Muhamad Hafizh, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/muhamad-hafizh/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 27 Jun 2022 14:49:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Muhamad Hafizh, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/muhamad-hafizh/ 32 32 135956295 Wisata Budaya ke Suku Baduy dan Perempuan Bercadar https://telusuri.id/wisata-budaya-ke-suku-baduy/ https://telusuri.id/wisata-budaya-ke-suku-baduy/#respond Sat, 28 May 2022 01:40:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33794 Pasca Idulfitri 1442 Hijriyah lalu, saya mengunjungi tempat tinggal Suku Baduy, di Kabupaten Lebak bersama beberapa teman. Enam orang diantaranya mengenakan hijab panjang, dua diantaranya mengenakan cadar. Terdapat stigma yang rempan di kalangan masyarakat, stigma...

The post Wisata Budaya ke Suku Baduy dan Perempuan Bercadar appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasca Idulfitri 1442 Hijriyah lalu, saya mengunjungi tempat tinggal Suku Baduy, di Kabupaten Lebak bersama beberapa teman. Enam orang diantaranya mengenakan hijab panjang, dua diantaranya mengenakan cadar.

Terdapat stigma yang rempan di kalangan masyarakat, stigma tersebut diarahkan kepada perempuan bercadar. Diksi rempan di sini dalam bahasa Sunda artinya kekhawatiran yang berlebihan, maksudnya, perempuan bercadar sering dikonotasikan dengan hal-hal yang tidak praktis dan sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan.

Tapi, hal itu terbantahkan setelah saya mengajak kedua teman perempuan bercadar untuk kawasan suku Baduy. Bukannya mendapat perlakuan yang tidak baik, kami malah mendapat perlakuan yang sangat sopan. Misalnya kami disediakan tempat salat di dalam rumah yang ditinggali oleh masyarakat suku Baduy. Tidak hanya ketika berada di suku Baduy luar, melainkan juga ketika berada bersama suku Baduy Dalam.

Di Baduy kami tidak hanya berwisata saja, kami pun mempelajari banyak hal seperti cara membuat gula aren, mengolah madu Baduy, melihat cara menenun kain, dan berbincang-bincang tentang adat dari suku Baduy.

Trek Baduy Luar

Dari Tradisional Hingga Modern

Masyarakat suku Baduy sebagian besar terlibat dalam kegiatan bercocok tanam sebagai pekerjaan tetap. Menariknya, ketika kami singgah untuk istirahat di sebuah gubuk yang berada di trek perjalanan menuju ke arah Baduy Dalam, di sana kami melihat satu orang laki-laki dewasa sedang membuat gula aren, saya menghampirinya dan mengajak berbincang.

Ia bernama Sanip, saya memanggilnya Aa Sanip (panggilan sopan untuk laki-laki yang usianya lebih tua dalam bahasa Sunda). Aa Sanip hampir setiap harinya dari pagi sampai menjelang sore, menghabiskan waktunya untuk mengolah hasil alam seperti membuat gula aren dan madu.  Ada beberapa jenis bahan dasar pembuatan gula aren yaitu kelapa dan kawung, tapi masyarakat Baduy kebanyakan menggunakan kawung sebagai bahan dasarnya.

Pembuatan gula aren/Muhamad Hafizh

Setiap harinya, Aa Sanip dua kali membuat gula aren sendirian, lalu menghasilkan 8 sampai 20 biji gula aren dengan ukuran cetakan yang standar. Walaupun termasuk masyarakat tradisional, Aa Sanip dalam berjualan turut menggunakan cara modern dengan berjualan secara daring untuk melayani pelanggannya dari luar kota.

Setelah saya mencari tahu, ternyata beberapa pemuda dari suku Baduy sudah mengikuti tren berjualan daring dalam berdagang, jadi hasil bumi masyarakat adat suku Baduy dapat dinikmati dengan memesan secara daring oleh kalangan luas.

Penenun Suku Baduy, Peraih Prestasi Nasional

Ambu Jali, juara penenun/Muhamad Hafizh

Tidak hanya Aa Sanip yang mengolah hasil bumi, kami pun bertemu dengan Ambu Jali ketika beristirahat di gubuknya. Di sana kami melihat istri Ambu Jali sedang menenun kain untuk dijual. Saya terkejut ketika berbincang dengan Ambu Jali, ternyata Ambu Jali ini masyarakat adat Baduy yang sudah berprestasi nasional dalam ajang perlombaan menenun yang diadakan BUMN tahun 2011 di Jakarta.

Dalam perlombaan tersebut beberapa saingannya berasal dari beragam daerah yang ada di Nusantara. Ambu Jali menceritakan, dalam kompetisi tersebut bukan mencari mana yang terbaik dan bagus hasilnya, melainkan mencari siapa yang lebih menguasai teknik membuat kain tenun. Ia sendiri mengetahui secara keseluruhan dimulai dari teknik, tahap pembuatan, dan alat-alat ketika proses pembuatannya. Maka gelar juara 1 diperoleh Ambu Jali perwakilan dari suku Baduy pada ajang nasional yang diselenggarakan salah satu kementerian tersebut.

Kami pun diberi tahu sedikit mengenai cara pembuatan kain tenun. Ambu Jali mengatakan dalam menenun terdapat beberapa tahap, diantaranya: nganjinjing, nalimbuhan, ngasupkeun pakan, nyisir, ngajinjing, dan keteg

Prestasi Ambu Jali/Muhamad Hafizh

Ramah Tamah

Selain kami mempelajari banyak hal dari masyarakat suku Baduy dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang membuat kami penasaran, mereka juga mengajukan beberapa pertanyaan kepada kami, khususnya kepada dua teman perempuan bercadar saya.

Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan sederhana, misalnya, cara makan dan minum ketika mengenakan cadar, kenyamanan ketika cuaca sedang panas, dan beberapa pertanyaan lainnya. Saya dan teman-teman menanggapinya dengan santai dan sedikit bercanda, terlihat dari mereka yang mendengarkan disertai dengan suara tawa.

Respon yang diberikan oleh mereka menunjukkan jarangnya perempuan bercadar berkunjung ke daerah Baduy, sehingga beberapa di antara mereka antusias dalam bertanya untuk memenuhi rasa penasaran. Patut diberi apresiasi walaupun masyarakat pedesaan adalah masyarakat homogen, tapi dalam hal toleransi pemikirannya sangat plural seperti orang-orang perkotaan yang heterogen.

Masyarakat Tradisional Memuliakan Alam

Masyarakat suku Baduy menuju kebun/Muhamad Hafizh

Bersama dengan Ambu Jali, pembicaraan saya tidak hanya seputaran kain tenun saja, tetapi juga membicarakan perilaku masyarakat Baduy yang memuliakan alam. Selayaknya masyarakat tradisional yang menjaga dan melestarikan alam merupakan sebagian dari mengamalkan nilai-nilai spiritual, begitu pula dengan masyarakat pada suku Baduy, kepercayaan mereka menjadikannya sebagai pedoman normatif dalam menjaga dan melestarikan alam.

Ambu Jali menjelaskan kepada saya bahwa masyarakat Suku Baduy menggenggam erat prinsip; “Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak.

Filosofi tersebut menuntun mereka untuk sebaik mungkin dalam mengelola dan memanfaatkan bumi atau lingkungannya, hal inilah yang menjadi alasan suku Baduy tidak pernah mengalami krisis pangan.

Cara yang ditempuh masyarakat suku Baduy adalah dengan membangun rumah pangan, rumah yang digunakan untuk menampung hasil panen, jumlah rumahnya tidak bisa dihitung oleh jari, artinya terdapat ribuan rumah pangan. Saya memperhatikan banyak rumah pangan yang dibangun tidak jauh dari pemukiman, Ambu Jali mengatakan, rumah pangan tersebut menjadi simbol masyarakat mereka makmur dalam segi pangan dan optimal dalam mengelola hasil panen.

Baduy, di sini kita tidak hanya berwisata namun juga merasakan kearifan lokalnya. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari dari yang dilihat dan dirasakan, termasuk menambah wawasan mengenai keragaman budaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisata Budaya ke Suku Baduy dan Perempuan Bercadar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-budaya-ke-suku-baduy/feed/ 0 33794
Pendakian Awal Tahun dan Perubahan Gunung Karang https://telusuri.id/pendakian-awal-tahun-dan-perubahan-gunung-karang/ https://telusuri.id/pendakian-awal-tahun-dan-perubahan-gunung-karang/#respond Mon, 07 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32645 11 Januari 2022. Pagi-pagi sekali, saya membuka ponsel, untuk melihat ramalan prakiraan cuaca di sekitaran Cadasari-Pandeglang hari ini. Ternyata ramalan cuaca pada hari itu mengatakan akan turun hujan disertai angin yang cukup kencang kencang. Sekitar...

The post Pendakian Awal Tahun dan Perubahan Gunung Karang appeared first on TelusuRI.

]]>
11 Januari 2022. Pagi-pagi sekali, saya membuka ponsel, untuk melihat ramalan prakiraan cuaca di sekitaran Cadasari-Pandeglang hari ini. Ternyata ramalan cuaca pada hari itu mengatakan akan turun hujan disertai angin yang cukup kencang kencang. Sekitar pukul 14.30, dengan enam kendaraan motor dan sepuluh orang, kami berkumpul di Cadasari hendak melakukan pendakian dan berziarah di puncak Gunung Karang, yaitu Sumur Tujuh.

Di antara kami hanya ada lima pendaki termasuk saya pribadi, dan lima orang lainnya merupakan “pemula” yang menjajal mendaki gunung. Anggapan pemula dari saya untuk lima teman tersebut karena mereka hanya membawa satu jaket tanpa membawa sleeping bag atau setidaknya membawa dua sampai tiga jaket untuk menahan suhu dingin di dalam tenda. Bahkan salah satunya memakai sandal-sepatu high heels, selayaknya seorang perempuan hendak pergi ke pusat perbelanjaan.

Sepuluh orang dalam rombongan terdapat tiga orang wanita dan sisanya laki-laki. Tidak menjadi masalah, namanya juga pengalaman pertama mendaki yang nantinya akan menjadi pelajaran di pendakian selanjutnya. Lima pendaki yang menyertai kami pun hanya saya seorang yang hafal jalur bercabang dari Kaduengang menuju Sumur Tujuh.

Gunung Karang
Pendakian Gunung Karang/Muh Hafizh

Perjalanan dari bawah, Cadasari menuju pos check-in untuk simaksi pendaki yang letaknya di perkampungan Kaduengang, dapat ditempuh sekitar 90 menit. Itu pun perlu ekstra hati-hati, karena jalan menanjak dan berbatu, rawan terjadi kecelakaan. Alasan inilah yang membuat saya memberikan instruksi—dari enam motor hanya lima motor saja yang dibawa ke atas. Satu motor lagi dititipkan di Cadasari dalam keadaan rem yang cenderung tidak berfungsi.

Pukul 16.20, kami sampai di Pos Simaksi, akan tetapi tidak ada petugas seorang pun yang ada di sana, entah karena kami yang datang sore menjelang Maghrib atau kami yang datang di hari kerja bukan di hari akhir pekan.

“A, dilarang mendaki malam,” ucap seorang penjaga warung di dekat Pos Simaksi, yang membuat saya terheran akan alasannya. Sebab, saya sudah sering mendaki ke Gunung Karang, bahkan beberapa kali saya melakukan pendakian sendiri. Sepertinya kurang afdol bila larangan tersebut bukan keluar dari mulut petugas atau pihak berwenang seperti petugas atau tokoh masyarakat. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak langsung melakukan pendakian sebelum mengantongi izin.

Alasan penting mengapa saya memutuskan untuk tidak memulai pendakian, tanpa izin petugas atau pun izin tokoh warga setempat seperti ketua RT. Perlu diketahui Gunung Karang menyimpan 1000 misteri yang telah diketahui atau yang belum diketahui. Alasan lainnya, saya berpikir jauh kedepan khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan petugas tidak dapat menolong, karena tidak mengetahui kedatangan rombongan kami. Selain itu, saya memegang prinsip dimanapun kaki berpijak akan selalu menjunjung langit, maksudnya sebagai pendatang yang hendak mendaki sudah seharusnya saya menghargai budaya setempat dengan mendaki disertai doa restu warga setempat.

Gunung Karang
Di Pos Simaksi/Muh Hafizh

Menjelang adzan Maghrib, rombongan beristirahat di Pos Simaksi. Saya dan satu orang teman mengunjungi ketua RT setempat mengurus perihal perizinan. Di luar harapan, ternyata perizinan bukan kepada ketua RT, melainkan kepada petugas. Ketua RT memberitahu rumah petugas di dekat Pos Simaksi. Saya bersama seorang teman langsung melangkahkan kaki menghampiri rumah petugas tersebut, yang diketahui bernama Pak Nana.

Pak Nana menyambut kedatangan kami yang berencana untuk mendaki ke Gunung Karang pada malam hari dalam keadaan hujan berangin, sayang ternyata Pak Nana tidak mengizinkan rombongan kami. Ternyata terdapat peraturan baru tahun 2022 hasil dari kesepakatan warga Kaduengang, bahwa bila suatu rombongan terdapat wanitanya, maka rombongan tersebut dilarang menginap di trek Gunung Karang. Hal ini sebagai bentuk antisipasi agar tidak terulang kejadian yang tidak diinginkan, maka diciptakanlah peraturan baru ini.

Maksud arahan yang diberikan Pak Nana bukan berarti tidak mengizinkan rombongan kami mendaki ke puncak Sumur Tujuh, melainkan rombongan kami diperbolehkan mendaki, asalkan berangkat subuh dan turun di sore hari. Pengecualian kalau rombongan kami hanya laki-laki, baru dapat menginap sepanjang trek Gunung Karang. Dengan hati terpaksa, maka saya bersama teman-teman rombongan memutuskan untuk menginap di Pos Simaksi, rencananya menjelang subuh nanti kami akan mendaki menuju puncak Sumur Tujuh.

Pos simaksi terletak berseberangan dengan makam Ki Jaga Raksa, seorang tokoh yang kisahnya melegenda turun temurun di sekitaran Gunung Karang sebagai utusan agung Maulana Hasanuddin. Makam ini menjadi salah satu alasan mengapa Gunung Karang dikunjungi banyak santri ataupun wisatawan yang hendak berziarah.

Bermalam di Pos Simaksi, kami ditemani cuaca ekstrem yang menandakan alam tidak mendukung perjalanan kami kali ini, sesuai dengan ramalan cuaca dari BMKG–Gunung Karang dan sekitarnya akan dihinggapi hujan berangin. Tampak anjing liar berkeliaran di sekitar Pos Simaksi, beberapa di antaranya berhenti di pos, pandangan anjing-anjing tersebut mencoba memperhatikan rombongan kami.

Pukul 03.00, saya membangunkan teman-teman agar segera menyiapkan diri untuk memulai pendakian, estimasi perjalanan tiga sampai empat jam sampai di Pos 2 bernama Tanah Petir, di sana pendaki dapat melihat panorama sunrise bahkan kalau beruntung kami akan disuguhi samudera awan.

Senter seadanya guna menerangi pendakian menyusuri trek gunung karang yang gelap gulita–medan yang terjal, bebatuan yang licin setelah terkena air hujan, dan tanah berlumpur mendramatisir perjalanan kami. Wajar bila beberapa di antara kami terpeleset karena trek yang licin.

Langkah gontai kami terbayarkan setelah sampai di Pos Tanah Petir, terpampang jelas panorama indah di pagi hari, yaitu matahari mengintip merayu di ufuk timur. Sudah hampir empat jam kami berjalan, beristirahat selama dua jam guna sarapan dan mengambil foto sebagai pemuas sensasi bersama matahari terbit. Matahari terbit memang menjadi tujuan utama beberapa pendaki ketika melakukan perjalanan menyusuri terjalnya trek gunung.

Tidak terhenti hanya sampai di Pos Tanah Petir, kaki kembali melangkah menuju Puncak Sumur Tujuh, estimasi waktu perjalanan akan sampai selama dua jam. Trek yang lebih ekstrem dari sebelumnya kami ladeni, tanjakan bebatuan, tanjakan tanah merah, bahkan beberapa kali kami tidak menemukan tanah hanya akar yang membentuk tanjakan.

Estimasi hanyalah perkiraan, kenyataannya kami membutuhkan waktu tempuh selama tiga jam beberapa menit untuk sampai ke Puncak Sumur Tujuh. Tempat paling keramat di antara tempat lainnya dari Gunung Karang.

Gunung Karang
Pendakian Gunung Karang/Muh Hafizh

Sebelumnya kami menanyakan asal-usul kisah Sumur Tujuh kepada Pak Nana, konon dahulu Maulana Hasanuddin dari Cirebon bertarung mati-matian di Gunung Karang dengan Pucuk Umun sang penguasa kerajaan Banten sebelum Maulana Hasanuddin. Dalam keadaan lelah setelah pertarungan yang berhasil dimenangkan olehnya, Maulana Hasanuddin memohon dalam doanya kepada Allah agar diberikan air untuk minum dan berwudhu, maka Maulana Hasanuddin menancapkan tongkatnya ke tanah hingga memunculkan air. Sampai sekarang, bekas pancuran air tempat itu dikenal dengan Sumur Tujuh.

Sepengetahuan saya semenjak tahun 2016 ketika pertama kali mendaki ke Gunung Karang, di Puncaknya hanya ada Sumur Tujuh sebagai petilasan Sultan Maulana Hasanuddin. Baru pendakian kali ini saya mengetahui fakta terbaru, di puncak juga terdapat makam Nyi Katel yang berasal dari Cirebon.

Saya sudah berusaha mencari sumber tertulis siapa Nyai Katel tersebut, tetapi saya tidak dapat menemukannya. Saya hanya mendapatkan informasi secara lisan saja. Informasi tersebut menyebutkan Nyai Katel sebagai tokoh berpengaruh yang dimakamkan di Puncak Gunung Karang, dan makamnya menjadi tujuan santri ataupun seseorang yang hendak berziarah meminta berkah kepada Allah.

Pada awalnya Gunung Karang hanya dikunjungi oleh santri ataupun seseorang yang hendak mandi di Sumur Tujuh dan berziarah di makam Nyai Katel. Semakin terekspos keindahan Gunung Karang membuat para pendaki tertarik untuk menapakkan kaki di Gunung Karang. Saya berharap siapapun yang mendaki Gunung Karang diharapkan dapat menjaga kelestarian alamnya dari segala hal yang merusak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Awal Tahun dan Perubahan Gunung Karang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-awal-tahun-dan-perubahan-gunung-karang/feed/ 0 32645