Nico Krisnanda https://telusuri.id/penulis/nico-krisnanda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 22 Jan 2023 06:56:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Nico Krisnanda https://telusuri.id/penulis/nico-krisnanda/ 32 32 135956295 Kampung Adat Ciptagelar, Tradisi Kehidupan dari Sunda https://telusuri.id/kampung-adat-ciptagelar/ https://telusuri.id/kampung-adat-ciptagelar/#respond Sun, 22 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29909 Nama Kampung Adat Ciptagelar tentu sudah tidak asing di telinga. Kampung yang berlokasi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat ini masih menjaga tradisinya walau semakin dihimpit kehidupan yang serba cepat. Lokasinya ada di...

The post Kampung Adat Ciptagelar, Tradisi Kehidupan dari Sunda appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama Kampung Adat Ciptagelar tentu sudah tidak asing di telinga. Kampung yang berlokasi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat ini masih menjaga tradisinya walau semakin dihimpit kehidupan yang serba cepat. Lokasinya ada di lembah sebelah Selatan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jadi pemandangan yang ada di kampung ini tentu sangat indah.

Saya berencana ke kampung ini bersama teman saya bernama Asep. Kami memulai perjalanan dari Bogor pukul 3 dini hari. Asep dulu pernah sekali ke Kasepuhan Ciptagelar waktu tahun 2018 silam. Jadi kami kira tidak perlu menggunakan pemandu lokal karena kebetulan Asep juga masih sering berhubungan dengan salah satu warga di sana.

Kampung Adat Ciptagelar
Para warga adat mengusung padi (rengko) ke lumbung pada puncak Upacara Seren taun di Kampung Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat via TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Memulai perjalanan ke Kampung Adat Ciptagelar

Medan yang dilalui sebetulnya masih aman-aman saja sampai akhirnya memasuki perbukitan Kawasan Nasional Gunung Halimun Salak, medan jalan berubah total. Jalan menanjak dan berkelok-kelok menghiasi selama perjalanan, bahkan beberapa kali terdapat ruas jalan yang masih berbatu. Jadi harus ekstra hati-hati untuk sampai di lokasi tujuan. Selama perjalanan, pemandangan indah memang terlihat jelas apalagi saat ini adalah musim kemarau, jadi pemandangan perbukitan hijau tidak terhalang oleh awan. 

Akses jalan terbilang ekstrem karena di sisi kanan dan kirinya terdapat jurang yang cukup dalam. Namun begitu, mobil atau truk masih bisa melalui jalan ini sampai ke Kampung Ciptagelar. Tak terbayang jika berkunjung ke kampung ini ketika musim hujan tiba, tentu banyak hambatan selama perjalanan. 

Akhirnya kami tiba di Kampung Ciptagelar pukul 8 pagi. Pemandangan sekitar yang masih asri ditambah rumah-rumah adat yang tertata rapi menghiasi kampung ini. Sebagai informasi, rumah-rumah adat ini memiliki bentuk panggung pendek dengan atap dari ijuk dan daun kelapa. Pada dinding rumahnya masih menggunakan anyaman bambu dan kayu. 

Kampung Adat Ciptagelar
Seorang warga mengangkut ijuk dari pohon aren di Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar via TEMPO/Rully Kesuma

Sebagian bangunan lain dindingnya terbuat dari batu dan batako seperti musala atau kamar mandi umum. Seperti gambaran di website-website referensi yang saya gunakan sebelumnya, Kampung Ciptagelar memiliki suasana yang damai dan tenang. 

Suara aktivitas masyarakatnya, burung-burung yang bersahutan, sampai suara ternak sayup-sayup juga ikut menghiasi kampung ini. Asep mengajak saya untuk bertemu dengan pemimpin adat kampung yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi atau yang dikenal dengan nama Abah Anom. Beliau sangat ramah dan sangat menyambut kami ketika datang untuk singgah sejenak di Kampung Adat Ciptagelar. Beliau sedikit bercerita bahwa kampung ini memang masih menjaga adat istiadat tradisi namun tidak menutup diri untuk menerima perkembangan teknologi dari luar.

Tidak semua teknologi yang berkembang sekarang diterima langsung oleh mereka. Hanya beberapa teknologi saja yang dipakai dan digunakan untuk kepentingan masyarakatnya. Abah Anom juga bercerita bahwa di kampung ini memiliki sumber daya listrik yang disuplai dari turbin air untuk kebutuhan masyarakatnya. Uniknya, di sini mereka tidak memperjual-belikan beras hasil panen. Hanya buah-buahan, sayur, dan ternak saja yang mereka jual untuk kebutuhan tambahan.

Beras dianggap sebagai sumber kehidupan sehingga jika seseorang menjual berasnya maka berarti menjual kehidupannya sendiri. Masyarakat Kampung Adat Ciptagelar memegang teguh prinsip ini secara turun temurun. Hasil padi yang mereka panen, 10 persennya akan disimpan di dalam leuit atau lumbung padi sebagai hasil simpanan. Tak heran jika di lumbun ini ada beras yang usianya bahkan sudah puluhan tahun. Abah Anom bahkan memperkirakan hasil tabungan beras mereka cukup untuk menghidupi masyakaratnya 5 tahun ke depan jika tidak ada hasil pertanian lagi. Walaupun mereka menanam sendiri padinya dan banyak pengunjung yang datang, nyatanya hasil berasnya selalu lebih. Masyarakatnya percaya bahwa rezeki memang tidak akan tertukar. 

Abah Anom mempersilakan kami untuk beraktivitas sesuka hati di kampungnya, jika ada pertanyaan atau penasaran pada suatu hal di kampung ini bisa langsung bertanya pada masyarakatnya atau ke Abah Anom langsung. Sambutan baik ini seakan tidak ada hentinya, bahkan kami ditawari untuk sarapan mencicipi hasil bumi yang dipetik langsung dari kebun sekitar. Setelah berpamitan dengan Abah Anom, Asep mengajak saya untuk berkeliling menikmati keindahan alam yang ada di Kampung Adat Ciptagelar. 

Seringkali melihat anak-anak bermain dan tertawa lepas, masyarakatnya yang santun dan ceria sungguh sangat menyenangkan untuk dilihat. Udara sejuk, gemericik air di sawahnya, serta suara serangga khas hutan turut mengisi kedamaian di kampung ini. 

Memasuki rumah Pak Omon, salah satu warga Kampung Ciptagelar yang akan kami singgahi selama satu malam ini. Di rumah Pak Omon terasa begitu sejuk, mungkin karena rumahnya yang memiliki tembok dari anyaman bambu, jadi angin bisa masuk melalui celahnya. Kami dipersilakan juga untuk berkeliling ke dalam rumahnya jika ingin tahu kehidupan sehari-hari masyarakat Ciptagelar. Saat di dapur, terlihat tungku kayu lengkap dengan peralatan masak tradisional untuk tetap mempertahankan tradisi mereka.

Saya sempat berkeliling untuk mengetahui lebih banyak tentang masyarakatnya. Salah satu bangunan yang unik adalah Imah Gede yang menjadi sentral di Kampung Ciptagelar. Rumah yang berukuran sangat besar ini biasa digunakan untuk menyambut tamu atau pusat kegiatan kampungnya. Tak heran jika di dalamnya terdapat dapur yang berukuran sangat besar juga. 

Kampung Adat Ciptagelar
Ritual Seren Taun Ke-646 di Kampung Ciptagelar via TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Di Kampung Adat Ciptagelar biasanya mengadakan upacara adat tahunan seperti Ngaseuk, Mipit, Nganyaran, Ponggokan, dan Serentaun. Padi dianggap sebagai sumber kehidupan, jadi dari awal sampai panen pun diadakan upacara adat untuk menjunjung tinggi nilainya. Diawali oleh upacara adat Ngaseuk atau menanam padi di lahan kering menggunakan aseuk (tongkat lancip), lalu dilanjutkan dengan Mipit atau memetik / mengambil apa yang ditanam sebelumnya.

Sedangkan pada upacara adat Nganyaran merupakan prosesi untuk mencicipi hasil panen padi yang ditanam sebelumnya. Nantinya juga ada upacara Ponggokan yang berupa sensus data dari jumlah laki-laki dan perempuan, jumlah leuit (lumbung), jumlah rumah, jumlah kendaraan, sampai jumlah hasil iuran warga untuk pesta panen Serentaun. 

Sebagai puncaknya akan ada Upacara Adat Serentaun atau pesta panen. Kemeriahan pesta adat untuk mensyukuri apa yang mereka dapat serta menyerahkan siklus hidup tahun berikutnya serta kehidupan masyarakat. Berbagai ritual, pertunjukan, dan syukuran turut memeriahkan upacara adat ini. Namun sayangnya, saya tidak datang saat upacara adat ini. 

Kami bercengkrama dengan masyarakat lokalnya, saling bertanya dan berbagi pikiran, juga kami terjun untuk ikut membantu aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari. Rasanya sangat damai dan tenang, tidak ada tuntutan untuk mengejar masa depan atau berkutat dengan deadline yang menggila. Di sini adalah tempatnya untuk kembali, merasakan kedamaian kehidupan dengan keramah-tamahan masyarakat yang tinggal.

Walau alat-alat dan teknologi serba sederhana, namun tidak membuat masyarakat untuk takut menghadapi masa depan yang kian serba cepat. Banyak hal yang membuat saya betah dan berjanji untuk menyempatkan diri bernaung sejenak di Kampung Adat Ciptagelar setidaknya setahun sekali. 

Ada banyak pelajaran dan nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan hanya di kampung ini. Masyarakatnya yang ramah, pemandangan alam yang memikat, serta suasana yang bikin betah akan saya kenang selamanya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kampung Adat Ciptagelar, Tradisi Kehidupan dari Sunda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-adat-ciptagelar/feed/ 0 29909
Menyusuri Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan https://telusuri.id/menyusuri-hutan-lindung-sungai-wain-di-balikpapan/ https://telusuri.id/menyusuri-hutan-lindung-sungai-wain-di-balikpapan/#respond Thu, 19 Aug 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29907 Kalimantan dikenal sebagai kawasan yang punya banyak potensi alam dan hutannya. Sebagai kawasan yang memiliki banyak hutan asli tentu membuat Kalimantan bisa disebut sebagai paru-paru dunia. Inilah yang menjadi alasan mengapa saya ingin sekali menyusuri salah...

The post Menyusuri Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalimantan dikenal sebagai kawasan yang punya banyak potensi alam dan hutannya. Sebagai kawasan yang memiliki banyak hutan asli tentu membuat Kalimantan bisa disebut sebagai paru-paru dunia. Inilah yang menjadi alasan mengapa saya ingin sekali menyusuri salah satu hutan asli Kalimantan yang lokasinya tak jauh dari pusat kota. Tempat yang ingin saya tuju ini adalah Hutan Lindung Sungai Wain yang berada sekitar 15 kilometer saja dari Kota Balikpapan. 

Kawasan ini berada di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara dan sebagian di Kelurahan Kariangau, Kecamatan Balikpapan Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Bagi saya, menikmati suasana alam liar sangatlah menyenangkan seperti berpetualang dalam hamparan hutan yang masih alami. 

Memasuki Hutan Lindung Sungai Wain

Hutan lindung ini bisa diakses menggunakan berbagai jenis kendaraan dan kebetulan saya dipinjami motor oleh rekan saya yang tinggal di Balikpapan. Setelah menghabiskan beberapa menit perjalanan, tibalah saya di depan basecamp untuk mendaftarkan diri dan memilih paket ekowisata yang saya inginkan. 

Saya berangkat berdua dengan teman saya, sempat lirik sana dan sini untuk mencari info, kemudian ditawari oleh kelompok lain yang ingin masuk ke dalam hutan juga. Saya pikir bergabung dalam kelompoknya juga bisa meringankan biaya kami untuk mendapatkan paket masuk ke hutan lindung beserta dengan pemandu.

Total sekitar delapan orang yang akan masuk ke dalam hutan ditambah satu orang pemandu lokal.

Ketika kaki melangkah memasuki hutan, suara serangga dengan frekuensi tinggi menyambut kedatangan kami, sesekali juga ada suara burung yang seakan bernyanyi gembira di antara dahan pepohonan. Terlihat pohon-pohon besar menjulang tinggi berdiri kokoh dan lebat, pohon ini menjadi penyeimbang bagi kelangsungan hidup alam dan manusia yang hidup di sekitarnya.

Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan adalah salah satu hutan Kalimantan yang masih tergolong alami dan masih asli karena di kawasan ini kami masih menjumpai pohon-pohon dengan ukuran besar yang diperkirakan sudah usia puluhan hingga ratusan tahun. Terlebih lagi, hutan lindung ini memiliki sebutan lain yaitu virgin forest yang menyimpan keanekaragaman hayati berbagai flora dan fauna endemik di dalamnya. 

Saya melihat salah satu jenis akar-akaran di hutan ini yang dikenal dengan nama kayu bajakah yang beberapa tahun belakangan dikenal sebagai tanaman obat untuk berbagai penyakit. 

Saat mulai masuk ke dalam hutan, terlihat berbagai jenis pohon kayu besar seperti bangkirai, meranti dan ulin yang merupakan pohon kayu khas Kalimantan yang tidak ada di daerah lain. 

Terlihat juga di depan kami ada sebuah pohon meranti yang berlubang. Menurut pemandu kami, lubang ini dibuat oleh beruang madu ketika mengambil madu dari lebah liar penghuni hutan. Di sela-sela batang pepohonan, kami juga sering melihat resin atau getah damar yang menjadi hasil alam non-kayu dari hutan Kalimantan. 

Sungai Wain Balikpapan
Sungai Wain via Flickr/Gabriella Fredriksson

Keanekaragaman Flora dan Fauna

Ada banyak burung-burung endemik Kalimantan yang terselamatkan dengan adanya hutan lindung ini. Setidaknya ada sekitar 227 spesies burung mulai dari burung tiung, burung pelatuk, bahkan burung enggang yang masih sering terlihat terutama saat musim buah tiba. 

Hutan Lindung Sungai Wain juga menjadi tempat berkembang biak 23 spesies reptil dan 73 spesies serangga. Hewan-hewan melata juga sering menampakkan diri saat kami berjalan di antara pepohonan, kami pun perlu ekstra waspada untuk melangkahkan kaki.

Ketika jauh memasuki dalam hutannya terlihat beberapa jenis bunga anggrek yang sedang mekar, bahkan kebanyakan belum pernah saya lihat sebelumnya. 

Menurut informasi dari guidenya, setidaknya sudah teridentifikasi sebanyak 33 spesies bunga anggrek dan 3 spesies kantong semar yang hidup di kawasan ini. Ada juga beberapa jenis jamur yang mungkin tidak semua daerah memilikinya. 

Ekosistem yang masih bertahan di Sungai Wain menjadikan wilayah ini sebagai daerah resapan dan tumpuan sebagian kebutuhan air di Kota Balikpapan. 

Kelangsungan hutan lindung ini sangat bergantung pada upaya pelestarian hutannya. Maka dari itu banyak upaya yang sudah dilakukan untuk melindungi kawasan ini seiring perkembangan kawasan permukiman yang semakin padat. 

Lebih Mudah Mengetahui Informasi Flora di Sungai Wain

Hutan Lindung Sungai Wain memiliki potensi yang besar sebagai kawasan untuk ekowisata dan edukasi, eksplorasi tanaman obat, sampai hasil hutan bukan kayunya yang melimpah. 

Keanekaragaman flora dan fauna yang berdiam di hutan lindung ini juga sudah lama menjadi pusat penelitian bidang botani dan hewani. 

Tempat untuk menggali informasi dan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan liar yang ada di dalamnya. Hal ini terbukti ketika kami sering berpapasan dengan peneliti baik dari lokal maupun luar negeri untuk melakukan riset. 

Kami juga sering melihat ada QR barcode yang tertempel di batang pohon atau tanaman, jika ingin tahu informasi tentang pohon tersebut tinggal scan menggunakan smartphone dan akan terhubung langsung dengan situs herbarium-wanariset.or.id

Kami jadi lebih mudah mengetahui setiap tanaman atau pohon yang hidup di kawasan ini. Dibandingkan dengan cara lama yaitu dengan memaku plang nama di setiap pohonnya tentu akan lebih mengganggu pertumbuhan tanaman atau pohon tersebut.

Tak hanya penelitian tentang tumbuhan saja, namun juga hewan yang mendiami Hutan Lindung Sungai Wain ini juga ikut diidentifikasi. 

Kami menjumpai beberapa peneliti yang akan memasang kamera pengintai untuk memantau aktivitas dan jenis hewan yang melintas seperti babi, macan dahan, beruang, rusa, kancil, bahkan orangutan.

Menurut pemandu kami, kawasan ini juga sering didatangi oleh fotografer flora atau fauna. Keindahan yang ditampilkan serta keunikan tersendiri dari setiap spesies memang punya daya tarik tersendiri.

Saat akhir pekan atau hari libur, Hutan Lindung Sungai Wain kerap didatangi fotografer baik secara perorangan maupun kelompok. Kawasan ini mereka tuju karena mudah mengabadikan flora dan fauna yang ada di hutan Kalimantan. Mereka juga tidak segan untuk berlama-lama, bahkan sampai terjaga saat malam hari tiba. 

Hewan-hewan pemalu saat siang hari lebih sering terlihat beraktivitas saat malam hari. Dengan berpakaian kamuflase mereka bersembunyi dan mengabadikan momen saat mereka keluar dari sarangnya. Berbagai burung-burung malam pun juga banyak yang beraktivitas saat malam hari kata sang pemandu.

Kami melanjutkan perjalanan dengan melewati sungai, trekking ke tempat yang lebih tinggi, hingga menembus ke bagian hutan yang lebih dalam.

Tantangan Hutan Lindung Sungai Wain di Masa Depan

Saat perjalanan, pemandu kami juga menyampaikan jika Hutan Lindung Sungai Wain ini semakin hari semakin mendapatkan banyak tantangan yang bermunculan. Mulai dari industri dan permukiman yang sekarang hanya berjarak 2 – 3 kilometer saja dari hutan lindung. Pembangunan yang semakin pesat tentu semakin menghimpit kawasan hutan serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. 

Hutan Lindung Sungai Wain ini juga tidak lepas dari ancaman seperti kebakaran hutan, penebangan liar yang tidak bertanggung jawab, perubahan hutan, serta okupasi lahan. Maka dari itu kawasan ini juga lebih dikembangkan sebagai ekowisata untuk memberikan edukasi kepada masyarakat luas akan pentingnya hutan untuk kehidupan masa depan. 

Ekowisata ini berupa kegiatan-kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan dengan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya, ekonomi, serta aspek edukasi.

Kami melanjutkan perjalanan hingga kembali ke titik asal saat kami berangkat tadi. 

Dari pengalaman hari ini, saya menjadi lebih sadar bahwa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa akan hutan dan seisinya. Namun disisi lain juga ada kekhawatiran jika kawasan hutan-hutan ini semakin berkurang akibat pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Semoga saja banyak generasi sekarang dan di masa depan yang peduli untuk menjaga alam dan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-hutan-lindung-sungai-wain-di-balikpapan/feed/ 0 29907
Melihat Orang Utan Lebih Dekat di Bukit Lawang https://telusuri.id/melihat-orang-utan-lebih-dekat-di-bukit-lawang/ https://telusuri.id/melihat-orang-utan-lebih-dekat-di-bukit-lawang/#comments Tue, 06 Jul 2021 10:46:34 +0000 https://telusuri.id/?p=29028 Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang didalamnya dihuni oleh berbagai satwa dan flora endemik baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Alasan inilah yang membuat kami berempat datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat...

The post Melihat Orang Utan Lebih Dekat di Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang didalamnya dihuni oleh berbagai satwa dan flora endemik baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Alasan inilah yang membuat kami berempat datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat penghuni tersebut secara langsung dari dekat.

Dari semua Taman Nasional atau Kawasan Konservasi yang ada di Sumatra, kami memilih berkunjung ke Bukit Lawang yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Medan.

Di Bukit Lawang ini pengunjung bisa melihat satwa dilindungi seperti orang utan, owa, atau jenis primata lainnya dengan mudah. Sedangkan menurut informasi yang kami dapatkan, tempat ini juga memiliki lingkungan yang benar-benar masih terjaga. Bahkan, sungai yang mengalir di dekatnya sangat jernih dan bebas sampah.

Untuk tempat menginap, kami memesan salah satu penginapan yang terkenal di dekat situ yaitu Ecolodge Bukit Lawang. 

Jika belum tahu apa itu ecolodge, ecolodge adalah penginapan yang berwawasan lingkungan. Dalam pembangunan dan praktek setiap harinya selalu menerapkan perilaku yang ramah lingkungan. Mulai dari pengolahan sampah secara terpisah, mendaur ulang, serta memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk kompos.

Makanan yang mereka buat juga tidak mengandung MSG, pengawet, zat adiktif, minyak kelapa sawit, dan margarin. Jadi untuk bahan makanan benar-benar diambil dari kebun mereka dan dari produksi pertanian warga setempat untuk mengurangi biaya lingkungan dari jarak transportasi yang jauh. 

Begitu juga pada air limbah yang dihasilkan dari kamar mandi, laundry, dan parit yang disaring terlebih dahulu kemudian disalurkan ke kolam penampungan khusus. Nantinya di kolam tersebut akan diisi dengan pasir dan kerikil serta ditanami jenis tanaman yang dapat mendaur ulang limbah tersebut. 

Tak heran jika banyak pengunjung yang datang berasal dari mancanegara. 

Memulai Perjalanan Jakarta – Bukit Lawang

Bukit Lawang
Bukit Lawang/David M

Ketika tanggal sudah disepakati dan tiket pesawat sudah dibeli maka kami berempat berangkat menuju Kota Medan. Kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Kualanamu pada jam 7 pagi, estimasi penerbangan sekitar 2 jam untuk sampai di bandara tujuan. 

Agar lebih mudah sampai di Ecolodge Bukit Lawang, kami janjian dengan pihak sewa mobil untuk mengantarkan dan menjemput sesuai tanggal yang telah kami tentukan. 

Dari Kota Medan ke Bukit Lawang, jaraknya sekitar 3 jam perjalanan jika tidak ada halangan. Pemandangan selama perjalanan hanya didominasi oleh perkebunan sawit, perbukitan, dan sawah hijau yang membentang.

Di dalam hati agak miris juga kalau habitat satwa-satwa ini sudah berganti menjadi area perkebunan sawit. Bayangkan saja jika satwa-satwa ini sampai masuk ke perkebunan, pasti ditembak mati karena dianggap sebagai hama. 

Sesampainya di lokasi, kami langsung check-in lebih awal dan segera membereskan barang bawaan kami. Setidaknya untuk 3 hari 2 malam kami tinggal di Ecolodge Bukit Lawang ini. 

Suasana sekitar yang damai, tenang, serta rindangnya pepohonan membuat hati terasa damai. Bahkan tak perlu waktu lama berberes, saya langsung berkeliling di lokasi ecolodge ini untuk menikmati keindahan lingkungan sekitar. 

Baik pengelola maupun masyarakat setempat sangat asyik dan ramah-ramah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kunjungan wisatawan, jadi mereka pun sangat senang jika banyak orang yang datang. 

Ecolodge Bukit Lawang memiliki pondok-pondok sebagai tempat menginap tamu seperti Siamang Lodge, Hornbill Lodge, Orangutan Lodge, Thomas Leaf Monkey Lodge, dan Butterfly Lodge. Sedangkan yang kami tempati adalah Siamang Lodge dengan biaya sekitar 400 ribuan per malam. 

Sedangkan fasilitas yang tersedia di dalam kamar seperti kipas angin, toiletries, tempat santai, dan shower

Lokasi ecolodge ini memang berada di samping sungai sehingga suara gemericik bisa terdengar hingga ke dalam penginapannya. Rasanya sungguh menenangkan dan membuat pikiran menjadi damai. 

Berbaur dengan Masyarakat Sekitar

Bukit Lawang
Bukit Lawang/Michael Zimmerer

Kegiatan kami pada siang hari menuju sore adalah berkunjung ke desa sekitar menggunakan sepeda. 

Biayanya sekitar 25 Euro bagi turis asing, tapi karena kami memesan beberapa tour di kemudian hari maka bisa mendapatkan harga diskon menjadi Rp100.000,- per orangnya. 

Kami beranjak menyusuri area persawahan kemudian masuk ke gang-gang rumah warga. 

Terlihat ada warga yang berprofesi sebagai pengrajin tempe, ada juga yang membuat gula merah, namun kebanyakan berprofesi sebagai petani. 

Area pertanian sekitar milik warga merupakan permakultur secara organik tanpa menggunakan pestisida atau bahan kimia lain. Ditambah lagi, di beberapa tempat dibangun unit pengolahan sampah organik dan pengolahan biogas dari kotoran ternak untuk keperluan warga.

Jika belum pernah melihat teknologi sederhana seperti ini tentu akan sangat terkagum-kagum seperti kami saat ini. 

Tour sepeda berakhir di sebuah warung kecil yang menyediakan snack dan kelapa muda segar. Sebagai penutupnya, guide memberikan kami souvenir berupa gantungan kunci untuk dibawa pulang. 

Sampai di penginapan, kami mandi dan langsung menuju ke Restoran Kapal Bambu yang memiliki desain modern dengan material utamanya adalah bambu. 

Bambu dipilih sebagai bahan utama karena lebih sustainable karena dapat tumbuh dengan cepat dalam kurun waktu yang singkat. 

Selain itu celah-celah yang ada di sekitar bambu memudahkan angin berhembus hingga ke setiap sudut ruangannya. 

Hawanya sangat sejuk dan dingin walau tidak menggunakan kipas angin atau AC. 

Menu lokal tersaji malam ini untuk mengenyangkan perut kami. Ada sambal goreng, nasi goreng, aneka sayur, dan ikan goreng menemani malam kali yang semakin menyenangkan. 

Tour Bukit Lawang untuk Melihat Primata dari Dekat

Bukit Lawang
Bukit Lawang/Jus Snaps

Pada pagi harinya tepat pukul 8 pagi kami beranjak untuk melanjutkan tour ke dalam hutan Bukit Lawang. Tidak hanya dari rombongan kami saja yang datang, namun juga ada beberapa rombongan lain yang ikut bergabung.

Ternyata dari masing-masing rombongan mendapatkan tour guide dan jalur yang berbeda. Sempat mengira jika tour kali ini beramai-ramai bersama rombongan lain sehingga tidak terlalu seru. 

Sebelum memulai tur, guide menerangkan bahwa kami akan masuk ke area Taman Nasional sehingga tidak diperbolehkan untuk memberi makan atau menyentuh satwa yang ditemui. Ditambah lagi tidak boleh memetik atau mengambil apapun selama tur berlangsung. 

Perjalanan dimulai pukul 9 pagi dengan estimasi sekitar 3 jam perjalanan naik turun bukit. Sesekali kami diminta untuk berhenti untuk diberi informasi seputar fauna dan flora sekitar. 

Begitu menariknya sampai kami pun tidak merasa lelah mengingat sudah berjalan sejauh 2 jam. 

Kami juga baru pertama kali masuk ke dalam hutan lebat dengan pepohonan yang besar dan rindang, sebelumnya hanya di tempat wisata yang punya banyak pepohonan saja. 

Setelah beristirahat dan menyantap snack yang diberikan oleh tour guidenya, kami melanjutkan perjalanan selama 2 jam untuk mengamati lebih dekat habitat asli dari primata di sekitar Bukit Lawang. 

Bukit Lawang
Bukit Lawang/Nick Schwalbe

Nampak dari kejauhan terlihat kera Thomas atau Thomas Monkey Leaf yang bergelantungan menyantap buah-buahan. Sesekali kami juga melihat orang utan yang berada di dahan pohon yang sangat besar. 

Sampai akhirnya kami sampai di sebuah sungai yang tidak terlalu dalam namun sangat bersih. Bermain air sepuasnya seperti kami kembali ke masa kecil.

Andai saja sungai-sungai dengan air yang jernih dan bersih ada di kota besar, tentu warga kota juga bisa merasakan keseruan yang sama setiap hari. 

Setidaknya, kami sudah menghabiskan 6 jam untuk ikut tur kali ini. 

Ketika beristirahat di penginapan, rasa pegal dan capek baru terasa. Walau begitu suasana hati dan pikiran menjadi lebih fresh dengan pengalaman baru seperti ini. 

Kami rasa 3 hari 2 malam di sini masih kurang karena ada banyak tempat yang ingin kami kunjungi. 

Ada banyak aktivitas lain yang sebenarnya juga bisa dilakukan. Mulai dari tube rafting, mengunjungi goa kelelawar, bird-watching, sampai kunjungan lokal ke masyarakatnya juga sangat rekomendasi untuk dicoba. 

Liburan sejenak ini terasa sangat mengesankan dan bisa mengajarkan kami akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar.

Menjaga keanekaragaman flora dan fauna di lingkungan sekitar, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi dan juga mengolah sampah secara bijak. Manfaatnya tentu kembali ke kita lagi. 

Tak terasa di penghujung liburan, kami harus rela melepas saat-saat intim kami di Bukit Lawang. Mungkin tahun depan kami akan kembali lagi ke tempat ini dengan durasi yang lebih lama!

The post Melihat Orang Utan Lebih Dekat di Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-orang-utan-lebih-dekat-di-bukit-lawang/feed/ 1 29028
Membuat Gula Aren Secara Tradisional di Desa Wisata Lerep https://telusuri.id/membuat-gula-aren-secara-tradisional-di-desa-wisata-lerep/ https://telusuri.id/membuat-gula-aren-secara-tradisional-di-desa-wisata-lerep/#respond Tue, 15 Jun 2021 01:17:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28416 Awal pertemuan saya dengan Pak Warto ini bukan langsung untuk belajar membuat atau mendengarkan ceritanya saja. Namun untuk membuat janji bahwa akhir pekan saya ingin ikut membuat gula aren ini dari proses menyadapnya sampai mengolahnya...

The post Membuat Gula Aren Secara Tradisional di Desa Wisata Lerep appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal pertemuan saya dengan Pak Warto ini bukan langsung untuk belajar membuat atau mendengarkan ceritanya saja. Namun untuk membuat janji bahwa akhir pekan saya ingin ikut membuat gula aren ini dari proses menyadapnya sampai mengolahnya menjadi bentuk bongkahan.

Pak Warto menerima saya dengan senang hati, bahkan menyarankan saya untuk tinggal satu malam di rumahnya karena aktivitasnya dimulai sejak pagi hari. Pada hari yang sudah kami sepakati, kebetulan saya datang agak malam karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Setelah tiba di rumahnya Pak Warto, saya disambut baik oleh Pak Warto dan istrinya.

Saat saya tiba, sudah ada pisang goreng dan teh hangat manis, bisa dibilang hidangan ini sangat spesial karena cocok dengan suasana dingin pegunungan. Desa Wisata Lerep berada di kaki Gunung Ungaran yang lokasinya terletak di daerah yang tinggi. Selain itu alam di sini juga masih terjaga sehingga udara sekitarnya sangat bersih.

Ketika saya datang pun, suasana kampung Pak Warto diselimuti kabut yang tebal dengan hawa dingin yang sangat menusuk. Saya yang pada saat itu menggunakan pakaian berlapis pun masih merasa kedinginan. Malam saya habiskan untuk berbincang-bincang ngalor-ngidul tak hanya membahas gula aren saja namun berbagai hal termasuk nilai-nilai kehidupan yang beliau lalui hingga sekarang ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam dan kemudian Pak Warto menyuruh saya untuk tidur karena di pagi hari kami harus bergegas untuk mulai menyadap air nira sebagai bahan baku gula aren. 

Tepat pukul 5 dini hari, saya bergegas untuk membersihkan diri dan membantu Pak Warto mempersiapkan peralatan untuk pergi ke hutan. Ada beberapa lokasi untuk mengambil air nira ini, satu ada di kebun milik Pak Warto dan yang lainnya ada di dalam hutan. 

Proses pengambilan nira dari pohon aren

Penderes Nira via TEMPO/Aris Andrianto

Menurut penjelasan dari Pak Warto, proses pengambilan air nira ini berlangsung dua kali selama satu hari, pada pagi hari dan sore hari. Untuk hasil panen air nira pada pagi hari memang lebih banyak dibandingkan saat sore hari. Hal ini bisa terjadi karena pada malam hari udara dingin membuat air nira mengalir lebih deras. 

Selain itu pengaruhnya juga terdapat pada lingkungan pohon aren tumbuh. Jika pohon aren tumbuh di daerah yang lebih tinggi (di atas 800 mdpl) lebih banyak menghasilkan nira dibandingkan dengan pohon aren yang tumbuh di dataran rendah. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap hasil panen nira seperti tingkat kesuburan, curah hujan, serta nutrisi yang didapatkan oleh pohon aren.

Teringat saat malam hari Pak Warto bercerita bahwa beliau selalu memupuk pohon aren miliknya secara berkala. Ditambah lagi saat musim kemarau, beliau juga membersihkan pohon aren dari gulma yang mengganggu sehingga hasil panen nira yang didapatkan lebih stabil dan kualitasnya bagus. 

Pak Warto dengan cekatan naik ke atas pohon aren menggunakan tangga bambu. Bukan seperti tangga bambu pada umumnya karena hanya terbuat dari satu batang bambu yang dilubangi di beberapa titik sebagai pijakannya. 

Saya yang merasa lebih muda saja menyadari bahwa ini bukan kapasitas saya untuk unjuk gigi karena jika terpeleset sedikit saja, mungkin sudah digotong beramai-ramai oleh warga.

Dari bawah terlihat bambu yang diikat di pangkal bunga aren sebagai tempat untuk menampung nira yang sudah disadap. Ukurannya lumayan besar dan perkiraan saya bisa menampung hingga 15 liter air nira. 

Air nira yang didapatkan oleh Pak Warto diturunkan menggunakan tali yang kemudian saya raih dan pindahkan ke jeriken yang kami bawa. Cukup banyak air nira yang kami dapatkan, setidaknya ada 10 liter lebih air nira, itu saja masih dalam satu pohon, belum dari total 5 pohon yang dimiliki oleh Pak Warto. 

Berlanjut ke pohon-pohon selanjutnya masih dengan proses yang sama, namun untuk ukuran pohon arennya tidak terlalu besar dibandingkan saat pertama kali kami mengambil nira. Pohon aren di dalam hutan memang lebih sulit untuk dipanjat, selain karena kontur tanahnya yang miring, juga karena semak-semak lain yang mengganggu. 

Sampai pukul 9 pagi kami baru selesai mengambil nira dari pohon milik Pak Warto. Total nira yang kami dapatkan sekitar 55 liter yang terbagi menjadi 4 jerigen kecil. Mulanya Pak Warto ingin membawa semua jerigen tersebut sendirian. Namun karena harga diri, saya tak ingin menjadi beban Pak Warto atau membiarkan tubuh tuanya membawa jerigen tersebut sendirian. 

Sesampainya di rumah Pak Warto, kami disambut oleh istrinya yang ternyata sudah menyiapkan camilan dan teh hangat untuk disantap. Tak berselang lama, istri Pak Warto langsung membawa jerigen-jerigen berisi nira tadi ke bagian dapur untuk diolah menjadi gula aren. 

Proses memasak nira menjadi gula aren

Pembuat Gula Aren via TEMPO/Kink Kusuma Rein

Menurut Pak Warto, satu kilogram gula aren dihasilkan dari 5-6 liter nira saat musim kemarau. Ketika musim penghujan, satu kilogram gula aren bisa dihasilkan dari 7-8 liter nira. Hal ini berkaitan dengan rendemen nira lebih rendah dibandingkan saat musim kemarau. 

Nira yang sudah didapatkan memang harus segera diolah karena nira aren mudah menjadi masam. Hal ini berkaitan dengan kandungan gula di dalamnya yang mudah terfermentasi oleh bakteri. Jika sudah masam, maka pengaruhnya pada rasa gula aren yang dihasilkan juga akan menjadi masam.  

Tungku perapian yang sudah menyala dengan wajan besar di atasnya siap mengolah nira menjadi gula aren. Butuh waktu selama 4-5 jam hingga warna niranya menjadi kecoklatan. Selama proses pemanasan ini harus diaduk secara berkala agar gula arennya tidak gosong. Selain itu akan ada buih-buih yang keluar ketika nira sudah mendidih, bagian ini yang harus dibuang agar warna nira tidak menghitam. 

Setelah dirasa cukup mengental dan tekstur nira yang sudah sesuai, istri Pak Warto kemudian menyiapkan wadah-wadah sebagai cetakan gula aren yang terbuat dari batok kelapa. Selanjutnya gula aren akan diangin-anginkan hingga mengeras dengan sendirinya. 

Mencicipi Kopi Ceplus

Kopi Ceplus Lerep
Kopi Ceplus Lerep/Deta Widyananda

Di Desa Wisata Lerep memiliki keunikan untuk menikmati secangkir kopi hitam yaitu dengan potongan gula aren. Gula aren ini bukan untuk dimasukkan ke dalam kopi sebagai campurannya, namun ada cara tersendiri untuk menikmatinya. Namanya adalah kopi ceplus, seni menyeruput kopi hitam bersama gula aren yang nikmat. 

Caranya dengan menggigit gula aren sedikit kemudian menyeruput kopi hitam secara pelan-pelan. Rasa kopi hitam yang agak pahit dan rasa manis dari gula aren bercampur menjadi satu di dalam mulut. Rasanya sungguh nikmat dan pengalaman ini tidak bisa didapatkan di tempat lain selain di Desa Wisata Lerep. Saya pun baru pertama kali merasakan sensasi ngopi yang enak selain di kafe modern.

Pengalaman yang saya dapatkan kali ini mulai dari mengambil nira sampai mengolahnya menjadi gula aren memang sangat berharga. Apalagi dengan sambutan hangat dari keluarga Pak Warto yang menganggap saya sebagai anaknya sendiri juga menjadi pengalaman hidup yang mengesankan.

Tidak ada sepeserpun uang yang saya keluarkan selama saya belajar membuat gula aren tersebut. Karena memang Pak Warto enggan menerima uang pemberian saya, bahkan saat pulang pun mereka masih membekali saya dengan berbagai hasil bumi dan gula aren yang kami buat sebelumnya. 

Hal itulah yang membuat saya semakin tersadar bahwa kebahagiaan kecil mereka bukan diukur dari seberapa banyak harta yang mereka punya. Namun dari ilmu yang berguna untuk diajarkan kepada orang lain lebih berharga dari apapun. 

The post Membuat Gula Aren Secara Tradisional di Desa Wisata Lerep appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membuat-gula-aren-secara-tradisional-di-desa-wisata-lerep/feed/ 0 28416
Melihat Proses Pembuatan Gula Merah Tradisional https://telusuri.id/melihat-proses-pembuatan-gula-merah-tradisional/ https://telusuri.id/melihat-proses-pembuatan-gula-merah-tradisional/#respond Sat, 13 Mar 2021 06:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27377 Gula merah atau masyarakat umum biasa menyebutnya sebagai gula aren atau gula Jawa ini ternyata diproses melalui tahapan yang panjang sebelum bisa dikonsumsi. Walau kelihatannya mudah, sebetulnya prosesnya cukup rumit. Ditambah lagi jika salah satu...

The post Melihat Proses Pembuatan Gula Merah Tradisional appeared first on TelusuRI.

]]>
Gula merah atau masyarakat umum biasa menyebutnya sebagai gula aren atau gula Jawa ini ternyata diproses melalui tahapan yang panjang sebelum bisa dikonsumsi. Walau kelihatannya mudah, sebetulnya prosesnya cukup rumit. Ditambah lagi jika salah satu prosesnya tidak dilakukan dengan teliti maka hasilnya tidak akan bagus seperti yang dijual di pasaran. Dalam tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman bersama dengan Pak Warto, beliau merupakan salah satu pembuat gula merah di daerah Desa Lerep, Ungaran, Kabupaten Semarang. Sudah sekitar 20 tahun Pak Warto menekuni produksi gula merah untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan pasar di Kabupaten Semarang. 

Selama mengikuti keseharian mengolah gula merah bersama Pak Warto, tahapan demi tahapan mulai dari persiapan sampai pemasakan, bukan hal yang mudah seperti yang dilihat di acara TV Swasta, Jejak Si Gundul atau Jejak Petualang. Ada banyak proses yang tidak bisa dipercepat atau dilewati sehingga harus benar-benar maksimal dalam setiap tahapannya.

Perawatan dan pemupukan pada pohon aren

Jauh-jauh hari bahkan sebelum proses pemanenan dan penyadapan pohon aren, Pak Warto mengajak saya untuk tahu bagaimana cara merawat dan memupuk pohon aren agar kualitas yang dihasilkan sangat bagus. Lokasi pohon aren milik Pak Warto memang ada di beberapa tempat yang berbeda yaitu di daerah kebunnya (dekat rumah) dan di dalam hutan. 

Pupuk kandang adalah pilihan utama yang Pak Warto gunakan agar pohon aren dapat tumbuh dan berkembang secara alami. Pemupukan biasanya dilakukan dua minggu sekali atau sebulan sekali tergantung kondisi tanah yang ada di bawah pohon aren. 

Pada bagian bawah pohon aren harus dibersihkan dari gulma dan tanaman yang mengganggu. Cara ini dilakukan agar proses penyerapan nutrisi untuk pohon aren bisa dimaksimalkan dan tidak ada penyakit yang menyerang pohon aren. Pemupukan ini tetap berlangsung selama pohon aren masih produktif dan tumbuh normal. 

Proses penyadapan

Pohon aren yang sudah cukup besar akan mengeluarkan bunga yang nantinya akan disadap. Sebetulnya, gula merah bisa dibuat dari nira yang berasal dari pohon keluarga palma seperti kelapa, aren dan siwalan. Masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri ketika sudah diolah menjadi gula merah. 

Pak Warto menunjukkan pohon aren yang sudah memiliki pangkal bunga yang belum mekar. Sebelumnya, beliau sudah menyiapkan tangga khusus untuk menaiki pohon aren yaitu menggunakan satu batang bambu yang dilubangi tengahnya sebagai pijakan. Memang tidak ada pengamanan ekstra atau alat keselamatan lain. Namun jika melihat pengalaman Pak Warto yang sudah puluhan tahun tentu saya tidak meragukannya lagi. 

Pangkal bunga tadi diikat dengan tali sehingga bisa menghambat proses pemekaran dari bunga aren. Nantinya pangkal bunga akan terjadi pembengkakan dan penumpukan sari pati makanan. Setelah beberapa lama, proses selanjutnya adalah mengiris-iris secara bertahap pada bagian tadi untuk mengeluarkan cairan gula.

Cairan inilah yang disebut sebagai nira sebagai bahan utama pembuatan gula merah. Nira kemudian ditampung dalam wadah khusus terbuat dari bambu yang diikatkan agar tidak jatuh. Proses pemanenan hasil nira ini dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. 

Menurut Pak Warto, pemanenan hasil sadap pada pagi hari memang selalu lebih banyak karena pada dini hari udara sekitar lebih dingin dan memacu pohon aren untuk memproduksi nira lebih banyak. Perbandingannya, pada pagi hari bisa menghasilkan sampai 10 liter nira sedangkan saat sore hari hanya 7 liter nira. 

Pak Warto juga bercerita bahwa masing-masing pohon dalam keluarga palma memiliki kelebihan dan kekurangannya dibedakan dari tempatnya hidup. Di dataran rendah yang lebih gersang, pohon siwalan akan lebih produktif dan hasil niranya lebih bagus. Jika di daerah pantai, pohon kelapa lebih produktif dibandingkan jenis pohon palma lainnya. Sedangkan di daerah pegunungan (di atas 800 mdpl) nira dari pohon aren memang lebih juara. 

Nira yang sudah diambil kemudian ditampung pada jerigen besar yang dapat memuat hingga 20 liter nira untuk satu jerigennya. Pak Warto sendiri memiliki 5 pohon aren yang masih produktif, dalam sehari beliau bisa menghasilkan rata-rata sekitar 50 liter nira.

Pembuatan Gula Merah Tradisional
Gula merah di Desa Lerep/Nico Krisnanda

Proses memasak nira menjadi gula merah

Setelah nira didapatkan dan wadah tampungannya dikembalikan pada posisi semula, maka proses selanjutnya adalah pemasakan nira untuk menjadi gula merah. Jarak antara pemanenan dan pemasakan memang terbilang singkat karena untuk menghindari proses fermentasi oleh bakteri di dalam nira.  

Jika terlalu lama maka nira akan menjadi lebih asam dan hasil gula merahnya juga lebih asam. Jadi ketika Pak Warto kembali ke rumahnya, nira yang sudah didapatkan langsung diolah oleh istrinya. Nira yang siap dimasak sebelumnya disaring untuk menghilangkan kotoran yang ada di dalamnya, baru kemudian ditempatkan di dalam wajan besar di atas tungku api yang membara. 

Istri Pak Warto dengan lihainya mengaduk-aduk nira secara berkala agar tidak menghitam (gosong). Beliau juga mengatur api agar tetap stabil selama proses pemasakan ini. Butuh waktu setidaknya empat sampai lima jam hingga nira berubah menjadi lebih kental dan berwarna kecoklatan. 

Pembuatan Gula Merah Tradisional
Gula merah di Desa Lerep/Nico Krisnanda

Mencetak gula merah

Proses memasaknya bisa dibilang cukup lama dan harus benar-benar diawasi karena jika sebentar saja meninggalkan proses pemasakan tersebut, maka hasil olahan gula akan menghitam. Tentu ini akan mengurangi kualitas dan harga jual dari gula merah nantinya. 

Istri Pak Warto sebelumnya sudah menyiapkan cetakan-cetakan yang terbuat dari batok kelapa. Ada juga yang terbuat dari bambu yang sudah dipotong-potong melingkar dan juga ada pula cetakan dari alumunium berbentuk seperti batok kelapa. Bentuk dari cetakan ini memang tidak dipermasalahkan karena nantinya gula merah dijual berdasarkan beratnya. 

Setelah nira benar-benar matang dan lebih mengental dari sebelumnya, maka langsung dimasukkan ke dalam cetakan dan dipindahkan ke rak khusus untuk proses pendinginan.

Suhu di Desa Lerep ini bisa dibilang masih sejuk, jadi proses pendinginan dari gula merah tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama. Gula merah yang sudah dingin akan dikeluarkan dari cetakan dan dibungkus ke dalam tempat khusus terbuat dari plastik. 

Nantinya Pak Warto akan membawanya ke pengepul kenalan beliau atau biasanya ada orang yang datang untuk membelinya langsung.  Satu kilogram gula merah di Kabupaten Semarang dijual dengan harga Rp18 ribu sampai Rp25 ribu per kilogramnya. Namun untuk gula merah cair biasa dijual dengan harga Rp30 ribu per kilogramnya.

Selama proses pembuatan gula merah ini dari awal hingga akhir, Pak Warto menggunakan teknik dan peralatan yang sederhana. Tidak ada proses yang instan atau menggunakan teknologi khusus agar lebih mudah mengolah gula merahnya. Namun begitu, cara tradisional ini dipilih Pak Warto karena sudah terbiasa dan bisa lebih menyehatkan (karena membuatnya banyak bergerak).

Banyak hal yang bisa dipelajari dari teknik tradisional ini dan menurut saya memang bisa menjadi pengalaman yang tidak bisa dilupakan untuk merasakan langsung proses pembuatan gula merah secara tradisional. 

The post Melihat Proses Pembuatan Gula Merah Tradisional appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-proses-pembuatan-gula-merah-tradisional/feed/ 0 27377
Camping Semalam di Gili Labak https://telusuri.id/camping-semalam-di-gili-labak/ https://telusuri.id/camping-semalam-di-gili-labak/#comments Wed, 24 Feb 2021 08:00:35 +0000 https://telusuri.id/?p=27194 Gili Labak adalah salah satu destinasi yang direkomendasikan oleh teman saya selain Gili Ketapang dan Giligenting. Tempat wisata ini berada di daerah Jawa Timur dekat dengan Pulau Madura.  Dari hasil browsing di internet dan sosial...

The post Camping Semalam di Gili Labak appeared first on TelusuRI.

]]>
Gili Labak adalah salah satu destinasi yang direkomendasikan oleh teman saya selain Gili Ketapang dan Giligenting. Tempat wisata ini berada di daerah Jawa Timur dekat dengan Pulau Madura. 

Dari hasil browsing di internet dan sosial media, nampaknya Gili Labak adalah tempat yang paling tepat untuk menghabiskan waktu libur kami kali ini. Pulau kecil dengan pantai pasir putihnya yang membentang, warna biru pada lautannya, dan terumbu karang yang masih terjaga. 

Gili Labak merupakan sebuah pulau kecil yang lokasinya ada di sebelah Tenggara Pulau madura. Secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Talango, Sumenep, Madura. Luasnya hanya sekitar 5 hektar dan dihuni 35 kepala keluarga. 

Camping Gili Labak
Gili Labak via Flickr/Nurul Alfiana

Perjalanan Menuju Gili Labak

Sebelumnya kami membuat janji dengan biro perjalanan untuk bertemu di Surabaya saat subuh (sekitar pukul 04.00 WIB) di Stasiun Gubeng. Oleh karena itu, kami pun berangkat menggunakan kereta dari Semarang Poncol ke Surabaya Gubeng pada jam 23.21 WIB. Waktu perjalanan membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan sehingga sampai di Stasiun Gubeng tepat di waktu kami membuat janji dengan biro perjalanan. 

Dari Surabaya kami naik mobil yang disediakan oleh biro perjalanan selama 4 jam sebelum tiba di Sumenep. Lalu perjalanan berlanjut menggunakan perahu kayu sekitar 2 jam dari Pelabuhan Kalianget. 

Menurut informasi dari biro perjalanan, sebetulnya dari Pelabuhan Tanjung dan dermaga Desa Lobuk juga ada perahu yang menuju ke Gili Labak. Namun karena biro perjalanan kami sudah berlangganan menggunakan perahu di Pelabuhan Kalianget ini maka titik inilah yang jadi tempat pemberangkatan kapal kami.

Harga Open Trip Gili Labak

Sekedar informasi, banyak biro travel yang menyediakan paket open trip untuk berkunjung ke Gili Labak dengan harga mulai dari Rp85 ribu sampai Rp290 ribu tergantung dari fasilitas yang dipilih. Lalu, yang kami pilih adalah paket open trip seharga Rp290 ribu per orang dengan meeting point di Surabaya. 

Alasan untuk menggunakan paket open trip ke Gili Labak karena informasinya masih sangat sedikit dan angkutan umum menuju ke sana belum ada. Khawatirnya selama perjalanan nanti ada banyak kendala dan jatuhnya malah repot sendiri. 

Selama dua jam perjalanan di atas kapal hanya terlihat warna biru lautan saja dan beberapa pulau kecil lain. Dari kejauhan kemudian mulai terlihat pulau tujuan kami, pengemudi kapalnya pun juga memastikan bahwa itu adalah pulau Gili Labak. Tak berselang lama, tibalah kami di dermaga atau bibir pantai Gili Labak.

Dibandingkan dengan pulau kecil lain yang pernah saya kunjungi, Gili Labak ini yang paling bersih. Pantai pasir putih yang membentang serta terumbu karangnya pun bisa terlihat jelas dari bibir pantai. Ah rasanya ingin segera terjun dan menjumpai ikan-ikan yang hidup di terumbu karang tersebut. 

Oleh pemandu, kami dibekali sedikit briefing tentang apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama di sini. Pemandu juga menginformasikan untuk fasilitas yang ada di Gili Labak seperti tempat sholat, kamar mandi, area camping, area snorkeling, dan tempat lainnya.

Persoalan sampah di tempat ini memang sangat ketat, kami dipertegas untuk tidak nyampah sembarangan. Ini yang sebetulnya saya suka dari tempat ini, kondisinya bersih karena memang ada ketegasan dari pengelolanya. 

Sebelumnya memang kami janjian untuk memilih open trip dua hari satu malam dengan tenda yang kami bawa sendiri. Perbekalan seperti peralatan dan bahan makanan kami persiapkan sebelum berangkat meski sebenarnya kami akan mendapatkan porsi makan dari biro perjalanan atau bisa juga jajan di warung-warung yang tersedia di sana. Setidaknya, keberadaan warung-warung ini bisa menjadi alternatif jika kami tergoda untuk mencicipi masakan masyarakat lokal.

Camping di Pulau Gili Labak

Camping Gili Labak
Gili Labak via Flickr/Maz Echo

Setelah briefing dan makan siang usai, pemandu membebaskan kami untuk beraktivitas sesuai yang kami inginkan. Kami kemudian membongkar tas, mengeluarkan tenda, dan mendirikannya. Kami pilih mendirikan tenda di antara dua pohon yang agak besar supaya tetap teduh saat terik matahari menyengat dan tentu saja supaya mudah saat memasang hammock. 

Tenda sudah berdiri, peralatan sudah ditata, kemudian kami mulai aktivitas selanjutnya yaitu snorkeling. Walaupun waktu menunjukkan pukul 11 siang dan saat itu sedang panas terik, kami tetap bersikeras untuk snorkeling karena justru visibilitas di dalam air sedang bagus-bagusnya. Gosong nggak masalah lah, ya!

Snorkeling Di Gili Labak

Ternyata seru juga snorkeling di Gili Labak. Tak jauh dari kapal bersandar, kami menemukan anemon laut yang dikenal sebagai rumah ikan badut. Benar saja, ada tiga ikan badut yang menyelinap ke dalam anemon laut tersebut. 

Ada berbagai jenis ikan lain seperti ikan surgeonfish, ikan gerot-gerot, dan ikan lain yang berwarna-warni. Begitu mengesankan alam laut di Gili Labak ini sampai-sampai banyak jenis ikan diluar pengetahuan kami. 

Selama kurang lebih dua jam kami menghabiskan waktu di laut. Beberapa kali pemandu kami memberikan informasi untuk berhati-hati selama snorkeling supaya tidak menyentuh karang. Kami juga dilarang memberikan makanan pada ikan-ikan di sana.

Usai snorkeling, kami kembali ke pantai untuk beristirahat sembari menikmati segarnya air kelapa muda yang baru diambil langsung dari pohonnya. Di sini, ada banyak kursi yang tersedia dan bisa digunakan untuk bersantai. Angin sepoi-sepoi terus menyapa kami, dan tak terasa waktu beranjak semakin sore. Kami pun harus segera membilas tubuh agar tidak lengket. 

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kami mengumpulkan kayu yang berserakan di pinggir pantai. Kayu kering memang mudah ditemukan di sini. Instruksi dari pemandu kami, membuat api unggun di pantai memang diperbolehkan namun harus beralas seng supaya sisa kayu bakar dan abu tidak mengotori pantai.

Akhirnya setelah menahan lapar beberapa jam, datanglah makan sore kami yaitu aneka hidangan laut dengan aroma yang sangat hmmmm, sedap! Waktu makan selama berada di Gili Labak memang sengaja kami atur berbeda dengan itinerary utamanya, agar di waktu malam hari kami bisa memasak makanan yang kami bawa.

Menghabiskan Sore di Gili Labak

Camping Gili Labak
Sore hari di Gili Labak via Flickr/Haris Mukhlas S

Sepanjang sore, kami menghabiskan waktu untuk berkeliling pulau. Gili Labak tidak terlalu luas, kurang dari satu jam kami bisa mengintarinya. Pulau yang didominasi oleh pohon kelapa dan pinus ini punya banyak sudut apik untuk diabadikan dalam jepretan kamera.

Ketika malam tiba, kami kembali merayakan kegirangan dengan menyalakan api unggun. Genjrengan ukulele yang kami bawa serta canda tawa teman serombongan membuat  semakin malam semakin menyenangkan. Bahan makanan pun tak terasa sudah kami masak hingga habis tak tersisa.

Pada pagi harinya cuaca sedang tidak bersahabat, awan mendung terlihat dari kejauhan dan tak ada sunrise yang bisa kami lihat pagi ini. Kami menunggu hingga pukul 09.00 pagi namun tak ada pertanda cuaca akan lebih baik. 

Pemandu menyarankan kami untuk segera bersiap mengemasi barang kami. Memang hari ini bisa dibilang mengecewakan karena kami sudah berekspektasi lebih. Namun apa daya, daripada ketinggalan kereta dan terjebak sehari lagi di pulau ini tentu kurang menyenangkan.

Benar saja, setelah kami sampai di Pelabuhan Kalianget, hujan deras tiba dan ombak laut semakin besar. Untung saja kami sudah sampai di pelabuhan dengan selamat dan segera naik mobil lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya. 

Mungkin memang kami harus kembali di lain hari untuk berkunjung lagi ke Gili Labak. Tunggu tahun depan untuk kami akan berkunjung lagi!

The post Camping Semalam di Gili Labak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-semalam-di-gili-labak/feed/ 2 27194
Camping di Waduk Sermo https://telusuri.id/camping-di-waduk-sermo/ https://telusuri.id/camping-di-waduk-sermo/#respond Tue, 23 Feb 2021 09:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27161 Camping di Waduk Sermo memang bukan menjadi tujuan utama kami karena sebetulnya, tujuan awal kami datang ke sana adalah untuk memancing dan memasak. Itulah mengapa hanya alat pancing, alat masak, dan bahan makanan saja yang...

The post Camping di Waduk Sermo appeared first on TelusuRI.

]]>
Camping di Waduk Sermo memang bukan menjadi tujuan utama kami karena sebetulnya, tujuan awal kami datang ke sana adalah untuk memancing dan memasak. Itulah mengapa hanya alat pancing, alat masak, dan bahan makanan saja yang kami bawa. 

Awal cerita perjalanan kami dari Solo ke Waduk Sermo memakan waktu sekitar dua setengah jam menggunakan mobil pribadi. Kami berangkat berempat dengan berbekal Google Maps saja untuk sampai di lokasinya. Selama perjalanan memang tidak ada yang spesial, hanya canda tawa kami selama perjalanan yang tak ada habisnya.   

Sesampainya di Waduk Sermo, kami disuguhi dengan pemandangan yang indah. Waduk yang luas dengan suasana damai dan tenang. Masih banyak juga pepohonan yang tumbuh di sekitar waduk, jadi pemandangannya memang sangat memikat. 

Tiket masuk Waduk Sermo

Waduk Sermo via Deta Widyananda
Waduk Sermo via Deta Widyananda

Setelah membayar tiket masuk Waduk Sermo dengan harga Rp5 ribu per orang. Kami pun mulai masuk dan mempersiapkan segala perlengkapan untuk memancing. Menurut beberapa informasi yang kami peroleh, memancing di Waduk Sermo memang butuh perhatian khusus karena ikan yang dipancing tidak bisa diperlakukan sama untuk umpannya. 

Namun karena tak ingin mengambil risiko, kami membawa berbagai umpan yang sekiranya bisa memikat ikan seperti pelet, cacing, dan lumut. 

Dua jam sudah berlalu dan belum ada ikan yang berhasil kami pancing. 

Sambil menunggu yang lainnya asyik memancing, saya berkeliling sejenak untuk sekedar melihat-lihat keindahan Waduk Sermo ini. Pasalnya, waduk ini sangat terawat dan bahkan lokasinya pun bisa dibilang lumayan bersih. Mungkin enak kali ya untuk ngecamp di Waduk Sermo ini, tapi sayangnya kami tidak mempersiapkan alat camping yang memadai. 

Rasa penasaran memang sudah bergejolak sehingga seperti ada yang menyuruh saya untuk melihat-lihat ke bagian loket masuknya tadi. Saya sempat melihat ada tiket untuk camping di Waduk Sermo seharga Rp15 ribu per orangnya. Siapa tahu kami bisa mencari tempat persewaan alat camping terdekat jika semuanya mau. 

Camping di Waduk Sermo

Setelah melihat-lihat sejenak dan sedikit bercengkrama dengan pengelolanya, ternyata di situ memang menyediakan persewaan untuk camping. Ketika saya tanya apakah masih memungkinkan untuk kami camping di waduk ini. Petugasnya bilang kalau masih ada kuota untuk camping kami berempat, beliau kembali menerangkan kalau sebelumnya memang harus reservasi dahulu karena seringnya penuh menjelang sore.

Saya bergegas menemui teman-teman saya dan menawarkan apakah mereka mau menginap semalam di sini Tak butuh banyak kata-kata untuk membujuk karena mereka tertarik dengan suasana dari waduk ini. Bersih, tidak terlalu ramai, dan tenang memang paling pas untuk tempat camping, memancing, dan memasak.

Saya kembali lagi ke tempat pengelolanya tadi berada. Membayar tiket untuk camping dan sewa alat-alat untuk campingnya. Untuk tenda disewakan seharga Rp50 ribu dengan kapasitas empat orang sedangkan untuk lampu emergency disewakan dengan harga Rp15 ribu.  

Fasilitas lengkap

Fasilitas camping di Waduk Sermo bisa dibilang lumayan lengkap. Pengalaman saya berkunjung ke waduk lain memang tidak selengkap ini fasilitasnya. Mulai dari mushola, toilet, area parkir yang luas, area camping yang terawat, hingga fasilitas air bersih pun ada. 

Ditambah lagi untuk kayu bakar tak perlu susah-susah mencarinya karena ada yang jual di dekat pos penjaga. Satu ikat kayu bakar dijual dengan harga Rp20 ribu saja, padahal menurut saya jumlah kayu bakarnya lumayan banyak.  Tak heran jika banyak orang yang merekomendasikan Waduk Sermo ini sebagai tempat camping favorit.

Setelah beberapa jam berlalu, tibalah waktu sore hari di mana matahari sudah ingin menutup shiftnya hari ini. 

Tangkapan ikan dari yang mereka pancing sejumlah 5 ekor ikan nila yang berukuran cukup besar pun juga sudah memuaskan hasrat mereka. Kami saling membantu untuk mendirikan tenda, mempersiapkan masak-masak, dan sedikit mendekorasi camping kami biar terkesan seperti lagi wild camping beneran. 

Empat kursi mancing yang sudah kami tata melingkar di sekitar perapian, tenda yang sudah terbuka dan alat-alat masak pun juga siap digunakan. Api kompor kami nyalakan dan mulai memarinasi slice beef bawaan kami. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan suasana pun agak lebih gelap. Bau bakaran dari slice beef pun sungguh menyeruak, membuat kami semakin kelaparan. Banyak orang di sekitar kami yang sering curi-curi pandang, karena mungkin bau dari daging ini juga membuat perut mereka iri.

Nasi yang kami panaskan lagi menggunakan nesting juga menjadi pendamping slice beef yang kami masak barusan. Harusnya kami mulai memasak itu saat siang harinya jika tidak menginap semalam di Waduk Sermo ini. 

Menghabiskan malam dengan keriangan

Waduk Sermo via Deta Widyananda
Waduk Sermo via Deta Widyananda

Namun karena perhitungan kami yang hanya membawa perbekalan makanan untuk sekali masak, maka lebih baik memang untuk santap malam saja. Saat siang harinya kami membeli makanan di warung-warung sekitar waduk. 

Sesi santap sudah selesai, maka acara selanjutnya adalah menyalakan api unggun!

Kami membagi tugas, sebagian untuk mencuci perlengkapan makan, sebagian membersihkan ikan, dan saya bertugas untuk menyalakan api unggun. Mereka memang sadar diri karena saat mereka memancing, hanya saya yang sibuk mengurus masalah persewaan tenda tadi. 

Suasana damai ditambah suara kodok dan jangkrik dari berbagai arah memang sungguh menjadi suatu yang tak terlupakan. Mungkin saya cuma bisa bercerta, namun jika kamu benar-benar di posisi saya, tentu akan merasakan hal yang sama. 

Mereka sudah kembali dengan membawa alat makan yang sudah bersih dan ikan yang siap untuk dipanggang. Benar-benar seperti wild camping beneran, sebagian tangkap ikan langsung dibakar di atas bara api, sebagian lagi kami masak di atas kompor.

  • Waduk Sermo via Deta Widyananda
  • Waduk Sermo via Deta Widyananda
  • Waduk Sermo via Deta Widyananda

Ikan kami marinasi terlebih dahulu menggunakan lada, garam, sedikit minyak, dan bubuk bawang-bawangan. Satu jam kami habiskan untuk bercengkrama membahas apapun yang ada di pikiran kami. 

Saat api sudah menyala stabil, ikan kami tusuk menggunakan ranting seadanya dan mulai kami panggang di dekat perapian. Sambil menunggu ikan matang, salah satu dari teman saya membuat kopi untuk sebagai teman bercengkrama. 

Tak berselang lama, ikan sudah matang dan kami icip-icip sampai habis. Bumbu-bumbu marinasi yang meresap hingga ke dalam daging ikannya memang tak ada yang bisa menandinginya. Malam semakin larut dan kami pun beranjak untuk tidur. 

Karena saat ini sedang masa pandemi, sebelumnya pengelola sudah memberikan himbauan untuk mereka yang camping harus sudah mengemasi perlengkapan dan meninggalkan lokasi pada jam 7 pagi. Hal ini untuk mengurangi kepadatan pengunjung agar terhindar dari pengunjung lain yang terpapar virus.  

Bagi kamu yang suka kegiatan alam, tak ada salahnya untuk mencoba camping di Waduk Sermo. Jangan lupa mempersiapkan peralatan camping yang memadai karena suhu udara di sana cukup dingin apalagi memasuki musim penghujan.  

Menurut informasi dari pengelolanya, sebaiknya memang harus reservasi terlebih dahulu agar mendapatkan slot untuk camping. Apabila slot sudah penuh maka pengunjung yang ingin camping tidak diperkenankan untuk masuk ke area, walaupun mereka sudah datang dari tempat yang jauh.

The post Camping di Waduk Sermo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/camping-di-waduk-sermo/feed/ 0 27161
Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/ https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/#respond Wed, 03 Feb 2021 10:38:52 +0000 https://telusuri.id/?p=26805 Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik...

The post Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik kereta api tua yang usianya bisa dibilang sudah ratusan tahun. 

Lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa ini merupakan peninggalan zaman Belanda, jadi bentuk dan pengoperasiannya pun masih terlihat kuno. Namun hal ini tampak berbeda saat saya sudah tiba di stasiunnya.

Setelah membayar tiket masuk seharga Rp10 ribu, saya mulai memasuki area di dalam dari Stasiun Ambarawa.  Terlihat beberapa lokomotif yang bentuknya unik dan vintage dengan cat yang bisa dibilang masih baru. Dari sisi bangunannya berciri khas bangunan peninggalan Belanda karena gaya arsitekturnya mirip seperti yang ada di Lawang Sewu atau Kota Lama Semarang. 

Walaupun usianya sudah tua, stasiun ini sangat terawat, terbukti dari areanya yang bersih dan penempatan barang-barangnya pun teratur. Di beberapa titik akan ada papan informasi tentang sejarah dan seluk beluk sejarah perkeretaapian Indonesia. Beberapa barang-barangnya banyak yang berasal dari stasiun lain yang bahkan sudah tidak beroperasi, salah satunya adalah loket kayu dari Stasiun Demak.

Menurut obrolan saya dengan salah satu petugas yang ada di sana,  Stasiun Ambarawa tak hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja. Di sini pengunjung bisa melakukan berbagai macam kegiatan seperti pemotretan, shooting film, festival, bazaar, meeting, bahkan workshop juga pernah diadakan di tempat ini. 

Museum Kereta Api Ambarawa
Museum Kereta Api Ambarawa/Deta Widyananda

Sejarah Museum Kereta Api Ambarawa

Sebelum dikenal sebagai Stasiun Ambarawa, dulunya stasiun ini dikenal dengan nama Stasiun Willem I yang dibangun oleh NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij), diresmikan tanggal 21 Mei 1873 bersama dengan pembukaan lintas Kedungjati-Ambarawa.

Ambarawa memang dikenal sebagai daerah militer karena perannya yang menyokong Magelang untuk mengontrol daerah di pedalaman. Pada tahun 1835 dibangunlah sebuah kompleks benteng besar yang selesai pada tahun 1848 dan diberi nama Willem I. Benteng ini merupakan benteng terbesar di Jawa pada masa pemerintahan Raja Willem I. 

Pada tahun 1873 dibuatlah jaringan kereta api oleh perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang merupakan syarat untuk mendapatkan izin konsesi pembangunan jalur kereta api Semarang – Vorstenlanden (dikenal sebagai Solo – Yogyakarta). NISM diwajibkan untuk membangun jalur kereta api sepanjang 37 km dari Kedungjati sampai Ambarawa untuk keperluan militer pada saat itu. 

Pemberian nama Stasiun Willem I ini karena lokasinya yang tidak jauh dari Benteng Willem I. Pada tahun 1905 berlanjut membangun jalur kereta api Secang-Magelang dengan jalur kereta khusus menggunakan rel bergerigi. 

Selanjutnya pada tahun 1907, dilakukan renovasi terhadap Stasiun Ambarawa dengan mengganti material kayu dan bambu menjadi batu bata. 

Semenjak dioperasikan, Stasiun Willem I ini digunakan sebagai angkutan komoditas ekspor dan keperluan militer di sekitar Jawa Tengah. Namun pada tahun 1976, stasiun ini dinonaktifkan dan digunakan sebagai Museum Kereta Api oleh Gubernur Jawa Tengah pada saat itu. 

Tujuannya untuk menyelamatkan teknologi kuno yang masih bisa dioperasikan yaitu lokomotif uap yang sekarang ini menjadi daya tarik tersendiri di sana. Stasiun Ambarawa dipilih karena nilai historisnya yang kuat dengan perjuangan kemerdekaan NKRI yaitu Pertempuran Ambarawa. 

Di museum ini, saya bisa melihat berbagai koleksi peninggalan masa Hindia Belanda sampai pra Kemerdekaan RI seperti sarana, prasarana dan perlengkapan administrasi. Untuk koleksi kereta apinya sendiri memiliki 26 lokomotif uap, 4 lokomotif diesel, 5 kereta dan 6 gerbong dari berbagai daerah tak hanya di Ambarawa saja. 

Pengelola Kereta Wisata Ambarawa juga menyediakan fasilitas bagi pengunjung untuk merasakan sensasi naik kereta api dengan dua jalur yang berbeda, yaitu Ambarawa-Tuntang PP dan Ambarawa-Bedono PP. 

Untuk jalur Ambarawa-Bedono PP menggunakan kereta api uap yang melewati rel bergerigi, satu-satunya rel bergigi yang masih aktif di Indonesia. Namun saat ini yang beroperasi adalah jalur Ambarawa-Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel. 

Museum Kereta Api Ambarawa
Kereta Api di Museum KA Ambarawa/Deta Widyananda

Jadwal Kereta Wisata Ambarawa

Update jadwal dan harga tiket Kereta Wisata Ambarawa per November 2020 adalah Rp60 ribu per orang (anak usia 3 tahun lebih diwajibkan untuk membeli tiket). Untuk jadwalnya terbagi menjadi 3 sesi setiap hari Sabtu dan Minggu yaitu jam 9 pagi, 11 siang, dan 1 siang. 

Pengalaman saya sewaktu datang ke Stasiun Ambarawa memang harus datang pagi hari dan langsung membeli tiket karena biasanya sudah terjual habis. Untungnya saya masih mendapatkan satu tiket terakhir untuk jam 1 siang. 

Rute kereta api yang saya naiki adalah Ambarawa – Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel Vintage. Rutenya nanti melewati areal persawahan di sekitar Rawa Pening dengan pemandangan yang menakjubkan, kata salah satu petugas yang ada di sana sih. 

Bunyi dengung setiap getaran mesinnya dan decasan dari uapnya memperlihatkan bahwa kereta ini masih tangguh untuk menelusuri setiap jengkal relnya. Terlihat lokomotif dengan kayu sebagai bahan bakarnya dan sudah terpasang dengan gerbongnya. Tak lama kemudian saya naik dan menduduki salah satu tempat yang pas yaitu dekat jendela. 

Sesaat kemudian terdengar peluit yang menandakan bahwa kereta akan berangkat. Perlahan berjalan pelan dan meninggalkan Stasiun Ambarawa. Laju keretanya memang tidak terlalu kencang, inilah kelebihan kereta wisata di sini, jadi bisa melihat setiap ujung pemandangan yang disuguhkan. 

Benar saja yang dibilang bapak tadi, pemandangannya sangat menakjubkan, dari areal persawahan yang hijau membentang dengan latar belakang pegunungan kecil di sekitar Ambarawa. Jika beruntung, penumpang bisa melihat ternak yang sedang digembalakan atau kerbau yang sedang membajak sawah.

Berselang 23 menit kemudian sampailah saya di Stasiun Tuntang yang ukurannya tidak terlalu besar dan megah seperti Stasiun Ambarawa. Di sini lokomotif akan dipindahkan dari gerbong depan ke gerbong belakang (mundur). Ada sesi istirahat sejenak sekitar 20 menit yang bisa digunakan pengunjung untuk melihat-lihat Stasiun Tuntang atau mengabadikan momen saat lokomotif berpindah. 

Sempat saya mengelilingi Stasiun Tuntang namun tidak banyak hal yang bisa saya ceritakan karena memang tidak ada apa-apa dan waktunya pun terhitung singkat. Hanya ada beberapa papan informasi tentang sejarah lokomotif dan Stasiun Tuntang yang terpampang di beberapa titiknya. 

Tak lama kemudian, kereta wisata berangkat dari Stasiun Tuntang menuju ke Stasiun Ambarawa secara perlahan. Pemandangan yang disajikan memang masih sama dan tidak berbeda saat berangkat tadi. Dalam hitungan menit yang sama, kereta wisata yang saya tumpangi sudah sampai di Stasiun Ambarawa.

Dari pengalaman itulah setidaknya saya tahu bahwa Museum Kereta Api Ambarawa merupakan tempat bersejarah yang menyimpan teknologi kuno sejak penjajahan Belanda. Tak hanya sebagai daya tarik wisata saja namun Museum Kereta Api Ambarawa benar-benar mengingatkan saya bahwa teknologi sekarang ada merupakan hasil dari inovasi dan pengembangan yang tak pernah berhenti. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Naik Kereta Api di Museum Kereta Api Ambarawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/naik-kereta-api-di-museum-kereta-api-ambarawa/feed/ 0 26805
Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/ https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/#respond Thu, 28 Jan 2021 10:33:01 +0000 https://telusuri.id/?p=26653 Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah...

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah dan menjadi salah satu anggota Gabungan Pelajar Pecinta Alam Semarang (Gappase), jadi banyak aktivitas yang nggak jauh-jauh dari mendaki gunung. Meski begitu, saya baru mendaki gunung-gunung di sekitaran Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.

Karena kesibukan yang semakin padat, baru tahun 2020 lalu saya memberanikan diri untuk naik gunung lagi. Rencananya sih ingin mendaki kembali ke Gunung Merbabu, tapi kali ini lewat jalur lain yang lebih pendek yakni Cunthel.

Sejujurnya, sekarang ini saya agak setengah hati dengan kegiatan pendakian. Beberapa waktu belakangan, saya memantau pendakian di social media. Gunung tampak makin ramai, terkadang bising, dan kotor karena sampah-sampah pendaki yang tidak dibawa turun kembali. Ini juga yang menjadi alasan sebagian ‘pendaki veteran’ enggan muncak lagi. 

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Namun begitu, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi merasakan tanjakan dan indahnya pemandangan  dari puncak Gunung Merbabu.

Persiapan Sebelum Pendakian

Berbeda saat SMK dulu, persiapan mendaki gunung kali ini benar-benar matang. Saya kasih tahu, dulu waktu SMK saya hanya membawa satu tas gunung yang berisi air minum 2 botol besar, 3 mie instan, gula, kopi, teh, penyedap rasa, gula jawa, tenda, dan peralatan memasak. 

Ringkas dan serba instan karena tak ingin membebani tubuh kecil ini dengan bawaan yang berat. Sekarang, persiapan pendakian butuh berhari-hari. Mulai latihan fisik sampai ke peralatan gunung dan logistik yang memadai. 

Beberapa perlengkapan memang sengaja saya beli untuk mengurangi sampah plastik selama mendaki ke Gunung Merbabu. Seminimal mungkin saya menghasilkan sampah plastik atau bahkan kalau bisa tidak menghasilkan sampah plastik sama sekali walau rasanya sulit.

Persiapan pertama dari bahan makanan yang ingin saya bawa. Jika dulu hanya membawa mie instan, sarden, kornet, dan sebagainya; kali ini saya memilih bahan-bahan yang bisa dimasukkan ke dalam kotak makan.

Saya membeli peralatan yang berguna mengurangi sampah plastik dan bisa dipakai untuk jangka panjang. Sebagai contohnya water bladder untuk tempat air, kontainer telur agar tidak pecah selama dibawa, bumbu-bumbu dapur, rempah-rempah, dan penyedap yang sudah saya tempatkan dalam wadahnya masing-masing.  Jadi ketika bahan makanan atau bumbu tersebut habis, saya tinggal mengisinya kembali (refill).

Karena saya hanya menginap semalam saja, maka untuk bahan makanan utama yang saya bawa yakni daging ayam, daging sapi, telur, kentang, jamur, tomat cherry, bawang-bawangan, dan buah-buahan.

Terlihat mewah, bukan?

Naik gunung sudah susah, bawa makanan ya harus mewah. Prinsip ini yang saya dapatkan dari senior saya saat di organisasi pecinta alam dulu. 

Bahan makanan sudah beres, kemudian tinggal peralatan elektronik dan pakaian. Biasanya pendaki membungkus pakaian kering mereka menggunakan plastik agar tidak basah ketika diserang hujan dadakan. 

Saya pun menyiapkan dua tas pouch tahan air yang agak besar. Satu untuk pakaian kering dan bersih, satunya lagi untuk pakaian yang kalau-kalau bakal basah atau kotor. Sebetulnya, membawa pakaian basah turun ke bawah juga akan menambah beban, jadi kalau bisa sebaiknya membawa pakaian berbahan Dri-Fit.

Untuk barang elektronik seperti powerbank, charger, dan kamera ditempatkan pada pouch yang sama. Begitu juga dengan kotak PPGD, raincoat, flysheet, dan tenda. Tak lupa, kami juga membawa serbet sebagai pengganti tisu.

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Setelah semua berada di kontainernya masing-masing, tinggal mengatur dan memasukkannya ke dalam keril. dan dimasukkan ke dalam tas gunung saja. Tak lupa saya selipkan dua buah trashbag ke dalamnya.

Pendakian Gunung Merbabu Via Cunthel

Tepat pukul 8 pagi saya berangkat berdua dari Semarang menggunakan motor menuju pos pendakian Cunthel, Kopeng, Salatiga. Setelah membayar retribusi dan beristirahat selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan: mendaki Gunung Merbabu. Jalur awal masih berupa beton karena warga menggunakan jalan ini untuk beraktivitas dengan kendaraan bermotor.

Sesampainya di Pos Bayangan 1 yang berada di ketinggian 1887 mdpl terdapat satu bangunan permanen yang bisa digunakan untuk tempat beristirahat. Usai melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan ke Pos Bayangan 2 Gumuk. Di sini, kita bisa mengisi air dari sumber yang ada.

Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di Pos 1 Watu Putut dari Basecamp Cunthel. Itu saja istirahatnya selama di perjalanan hanya sebentar, sekitar 5 menitan. Makanya sebelum pendakian, saya sarankan kalian untuk melatih fisik secara maksimal.

Selama perjalanan dari Pos 1 Watu Putut sampai ke Pos 2 Kedokan, jalur mulai terbuka dengan sedikit pepohonan dan semak liar yang tinggi. Trek yang dilalui memang dominan menanjak dan hanya sedikit saja yang landai.

Di Pos 2 Kedokan, ada banyak pepohonan rindang, biasanya lokasi ini digunakan untuk alternatif tempat mendirikan tenda. Namun lokasinya masih agak jauh dari puncak Merbabu. Sampai di pos ini, saya sudah berada di ketinggian 2430 mdpl (ada papannya). 

Lanjut menuju Pos 3 Kergo Pasar, hutan tidak tampak lagi. Suasana sekitar didominasi oleh pepohonan kering dan sudah mati, namun saat menoleh ke belakang terlihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dengan lautan awan. Di sini, kami tak berlama-lama karena harus melewati satu tanjakan lagi untuk sampai di Pos Pemancar. Pos ini yang akan menjadi tempat kami mendirikan tenda karena lokasinya tidak terlalu jauh dari puncak dan lebih aman ketika badai datang. 

Nggak terasa, kami melewatkan sekitar lima jam untuk perjalanan ini. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktunya untuk mendirikan tenda dan memasak. Kami saling berbagi tugas, saya yang menyiapkan makanan, teman saya yang menyiapkan tenda. 

Slice beef yang dimasak dengan bumbu teriyaki menjadi menu andalan pada pendakian kali ini. Sedikit tips nih kalau membawa bahan makanan seperti daging, masukkanlah ke dalam kontainer kedap air yang berisi ice gel. Dijamin daging akan tetap segar dan tahan lebih lama. Atau kalau mau, kita bisa memarinasinya terlebih dahulu. 

Ada beberapa tenda yang berdiri di sekitar kami, tidak terlalu ramai. Malam itu cuaca juga cerah, tidak ada badai. Sesekali kami bersahut kata dengan rombongan tenda sebelah sebelum memutuskan untuk tidur lebih awal karena berniat summit pada jam 4 pagi untuk menyaksikan sunrise di puncak. Sebelum tidur, kami menyiapkan perlengkapan yang dibawa untuk menuju puncak besok, hanya daypack berisi logistik dan barang berharga. 

Tepat jam 4 pagi, alarm berbunyi dan kami bergegas untuk menuju puncak Gunung Merbabu. Suasana berkabut disertai hembusan angin yang dingin mememani perjalanan kami.  Setelah berjalan sekitar 2 jam, sampailah di pertigaan yang merupakan percabangan ke Puncak Syarif dan ke Puncak Kenteng Songo. Karena masih agak gelap, saya menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Syarif karena jaraknya hanya 5 menit saja dari pertigaan tadi.

Perlahan suasana mulai tampak lebih terang dari sebelumnya. Tak ingin ketinggalan, kami pun bergegas menuju puncak utama yaitu Kenteng Songo. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di puncak ini.

Sesampainya di Puncak Kenteng Songo, suasana memang belum berubah. Kabut yang masih menutupi pemandangan sekitar, ditambah matahari yang mulai menyembul perlahan. 

Dibawa santai saja, saya mengambil kompor dan gas dari tas kecil kemudian mulai merebus air untuk membuat kopi. Setidaknya sampai jam 7 pagi, kabut mulai menghilang dan pemandangan sekitar mulai terlihat.

Tampak dari kejauhan terlihat gugusan gunung-gunung yang gagah berdiri di sekitar Gunung Merbabu. Saya seperti dibawa kembali ke sepuluh tahun lalu dengan pemandangan dan suasana yang sama. Tertegun menikmati setiap hembusan angin dingin dari ketinggian 3.142 mdpl.

Sekitar jam 8 pagi, kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tak butuh waktu lama karena hanya perlu 1 jam saja untuk sampai di Pos Pemancar. 

Sampah di Merbabu/Mauren Fitri

Sebelum pulang, kami menyempatkan makan siang dahulu dan beristirahat sejenak dan mengisi tenaga. Lauk telur, daging ayam, dan kentang terasa sangat enak ketika masuk ke mulut. Saus pedas dengan sedikit mayo yang saya tambahkan pun juga menambah rasanya jadi lebih enak. Sampai sekarang pun, hanya sampah cangkang telur dan kulit bawang saja yang kami hasilkan.

Setelah semua barang tertata rapi dan perut kenyang, saya mengeluarkan barang pusaka yang wajib dibawa tiap kali naik gunung yaitu trash bag. Budaya kami dalam organisasi pecinta alam dulu memang masih melekat hingga sekarang ini. 

Membersihkan sampah sekitar dengan radius 5 meter dari tenda yang kami dirikan. Jadi bukan hanya sampah yang kami hasilkan saja, tapi sampah orang lain dalam radius tersebut akan kami bawa turun juga. 

Andai kebiasaan ini dilakukan oleh setiap pendaki pasti kita bisa melihat gunung tetap bersih. Beberapa orang mungkin akan menyarankan membakar sampah seperti bungkus mie, kopi atau kresek untuk menyalakan api. Namun hal ini tidak dibenarkan karena jika terlena sedikit saja bisa jadi kebakaran gunung yang besar. Sudah banyak kasus kebakaran hutan akibat satu puntung rokok saja, jadi sebaiknya dibawa turun lagi.

Selama ada niat dan usaha, pasti bisa untuk tidak nyampah di gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/feed/ 0 26653
Pantai Ngudel dan Pengalaman Camping Satu Malam yang Mengasyikan https://telusuri.id/pantai-ngudel-dan-pengalaman-camping-satu-malam-yang-mengasyikan/ https://telusuri.id/pantai-ngudel-dan-pengalaman-camping-satu-malam-yang-mengasyikan/#respond Sun, 10 Jan 2021 09:36:22 +0000 https://telusuri.id/?p=26225 Rata-rata orang piknik ke Malang pasti tujuannya ke Bromo atau ke Batu. Beda dengan saya dan ketiga teman saya yang memutuskan untuk mencoba camping di salah satu pantainya.  Setelah searching di Google, ada beberapa nama...

The post Pantai Ngudel dan Pengalaman Camping Satu Malam yang Mengasyikan appeared first on TelusuRI.

]]>
Rata-rata orang piknik ke Malang pasti tujuannya ke Bromo atau ke Batu. Beda dengan saya dan ketiga teman saya yang memutuskan untuk mencoba camping di salah satu pantainya. 

Setelah searching di Google, ada beberapa nama yang direkomendasikan seperti Pantai Clungup, Pantai Sendiki, Pantai Goa Cina, Pantai Balekambang, dan beberapa pantai lainnya yang tidak terlalu terkenal. 

Dilihat memang rata-rata bagus sih, bahkan di Pantai Balekambang terdapat pura kecil di atas bukit karangnya, mirip seperti Tanah Lot tapi versi kecilnya. Namun karena kesepakatan bersama, kami memutuskan untuk mencari pantai yang agak sepi agar suasana kedamaian dan ketenangan bisa kami dapatkan. 

Setelah saling menyembur air ludah beberapa saat, kami akhirnya sepakat untuk memilih Pantai Ngudel sebagai tujuan kami nantinya. 

Menuju lokasi Pantai Ngudel

Kami berangkat pada Jumat dini hari dari Solo menuju ke Pantai Ngudel yang berlokasi di Sidurejo, Gedangan, Malang, Jawa Timur. Perjalanan sampai ke lokasi membutuhkan waktu setidaknya antara 7-8 jam.

Bayangkan saja sakitnya pantat kami saat naik motor dari titik awal sampai ke tujuan dan hanya mampir sekali untuk kencing di pom bensin. Mungkin jika di masa depan ada manusia baru dengan pantat yang tebal, bisa jadi itu salah kami. 

Selama perjalanan memang tidak ada yang mengasyikkan, terasa sangat biasa-biasa saja karena fokus kami memang ingin sampai ke tujuan secepat mungkin. 

Setelah beberapa jam berlalu akhirnya kami sampai di pertigaan dengan plang bertuliskan Pantai Ngudel. Kami berhenti sejenak untuk melepas penat dan melihat sekeliling lalu melanjutkan perjalanan lagi untuk sampai di lokasinya.

Harga tiket masuk Pantai Ngudel

Hari memang belum begitu panas karena kami sampai di tujuan pas jam 9 pagi. Setelah meminta izin untuk mendirikan tenda dan membayar retribusi sekitar Rp12 ribu per orang, kami buru-buru cari tempat yang pas dengan sudut pandang yang ciamik. 

Prepare kami memang dibilang sangat perfect dan betul-betul diperkirakan sebelumnya. Jadi masing-masing orang membawa tas carrier yang besar berisi logistik dan perlengkapan yang lengkap. 

Kami memang suka sekali camping, kalau dihitung sudah puluhan kali kami camping bersama. Jadi peralatan yang dibawa saat ini hasil dari mencicil selama berbulan-bulan sebelumnya. 

Setelah semua logistik dan peralatan dikeluarkan, kami langsung membagi tugas untuk tiap orangnya. Kebetulan saya yang bertugas untuk mendirikan tenda dan menata kursi camping. 

Ada yang mencari kayu bakar untuk api unggun nanti malam, ada yang mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak, dan ada juga yang mencari informasi tentang sumber air atau wisata terdekat pantai ini.

Pantai Ngudel. Foto: Unsplash/Ardito Ryan Harrisna

Pemandangan sekitar yang alami dan asri

Menurut informasi, ada beberapa pantai di sekitar lokasi tempat camping kami yaitu Pantai Kletekan dan Pantai Kuncaran, namun untuk camping memang paling bagus di Pantai Ngudel ini. 

Untuk lokasi campingnya di pantai ini sebetulnya ada dua titik rekomendasi yaitu di pantainya atau di Bukit Asmara yang tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. 

Suasana yang tenang dan tak banyak pengunjung yang datang menjadi sangat memikat. Angin sepoi-sepoi yang berhembus disertai dengan deburan ombak yang manja sangat menenangkan pikiran. 

Salah satu rekan kami yang bernama Anton, selesai mempersiapkan masakannya, kami pun makan berempat bersama sambil ngeteh dan ngopi. Tentu bisa bikin banyak orang jadi iri, ya?

Di tengah kesibukan kami saat bekerja, memang harus ada waktu untuk dihabiskan bersama. Bisa dibilang kalau ngecamp gini hanya bisa dua bulan sekali. Maka dari itu setiap menit yang dihabiskan di sini sangat berharga. 

Beberapa pantai di Malang memiliki pulau karang kecil yang ada di pantainya. Untungnya, Pantai Ngudel ini juga punya. Mau berfoto gaya apapun, hasilnya tak akan mengecewakan, pokoknya cocok buat feed di Instagram-lah!

Menjelang sore hari, saya kira pemandangannya bakalan seperti pantai pada umumnya. Tapi ternyata, sunsetnya lebih menarik dibandingkan pantai yang lain di pesisir selatan Pulau Jawa. Cahaya keemasan dan tanpa awan yang menghalangi bisa bikin merinding orang yang melihatnya. 

Malam pun tiba, tanpa ada penerangan lampu dari pengelola atau lampu sepeda motor pengunjung yang masih menyala. Hanya ada cahaya dari depan tenda kami saja. 

Inilah yang kami cari, mungkin jika flashback saat awal-awal kami ngecamp di salah satu pantai Gunung Kidul. Tentu pemandangan seperti ini sangatlah ngeri, apalagi dengan bumbu cerita masyarakat lokalnya tentang mitos atau horornya, pasti kami memilih untuk pulang.

Namun beda cerita saat sekarang, ditambah lagi kami berangkat berempat. Jika ada hal yang aneh, seenggaknya kami bisa teriak ramai-ramai seperti kerumunan kera saat salah satu anggotanya dinodai oleh pengunjung. 

Malam yang semakin menjanjikan karena terlihat bintang di atas tenda kami yang bertaburan tak terhitung jumlahnya. Untungnya tidak ada awan yang menghalangi, jadi bisa terlihat jelas betapa kecilnya kami berempat dibandingkan dengan tatanan angkasa yang tak terbatas. 

Kami mulai menyalakan api unggun yang tidak terlalu besar agar dapat menyala sampai dini hari. Cerita demi cerita, tegukan demi tegukan, kami lakukan bersama. Mungkin momen-momen seperti ini yang tidak ingin kami skip. Berlanjut sampai subuh, barulah kami memutuskan untuk tidur. Saat bangun ternyata jam tangan sudah menunjukkan pukul 9 pagi.

Sebetulnya, sunrise di Pantai Ngudel sangat indah

Ah sialan, sunrise yang kami ingin lihat bersama sudah terlewat begitu saja. Kegoblokan itu memang masih sering kami lakukan, sih. Harusnya memang tak boleh tidur terlalu pagi atau seenggaknya mending nggak usah tidur sekalian agar sunrisenya nggak kelewat lagi. 

Di beberapa tempat sebelumnya juga terjadi hal yang sama, padahal tempat tersebut sangat direkomendasikan untuk melihat sunrise. Ya apa boleh buat, namanya manusia tempatnya salah, ya kan?

Di Pantai Ngudel ini ada papan peringatan yang tertulis untuk tidak mandi di pantainya. Terang saja, ombak di pantainya memang cukup besar mengingat lokasinya di sisi selatan Pulau Jawa. Kami hanya menghabiskan waktu bermain di bibir pantainya saja atau sekedar membuat kastil dari pasir putihnya. 

Saat siang terlihat adanya penjual degan atau kelapa muda, pas sekali di saat kerongkongan mulai mengering. Per buah dijual dengan harga Rp10 ribu saja. Bahkan kami membeli dua buah degan untuk diminum saat sore nanti per orangnya. 

Berbagai aktivitas seru bisa dilakukan di sini, mulai dari melempar tutup cat seperti atlet frisbee, mengubur diri di dalam pasir, sampai bermeditasi untuk mendapatkan ketenangan jiwa. 

Hingga jam tangan menunjukkan pukul 3 sore, kami pun bersiap untuk pulang. Tak lupa sampah-sampah kami kumpulkan dan dibuang bak sampah yang tersedia di sana. 

Sebagai tips seorang camper sejati, kami selalu membersihkan tempat camping kami dengan radius sekitar lima meteran. Entah itu sampah sendiri atau orang lain, tetap kami ambil dan buang pada tempatnya. Hebat kan?

Butuh setidaknya satu jam untuk prepare sebelum pulang. Kami juga tak ingin berlama-lama, takutnya di jalanan sudah terlalu gelap. Belum lagi butuh waktu berjam-jam untuk sampai di kota asal kami. Ah, sayangnya dokumentasi perjalanan ke Pantai Ngudel hilang bersama ponsel yang tiba-tiba black screen. Yasudah, tandanya harus kembali lagi ke sana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pantai Ngudel dan Pengalaman Camping Satu Malam yang Mengasyikan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-ngudel-dan-pengalaman-camping-satu-malam-yang-mengasyikan/feed/ 0 26225