Mochammad Helmi Santosa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/mochammad-helmi-santosa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Dec 2021 06:55:17 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Mochammad Helmi Santosa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/mochammad-helmi-santosa/ 32 32 135956295 Cara Terbaik Memaknai Pulang (4) https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-4/ https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-4/#respond Tue, 12 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30407 Pagi ini saya sudah harus pamit. Saya akan melanjutkan perjalanan saya yang—untuk kali ini, dirahasiakan. Saya tidak ingin ada yang tahu. Jadi, ketika ada yang bertanya, saya hanya menjawab, “Mau balik.” (bukan ‘pulang’). Dan memang,...

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi ini saya sudah harus pamit. Saya akan melanjutkan perjalanan saya yang—untuk kali ini, dirahasiakan. Saya tidak ingin ada yang tahu. Jadi, ketika ada yang bertanya, saya hanya menjawab, “Mau balik.” (bukan ‘pulang’). Dan memang, nyatanya saya memang balik lagi ke Jogja—hanya untuk numpang lewat. Lalu, sekitar pukul 8 lebih, saya sudah meninggalkan dinginnya bumi Temanggung yang selalu menyambut saya dengan hangat.

Masih sejauh inikah?

Kurang lebih pukul 10 saya singgah di sebuah pom bensin di Jl. Raya Jogja-Solo, saya sudah di Jogja. Lalu, secara kebetulan dua orang teman mengirim SMS, bertanya, sudah sampai mana. Tentu saya menjawab kalau saya sudah sampai di Jogja, dan saya tidak berbohong. Mereka hanya perlu tahu cukup sampai di sini. 

Setelah mengisi bensin dan angin ban, saya kembali jalan, berkendara di bawah teriknya matahari di siang bolong.

Masjid Agung al-Aqsha Klaten - Helmi Santosa (2)
Masjid Agung al-Aqsha Klaten/Helmi Santosa

Adzan Dzuhur berkumandang, dan kebetulan sekali waktu itu saya sudah tiba di Masjid Agung al-Aqsha, Klaten. Masjid yang besar dan megah. Saya berada di tempat dan waktu yang tepat untuk meneduhkan raga dan jiwa saya.

Bisa kalian lihat sendiri, siang itu, Kamis, 15 April 2021, langit sedang cerah-cerahnya—dengan kata lain, sangat terik. Sebelum lanjut, saya sempat melihat Google Maps untuk melihat jarak menuju kota yang akan saya singgahi selanjutnya. Allahu akbar, masih sejauh inikah? Hampir 300 km menuju timur, dengan waktu tempuh kurang lebih delapan jam. Saya tidak mungkin kembali, dan saya juga belum mau pulang. Jadi, saya memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan—yang diiringi oleh sekian banyak keraguan di awal langkahnya.

Lelah, bosan, dan takut

Sampai hari ini saya masih agak menyesal tidak memfoto tangan saya yang gosong terbakar. Belang. Lengah saya terlihat lebih putih, tapi tidak dengan tangan saya yang benar-benar menghitam. Hal itu mulai tampak sejak saya berkendara dari Klaten. Langit cerah di sepanjang perjalanan. Terlebih, di wilayah-wilayah ini memang cukup terkenal dengan udaranya yang panas dan cukup gersang. 

Beruntung menjelang Ashar cuaca sudah mulai teduh. Ketika itu saya sudah memasuki perbatasan Sragen, kembali beristirahat di salah satu masjidnya yang lumayan besar.

Melihat posisi saya saat ini, saya sadar kalau saya sudah kian menjauh. Konyol kalau harus kembali lagi, tapi perjalanan di depan juga tampaknya masih sangat panjang, apalagi saya tipe orang yang tidak sabaran. Namun, sekali lagi, meski terdengar dramatis, memang beginilah adanya. Saya sudah bertekad mengambil jalan saya, jadi saya harus menempuhnya. Dan motor pun kembali melaju.

Coba kalian duduk tanpa kursi dan lihatlah bagaimana posisi tubuh kalian. Seperti sedang memasang kuda-kuda, ya? Begitulah posisi saya selama berkendara. Jok motor saya adalah jok single seat dan rata. Saya juga membawa tas yang terisi penuh, di depan dan punggung saya. Kalian bisa membayangkannya sendiri. Karena lelah, saya kembali berhenti di pom bensin. Tidur-tiduran di sembarang kursi panjang dan mulai berbicara sendiri.

Tapi itu tidak lama, karena saya segera beranjak. Kurang lebih sekitar pukul 5 sore saya sudah berada di perbatasan Ngawi-Bojonegoro, menyusuri jalannya yang memang sangat bagus, tapi sepi. Hanya ada hutan di kiri-kanan. Sesekali naik, lalu turun lagi. Jarang ada permukiman di sini. Walau kadang ada bus-bus AKAP dan truk Pertamina yang melintas, perlahan saya mulai takut. 

Di hari yang mulai gelap dan di tempat yang jauh dari pemukiman, yang saya takutkan hanyalah apabila terjadi sesuatu dengan motor saya. Saya hanya sendiri—kalian tentu bisa membayangkannya. Namun, syukurlah, tidak terjadi apa-apa.

Jembatan Suramadu - Helmi Santosa
Jembatan Suramadu/Helmi Santosa

Menyeberangi pulau

Untuk kali kedua, saya kembali berbuka di teras Indomaret. Kali ini saya sudah berada di Lamongan. Masih tersisa tiga jam lagi hingga saya tiba di tujuan, rumah seorang kawan.

Agak sial, malam itu hujan kembali turun cukup deras. Belum lagi ketika telah memasuki kota tujuan, saya diberi tahu kalau saya salah mengambil jalan. Saya memutar terlalu jauh, belasan kilometer. Itu menghabiskan hampir setengah jam waktu saya, yang seharusnya sudah sampai jika tadi tidak salah jalan. Akhirnya, setelah lebih dari 12 jam perjalanan, hampir pukul 10 malam, saya sampai juga di rumah kawan saya di Sidayu, Gresik.

Malam berlalu cepat. Pagi ini kami berencana melihat Jembatan Suramadu. Hanya butuh sekitar satu jam untuk menuju ke sana. Menjelang tengah hari, kami berdua sampai.

Ini adalah perjalanan terjauh saya. Saya sendiri juga tidak menyangka bisa sampai sejauh ini, padahal di awal, bahkan sebelum memulainya, saya sempat ragu. Mungkin itulah sebabnya suatu perjalanan akan terasa mudah bila kita selalu mengingat tujuan yang hendak dicapai, dalam hal apapun.

Sepulang dari Suramadu, kami juga menyempatkan diri mampir dan melihat-lihat kota Surabaya. Duduk-duduk sebentar di taman Monumen Suroboyo, menikmati sore yang sibuk dan padat di Surabaya.

Saya di perjalanan bukan tanpa masalah. Di Surabaya, ketika baru saja motor saya keluar dari bengkel untuk ganti oli, baru beberapa meter berjalan, kabel kopling saya putus, dan saya harus kembali lagi. Tapi seperti itulah hidup, tak ada yang selalu benar-benar mulus. Persiapkan saja sebaik mungkin.

Taman Monumen Suroboyo - Helmi Santosa
Taman Monumen Suroboyo/Helmi Santosa

Temukan makna “rumah” versimu, lalu pulanglah

Sabtu, 17 April, kembali saya berpamitan dengan kawan saya itu. Hari-hari yang menyenangkan bisa berjumpa kembali dengannya.

Siang yang terik kembali saya hadapi. Tangan saya sudah sangat hitam dan kering. Sedikit saja digaruk, akan terlihat kulit-kulit kering yang mengelupas.

Kembali, Lamongan, Ngawi, dan Bojonegoro, saya lalui. Paginya, sebelum pulang, saya sudah menelepon seorang kawan di Cepu, bilang mau mampir menginap dan dia mengiyakannya.

Saya tiba di pondok tempat ia bertugas sekitar pukul 5 sore. Letak pondok tersebut berada di sisi petak persawahan yang tidak terlalu besar, dengan pemandangan yang lepas karena tidak ada bangunan-bangunan besar di sekitarnya. Lagi-lagi, saya kembali bisa menikmati senja yang tenang dan syahdu.

Malamnya, kami berdua jajan di sebuah angkringan yang berada di gapura perbatasan Jateng-Jatim. Sayang, hampir semua pengunjung mengabaikan protokol kesehatan. Maka dari itu, kami sengaja memilih tempat yang jauh dari keramaian, di belakang gapura.


Suasana pagi hari masih sepi; kami memutuskan untuk beristirahat sebentar. Barulah siang harinya kami berdua berangkat bersama. Setelah hampir dua jam berkendara, kami berpisah. Teman saya menuju Solo, sedangkan saya terus ke Jogja. Pulang.

Selama perjalanan pulang itu, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran berkesan dari perjalanan saya selama seminggu ini. Dari yang semula ketika pergi saya amat muak tinggal di rumah, kini, setelah melalui perjalanan hampir 1000 km seorang diri, saya sudah bisa memaknai sepenuhnya arti ‘pulang’ dan sangat menantikan waktu kapan saya bisa pulang. Bagi saya pribadi, kita akan benar-benar ‘pulang’ jika kita bisa menemukan arti dari sebuah “rumah”.

Sebab, di sepanjang perjalanan, saya menyaksikan sendiri orang-orang yang untuk sesaat, atau bahkan selamanya, kehilangan “rumah”. Ada yang memang karena tuntutan, seperti bekerja, sehingga harus pergi meninggalkan rumah selama beberapa waktu lamanya. Ada juga yang memang memilih atau terpaksa meninggalkannya karena diterpa berbagai masalah, seperti anak-anak jalanan. Di luar sana masih banyak orang yang belum bisa pulang dan menemukan makna “pulang”.

Karena itu, selagi masih memiliki tempat berpulang, temukan dulu makna “rumah” versimu sendiri, setelah itu, pulanglah.

Ditutup dengan sempurna

Seperti yang saya sebutkan di awal kisah, perjalanan saya kali ini sepertinya benar-benar direstui oleh orang tua dan juga dikehendaki oleh Tuhan. Saya sudah masuk wilayah Jogja sekitar pukul 16.30-an, dan sampai di rumah pukul 5 lebih. Saya mengetuk pintu rumah, masuk, bersalaman dsb., mendengarkan cerita-cerita baru dari adik-adik, mandi, dan kemudian duduk bersama keluarga, dalam satu meja, untuk menanti waktu berbuka.

Seolah dilebihkan, layaknya film drama, tapi memang beginilah ceritanya. Kepergian saya selama seminggu sungguh sangat bermakna, memberikan pelajaran baru yang sama sekali berbeda. Dan ketika saya sedang berada dalam perjalanan pulang dan telah menemukan sendiri makna “pulang”, saya bersyukur segalanya ditutup dengan sempurna.


Akhir kata, mengutip dari TelusuRI, semoga cerita perjalanan saya kali ini bisa membuat kalian terinspirasi.

“Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekalipun akhirnya akan hilang ditelan zaman… ”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-4/feed/ 0 30407
Cara Terbaik Memaknai Pulang (3) https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-3/ https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-3/#respond Sat, 02 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30282 Malam itu menjadi malam yang penuh cerita. Saya sudah berada di pondok tempat bertugas teman saya, di Kecamatan Margasari. Entah bagaimana teman saya itu menunjukkan jalan mana yang seharusnya dilalui, saya tidak begitu paham dan...

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Malam itu menjadi malam yang penuh cerita. Saya sudah berada di pondok tempat bertugas teman saya, di Kecamatan Margasari. Entah bagaimana teman saya itu menunjukkan jalan mana yang seharusnya dilalui, saya tidak begitu paham dan ambil pusing. Yang jelas, saya sudah sampai, itu yang terpenting. Kami pun menghabiskan malam dengan cerita perjalanan saya, yang membuat teman saya tersebut heran. Nekat dan gila, katanya.

Esok paginya, langit Tegal terlihat cerah. Perlahan terik, lalu berawan. Kurang lebih sekitar pukul 9 pagi baru saya berangkat, setelah berpamitan tentunya. Saya diantar menuju jalan besar, lalu ditunjukkan arah pulang ke Temanggung yang lebih dekat. Lewat Purbalingga. Saya sudah pernah masuk ke kotanya, tapi entah seperti apa pinggirannya. Motor terus melaju.

Dari yang sebelumnya terasa gerah, kini perlahan hawanya mulai terasa sejuk. Saya melaju naik, menuju Guci Gung. Itu adalah sebuah tempat pemandian air panas yang berada di dataran tinggi Tegal. Persis seperti Kaliurang di Jogja, atau Lembang di Bandung. Tahun lalu saya sempat berkunjung ke sini dua kali. Pemandangannya khas daerah dataran tinggi, dengan pemandangan kebun-kebun di sisi kiri dan kanan jalannya. Satu dari sekian pemandangan yang banyak dirindukan orang.

Hujan, panas, lalu hujan lagi…

Saya sudah sampai di daerah pinggiran Purbalingga. Itu yang saya lihat dari Google Maps. Bermodal papan petunjuk arah dan dengan sesekali bertanya tiap menjumpai persimpangan kecil, saya bisa sampai ke sini. Sebenarnya saya juga memasang handsfree di telinga saya sehingga saya bisa mendengar semua arahan dari Google Maps. Namun, karena saya merasa rutenya cukup mudah, saya mematikannya di tengah-tengah perjalanan. Takut kehabisan baterai.

jalan di Purbalingga - Helmi Santosa
Jalan di Purbalingga/Helmi Santosa

Di daerah Purbalingga yang saya lewati ini, jalannya cukup membuat saya meringis berkali-kali. Menanjak, turun, berkelok, dan di beberapa tempat terdapat banyak lubang besar, bahkan tak jarang ada yang hancur. Saya mengkhawatirkan kampas rem dan ban motor. Kadang motor saya pacu mengebut, lalu tiba-tiba di depan terlihat lubang-lubang cukup besar yang memenuhi lebar jalan. Kalian jelas tahu pasti apa yang terjadi. Menghindar tak sempat, mengerem pun motor masih melaju kencang. Saya menerjang lubang-lubang itu sangat keras. Dan itu terjadi beberapa kali dan di beberapa titik sepanjang jalan, tak hanya sekali. Lubang-lubang itu seringnya tidak tampak dari kejauhan, maka jadilah sebagaimana yang saya ceritakan.

Di sepanjang jalan, sebelum sampai di Purbalingga kota, hujan beberapa kali turun membasahi tubuh. Terasa lumayan menjengkelkan, antara tetap mengenakan mantel atau melepasnya. Akhirnya saya terus saja mengenakan mantel, tak peduli seterik apapun jalan di depan sana. Layaknya hidup yang seringnya penuh ketidakpastian, setidaknya kita sudah bersiap sebaik mungkin.

salah satu perkebunan di Purbalingga - Helmi Santosa
Salah satu perkebunan di Purbalingga/Helmi Santosa

Tepat adzan Dzuhur berkumandang, saya tiba di Masjid Agung Purbalingga. Lega rasanya. Mengambil waktu sejenak untuk beristirahat, melepas penat, dan mengamati manusia yang sedang beraktivitas.

Usai salat Dzhuhur, saya duduk-duduk sebentar di teras masjid, sebagaimana jamaah lainnya. Beberapa memang sengaja menjadikan waktu salat sebagai kesempatan untuk rehat, berteduh dan menepi sebentar. Langit Purbalingga hari itu biru tak berawan, terik. Hari kedua puasa. Di teras, saya hanya menatap kosong kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Sibuk. Melihat itu saya bersyukur saja, karena masih belum diberi tanggung jawab lebih untuk mencari nafkah.

Beberapa menit, saya kembali melesat, menuju Temanggung. Kalau kemarin saya lewat jalur utara, sekarang saya lewat jalur selatan yang katanya memang inilah jalan yang biasa dilewati kebanyakan orang bila hendak menuju Tegal. Lewat kota kabupaten.

Baru sampai di Kabupaten Banjarnegara, hujan kembali mengguyur deras. Sangat deras. Saya sudah persiapan memakai mantel dari tadi. Namun, ketika hujan lebat ini mulai disertai angin kencang, saya memutuskan untuk menepi, berteduh. Saya singgah di sebuah musala kayu yang berada persis di sebelah sebuah restoran. Letaknya ada di kiri jalan. Bangunannya bagus dan terawat. Jelas merupakan tempat singgah yang nyaman untuk orang yang sedang bepergian.

Di dalam, saya hanya membaca-baca berita, menonton highlight sepak bola, dan membalas pesan-pesan yang masuk. Menatap keluar, sepertinya hujan ini akan lama. Dan benar, semakin lama justru semakin lebat. Angin bertiup sangat kencang seolah mengamuk. Apa daya, saya hanya bisa menunggu. Lumayan juga, sekalian men-charge ponsel.

Sudah hampir satu jam dan hujan belum juga mereda. Tapi angin yang bertiup sudah tak sekencang tadi. Waktu yang tepat untuk kembali meneruskan perjalanan, maka saya pun bersiap.

Di sepanjang jalan nasional Banjarnegara, hujan masih turun dengan derasnya hingga saya mendekati daerah Wonosobo-Parakan. Hujan sudah mulai merintik. Lebih menyenangkan dan menakjubkan lagi ketika saya sudah masuk Parakan dan mulai menuruni jalannya. Ternyata sore itu Temanggung cerah, jalanan juga lengang. Sesekali ada truk yang melintas, berpapasan. Setahu saya truk muatan seperti itu, memang berangkat pada jam-jam ini, menjelang Maghrib.

Rabu, 14 April 2021. Senja yang sama seperti ketika saya pertama kali berangkat dari Jogja, cerah bersahabat dan syahdu. Perlahan saya mulai bisa menikmati hidup dan merindukan rumah. Iya, sebagaimana yang sudah saya sebutkan di awal cerita, saya sempat depresi dan amat muak tinggal di rumah. Jadi, kalau ada yang bilang traveling itu menyehatkan, itu benar. Amat menyehatkan dari segala sisinya.

Tapi cerita saya belumlah selesai. Saya masih belum ingin pulang ke rumah. Target perjalanan saya belum tuntas. Bila kemarin saya pergi ke arah barat, besok adalah waktunya saya pergi jauh menuju timur. Demi menemukan makna pulang yang sebenarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-3/feed/ 0 30282
Cara Terbaik Memaknai Pulang (2) https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-2/ https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-2/#respond Thu, 23 Sep 2021 09:11:55 +0000 https://telusuri.id/?p=30270 Pagi itu masih sepi. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saat bulan puasa, para santri (dan teman-teman saya) akan tidur sebentar, biasanya mulai pukul 06.30-an. Namun, saya tidak, karena saya sudah bersiap untuk memulai sebuah perjalanan....

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu masih sepi. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saat bulan puasa, para santri (dan teman-teman saya) akan tidur sebentar, biasanya mulai pukul 06.30-an. Namun, saya tidak, karena saya sudah bersiap untuk memulai sebuah perjalanan.

pagi di bumi Dieng
Pagi di bumi Dieng/Helmi Santosa

Barangkali, hari ini adalah awal puasa terbaik saya

Pada perjalanan pertama ini saya sengaja tidak membawa seluruh barang bawaan saya. Saya hanya pergi satu hari. Ya, saya masih akan balik lagi ke pondok, jadi barang-barang yang dirasa tidak perlu akan saya tinggal di sini.

Motor sudah dipanaskan, ransel kecil berisi pakaian ganti juga sudah saya bawa. Tanpa banyak berkata, saya segera meluncur. Saya hanya berpamitan kepada beberapa orang yang kebetulan saya temui.

Pada perjalanan pertama ini saya sengaja tidak membawa seluruh barang bawaan saya. Saya hanya pergi satu hari. Ya, saya masih akan balik lagi ke pondok, jadi barang-barang yang dirasa tidak perlu akan saya tinggal di sini.

Motor sudah dipanaskan, ransel kecil berisi pakaian ganti juga sudah saya bawa. Tanpa banyak berkata, saya segera meluncur. Saya hanya berpamitan kepada beberapa orang yang kebetulan saya temui.

“Ke mana?”
“Naik.”

Begitulah jawaban saya tiap kali ada yang bertanya saya hendak pergi ke mana.


gerbang menuju Dataran Tinggi Dieng
Gerbang menuju Dataran Tinggi Dieng/Helmi Santosa

Cerah dan sedikit berawan. Suasana pada pagi, Selasa 13 April 2021, tampaknya memang sedang berpihak kepada saya—hanya untuk pagi itu.

Motor terus melaju naik. Benar, saya tidak bohong. Saya memang sedang naik, karena ketika saya sedang menikmati hijaunya lahan perkebunan yang berada di kaki bukit, selangkah lagi saya sudah hampir memasuki Dataran Tinggi Dieng.

Sebelum masuk kawasan Dieng, saya sempat berhenti sebentar di sebuah gardu pandang. Kalau dari bawah, letaknya berada di kanan jalan. Parkirnya cukup luas dan tidak memakan bahu jalan. Dan yang terpenting, dari sini kita bisa melihat bagaimana Tuhan menjadikan bumi Dieng tampak begitu asri nan sejuk.

pemandangan dari gardu pandang Tieng (2)
Pemandangan dari gardu pandang Dieng/Helmi Santosa

Puas menikmati panorama perkebunan, saya kembali melanjutkan perjalanan. Naik lagi, menuju Dataran Tinggi Dieng.

Saat itu kira-kira pukul 10 pagi, dan saya sedang asyik menyusuri jalanan Dataran Tinggi Dieng yang meliuk-liuk. Sangat indah, sekaligus ngeri. 

Bagi yang sudah pernah, pasti tahu kalau di sepanjang jalan menuju Dieng ini ada banyak kebun kentang, terletak di lereng-lereng perbukitan yang lumayan curam, dengan kemiringan hampir 90 derajat. Kadang terlihat beberapa petani yang menggendong hasil panen mereka sambil menuruni bukit, dan itulah yang membuat saya kagum.

Siapapun bisa tergoda untuk singgah dan menjelajahi bumi Dieng, apalagi saat itu Dieng sedang cerah-cerahnya. Namun, bukan di sini tujuan saya. Perjalanan yang akan saya tempuh masihlah jauh sehingga saya tidak sempat mampir dan menikmati keindahan alam Dieng lebih lama.

Meski begitu, saat sedang menyusuri hamparan buminya yang membentang dan tinggi (kita bisa memandang jauh dari sini, tanpa penghalang), ditambah sejuk dan dinginnya udara Dieng, saya rasa, mungkin inilah awal puasa terbaik saya—sepanjang hidup yang sudah saya jalani.

Rasanya lepas dan bebas.

Tidak ada jagoan yang berdiam di kandang

Kalau dari tadi saya berjalan naik, kini sudah saatnya turun. Dieng sudah berada jauh di belakang. Saya segera menelpon seorang teman yang memang sudah lama ingin saya kunjungi. Rumahnya cukup jauh, terletak di Kec. Kalibening, Kab. Banjarnegara. 

Di sepanjang perjalanan menuju ke sana, sesekali saya berhenti untuk melakukan video call. Iya, untuk menunjukkan lokasi saya dan meminta arah. Persimpangan mana yang harus saya ambil dan di gang mana saya harus belok, kurang lebih seperti itu. Cukup merepotkan memang, karena saya hanya sendiri.

Lewat satu jam lebih, akhirnya saya bertemu dengannya tepat di jalan masuk menuju kampungnya, jalan beraspal kasar yang diapit oleh hamparan persawahan yang membentang luas. Dugaannya bahwa saya hanya datang seorang diri adalah benar, karena ia heran kenapa saya sampai menelepon berkali-kali di sepanjang jalan. 

Melepas tawa sebentar, kami segera meluncur menuju rumahnya. Yang penting sudah sampai.

Waktu itu hampir tengah hari, beberapa menit menjelang adzan Dzuhur. Sebagaimana remaja lainnya, yang saya lakukan pertama-tama tentu saja numpang nge-charge. Barulah kemudian setelah kami selesai melaksanakan shalat Dzuhur, obrolan panjang mengalir di antara kami berdua hingga waktu menunjukkan pukul 2 siang. Waktunya saya pamit. Perjalanan masih panjang.

Sayangnya, hujan mulai merintik. Di teras rumahnya, saya segera mengenakan mantel dan memakai sandal jepit (sebelumnya sepatu). Bila menunggu reda, saya khawatir kesorean saat tiba di tujuan nanti, terlebih perjalanan kira-kira akan memakan waktu 2—3 jam. Akhirnya saya bergegas pamit, meninggalkan rumah mungilnya dan menuju jalan perbukitan yang dari kejauhan tampak gelap.


Benar-benar sepi, hanya ada saya seorang diri. Jalan yang meliuk naik-turun dan rimbun karena lebatnya pepohonan di tepi jalan. Sesekali saya merinding karena, selain hari yang memang sudah mulai gelap, kondisi di jalanan perbukitan itu benar-benar sepi dan sunyi, apalagi kadang hujan turun cukup deras. Saya pun hanya berpapasan dengan dua-tiga kendaraan, setelah itu tidak ada lagi. 

Namun, di samping itu, saya lebih sering merasa geram karena sudah hampir satu jam tapi saya belum juga keluar dari jalanan perbukitan ini. Sedikit jengkel, dan lebih karena bosan. Saya sempat berhenti sebentar untuk mengecek Google Maps, baru kemudian saya tahu kalau saya sedang berada di Pemalang. Ini salah satu foto jalan yang sempat saya ambil.

Begitu keluar dari perbukitan ini, saya sangat merasa lega. Akhirnya rasa jengkel saya berakhir sudah. Sangat membosankan harus melewati jalan tersebut seorang diri.

Saya lalu berhenti di sebuah persimpangan yang kebetulan sedang ada dua orang bapak-bapak di situ. Langsung saja saya berhenti dan menanyakan arah Kota Tegal. Setelah ditunjukkan arahnya, saya kembali meneruskan perjalanan.

Tentang subjudul ini, “Tidak Ada Jagoan yang Berdiam di Kandang”, dari sinilah ceritanya bermula.


jalan perbukitan di Pemalang (2)- Helmi Santosa
Jalan perbukitan di Pemalang/Helmi Santosa

Sore itu, di Pantura, cuacanya cukup cerah—dan tangan saya juga sudah mulai menghitam. Sangat berbeda dengan satu setengah jam yang barusan saya lalui. Agak ngeri ketika saya yang mengendarai motor harus sesekali “mengalah” dan memberikan jalan untuk kendaraan-kendaraan besar yang melaju kencang. Banyak sekali kendaraan besar yang melintas di jalur Pantura.

Karena tak ada belokan, saya terus saja melaju hingga kemudian, secara tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya. Tangan saya, yang tadi kepanasan, sekarang mulai menggigil kedinginan. Hujan turun sangat deras.

Saya masih terus melaju. Ketika terlihat sebuah keramaian yang saya yakini itu adalah kota, saya sedikit melambat. Mengamati papan petunjuk, berharap ada tulisan arah jalan menuju Slawi. Begitu kata Google Maps.

Saya hendak mengunjungi teman saya di salah satu ponpes di Tegal. Pondoknya terletak di Kec. Margasari, dan untuk menuju ke sana, katanya lebih dekat lewat Slawi.

Di sebuah perempatan kecil, masih di Pantura, saya melihat ada papan arah menuju Slawi. Tanpa pikir panjang, saya belok, keluar dari Pantura. Saya sekarang sudah memasuki jalan pasar yang ramainya bukan main, apalagi saat itu adalah hari pertama puasa. Ada banyak sekali orang, pejalan kaki dan pengendara, yang berkerumun dan mondar-mandir untuk membeli takjil, sedangkan saya sendiri, mulai punya firasat kalau saya kesasar.

Bukannya balik arah dan masuk lagi ke Pantura, saya terus saja melaju dan masuk semakin jauh. Orang-orang mulai jarang terlihat, dan sialnya, yang ada di sekeliling saya sekarang hanyalah sawah. Baterai ponsel saya sudah hampir habis, jadi saya matikan datanya, termasuk Google Maps; saya hanya akan memakainya untuk menelepon. Kini, saya kehilangan arah di tempat antah-berantah.

Yang saya tahu sekarang adalah bahwa saya harus terus jalan, jangan sampai saya bermalam di sini. Itu gila. Saya terus menyusuri jalan ini, yang kadang berlubang dan hanya dikelilingi sawah, tanpa tahu ke mana saya mengarah. Waktu itu sudah hampir Maghrib, sudah setengah jam lebih saya di jalan ini dan tidak juga terlihat ada jalan besar atau apa pun itu. Hanya sawah dan jalan berlubang, juga matahari yang perlahan mulai tenggelam.

Kalau kalian tahu, dan saya jujur, ketika itu saya hampir menangis dan dada mulai terasa sesak karena jengkel. Seketika itu juga saya teringat nyamannya berada di rumah. Saya pun jadi ingat saat saya bisa menyetir mobil di Jogja, di rumah. Saya sering ugal-ugalan dan berlagak sok jagoan. Sekarang, saya hampir menangis karena kesasar di negeri orang. Malu rasanya. Sangat malu.

Cerita selanjutnya mungkin akan terdengar dramatis, tapi memang itulah yang terjadi. Kalau saya berhenti sekarang, entah kapan saya akan sampai tujuan. Jadi, saya memutuskan untuk terus lanjut. Kebetulan ada seorang bapak yang baru pulang kerja, saya bertanya lagi, arah Kota Tegal. Ia mengatakan, kalau Tegal masih jauh ke arah barat. Benar, hampir satu jam lebih ini, sejak saya keluar dari Pantura, ternyata dari tadi saya berjalan ke arah timur. Itu artinya saya harus putar balik, dengan waktu tempuh dua kali lipat.

Beruntung, tak jauh dari lokasi saya tersebut ada persimpangan menuju jalan besar yang ternyata adalah Pantura. Langsung saja saya melaju sekencang mungkin, gaspol. Adzan Maghrib sudah berkumandang dari tadi dan saya belum berbuka. Tatkala melihat Indomaret, saya langsung menepi, membeli dua botol minuman ringan, lalu berbuka. Lega rasanya. Lega sudah keluar dari tempat antah-berantah, dan lega karena sudah melepas dahaga.

Singkat cerita, saya sudah memasuki Kota Tegal. Saya nyalakan Google Maps sebentar, lalu menuju ke pondok. Bukan, bukan pondok di Margasari. Ini adalah pondok tempat bertugas teman saya yang lain, sebut saja Mas Komandan. Saya tiba di sini sebelum Isya. Saya menceritakan perjalanan saya barusan kepadanya, saya diberi makan, lalu singgah di ruang tamu.

Saya sudah tidak mungkin lagi untuk melanjutkan perjalanan sendiri. Jadi, saya minta teman saya yang di Margasari itu untuk datang menjemput. Jarak antara pondoknya dan pondok Mas Komandan ini sekitar 30-an km. Ia pun akhirnya tiba saat jamaah di sini tengah mengerjakan shalat tarawih. Kami bertemu dan mengobrol. Khususnya saya, yang tentu saja bercerita lebih banyak.

Usai shalat tarawih, Mas Komandan mengantarkan kami berdua sampai ke perbatasan kota, saling berpamitan. Selepas itu, kami berdua menuju Margasari, sejauh 30-an km, dalam gelapnya malam di bumi Tegal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-2/feed/ 0 30270
Cara Terbaik Memaknai Pulang (1) https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-1/ https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-1/#respond Wed, 08 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28995 Sore-sore sebelumnya tak pernah lebih buruk dari sore itu. Saya biasanya mengisi waktu sore dengan berolahraga; terus seperti itu, dan saya merasa tidak ada yang salah. Namun, ketika sore tersebut datang, ia menyadarkan saya bahwa...

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore-sore sebelumnya tak pernah lebih buruk dari sore itu. Saya biasanya mengisi waktu sore dengan berolahraga; terus seperti itu, dan saya merasa tidak ada yang salah. Namun, ketika sore tersebut datang, ia menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang selama ini selalu ditutup-tutupi dan berusaha untuk dialihkan. Saya muak.

Keputusan akhir: saya akan tetap pergi

Beberapa hari sebelumnya saya sempat menelepon seorang kawan, berbagi cerita. Saya menggerutu, menyalahkan keadaan, dan bahkan sampai mencela takdir. Imbas dari rasa muak yang telah menjalar. Kawan saya sangat memahami hal itu, bahkan sudah sejak lama. Ia hanya menyarankan satu hal.

“Berani minta maaf nggak?”
“Maksudnya?”
“Iya, minta maaf. Kamu kabur, nanti pas sudah pulang, baru minta maaf…“

Brilian, sekaligus gila. Namun, entah kenapa, menerima saran tersebut nyatanya memang membuat saya merasa lega. Saya memang butuh pergi. Saya sudah sangat kurang piknik. Bagaimana tidak, sudah setahun ini, sejak pandemi dimulai, saya baru piknik dua kali. Pertama, ke Pantai Timang bersama keluarga. Kedua, menyusuri Gua Pindul dan Sungai Oya bersama seorang kawan.

Saya sama sekali tidak mengeluh. Masih banyak orang yang keadaannya mungkin jauh lebih tidak menyenangkan daripada saya. Lebih tidak bisa piknik. Akan tetapi, yang menanggung akibat dari semua ini adalah orang-orang terdekat saya sendiri, terutama keluarga. Saya menjadi pemurung, pendiam, tidak menggubris ucapan orang tua, bahkan sampai membentak adik saya sendiri untuk alasan yang sama sekali tidak jelas.

Sehatkan mentalmu, itu yang terpenting

Akhirnya, saya mulai menyusun rencana perjalanan. Perjalanan seorang diri. Membuka dompet dan saldo rekening yang totalnya kurang lebih hanya dua jutaan, kemudian mulai merencanakan agenda perjalanan di Google Calendar. Mulai menimbang dan menimbang, hingga sampai pada sebuah keputusan final. Bagaimanapun, saya akan tetap pergi. Demi kesehatan mental saya, itu yang pertama. Kemudian, yang terpenting, demi keluarga. Saya tidak mungkin terus-terusan bersikap seperti ini kepada mereka. Ini sudah terlalu buruk.

Lalu tibalah sore itu, sore yang membuat pengap satu kamar. Jadwal “kabur” saya sebenarnya lusa, tapi sepertinya sudah tidak bisa. Saya harus segera pergi besok; dan kalau bisa, dengan cara yang baik. Bukan kabur. Apa yang saya alami sore itu benar-benar sudah berada di puncaknya: saya membenci rumah saya sendiri. Saya sudah muak tinggal di rumah. Lihat, sudah sampai separah itu keadaan mental saya. Saya memang butuh pergi.

Jangan kabur, tinggalkan rumah dengan cara yang baik

H-1 keberangkatan, siangnya, semua perlengkapan sudah siap. Saya menaruh semua tas di dalam lemari baju, sengaja saya sembunyikan dulu. Satu roll bag ukuran 25L yang berisi pakaian, dan satu ransel sedang yang isinya adalah tetek bengek perjalanan. Intinya, untuk jaga-jaga.

Roll bag saya selempangkan di punggung, duduk rapi di jok belakang; sedangkan ransel saya gendong di depan, tepat menutupi seluruh bagian depan tubuh saya. Itu rencananya. Ya, saya naik motor.

Sore yang dinanti tiba. Saya hanya bilang kepada Bapak dan Ibu kalau saya mau pergi, sudah. Dan mereka, setelah terdiam beberapa saat, akhirnya mengizinkannya. Mungkin mereka akhir-akhir ini juga sudah paham dan melihat, betapa perubahan sikap saya belakangan ini juga sudah mulai menggelisahkan. Boleh jadi memang ini solusi terbaik—dan itu akan terbukti beberapa hari kemudian.

Saya berpamitan (bukan kabur), lalu bergegas pergi meninggalkan rumah. Belum jauh, tepat di ujung gang, saya mengirimkan pesan WhatsApp ke Bapak, tentang alasan saya pergi dari rumah. Singkatnya, sekali lagi, demi kesehatan mental dan demi kebaikan keluarga.

Bapak saya merespon dengan jawaban positif, memahaminya dengan baik; membuat saya pribadi lega, seolah perjalanan ini memang benar-benar jalan keluar terbaik. Saya meninggalkan rumah dengan perasaan lapang.

Di sore yang kebetulan sedang cerah itu, motor saya melaju membelah keramaian. Keluar dari permukiman, melintasi kota, lalu perlahan menuju perbatasan.

Kawan saya benar; yang saya butuhkan hanyalah piknik. Hanya itu. Saya begitu menghayati kepergian saya kali ini. Bahkan, sembari menatap langit yang sedang cerah-cerahnya, saya sendiri sampai bergumam, “Seindah inikah senja?”

Akui saja, sekolah adalah salah satu tempat terbaik untuk melepas rindu

Tujuan pertama saya adalah Temanggung. Di sanalah kawan-kawan saya berada. Saya adalah lulusan sebuah pesantren di kota itu. Kawan-kawan saya sekarang sudah menjadi musyrif (pengurus). Setahun lebih tidak berjumpa, entah seperti apa bentuk mereka sekarang.

Dari Jogja saya berangkat sekitar pukul 4 sore, dan mulai memasuki kota Temanggung tepat ketika adzan Maghrib. Saya mampir shalat sebentar di Masjid ash-Shahabat, dekat Alun-Alun Temanggung. Sungguh lega rasanya bisa tiba dan shalat di sini lagi. Dulu, kalau hendak ke pondok, saya hampir selalu mampir di masjid ini. Tempat yang sangat cocok untuk rehat sejenak.

Masjid/Helmi Santosa

Selepas shalat, saya segera menaiki motor dan mulai menuju pondok. Pondok saya terletak di Kecamatan Kedu, di tengah-tengah area persawahan—yang pada musim tertentu berubah menjadi ladang tembakau.

Memasuki Kedu, hawa dinginnya yang khas sudah mulai terasa. Saya sangat mengenal hawa dingin ini, sekaligus amat merindukannya (saya mondok di sini lima tahun). 

Perempatan Kedu sudah terlihat di depan mata. Ah, akhirnya. Belok kiri, mulai masuk area persawahan, untuk kemudian melampiaskan semuanya. Di jalanan yang gelap dan sepi itu (sebenarnya ramai jika bukan malam hari), di tengah-tengah hamparan sawah yang tentu saja tidak terlihat, juga di bawah embusan angin malam dan hawa dingin Temanggung, saya berteriak kegirangan. Sangat girang.

“Seperti inikah rindu?”

Seringnya, teman-teman terdekat kita adalah mereka yang “tidak waras”

Motor saya berhenti di halaman salah satu bangunan yang berada di kompleks pondok. Belum ada yang mengetahui kedatangan saya, kecuali seorang kawan—sekaligus kolega. Begitu saya mengabarinya, langsung seketika itu juga dia mengutus Naval (Naufal, Nopal, Gopal, atau apalah), seorang “mantan calon akmil” untuk menjemput dan mengawal saya. Dia adik kelas kami. Salah satu yang paling gila dari sekian banyak teman yang “gila”.

Belum ada tiga meter, di tengah padatnya pemukiman warga kompleks pondok, dan di waktu Maghrib, waktu yang biasanya para santri sedang mengaji; dia langsung berteriak heboh. Kami bahkan belum saling bertatap muka, tapi ia dari kejauhan sudah berteriak begitu hebohnya. Kami bersalaman mantap, beradu dada, berpelukan erat, saling menepuk bahu, dan kemudian saling berceloteh.

Naval membawakan tas saya, melewati para santri yang sedang mengaji di teras masjid, menuju ruang tamu. Kemudian, tak lama, satu per satu kawan-kawan saya berdatangan. Menyalami, memukul, bahkan ada yang tak henti-hentinya menabrakkan badannya ke saya.

Obrolan hangat pelepas rindu pun mengalir setelah itu.

Suasana malam hari/Helmi Santosa

Besok sudah puasa

Usai shalat Isya, beberapa kawan yang sudah memasuki ruang tamu, mulai melihat ponsel masing-masing. Ada sesuatu yang sudah mereka tunggu sedari tadi: pengumuman 1 Ramadan. Saya pun demikian, ikut menanti kabar tersebut.

Baru saja mendapat kabar kalau 1 Ramadhn jatuh esok hari, tiba-tiba datang lagi seorang kawan, kakak kelas. Ketika ia melihat saya yang mengintip keluar dari balik jendela ruang tamu, ia langsung menyerbu masuk. Menabrakkan badan, memukul, dan mendorong saya sampai ke WC.

Ia datang, mengabari kami yang ada di ruang tamu, kalau Ustadz (kepsek) akan mengimami tarawih perdana di masjid timur (pondok ini memiliki dua masjid, letaknya sedikit berjauhan). Jarang sekali Ustadz bisa mengimami tarawih di pondok, karena kesibukannya.

Kawan saya tersebut akhirnya mengajak saya shalat di masjid timur, membonceng motornya. Tiba di halaman masjid (paving block) yang waktu itu sedang ramai-ramainya santri, dengan kampretnya kawan saya itu membawa saya bolak-balik di depan masjid. Membuat para santri yang ketika itu sedang berada di teras, seketika melihat ke arah kami. Malunya bukan main, meski sebagian besar dari mereka tidak mengenal saya.

Hari itu, di pondok, saya menghabiskan malam dengan mengobrol bersama teman-teman.

Apakah perjalanan saya sudah selesai di sini? Tentu belum.

Besok sudah puasa, yang itu berarti perjalanan saya akan dimulai bersamaan dengan dimulainya bulan Ramadhan.

12 April 2021, bersiap menyambut hari-hari yang akan memberi saya sekian banyak pengalaman baru.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-1/feed/ 0 28995