Mohammad Iqbal Shukri, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/mohammad-iqbal-shukri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 24 Sep 2021 12:39:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Mohammad Iqbal Shukri, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/mohammad-iqbal-shukri/ 32 32 135956295 Melihat Aktivitas Kampung Jagal di Semarang https://telusuri.id/melihat-aktivitas-kampung-jagal-di-semarang/ https://telusuri.id/melihat-aktivitas-kampung-jagal-di-semarang/#respond Fri, 24 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29096 Di Kota Semarang terdapat sebuah Kampung kecil yang dikenal Kampung Jagal. Kampung itu terletak di sebuah gang kecil, Jalan Mataram, RT 03, RW 05, Kampung Bustaman Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.  Konon Kampung...

The post Melihat Aktivitas Kampung Jagal di Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kota Semarang terdapat sebuah Kampung kecil yang dikenal Kampung Jagal. Kampung itu terletak di sebuah gang kecil, Jalan Mataram, RT 03, RW 05, Kampung Bustaman Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. 

Konon Kampung Bustaman pada era 1970-an pernah sampai pada puncak kejayaannya para penjagal hewan. Hal itu menjadi latar belakang Kampung Bustaman terkenal sebagai Kampung Jagal. 

Dulu jumlah para penjagal hewan di kampung tersebut berjumlah 12 orang. Namun sekarang, Penjagal Hewan di Kampung Bustaman hanya tersisa dua orang. Dia adalah Muhammad Yusuf dan Haji Toni.

Kampung Bustaman
Kampung Bustaman/Sumber

Saya berkesempatan ngobrol dan melihat proses para penjagal hewan itu bekerja. Sabtu (19/06/2021) dini hari, saya berkunjung ke rumah Bapak Yusuf. Berangkat dari indekos, menggunakan motor. Jalan raya masih sepi pengendara, hawa dingin menyelimuti badan. Menaiki motor dengan kecepatan standar, sambil melihat sepinya setiap sudut tempat Kota Semarang yang saya lewati. Kurang lebih perjalanan membutuhkan waktu setengah jam, dari indekos ke rumah Bapak Yusuf. 

Sesampainya di sana, saya parkir motor di gang sempit tidak jauh dari rumah beliau Saya disambut pemandangan saat beliau sedang mempersiapkan peralatan yang akan digunakannya untuk menjagal kambing. Seperti puluhan pisau tajam, timbangan gantung, dan sepatu boot telah disiapkan. 

Namun saya tidak melihat kambing yang akan di sembelih. Ternyata kambing itu ditempatkan di sebuah ruangan kecil kurang lebih ukuran 1,5 m x 2,5 m. Di ruangan itu pula, Pak Yusuf melakukan penyembelihan kambing. Saya dipersilahkan untuk melihat proses penyembelihan. Namun saya menolaknya, karena memang saya tidak berani atau tidak tega untuk melihat proses penyembelihan hewan. 

Penyembelihan kambing itu dilakukan oleh Pak Yusuf seorang diri. Yang saya herankan adalah saat Pak Yusuf menyembelih kambing, tidak ada suara kambing menjerit kesakitan. Sampai penyembelihan sembilan kambing pun, saya tidak mendengar jeritan kambing tersebut. Beliau pun kemudian bercerita bahwa ada trik yang digunakan dalam proses penyembelihan ini.

Saya hanya menunggu dan melihat aktivitas Pak Yusuf dari luar ruangan. Beberapa menit Pak Yusuf bekerja seorang diri, ada orang yang terlihat datang untuk membantunya. Dia adalah Zein menantu dari Pak Yusuf. 

Setelah proses penyembelihan, Pak Yusuf membawa kambing sembelihan ke luar ruangan, dan digantungkan pada tali yang khusus untuk menggantungkan kambing. Proses selanjutnya adalah menguliti kambing. 

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit kulit kambing berhasil dipisahkan oleh Pak Yusuf dari tubuh kambingnya. Pak Yusuf hanya membutuhkan pisau tajam dan kekuatan jari-jari tangannya. Dia lebih banyak menggunakan jari-jari tangannya untuk menguliti kambing daripada menggunakan pisau yang hanya digunakan untuk beberapa kali menyayat kulit kambing. 

Setelah proses menguliti selesai, tubuh kambing itu dibawanya ke dalam ruangan lagi, untuk mengeluarkan seluruh isi dari perut kambing itu. Kemudian, tubuh kambing yang tersisa itu dibawa keluar ruangan untuk ditimbang. Selanjutnya dilakukan pemotongan daging, tulang, berukuran kecil-kecil. 

Aktivitas tersebut, dilakukan oleh Pak Yusuf setiap hari. Untuk jam kerjanya, beliau memulainya dari Pukul 03.00 WIB hingga 05.00 WIB. Dalam waktu dua jam itu, Pak Yusuf rata-rata setiap hari mampu menjagal sembilan kambing. Dari menyembelih, menguliti, memisahkan isi perut, menimbang, hingga memotong daging berukuran kecil.

Sedang menimbang daging kambing
Sedang menimbang daging kambing/Mohammad Iqbal Shukri

Bahkan menurut Pak Yusuf banyak orang yang datang kepadanya untuk jagal kambing. Tapi Pak Yusuf menolaknya. Karena kewalahan, dan sudah ada banyak orang yang langganan jagal kambing kepadanya setiap harinya. Jadi, Pak Yusuf setiap hari Senin sampai Minggu waktu dini hari adalah waktunya untuk bekerja menjadi seorang penjagal kambing yang tidak pernah libur. 

Sedangkan pada hari raya Idul Adha, Pak Yusuf menceritakan dirinya tidak mendapat bagian untuk menjagal kambing. Tanggung jawab menjagal kambing sudah diberikan kepada masyarakat lain. Meskipun begitu, Pak Yusuf tetap mendapat tanggung jawab dari masyarakat untuk menjagal hewan sapi. 

Anehnya, Pak Yusuf bercerita kepada saya, saat menjagal sapi dirinya memiliki trik sendiri. Yakni sapi yang akan disembelih, akan dijatuhkan dulu baru kemudian diikat. Saya sempat bingung, heran dan bertanya-tanya saat Pak Yusuf menceritakan itu.

“Apa bisa jagal sapi tanpa diikat dulu? Kalau nggak diikat kan pasti sapinya akan berontak,” tanya saya dalam batin yang saya simpan. 

Ya saya keheranan mendengar pengakuan Pak Yusuf perihal caranya menjagal sapi. Sebab saya baru mendengar ini. Soalnya trik jagal yang saya ketahui dan sering saya lihat itu, sapinya diikat kakinya, dan baru dijatuhkan. 

Tapi kebingungan saya itu langsung saya kesampingkan dengan kalimat dalam batin saya, “Ah sudahlah, Pak Yusuf lebih berpengalaman jadi pelaku di dunia jagal hewan daripada saya yang hanya seorang yang melihat proses jagal nya saja.”

Itu sebuah kalimat pengakuan saya terhadap Pak Yusuf yang telah berpengalaman puluhan tahun dalam dunia jagal. Jadi saat beliau bercerita trik jagal yang menurut saya tidak masuk akal bagi kalangan orang awam, akhirnya saya berkenan menerima cerita dari Pak Yusuf. 

Pak Yusuf mengatakan kepada saya, dirinya sudah menekuni profesi Jagal kambing itu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas tiga. Memang menurutnya di Kampung Bustaman kala itu, profesi jagal hewan sudah dilakukan secara turun temurun keluarga. 

Meski peminat profesi jagal hewan di Kampung Bustaman mulai menyusut, Pak Yusuf tetap bertekad untuk menurunkan keahlian ilmu jagalnya ke anaknya. Anak pertamanya bernama Lukman, dan menantunya bernama Zein yang sudah mulai diajarkan untuk menjagal hewan. Hal itu dilakukan Pak Yusuf, karena Dia ingin menjaga kejayaan penjagal hewan yang pernah disematkan di Kampung Bustaman dulu. 

Selain jagal hewan, Pak Yusuf menceritakan bahwa di Kampung Bustaman juga terkenal masakan tongseng dan gulai Bustaman. Menurutnya masakan tersebut bukan hanya dari racikan bumbunya, tapi dari kekhasan orang Bustaman yang membuat berbeda dengan masakan lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Aktivitas Kampung Jagal di Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-aktivitas-kampung-jagal-di-semarang/feed/ 0 29096
Upaya Pelestarian Lingkungan lewat Pertanian Organik https://telusuri.id/pertanian-organik-upaya-pelestarian-lingkungan/ https://telusuri.id/pertanian-organik-upaya-pelestarian-lingkungan/#respond Mon, 13 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29010 Berbicara kelestarian lingkungan tidak harus melulu dikaitkan dengan gunung, pantai, atau laut saja. Melainkan sawah, ladang yang digarap oleh petani itu juga lingkungan. Sebab saat lahan garapan para petani itu rusak, dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat...

The post Upaya Pelestarian Lingkungan lewat Pertanian Organik appeared first on TelusuRI.

]]>
Berbicara kelestarian lingkungan tidak harus melulu dikaitkan dengan gunung, pantai, atau laut saja. Melainkan sawah, ladang yang digarap oleh petani itu juga lingkungan. Sebab saat lahan garapan para petani itu rusak, dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat semua. Karena makanan kita masih nasi, lauk pauk kita juga masih sayur, dan ikan. 

Saya merupakan anak seorang petani jadi sedikit pengetahuan yang saya miliki, saya tahu perkembangan pertanian yang ada di desa saya. Mulai dari pertanian yang masih tradisional, hingga sekarang pertanian di desa menjadi semi modern. Dan tulisan saya akan fokus pada pola dan dampak dari jenis-jenis pertanian tersebut. 

Saya teringat betul, saat masih kecil anak-anak di desa saya ramah dengan keberadaan sapi. Sebab kala itu bisa dikatakan sapi merupakan sahabat petani, yang membantunya untuk membajak sawah. Namun kini, sudah sekitar dua puluh tahun berlalu, tenaga-tenaga sapi itu digantikan oleh alat pertanian bermesin yakni traktor, dan otomatis sapi-sapi itu hanya dikandangkan. Dan anak sekarang mungkin tidak tahu bagaimana nikmatnya menunggangi sapi, saat membajak sawah. 

Dari perubahan itu, bisa kita lihat dampaknya. Di satu sisi petani mungkin merasa terbantu dengan adanya traktor, dan sapi hanya menjadi ternak yang diperdagangkan bukan dipekerjakan. Tapi di sisi lain, kita harus siap dengan dampak yang lainnya, seperti asap yang dikeluarkan traktor, juga kebisingan yang dihasilkannya. Berbeda dengan saat pembajak sawah yang masih menggunakan sapi, bahan bakar sapi adalah rumput, saat membajak sawah sesekali sapi mengeluarkan kotorannya dan jadilah pupuk. 

Bapak saya pernah bilang, tekstur tanah sawah sekarang keras dan tandus. Jadi susah dan kasihan sapinya, jika dipaksakan untuk membajak sawah dengan tanah yang keras itu. Ditambah membajak sawah menggunakan traktor bisa dikatakan lebih cepat jika dibandingkan dengan sapi. 

Dan teka-teki perkataan bapak kala itu, seolah dijawab  oleh salah seorang warga yang fokus pada pertanian organik di Semarang yang saya temui. Dia adalah Bapak Yunus Marjuki (53) seorang yang dari 2014 menekuni pertanian organik. 

Sabtu (29/05/2021) lalu, saya mendapatkan kesempatan berbincang dengan beliau dirumahnya, RT 05 RW 03 Kelurahan Purwosari, Mijen, Semarang. Beliau menceritakan kisahnya, bagaimana dia berjuang untuk mengembalikan tanah menjadi subur kembali, setelah terkena dampak penggunaan pupuk kimia. Di mana tanah menjadi keras, tandus dan kurang subur. Dia memulainya dengan meracik pupuk organik, awalnya yang dibutuhkan sangat banyak. Namun lambat laun, saat tanahnya sudah mulai subur, pupuk organik yang dibutuhkan sedikit. Untuk mengembalikan tanah menjadi subur kembali itu, Pak Marjuki menceritakan, bahwa waktu yang dibutuhkan sangat lama, yakni bertahun-tahun. 

Proses pembuatan pupuk organik bersama warga/M. Iqbal Shukuri

Tidak hanya itu, di tengah perbincangan kami, Pak Marjuki mengajak saya sedikit bernostalgia perihal keadaan desanya dulu. 

“Dulu kalau tidak ada lauk, bisa ke sawah cari belut, ikan, bahkan di setiap irigasi desa dulu ada ikannya, tapi sekarang? Di sawah sudah jarang ada belut dan ikan. Ya karena penggunaan pupuk kimiawi itu. Saya ingin mengembalikannya seperti dulu lagi.”

Dari ucapan Pak Marjuki itu, seketika saya juga rindu dengan masa kecil saya, yang hidup dengan nuansa pedesaan, kurang lebih sama seperti yang diceritakan Pak Marjuki. Di satu sisi, dari sosok Pak Marjuki kita bisa belajar, melalui bertani organik kita bisa turut melestarikan alam Indonesia ini. 

Kendati demikian, dibalik visi Pak Marjuki terhadap lingkungan, dalam perjalanannya sebagai petani hingga saat ini terdapat kekhawatiran yang menghinggapi pikirannya. Yakni perihal regenerasi petani. 

Dia menceritakan, saat musim tanam hingga musim panen tiba, dirinya kesulitan untuk mencari tenaga tanam padi, dan tenaga orang untuk memanen hasil padinya. Itu menjadi salah satu kendala dalam pertanian organik yang digelutinya. Menjadi wajar jika Pak Marjuki mengkhawatirkan hal itu, sebab dalam dunia pertanian, selain upaya tetap melestarikan lingkungan, proses-proses produksi pertanian harus tetap dijalankan. Dan itu semua membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM), untuk regenerasi petani. Dari kekhawatiran Pak Marjuki perihal minimnya regenerasi petani, bisa kita tarik terhadap akan minimnya SDM yang melestarikan alam di lingkungan pertanian. 

Nah, kekhawatiran Pak Marjuki terhadap minimnya regenerasi petani tersebut, kiranya adalah kekhawatiran kita bersama, yang sangat tidak kita inginkan untuk terjadi. 

Pak Marjuki memandang pertanian organik tidak hanya dari segi lingkungan dan regenerasi petani saja, melainkan bergelutnya di dunia pertanian tidak lain adalah untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Yakni memastikan masyarakat tetap sehat dengan konsumsi beras organik. Menurutnya, jika dibandingkan dengan beras non organik, harga jualnya tidak terpaut jauh. Jika beras nonton organik dijual kisaran Rp12 ribu per kilogram, Pak Marjuki menjual beras organiknya Rp16 ribu per kilogram, sudah dengan kemasan plastik yang menarik. Bahkan ke depan, dirinya memiliki cita-cita, untuk menyamakan harga beras organik dengan harga beras non organik, supaya masyarakat bisa menikmati beras organik. 

Proses memasukkan beras organik dalam alat cetak kemasan/M. Iqbal Shukuri

“Pernah suatu ketika, ada swalayan yang meminta saya menitipkan berasnya di sana. Tapi pihak swalayan akan menjualnya seharga Rp30 ribu per kilogram, ya saya menolaknya. Saya tidak hanya mencari untung, kalau bisa saya ingin bagaimana caranya harga beras organik itu sama dengan beras non organik. Agar semua orang bisa menikmatinya, untuk bisa turut berkontribusi menyehatkan masyarakat.”

Dari prinsip yang dipegang oleh Pak Marjuki itu kita belajar, bahwa kelestarian lingkungan itu sangat penting bagi keberlangsungan hajat orang banyak. Sebab alam yang sehat, akan berdampak pada manusia yang sehat. Begitu juga sebaliknya, jika alam rusak manusia juga yang akan menerima dampaknya. 

Marjuki menampilkan produk beras organik/M. Iqbal Shukuri

Jadi melalui tulisan sederhana ini, semoga para pembaca timbul kesadaran untuk tetap melestarikan lingkungan. Apapun pekerjaannya, menjadi keharusan bagi kita semua untuk tetap menjaga lingkungan. Sebab kita semua masih membutuhkan, udara, air yang bersih dan tanah yang subur untuk kelangsungan hidup kita bersama. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Upaya Pelestarian Lingkungan lewat Pertanian Organik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pertanian-organik-upaya-pelestarian-lingkungan/feed/ 0 29010
Niatnya Kamping di I’AMpelgading Homeland, Malah Berubah Serasa Uji Nyali https://telusuri.id/kamping-di-iampelgading-homeland/ https://telusuri.id/kamping-di-iampelgading-homeland/#respond Mon, 03 May 2021 15:02:41 +0000 https://telusuri.id/?p=27785 Mayoritas orang pasti akan melakukan perjalanan wisata pada hari libur kerja, seperti hari sabtu minggu. Namun, berbeda dengan saya yang mencoba mengunjungi tempat wisata pada hari aktif kerja.  Bukan tanpa alasan mengapa saya memilih hari...

The post Niatnya Kamping di I’AMpelgading Homeland, Malah Berubah Serasa Uji Nyali appeared first on TelusuRI.

]]>
Mayoritas orang pasti akan melakukan perjalanan wisata pada hari libur kerja, seperti hari sabtu minggu. Namun, berbeda dengan saya yang mencoba mengunjungi tempat wisata pada hari aktif kerja. 

Bukan tanpa alasan mengapa saya memilih hari aktif untuk berwisata. Saya saat ini yang masih seorang penikmat pengangguran, menganggap bahwa semua hari bagi saya itu sama, hari libur semua adalah salah satu alasannya. Setelah merampungkan tugas akhir hingga sidang munaqosah di salah satu perguruan tinggi di Semarang, saya menjalankan hari-hari hanya dengan tidur, rebahan, bangun, ibadah, makan, mandi, sesekali menulis, tidur lagi, main PlayStation (PS). Hampir bisa dipastikan apa yang saya lakukan itu bisa dinilai oleh khalayak sebagai kegiatan yang unfaedah banget. Dan saya mengamininya. 

Mungkin dari deretan kegiatan unfaedah yang saya lakukan di atas, berwisata pada hari aktif kerja merupakan kegiatan yang masih berfaedah menurut saya.

l'Ampelgading Homeland
Suasana wisata I’Ampelgading saat sepi/Mohammad Iqbal Shukri

Saya merencanakan dan mengambil keputusan dalam waktu satu hari. Tiba-tiba muncul niat untuk berwisata, tapi tidak tahu mau menentukan wisata apa, yang bagaimana, seperti apa, dan di mana. Saya ambil dan nyalakan handphone, buka aplikasi Instagram menuju kotak pencarian, saya ketik kata kunci wisata di Semarang. Saya pilah-pilih, scroll dari atas ke bawah. Tidak ada yang menarik. Saya mengetik kata kunci lagi, hingga akhirnya mata ini tertuju pada akun instagram wisata I’AMpelgading Homeland. Saya lihat postingannya terlihat menarik dari pemandangannya yang ada deretan gunung-gunung, hingga hamparan rawa pening pun nampak. Menarik menurut saya kala itu. Niat saya kuatkan dan tekad pun saya bulatkan. 

Selanjutnya saya tentukan hari keberangkatan yang jatuh setelah dua hari penentuan itu. Singkat, padat, niat, dan tekad. Memang saat itu, musim penghujan. Tapi, ya begitulah namanya juga sudah niat. Pada hari keberangkatan berwisata, pagi harinya hujan, kemudian reda sebentar. Dan siang sekitar jam 12, hujan turun lagi meskipun tidak lebat, namun jika digunakan untuk perjalanan dari kos saya hingga tempat wisata tujuan, minimal basah kuyup lah. Tapi meski hujan datang, saya tetap jalan. Untung saja teman saya punya jas hujan. 

Sialnya, saya yang menyetir motor. Bukan karena takut basah, tapi helm yang saya gunakan tidak ada kaca pelindung wajahnya. Lantas, meskipun hujan rintik disertai angin yang lumayan kencang itu membuat mata saya berasa pedih. Ya sudahlah, nikmati saja, sambil nyetir pelan-pelan, dan menyipitkan mata hanya untuk melihat jarak pandang. Itu saya lakukan sekitar nyaris setengah perjalanan dari jarak kos hingga tempat wisata tujuan. Setengah perjalanan lagi, hujannya reda, kabut putih pun datang, menutupi pemandangan alam dan jarak pandang saya saat menyetir. 

Lika-liku jalan daerah Limbangan – Sumowono – Bandungan yang naik, turun dan menikung ditambah berkabut itu menguji saya untuk sabar dan sadar. Meskipun pelan, dan sesekali berhenti sejenak untuk istirahat dan melihat google map di handphone, akhirnya sampai tujuan tanpa tersesat. Tapi tetap capek. Manusiawi. 

Sepi dan Kabut Putih Menyambut

Sampai lokasi, saya parkir motor. Dan membayar tiket masuk untuk camp. Per Orang harga tiketnya dua puluh ribu rupiah,  parkirnya satu motor lima ribu rupiah. Jika hanya niat wisata saja, biaya masuk hanya sepuluh ribu rupiah per orang. 

Perasaan saya mulai tidak enak, karena suasana sepi sekali, hanya terdengar mesin pemotong rumput dan terlihat hanya dua motor yang sedang parkir. 

Saya langkahkan kaki menuju area camp. Sambil melihat, ada deretan warung, di mana setiap warung meletakkan kursi duduk di atas tempat meja makan, dengan posisi kursi terbalik, tanpa ada makanan, dan penjualnya. Ya, semua warung di situ tutup. “Mungkin para penjualnya hanya buka warung saat hari libur saja,” pikirku. 

Sampai di area camp, saya hanya bisa melihat, petugas yang sedang memotong rumput dengan mesin, beberapa gazebo kecil, tulisan nama tempat wisata I’AMpelgading Homeland, dan selebihnya pemandangan kabut putih yang menutupi objek sekitar. Tidak ada wisatawan sama sekali, nihil. Perasaan dag dig dug dor, terus menghinggapi hati dan pikiran saya, tapi masih bisa tertawa, dan terus bertanya-tanya. “Apa memang benar hanya kita sendiri?” 

Sambil mencari jawaban sendiri, “Mungkin ini konsekuensi, dari pilihan kita memilih berwisata pada hari aktif kerja.” Jawabku dalam batin dan pikiran yang sudah campur aduk. 

l'Ampelgading Homeland
Proses pendirian tenda/Mohammad Iqbal Shukri

Sudahlah,  langsung saja kami putuskan untuk mendirikan tenda. Beberapa menit kemudian tenda kami berhasil terpasang. Mendekati magrib, kami melihat ada wisatawan yang berjalan dan membawa perlengkapan camp, dan mereka bergerak mendirikan tenda. Pikiran saya lumayan tidak was-was,Syukur, ada temannya,” batinku, sembari menghela nafas. 

Setelah magrib, kami memasak mie instan dan sosis bekal persediaan makanan yang telah kami bawa. Perut kenyang, dilanjut ngobrol sebentar, kemudian kami putuskan untuk tidur, sebab saya melihat pemandangan di luar tenda masih terselimuti oleh kabut. Harapannya, besok pagi cuaca bersahabat dan kami bisa menikmati pemandangan. 

Belum sampai pagi, saya terbangun dan ingin buang air kecil. Hal yang tidak terduga terjadi. Tempat wisata itu gelap tanpa ada lampu yang menyala, padahal sore itu saat mendirikan tenda, saya sempat melihat di setiap gazebo dilengkapi lampu. Tapi malamnya saat saya terbangun suasana gelap gulita. Saat menuju ke toilet, dan melihat loket masuk tempat berkumpulnya petugas wisata itu, sepi tidak ada orang. Dan melihat ke gerbang wisata, portal telah terkunci dan menghalangi jalur masuk dan keluar wisata. Kami terkunci di dalam area wisata, tanpa ada petugas yang menjaga. 

Kami bertanya-tanya, dan mencoba menebak-nebak, “Mungkin karena hanya sedikit wisatawan, maka lampu atau listrik tidak dinyalakan, dan petugas berhak pulang. Keamanan diserahkan pada portal yang telah dikunci petugas” ucapku dengan rasa sedikit jengkel dan kecewa. 

Setelah kembali ke tenda, kami berusaha tidur kembali. Saya khususnya, setelah melihat area wisata yang gelap, tanpa ada petugas yang menjaga, malah timbul pikiran yang negatif dan hati was-was kembali. Berusaha memejamkan mata, tapi tetap tidak bisa tidur. Namun apa boleh buat hanya itu solusinya. Dan saya harus dipaksa menikmatinya hingga pagi. Saya memejamkan mata tapi saya sadar tidak tidur. Dalam keheningan malam itu, saya mendengar tiupan angin kencang, yang sesekali menerpa tenda kami. Suara hewan-hewan di sekitar juga tak mau kalah untuk meramaikan malam yang sunyi itu, seperti jangkrik, belalang, dan suara hewan lainnya. 

Batin dan pikiran saya berharap supaya secepatnya malam berlalu, berganti pagi hari.

Menikmati Keindahan Alam yang Disuguhkan  Tuhan

l'Ampelgading Homeland
Suasana wisata berkabut/Mohammad Iqbal Shukri

Adzan subuh tiba, angin-angin yang sepanjang malam riuh itu, seketika berhenti dan seolah hilang tak terdengar. Adzan subuh yang bersumber dari pengeras suara itu adalah sebuah tanda. Sebuah pertanda bahwa pagi telah tiba, batin yang was-was juga seketika ikut mereda, terpenjara tidak bisa tidur akhirnya usai. Setelah saya buka pintu tenda, kabut putih itu sudah tidak terlalu tebal, dan pemandangan alam seperti rawa pening, gunung-gunung dengan gagahnya menampakkan diri. 

Hingga saya merasa bahwa uji nyali kami terbayar dengan tuntas. Segala rasa capek, rasa was-was, dan segala ketegangan, tergantikan dengan cuaca yang mendukung, di mana kami bisa menikmati keindahan alam, suguhan dari sang Pencipta. Kami bisa berswafoto dengan riang dan gembira. Jalan-jalan, kemudian duduk dari satu gazebo berukuran dua setengah meter itu, menuju gazebo lainnya. 

Setelah kami merasa puas, dan memutuskan untuk pulang ke kos, di sepanjang jalan, kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa, petani yang sedang beraktivitas di ladangnya masing-masing, sawah-sawah yang ditumbuhi padi hijau, gemericik air yang mengalir ke area sawah, dan pohon-pohon rindang di sepanjang  pinggir jalan yang membersamai perjalanan kami pulang dapat terlihat, tanpa tertutup kabut seperti saat perjalanan berangkat ke lokasi wisata. 

Saya sangat bersyukur karena masih bisa menikmati pemandangan alam yang indah itu. 

Saya tidak bisa membayangkan, jika seandainya hanya kami saja yang kemping di situ. Ditambah jika cuaca terus tidak mendukung. Apa yang akan terjadi? Entahlah, mungkin hanya kekecewaan yang bersemayam.

The post Niatnya Kamping di I’AMpelgading Homeland, Malah Berubah Serasa Uji Nyali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kamping-di-iampelgading-homeland/feed/ 0 27785