Muhammad Husen S. https://telusuri.id/author/muhammad-husen-s/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 18 Oct 2021 07:52:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Muhammad Husen S. https://telusuri.id/author/muhammad-husen-s/ 32 32 135956295 Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/ https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/#respond Sun, 24 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29911 Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang...

The post Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni appeared first on TelusuRI.

]]>
Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang satu ini, mulai dari Astrea Grand kala SMA, Supra karbu kala kuliah hingga yang injeksi. Ini bukan endorse, diakui atau tidak, memang Supra series ini cocok untuk kantong pejalan.

Banyak “unexpected journey” yang saya lalui bersama si Supra. Salah satunya ketika melakukan perjalanan menuju Lampung dari Depok sepanjang 276 km yang akan saya ceritakan kali ini. 

Bensin sudah terisi penuh, tas daypack saya sangkutkan pada bagian setang, karena kali ini Kevin menemani saya. Cukup punya nyali di umurnya yang masih 19 tahun berani menerima ajakan saya. Tujuan pertama kami ialah Pelabuhan Merak. Kalau dari Depok ambil arah menuju Sawangan, lanjut ke Tangerang, ambil plang menuju Serang dan beri sentuhan akhir berupa penunjuk jalan bernama Cilegon. Sekitar 5 jam nonstop tanpa istirahat karena fisik yang masih prima. Kami tiba di Pelabuhan Merak tepat pukul 5 sore. Waktu yang tepat, pas senja.

Supra saya tepikan di pendopo yang terletak di pinggir jalan menuju pelabuhan. Lalu, kami melihat matahari tenggelam dari balik kapal-kapal cargo yang lalu lalang. Cukup memberikan nuansa baru bagi saya yang terbiasa menatapnya dari Setu. Tiket keberangkatan kapal pukul 10 malam, namun menurut peraturan kapal, saya mesti boarding 2 jam sebelum keberangkatan. 19.30 kami memasuki pelabuhan, melewati pos pengecekan lalu berputar putar di dalam area pelabuhan yang cukup besar.

Fery Malam
Tas dan Ferry di Malam Hari

Apes! Saya baru tahu semisal jika sudah boarding, tidak disarankan untuk turun dari kapal. Sekembali dari Indomaret, jembatan penghubung kapal sudah terlipat, kapal telah bersiap untuk berangkat, dan kami masih di pinggir dermaga. “Sedikit kocak, banyak paniknya,” begitu kalau kata Payung Teduh. Nggak lucu, kalau membayangkan motor saya sampai ke Bakauheni lebih dulu ketimbang supirnya. Paniknya? Ya iyalah panik masa masih dijelasin.

Saya teriak-teriak meminta bantuan kepada penumpang yang ada di pinggir kapal, salah satu dari mereka berkata untuk naik dari lambung kapal. Tanpa pikir panjang kami langsung menuju lambung kapal. Ada banyak lubang mungkin berukuran 3×5 meter, lebih dari cukup untuk masuk menuju kapal. Yang jadi masalah ialah bagaimana kami masuk jika tinggi lubang itu sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri. Kami menyusuri pinggiran kapal dan alhamdulillah ada sebuah undakan yang cukup tinggi. Melalui undakan tersebut kami masuk. Nafas tersengal, dan masih tertawa tentunya!

“Baru ya dek?” Ucap petugas kapal ketika sampai di parkiran motor. Iya, memang ini perjalanan Ferry pertama saya, mengingat berangkat jam 10 malam kami pikir masih banyak waktu untuk ngopi cantik di pinggir dermaga, dan ternyata tidak.

Setelah berbincang dengan ABK, kami menghampiri sumber suara orkes dangdut yang cukup meriah. Orkes ini berada di geladak kapal, dengan banyak bangku panjang permanen lengkap dengan sandarannya, ada warung kecil dengan berbagai jajanan di etalasenya, dan tak lupa termos beserta kopinya. Rp12 ribu rupiah untuk segelas kopi gunting, cukup sepadan sambil melihat kerlap kerlip lampu yang ciamik kala kapal meninggalkan pelabuhan. Estetik!

2 jam perjalanan kami habiskan di atas kapal, tak terasa sampai juga di pelabuhan Bakauheni, kerlap kerlip lampu kian mendekat. Setelah aba aba dari pengeras suara kami bergegas menuju Supra untuk bersiap. Memakai helm dan meluncur keluar kapal menginjakkan kaki di Lampung dini hari. Lalu apa?

Sedari awal sebenarnya, tujuan saya hanya ingin ke Lampung. Namun akhirnya saya putuskan untuk terus menuju dermaga 4 Ketapang, gerbang menuju pulau Pahawang. Ekspektasi saya adalah banyak warung berjejer 24 jam, namun nyatanya semua tutup. Motor saya parkirkan di sebuah warung dan langsung terlelap di bangku panjangnya. Jam tangan menunjukkan pukul 03.00 dini hari. 

Aktivitas dermaga, tepat pukul jam 6 pagi membuat saya terbangun. Mandi di toilet umum, sehabis itu memesan kopi sembari mencari informasi bagaimana kami bisa sampai di Pahawang. Singkat obrolan kami ikut salah satu trip yang berangkat pada hari itu dengan merogoh kocek sekitar Rp150 ribu untuk “one day trip”. Periode ini aktivitas wisata mulai menggeliat kembali di tengah pandemi, kembali membuka harapan para pegiat usaha di komoditas ini, kami pun tak banyak menawar, sadar diri.

Selamat Datang di Pahawang
Selamat Datang di Pahawang

Sup

Supra sudah naik kapal, segelas kopi sebagai bekal perjalanan sudah di tangan. Ada banyak peserta trip, namun yang tak disangka ialah supir kapalnya merupakan orang yang lama tinggal di Depok, kembali pulang karena PHK akibat pandemi. Saya tertawa, sempit kali dunia ini, sudah menempuh 200 km masih saja bertemu orang Depok. Namun dalam hati bergumam “alhamdulillah”, setidaknya ada kawan lokal jika kembali bersua ke sini.

Kapal membawa kami menuju salah satu spot snorkeling terkenal di Pahawang, tempat ikan nemo dan juga tulisan “Pahawang Island” di bawah laut berada. Banyak karang maupun biota laut yang menyita perhatian. Jika mendaki gunung kita selalu monoton melihat gumpalan awan serta matahari terbit, tidak dengan dunia bawah laut, meski hanya beberapa meter dari permukaan. Mungkin satu satunya yang mengecewakan ialah, masih ada cukup banyak sampah plastik yang terbawa. Memang memalukan jejak manusia yang satu ini.

Bawah Laut Pahawang
Bawah Laut Pahawang

Sesampainya di pulau selanjutnya, saya dan Kevin memilih tidur diatas kapal sampai trip selesai, panas matahari tampaknya tak mampu mengusik kami berdua kali ini. Sejenak perjalanan ini mampu membuat kami lupa akan berbagai hal. Dalam hati masih tidak menyangka kalo Supra mampu mengantar kami berdua sampai ke sini. Tak terasa matahari sudah mulai menyingsing, pertanda trip akan selesai. Yang tadinya tak memikirkan apa apa, jadi menambah pikiran baru. Pertanyaan selanjutnya pun muncul. Di mana kami akan bermalam? 

Rombongan kami sampai kembali Dermaga 4 Ketapang, semua peserta kembali ke homestay. Saya dan Kevin? masih terdiam sejenak di pinggir dermaga sambil berpikir mau ke mana lagi setelah ini. Saya memutuskan untuk mandi dan makan dahulu agar lebih jernih berpikir, atau mungkin keajaiban akan menghampiri kami di perjalanan kali ini.

Setelah beberes, tak disangka pemandu trip yang sedari tadi menemani kami menawarkan mesnya untuk bermalam. Saat berbincang tadi beliau juga bercerita tentang masa-masa dia menjadi musafir sebelum memiliki organisasi travel yang cukup besar seperti sekarang. Bang Ari namanya. Melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas tumpangannya. Jika dari kalian ada yg ingin berkunjung ke Pulau Pahawang jangan ragu menggunakan jasa beliau. Lengkapnya ada di Instagram.Kami menghabiskan malam bersama para pemandu wisata, meski berada di Lampung, nyatanya banyak yang berasal dari Jawa Barat, entah itu dengan plat B bisa sampai di daerah ini. Rata-rata mengatakan bahwa perjalanan kami cukup membahayakan. Kami sendiri pun mengakui hal tersebut. Malam itu dilalui dengan bergitar ria di pinggir pantai, sungguh, ketimbang pahawang yang tadi, menurut saya best momen-nya adalah di Dermaga 4 ketapang ini, ketika bersama mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Bersama Motor Supra Menyusuri Depok Menuju Bakauheni appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/motor-supra-menyusuri-depok-menuju-bakauheni/feed/ 0 29911
Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/ https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/#comments Sun, 20 Dec 2020 08:59:29 +0000 https://telusuri.id/?p=25967 2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung...

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung ini hanya berjarak 2 jam perjalanan motor dari kota kelahiran ayah dan ibuku, yaitu Klaten. Aku bersama dua orang sepupu, kami memacu motor selepas isya’ menuju basecamp Selo.

Singkat cerita kami sampai di basecamp sudah cukup larut karena harus mencari persewaan peralatan sekaligus sedikit tersesat perjalanan ke sana. Jalan yang menanjak dengan penerangan yang kurang menjadi faktor utama kami hampir tersesat, terlebih saat itu penunjuk jalan belum cukup memadai. Tepat pukul 23.00 kami memesan nasi goreng sebagai pengganjal perut. Aku kira, kami akan mendaki keesokan harinya, namun ternyata sepupuku mengajak langsung berangkat mendaki. Tepat sekitar jam 12.00 malam, kami mengencangkan tali sepatu.

Bawaan kami bertiga tidak cukup banyak, hanya aku yang berkeril 60l, Mas Aji hanya mengenakan daypack, sedangkan Mas Ulin malah lebih kecil lagi, yakni waist bag. Ya, perjalanan malam memang tentunya akan melelahkan, alih-alih kita tidak terpapar matahari yang mempercepat dehidrasi, namun yang terjadi sebenarnya ialah pernafasan kita akan berebut dengan pepohonan yang juga menghirup oksigen untuk keperluan metabolismenya. Jadi karena hal itulah, bawaan kami tidak terlalu banyak.

Mungkin yang ada di benak kalian, pendakian malam selalu berkaitan dengan peristiwa mistis. Tetapi, perjalanan kali ini akan aku ceritakan dengan logis. Ya, bukan karena diriku tak percaya akan hal gaib, namun lebih sepertistop mendramatisir hal-hal yang sukar ditangkap mata, alih-alih fokus terhadap hal itu, lebih baik fokuskan terhadap ancaman yang nyata. Karena tampaknya masih ada pendaki yang lebih takut terhadap hal gaib ketimbang ancaman nyata seperti kabut pekat, badai angin, atau mungkin cedera serta fraktur yang membayang-bayangi olahraga ini.

Gelap sudah pasti, jika ingin mendramatisir, gelap ini seperti berada di dimensi lain. Tapi sebenernya nggak juga sih, terkadang perasaan takut terhadap apa yang ada di balik kegelapan membuat kebanyakan dari kita berpikir yang tidak-tidak padahal fisik sedang lelah-lelahnya.Gunung Merbabu, Sabana 2

(Bukan) “ketempelan” di Merbabu

Pos 1 sampai Pos 2 dapat kami tempuh kurang lebih 90 menit. Meski jalur relatif landai, tak bisa kupungkiri, aku yang pertama kali mendaki malam, rasanya cukup sesak jika harus berbagi oksigen dengan pepohonan. Melelahkan.

Pertengahan menuju Pos 3 menjadi titik terberat untukku. Aku menawarkan diri untuk bertukar keril dengan Mas Aji, entah mengapa tiba-tiba keril yang biasa saja beratnya, menjadi sangat berat rasanya. Lalu, apa dengan bertukar bawaan akan mengatasi masalah itu?

Ternyata tidak. Daypack yang aku bawa rasanya sama beratnya dengan keril yang saat ini berada di punggung Mas Aji. Di bagian tengkuk, beratnya makin menjadi. Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa dirinya “ketempelan” atau semacamnya, dalam artian diri kita ditunggangi makhluk gaib. Tapi diriku tidak berpikir demikian, sebab apa?

Aku mencoba berpikir positif bahwasanya ini hanya masuk angin biasa, mengingat perjalanan di motor tanpa menggunakan jaket, serta diriku yang mungkin belum sempat aklimatisasi saat tiba di basecamp tadi. Kalau dipikir-pikir, waktu satu jam bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan pendakian ketika di basecamp pendakian.

Aku masih merasakan berat di daerah tengkuk, tapi masih kupaksa berjalan hingga akhirnya rasa nyeri mulai muncul di area perut. “Ah apa lagi ini,” pikirku.

Perjalanan melambat karena diriku, aku sering minta break hingga pada akhirnya, rasa nyeri di perut tak lagi dapat kutahan. Di sela-sela istirahat aku berbaring, sambil memutar cara bagaimana nyeri ini tak mengganggu lagi. Aku masih cukup yakin kami tidak diganggu makhluk gaib, suara murattal quran dari handphone Mas Ulin rasanya sudah lebih dari cukup untuk melindungi kami dari gangguan tak terjemahkan itu.

Disisi lain, aku tidak memiliki riwayat penyakit lambung, ataupun mengalami diare sebelum pendakian. Saat itu kurasa obat maag maupun obat diare tak akan banyak membantu. Akhirnya aku memilih untuk memuntahkan isi perutku, berharap nyeri tak lagi mengganggu. Aku menyodok bagian belakang lidah, dan “boom” nasi goreng yang tadi aku makan berhamburan keluar di bawah sorot lampu headlamp. Jackpot!

Entah mengapa badanku terasa lebih baik, nyeri di perut dan beban di tengkuk tidak begitu terasa lagi. Di bawah sinar rembulan, Mas Aji mengatakan wajahku tak lagi pucat seperti ketika kami bertukar ransel. Ya konon memang muntah adalah reaksi manusia ketika kontak dengan hal gaib. Tapi menurutku, aku hanya murni masuk angin dan kesalahanku tidak memberi waktu rehat setelah makan yang dalam bahasa kampung “nasi aja belum turun” namun aku langsung melakukan pendakian.

Summit di pagi hari adalah hal fana?

Kami sampai di Pos 3, bimasakti terlihat membentang di atas langit, sedangkan waktu di jam tangan menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kami sepakat mendirikan tenda untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan summit di pagi harinya. Ya meskipun aku tahu, summit pagi pagi adalah hal yang fana!

Setelah menghangatkan tubuh dengan teh tawar dan mie instan kami terlelap. Selama tidur, tidak ada hal yang mencurigakan, tenang dan nyaman. Aku yang terbiasa beristirahat ditemani dengan suasana senja, kali ini berganti dengan pelukan malam.

Karakter Gunung Merbabu yang berupa sabana membuatku bisa melihat gugus bintang secara lebih luas, bahkan tak terhalang pepohonan seperti di gunung-gunung di Jawa Barat pada umumnya. Pendakian pertamaku ke Merbabu rasanya sudah cukup indah, dalam hati aku berkata, walaupun nggak jadi summit pun tak apa. Perjalanan tadi, sudah cukup.

Dan benar saja, aku kesiangan! Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 saat aku terbangun. Suara riuh sayup sayup terdengar, Mas Aji dan Mas Ulin sudah duduk menikmati kopi di luar tenda. “Summit ora kowe?” celetuk Mas Aji dengan cangkir di tangannya. “Yo iyo no, aku wes adoh nyang mrene moso ora kepetuk Kenteng Songo,” aku membalas seolah itu tantangan dari Mas Aji. Padahal sebenarnya aku malas juga.

Aku gulung kembali sleeping bag, menyantap roti serta ngopi sebelum melakukan summit. Dari balik bibir gelas ku, sudah terlihat megah tanjakan Sabana 1 dengan orang orang yang terlihat kecil bak semut ingin masuk ke sarangnya.

Puncak Gunung Merbabu Kenteng Songo

Swafoto di puncak Gunung Merbabu, Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Akhirnya ke Kenteng Songo

Jam 09.30 kami melangkah, pemilihan musim yang tepat rasanya menjadi kunci dalam mendaki Merbabu ini. Sebelum mendaki, aku biasa mendengar bahwa merbabu sangatlah berdebu, namun puji syukur kala itu, tanah yang kupijak sedikit gembur, saat itu musim sedang dalam masa peralihan hujan ke kemarau. Dengan pijakan yang mantap rasanya tak terlalu sulit melewati Sabana 1 dan Sabana 2 yang menunggu di balik punggungan ini. Sabana kami lewati dengan lancar, dengan sedikit berfoto tentunya!

Seusai tanjakan Sabana 2, kembali terlihat punggungan seperti jalur naga, orang-orang berjejer di trek itu. Trek yang kurang lebih hanya selebar satu meter, membuat para pendaki harus berhati-hati jika melewatinya. Namun ternyata, yang jadi masalah bukan ada pada treknya, tapi justru ada pada kaki ku sendiri. Cedera engkel akibat kecelakaan motor mulai menunjukkan rasa nyeri. Tak lagi dapat kutahan, aku harus melipir ke pinggir trek di bawah matahari yang semakin panas, tiada tempat berteduh. Sudahlah nyeri, panas pula. Ada kali, sekitar 30 menit aku mengistirahatkan kaki kiriku.

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Setelah nyeri mereda kami melanjutkan pendakian, dan tibalah kami di puncak Gunung Merbabu yakni Kenteng Songo. Lautan awan sekaligus puncak merapi menyambut kami. Meski sudah pukul 12.00 siang, tapi cuaca tampak cerah. Kala itu hari Jum’at, namun meskipun weekday, suasana puncak cukup ramai.

Trek yang kami lalui tadi terpampang jelas di atas sini, seakan tak percaya aku melewati trek itu. Terik matahari tak lagi dapat kutahan, aku yang terbiasa mendaki gunung jawa barat dengan hutannya yang sangat teduh, rasanya tidak ada apa apanya dengan pendaki lokal daerah sini yang kuat sekali menahan panas. Hanya sekitar 30 menit aku di Kenteng Songo lalu memutuskan turun kembali ke tenda.

Menurutku, Merbabu termasuk gunung dengan pemandangan yang apik sabana membentang sepanjang jalur pendakian, dan tentu saja hamparan edelweiss bisa menjadi taman bermain bagi pendaki. Warna-warni tenda seolah memberi nyawa terhadap lukisan diatas kanvas hijau ini. Dengan punggungan bukit yang bergelombang, rasanya tak berlebihan jika kata rindu bersanding dengan Merbabu.

Meski ada sedikit kendala, aku merasa pendakian malam dan pertamaku ke Merbabu terasa lancar. Berjalan bersama orang-orang yang cukup rasional, membuatku nyaman dalam melewati masalah semalam. Meski kejadian tadi malam bukan pertama kalinya terjadi, namun aku masih bisa berpikir positif agar suasana tak makin runyam. Aku percaya ada makhluk lain di sekitar kita, namun bukan berarti kita menjadi takut. Bagiku cukup sandarkan perlindungan diri kita terhadap tuhan di kepercayaan kita masing-masing.

Barangkali untuk kamu, pembahasan mengenai tuhan, agama, dan makhluk gaib bukan menjadi sesuatu dipikirkan secara rasional. Meski begitu, sesuai kepercayaanku, aku meyakini bahwasannya selalu ada tuhan yang senantiasa akan membantu kita dalam kesulitan. Tidak terkecuali saat kita berada di gunung, tempat yang ramai akan makhluk tak kasat mata ini. 

Melalui tulisan ini aku hanya ingin mengajak para pendaki mulai lebih fokus terhadap ancaman yang nyata, tak terhasut kepada yang tak kasat mata. Hipotermia, cuaca buruk, ataupun kedaruratan medis lebih mengancam nyawa kita kala di gunung. Akhir kata, semoga bertemu di jalur pendakian, see you!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/feed/ 2 25967
Mendaki Gunung Lawu dari Jalur Candi Cetho https://telusuri.id/gunung-lawu-via-candi-cetho/ https://telusuri.id/gunung-lawu-via-candi-cetho/#respond Thu, 10 Dec 2020 07:45:40 +0000 https://telusuri.id/?p=25814 Stasiun Bengawan. Aku terbangun setelah tertidur cukup nyaman di dalam kereta Bengawan yang sepi. Kala itu pukul 14.30, aku melangkahkan kaki keluar gerbong, memanggul keril berukuran 45L lengkap dengan perabotan lenong didalamnya. Ada banyak langkah...

The post Mendaki Gunung Lawu dari Jalur Candi Cetho appeared first on TelusuRI.

]]>
Stasiun Bengawan. Aku terbangun setelah tertidur cukup nyaman di dalam kereta Bengawan yang sepi. Kala itu pukul 14.30, aku melangkahkan kaki keluar gerbong, memanggul keril berukuran 45L lengkap dengan perabotan lenong didalamnya.

Ada banyak langkah kaki yang bergerak di peron stasiun ini, namun hanya 3 pasang kaki yang kukenal langkahnya, yaitu Doger, Colay, dan Nopol. Ya, kuberi nama samaran saja pada cerita kali ini. Di stasiun ini pun aku mengenal salah satu pendaki yang mungkin akan menjadi karakter utama dalam perjalanan ini, Sigit namanya.

Kami langsung dijemput Mas Asep ketika keluar dari stasiun, ia adalah kerabat Doger. Ia bersedia mengantar jemput kami ke basecamp Candi Cetho sebagai salah satu jalur pendakian Gunung Lawu. Sebelum menuju basecamp, kami berenam mengisi perut dulu di salah satu tempat olahan kambing yang terletak di sudut kota Sukoharjo.

Setelah menghabiskan satu piring tongseng beserta nasi, kami melipir ke salah satu warisan leluhur di kota Sukoharjo yang punya nilai sejarah sekaligus ekonomis, Bekonang!

Tempat yang kami tuju adalah Ciu Bekonang, di sini mereka menawarkan berbagai produk minuman baik alkohol maupun non-alkohol. Gedang klutuk menjadi varian rasa yang dipilih oleh Colay dan Doger saat itu. Mereka berdua cukup antusias, sedangkan diriku hanya tertawa ketika mereka bermaksud membawa minuman ini untuk bekal pendakian.

Aku tak banyak berceramah, aku paham mereka pendaki berpengalaman, terlebih di sela-sela mereka memasukkan logistik ini, mereka berujar “sekedar menghangatkan suasana”. Menurutku, ujaran tersebut khas anak muda Sawangan untuk acara yang berkaitan dengan minuman beralkohol.

Perbedaan gaya hidup Sawangan dan Solo menjadi topik utama pembicaraan kami sepanjang perjalanan menuju basecamp Candi Cetho, sebelum akhirnya kami tiba sekitar pukul 20.00. Setelah melepas Mas Asep di parkiran, kami langsung menuju basecamp serta re-packing untuk pendakian esok pagi. Tepat pukul 23.00 kami semua terlelap.

Pintu pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho/M. Husein

Mendaki Gunung Lawu

Dingin membangunkanku pagi itu, meski begitu aku memutuskan bergegas mandi. Buatku, ini salah satu bentuk aklimatisasi dengan suhu udara di sini. Sebelum menyentuh air, aku jongkok dan berimajinasi terlebih dulu. Membayangkan perjalanan akan menyenangkan! Usai sarapan, kami memulai perjalanan mendaki Lawu. Pendakian benar-benar kami mulai pukul 09.00 setelah beres mengurus simaksi, briefing, dan doa bersama.

Kepada Nopol, Doger, Colay, dan Sigit, kuutarakan tentang gaya pendakianku yang tepat waktu. Hal ini bukan tanpa alasan, cedera tendon achilles lima tahun silam memaksaku untuk tak lagi bisa berlama-lama di trek pendakian. Sebabnya, jika melakukan kegiatan luar ruangan khususnya pendakian lebih dari tujuh jam, kaki kiri akan terasa nyeri. Kuceritakan kisah ini kepada mereka supaya mereka dilema sih, dilema harus mengutamakan keselamatan diri atau kepercayaan teman.

Candi Kethek/M. Husein

Bicara ritme pendakian

Tiba di Candi Kethek, aku memperingati diri sendiri bahwasannya pendakian akan berjalan tidak lancar. Bang Sigit yang baru kami temui di stasiun, beridealis tentang perjalanan menikmati trek, tentu berbeda 180 derajat dengan ritme pendakianku. Di titik ini aku masih menahan emosi, sebab rasanya tak pantas mengajari pendaki lain perihal ritme pendakian.

Kalau kita bicara ritme pendakian, Gunung Lawu menjadi salah satu gunung yang sangat detail kuperhatikan manajemen pendakiannya, mulai dari logistik hingga isi keril anggotaku. Ya, kawan ku dari Sawangan sepakat untuk menyerahkan urusan pembagian beban kepada diriku. Dengan durasi perjalanan 3 hari 2 malam, kami meminimalisir beban hingga seringan mungkin mengingat trek Cetho yang terkenal panjang.

Namun semua rencana nampaknya sia-sia tatkala Bang Sigit bergabung. Perbedaan ritme pendakian semakin terpampang nyata, padahal hanya mencapai Pos II waktu itu. Aku dan Nopol tak terasa sudah berjalan cukup jauh, sedangkan yang lain masih di belakang. Terlihat diriku egois, memang. Tapi bukan berarti akan kutinggalkan teman-temanku. Kami memutuskan menunggu mereka di Pos II sembari melinting tembakau yang kubawa dari Sawangan. Kalau dihitung-hitung, tepat pada lintingan ke-16, ketiga teman pendakianku baru terlihat.

Gupak Menjangan/M. Husein

Gupak Menjangan/M. Husein

Tak ingin kehilangan momen pendakian, aku dan Nopol tancap gas menuju Pos III. Tepat pukul 12.00 siang kami sampai di satu-satunya pos bermata air di trek Candi Cetho ini. Ku isi air, dan ku lanjutkan membakar lintingan sembari beristirahat. Di pos ini, aku memberikan sinyal kepada diri sendiri bahwa waktu yang mulai molor, mengingat 2 pos terdepan adalah yang paling curam di trek ini. Kalau aku memiliki limit 7 jam, maka tersisa 4 jam lagi untuk sampai di Pos V, Gupak Menjangan sebagai tempat mendirikan tenda.

Setelah anggota lengkap dan istirahat yang cukup, pukul 13.00 kami melangkahkan kaki kembali. Di momen ini aku tak lagi bisa menahan kegusaran hati, aku memberikan pengarahan ulang bagaimana pendakian ini akan dilanjutkan. Ya agak lucu memang, sebuah pendakian dengan tim lima orang masih dibagi lagi menjadi dua tim.

Aku dan Nopol di depan, dan tiga lainnya di belakang. Kami menerapkan sistem “temu-pisah”. Kami mengulang sistem ini hingga sampai di Gupak Menjangan. Molor di waktu tentunya, namun satu yang pasti. Dengan begini, batas waktu kakiku mungkin akan terlewat, meski begitu aku bisa beristirahat lebih panjang sembari menunggu tiga orang lain di belakang.

Gupak Menjangan dengan garis oranye ku dekati. Pukul 17.00 diriku sampai terlebih dahulu dan langsung bergegas mendirikan tenda. Mendirikan tenda saat gelap adalah salah satu hal yang aku hindari selama mendaki. Selain keterbatasan cahaya yang membatasi mobilitas, waktu istirahat pun berkurang. Tepat pukul 18.30 semua sudah rapi dan lengkap, acara santap malam kami lancarkan dengan singkat. Tak butuh waktu lama kami semua pun terlelap. Kami berencana menuju hargo dumilah pukul 03.00 dini hari.

Pendakian Lawu via Candi Cetho/M. Husein

Perjalanan menuju puncak Gunung Lawu/M. Husein

Menuju Puncak Gunung Lawu

Waktu menunjukkan pukul 02.00 ketika kami berempat menyantap sereal. Bang Sigit, tidak ikut summit kali ini. Setelah berkemas serta menyesap damar wangi dalam lintingan, kami bergegas memantapkan headlamp. Kebetulan malam itu cuaca cerah karena bintang terlihat megah, namun tidak dengan anginnya yang cukup kuat menggoyang frame tenda tenda kami. Tak patah arang, kami tetap lanjut melangkahkan kaki menuju Hargo Dumilah.

Hanya terlihat rumput kering saat sorot cahaya headlamp menuntun kami, tak terasa memasuki kawasan hutan. Lawu memang terkenal dengan mistisnya, namun aku cukup bersyukur kala itu, tubuh dan pikiran dalam kondisi prima walaupun mungkin banyak hal tak kasat mata mengganggu. Kami berempat berusaha mencairkan suasana supaya dan menekan hawa yang tak mengenakan tersebut. Tak lama, kami tiba di “kantin gunung” Hargo Dalem. Bangunan dengan lampu-lampu ini membalikkan mood pendakian yang mulai runyam sedari tadi.

Kami melanjutkan pendakian, trek yang mulai menanjak dan berbatu mengiring langkah. Kami banyak diam, selain karena berbagi nafas, tapi juga karena angin yang tak kunjung reda. Sekitar pukul 04.30, terdengar suara “tang, tang, tang..” dari tiang bendera yang tertiup angin, jadi pertanda angin kalau angin di puncak sangat kencang. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Menyalakan kompor dan menyeduh liong sembari menunggu cahaya matahari bersinar.

Garis oranye mulai terlihat dari kejauhan, lautan awan tentunya tak mau kalah menunjukkan kemegahannya. Kami langsung membereskan kompor dan menuju puncak. Kami di puncak tidak lama, hanya Sekitar 30 menit saja. Harus diakui bahwa aku sudah tidak lagi kuat menahan angin di titik ini. Kami langsung turun menuju Hargo Dalem.

Sarapan pecel di tempat Mbok Yem

Pecel Mbok Yem sudah ku bidik sejak dari Sawangan. Namun sebelum sampai di Mbok Yem, kami baru tersadar bahwasannya matahari terbit saat kami turun dari puncak. Hal ini cukup menggelikan, mengingat kami selalu bertemu sunrise saat menuju maupun sampai puncak, namun kali ini kami justru bertemu saat perjalanan turun.

Mengiis perut di Gupak Menjangan/M. Husein

Usai berswafoto kami bergegas menuju Mbok Yem, menemui Adit, monyet yang menjadi penjaga pintu warung si Mbok. Setelahnya, kami kembali ke tenda. Aku berjalan cepat karena rasanya perutku sudah mulai berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, dua temanku juga berjalan cepat karena mereka tak sabar mencicipi bekal kesayangan kami. Waktunya, bekonang!

Banyak pelajaran pada pendakian kali ini, entah tentang manajemen emosi serta ritme pendakian. Diriku yang selalu menjadi time keeper dalam pendakian tak pernah menyangka akan mengalami kemunduran rencana yang lumayan lama. Namun bukan berarti diriku mendiskreditkan Bang Sigit lho.

Meski kami berbeda dalam ritme pendakian, namun kami satu pandangan dalam memaknai pendakian di era ini, bagaimana pandangannya terhadap tujuan orang orang mendaki maupun permasalahan di dalamnya.

Eh kok di akhir cerita ini rasanya aku begitu dekat dengan Bang Sigit?

Karena ada satu hal, yang tidak diceritakan di tulisan ini. Sebenarnya, aku dan dia berbagi matras yang sama dan eksklusif di dalam tenda 2p bawaannya sehingga percakapan kami tentunya lebih intens kala malam semakin larut.

The post Mendaki Gunung Lawu dari Jalur Candi Cetho appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-lawu-via-candi-cetho/feed/ 0 25814
Mampir ke Penangkaran Penyu Ujung Genteng https://telusuri.id/mampir-ke-penangkaran-penyu-ujung-genteng/ https://telusuri.id/mampir-ke-penangkaran-penyu-ujung-genteng/#respond Fri, 23 Oct 2020 08:27:23 +0000 https://telusuri.id/?p=24684 Libur dua hari Sabtu Minggu sejujurnya adalah kesempatan langka bagi saya yang bekerja di industri jasa. Jadi kesempatan libur kali ini tak saya sia-siakan. Saya langsung mengajak kawan-kawan lama untuk sekadar “gas tipis-tipis.” Kali ini...

The post Mampir ke Penangkaran Penyu Ujung Genteng appeared first on TelusuRI.

]]>
Libur dua hari Sabtu Minggu sejujurnya adalah kesempatan langka bagi saya yang bekerja di industri jasa. Jadi kesempatan libur kali ini tak saya sia-siakan. Saya langsung mengajak kawan-kawan lama untuk sekadar “gas tipis-tipis.” Kali ini saya memilih wisata air, dengan harapan di tempat itu tersedia sinyal agar saya tetap bisa menjalankan kuliah daring. Pilihan wisata air untuk warga Jabodetabek, ya, pasti tak jauh-jauh dari Ancol, Geopark Ciletuh, dan Ujung Genteng. Yang terakhir disebutkan adalah tujuan yang saya pilih.

Konon, nama Ujung Genteng berasal dari frase “ujung gunting” karena letaknya yang ada di salah satu ujung Jawa Barat, di Sukabumi, dan garis pantainya berbentuk gunting.

Setelah enam jam perjalanan menggunakan roda empat, kami langsung rehat di penginapan murah. Ada dua spring bed, tapi tanpa AC. Bagi saya sendiri, jalan-jalan menyewa penginapan seperti ini sudah cukup hedon, sih, mengingat dalam perjalanan terakhir saya tidur entah di mana. Tapi tak apa. Saya memang ingin membangun suasana reuni yang nyaman dalam perjalanan ini.

Setelah lapor-masuk, kami main remi untuk menghabiskan waktu.


Jam 7 pagi saya bangun, lalu memesan segelas teh tawar hangat sembari mencari-cari pantai mana yang cocok untuk kami sambangi hari itu. Ulasan Mbah Google membuat saya tertarik untuk mampir ke tempat penangkaran penyu—yang saya baru tahu. Bisa liburan sembari belajar, pikir saya.

Kami berangkat jam 9 pagi mengikuti panduan Google Maps. Lagu akustik mengalun mencairkan suasana lewat pelantang di mobil.

Setiba di sana, kami membayar tiket masuk, lalu disapa bangunan-bangunan khas ekowisata—aula, mes untuk peneliti, dan penangkaran penyu. Namun sayang beberapa bangunan tampak sudah tak layak pakai. Padahal, menurut saya, tempat wisata seperti ini perlu perlakuan lebih. “Visit Indonesia” mungkin memang hanya untuk destinasi dengan nilai komersial tinggi, tak berlaku untuk tempat wisata dengan nilai edukasi yang tinggi.

Pantai di depan lokasi penangkaran penyu Ujung Genteng/Muhammad Husen S.

Kami berlima langsung menuju pantai. Sejujurnya saya cukup sumringah. Rasanya seperti melihat replika Mpok Tunggal di Gunung Kidul. Benar-benar bersih dari sampah, pasirnya halus, tak ada karang sepanjang mata memandang, ombaknya cukup besar namun masih dalam batasan “menyenangkan” untuk bermain air.

Karena masuk dalam kawasan penangkaran, tak satu pun warung kopi tampak di pinggiran. Bagi para pendaki yang suka ketenangan, pantai ini cocok sekali karena masih sangat asri. Untungnya saya selalu bawa matras dan alat masak sehingga acara minum kopi bisa dilakukan secara paripurna.


Kami bermain air sekitar dua jam sampai terik matahari sudah tak dapat ditolerir lagi. Setelah berkemas, kami langsung menuju bangunan tempat penangkaran penyu. Penyu yang biasa ditemukan di kedalaman laut kini ada tepat di depan mata saya. Di kawasan ini banyak terpampang tulisan kampanye konservasi penyu, salah satunya “Dari 1000 penyu yang lahir, hanya satu yang dapat bertahan hidup.” Tentu tulisan-tulisan itu makin bikin penasaran, terlebih bagi saya yang tak banyak tahu tentang kehidupan di laut.

Titik-titik tempat telur penyu dikubur/Muhammad Husen S.

Kami disambut hangat oleh petugas di sana. Berbagai pertanyaan kami lontarkan. Berikut saya coba narasikan informasi yang kami dapat dari sang petugas:

“Penyu … merupakan hewan yang unik. Saya ceritakan mulai dari kelahirannya. Induk penyu memiliki semacam GPS yang akurat, ia akan melahirkan di tempat ia dilahirkan. Penyu sangat sensitif terhadap cahaya maupun aktivitas manusia. Jika ia melihat manusia atau hewan lain di pinggir pantai, ia lebih memilih untuk tidak bertelur. Hal inilah yang membuat pantai ini tidak dibuat seperti tempat wisata pada umumnya. Dalam sekali melahirkan, penyu betina bisa melahirkan seratus telur. Namun … bukan berarti akan hidup semua, mungkin hanya satu yang mampu bertahan hidup dari seribu penyu yang menetas. Ya, hal ini dikarenakan hukum alam itu sendiri; dimakan oleh predator laut maupun sesama penyu karena mereka juga bisa bersifat kanibal. Namun, satu yang pasti, salah satu predator yang bisa kita kurangi yaitu kita sendiri: manusia. Dengan memberi perlindungan hukum terhadap penyu dan tentunya kita sendiri yang melestarikan penyu tersebut.

“Mengapa [usaha untuk melindungi penyu] penting? Di dunia terdapat tujuh jenis penyu, dan enamnya berada di Indonesia. Sungguh kaya, bukan, negeri kita. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan wawasan nelayan sekitar kita. Hadirnya penangkaran ini diharap mampu mengedukasi masyarakat sekitar tentang penyu. Kita beri edukasi bahwasanya keberadaan penyu sangatlah penting bagi ekosistem laut. Penyu merupakan predator puncak dari ubur-ubur yang sering memakan telur ikan. Secara tidak langsung [penyu] mendukung kehidupan ikan sebagai salah satu komoditas ekonomi kita. Tak hanya ubur-ubur, penyu juga memakan spons laut yang merupakan kompetitor dari terumbu karang. Dengan hadirnya penyu, terumbu karang akan tetap tumbuh dan berkembang dan nantinya akan menjadi rumah bagi ikan-ikan tangkapan kita jua.”

Penyu-penyu sisik berumur 7 tahun di Ujung Genteng/Muhammad Husen S.

Banyak informasi lain sebenarnya, tapi rasa-rasanya itu sudah cukup untuk menekankan betapa pentingnya pelestarian penyu. Saya bukan duta laut, tapi saya mau ajak rekan-rekan pembaca tulisan ini untuk ikut peduli pada salah satu makhluk laut ini. Jangan ragu untuk melaporkan penjualan penyu ataupun telurnya yang konon mampu meningkatkan stamina. Sekurang-kurangnya, jangan cuma mengunggah konten, tapi pelajari jua apa saja detail-detail dari konten yang diunggah itu. Rasanya sikap ini juga bisa dipraktikkan saat mengunjungi tempat-tempat lain, entah Gede-Pangrango dengan elang jawa dan lutungnya, Argopuro dengan meraknya, atau Lawu dan menjangannya.

Setelah mendengar kisah menakjubkan sekaligus menyedihkan dari petugas penangkaran penyu itu, kami pamit untuk mencari makan siang. Di tempat wisata yang tampaknya baru dibuka, Bukit Teletubbies namanya, ada tempat makan. Karena sinar matahari begitu menyengat, kami lebih memilih nyerande—“malas-malasan” dalam bahasa Sawangan—di pelataran warung nasi. Desir angin dan harga makanan prasmanan yang murah bikin suasana makan jadi menyenangkan. Selepas nyerande kami beranjak ke penginapan. Kawan-kawan tidur siang, tapi saya sendiri tidak karena ada kuliah daring.

Pukul 16.30 kami pergi ke Pantai Ujung Genteng, berharap melihat mentari terbenam yang elok. Kedatangan kami disambut tugu bertuliskan “Ujung Genteng” yang cukup besar. Ada titik-titik berfoto yang cocok untuk diunggah ke Instagram—ayunan, dipan dengan latar belakang “love,” bingkai Instagram, dan lain-lain. Entah kenapa tempat-tempat begitu menjamur di berbagai atraksi turisme, entah pantai atau bukit di mana orang bisa jalan kaki dalam waktu yang singkat. Rasanya sudah jadi ciri khas Indonesia. Tapi menurut saya, ya, tak penting-penting amat.

Kami memilih gazebo yang sekiranya pas jadi tempat melihat laut dan perahu-perahu nelayan yang tertambat rapi. Kami pesan ikan bakar supaya vibe laut makin terasa. Kami makan ikan dengan nasi liwet, sambal, dan lalapan, lalu ditutup dengan teh tawar hangat.

Kala itu langit mendung sehingga senja-senji enggan hadir. Tapi nyatanya rona senja tak maksimal itu tak berpengaruh signifikan. Menurut saya, enak atau tidaknya jalan-jalan utamanya dipengaruhi dengan siapa kita jalan-jalan.

Sembari menengok tenangnya laut, kami bercengkerama sambil mengulang cerita-cerita jenaka kala kami main-main semasa SMP dulu. Tak terasa sudah dua belas tahun lingkaran pertemanan kami terjaga. Kalau dahulu kami hanya anak kecil bandel yang melarikan diri untuk piknik, sekarang rasanya kami seperti bapak-bapak arisan yang melepaskan diri sejenak dari keriuhan rumah.

The post Mampir ke Penangkaran Penyu Ujung Genteng appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mampir-ke-penangkaran-penyu-ujung-genteng/feed/ 0 24684
Gas Air Mata di Bundaran HI https://telusuri.id/gas-air-mata-di-bundaran-hi/ https://telusuri.id/gas-air-mata-di-bundaran-hi/#comments Sat, 10 Oct 2020 10:41:03 +0000 https://telusuri.id/?p=24388 Selepas sif pagi jam 1 siang, saya langsung menstarter Supra kesayangan. Arloji di pergelangan menunjukkan pukul 14.00 saat saya tiba di depan gedung KPU untuk memarkirkan motor. Saya mantap turun ke jalan tanpa aliansi seperti...

The post Gas Air Mata di Bundaran HI appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas sif pagi jam 1 siang, saya langsung menstarter Supra kesayangan. Arloji di pergelangan menunjukkan pukul 14.00 saat saya tiba di depan gedung KPU untuk memarkirkan motor. Saya mantap turun ke jalan tanpa aliansi seperti mahasiswa atau serikat buruh.

Sekitar dua puluh menit berjalan sampailah saya di Bundaran HI. Patung di tengah itu seolah-olah menyapa saya dari kejauhan dan berkata, “Hai! Sini bergabung!” Akhirnya saya memang bergabung. Bukan, bukan dengan patung itu, tapi dengan para demonstran. Kami berjalan dari depan kantor polisi di Thamrin yang penuh instrumen antihuru-hara. Dalam hati saya bergumam, “Semoga saja ini hanya pameran mobil.”

Massa dekat Halte Sarinah/Muhammad Husen S.

Sudah pukul 14.30. Rasanya mungkin telat untuk aksi. Namun, rupanya pada jam-jam inilah situasi mulai memanas. Tak lama setelah saya melewati sebuah halte, muncul kericuhan. Batu-batu dilemparkan ke arah halte TransJakarta. Oknum [pemancing] kericuhan memang nyata adanya. Saya refleks berkata, “Hai! Hai! Di situ nggak ada DPR-nya!” Kawan saya lebih gamblang. Ia memanjat pembatas jalur TransJakarta, berdiri tegap di sana sambil mengangkat kedua tangan, dan berkata, “Hai! Hai! Energi kita bukan buat di sini!”

Saat itu, saya baru sadar bahwa di rombongan saya hanya sedikit yang memakai jaket almamater. (Serikat buruh—tadi saya tiba berbarengan dengan massa serikat buruh—memakai kemeja hitam.)

Di halte selanjutnya, saya melihat keanehan: oknum-oknum mengantar bensin dalam jeriken untuk memuluskan acara BBQ-an halte TransJakarta. Karena udara langsung dipenuhi oleh asap hitam yang mengepul, saya tak sempat mendokumentasikannya. Tapi tak saya indahkan asap itu. Saya tetap berjalan lurus hingga ke depan barikade polisi. Semakin ke depan, saya semakin mengerti bahwa tak ada lagi aksi damai. Demonstran maupun polisi, rakyat dan aparat, berbalas serangan, berbenturan, dibenturkan… entahlah.

Halte TransJakarta HI sedang terbakar tampak di kejauhan/Muhammad Husen S.

Kemudian saya sedikit melipir ke kanan, ke barisan gedung. Saya istirahat di seberang gedung dengan bendera Jepang berkibar di bagian depannya. Apa yang terjadi? Ada yang bilang, “Hoi! Turunin bendera Jepangnya!” Makin tak masuk akal lagi ini orang-orang. Lalu gedung tempat saya bersandar tiba-tiba tertimpuk batu lemparan oknum entah dari mana. Saya naik pitam dan teriak, “Hoi! Hoi! Ngotak!” Awak pers pun ternyata tak luput disasar oknum-oknum itu. Akhirnya saya haya bisa jalan mundur sambil menjepit Gudang Garam di jari kanan.

Sambil diam di pinggir menghisap asap nikotin, saya mulai merasakan efek gas air mata. Perih? Jangan ditanya. Gas air mata terus saja ditembakkan meskipun saya lihat jumlah demonstran di garda depan sudah berkurang. Suara-suara ledakan itu bikin saya nostalgia masa-masa perang sarung selepas Subuh di bulan Ramadan.

Demonstran menghadapi barikade polisi di sekitar Halte Sarinah/Muhammad Husen S.

Lalu saya kembali jalan kaki. Santai—rasanya saya sudah lelah selepas bekerja tadi pagi—meskipun asap gas air mata masih di mana-mana. Barikade polisi masih berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat saya kini. Saat berjalan santai itu saya melihat sekitar.

Ada pedagang starling (Starbucks keliling) dengan sepedanya meliuk-liuk di keramaian itu, yang nggowes untuk mencari rezeki, bukan demi konten Instagram Story. Saya juga melihat dua orang berjaket ojol—abang-abang driver ojol, barangkali—yang bolak-balik menjemput demonstran-demonstran yang tumbang di antara lalu-lalang ambulans.

Aparat memukul mundur massa kembali ke bundaran. Sejenak semua terasa kembali tenang. Gencatan senjata. Lalu Halte TransJakarta HI terbakar. Saya melihat kebakaran itu dari kejauhan. Aksi ini tak lagi damai, tapi saya masih saja betah memerhatikan. Sementara itu, “Hot Wheels” depan kantor polisi di Thamrin sudah mulai dipanaskan. Komunikasi aparat lewat HT tampaknya udah lebih intens ketimbang saat saya datang tadi. Tapi tak ada dentuman gas air mata lagi.

Akhirnya kembali terjadi gencatan senjata ketika panggilan salat dikumandangkan.


Saya berangkat berdelapan. Tiga orang menunggu di HI, sementara lima lainnya, termasuk saya, bergerak ke depan. Satu di antara kami berlima terpisah. Tak ada kabar darinya sampai pukul 18.00.

Halte Sarinah pascakebakaran/Muhammad Husen S.

Kami pun kembali menyisir Thamrin, berharap menemukan teman kami itu di sana. Saat berjalan menelusuri Thamrin iu saya melihat tiga halte terbakar hanya menyisakan kerangka. Sisa-sisa halte itu pun diambil oleh beberapa orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Saya berjalan sampai ke depan barisan polisi yang sedang istirahat. Mereka duduk sama rata dengan para demonstran, sebagian lagi beribadah menghadap kiblat yang sama dengan para demonstran. Harmonis.

Namun teman kami belum tampak batang hidungnya. Saya dan kawan yang ikut mencari lalu kembali ke HI dengan tangan kosong. Kemudian kami mengambil motor di depan KPU sembari berharap ada info soal teman kami itu. Kami mundur sampai Stasiun Manggarai, menjernihkan pikiran, mencuci muka dengan pasta gigi, dan menghisap Gudang Garam tanpa tekanan.

Lalu ada kabar gembira: teman kami terkonfirmasi berada di Tugu Tani. Kami jemput dia.

The post Gas Air Mata di Bundaran HI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gas-air-mata-di-bundaran-hi/feed/ 1 24388
Nutrihiking: Camilan Karbohidrat Sederhana saat Trekking https://telusuri.id/nutrihiking-camilan-karbohidrat-sederhana-saat-trekking/ https://telusuri.id/nutrihiking-camilan-karbohidrat-sederhana-saat-trekking/#respond Tue, 29 Sep 2020 05:10:28 +0000 https://telusuri.id/?p=24087 Dalam tulisan sebelumnya, “Nutrihiking: Karbohidrat Tepat agar Pendakian Makin Mantap,” sudah disinggung soal bahan-bahan karbohidrat kompleks yang kompatibel untuk diajak mendaki. Nah, kali ini kita akan bicara soal karbohidrat sederhana. Sebagaimana kita tahu, karbohidrat adalah...

The post Nutrihiking: Camilan Karbohidrat Sederhana saat Trekking appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam tulisan sebelumnya, “Nutrihiking: Karbohidrat Tepat agar Pendakian Makin Mantap,” sudah disinggung soal bahan-bahan karbohidrat kompleks yang kompatibel untuk diajak mendaki. Nah, kali ini kita akan bicara soal karbohidrat sederhana.

Sebagaimana kita tahu, karbohidrat adalah bahan bakar utama yang menyuplai energi bagi tubuh. Karbohidrat akan diolah oleh tubuh menjadi glukosa yang nantinya jadi penyuplai energi utama untuk bergerak. Sayangnya, tak semua bahan-bahan karbohidrat tinggi dapat diolah menjadi glukosa secara cepat dalam tubuh. Bahan-bahan itulah yang disebut karbohidrat kompleks. Tapi, ada karbohidrat tinggi jenis lain dengan struktur kimia yang lebih simpel sehingga cepat diolah oleh tubuh, yakni karbohidrat sederhana.

Trekking dalam waktu yang lama tentu bikin tubuh perlu banyak energi pula. Pada pertengahan pendakian, ketika terlalu tanggung rasanya untuk membuka kompor dan memasak, para pendaki akan mengalami keletihan. Di saat-saat genting inilah karbohidrat sederhana bisa memainkan peran sebagai penyuplai energi. Di antara banyak bahan karbohidrat sederhana, berikut saya berikan beberapa rekomendasi camilan berenergi yang kompatibel untuk dikonsumsi saat mendaki:

Puluhan gula kelapa (gula Jawa) yang telah selesai dibuat di UKM Ngudi Lestari, Desa Kalisalak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat, 24 Juli 2015 via TEMPO/Budi Purwanto

1. Gula merah (gula Jawa)

Membawa gula merah (gula Jawa) saat mendaki adalah kebiasaan yang sudah diwariskan turun-temurun dari satu generasi pendaki ke generasi berikutnya. Ringkas dan mudah dicari menjadi alasan mengapa camilan ini tetap eksis meskipun makanan berenergi lain semakin banyak bermunculan.

Gula merah bisa langsung dimakan atau diseduh terlebih dahulu dengan air panas. Beberapa pendaki saya lihat bahkan menambahkan santan di rebusan gula merah agar rasanya tidak terlalu getir. Sekitar 10 g gula merah dapat menyuplai energi sebanyak 50 Kal.

Sebotol madu via pexels.com/Agustin Garagorry

2. Madu

Bahan makanan ini cukup banyak dijual dalam bentuk bungkusan. Madu dengan perasa kini jadi primadona di kalangan pendaki. Sebagai sumber energi, satu sendok makan madu dapat menyuplai energi sebesar 50 Kal.

Selain untuk dikonsumsi, madu juga dapat jadi salah satu bahan survival kit. Salah satu fungsinya adalah sebagai obat luar. Saat kulit sobek, misalnya, madu dapat menghambat perkembangan bakteri pada kulit yang terbuka. Madu juga bisa jadi solusi dari bibir kering, baik karena suhu dingin ataupun karena dehidrasi kala trekking. Untuk kamu yang serius memerhatikan penampilan, kamu juga bisa maskeran dengan madu sebelum muncak.

Potongan cokelat via pexels.com/Kaboompics

3. Cokelat

Siapa, sih, yang tak suka cokelat? Mungkin ada, tapi tampaknya hanya segelintir saja. Dan agaknya bahan karbohidrat sederhana ini juga masih jadi salah satu primadona kalangan pendaki. Kenapa saya bisa menyebut bahan ini primadona? Karena, menurut pengamatan saya kala mendaki, sampah bungkus cokelat masih menduduki peringkat atas di jalur pendakian, bersaing dengan bungkus madu.

Terlepas dari semua itu, cokelat memang menawarkan energi yang besar. Dalam 50 g cokelat tersimpan potensi energi cukup padat, yakni sebesar 275 Kal. Selain energi yang dijanjikan, bentuk fisik cokelat yang kompak pun pas sekali rasanya dijadikan partner trekking.

Sekaleng biskuit via pexels.com/Izabella Bedő

4. Biskuit

Biskuit cocok sekali sebagai camilan saat istirahat dalam pendakian yang cukup panjang. Bisa disandingkan dengan kopi atauu susu yang kamu seduh saat mendaki.

Tapi, tak semua biskuit padat energi. Jika ingin membawa biskuit sebagai camilan pendakian, bawalah biskuit gabin atau biskuit bayi. Dua keping biskuit jenis tersebut bisa menyuplai sekitar 90-100 Kal. Jadi, makan lima keping, kalorinya bisa sudah setara dengan kalori makan pagi, tapi tak bikin begah dan membuat kamu mager.

Tiga buah apel hijau via pexels.com/Suzy Hazelwood

5. Buah-buahan

Buah-buahan adalah camilan pendakian favorit saya pribadi. Selain karena rasanya yang manis, buah-buahan juga menghasilkan sampah organik yang tentunya dapat terurai dengan baik oleh tanah.

Hanya saja, energi dari buah memang tidak sepadat empat bahan yang sudah diulas sebelumnya di atas. Namun, mengonsumsi buah-buahan bukan cuma perkara mengekstraksi energi, tapi juga menambah semangat (sebagai mood booster).

Berikut daftar buah-buahan serta ukuran rumah tangga (URT) yang kompatibel untuk dibawa trekking. Semuanya mengandung energi sebesar 50 Kal.

BuahURT
Anggur20 buah sedang
Apel1 buah
Jeruk2 buah
Kurma3 buah
Duku9 buah
Pir1 buah
Pisang1 buah
Jambu air2 buah besar
Jambu biji1 buah besar
Salak2 buah sedang
Rambutan8 buah
Daftar buah-buahan berikut ukuran rumah tangga (URT) yang kompatibel untuk dibawa trekking (50 Kal)/Muhammad Husen S.

Akhirnya kita sampai di ujung tulisan. Saya menulis ini agar para pendaki bisa mendapat gambaran lain soal camilan untuk dibawa mendaki, sebab selama ini banyak yang hanya membawa “chiki-chikian” yang cenderung asin, memperberat kerja ginjal, dan membuat tubuh mudah mengalami dehidrasi. Satu-dua “chiki-chikian” tak apa-apa dibawa, asal jangan jadi camilan utama.

Untuk menutup seri ini, saya berharap agar tulisan-tulisan Nutrihiking dapat jadi panduan bagi teman-teman sekalian dalam menyusun itinerary makan. Kamu dapat melihat kembali jumlah energi tiap bahan makanan dan URT-nya untuk menghitung berapa banyak bahan makanan yang akan dibawa, baik untuk mendaki sendirian maupun berkelompok. Jangan lupa: good food is good mood.


Seri Nutrihiking:

  1. Nutrihiking: Rahasia Memilih Bekal Makanan Naik Gunung
  2. Nutrihiking: Karbohidrat Tepat agar Pendakian Makin Mantap
  3. Nutrihiking: Pangan Hewani saat Mendaki
  4. Nutrihiking: Jenis-jenis Kompor Lapangan

The post Nutrihiking: Camilan Karbohidrat Sederhana saat Trekking appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nutrihiking-camilan-karbohidrat-sederhana-saat-trekking/feed/ 0 24087
Ciremai dan Kesempatan Kedua https://telusuri.id/ciremai-dan-kesempatan-kedua/ https://telusuri.id/ciremai-dan-kesempatan-kedua/#respond Fri, 25 Sep 2020 04:00:52 +0000 https://telusuri.id/?p=23992 Musim penghujan memulai giliran jaganya. Sebagian menyambutnya dengan bersukaria menikmati air yang tumpah dari langit, ada pula yang bersedih karena musim basah diawali banjir, sebagian lagi menerima kedatangannya dengan bernostalgia. Saya masuk golongan yang terakhir...

The post Ciremai dan Kesempatan Kedua appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim penghujan memulai giliran jaganya. Sebagian menyambutnya dengan bersukaria menikmati air yang tumpah dari langit, ada pula yang bersedih karena musim basah diawali banjir, sebagian lagi menerima kedatangannya dengan bernostalgia. Saya masuk golongan yang terakhir disebut.

Mungkin kopi yang saya seruput ini yang bikin gara-gara. Ia menstimulasi memori lawas tentang saya dan dia, sosok yang sampai saat ini masih mau bersanding dengan saya meskipun diri ini penuh kekurangan. Tulisan ini spesial saya persembahkan untuknya. Saya akan bercerita apa yang saya rasakan setelah satu tahun putus kontak dengannya kemudian dipertemukan kembali di kaki atap Jawa Barat: Ciremai.

Ciremai menjadi lokasi reuni kami berdua setelah putus dengan tidak baik-baik. Saya sendiri tak tahu apa yang bikin saya mau-mau saja mendaki bersama seseorang yang dahulu sudah saya sakiti hatinya. Percayalah, beban perasaan tak melulu hanya mengimpit mereka yang tersakiti. Orang-orang yang menyakiti pun merasakan juga, dalam bentuk penyesalan yang datang terlambat, bersama harapan untuk bisa mengulang kembali semuanya meskipun angan itu tak berbalas. Perasaan saya campur aduk di kaki Ciremai.

Jalur Apuy kami pilih untuk mendaki Ciremai. Kelompok kami terdiri dari lima laki-laki dan seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah mantan saya. Beliau primadona dalam tim, layaknya ratu yang dijaga oleh para pengawalnya. Namun, yang patut digarisbawahi, dalam pendakian itu dia tetap memilih saya sebagai pengawal pribadinya. Sejak awal mengenal hobi mendaki, kami memang selalu bersama. Hati boleh berkecamuk, namun bahasa tubuh rasanya memang tak bisa berbohong.

Berfoto bersama di gerbang pendakian Gunung Ciremai/Istimewa

Pendakian kami mulai jam 8 pagi seusai menyantap nasi uduk yang jadi bonus Simaksi. Semua tentunya masih dalam keadaan bersemangat, entah bersemangat untuk mendaki atau semangat untuk merundung kami berdua. Kawan-kawan kami itu mungkin heran. Setahun tak saling memberi kabar, bisa-bisanya kami mendaki bersama. Saya tak peduli ocehan mereka; sudah terbiasa. Ketimbang mendengarkan mereka, lebih baik saya memandang wanita yang sudah lama tak saya temui itu. Sekelebat, saya merasakan harapan untuk balikan. Namun buru-buru saya redam. Saya sadar bahwa luka yang saya tinggalkan terlalu dalam.

Tak terasa sudah satu setengah jam kami berjalan dan tiba di Pos 1 Arban. Seperti di gunung-gunung Jawa Barat pada umumnya, vegetasi di trek yang kami lewati masih rapat oleh pepohonan. Saya mengambil jarak agak jauh karena ingin merokok. Beliau tidak suka asap rokok.

Sembari menyesap Gudang Garam, pikiran saya melayang mencari cara membangun komunikasi intensi dengan dia. Dalam pendakian ini saya menjadi sweeper. Dia hanya berjarak dua langkah di depan saya sepanjang pendakian. Beban di lutut pun berlipat menjadi dua: beban bawaan dan beban masa lalu. Beban masa lalu mungkin lebih dominan.

Pada kenyataannya, komunikasi intens itu urung terbangun. Sepanjang perjalanan, setiap kali istirahat, saya hanya sibuk menyesap Gudang Garam, sementara ia sibuk mengatur napas. Dua kesibukan yang bertolak belakang memang. Mustahil untuk bercakap-cakap panjang.

Canda tawa membuat perjalanan sampai Pos 5 Sanghyang Rangkah menjadi tak terasa. Tiga pos sebelumnya—Pos 2 Tegal Pasang, Pos 3 Tegal Masawa, dan Pos 4 Tegal Jamuju—lewat begitu saja. Vegetasi di Pos 5 masih hutan yang rapat. Kalau dimirip-miripkan, Sanghyang Rangkah barangkali serupa Alun-alun Suryakencana dalam versi yang lebih panjang.

Kami mendirikan tenda di sana tepat jam 4 sore. Dua tenda kapasitas empat-orang dalam sekejap berdiri kokoh. Dalam hati, saya membatin agar tidak setenda dengan dia. Tapi, perundungan kawan-kawan rupanya tak cuma dalam bentuk ocehan. Lebih sadis lagi, mereka mengerjai agar kami berdua setenda. Terus terang, dalam hati saya senang. Tapi saya tak tahu apa yang ada dalam hatinya. Bagi saya itu anugerah, baginya mungkin musibah. Dan saya tak bisa membayangkan berada dalam posisinya: melewatkan malam dengan lelaki yang dulu pernah menyakitinya.

Acara masak-masak selesai dengan cepat. Jam 8 malam kami semua sudah masuk ke dalam sleeping bag masing-masing. Kelelahan membantu kami memejamkan mata lebih cepat—terlebih kami harus muncak jam 2 dini hari. Saya dan dia masih tak banyak bicara. Saya cuma bisa bernostalgia masa-masa kala kami sedang mesra-mesranya—bersama-sama menusuk pasak di ujung tenda, menyeduh kopi sambil mendengar dia bercerita. Dalam hubungan itu, saya cenderung menjadi pendengar. Namun, sekalinya cerita tentang saya sampai ke dia, hubungan kami kandas.

Alarm berbunyi jam 1 dini hari. Sebagai tukang sapu merangkap tukang masak, saya bergegas menyetel kompor, menyiapkan sarapan sebagai sumber energi sebelum ke puncak, juga bekal untuk disantap di puncak nanti. Pada satu momen, saya terdiam menatap dirinya yang masih terlelap dengan wajah tanpa pulasan riasan. Saat itu terpikirkan oleh saya kenapa kami berdua menutup hati bagi orang lain; kami telah sama-sama tahu baik dan buruk masing-masing. Rasanya sudah terlalu lelah untuk menjalin hubungan dengan orang baru. Waktu tiga tahun sebelum kandas bukan waktu yang sebentar.

Saya tepis pikiran itu dengan membangunkan kawan-kawan. Sembari menunggu mereka mengumpulkan nyawa dan mengisi perut, saya keluar tenda untuk menyesap Gudang Garam sembari melihat bimasakti yang terpampang jelas di atas kepala, yang membangkitkan momori kala saya dan dia menatap bintang-bintang yang sama kala bertandang ke Pondok Salada.

Ketika bersiap-siap memulai perjalanan ke puncak Gunung Ciremai/Muhammad Husen S.

Tepat jam 2 dini hari, teman-teman telah siap untuk muncak. Kami berkumpul mengatur rencana lalu berdoa. Tak apa-apa naik gunung tanpa doi, asal jangan tanpa doa.

Ciremai saat itu sangat dingin, mungkin setara kulkas sayur di dunia dapur. Sembilan derajat Celsius. Meski gelap dan dingin, kami tak patah arang untuk muncak. Posisi masih sama. Saya di belakang menjadi tukang sapu, dia tak jauh di depan saya. Baru setengah jam berjalan, dia sudah menggigil kedinginan, terutama di bagian telapak tangan. Dengan sigap saya memberi sarung tangan yang saya pakai. Anak-anak sekarang mungkin akan menuduh saya bucin. Tapi saya cuma tak tega melihat dia kedinginan. Lagipula, jika persoalannya tak ditangani dengan baik, perjalanan tim akan terhambat, bukan?

Berjalan dalam gelap dan napas yang terengah-engah membuat kami semua jarang bicara. Sampai Goa Walet, kami berjalan dalam hening. Rupanya tempo kami terlalu cepat sampai-sampai salah seorang di antara kami sesak napas. Sedari awal saya sudah menduga bahwa tidak semua dari kami akan bisa mencapai puncak Gunung Ciremai, sebab gunung ini bukanlah gunung yang ramah bagi pemula. Teman saya yang sesak napas itu kami telentangkan dengan posisi kaki lebih tinggi ketimbang kepala. Saya beri Oxycan kepadanya lalu kami menunggu sampai napasnya kembali teratur.

Sembari menunggu teman itu mengatur napasnya, kami berunding soal bagaimana melanjutkan pendakian itu. Akhirnya kami memecah tim menjadi dua yang masing-masing terdiri dari tiga orang. Logistik kami bagi dua pula. Saya dan dia dan teman yang kesusahan mengatur napas itu satu tim.

Teman kami itu ternyata masih bersemangat untuk melanjutkan pendakian. Kami pun kembali berjalan. Tentu saja dengan lebih santai. Tapi, sekejap saja tim depan sudah tak tampak lagi di mata.

Sekitar setengah jam sebelum puncak, wanita yang saya jaga itu mulai pucat. Setelah meminta istirahat, ia langsung muntah. Sebagaimana laki-laki pada umumnya, tentu saya sigap menangani hal itu. Guratan oranye di langit saya jadikan penyemangat baginya untuk meneruskan pendakian. Sedikit lagi sampai. Dalam hati saya menaruh respek kepadanya. Dia memang bukan pendaki yang berjalan cepat, tapi dia tak putus-putus menyambung semangat. Selama mendaki bersamanya, tak pernah saya dengar dia mengeluh meskipun saya tahu beban di kerilnya tidaklah enteng. Jika lelah ia biasanya cuma tersenyum sambil menyesap Madurasa.

Akhirnya, dengan lutut yang mulai goyang diuji trek berbatu sebelum puncak, sampailah kami di atap Jawa Barat, tepat jam 7 pagi. Di sana kami berdua mulai berkomunikasi secara intens. Rasa yang muncul karena tiba di puncak menutupi rasa sedih akibat hubungan yang kandas. Kami sama-sama duduk terdiam memandang lautan awan di depan sana. Itu mungkin adalah lautan awan pertama yang dia lihat. Binar di matanya bercerita dengan jelas rasa tak percaya bahwa dia sudah menjejakkan kaki di atap Jawa Barat. Dan mungkin dia lebih tak percaya lagi dengan kenyataan bahwa dia mencapai puncak bersama orang yang pernah menggoreskan luka di hatinya.

Di puncak Gunung Ciremai/Istimewa

Cerita selanjutnya tentu saja adalah tentang berswafoto. Bagian itu mengalir apa adanya. Kami sama-sama tak malu untuk berfoto berdua. Pikir saya, rasakan saja dahulu momen itu. Perasaan setelah turun gunung urusan belakangan. Kami mengobrol lepas saling tukar canda tawa, sembari menyantap bekal roti yang sudah tak jelas bentuknya, mengingat kisah-kisah pendakian lama, seakan-akan lupa bahwa cerita-cerita itu kami buat saat masih sama-sama belum menanggung luka.

Seturun dari puncak, komunikasi saya dengan dia mulai membaik. Saya masih tak habis pikir apakah kami berdua memang harus dibawa dulu ke atap Jawa Barat hanya untuk saling membuka diri kembali?

Setahun selama putus kontak, dia menyibukkan diri dengan kegiatan di kampus, sementara saya menyelesaikan gunung-gunung di Jawa Barat sembari membawa memori luka. Mungkin, selama setahun itu, saya dan dia tanpa sadar sama-sama mencari pengganti yang sepadan. Namun perasaan tidak bisa berbohong. Ke mana pun tenda saya bawa, pada akhirnya ia akan kembali ke tempat berkemah yang sama. Bagi saya, dia laksana Suryakencana. Tak perlu pemandangan megah, hanya tanah lapang dengan kabut tenang, tapi membuat saya nyaman.

Jikalau kamu membaca ini, terima kasih telah memberi kesempatan kedua. Hingga saat ini.

The post Ciremai dan Kesempatan Kedua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ciremai-dan-kesempatan-kedua/feed/ 0 23992
Taman (New) Papandayan https://telusuri.id/taman-new-papandayan/ https://telusuri.id/taman-new-papandayan/#respond Sat, 15 Aug 2020 04:17:04 +0000 https://telusuri.id/?p=23603 Banyak drama [tentang COVID-19] dalam lima bulan terakhir ini. Sebagai orang yang tak senang drama, tentunya hal ini persoalan bagi saya. Namun, rasa-rasanya memang mustahil untuk menghindar dari berita tentang COVID-19 meskipun kita mematikan paket...

The post Taman (New) Papandayan appeared first on TelusuRI.

]]>
Banyak drama [tentang COVID-19] dalam lima bulan terakhir ini. Sebagai orang yang tak senang drama, tentunya hal ini persoalan bagi saya. Namun, rasa-rasanya memang mustahil untuk menghindar dari berita tentang COVID-19 meskipun kita mematikan paket data. Saya, yang semula ingin menyelesaikan membaca buku yang sudah lama menggantung, malah ikut larut dalam drama-drama tersebut, meskipun hanya berperan sebagai scroller.

Lalu titik terang mulai kelihatan. Begitu PSBB dikendurkan, tempat-tempat wisata mulai kembali dibuka—tentu saja mengikuti protokol kesehatan—termasuk kawasan gunung. Saya jadi bisa melarikan diri dari drama-drama itu.

Kali ini saya akan menulis cerita tentang pengalaman baru-baru ini ke salah satu gunung yang pertama kali dibuka, yakni Papandayan. Perjalanan ini dikisahkan dari sudut pandang seseorang yang bernostalgia.


Tengah malam, saya dan kawan-kawan telah tiba di pertigaan menuju kawasan Gunung Papandayan. Kalau sudah pernah ke Papandayan, pastilah kamu ingat dengan masjid besar di sebelah kiri jalan itu. Tak banyak yang berubah. Masih ada ATM di kanan jalan. Di sampingnya ada warung nasi uduk. Dulu warung ini buka 24 jam sebagai tempat peristirahatan pendaki sebelum mencarter kolbak menuju Gunung Papandayan. Kali ini hanya ada satu warung kelontong yang buka. Dan pemiliknya tampak gusar karena saya memesan segelas kopi pada detik-detik ia akan menutup warungnya.

Usai menyesap kopi tanpa terburu-buru (kopi yang terburu-buru disesap takkan terasa nikmat), kami melanjutkan perjalanan melintasi tanjakan yang aspalnya sudah mulus, hingga akhirnya tiba di gerbang bertuliskan “Taman Wisata Alam Papandayan.” Saya lekas turun dari mobil, disambut petugas jaga berpakaian mirip security—ya, bukan seperti ranger. Ia berkata bahwa gerbang dibuka jam 7 pagi dan saya harus menunggu di sini. Pikir saya kala itu, “Apakah tak ada lagi Camp David yang tersohor itu?” Untungnya saya menggunakan mobil sehingga tak sulit mencari tempat peristirahatan menunggu jam 7 pagi. Saya langsung terlelap karena perjalanan sudah membuat saya terlalu lelah.

Hiruk-pikuk kendaraan membangunkan saya. “Ah! Pendaki,” pikir saya. Dengan bersemangat saya keluar mobil. Ternyata suara itu berasal dari kelompok ibu-ibu dengan outfit lumayan ripuh. Ada pula kelompok lain yang orang-orangnya juga tiada yang memanggul keril. Memang ini adalah hari Minggu, hari yang tak lumrah untuk memulai pendakian. Tapi masa tidak ada satu pun yang memanggul keril?

Sudahlah.

Saya kemudian menuju loket untuk membayar tiket masuk. Benar, kau tak salah baca: tiket masuk. Bukan Simaksi. Lumayan mahal untuk pendaki kere seperti saya.

Saya mencoba menaikkan mood dengan memikirkan Camp David, base camp pertama yang saya datangi dalam riwayat pendakian saya. Apakah masih ada? Ketika tiba di kawasan yang saya kenali sebagai Camp David itu, saya jadi berpikir apakah tempat itu masih bisa disebut base camp atau tidak. Yang terlukis di mata hanya pos jaga dan warung-warung yang berjejeran—sekitar dua puluh warung, mungkin. Lahan parkir sudah diaspal mulus, tak lagi berdebu dan berkerikil seperti dahulu.

Lalu saya pergi ke salah satu warung dan memesan kopi hitam. Saya berhadapan langsung dengan punggungan bukit yang mungkin satu-satunya hal yang tidak berubah di Gunung Papandayan.

Trek tangga batu Gunung Papandayan/Muhammad Husen S.

Jam 9 pagi kami memulai pendakian. Di antara pengunjung, saya—dan mungkin kawan-kawan juga—merasa seperti salah kostum, padahal yang saya pakai adalah bungkus badan yang biasa dipakai di kawasan gunung. Dan saya cukup yakin bahwa saya berada di gunung. Gunung Papandayan. Tapi bodo amat. Saya tetap melanjutkan perjalanan melewati trek yang sudah berubah. Di awal, saya disambut aspal mulus yang kemudian disambung oleh undakan batu sepanjang kawah. (Fase menelusuri kawah ini berlangsung selama satu jam dengan perubahan elevasi yang tak terlalu tinggi.) Ojek gunung masih tetap ada. Jika dahulu jalurnya menjadi satu dengan jalur pendaki, sekarang ojek sudah punya jalur sendiri.

Setiap dua puluh menit ada pos peristirahatan, lengkap dengan toilet yang sangat bokerable. Sepanjang perjalanan, bau belerang cukup menyengat. Beberapa pasang muda-mudi tampak asyik berswafoto. Hiruk-pikuknya berorkestra dengan suara knalpot motor ojek yang membawa pewisata yang malas berjalan jauh. Di titik peristirahatan ketiga, saya berhenti dan menyesap Gudang Garam, mencoba memahami apa yang saya lihat di depan mata. Sekarang, pikir saya, mungkin bisa dibilang bahwa Gunung Papandayan sudah seperti Gunung Bunder di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, menjadi sebuah kawasan gunung yang ramah.

Hutan Mati/Muhammad Husen S.

Sampailah kami di persimpangan antara Hutan Mati dan Pondok Salada. Seingat saya, dulu belum ada trek yang langsung menuju Hutan Mati. Kami memilih trek baru tersebut. Tangga batu tersusun dengan tanjakan yang lumayan menguras tenaga. Sekitar satu jam meniti jalur tersebut, sampailah kami di Hutan Mati, tempat paling tenar di Papandayan. Tak banyak berubah. Dan di sini saya mulai merasakan vibe pendakian. Banyak orang berswafoto dengan keril di punggung. Rasa rindu saya terhadap suasana pendakian pun terobati. Tapi, karena sudah jam 11 dan matahari sudah lumayan terik, kami tak berlama-lama di sana dan segera melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada.

Setengah jam berjalan, sampailah kami di Pondok Salada. Semua masih tampak sama seperti saat saya ke sana dulu, kecuali keberadaan fasilitas-fasilitas umum baru, seperti musala, kamar mandi (mungkin sekitar 6 unit), dan warung kelontong dengan periuk cilok terpajang di depan. (Dipikir-pikir, dari dulu memang tak perlu berpayah-payah membawa logistik jika ingin mendaki gunung ini.) “New Papandayan,” saya lihat-lihat, ramah sekali untuk rekreasi keluarga. Fasilitas umumnya makin banyak. (Meskipun para pendaki yang mendamba kegiatan alam bebas barangkali takkan terlalu suka dengan fasilitas-fasilitas artifisial.) Sampah juga semakin minim sebab sudah ada yang bertanggung jawab untuk mengurusnya saban hari.

Saya dan kawan-kawan langsung bergegas mencari tempat mendirikan tenda. Jam segini, para pendaki sudah mulai banyak yang merubuhkan tenda, pertanda bahwa mereka hendak segera turun. Pikir saya, mesti akan ada satu sampai lima tenda yang bertahan. Sampai esok mungkin.

Pondok Salada/Muhammad Husen S.

Nyatanya, tak ada satu pun kelompok yang bertahan kecuali rombongan kami, sebagaimana yang diberitahukan seorang petugas jaga yang menghampiri. Saya sempatkan bertanya apakah boleh mendaki lebih tinggi dari Pondok Salada. Ia menjawab bahwa pengunjung hanya diperbolehkan sampai Pondok Salada. Lebih dari sana, penjaga tak bertanggung jawab jika terjadi hal yang tak diinginkan. Pupus sudah harapan saya mengunjungi Tegal Alun—atau, lebih jauh lagi, Tegal Panjang—untuk melihat edelweiss yang terhampar luas.

Sore hari saya melipir ke warung, menyantap seblak dan memesan segelas kopi kemudian dilanjutkan dengan teh tawar. Banyak cerita dalam percakapan sore itu. Tentu saja obrolan soal COVID-19 yang mendominasi.

Semakin malam, Pondok Salada “New Papandayan” terasa semakin sepi. Ditinggalkan para pendaki, ia menjadi bebas menunjukkan jati diri. Bunga-bunga edelweissnya bergoyang-goyang ditiup angin kecil, pohon-pohonnya bergemerisik memiringkan badan ke arah matahari terbit, kabut tipisnya datang dan pergi perlahan dengan sopan.

The post Taman (New) Papandayan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/taman-new-papandayan/feed/ 0 23603
Apa yang Bisa Dilakukan Pendaki saat di Rumah Aja? https://telusuri.id/apa-yang-bisa-dilakukan-pendaki-saat-di-rumah-aja/ https://telusuri.id/apa-yang-bisa-dilakukan-pendaki-saat-di-rumah-aja/#respond Mon, 13 Apr 2020 02:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=20945 Sudah berapa hari karantina di rumah? Sudah memasuki fase di mana angka episode serial One Piece lebih penting daripada angka kalender tampaknya. Yah, pandemi ini memang mau tak mau memaksa kita #dirumahaja demi kesehatan pribadi...

The post Apa yang Bisa Dilakukan Pendaki saat di Rumah Aja? appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah berapa hari karantina di rumah? Sudah memasuki fase di mana angka episode serial One Piece lebih penting daripada angka kalender tampaknya.

Yah, pandemi ini memang mau tak mau memaksa kita #dirumahaja demi kesehatan pribadi maupun orang sekitar. Kalau tidak penting-penting amat, tak perlu pergi ke luar. Bagi para pendaki, tentunya hal ini lumayan menjengkelkan, mengingat bulan April merupakan jadwal tahunan gunung-gunung Indonesia mulai kembali dibuka, sebut saja Gunung Gede-Pangrango, Gunung Semeru, dan Gunung Prau. Akhirnya, tiket kereta yang sudah kamu beli mesti di-refund.

Jangan bersedih. Tak apa-apa. Lihat saja hikmah di balik pandemi ini. Kita, manusia yang senang mendaki, bisa dekat dengan keluarga, sementara gunung-gunung bisa istirahat sebentar dari menerima manusia yang berbondong-bondong datang setiap akhir pekan. Kamu juga bisa menganggap semua ini sebagai sebuah petualangan. Anggap saja sekarang kamu sedang berlindung dari hujan virus di balik jaket bernama rumah. Diammu sekarang adalah bergerak menuju puncak pandemi lalu turun kembali ke keadaan seperti semula, dengan sehat dan selamat.

Lagipula, kamu patut bersyukur punya hobi mendaki. Setiap pendaki adalah insan unggul nan kreatif. Kita dipaksa untuk selalu beradaptasi dengan segala medan. Jika kamu betah berlama-lama di tanah becek dengan akar menjulang, tentunya kamu akan betah juga berlama-lama di kasur nan empuk di rumah. Dan di rumah, sebagai pendaki, banyak hal yang bisa kita lakukan, seperti:

Lari di “treadmill” via pexels.com/Andrea Piacquadio

1. “Workout”

Dalam bahasa umum: berolahraga. Coba review lagi pendakian terakhirmu. Kamu sudah mulai ngos-ngosan di pos berapa? Pos 2?

Pendakian merupakan jenis olahraga yang cukup kompleks. Stamina sangat dibutuhkan dalam olahraga ini. Sekilas, mendaki tampak seperti olahraga aerobik karena mengandalkan suplai oksigen sebagai sumber energi otot tubuh. Namun, fakta di lapangan, energi simpanan dari otot tubuh kita, terutama betis, juga ikut andil dalam kebugaran kita saat mendaki.

Jadi, memang persiapan itu penting banget. Gih olahraga di rumah sebagai persiapan pendakian setelah pandemi ini berakhir. Banyak banget kanal YouTube yang bisa kamu jadikan panduan. Ya, seminimal-minimalnya, kamu bisa skipping di teras rumah.

2. Menengok “peralatan tempur”

Kesibukan sebelum pandemi memaksa kita selalu packing maupun merawat outdoor gear secara terburu-buru. Maka saat inilah kesempatan yang tepat untuk menengok kembali “peralatan tempur” kamu. Apa masih ada bekas tanah di matras atau rain cover keril kamu? Jika lapak memungkinkan, kamu bisa dirikan tenda di rumah untuk melihat sisi-sisi yang tak tersentuh—sekaligus merasakan mountain vibe.

Ilustrasi rute via pexels.com/Brigitte Pellerin

3. Riset rencana perjalanan

Kamu bisa cari tahu lebih dalam tentang gunung yang akan kamu daki setelah pandemi. Catat seluruh info dari vlog pendakian maupun catatan perjalanan para pendaki di internet, dari mulai info soal transportasi umum menuju ke sana, estimasi waktu perjalanan antarpos, bikin daftar logistik yang akan kamu bawa nantinya (coba eksperimen masak menu baru pakai nesting di rumah), juga pantangan-pantangan di gunung yang ingin kamu daki. Soal terakhir ini, kamu boleh tak percaya hal-hal mistis, tapi menghormati aturan lokal merupakan keharusan, bukan?

4. Belanja

Bukan belanja dalam artian keluyuran ke mal, ya. Setelah menengok kondisi “peralatan tempur,” tentunya kamu akan menemukan beberapa alat yang perlu di-upgrade. Kegagalan najak tentu bikin saldo tabunganmu selamat. Coba sisihkan sedikit buat memperbarui peralatan tempurmu. Saat physical distancing ini, berbagai vendor peralatan alam-bebas memberikan diskon yang lumayan menghemat pengeluaran. Jangan lupa gratis ongkirnya juga dipakai, ya.

Foto-foto tua via pexels.com/Kaboompics.com

5. Buka-buka dokumentasi pendakian lama

Buka kembali galeri foto di ponselmu, scroll sampai bawah. Lihat kembali foto keceriaan-keceriaan waktu mendaki, misalnya waktu kamu masak roto bakar depan tenda. Putar kembali video kawan-kawanmu sedang tidur mendengkur dalam tenda. Untuk memeriahkan suasana, coba kirim foto-foto dan video-video itu di WAG pendakianmu.

Foto-foto dan video-video yang keren bisa kamu edit dan unggah di Instagram, biar kawan-kawanmu bisa ikut nostalgia—tentu saja nostalgia pendakian mereka sendiri—dan sejenak melupakan COVID-19.

6. Baca buku

Di era sekarang, membaca buku—entah buku tentang pendakian atau tidak—bukanlah hal yang sulit. Toko eBook sudah banyak di internet. Kamu bisa tengok kembali buku sejarah kala Umar bin Khattab menghadapi wabah tha’un, atau buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari tentang perspektif manusia dari zaman ke zaman—termasuk saat menghadapi wabah.

Kamu bisa membaca tentang pelayaran mengungkap sejarah nusantara dari setandan pisang ambon yang berlayar menuju Mesopotamia melalui tulisan Robert Dick-Read dalam buku berjudul Penjelajah Bahari. Ingin tetap “kegunungan”? Tenang, Indonesia punya lord indie bernama Fiersa Besari yang seluruh bukunya bersinggungan dengan pendakian.

Pandemi ini tak sekadar mengurung kita di rumah, namun membuat kita punya kesempatan untuk menggali hal-hal lain di luar rutinitas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Apa yang Bisa Dilakukan Pendaki saat di Rumah Aja? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/apa-yang-bisa-dilakukan-pendaki-saat-di-rumah-aja/feed/ 0 20945
“Survival Tools” Berbasis Android https://telusuri.id/survival-tools-berbasis-android/ https://telusuri.id/survival-tools-berbasis-android/#respond Sun, 15 Mar 2020 15:43:50 +0000 https://telusuri.id/?p=20166 Sebagai pendaki, pasti kamu sudah nggak asing lagi dengan beragam alat survival untuk mempertahankan diri kala tersesat di gunung. (Ya, mudah-mudahan, sih, nggak terpakai.) Kamu jelas tahu kompas, firestarter, gergaji kawat, peluit, pisau lipat, dan...

The post “Survival Tools” Berbasis Android appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai pendaki, pasti kamu sudah nggak asing lagi dengan beragam alat survival untuk mempertahankan diri kala tersesat di gunung. (Ya, mudah-mudahan, sih, nggak terpakai.) Kamu jelas tahu kompas, firestarter, gergaji kawat, peluit, pisau lipat, dan apa pun itu untuk mendukung keadaan survival. Tapi, pernah nggak tebersit bahwasanya gawai komunikasi yang kita pakai juga bisa jadi alat bantu survival?

Pendaki Gen Z saat ini mungkin hanya menginstal berbagai aplikasi yang mendukung hasil jepretan mereka kala mendaki, sebut saja Snapseed, VSCO, Adobe Lightroom, StoryArtdan berbagai macam APK lainnya. Sah-sah saja, sih. Tapi, sebagai selebgram gunung, tentunya kamu harus coba aplikasi-aplikasi yang berguna untuk survival, supaya mountain vibe kamu paripurna.

Sebelum masuk ke pembahasan aplikasi, tentunya kita harus sadar bahwa gawai kita memiliki kelemahan. Contohnya, gawai hanya akan berguna apabila baterainya masih terisi. Jadi, kamu tetap harus membekali diri dengan berbagai pemahaman survival. Fungsi gawai di sini hanyalah sebagai penyalur informasi kala kamu beraktivitas di alam. Lagipula, nggak mungkin gawai akan menggantikan fungsi pisau kala, misalnya, kita membangun bivak A-frame.

Terus, apa saja sih APK pendukung kala beraktivitas di alam bebas?

Altimeter Ler

APK ini berguna sebagai penunjuk posisi ketinggian (altitude) kala di gunung. Tapi, nggak cuma ketinggian yang bakal dikasih tahu sama Altimeter Ler, melainkan juga informasi tentang titik koordinat kala kita menjelajah, gambaran suhu, serta tekanan udara. Fitur menjepret foto dengan output data kala foto itu diambil juga menjadi kelebihan aplikasi ini. Dan, yang terpenting, aplikasi ini bisa berjalan offline.

Alat GPS

Aplikasi ini jagonya meramal cuaca. Alat GPS nggak cuma meramal dalam skala hari tapi juga untuk beberapa jam ke depan. Selain ramalan cuaca, APK ini juga bisa berfungsi sebagai barometer, altimeter, dll. Sayangnya, ada beberapa fitur yang hanya bisa dibuka jika kita mendaftar akun premium. Selain itu, nampaknya aplikasi ini sulit digunakan secara offline. Tapi, selama masih ada sinyal, saya merekomendasikan ini.

PMI-FirstAid

Ini produk lokal negara kita tercinta, dibuat oleh PMI yang, sebagaimana kita tahu, selalu menjadi bantuan medis terdepan dalam penanggulangan bencana. Jadi, kamu nggak perlu khawatir kendala bahasa, sebab informasinya disajikan dalam bahasa Indonesia. (Kamu juga nggak perlu khawatir kehabisan sinyal, soalnya APK ini berbasis offline.)

APK ini punya informasi lengkap soal penanganan medis, mulai dari bencana alam hingga kedaruratan medis personal. Mendaki gunung bukan olahraga happy-happy, melainkan olahraga yang memiliki banyak risiko, di antaranya kedaruratan medis personal seperti fraktur, perdarahan, hipoksia, hipotermia, dan dll. Tentunya, semuanya akan semakin darurat apabila kita nggak bisa segera menanganinya.

ViewRanger

Ini adalah aplikasi berbasis GPS untuk me-review jalur trekking kita saat di gunung. Memang tidak sekompleks Garmin, namun saya rasa aplikasi ViewRanger dapat mendukung pendakian apabila belum mampu beli perangkat penerima sinyal GPS Garmin yang harganya lumayan mahal. Penyajian petanya pun beragam, mulai dari mode satelit sampai mode medan. Penggunaan aplikasi ini dipadukan dengan GPX track yang bisa kita unduh di internet. Aplikasi ViewRanger akan menerjemahkan file tersebut menjadi jalur trekking, seperti Google Maps tapi untuk gunung.

Kompas

Ini penting banget. Biasanya aplikasi ini sudah terinstal otomatis di gawai. Sebenarnya ada banyak aplikasi kompas di Play Store, namun sayangnya rata-rata berbasis online. Biasanya saya menggunakan aplikasi ini hanya untuk menentukan arah kiblat. Untuk memaksimalkan kompas, kamu harus mendapat peta fisik dari base camp pendakian. Apabila tersesat, kita bisa menelusuri di ruas mana kita mulai tersesat sebelum menentukan arah kembali ke trek yang benar dengan bantuan kompas. Pemahaman membaca kompas dan peta adalah dasar untuk menguasai navigasi darat.

Army Survival Handbook

Aplikasi offline ini menyinggung tentang pemahaman survival, mulai dari pemaknaan STOP (sit, think, observe, plan) hingga ke penerapannya. Kamu bakal dapat info soal cara-cara bertahan hidup dalam keadaan darurat, mulai dari cara mendirikan selter, membuat api, mendapatkan air, serta pemahaman tentang makanan yang bisa dikonsumsi di hutan. Informasinya tersaji dalam bahasa Inggris. Tapi, melihat bahwa pendaki sekarang didominasi anak muda, para penggiat alam bebas rasanya takkan sulit memahaminya. Lagipula, kalau nggak paham, kamu bisa lihat gambar-gambar yang tersedia di aplikasi ini.

Aplikasi-aplikasi di atas hanyalah “asisten” kala kamu beraktivitas di alam bebas. Tentu semuanya pada akhirnya kembali lagi kepada pemahamanmu soal teknik-tekni survival. Lagipula, aplikasi-aplikasi di atas juga takkan berguna jika kamu nggak bisa membacanya. Kompas takkan memberikan instruksi kamu harus bergerak ke mana. Pun, tekanan udara takkan pernah bicara bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Jadi, perkayalah pemahaman survivalmu sehingga kemungkinanmu untuk bertahan dalam kondisi darurat jadi semakin tinggi.

Sebagai paragraf penutup, saya ingin mengingatkan kembali bahwasanya mendaki bukanlah olahraga buat senang-senang seperti yang tercermin dalam foto-foto yang biasa kamu lihat di Instagram. Ada kalanya kegiatan pendakian jadi nggak menyenangkan, misalnya jika kamu berada dalam keadaan survival. Karenanya, akan lebih baik jika kita belajar menangani situasi darurat di gunung, bukan? Lagipula, Adobe Lightroom full preset yang kamu punya nggak akan menyelamatkanmu saat berada dalam keadaan darurat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Survival Tools” Berbasis Android appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/survival-tools-berbasis-android/feed/ 0 20166