nan lincah, si “pedangdut” cucak ijo sampai burung hantu celepuk dan Tyto alba.  

Riuh kicau mereka. Sengatan mentari pukul 10.00, tak menghalangi pencinta manuk menilik satu per satu sangkar. Barangkali ada yang sesuai keinginan guna menambah koleksi di cantelan langit-langit rumah.  

  • Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
  • Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
  • Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa

Kaget, Ada Anakan Nisaetus bartelsi

Setiap ke Pasar Ayam saya sempatkan mampir ke sebuah lapak, terpisah dari keramaian. Jalan setapaknya becek. Letaknya di belakang kios permanen. Tidak banyak pengunjung ke situ. Padahal koleksi hewan yang dijajakan membuat tercengang.

Pernah saya dapati ular sanca kuning dan reptil lainnya. Termasuk beberapa kadal hias, semisal leopard gecko. Burung predator seperti alap-alap, kestrel, dan aneka owl juga ada. Tidak ketinggalan tupai dan musang. 

Nah, kemarin itu saya kaget ketika melihat anakan burung dengan bulu halus berwarna putih—menandakan belum lama menetas—tertelungkup di dalam sebuah kotak kecil. “Anakan elang?” tanya saya.

“Iya, elang gunung,” jawab si penjual bernama Yayat.

“Dapat dari mana?”

“Hutan di Kuningan,” sahutnya dengan logat Sunda.

Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
Malang, anakan Elang Jawa dijual bebas/Mochamad Rona Anggie

Saya pastikan itu anakan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Paruhnya khas burung pemburu dengan mata hitam. Kelahiran anak burung spesies endemik Pulau Jawa itu kerap disambut sukacita oleh taman nasional yang kawasan hutannya menjadi habitat hewan dilindungi tersebut. Misalnya, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). 

Kalau melihat bayi elang jawa difoto sedang berada dalam sarang di pucuk pohon, sungguh membahagiakan. Siapa pun pasti ikut gembira. Tapi ini, di depan saya, anakan elang jawa ada di pasar hewan dalam sebuah kardus. Menyedihkan! 

“Susah dapatnya di pohon yang tinggi,” terang Yayat.

“Usia berapa ini, sebulan?”

“Belum. Paling sepuluh hari.”

“Dijual berapa?” 

“Lima ratus ribu.”

Murah sekali untuk seekor burung yang populasinya terbatas. Saya kemudian iseng menawar, “250 ribu, ya?” Tentu saja dengan niatan untuk dilepasliarkan lagi.

Yayat tersenyum, “Tadi ada yang berani 350 (ribu), enggak saya kasih. Paling 450 ribu,” ucapnya.

Saya elus tubuh si bayi Nisaetus bartelsi. Dia merespons dengan coba (belajar) berdiri. Kakinya sebesar kaki ayam broiler. Bila dewasa nanti, kuku tajamnya berfungsi mencengkeram mangsa. Ya, kalau dia kembali ke alam bebas. Namun, jika dipelihara manusia, insting berburunya akan berkurang. Sekadar menjadi “garuda” rumahan. Sangat disayangkan.

Siapa mau pelihara anakan tupai (kiri) dan iguana?/Mochamad Rona Anggie

Ekonomi Lesu, Pedagang Terdampak

Di jalan beraspal pinggir lapangan, berderet kios menyediakan perlengkapan hewan kesayangan. Termasuk pakan khusus, semisal ulat hongkong dan telur semut (kroto).

Salah satu pemilik kios, Fajarudin (25), baru selesai melayani pembeli. Dia pindahkan seekor burung dari sangkar ke dalam kantung kertas berlubang, lantas menerima beberapa lembar uang. “Kalau Minggu saya bantu bapak, karena pasaran ramai,” ujarnya.

Kios Fajarudin menawarkan berbagai jenis ayam, burung puyuh, cendet, celepuk, anis, jalak, dan bondol. Sang ayah, Darsono (65), sibuk menyiapkan pesanan pakan. Tapi rupanya, pengunjung yang membeludak tak selaras dengan pemasukan. “Sekarang ekonomi lesu, terasa ke pedagang burung. Penghobi tidak seroyal dulu,” cerocos Fajarudin.

Keluarganya, kata dia, sudah berjualan di Pasar Ayam sejak 18 tahun lalu. Omzet berlipat terasa pada 10 tahun pertama, selanjutnya fluktuatif. “Daya beli masyarakat semakin menurun pasca-Covid,” keluhnya.

Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
Burung hantu (owl) celepuk di kios Fajarudin/Mochamad Rona Anggie

Terbantu Penjualan Daring

Perkembangan teknologi digital merangsek ke semua lini kehidupan, tak terkecuali pelaku bisnis burung hias di Pasar Ayam Plered. Bila Fajarudin merasakan pendapatan anjlok dari pembeli offline (luring), lain hal dengan Taufik Hidayat yang coba beradaptasi lewat pasar online (daring).

Taufik mengakui, saat ini raihan penjualan via online lebih menjanjikan. Konsumen tidak lagi terbatas pada mereka yang mengunjungi kiosnya, tetapi juga menjangkau pembeli dari luar kota yang tak perlu tatap muka. “Zaman berubah, kini pelanggan bisa pesan dari jauh. Tinggal kita kirim,” tuturnya semringah.

Pemuda 26 tahun itu pernah mengirim orderan burung ke Bali, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurutnya, kalau tidak aktif berjualan daring, sehari hanya mampu menjual lima ekor burung kepada pembeli yang datang langsung. “Pas pasaran bisa sampai 15 ekor, dengan harga variatif,” katanya.

Anak keempat dari delapan bersaudara itu merupakan generasi kedua pebisnis burung hias. Dia mengklaim momen pasaran merupakan temu muka pedagang dan pencinta burung terbesar se-Jawa Barat. “Kalau pasar burung di tiap daerah ada. Tapi pasaran yang paling meriah, ya, di Cirebon,” ucapnya.

Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
Calon pembeli antusias memilih burung ‘bahan’ dan ‘masteran’/Mochamad Rona Anggie

Burung kicau di Pasar Ayam Plered, terang dia, didominasi pilihan burung “bahan”, sebutan bagi burung siap latih. Burung “bahan” biasa dibanderol di bawah satu juta. Sementara burung “masteran”, istilah untuk burung gacor yang siap kontes, ditawarkan mulai satu juta ke atas.

“Ini saya punya cucak cungkok pelapis, dijual dua juta,” kata Taufik sambil menunjuk seekor burung kecil dengan kombinasi warna hijau, biru dan kuning. “Burung pelapis itu gurunya, yang memberi contoh bunyi,” jelasnya. 

Selain melayani pembelian eceran, sambung Taufik, kios burungnya yang sudah beroperasi selama dua dekade juga membuka partai besar (bakulan) untuk pedagang burung sekitar Cirebon.

Taufik sendiri mendapat kiriman burung dari Sumatra. Dia punya langganan terpercaya yang biasa memenuhi kebutuhan kiosnya. Burung premium seperti murai, cucak ijo, dan kolibri ninja, banyak dikirim dari pulau seberang. 

Apakah pernah libur berjualan? Taufik menegaskan tak pernah. “Ini bisnis makhluk bernyawa. Tiap hari harus memberi makan-minum, jadi enggak bisa libur,” pungkasnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-pasar-ayam-plered-sedih-melihat-anakan-elang-jawa/feed/ 5 47182
Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/#comments Thu, 15 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47035 Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024.  “Enggak ikut dulu,”...

The post Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024. 

“Enggak ikut dulu,” kata Rean Carstensz Langie, kembaran Ali. “Kalau ke gunung lain mau,” tambah Muhammad, adik mereka.

Rean dan Muhammad sudah empat kali ke Ciremai. Ali ingin menyamai capaian saudaranya. Saya senang bisa terus mendampingi anak-anak ke gunung. Selain menjaga kebugaran tubuh di usia 40 tahun, juga memotivasi buah hati untuk senantiasa mencintai alam ciptaan Tuhan.   

Jalur Palutungan kembali jadi pilihan kami pada pendakian Rabu–Kamis, 9–10 April 2025. Pagi itu, selesai berkemas, kabar duka datang. Ichsan Mulyadi (40), rekan pendakian saat zaman sekolah dulu, wafat. Ia  tinggal satu gang dengan rumah orang tua saya di kompleks Kalijaga Permai. Saya dan Ichsan sahabat masa kecil, dan masih berhubungan baik hingga kami berkeluarga. 

Karena sudah mau berangkat, saya hanya titip salam untuk orang tua Ichsan. Ibu saya menyampaikannya saat takziah ke rumah duka. Saya dan Ali bergegas menunggang motor ke Kabupaten Kuningan. Kami membawa sebuah carrier, daypack, dan tenda. Saya foto perlengkapan, mengunggahnya di status WA: Saya dedikasikan pendakian ini untuk mengenang Ichsan Mulyadi. Semoga Allah merahmatinya.

Di perjalanan, saya tak kuasa menahan sedih. Mata berkaca-kaca. Teringat Ichsan yang meninggal tiba-tiba pagi itu. Terkenang kami dulu berangkat bareng mendaki Ciremai. Saya mendoakan yang terbaik untuk sahabat saya itu. Semoga istri dan kedua anaknya diberi ketabahan.

Berharap Sepi Pendaki di Hari Biasa

Sampai basecamp Cadas Poleng, Palutungan pukul 09.30, kami segera mengurus registrasi. Tak lupa menjalani prosedur cek kesehatan. Cuaca cerah dan beberapa pendaki terlihat pula.

“Ramai yang naik?” tanya saya ke petugas medis. “Tadi ada 14 orang,” jawabnya.

Bila melihat kecenderungan pendaki saat akhir pekan di jalur Palutungan mencapai 200–300 orang, angka di hari biasa ini bisa dikategorikan longgar. Ya, baguslah, batin saya, yang memang lebih senang menikmati pendakian ketika sepi pengunjung.

Pukul 09.45, saya dan Ali mulai melangkah. Target kami dua jam ke depan adalah Pos 1 Cigowong. Di sana kami akan istirahat dan mengisi penuh perbekalan air. Kalau sudah masuk waktu salat, biasanya sekalian santap siang dan menunaikan ibadah di musala Siti Khodijah di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Trek menanjak perlahan. Tanjakan Beunta menjadi “salam perkenalan” bagi para pendaki yang mulai menjamah tubuh Ciremai. Kurang dari seratus meter, tanjakan dengan dua belokan ini dijamin membuat jantung berdegup kencang. Ujungnya adalah percabangan ke area camping Ipukan. 

Kami terus melangkah, memasuki kawasan hutan pinus. Melewati deretan Pinus merkusii yang menjulang, sementara bagian bawah batangnya “tersakiti”; disadap untuk mengeluarkan getah bernilai ekonomis. Rombongan muda-mudi hendak hiking ke Cigowong, menyemarakkan suasana. Kami berjalan ngebut dan melewatinya.

Selepas hutan pinus, vegetasi berganti. Pepohonan khas belantara hujan tropis mulai menaungi. Ada pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii). 

Sinar mentari sedari awal tak menyengat. Tutupan hutan semakin rapat, ketika kami menuruni sungai kering. Jalur lalu menanjak kembali, pindah punggungan. Ketinggian bertambah, kami sempatkan rehat di tanah datar. Merebahkan carrier, meluruskan kaki, dan meneguk teh manis hangat bekal dari rumah. 

Keringat bercucuran. Saya berdiri seraya memandangi sekeliling. Berada di tengah kelebatan rimba, sungguh menenangkan jiwa. Paru-paru menghirup oksigen dari alam sepuasnya. Aliran darah terasa lancar. Pikiran lapang. Nikmat sehat patut disyukuri sebaik-baiknya. 

  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang

Cigowong yang Lengang

Normalnya waktu tempuh dari basecamp ke Cigowong adalah 2,5 jam untuk jarak 3,4 kilometer. Pendaki yang menyandang carrier, kalau jalan lebih cepat bisa dua jam saja. Jika tidak membawa beban, Cigowong dapat dicapai dalam 60 menit. Nah, kalau naik ojek yang dikelola warga lokal, 20 menit sampai.

Mendekati Cigowong, pinus-pinus nan jangkung kembali menyambut. Padahal dominasinya sempat terhenti mendekati lembahan sungai kering. Rupanya, mengutip akun resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, sekeliling lahan di kaki Gunung Ciremai sejak 1978–2003 memang dijadikan hutan produksi pinus yang dikelola Perhutani.

Memasuki 2004, Gunung Ciremai beralih status menjadi taman nasional. Melahirkan kebijakan penghentian kegiatan produksi hutan, seperti penebangan dan penyadapan getah pinus. Taman nasional fokus kepada konservasi sumber daya alam dan ekosistem, bukan eksploitasi hasil hutan. Nah, yang saya tidak mengerti, mengapa sampai sekarang penyadapan getah pinus masih berlangsung?

Saya coba tidak larut dalam hal yang mengherankan itu. Pendakian berlanjut. Ali setia mendampingi ayahnya. Bila jalur melebar, ia ada di sebelah saya. Namun, jika setapak menyempit, saya biarkan Ali di depan. Kami saling memberi semangat, di tengah napas yang memburu. 

Keringat membasahi tubuh. Otot paha dan betis mengencang. Setelah menggenjot langkah demi langkah, gerbang Cigowong tampak di depan sana. Ayunan kaki kami percepat, jantung memompa darah lebih kencang, demi memasuki Pos 1 Cigowong dengan carrier tegak. Alhamdulillah.

Siang itu saya perkirakan ada 10 orang di Cigowong. Terpencar di beberapa titik. Ada yang di sebelah warung, dekat mata air, dan di selter permanen. Sepertinya mereka sudah lama istirahat dan segera meneruskan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 11.15, sedangkan zuhur masih 45 menit lagi. Saya putuskan rehat sejenak saja. Beres mengisi perbekalan air, kami lanjut mendaki.

“Kita makan siang di Pos 3, ya? Gimana kondisi, oke kan?”

Ali mengangguk mantap.      

Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
Pos 3 Paguyangan Badak, tempat istirahat santap siang/Mochamad Rona Anggie

Target Buka Tenda di Pos 6

Jalur kemudian menurun, melintasi sungai kecil berair jernih. Pepohonan besar dengan akar-akar yang menyembul ke permukaan tanah, jadi tantangan pendakian menuju Pos 2 Kuta. Hanya perlu 20 menit untuk sampai ke sini. Plangnya ada di tengah jalur. 

Kami terus berjalan menambah ketinggian. Menembus kelebatan hutan Ciremai, hingga Pos 3 terlihat pukul 12.30. Beberapa pendaki sedang santai pula. Kami makan siang lalu menjamak qashar salat Zuhur dan Asar, masing-masing dua rakaat salam. Setelah istirahat dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Rekan pendaki lainnya menyapa, mendahului kami. 

Siang itu cuaca bersahabat. Tidak berkabut. Saya dan Ali berencana buka tenda di Pos 6 Pasanggrahan. Saya cerita ke Ali, pada pendakian Oktober 2024 bareng Rean dan Muhammad, berkemah di Pos 5 Tanjakan Asoy karena gerimis turun. Semoga perjalanan kali ini bisa terus ke Pos 6 sesuai target.

Kami berjalan dengan ritme konstan. Tidak ngebut, tapi juga tidak lambat. Menapaki medan terjal antara Pos 4 dan Pos 6 memerlukan strategi tersendiri. Tenaga jangan diforsir. Selalu saya sempatkan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sesekali carrier diturunkan, lantas duduk selonjor sekitar satu menit. Setelahnya berjalan lagi. Pantang menyerah, walau lelah mendera.

Pukul 16.00, kami sampai di Pos 6 Pasanggrahan (2.450 mdpl). Ada tiga kelompok yang sudah menggelar tenda. Sementara yang mendaki bersamaan dengan kami sejak Pos 3, ada empat tim. Syukurlah, relatif tidak ramai. Saya pilih buka tenda di belakang rumah kayu yang berfungsi sebagai selter darurat.   

Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
Tenda kami di belakang selter Pos 6/Mochamad Rona Anggie

Semburat Fajar di Puncak

Pukul 03.00, saya bangunkan Ali untuk persiapan menuju puncak. Kami “sahur” dengan sup bakso dan telur rebus, juga minum sereal hangat sebagai penunjang tenaga. Estimasi waktu menuju puncak sekitar 2,5 jam. Di atas kertas memang sudah dekat, tapi jalur pendakian tak semudah yang dibayangkan. 

Kami keluar tenda pukul 03.30 dengan kondisi sehat. Senter di kepala, jaket tebal, sarung tangan, dan bandana penutup telinga menjadi perlengkapan wajib ketika muncak. Ali memakai kupluk berpelindung wajah. “Semoga tak ada angin,” kata saya dan kami mulai melangkah.

Pos 7 Sanghyang Ropoh lanjut ke Pos 8 Simpang Apuy, cuaca sesuai harapan. Bahkan di persimpangan jalur Apuy (Majalengka) dan Palutungan (Kuningan), cahaya kuning-kemerahan tampak berkilau. Pertanda mentari siap menyinari bumi. Pendaki dari Apuy mengalir deras. Kami sama-sama menuju Pos 9 Goa Walet.

  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang

Medan bebatuan dan rapatnya cantigi (Vaccinium varingaefolium), menguji fokus dan daya tahan pendaki. Jangan sampai salah jalur, ikuti marka yang terpasang. Jarak Goa Walet ke puncak “hanya” 200 meter atau sekitar setengah jam. Tapi dijamin, pendaki nonatlet bakal beberapa kali rehat. Termasuk saya dan Ali. Ah, santai asal selamat, batin saya. Toh, cuaca bagus dan capaian waktu tempuh cukup baik

Akhirnya pukul 06.00, kami sampai di pelataran puncak yang biasa dipakai upacara bendera 17 Agustus. Angin berembus, tapi tidak kencang. Beda ketika muncak 6 Oktober 2024, angin menderu dan pemandangan tertutup kabut. Alhamdulillah, kemarin itu sisa fajar menyingsing masih tampak jelas. Gunung Slamet di sebelah timur menghiasi cakrawala.

Tulisan untuk mengenang sahabat saya di puncak Ciremai (kiri) dan pusara Ichsan Mulyadi saat ziarah sepulang dari Ciremai (11/4/2025)/Mochamad Rona Anggie

Tugu penanda atap Jawa Barat (3.078 mdpl) terlihat dikerumuni pendaki. Mereka berlomba mengabadikan momen dengan latar lautan awan. Saya dokumentasikan selembar kertas dengan coretan in memoriam Ichsan Mulyadi, seperti di awal tulisan.

Engkau sudah mendahului kami, sahabat. Kami panjatkan doa untuk kebaikanmu di alam sana. Semoga suatu saat nanti, anak-anak kita bisa mendaki bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/feed/ 4 47035
Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/ https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/#respond Thu, 24 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46762 Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal. Banyak kenek bus...

The post Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal.

Banyak kenek bus jurusan Jawa Timur menghampiri begitu melangkah masuk terminal. “Trans Jateng,” kata saya, membuat mereka lekas menjauh. “Masih terus ke dalam,” ucap salah satu kenek bus tujuan Surabaya. 

Guna memastikan, saat melihat petugas berseragam dinas perhubungan (Dishub), saya tak ragu bertanya. “Nanti mentok, melipir ke kanan. Ada ruang tunggu di situ,” ujarnya. 

Saya mempercepat langkah, bus berwarna merah melintas dan berhenti. Penumpang dari ruang tunggu antre naik. “Bus ke Sumber Lawang?” tanya saya dari jendela pintu depan bus. “Bukan, tunggu saja nanti datang,” jawab sopir.

Naik Trans Jateng ke Sragen

Saya bertanya langsung pada pengemudi bus, sebagaimana saran Ali—panggilan Evan Hrazeel Langie, anak sulung yang ingin saya kunjungi di salah satu pesantren di Sragen. Ali lebih dulu menjajal Trans Jateng saat berangkat dari Cirebon menuju pondoknya kembali, usai liburan lalu. “Trans Jateng ada yang ke Wonogiri dan Sragen. Abi pastikan dulu, jangan keliru naik,” kata pelajar kelas 3 Mutawasith (SMP) itu via telepon.

Saya pun duduk di ruangan luas berdinding kaca. Baru pukul 08.40. Dua petugas hilir mudik, menanyakan tujuan tiap penumpang. Petugas memberitahu bus yang akan saya naiki, sama dengan rombongan ibu paruh baya berkerudung. “Nanti naik bareng mereka,” jelasnya.

Pukul 08.50, bus yang dinantikan datang. Ibu-ibu bersiap, berkerumun depan pintu ruangan. Begitu pintu bus terbuka, serentak mereka masuk. Saya sempat khawatir tak kebagian tempat duduk, tapi dapat juga di sisi kiri belakang sopir. Posisi duduk penumpang Trans Jateng berhadapan dengan jarak yang cukup. Tidak sempit. Aturannya, penumpang lelaki di bagian depan, yang perempuan mulai tengah hingga kursi paling belakang. Ada tanda pembatasnya.

Tak perlu menunggu penumpang penuh, sopir mengarahkan kendaraan keluar terminal. Melewati jalan di bawah jalan layang tol dalam kota. Termasuk melintasi bawah jembatan rel layang berpagar raksasa warna merah mencolok. Saya berpikir, kenapa Solo identik dengan warna perlambang berani? Baru sadar; mungkin saja karena basis partai politik berbendera merah ada di kota ini. 

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Tiket Trans Jateng Solo-Sragen PP/Mochamad Rona Anggie

Kondektur perempuan membuyarkan lamunan saya, lantas menanyakan tujuan dan menagih ongkos. Perempuan bermasker yang oleh sopir dipanggil Okta itu, sigap dengan mesin electronic data capture (EDC) di tangan. Tarif jauh-dekat penumpang umum Rp4.000, sedangkan pelajar, buruh, dan veteran Rp2.000.

“Turun di SMA Sumber Lawang,” kata saya sambil menyerahkan uang sepuluh ribu. Okta memberi kembalian dan struk yang keluar otomatis dari mesin.

Bus Trans Jateng hanya menaikkan dan menurunkan penumpang di titik tertentu. Ditandai rambu khusus atau yang spesifik berupa halte berwarna merah. Total ada 76 lokasi perhentian dengan akhir perjalanan di Terminal Sumber Lawang, Sragen. Rute Solo–Sragen ini juga melewati halte Sangiran, titik turun wisatawan yang mau berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran. Rombongan ibu-ibu mengakhiri perjalanan di sini.

Setengah jam berlalu. Penumpang sisa sedikit. Sopir membuka obrolan, menanyakan asal dan tujuan saya. “Dari Cirebon, mau nengok anak di Ponpes Darussalaf, Pendem,” ujar saya. “Masih jauh itu,” balasnya.

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Pak Safari, sopir bus Trans Jateng/Mochamad Rona Anggie

“Saya juga pernah kerja di Cirebon, dulu tahun 1990-an,” kata si sopir. Kami pun saling bertukar cerita. Sebelum saya turun, dia sempat mengenalkan diri dengan menunjukkan kartu pengenal sopir Trans Jateng yang tergantung di dada. Namanya: Safari. “Wah, yang punya Taman Safari, nih,” gurau saya. Dia tertawa. “Siapa tahu nanti naik Trans Jateng bisa ketemu lagi, ya,” ucapnya hangat.

Sampailah saya di tujuan setelah 45 menit perjalanan. Saya lihat peta jalur Trans Jateng, ternyata dari tempat saya turun, tersisa satu halte lagi (SMP Sumber Lawang), sebelum bus tiba di titik akhir. Saya perkirakan total perjalanannya sekitar satu jam saja.

Ali menyebutkan, dari halte SMA Sumber Lawang ke pesantren berjalan kaki sekitar 700 meter. Tadinya, saya kira akan sore hari datang ke sana. Namun, ada perubahan rencana. Saya berkunjung di pagi menjelang siang. Padahal sudah siap jas hujan, andai turun dari bus disambut hujan. Sebab, kabar terakhir dari Ali, Desa Pendem sedang rutin diguyur air langit saat sore.

Terbukti, persis selesai salat Jumat di masjid pondok, hujan deras. Berangsur rintik, lalu deras kembali sampai malam. Pertemuan ayah dan anaknya pun dibalut kesejukan dalam rindu.

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Pertigaan jalan depan halte Simpang Kemukus 2/Mochamad Rona Anggie

Kejutan, Berjumpa Pak Safari Lagi

Tadinya saya mau pulang hari Minggu. Namun, Sabtunya Ali ada pembelajaran sampai zuhur. Ketimbang sendirian di kamar tamu, saya putuskan pagi itu kembali ke Cirebon. Saya lihat Ali tak berat melepas ayahnya pulang. 

Gerimis menemani saat saya diantar musyrif (pengawas santri) naik motor ke halte Simpang Kemukus 2. Lokasi ini berlawanan arah dengan halte SMA Sumber Lawang. Jadi, Trans Jateng koridor Solo–Sragen punya dua titik perhentian berseberangan. 

Info dari Pak Safari—dan ternyata ada dalam poster yang ditempel di halte—keberangkatan Trans Jateng mulai pukul 05.00, terakhir pukul 17.30. Beroperasi sekaligus dua bus. Satu start dari Tirtonadi, satu lagi dari Sumber Lawang.

Awalnya saya sendirian menunggu di halte. Tak lama datang seorang pelajar perempuan berpakaian pramuka. “Biasa bus datang jam berapa?” tanya saya. “(Jam) 6.20,” sahutnya. Semenit berselang tampak kotak merah melaju mendekati halte. Saya bersiap naik, pintu bus tepat depan muka halte. Kondektur lelaki mengarahkan duduk di sisa satu kursi dekat sopir. “Mau pulang, Pak?” tanya sopir, yang langsung membuat saya terkejut. “Lho, Pak Safari!”

“Jodoh, ya,” ucapnya lanjut tersenyum. 

“Wah, saya enggak nyangka sama sekali, kan busnya ada banyak.”

Karena ramai penumpang, bahkan hingga berdiri, kami belum bisa meneruskan obrolan. Pagi itu di dalam bus penuh pelajar hendak berangkat sekolah. Lalu lintas merayap perlahan. Siswa dan siswi sebagian turun di halte SMKN 1 dan SMPN 1 Kalijambe, dekat halte Sangiran.

Bus Trans Jateng yang saya tumpangi tiba di Tirtonadi pukul 07.15. Durasi 45 menit perjalanan. Alhamdulillah, lancar. Sebelum turun, saya salami Pak Safari. “Sehat-sehat, ya, Pak! Terima kasih,” kata saya. 

“Kapan ke sini lagi?” tanyanya. “Paling nanti pas jemput anak, libur bulan puasa,” sahut saya sambil melangkah keluar bus. Jujur saja, saya masih kaget campur senang bisa bertemu Pak Safari lagi. Tak terbayangkan sebelumnya. Takdir. 

Menuju Stasiun Solo Balapan via Sky Bridge

Masuk area terminal, saya celingukan. Di manakah Sky Bridge? Ah, tanya petugas saja. “Lurus terus, dekat masjid,” sebut lelaki berseragam Dishub, menunjuk selasar di depan sana. Saya melangkah perlahan. Tengok kanan-kiri, lalu ketemu tangganya. Terbagi dalam dua undakan. Saya hitung ada 40 anak tangga, lantas tembus ke atap terbuka yang jadi tempat parkir mobil. Lorong masuk Sky Bridge ada di sebelah kanan. 

Benar kata Ali, sepi! Saya berjalan semakin dalam dan jauh. Tak ada siapa-siapa. Setelah agak lama, baru berpapasan dengan seorang ibu ke arah Tirtonadi. Saya sempatkan melihat pemandangan perkampungan warga, jalan raya, hingga kubah dan menara putih Masjid Sheikh Zayed—ikon religi teranyar Kota Solo.

Di situs web resmi Pemkot Surakarta, dijelaskan Sky Bridge dibangun sejak tahun 2017 dan resmi beroperasi 2022. Awalnya hanya penumpang yang sudah memiliki tiket kereta api saja yang bisa mengakses Sky Bridge dari Tirtonadi. Jam buka jembatan melayang dengan desain tertutup kaca dan beratap itu juga dibatasi pukul 04.00–18.30 WIB. Namun, mulai Februari 2024, Sky Bridge beroperasi untuk umum selama 24 jam. 

Kehadiran Sky Bridge memudahkan penumpang luar kota seperti saya dan yang lainnya. Kita tak perlu keluar terminal atau stasiun jika mau berganti moda transportasi. Memang, agak lumayan jalan kakinya. Saya perkirakan hampir satu kilometer. Tapi ternyata, di situs web tadi disebutkan Sky Bridge memangkas jarak Stasiun Solo Balapan–Terminal Tirtonadi menjadi hanya 650 meter saja. Sementara kalau lewat jalan raya di luar stasiun atau terminal, lebih dari 1,5 kilometer. 

Menjelang ujung lorong, jalur Sky Bridge lantas menanjak. Terlihat lintasan rel kereta api di bawah. Sepertinya sudah masuk kawasan stasiun. Selasar lalu mengarah ke ruangan-ruangan berkaca. Saya masuki salah satu pintu, menuju sebuah konter. Salah! Bukan tempat membeli tiket kereta api jarak jauh. “Ini loket untuk kereta api ke bandara,” kata petugas perempuan. 

Saya kemudian diarahkan keluar ruangan, berjalan terus hingga menemukan eskalator turun dan sampailah di area parkir stasiun. Di loket penjualan tiket luring, saya pilih naik KA Mataram tujuan Pasar Senen. Saya akan turun di Stasiun Kejaksan Cirebon, dengan jadwal keberangkatan pukul 08.50. 

Masih ada waktu, saya sempatkan sarapan soto depan stasiun. Selebihnya menikmati suasana hilir mudik sepur dari Solo Balapan. Tiba-tiba, di antara peluit petugas stasiun dan klakson khas “ular besi”, seolah terdengar Didi Kempot bersenandung: ning Stasiun Balapan, Kuto Solo sing dadi kenangan…


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/feed/ 0 46762
Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/#respond Wed, 09 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46586 Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo,...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo, mencari posisi yang pas untuk memundurkan kontainer, lalu membuka pintu belakang. Sampah pun berhamburan.

Truk model dump truck membuang muatan dengan mengangkat bak terbukanya sampai sampah merosot keluar. Sedangkan truk arm roll yang membawa kontainer sampah, didesain bisa memundurkan gendongan hingga terlepas. Truk jenis ini punya belalai pengait untuk menaikkan kontainer ke punggung kendaraan. Saat melepas sampah, arm roll menurunkan separuh kontainer sampai miring. Sopir memainkan pedal gas, maju sedikit-sedikit, lalu sampah terjun ke tanah.   

Ekskavator mondar-mandir di antara buldoser yang meratakan timbunan sampah. Para pemulung asyik saja menyambut kedatangan sampah yang masih “segar”. Seolah mereka sedang berlomba mencari “harta karun” dengan besi pengait. Saya membayangkan mereka adalah atlet anggar yang tengah memainkan pedangnya menusuk sasaran. Seru pokoknya!

Karena jalanan becek dan berlumpur, truk-truk yang sudah menunaikan hajatnya, kesulitan melaju. Terjebak. Saya sampai sangsi mereka bisa lolos dari jeratan lumpur. Sejurus kemudian, tak terpikirkan oleh “turis” seperti kami, operator dengan sigap menempelkan kepala belalai ekskavator ke bokong truk lalu mendorongnya. Sukses! Truk bebas dari kepungan lumpur, lanjut ngegas ke jalur aman.          

Muhammad, anak ketiga dari lima bersaudara itu terpana. Ini pengalaman pertamanya menyaksikan truk besar pengangkut sampah membuang muatan di “markas besar”. Di sana segala sampah warga kota terkumpul. Kata “menjijikkan” dan “jorok” seketika kehilangan makna. Sirna begitu saja. Berganti pemandangan tentang ketabahan hidup dari para manusia yang mengais rezeki di lautan sampah. Mereka tak pernah sekolah tinggi. Tak kenal apa itu korupsi. 

Dump truck hijau ketiga datang. Menunggu sebentar sebelum menumpahkan bawaan, menanti aba-aba dari “avatar” pengendali beko. Saat arm roll rampung mengosongkan gendongan, sopir muda truk ketiga segera mengarahkan kendaraan ke arena perpisahan. Sampah-sampah dilepaskan ke sebuah penjuru, lalu para pemburu sampah menyerbu.

Dump truck hijau menunggu giliran membuang sampah (kiri) dan ekskavator yang berada di medan berlumpur TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

Cerita dari Pemulung

Saya lalu mengajak Muhammad ke seberang, tempat gubuk-gubuk milik pemulung. Kami waspada sebelum melintas. Saya perhatikan pergerakan belalai ekskavator dan dump truck yang sedang maju mundur. Setelah dirasa aman, jauh dari jangkauan keduanya, baru kami menyeberang. Melewati jalur lumpur yang sebelumnya dilindas roda truk.

Di salah satu gubuk beratap terpal rombeng, seorang pria paruh baya duduk dikelilingi tumpukan wadah plastik dan gelas-botol air mineral. “Namanya siapa, Pak?” tanya saya setengah berteriak, di antara bising suara ekskavator dan truk yang “batuk-batuk” berusaha melepaskan cengkeraman lumpur di roda. 

“Abdul Hamid,” katanya terdengar sayup.

“Usia berapa?”

“Kelahiran 1964,” jawabnya.

Warga Kelurahan Argasunya yang satu kawasan dengan TPAS Kopi Luhur itu lantas berbagi cerita. Dia mulai jadi pemulung di sana sejak 1999. Persis setahun setelah TPAS Kopi Luhur resmi beroperasi. “Tadinya saya kerja di Jakarta,” ujarnya.

Abdul Hamid pergi memulung selepas salat Subuh. Dia pulang kembali ke rumah pukul satu siang. Sampah yang diincarnya adalah tempat makan plastik dan bekas kemasan air minum. Pembeli datang sendiri ke gubuknya. Biasanya para pengepul barang bekas yang akan didaur ulang pabrik.

“Sebulan penghasilan berapa, Pak?”

Abdul Hamid sejenak berpikir. “Sekitar empat juta,” sahutnya. Wow, lumayan besar juga, batin saya.

Ayah sepuluh anak itu kini ditemani anak bungsu yang juga pengumpul sampah. Jumlah pemulung yang terdata di sana, kata Abdul Hamid, ada 170 orang. “Tapi di lapangan bisa sampai dua ratus. Bergantian memulung, beda waktu,” terangnya.  

Pemulung lain, lanjut dia, ada yang datang pukul 09.00 atau selepas zuhur hingga Magrib. Malamnya, juga ada yang memulung, tetapi tidak banyak. “Masing-masing sudah ada rezekinya. Kami di sini saling menghargai. Tidak berebutan,” tutur kakek delapan cucu itu.

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)

Soal jalanan yang becek dan berlumpur, Abdul Hamid menyebutnya hanya di musim hujan saja. “Kalau kemarau, jalanan kering. Truk lancar melintas,” ucapnya. Saat disinggung sering beraktivitas di tempat sampah, apakah tidak takut kena penyakit? Abdul Hamid membandingkan dengan masa pandemi COVID-19. 

“Waktu COVID-19 saja, alhamdulillah pemulung tidak kena,” katanya dengan senyum mengembang. Saya berseloroh, “Virusnya takut datang ke sini, Pak!” Lelaki bersepatu bot itu tergelak.

Ketika sedang serius menghimpun keterangan Abdul Hamid, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu membelit kaki. Saya tak berani langsung melihat ke bawah. Menerka-nerka dulu. Binatang melatakah (ular) dari tumpukan sampah merambat naik ke kaki? Berdebar saat memastikannya. Saya mengentak-entakkan kaki kiri, berharap yang menempel segera lepas. Pas dilihat, eh, anak kucing! Si meong menggelendotkan tubuhnya sambil mengusapkan buntut ke kaki saya. Huh, mengagetkan saja!

Pemulung di TPAS Kopi Luhur tidak didominasi kaum lelaki. Wanita juga ada. Salah satunya Keni (46). Ibu enam anak itu sedang memanggul keranjang berisi sampah kemasan air mineral dan menjinjing sekarung “sumber rupiah” lainnya, ketika saya ajak ngobrol. “Saya memulung bareng suami, untuk membantu perekonomian keluarga,” tuturnya. 

Dia mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai pemulung. Selain karena rumahnya di Argasunya dekat TPAS, aktivitas harian di tempat sampah mampu memberinya penghasilan. “Sebulan bisa satu sampai dua juta,” beber nenek tiga cucu itu.   

Kaum perempuan ikut memulung guna menyokong ekonomi keluarga. Seperti yang dilakukan Keni (kiri), nenek tiga cucu/Mochamad Rona Anggie

Usia TPAS Kopi Luhur Dua Tahun Lagi

Sudah 27 tahun beroperasi, TPAS Kopi Luhur kini masuk fase kritis over kapasitas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, dr. Yuni Darti Sp.GK., melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPAS Kopi Luhur, Jawahir Kusen mengungkapkan, hitungan di atas kertas umur area pembuangan akhir sampah itu tinggal dua tahun.

Solusi jangka panjang, kata dia, memindahkannya ke lokasi baru. “Tapi belum tahu di mana,” ucapnya lirih. Sementara untuk jangka pendek, DLH Kota Cirebon sedang mengupayakan kehadiran teknologi pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF), demi menyiasati perpanjangan usia TPAS Kopi Luhur. “Dari provinsi (Jabar) sudah survei. Semoga tak lama lagi terwujud,” ujar Jawahir kepada penulis, Rabu (26/2/2025).

Menurutnya, mesin RDF akan membantu mengurangi timbunan sampah, karena memiliki kemampuan memilah sampah organik dan anorganik. Mempercepat proses daur ulang hingga bisa dijadikan briket. 

Jawahir menjelaskan, saat ini dalam sehari TPAS Kopi Luhur menampung 600 sampai 700 kubik sampah. Luasnya 14,2 hektare, tetapi hanya digunakan delapan hektare sebagai tempat pembuangan sampah. Lahan sisanya terlalu dekat permukiman penduduk. Jika dipaksakan rentan gejolak sosial.  

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
Tas kain ramah lingkungan koleksi pribadi/Mochamad Rona Anggie

Peduli Lingkungan dari Kecil

Senang bisa mendampingi buah hati ke TPAS Kopi Luhur. Saya berharap Muhammad mulai memahami, kenapa ibunya selalu membawa kantung berbahan kain setiap belanja ke pasar tradisional atau supermarket. 

Termasuk mengapa kasir di beberapa swalayan kini tegas tak menyediakan kresek, dan menawarkan paper bag (kantung berbahan kertas) untuk membawa belanjaan? Tidak lain—semoga Muhammad mengerti—sebagai upaya global mengurangi sampah plastik.

Seiring waktu, kepekaan Muhammad dan rekan seusianya bakal terasah. Orang tua berperan penting mengedukasi anak-anaknya. Bagaimana turut aktif menjaga bumi dari gempuran sampah plastik. Kita biasakan mereka untuk memakai tas ramah lingkungan berbahan kanvas atau anyaman, ketika membeli kebutuhan sehari-hari. 

Kaki saya dan Muhammad (kiri) sama-sama sempat terbenam lumpur/Mochamad Rona Anggie

Kami pun balik kanan. Melangkah ke parkiran. Eh, drama belum usai. Gantian Muhammad terperosok ke lumpur. Dia meringis. Kedua kakinya “disedot” lumpur. Cepat saya tarik tangannya, biar tidak semakin dalam.

“Angkat (kakimu)!” perintah saya. Ya, berhasil. Namun, sandal sebelah kiri menjadi martir (putus). “Sudah, pulang nyeker saja,” kata saya, dibalas dengan cemberut.    

Begitulah petualangan kami di TPAS Kopi Luhur. Menziarahi persemayaman terakhir kasur jebol, sofa bodol hingga lemari ambrol. Sampah busuk yang berserakan adalah “permata” bagi setiap pemulung. Lalat-lalat hijau mendengung dan camar terbang rendah melepas kepulangan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/feed/ 0 46586
Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/#respond Tue, 08 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46573 Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan sampah kresek pembungkus barang yang kita beli. Baik di pasar tradisional maupun supermarket. Sampah semakin bertambah, karena produk yang dibawa ke rumah juga sudah dalam kemasan, yang ujung-ujungnya kita lempar ke tempat sampah.

Saya juga mengamati bekas popok dan pembalut wanita sekali pakai. Sampah bawaan produk semacam ini ternyata mengerikan. Saat membeli barangnya kita diberi kresek, tambah kemasan produk. Selesai digunakan, kresek, plastik kemasan, si produknya sendiri berikut kotoran manusianya, akan menghuni tempat sampah.

Di bak sampah depan rumah, bercampurlah segala sampah. “Rajanya” tetap sampah plastik aneka rupa. Ada kemasan makanan dan minuman, dus-dus, sisa buah dan sayuran busuk, kulit telur, jeroan ikan serta unggas, tulang-belulang berbelatung hingga dedaunan kering hasil menyapu halaman.   

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Sampah keluarga kami/Mochamad Rona Anggie

Sebelum diangkut tukang sampah kompleks, biasanya sampah rumah tangga disatroni lebih dulu oleh para pemulung. Penampilan mereka khas: membawa karung di punggung, besi pengait, serta menutupi kepala dengan selembar kaus lusuh. Umumnya berjalan kaki keliling perumahan sejak gelap subuh. Ada juga yang naik sepeda, memodifikasinya, memasang dua karung di kanan dan kiri boncengan belakang.

Terkadang para pemulung membuat kesal pemilik rumah. Bagaimana tidak, sampah yang biasanya sudah dibungkus kresek besar dan diikat kuat—guna menghindari bau tak sedap—malah dibongkar memakai besi pengait. Mereka mencari sampah yang punya nilai ekonomis, seperti botol plastik (bekas air mineral) dan botol kaleng (bekas minuman ringan).

Para pemulung itu lantas pergi setelah mendapat apa yang dicari. Mereka tidak peduli sudah memberantakkan isi tempat sampah, sehingga bau sisa sampah makanan dan kotoran di popok menyeruak mengganggu penciuman. Saya pribadi, kalau mendapati pemulung hendak mencerai-beraikan sampah yang sudah terbungkus, segera menegur dengan suara keras, “Jangan diberantakin!”, membuat yang ‘disemprot’ lekas berlalu.

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung menggeledah bak sampah kami/Mochamad Rona Anggie

Pak Uri, Tukang Angkut Sampah Kompleks Kami

Dalam dua hari, biasanya tumpukan sampah di bak atau tong milik warga bakal meninggi. Tambah hari akan terlihat menyembul melewati batas tempat sampah. Setelah pemulung beraksi, selanjutnya petugas angkut sampah yang bercengkerama dengan sampah-sampah itu.   

Tukang angkut sampah di kompleks kami, RW 04 Darmamukti, Rajawali Barat, bernama Uri. Badannya gempal. Dia bertugas mengangkut sampah warga seminggu tiga kali. “Tapi kalau lagi enggak fit, saya muternya sepekan sekali,” kata Uri kepada penulis, di sela aktivitas mengambil sampah. 

Lelaki 69 tahun itu menggunakan sepeda motor yang disambung tak permanen dengan gerobak pengangkut sampah. Berkeliling dari satu bak sampah ke tong sampah yang ada di depan rumah warga. Jam kerjanya mulai dini hari sampai pagi. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

Ketika ditanya mengapa tidak mengangkut sampah dari pagi ke siang? Uri menjelaskan kalau sampah warga beres terangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) sejak masih pagi sekali, dirinya tak perlu antre menunggu giliran buang di TPSS. “Sengaja dari jam dua pagi saya keliling ambil sampah. Paginya bisa langsung ke TPSS tanpa harus antre,” papar ayah enam anak itu.

Tujuan Uri dan gerobaknya adalah TPSS Rajawali yang bersisian dengan Sungai Kriyan. Di sana, kata Uri, tukang angkut sampah dari masing-masing perumahan atau RW, wajib memasukkan sendiri sampah yang mereka bawa ke kontainer penampung. Proses ini memakan waktu cukup lama. Tambah siang, akan semakin banyak tukang angkut sampah antre untuk membuang bawaannya ke kotak sampah raksasa.

“Bisa saja buang di sekitar kontainer, di bawah. Lebih mudah itu. Tapi harus bayar lima belas ribu,” sebutnya.   

Tidak terasa, sudah 12 tahun Uri bekerja mengangkut sampah di kompleks kami. Sebelumnya, sejak 1976 ketika masih umur 20 tahun, ia menjadi petugas kebersihan jalan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon. “Saya pegawai honorer, pensiun tahun 2013,” ujar warga Pamengkang, Mundu, Kabupaten Cirebon.   

Tugas keseharian Uri saat aktif berseragam kuning adalah menyapu pinggiran Jalan Rajawali. Hingga akhirnya kenal dekat dengan pengurus RW setempat. Tawaran jadi tukang angkut sampah datang saat dirinya purnatugas. “Biar tetap produktif di usia senja,” ucap kakek 15 cucu itu.

Ketika mengangkut sampah warga, Uri kerap dibantu anak ketiganya, Abdul Kholiq (37). Dia mengaku kalau bekerja sendirian, sering tak kuat membungkuk untuk mengambil sampah dari tempatnya. “Suka sakit pinggang,” keluhnya. Halangan lain yang membuat Uri terkadang hanya mampu sepekan sekali menjalankan tugas adalah masuk angin. “Maklum sudah berumur,” imbuhnya.   

Memakai sepatu bot, slayer penutup setengah wajah, dan topi. Begitu tampilan Uri menyusuri tempat sampah warga. Sesekali dia terlihat mengisap rokok kretek. “Supaya enggak ngantuk sekaligus penetral bau sampah,” katanya memberi alasan akrab dengan asap nikotin.   

Apakah penghasilannya saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Uri mensyukuri yang ia dapat. Terlebih ketika ingat awal jadi tukang angkut sampah, bergaji hanya Rp150.000 sebulan. “Sekarang sudah satu juta,” beber kepala keluarga dua rumah tangga itu. Ya, Uri tak sungkan mengakui statusnya yang beristri dua. “Istri saya yang muda, bekerja juga. Jadi, bisa meringankan beban saya,” tuturnya.

Motor roda tiga dipakai untuk angkut sampah (kiri) dan kontainer sampah di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Berikutnya: Urusan Truk Sampah

Saya kemudian mendatangi TPSS Rajawali. Siang itu sebuah dump truck parkir. Dua petugas berjibaku menyerok tumpahan sampah dari gerobak yang sengaja digulingkan.  Petugas lainnya di atas mobil, menyambut operan ember berisi sampah. Terus mereka bekerja demikian, memasukkan sampah ke bak truk, sampai benar-benar tak menyisakan secuil ruang.   

Di balik kemudi kendaraan milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon itu, si sopir sedang memejamkan mata. Tapi tak marah begitu saya bangunkan. Namanya Taya (48).

Dia menyebutkan jam kerjanya pukul 07.00 sampai 13.00. Truk yang dibawanya biasa mengirim sampah ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Kopi Luhur setelah waktu zuhur, menunggu bak truk penuh maksimum. “Kapasitas (mobil) aslinya satu ton. Tapi kalau sampah dipadatkan bisa dua–tiga ton. Apalagi kalau musim hujan, air membuat muatan tambah berat,” paparnya.

Taya menerangkan ada lima kru yang menyertainya selama pengumpulan sampah di TPSS hingga pembuangan ke TPAS. Mereka tak punya jadwal libur. Kalau mau izin untuk suatu keperluan, mesti mengabari pimpinan sehari sebelumnya. Agar alih tugas kepada sopir lainnya tidak mendadak, demi menjaga layanan angkut sampah terus berjalan. 

Taya bangga mendapat bagian tugas di TPSS Rajawali karena salah satu yang terbesar di Kota Cirebon. Menampung sampah dari sebagian wilayah Kecamatan Harjamukti, Kesambi, dan Lemahwungkuk. Dalam sehari, kata dia, ada hampir 50 gerobak sampah yang merapat. Sebenarnya beban angkut truk Taya hanya untuk 32 gerobak. Sementara satu gerobak bisa dua kali balikan membawa sampah ke TPSS Rajawali. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

“Kelihatan, kan, berapa banyak kelebihan sampah yang mesti diangkut?” tanyanya coba berbagi kesah jika daya tampung sampah sudah over kapasitas. “Tapi ya, namanya juga tugas, tetap kami angkut ke Kopi Luhur,” imbuh pegawai berstatus ASN yang berdinas sejak 2012.

Tentang tukang sampah kompleks dikenai biaya ekstra jika membuang muatannya tidak langsung ke kontainer, sebagaimana penjelasan Uri, Taya menampiknya. Dia mengungkapkan itu sebatas ke-sukarela-an. Bentuk solidaritas kepada petugas kebersihan TPSS. “Kalau enggak ngasih, tidak masalah. Kami tetap bekerja profesional,” kata ayah tiga anak itu.

Taya menceritakan satu waktu pernah didatangi pengurus RW yang komplain soal biaya tak resmi tersebut. Menurutnya, kadang orang salah persepsi dan menganggapnya sebuah keharusan. “Setelah saya jelaskan, baru mereka paham. Jadi, tidak ada pungutan di sini,” ucapnya seraya menyebutkan selain Rajawali, Kota Cirebon memiliki TPSS Galunggung, Kimia Jaya, Buyut, Kalibaru, Sukalila Utara, Penggung, Evakuasi, Grenjeng, Sunyaragi, Tuparev, dan Krucuk. 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung mencari peruntungan di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Menyambangi Kopi Luhur

Besok siangnya, sengaja saya ajak Muhammad (10) ke TPAS Kopi Luhur di Kelurahan Argasunya. Jaraknya 10 kilometer dari TPSS Rajawali. Mengarah ke ujung selatan wilayah kota. Melintasi jembatan di atas jalan tol Palikanci yang menuju Jawa Tengah.

Mendekati Kopi Luhur, jalan menanjak dan berkelok. Permukiman penduduk semakin jarang, berganti pepohonan dan belukar. Melewati lapangan tembak milik Korem 063 SGJ, terus naik lantas mulai tercium aroma tidak sedap, dan pemandangan bukit-bukit sampah. Ada gerbang masuk sekadarnya. Saya parkir motor dekat tenda semipermanen milik pemulung yang tengah memilah botol bekas air mineral.

Tak menanti lama, apa yang saya harapkan datang. Sebuah dump truck penuh sampah berpenutup jaring di atasnya menggilas jalan berlumpur yang dilewati. Hitungan menit, menguntit di belakangnya sebuah truk arm roll menggendong kontainer sampah. Lajunya menderu, mengepulkan asap pekat dari knalpot serupa bazoka. Muhammad takjub melihatnya. Pelajar kelas 4 MI itu tak berkedip! 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Muhammad (kanan) menyaksikan kedatangan truk arm roll pengangkut sampah di TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

“Ayo, ikuti truk-truk itu!” kata saya.

Setengah berlari, kami mengikuti jejak roda besar yang membelah tanah becek berlumpur hitam. Awalnya meniti pinggiran, lalu terhalang sampah botol beling yang sudah pecah setengah—bahaya! Mau tak mau melangkah agak ke tengah, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan terjadi: kaki terjerembap dalam lumpur berbau busuk. Show must go on, saya terus berjalan hingga melihat titik finis truk-truk tadi. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/feed/ 0 46573
Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon https://telusuri.id/cerita-pabrik-es-saripetojo-cirebon/ https://telusuri.id/cerita-pabrik-es-saripetojo-cirebon/#respond Thu, 03 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46532 Es batu dari pabrik di pesisir pantai ini mendinginkan minuman noni dan tuan kompeni, ketika mereka tinggal di Cirebon—yang sejak dulu kesohor dengan udara panasnya. Menenggak minuman es, tentu menyegarkan dahaga orang-orang Belanda itu. Letak...

The post Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon appeared first on TelusuRI.

]]>
Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
Bagian depan Pabrik Es Saripetojo yang merupakan bangunan cagar budaya/Mochamad Rona Anggie

Es batu dari pabrik di pesisir pantai ini mendinginkan minuman noni dan tuan kompeni, ketika mereka tinggal di Cirebon—yang sejak dulu kesohor dengan udara panasnya. Menenggak minuman es, tentu menyegarkan dahaga orang-orang Belanda itu.

Letak pabrik es tak jauh dari pelabuhan. Memudahkan kru kapal jika memerlukan es batu segar untuk mengawetkan hasil tangkapan, atau keperluan lain penunjang logistik selama berlayar. Tak terkecuali membuat minuman dingin setelah mandi keringat dibakar matahari dermaga.

Masyarakat mengenalnya Pabrik Es Kasepuhan. Padahal nama aslinya: Saripetojo. Dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1933, Saripetojo Cirebon merupakan anak perusahaan Saripetojo Bandung yang beroperasi sejak 19 November 1931 di Jalan Deendelsweeg No. 24. Keduanya cabang dari NV Verenigde YS Fabrieken, Surabaya.

“Saripetojo Cirebon ada sejak 1933, bersamaan dengan kelahiran Persib Bandung,” kata Irwan Hidayat, pekerja Bagian Umum pabrik es dekat Alun-alun Sangkala Buana itu kepada penulis beberapa waktu lalu. 

Sayang, ketika mengunjungi Saripetojo untuk ketiga kalinya pada Rabu (12/2/2025), Irwan sudah tak di sana. Beruntung, Hendrarto R. selaku pimpinan yang baru, berkenan saya temui. Kami ngobrol di samping ruang kantor sementara, dekat tiga cooling tower yang menumpahkan air serupa hujan.

“Air dari cooling tower itu untuk mendinginkan amonia, yang berperan semisal ‘freon’ bagi pabrik es,” ujar pria yang akrab disapa Hengki.

Bagunan kantor utama sedang direnovasi. Hengki menyebutnya bukan bagian dari cagar budaya, sehingga boleh direhab sesuai kebutuhan. Dia menjelaskan bagian yang termasuk cagar budaya mulai tembok depan pabrik sampai ke dalam. Termasuk rangka besi penopang atap masih asli zaman Belanda.

  • Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
  • Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
  • Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon

Ditetapkan Jadi Cagar Budaya

Pemerintah Kota Cirebon menetapkan pabrik es Saripetojo sebagai cagar budaya melalui Peraturan Wali Kota Nomor 19 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Cirebon. Sebagaimana tertera dalam plang resmi yang terpancang di sisi kiri area muka pabrik.

Kalau masih ingat, dulu soal status cagar budaya Saripetojo di Surakarta sempat menimbulkan polemik antara Wali Kota Joko Widodo dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Persoalan tahun 2011 silam: Bibit maunya bekas bangunan pabrik es Saripetojo dibuat mal, sementara Jokowi pilih cagar budaya. Seketika Saripetojo jadi buah bibir, melambungkan nama Jokowi. Akhirnya Saripetojo diputuskan sebagai cagar budaya, sementara kepala daerahnya melenggang ke Jakarta menjabat DKI 1, kemudian Presiden RI dua periode (2014–2024). 

Pemerintah kolonial Belanda membangun Saripetojo di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketika Jepang masuk Indonesia tahun 1942, mereka merebut manajemen Saripetojo lewat Dai Sehjo Kojo yang berpusat di Jakarta. Tahun 1946–1958, NV Verenigde YS Fabrieken merevitalisasi cabang-cabangnya dalam upaya peningkatan kapasitas produksi es.

Pada 1958, pemerintah RI mengambil alih Saripetojo. Kemudian, melalui Peraturan Perdana Menteri RI tanggal 14 Desember 1964, Saripetojo dikelola oleh Perusahaan Nasional (PN) Parwita Jasa. Tahun 1979–1999, lewat Peraturan Daerah Provinsi DT I Jabar No. 15/PD-DPRD-GR/64 serta perubahannya No. 8 Tahun 1979, disebutkan bentuk usaha Saripetojo sebagai Perusahaan Daerah Makanan Minuman Kerta Sari Jawa Barat (PD Kerta Sari Mamin Jawa Barat).

Tahun 1999 hingga Juni 2002, berdasarkan perda terbaru tahun 1999, PD Kerta Sari Mamin dilebur dengan perusahaan daerah lain menjadi PD Industri Provinsi DT I Jawa Barat. Lalu PD Industri Provinsi DT I Jawa Barat berubah badan hukum menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Agronesia yang berdiri 17 Juni 2002 sampai sekarang, melalui SK Menteri Kehakiman RI. 

Hengki menerangkan, PT Agronesia memiliki empat divisi usaha, meliputi industri teknik karet, es, kemasan plastik, dan makanan-minuman. Pabrik Saripetojo dikelola divisi industri es. Terdapat empat lokasi di Jawa Barat: Bandung, Bogor, Sukabumi, dan Cirebon. “Tadinya di Karawang ada, tapi sudah dijual,” bebernya.

Dalam buku Jejak Pengabdian Birokrat, Kiprah Agus Mulyadi Memajukan Kota Cirebon disebutkan, ayah Sekda dan Pj. Wali Kota Cirebon itu sempat berdinas di Saripetojo Karawang, sebelum pensiun sebagai Kepala Saripetojo Cirebon tahun 1970-an.

“Ketika ayahnya tugas di Saripetojo Karawang, Agus lahir pada 17 November 1968. ‘Saya cuma numpang lahir di sana,’ katanya lantas tertawa. (hlm. 2).

Hengki sendiri lama bertugas di divisi industri teknik karet, sebelum pindah ke Saripetojo Sukabumi dan baru akhir 2022 memimpin Saripetojo Cirebon. “Sebelum di Jalan Kasepuhan, dulu Saripetojo Cirebon ada di Jalan Lawanggada,” sebut lelaki asli Magelang itu.

Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
Plang resmi cagar budaya dari Pemkot Cirebon/Mochamad Rona Anggie

Kompetitor Bermunculan, Persaingan Ketat

Saat ini Saripetojo memasuki usia ke-92 tahun. Tantangan bisnis menghampiri. Pabrik es serupa bermunculan di Cirebon dan Indramayu. Harga jual otomatis bersaing. Belum lagi, tim pemasaran masing-masing pabrik terjun langsung ke konsumen. “Sekarang ada sekitar 11 pabrik es di Cirebon. Persaingannya ketat,” kata Hengki.

Berdiri di atas lahan seluas 800 meter persegi, lanjut dia, tiap bulan Saripetojo mampu memproduksi ratusan ton es balok (block ice). Ini adalah produk unggulan primadona pelanggan. Per balok dijual kisaran Rp20.000 dengan berat bersih 50 kg. Konsumen utama es balok Saripetojo berasal dari Cirebon, Kuningan, dan Majalengka. Permintaan es juga datang dari daerah Kluwut, Brebes, Jawa Tengah. 

“Tapi sekarang pesanan es untuk nelayan di Kluwut cenderung menurun. Karena sudah banyak kapal besar yang memiliki ruang pendingin. Jadi, tak perlu banyak es lagi,” ucap Hengki.  

Menurutnya, ada alasan para pelanggan setia pada produk es balok Saripetojo. Dari testimoni mereka terungkap bila kualitas susut atau proses mencairnya cukup lama. Tampilan es balok juga bening, menunjukkan penggunaan sumber air bersih terpercaya. 

Saripetojo menawarkan pula tube ice; es bentuk kotak-kotak kecil, yang biasa diserok pelayan restoran untuk mendinginkan segelas minuman. Tube ice dijual per canvil (plastik besar setara 30 kg). Ada juga crusher ice, es hasil serutan yang sering kita dapati saat menikmati es campur. Model es ini banyak dipesan pengusaha tambak udang dari daerah Gebang dan Bungko (Cirebon Timur). Crusher ice adalah “nyawa” jaminan keawetan udang untuk pasar ekspor maupun lokal.

Di bagian depan Saripetojo ada dua mesin screw conveyor. Berguna untuk mencacah es balok menjadi potongan kecil. Pelanggan yang ingin mendapatkan serpihan es balok, mesti mengeluarkan biaya ekstra. “Yang membutuhkan potongan kecil biasanya pengusaha udang dan rajungan. Termasuk nelayan dari Gebang dan Bondet,” tambah Hengki.

Maraknya bisnis rumah potong unggas dan penjualan daging ayam eceran di banyak titik belakangan ini—tidak terpusat di pasar atau supermarket lagi—menambah permintaan es di Saripetojo. Tak terkecuali industri pengolahan ikan, yang menggantungkan kesegaran produk pada ketersediaan es batu. 

Selain untuk mengawetkan makanan, es balok Saripetojo berjasa pula mendukung proyek pembangunan PLTU Kanci di Cirebon Timur dan Bendungan Jatigede di Sumedang. “Es balok dari Saripetojo dimanfaatkan untuk pengerasan campuran bahan material,” terang Hengki. Bila memakai air biasa pengerasan dirasa lamban, akhirnya air hasil pencairan es balok Saripetojo jadi pilihan. Saripetojo sempat rutin mengirim tiga truk es ke PLTU Kanci dalam sehari. Tiap truk memuat 120 es balok. 

Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon
Konsumen membawa es balok memakai becak motor. Saripetojo melayani pembelian eceran untuk pedagang kecil dan skala besar untuk industri pengolahan ikan. Tampak di belakang “belalai” mesin screw conveyor/Mochamad Rona Anggie

Pembekuan Es Balok 24 Jam

Hengki menjelaskan, proses pembuatan es balok berlangsung 24 jam. Produksi dilakukan setiap hari. Siang, tabung-tabung pencetak es diisi air bersumber dari Perumda Tirta Giri Nata Kota Cirebon. Malamnya, es dipanen. “Aktivitas pembelian ramai mulai jam sepuluh malam sampai subuh,” ujarnya.

Guna melayani pembeli siang hari, malam hari sebagian tabung ada yang diisi air lagi untuk mencetak es. Seperti yang penulis lihat, pagi itu pukul 10.00 ada es balok baru jadi yang bisa dibeli. Proses akhir “kelahiran” es melalui perendaman di kolam air. Bertujuan memudahkan pelepasan es yang membeku dari tabungnya. 

Dua petugas siaga. Setelah menunggu sekian menit, sebuah tombol dipencet untuk mengangkat tabung-tabung yang kemudian digulingkan ke lantai. Es balok meluncur keluar ruang pembuatan es, melewati lorong menuju area jual beli. Ada 19 balok es ditumpahkan deretan tabung pencetak yang disebut ray (bahasa Belanda). “Di sini per ray memuat 19 es balok. Pabrik lain ada yang hanya 13 balok,” terang Hengki.

Pengisian air ledeng untuk pembuatan es balok (kiri) dan es-es balok yang telah “lahir”/Mochamad Rona Anggie

Petugas yang membawa besi pengait (gancu), lantas “membacok” sisi samping es balok dan menariknya ke dekat konsumen. “Dari zaman Belanda pembuatan es, ya, seperti itu,” ucap Hengki yang menemani saya mendokumentasikan “persalinan” es. Saripetojo masih memakai tenaga manusia dalam proses pembuatan dan pelepasan es balok, karena memang belum memiliki mesin berteknologi mutakhir yang serba otomatis. “Kalau di pabrik es negara lain, robot yang mengoperasikan mesinnya,” imbuh lelaki 52 tahun itu.  

Setelah tabung pencetak menumpahkan es balok, tabung yang kosong diisi kembali dengan air ledeng dari kran-kran yang terpasang memanjang. Ada tuas untuk buka-tutup kran. Kemudian sebuah tombol ditekan, deretan tabung bergerak menjauh ke ujung bangunan. Selanjutnya proses kimiawi pembekuan air menjadi es balok dilakukan dalam rendaman air garam. 

Menurut Hengki, walau persaingan bisnis es balok sekarang sangat ketat, Saripetojo tak mau ikutan membanting harga. Pihaknya berkomitmen menjalankan bisnis secara sportif sesuai mekanisme pasar. “Kami menjaga kepercayaan pelanggan dengan mempertahankan kualitas dan membangun relasi yang baik,” pungkasnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Pabrik Es Saripetojo Cirebon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-pabrik-es-saripetojo-cirebon/feed/ 0 46532
Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025 https://telusuri.id/melangkah-bersama-mendukung-rinjani-nol-sampah-2025/ https://telusuri.id/melangkah-bersama-mendukung-rinjani-nol-sampah-2025/#comments Wed, 26 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46437 Pelbagai kegiatan dilakukan menyongsong program Rinjani Zero Waste. Lintas komunitas berpartisipasi mendukung Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mengurangi potensi sampah di jalur pendakian. Ada tiga aktivitas bersih gunung sebelum penerapan Rinjani Zero Waste per 1...

The post Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025 appeared first on TelusuRI.

]]>
Pelbagai kegiatan dilakukan menyongsong program Rinjani Zero Waste. Lintas komunitas berpartisipasi mendukung Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mengurangi potensi sampah di jalur pendakian.

Ada tiga aktivitas bersih gunung sebelum penerapan Rinjani Zero Waste per 1 April 2025. Pertama, Tapak Rinjani yang diinisiasi Mahasiswa Pencinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Mataram (Mapala FE Unram). Kegiatan tahunan yang dilaksanakan 14–19 Agustus 2024 itu melibatkan mapala se-Indonesia dengan mengangkat spirit: Proud be zero waste trekker.  

Kedua, Rinjani Meriri (20–22 Desember 2024) yang rutin diadakan oleh TNGR jelang penutupan jalur pendakian di setiap akhir tahun. Diikuti 85 peserta dari kalangan relawan, kader konservasi, trekking organizer, pemandu dan porter, serta Forum Wisata Lingkar Rinjani.

Meriri merupakan bahasa Sasak, artinya memperbaiki,” kata petugas penanggung jawab penanganan sampah TNGR, Gusti Ketut Suarta, Rabu (5/3/25).  

Melalui Rinjani Meriri diharapkan pemulihan ekosistem di Gunung Rinjani bisa berlangsung selama aktivitas pendakian dihentikan sementara. “Kita beri kesempatan ekosistem Rinjani secara alamiah memperbaiki dirinya sendiri,” tutur Gusti yang juga seorang Polisi Kehutanan (Polhut).   

Ketiga, Clean Up Rinjani pada 26–28 Februari 2025, memperingati Hari Bakti Rimbawan dan Hari Peduli Sampah. Ada 102 orang dari 24 tim ambil bagian dalam kegiatan ini, meliputi komunitas pecinta alam, Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), unit SAR Lombok Timur, Pandawara Group, dan Arei Outdoor Gear. 

Kiri: Komunitas pecinta alam, relawan, dan aktivis lingkungan Pandawara Group bergerak menuju Plawangan Sembalun sambil membawa trash bag. Kanan: Kompak mencari sampah hingga ke semak-semak/dokumentasi Arei Outdoor Gear

Semua kegiatan tersebut mampu membawa turun sampah di sepanjang jalur pendakian sebanyak 907,1 kg. Rinjani Meriri mengumpulkan 483 kg, Clean Up Rinjani 237,1 kg dan Tapak Rinjani 187 kg. Titik potensi sampah paling banyak berada di area camp Plawangan Sembalun dan Danau Segara Anak.

Di luar itu, kata Gusti, ada enam mahasiswa aktivis lingkungan yang berkontribusi memunguti sampah di Pos 2 Sembalun, akhir tahun lalu. Awalnya mereka mau menyisir Plawangan, tetapi Gusti menyarankan di camp area Pos 2 saja. “Sepekan mereka mengumpulkan sampah sebanyak 200 kg. Dapat banyak itu,” ujarnya salut.

Kepala Resor Sembalun TNGR Taufikkurahman menambahkan, kepedulian banyak pihak pada kebersihan Gunung Rinjani mampu menghilangkan ceceran sampah yang tampak di depan mata. “Paling menyisakan lima persen, sulit terjangkau di tepi jurang. Kalau yang di permukaan, kami pastikan sudah steril,” ucapnya.

Lelaki yang akrab disapa Opik itu menjelaskan alasan penerapan Rinjani Zero Waste baru dimulai 2025. Sebab, menanti kesiapan sumber daya manusia TNGR yang sebelumnya fokus pada program booking online kunjungan ke kawasan TNGR. “Ini langkah besar bersama. Kami ingin pengunjung nyaman sekaligus menjaga kelestarian lingkungan,” tutur pemilik Rinjani Guest House tersebut.

Bagaimana dengan Human Waste?       

Pendaki mana sih yang enggak mau ke Rinjani? Saya sendiri—yang naik gunung sejak 2001—baru 23 tahun kemudian menginjakkan kaki di Senaru, Sembalun, dan Torean; tiga gerbang masuk menuju puncak 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl). 

Ketiga jalur itu berkesan. Senaru yang medannya galak ke betis, relatif lebih bersih ketimbang Sembalun. Jalurnya teduh, sepi dan hening menembus lebatnya hutan hujan tropis. Jalur ini berujung di Plawangan Senaru, sebelum turun ke Segara Anak. 

Sembalun kebalikannya: berjalan di area terbuka melintasi sabana mahaluas. Panasnya top. Ramainya bukan main. Pendaki domestik, bule, dan Asia tumplek-blek. Potensi sampah di jalur ini paling tinggi. Tersebar di Plawangan 1–4, tempat berkemah pendaki sebelum dini hari menuju puncak.

Pada pendakian 1–4 Juni 2024, saya bermalam di Plawangan 2. Pagi harinya selepas muncak, pemandangan Segara Anak di sebelah barat begitu memesona. Berbanding terbalik saat melihat sisi timur (belakang tenda), sampah berserakan di tanah berkontur miring yang berujung jurang. Didominasi sampah bungkus makanan, botol air mineral, dan sobekan tisu bekas pendaki buang hajat.

Sampah-sampah berserakan di Plawangan Sembalun (kiri) dan Segara Anak saat pendakian Juni 2024/Mochamad Rona Anggie

Sedih menyaksikannya. Sungguh ironi, Rinjani yang kesohor dengan keindahan alamnya, ternyata dipenuhi sampah. Begitu pula saat meneruskan perjalanan ke Segara Anak. Melewati jalur curam berbatu yang membuat ngilu dengkul, ceceran sampah nyata depan mata. Besar kemungkinan itu sampah dari Plawangan yang diterbangkan angin. Tidak sedikit jumlahnya, tapi banyak! Para pendaki kecewa dan prihatin.

“Enggak nyangka Rinjani banyak sampahnya,” komentar mereka.

Cerita sampah berlanjut ke camp area Segara Anak. Sisa makanan pendaki mudah ditemui di pinggir danau, juga di dasar sungai sebelah danau. Limbah mi instan dan nasi yang tak habis, tampak jelas dari permukaan air. Tak nyaman menatapnya. Tambah miris, karena jeroan ikan hasil memancing pendaki, bergeletakan di tanah. Menimbulkan bau amis. Seharusnya bagian ikan yang tidak dikonsumsi itu dikubur.

Ada-ada saja, batin saya. Danaunya indah, ikonis dengan Gunung Barujari di tengahnya, tapi sampahnya di mana-mana. Nah, giliran saya mau buang hajat, lucu lagi. Pengalaman mendaki gunung-gunung di Jawa, rasanya mudah saja mencari pojokan untuk “bongkar muatan”. Namun, di sekitar Segara Anak, lain cerita. 

Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025
Peserta menyisir sudut danau Segara Anak untuk mencari sampah/dokumentasi TNGR

Saya bergegas menuju sebuah semak yang jauh dari pantauan orang. Tak disangka, di situ sudah berderet kotoran manusia. Larilah saya ke sudut lain di bawah pohon besar—saya bayangkan bisa leluasa menunaikan hajat. Sampai di sana, astaga! Tampak tumpukan “warisan” pendaki sebelumnya mulai mengering dan dikerubuti lalat. Tak kuasa pindah tempat lagi—karena sudah di ujung tanduk—terpaksa saya melepasnya di antara “penghuni” lama. Sambil tangan mengibas-ngibas agar lalat menjauh.    

Sebenarnya di belakang warung penduduk lokal yang berjualan dekat danau, ada bangunan toilet. Namun, sudah lama tidak terpakai. Rusak dan terbengkalai. Gusti menerangkan pihaknya akan meratakan toilet lawas itu. Sekarang TNGR bersama Arei Outdoor Gear tengah menyiapkan toilet kering dua pintu di sana. Termasuk di camp area Plawangan 1 dekat selter darurat. Tujuannya meminimalisasi pendaki buang air besar dan kecil sembarangan. “Sarana memang masih terbatas, tapi kami upayakan ada,” ucapnya.

Perwakilan Arei Outdoor Gear, Fingki Syaputra menjelaskan, toilet kering yang mereka bangun di camp area Plawangan dan danau Segara Anak diberi nama Sani Cycle. Pihaknya bareng Tyo Survival merancang Sani Cycle dengan konsep ramah lingkungan. Penerangan malam hari memakai solar panel. Siangnya memanfaatkan cahaya matahari. 

Pendaki Wajib Pakai Wadah Guna Ulang

Kepala Balai TNGR Yarman mengungkapkan, program bebas sampah di Gunung Rinjani sudah mendesak diberlakukan. Menurutnya, ini kebutuhan semua pihak: TNGR sebagai pengelola, para pengunjung, dan alam Gunung Rinjani itu sendiri.

Peluncuran Go Rinjani Zero Waste, lanjut dia, sudah melalui proses panjang. Mulai pertemuan dengan pemerintah daerah (Pemkab Lombok Timur dan Pemprov NTB), masyarakat sekitar, pegiat alam terbuka, para porter serta pemandu. “Semua mitra kami ajak duduk bersama, merealisasikan pendakian Rinjani yang indah, bersih, dan nyaman,” katanya kepada penulis, Jumat (7/3/25).

Yarman menyebutkan sosialisasi program Rinjani nol sampah yang bakal diterapkan mulai 1 April 2025, juga sudah dilakukan jauh hari. Akun resmi @btn_gn_rinjani telah mengumumkan pendaki wajib memakai wadah makanan guna ulang (bukan sekali pakai), untuk menyimpan logistik pendakian. Setop membawa kemasan makanan dan minuman berbahan plastik, kaleng, styrofoam, botol kaca, dan tisu basah. “Go Rinjani Zero Waste menekankan penggunaan wadah reuse dan refill,” tegas mantan Kepala Balai Taman Nasional Wasur, Merauke.    

Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025
Plawangan Sembalun lebih bersih usai Clean Up Rinjani, Februari 2025/dokumentasi TNGR

Persoalan sampah di Rinjani, sambung Yarman, memang tak bisa diselesaikan lingkup TNGR saja. Termasuk ketika sampah hasil kegiatan bersih gunung berhasil dibawa turun. Perlu penanganan dari Pemkab Lombok Timur untuk diangkut ke pembuangan akhir. Kepedulian semua pihak akan membuat wajah Indonesia terhormat di mata internasional.

“Kita tahu banyak pendaki mancanegara di Rinjani. Kalau gunungnya bersih, citra Indonesia akan positif. Sesuai dengan misi ‘Pendakian Kelas Dunia Berkelanjutan’ yang kami canangkan,” papar Yarman.

Soal penyediaan toilet permanen di camp area Segara Anak yang juga urgen, Yarman tak sungkan menyatakan butuh sokongan dan kepedulian pihak lain. “Jujur saja anggaran kami terbatas. Kami membuka diri kalau memang ada yang mau berpartisipasi,” tandas lelaki asli Sungai Penuh, Jambi, menutup perbincangan. 


Foto sampul: Gotong royong berburu sampah dalam kegiatan Clean Up Rinjani 26-28 Februari 2025/dokumentasi Arei Outdoor Gear


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melangkah Bersama Mendukung Rinjani Nol Sampah 2025 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melangkah-bersama-mendukung-rinjani-nol-sampah-2025/feed/ 1 46437
BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/ https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/#respond Wed, 19 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46308 Kisah sukses Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Indonesia belum begitu nyaring terdengar. Padahal, kiprahnya mampu membuat orang kota kagum dan penasaran.  BUMDes Arya Kamuning, salah satu BUMDes di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan dapat...

The post BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Kisah sukses Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Indonesia belum begitu nyaring terdengar. Padahal, kiprahnya mampu membuat orang kota kagum dan penasaran. 

BUMDes Arya Kamuning, salah satu BUMDes di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan dapat menahan pemuda lokal untuk tak bergegas ke kota: melupakan sama sekali istilah urbanisasi, memilih menetap di kampung halaman, dan turut serta dalam pengembangan sektor pariwisata di desanya.

BUMDes Arya Kamuning mengelola Telaga Cicerem dan Side Land—area perkemahan plus kolam renang—di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan. Sebuah wilayah di kaki Gunung Ciremai, bisa ditempuh 45 menit dengan motor dari Kota Cirebon. Atau sekitar satu jam pakai mobil karena di beberapa titik cenderung macet.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

Saya mengunjungi Side Land, Kamis (9/1/2025). Saya menyurvei lokasi tersebut untuk rencana kegiatan camping sekolah. Penjaga loketnya Hilda, seorang wanita berkerudung. Dia menyebutkan harga tiket masuk kawasan Rp30.000, untuk durasi kunjungan dua hari satu malam. “Bisa berkemah di tempat yang disediakan, dan renang sepuasnya,” katanya ramah.

Kalau hanya berenang, orang dewasa dikenakan tarif Rp15.000, anak-anak Rp10.000. Ada lima pilihan kolam renang dengan masing-masing kedalaman 50 cm, 50–80 cm, 100 cm, 80–120 cm dan 1–1,5 meter. “Kalau renang datang rombongan minimal 50 peserta, kami diskon 10 persen,” bebernya.

Nah, buat penikmat alam terbuka, area berkemah di kawasan Side Land ada di dua titik: sisi barat yang satu kompleks dengan kolam renang, dan sebelah timur dengan kontur tanah berbukit, yang mampu menampung 200 tenda dome. Pemandangan dari sisi timur lebih lepas ke segala arah. Termasuk saat malam hari, pengunjung dapat menikmati lampu-lampu kota nun jauh di bawah.

Hilda menerangkan, kalau hujan deras pas camping tamu bisa berlindung ke pendopo. Tersedia colokan listrik dan dispenser yang air panasnya bisa untuk menyeduh kopi atau teh. Meja-meja panjang berikut kursinya bebas dipakai. Bisa santai sambil menikmati aneka camilan dan berbincang hangat bareng keluarga atau teman dekat.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

Aktif Sejak 2017

Pada kunjungan perdana itu, saya beruntung berjumpa Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim. Sosoknya bersahaja dengan penampilan sederhana. Pertama kali melihatnya, saya tak menyangka lelaki 49 tahun itu adalah orang di balik kesuksesan pengelolaan Telaga Cicerem dan Side Land, hingga mampu menyetor untuk Pendapatan Asli Desa (PADes) sebesar lebih dari setengah miliar pada 2022 dan 2023.

Kalau saja Hilda tak memberi tahu, awalnya saya mengira Iim adalah mandor yang sedang mengawasi para pekerja. Jauh dari kesan perlente. “Saya mah, ya, begini,” kata Iim menjelaskan alasan tak berpenampilan formal layaknya petinggi perusahaan. Dia mengaku tak ingin kehilangan jati diri sebagai orang desa, sehingga memilih berpakaian seperti warga desa umumnya. “Buat apa tampil mencolok, tapi tak berbuat apa-apa,” tegasnya.

Terlahir di Dusun Binaloka, Desa Kaduela, Iim awalnya berprofesi sebagai pedagang. Ia tergerak mengembangkan potensi alam desanya, setelah melihat objek wisata Telaga Cicerem punya daya tarik bagi wisatawan. “BUMDes Arya Kamuning mulai aktif 2017. Kami coba memaksimalkan (pengelolaan) Telaga Cicerem. Alhamdulillah, responsnya positif,” ungkap ayah tiga anak itu.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Bertemu Direktur BUMDes Arya Kamuning Iim Ibrahim/Mochamad Rona Anggie

Sukses menata Telaga Cicerem, naluri kemandirian Iim menangkap peluang lainnya. Ia melihat lahan luas di blok Sidelan yang merupakan tanah bengkok milik perangkat desa. Dua lokasi berseberangan yang dipisahkan jalan desa itu, kemudian dibangun kolam renang dan bumi perkemahan pada 2021–2022. “Kami memanfaatkan lahan kritis, yang view-nya punya nilai jual,” kata Iim mengungkap awal ‘babat alas’ objek wisata Side Land.

Kiranya pilihan Iim dan anggota BUMDes Arya Kamuning jitu. Kini pengunjung Side Land sambil berenang bisa menikmati pemandangan persawahan hijau yang berundak, Gunung Ciremai yang menjulang di sisi utara dan gunung batu kapur di sebelah barat. Tambah lagi, udara sejuk khas perdesaan dijamin bakal membuat pelancong betah berlama-lama.

Iim membeberkan modal pembangunan Side Land memakai laba pengelolaan Telaga Cicerem plus pinjaman dari beberapa pihak. Di salah satu kolam renang, ditempel plakat peresmian Side Land pada 29 Maret 2022, yang ditandatangani oleh Iim. Perlahan tapi pasti, lanjut Iim, begitu dikenalkan ke publik, wisatawan dari Kuningan dan Cirebon langsung menyerbu. Terbukti pada libur panjang seperti Lebaran, pengunjung bisa mencapai 800–1.000 orang per hari. Termasuk libur anak sekolah dan momen akhir tahun. Di hari biasa, Side Land mampu menyedot rata-rata sehari 300 turis domestik.

  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
  • BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata

“Alhamdulillah, sudah bisa bayar pinjaman dan memberdayakan perekonomian warga desa,” ucap Iim semringah.

Terkait pilihan nama Side Land, terang Iim, pengurus BUMDes Arya Kamuning sempat berembuk menghimpun ide dan masukan. Kira-kira nama apa yang mengundang penasaran wisatawan, mudah diingat, dan pastinya punya nilai jual. “Karena ada di blok Sidelan, tercetuslah Side Land,” ungkapnya.

Iim melengkapi pula keseruan rekreasi di Side Land dengan mendatangkan delapan unit motor empat roda alias all-terrain vehicle (ATV). Pengunjung akan melewati medan berlumpur dan trek menantang lainnya selama 25 menit, dengan harga sewa Rp25.000 per unit.

Pihaknya menawarkan pula petualangan off-road, melibatkan komunitas jip dengan harga mulai 400–500 ribu rupiah durasi satu jam, menempuh jarak enam kilometer. Wisatawan dibawa keliling perdesaan menyaksikan aktivitas tanam padi di sawah, naik ke perbukitan, melintasi hutan dan kolam-kolam ikan milik warga. “Bakal menjadi pengalaman yang mengesankan bagi orang kota. Mudah-mudahan mereka mau datang lagi,” harap Iim.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Unit ATV di Side Land yang bisa disewa/Mochamad Rona Anggie

Pemuda Desa Enggan ke Kota Lagi 

Iim menyebutkan sampai sekarang ada 170 pengurus BUMDes Arya Kamuning. Terdiri dari pemuda dan pemudi anggota karang taruna, ibu rumah tangga, serta orang-orang tua. Ia menegaskan pengerjaan proyek Side Land, termasuk penataan Telaga Cicerem, murni dikerjakan penduduk lokal. “Kami tak pernah memakai konsultan. Berupaya menampung ide-ide warga desa, kemudian direalisasikan secara gotong-royong,” tuturnya bangga. 

Sejauh ini pengembangan wisata alam Desa Kaduela mampu menarik perhatian anak muda setempat. Di antaranya Irman Nurahman, yang sejak 2016 aktif di karang taruna. Kepada penulis, lelaki 35 tahun itu menjelaskan, ketika pemerintah pusat mengharuskan sebuah desa memiliki BUMDes pada 2017, lantas terbentuklah BUMDes Arya Kamuning. “Mulanya karang taruna yang mengelola Telaga Cicerem. Kemudian beralih ke BUMdes, otomatis saya ikut gabung,” katanya.

Irman mengaku kehadiran BUMDes Arya Kamuning sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Sebelumnya usai tamat SMP, ia memilih merantau ke kota. Bekerja membantu perekonomian orang tua dan menambah pengalaman. Namun, begitu ada BUMDes, ia tak tertarik lagi ke kota. “Walau pendapatan di kota itu besar, tapi biaya hidup besar pula. Dihitung-hitung enak tinggal di kampung sendiri, sesuai antara pendapatan dan pengeluaran,” papar lelaki yang baru saja dikaruniai anak pertama itu. “Istilahnya kalau ada (pekerjaan) yang dekat, kenapa cari yang jauh,” imbuhnya. 

Selain itu, sambung Irman, BUMDes Arya Kamuning kini menjadi wadah aktivitas positif generasi muda Desa Kaduela, karena kegiatan di karang taruna sedang tidak aktif. Dalam pengamatannya, pemuda dan pemudi Desa Kaduela tampak antusias ikut mengelola tempat wisata di kampung halaman. “Kami senang turut diberdayakan dan bisa berkiprah memajukan desa,” kata tenaga harian lepas (THL) penjaga wahana ayunan di Telaga Cicerem itu.

BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata
Informasi wisata BUMDes Arya Kamuning di pertigaan Polsek Pasawahan/Mochamad Rona Anggie

Pemuda lainnya, Opik Hidayat, memilih bergabung di BUMdes Arya Kamuning sejak 2021, sebab terkena pemutusan hubungan kerja ketika mengadu nasib di kota. “Waktu itu ada wabah COVID-19, saya kena pengurangan karyawan. Pulang ke desa, lalu tertarik gabung BUMdes,” ucap lajang 25 tahun itu.

Kini, Opik bertugas di loket tiket pintu masuk Side Land. Bergantian jaga selang sehari dengan Hilda. Baginya, menyibukkan diri di BUMDes Arya Kamuning lebih menyenangkan, ketimbang berjibaku dengan kerasnya kehidupan kota. “Lebih tenang di sini, banyak teman dan keluarga,” ujarnya seraya menyebut kawan lainnya dipercaya menjaga parkir kendaraan, mengurus pemeliharaan taman, dan mengawasi pengunjung yang berenang. “Apalagi kami diberi bayaran, ya, senang dong,” tambah bungsu dari empat bersaudara itu.

Senada dengan Hilda, yang memutuskan aktif di BUMDes sejak 2022. Ia menjadi petugas ticketing Side Land bergantian dengan Opik. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat oleh BUMDes Arya Kamuning terasa nyata, bukan lagi sekadar omong-omong. “Selain dekat rumah, juga dekat dengan keluarga. Kalau kerja di kota kan jauh (dari keluarga),” tuturnya memberi alasan tertarik bekerja di Side Land.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post BUMDes Arya Kamuning: Memberdayakan Warga Kaduela dengan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bumdes-arya-kamuning-memberdayakan-warga-kaduela-dengan-pariwisata/feed/ 0 46308