Nita Chaerunisa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/nita-chaerunisa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 13:39:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Nita Chaerunisa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/nita-chaerunisa/ 32 32 135956295 Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/ https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/#respond Tue, 25 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45741 Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama...

The post Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama menjadi salah satu ikon wilayah Tangerang saat ini.

Setelah bergerak dari titik kumpul di Stasiun Tangerang, lalu melewati Jam Argo Pantes yang berada tepat di depan Pasar Lama, rombongan tur mulai memasuki Pasar Lama Tangerang. Tur kali ini dipandu oleh Ci Elsa, keturunan asli Cina Benteng yang ada di Tangerang.

Pagi itu aktivitas di Pasar Lama seperti pasar basah pada umumnya. Ramai penjual dan pembeli kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, serta kuliner pagi. Saat malam, sepanjang jalan Pasar Lama akan berubah menjadi pusat kuliner.

Mata saya sempat tertuju pada jajanan di bagian depan pasar. Seperti membaca pikiran saya, Ci Elsa bilang kalau onde-onde buatan warga Cina Benteng sangat enak dan punya ciri khas yang sedikit berbeda dengan yang lain. Namun, saya tidak mampir beli karena tidak ingin membuat peserta lain menunggu.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Cagar budaya makam dan Masjid Kalipasir/Nita Chaerunisa

Peradaban Islam dan Tionghoa di Sungai Cisadane

Tidak sampai terlalu dalam masuk area Pasar Lama, kami berbelok ke pemukiman warga. Bergerak ke depan rumah pembuatan salah satu kecap tertua di Tangerang dan produksi asli warga Cina Benteng. Kecap Istana, yang juga disebut kecap Benteng Tulen atau kecap Teng Giok Seng. Diperkirakan sudah diproduksi sejak 1882 dan sampai saat ini masih mempertahankan produksi dari satu rumah.

Selain Kecap Istana, ada pula kecap SH (Siong Hin) yang terkenal di Tangerang. Informasi baru bagi saya, ternyata kecap Bango produksi PT Unilever Indonesia, awalnya diproduksi oleh salah satu warga Cina Benteng di rumahnya.

Dari lokasi yang berada di sekitar perbatasan antara permukiman Islam dan peranakan Tionghoa, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Jami Kalipasir, yang merupakan salah satu bentuk kerukunan umat Islam Tangerang dan warga Cina Benteng. Berada di kawasan Pecinan, Masjid Jami Kalipasir dipengaruhi budaya Tionghoa yang tampak dari menara mirip pagoda. Masjid yang berada di pinggir jalan dan menghadap langsung ke Sungai Cisadane ini termasuk salah satu masjid tertua di Kota Tangerang dan diperkirakan sudah berdiri sejak 1576.

Masjid Jami Kalipasir sudah ditetapkan sebagai cagar budaya karena menyimpan banyak cerita peradaban Tangerang dari masa Kesultanan Banten sampai sekarang. Di halaman depan masjid terdapat sejumlah makam para tokoh dan pemuka agama Islam dari masa Kesultanan Banten.

Kemudian pemandu tur mengajak kami berpindah, hanya berjarak 300 meter sampai di Toa Pekong Air atau Prasasti Tangga Jamban yang berada tepat di pinggir Sungai Cisadane. Awalnya banyak warga yang sedang memancing ikan di tepi Toa Pekong Air. “Nanti lanjut lagi, ada turis yang mau belajar dulu,” celetukan dari salah satu pemancing.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Plang Toa Pekong Air/Nita Chaerunisa

Toa Pekong Air yang didominasi warna merah ini merupakan dermaga kecil, dan ada sebuah tempat pembakaran dupa untuk warga Cina Benteng bersembahyang. Toa Pekong Air dulunya dibangun untuk menautkan tali perahu warga dari luar wilayah ini ataupun sebaliknya. Namun, dulu juga banyak warga yang menjadikan lokasi ini untuk buang air sehingga disebut juga Tangga Jamban—karena terdapat tangga yang menghubungkan jalanan dengan Toa Pekong Air.

Sungai Cisadane sendiri sering menjadi tempat digelarnya perayaan Peh Cun atau tradisi lomba perahu naga setiap tanggal lima bulan lima penanggalan Konghucu. Toa Pekong Air menjadi salah satu lokasi utama setiap kali acara Peh Cun

Saat pemandu tur sedang bercerita di pinggir Sungai Cisadane, beberapa rombongan perahu dayung melintas. Dari tulisan di perahunya, sepertinya mereka adalah para atlet perahu dayung yang sedang latihan.

Pemandu tur juga bercerita tentang asal usul sebutan Cina Benteng. Dulu, Tangerang, terutama wilayah ini terkenal dengan sebutan ‘Benteng’, merujuk pada bangunan benteng di pinggir Sungai Cisadane yang dibangun VOC untuk berlindung dari serangan pasukan Kesultanan Banten. Namun, pendatang dari Cina di Tangerang sendiri dapat ditelisik jauh sebelum VOC datang, dari cerita rombongan anak buah Laksamana Cheng Ho. 

Mereka bermukim dan menikah dengan penduduk lokal. Hasil dari pernikahan itu menghasilkan peranakan Tionghoa yang kemudian disebut Cina Benteng—karena banyak bermukim di sekitar benteng VOC. Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya. “Hitaci atau hitam tapi Cina,” kata Ci Elsa.

Warga dan anak-anak setempat memancing di Toa Pekong Air (kiri) dan para atlet perahu dayung berlatih di Sungai Cisadane/Nita Chaerunisa

Rumah Bergaya Tionghoa Lama

Dari Sungai Cisadane kami bergerak menuju area Pasar Lama. Di perjalanan kami melewati permukiman penduduk, termasuk rumah-rumah peninggalan peranakan Tionghoa lama.  Misalnya Roemah Boeroeng, yang awalnya merupakan rumah keluarga warga biasa, lalu diubah menjadi rumah burung walet oleh pengusaha burung walet. Setelah mengalami restorasi, bangunan ini sempat digunakan untuk menyimpan barang-barang kuno dan menjadi sebuah restoran. 

Sayangnya, Roemah Boeroeng sudah ditutup untuk umum. Saat rombongan kami datang, tepat di depannya terparkir sebuah mobil sehingga kami tidak dapat melihat lebih dekat bangunan ini. Roemah Boeroeng memiliki gaya arsitektur yang unik, kontras dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Di depan Roemah Boeroeng terdapat rumah penulis buku silat terkenal Oey Kim Tiang (OKT). Semasa hidupnya OKT telah menerjemahkan lebih dari 100 buku silat, dari bahasa Hokkien menjadi Melayu Pasar.

Selain itu, kami juga melewati rumah-rumah tua yang umurnya diperkirakan sudah hampir ratusan tahun. Salah satu atap rumah ada yang bergaya Tiongkok Selatan bernama Pelana Kuda. Pada jendela rumah bagian samping terdapat ukiran keramik, bahkan pada tiang penyangga bagian depan rumah juga terdapat lukisan di atasnya. Meskipun bangunan sudah semakin tergerus, tetapi ukiran pada bangunan masih dapat dianalisis dengan jelas. 

Tampak depan Roemah Boeroeng (kiri) dan Kelenteng Boen Tek Bio/Nita Chaerunisa

Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage

Kelenteng Boen Tek Bio berada di dalam area Pasar Lama dan berbatasan dengan permukiman warga. Kelenteng ini diperkirakan berdiri tahun 1684 dan menjadi kelenteng tertua yang ada di Tangerang. Di bagian depan kelenteng ada lonceng yang diperkirakan sudah ada sejak 1835 dan sepasang ciok say atau singa batu yang diperkirakan dibuat tahun 1827.

Saat itu suasana Kelenteng Boen Tek Bio sangat ramai. Selain beribadah, umat Tridharma juga sedang mengadakan acara donor darah. Kegiatan donor darah berlangsung di salah satu ruangan yang masih termasuk dalam bagian kelenteng. Kami tidak berlama-lama di satu titik, supaya tidak menghambat lalu-lalang orang.

Pemandu tur mengajak rombongan mengelilingi altar-altar yang ada. Kami dapat melihat langsung umat Tridharma sedang beribadah. Dewi utama di Klenteng Boen Tek Bio adalah Dewi Kwan Im atau dewi welas asih, yang katanya patungnya sudah ada sejak kelenteng berdiri. Ini pengalaman pertama bagi saya masuk ke area kelenteng, melihat langsung umat Tridharma sembahyang dari satu altar ke altar lain. 

Kami juga diajak ke depan sebuah ruang tempat menyimpan tandu untuk perayaan arak-arakan Gotong Toapekong. Jadi, setiap 12 tahun sekali Kelenteng Boen Tek Bio melanggengkan tradisi yang sudah dimulai sejak 1856. Ritual Gotong Toapekong bermula saat adanya pemindahan dan pengembalian patung dewi utama saat terjadi revitalisasi Kelenteng Boen Tek Bio pada tahun 1844. 

Saat acara Gotong Toapekong pada 21 September 2024 lalu, ada tiga dewa yang diarak mengelilingi sekitar wilayah Kelenteng Boen Tek Bio dan Pasar Lama Tangerang, dewi utama Kwan Im Hud Couw, Kwan Seng Tee Kun, dan Kha Lam Ya. Selain itu juga terdapat parade lintas budaya dan lintas agama. Acara arak-arakan Gotong Toapekong bukan hanya menjadi acara tradisi yang dinantikan umat Tridharma Kelenteng Boen Tek Bio atau warga Cina Benteng, melainkan masyarakat umum di Tangerang dan bahkan sekitarnya juga selalu ikut meramaikan. Acara ini seakan menjadi wujud toleransi keberagaman yang ada di Tangerang.

Setelah dari Kelenteng Boen Tek Bio, berjalan kurang dari 100 meter kami sampai di Museum Benteng Heritage. Berbeda dari tempat lain, Museum Benteng Heritage berada tepat di tengah-tengah Pasar Lama. Di samping kiri dan kanan pintu masuk museum ramai pedagang. Bahkan pemandu tur sempat menyarankan, jika ingin mencoba kecap khas Tangerang dapat membeli di warung sembako samping museum.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Pernik hiasan di bagian depan Museum Benteng Heritage/Nita Chaerunisa

Museum Benteng Heritage merupakan hasil restorasi sebuah bangunan tua milik warga Cina Benteng yang diduga dibangun sekitar abad ke-17. Pemilik museum ini adalah orang Cina Benteng asli, Udaya Halim. Saat hendak masuk, kami disambut oleh dua patung ciok say di kiri dan kanan pintu. Serupa dengan yang ada di Kelenteng Boen Tek Bio.

Untuk menjelajahi gedung dua lantai tersebut, setiap orang akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp30.000 dan akan dipandu berkeliling selama satu jam. Katanya, di dalam museum bisa menemukan banyak peninggalan orang-orang Cina Benteng yang bisa menandai eksistensi mereka dari masa ke masa.

Namun, rombongan kami hanya melihat-lihat ruang depan museum saja. Di bagian depan terdapat beberapa lukisan yang menggambarkan kondisi Pasar Lama Tangerang tempo dulu, poster kegiatan warga, dan beberapa piagam rekor MURI. Museum Benteng Heritage menjadi lokasi terakhir dalam perjalanan tur kali ini. Para peserta berpisah setelah Ci Elsa resmi menutup walking tour yang ia pimpin hari itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/feed/ 0 45741
Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang https://telusuri.id/berpacu-dengan-adrenalin-dan-cuaca-di-via-ferrata-gunung-parang/ https://telusuri.id/berpacu-dengan-adrenalin-dan-cuaca-di-via-ferrata-gunung-parang/#respond Tue, 21 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45418 Kala lelah dengan hiruk-piruk perkotaan, saya mendaftar open trip “via ferrata” seorang diri pada pengujung 2024, lewat informasi dari media sosial. Saya dilanda rasa penasaran dengan kegiatan panjat tebing.  Via ferrata merupakan kegiatan memanjat tebing...

The post Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang appeared first on TelusuRI.

]]>
Kala lelah dengan hiruk-piruk perkotaan, saya mendaftar open trip “via ferrata” seorang diri pada pengujung 2024, lewat informasi dari media sosial. Saya dilanda rasa penasaran dengan kegiatan panjat tebing. 

Via ferrata merupakan kegiatan memanjat tebing atau gunung dengan mendaki jalur besi yang sudah ditanam membentuk tangga, ditambah kabel baja vertikal sepanjang jalur sebagai pengamannya. Salah satu lokasi via ferrata di Indonesia yang terkenal berada di Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat. Di Gunung Parang sendiri ada beberapa jalur berbeda yang dikelola oleh operator wisata. Untuk open trip kali ini menggunakan jalur dari Badega.

Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang
Pemandangan Gunung Parang dari bawah/Nita Chaerunisa

Perjalanan bersama Pemandu dan Teman Baru

Total peserta open trip ada enam orang: satu laki-laki dan lima perempuan. Hanya dua orang yang mendaftar bersama karena sudah saling kenal, sisanya—termasuk saya—reservasi sendiri. Saya dan empat peserta lain berangkat dari Jakarta, sedangkan satu orang lagi dari Bekasi. Kami dijemput dengan fasilitas mobil dari pihak operator open trip.

Sekitar pukul 07.15 WIB, setelah dua jam perjalanan, kami sarapan di Pasar Plered, Purwakarta. Dari Pasar Plered masih harus menempuh kurang lebih satu jam lagi untuk sampai di Desa Sukamulya, titik basecamp Gunung Parang jalur Badega. Selama di mobil kami saling berkenalan. Ternyata kami berasal dari latar belakang dan usia yang berbeda-beda.

Sesampainya di basecamp, kami mengganti pakaian yang lebih nyaman untuk memanjat, termasuk memakai sarung tangan dan kacamata hitam. Kami juga hanya diperbolehkan membawa backpack kecil yang dapat diisi dengan minuman, snack, dan kebutuhan pribadi lainnya.

Di basecamp, terjadi “serah terima” peserta dari tour leader kami ke pemandu via ferrata yang ada di Badega. Pemandu tersebut langsung membantu kami mengenakan peralatan keamanan untuk pemanjatan, yaitu harness (alat penopang tubuh yang terikat di pinggang sebagai pengaman) lengkap dengan karabiner (cincin kait), dan helm pelindung kepala.

Setelah semua siap, kami jalan kaki menuju lokasi awal pemanjatan. Perjalanan dihiasi dengan pepohonan di kiri dan kanan. Dimulai dengan tangga batu, lalu trek berubah menjadi jalan setapak berupa tanah berbatu dan berujung pada jembatan bambu. Sebuah lapangan luas dengan pohon-pohon dan batu besar menyambut kedatangan kami. Di salah satu pohon terdapat ayunan kecil yang pemandangannya langsung mengarah ke Waduk Jatiluhur.

Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang
Jembatan bambu menuju titik awal pemanjatan/Nita Chaerunisa

Memulai Pemanjatan

Lapangan tersebut menjadi titik awal pemanjatan. Sebelum mulai, kami berdoa bersama. Selanjutnya pemandu memberi arahan cara penggunaan alat pengaman yang sudah terpasang di badan kami masing-masing. 

Cara kerjanya dengan mengaitkan satu buah karabiner ke kabel baja dan satu buah karabiner lainnya dibiarkan di lengan. Lalu dapat melangkah menaiki setiap tangga besi. Dalam interval beberapa meter pada kabel baja vertikal akan ada paku yang menyendat karabiner, sehingga perlu dilepas dan dipasang kembali di bagian atasnya. Sebelum melepasnya, pasang satu karabiner lain di tangga besi. Jangan melepas dua karabiner sekaligus.

Kami mulai pemanjatan sekitar pukul 10 pagi. Namun, kata pemandu terlalu siang untuk melakukan pemanjatan. Biasanya pemanjatan dimulai sekitar pukul 07.00 atau 08.00, bahkan bisa lebih pagi lagi. Ada juga yang melakukan pemanjatan di sore hari.

Untuk via ferrata Gunung Parang ada dua titik ketinggian, yaitu ketinggian 300 meter dan puncak yang berada di ketinggian 900 meter. Di antara kami hanya ada setengahnya yang ingin mencapai puncak, termasuk saya. Saya penasaran dengan pemandangan dari puncak Gunung Parang.

Saya berada di urutan kedua saat pemanjatan, sedangkan yang terdepan adalah peserta pria satu-satunya dalam trip ini. Adapun pemandu kami berpindah-pindah posisi, mulai dari paling depan, tengah, atau belakang. Namun, ia lebih sering berada di belakang, membimbing salah satu peserta yang memiliki ketakutan terhadap ketinggian. Salah satu teman tersebut mengakui ingin menantang diri melawan fobia ketinggian.

Meskipun panjat tebing tergolong salah satu kegiatan yang dapat memacu adrenalin, tapi perjalanan kali ini justru menjadi rekreasi menyenangkan. Teman-teman yang seru, bahkan sejak pertama kenal tampak tidak canggung satu sama lain. Banyak topik yang kami bahas selama perjalanan. Ditambah pemandu kami yang juga bisa menambah cair suasana.

Tangga besi di jalur pemanjatan tidak selamanya vertikal, beberapa kali kami berjalan horizontal. Perpindahan dari jalur vertikal menjadi horizontal atau sebaliknya lumayan menantang dan butuh konsentrasi lebih. Terkadang pemandu sampai harus memastikan kondisi kami aman.

Selain tentang arahan, urusan dokumentasi juga menjadi yang utama. Setiap beberapa meter atau pada titik tertentu, kami berhenti untuk dipotret secara bergantian oleh pemandu. Hasil foto dan video menunjukkan kualitas pemandu kami yang sudah menguasai medan dan paham angle fotografi.

Salah satu titik foto yang berada di Gunung Parang adalah gua. Awalnya para peserta bingung dan bertanya-tanya, “Mana gua-nya?”. Sebab, kami hanya melihat cekungan yang berada di tebing. Setelah pemandu memotret kami di pinggir cekungan tersebut, hasil foto menunjukkan bahwa kami memang tampak seperti sedang berfoto di mulut gua.

Cuaca Mendadak Kurang Bersahabat

Ketika di tengah perjalanan langit mulai berubah gelap dan terdengar suara petir. Pemandu memutuskan bahwa rombongan hanya akan sampai di titik 300 m saja, lalu kembali turun. Beberapa orang yang ingin mencapai puncak harus mengurungkan niatnya.

Mungkin alasan 300 m menjadi salah satu titik ketinggian di Gunung Parang, karena terdapat kondisi landai dan tumbuh pepohonan, yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Di antara pohon dan rumput yang ada, kami dapat melihat lanskap Purwakarta dengan Waduk Jatiluhur, Gunung Bongkok, Gunung Lembu, serta lahan dan permukiman warga.

Kami saling berbagi minuman dan makanan bekal yang dibawa dari basecamp, sesekali topik obrolan terlempar dari satu orang ke yang lainnya. Tiba-tiba pemandu kami berinisiatif membuat video dance di pinggir tebing. “Biar ada dokumentasi yang berbeda”, ungkapnya meminta kami menari. Akhirnya kami sibuk menentukan gerakan dance yang tepat. Kami berdiri dan berjajar pada tangga-tangga besi horizontal. Butuh beberapa kali briefing dan take untuk mendapatkan gerakan yang kompak.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, kami mengambil dokumentasi terakhir di atas tebing. Setiap orang bergantian duduk di pinggir tebing yang bentuknya sedikit condong ke depan, lalu dipotret dari samping berjarak beberapa meter oleh pemandu. Hasilnya, orang dalam foto berbentuk siluet kecil di tengah hamparan pemandangan alam yang luar biasa.

Kami tidak berlama-lama karena langit semakin gelap. Saat mulai menuruni tangga, gerimis turun dan petir semakin menghantui langkah kami. Arahan dari pemandu, saat ada petir upayakan tidak memegang kabel baja yang melintang, karena berpotensi menghantarkan aliran listrik.

Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang
Pemandangan Waduk Jatiluhur/Nita Chaerunisa

Perjalanan Turun yang Lebih Menantang

Berbeda dengan naik, saat turun kami berupaya untuk sampai bawah secepat mungkin, tidak ada titik pemberhentian. Tergantung kecepatan setiap orang dalam menuruni tangga besi itu. Jalur yang dilalui pun berbeda, didominasi tangga vertikal dan hanya ada beberapa tangga horizontal. serta minim titik landai untuk beristirahat. Menurut saya, jalur seperti ini mempercepat proses turun.

Saat itu saya berada di urutan keempat. Peserta laki-laki tadi bergerak lebih cepat dibanding yang lain, lalu dua orang teman juga bergerak menyusul setelahnya. Saya menjaga kecepatan agak berjarak dengan mereka dan dua teman lain di belakang. Karena perbedaan jarak, kami harus berteriak untuk memastikan kondisi masing-masing. Satu peserta yang takut dengan ketinggian berada di urutan terakhir, dibimbing penuh oleh pemandu. Rasa takut ketinggian yang dimiliki sepertinya lebih terpacu saat turun, karena harus selalu melihat ke bawah untuk memastikan dapat memijak tangga dengan tepat. 

Setibanya di bawah, saya beristirahat seorang diri sejenak di bangku bambu, yang tepat berada dekat pijakan terakhir tangga besi via ferrata. Tiga teman paling depan tadi sepertinya sudah lebih dahulu bergerak ke basecamp, sedangkan dua lainnya masih berada di jalur turun.

Waktu itu kepala saya sedikit pusing, mungkin karena harus mengatur ritme langkah sambil menyeimbangkan penglihatan ke bawah, dan kesigapan tangan memindahkan karabiner ke setiap tangga. Apalagi hujan semakin lebat. Untungnya masih ada sisa air minum di tas yang bisa membantu menenangkan diri saya. Setelah merasa tenang, saya meneruskan perjalanan menuju basecamp.

Di basecamp, kami menunggu sampai semua orang berkumpul, lalu lanjut makan siang bersama. Pihak open trip sudah menyiapkan makan siang untuk para peserta. Meskipun bisa dibilang terlambat, karena waktu hampir menunjukkan pukul 15.00. Nasi hangat, ayam goreng, sayur asem, tempe, tahu, sambal, dan lalap yang dimasak ibu warung di basecamp menutup perjalanan kami di Gunung Parang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berpacu-dengan-adrenalin-dan-cuaca-di-via-ferrata-gunung-parang/feed/ 0 45418
Menyusuri Lapak Pedagang Pasar Loak Jembatan Item Jakarta https://telusuri.id/menyusuri-lapak-pedagang-pasar-loak-jembatan-item-jakarta/ https://telusuri.id/menyusuri-lapak-pedagang-pasar-loak-jembatan-item-jakarta/#respond Wed, 20 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43073 Kegiatan thrifting atau membeli barang bekas untuk digunakan kembali menjadi tren akhir-akhir ini. Kegiatan yang sudah banyak orang lakukan sejak lama, tetapi belakangan semakin ramai. Terutama di kalangan anak muda. Banyak yang berbondong-bondong mengubah lifestyle...

The post Menyusuri Lapak Pedagang Pasar Loak Jembatan Item Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Kegiatan thrifting atau membeli barang bekas untuk digunakan kembali menjadi tren akhir-akhir ini. Kegiatan yang sudah banyak orang lakukan sejak lama, tetapi belakangan semakin ramai. Terutama di kalangan anak muda. Banyak yang berbondong-bondong mengubah lifestyle dengan barang-barang bekas. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, dan sandal.

Di Jakarta sendiri ada beberapa pasar barang bekas yang masyhur, seperti Pasar Ular (Jakarta Utara), Pasar Senen (Jakarta Pusat), Taman Puring dan Kebayoran (Jakarta Selatan), Pasar Tanah Abang (Jakarta Barat), dan Pasar Jembatan Item (Jakarta Timur). Meskipun sama menjual barang bekas, tapi setiap lokasi memiliki ciri khas masing-masing. Misalnya, Pasar Senen terkenal dengan pakaian-pakaian bekas, sedangkan Pasar Jembatan Item dicari sebagian besar warga Jakarta jika ingin mencari barang loak.

Di Pasar Loak Jembatan Item, dapat ditemukan berbagai jenis barang bekas atau disebut “palugada”, apa yang lu mau, gua ada. Mulai dari sepatu, tas, cincin, jam, ponsel, kaset, kamera, patung hias, piring, gelas, dan barang-barang lama yang antik.

Sekilas tentang Pasar Loak Jembatan Item

Tepat di dekat sebuah papan nama bertuliskan “Jl. Jatinegara Timur II”, saya menunggu kedatangan satu teman. Tiang ini tampak seperti baru terpasang beberapa hari atau minggu, karena warna dan tulisannya masih belum pudar. 

Kontras dengan nama di gapura, yang berada tepat di belakangnya, berukuran lebih besar persis di pintu masuk jalan. Selain karena tertutup dengan daun dan ranting pohon yang tumbuh di sampingnya, plang nama ini juga sudah penuh karat. Hanya kata “Item” yang terlihat lebih jelas dibanding kata lainnya. Namun, jika diperhatikan dengan saksama, tertulis “Pasar Loak Jembatan Item”.

Menurut cerita yang beredar, nama “Jembatan Item” berasal dari warna jembatan yang menghubungkan Kelurahan Rawa Bunga dengan Kelurahan Bali Mester di Jatinegara, Jakarta Timur. Sebelumnya, pasar loak ini berada di kawasan Jenderal Urip—tidak jauh dari lokasi sekarang. Pasar Loak Jembatan Item sudah dikenal sejak awal tahun 2000-an sebagai tempat mencari barang bekas atau barang antik dengan harga murah. 

Minggu pagi itu saya menemani teman saya yang berniat mencari barang-barang antik. Saat kami sampai di lokasi sekitar pukul 07.30, suasana pasar sudah sangat ramai. Ada yang tampak seperti kami, baru tiba, tetapi banyak pula pengunjung yang sudah menenteng kresek-kresek hasil buruan mereka dan berjalan menuju parkiran.

Utamanya, area pasar ini terdiri dari kios-kios pedagang yang berjejer di jalan sepanjang kurang lebih dua kilometer. Setiap hari pedagang menggelar dagangan mereka dari pukul 04.00 sampai sekitar pukul 11.00. Akan tetapi, ada pula para pedagang yang membuka operasional saat malam hari. 

Selain area utama, tidak sedikit pedagang yang menggelar lapak di trotoar, depan rumah atau warung yang belum buka, dan depan masjid. Pedagang di area tersebut lebih banyak menggelar dagangan di atas meja kecil atau spanduk bekas. Terlebih saat weekend atau hari libur, pedagang yang berjualan lebih banyak karena pengunjung akan lebih ramai dari biasanya.

Menyusuri Lapak Pedagang Pasar Loak Jembatan Item Jakarta
Lapak khusus buku-buku dan majalah bekas/Nita Chaerunisa

Sebuah Tips Pengunjung Pasar Loak Jembatan Item

Karena salah satu yang kami cari adalah jam tangan, maka kami selalu berusaha berhenti sejenak di lapak penjual yang memiliki dagangan tersebut. Tujuannya untuk melihat adakah jam tangan yang menarik.

Para pedagang tidak hanya menjual satu jenis barang, tetapi juga berbagai macam jenis barang di lapak mereka. Misalnya, dalam satu lapak ada mainan, perhiasan, dan alat elektronik. Maka, pembeli harus jeli melihat jenis barang incaran. Meskipun ada pula lapak yang menjual satu jenis barang saja.

Sebagai tips, jangan langsung gegabah saat ingin membeli suatu barang. Susuri pedagang-pedagang lain terlebih dahulu untuk mengetahui pilihan model atau membandingkan harga. Untung-untung dapat barang serupa dengan harga yang lebih murah. Namun, jika tidak menemukannya, segera kembali ke lapak awal supaya tidak cepat dibeli orang. Namanya saja barang bekas, pasti limited edition dan bisa disebut beruntung jika menemukan barang yang sama jenis sampai modelnya.

Seperti teman saya, yang tertarik dengan salah satu jam tangan di sebuah lapak. Namun, karena tidak ingin tergesa-gesa, kami berkeliling mengunjungi lapak-lapak lain. Setelah merasa tidak ada yang cocok di lapak lain, kami kembali ke lapak awal dan menawar barang incaran teman saya tersebut.

Saat itu sedang ada dua anak muda yang juga hendak membeli sebuah jam tangan. Terjadi tawar-menawar dengan pedagang, begitu pun yang kami lakukan. Kami berhasil mendapatkan jam tangan incaran dengan harga Rp75.000, dari harga awal Rp125.000. Mungkin bisa mendapat harga lebih murah jika bisa menawar lebih baik.

Ketika kami bergegas pergi, datang seorang perempuan yang sepertinya juga menaksir sebuah jam tangan di lapak tersebut. Padahal lapak tersebut lebih banyak menjual koleksi mobil mainan daripada jam tangan yang diletakkan di sudut bersama dengan aksesoris tangan dan beberapa kamera analog.

Menyusuri Lapak Pedagang Pasar Loak Jembatan Item Jakarta
Koleksi arloji bekas di antara dominasi mobil mainan/Nita Chaerunisa

Sama halnya dengan saya yang membeli sebuah gantungan kunci berisi mutiara berwarna merah. Letaknya di sebuah lapak hiasan rumah, kacamata, dan gelang. Saya sempat menemukan gantungan yang serupa di lapak lain, tetapi tidak sama persis. Sependek ingatan saya, hanya ada satu gantungan kunci di lapak tersebut—yang akhirnya saya beli.

Kami juga berhasil mendapatkan cincin, mobil mainan, dan lego. Untuk mainan lego, kami mendapatkannya bukan di lapak barang-barang bekas, melainkan pedagang yang menjual banyak mainan yang masih tersimpan dalam boks. Seperti mainan baru karena masih terbungkus rapi dalam kardus. Saya tidak paham apakah ini barang baru yang tidak layak jual di toko sehingga harga lebih murah, atau barang produksi yang sudah tertimbun lama. Entahlah. Namun, menurut saya mainan lego yang kami beli masih terbilang bagus dengan harga Rp10.000.

Dapat disimpulkan lapak-lapak di Pasar Loak Jembatan Item Jatinegara memang sangat beragam. Meskipun dominan penjual barang bekas, sedangkan penjual barang antik sudah jarang ditemukan. Pengunjung di sini pun beragam dari berbagai kalangan. Ada yang memang datang sebagai pemburu barang bekas dengan harga terjangkau, kolektor barang antik atau jenis barang tertentu, pengepul barang untuk dijual kembali, atau mungkin ada juga yang datang hanya ingin melihat-lihat.

Lokasi Pasar Loak Jembatan Item terbilang strategis. Berada di wilayah Jatinegara, pengunjung dapat memilih berbagai moda transportasi ke sini. Jika naik KRL Commuter Line, pengunjung turun di Stasiun Jatinegara, lalu berjalan sejauh satu kilometer. Jika naik Transjakarta, dapat turun di beberapa halte terdekat, seperti halte RS Premier Jatinegara dan Jatinegara Timur. Bisa juga dengan angkutan umum dan turun di Terminal Kampung Melayu. Bagi pengunjung yang ingin membawa kendaraan pribadi, sangat disarankan membawa motor saja karena parkir lebih mudah di sekitar pasar.

Pengunjung tidak perlu khawatir jika merasa haus atau lapar, karena banyak penjual makanan dan minuman di setiap sudut pasar. Seperti es selendang mayang yang sempat kami beli. Es selendang mayang merupakan salah satu minuman khas Betawi. Penjual es selendang mayang yang kami beli tepat berada di tengah pasar, di antara lapak para pedagang barang bekas.

Menyusuri Lapak Pedagang Pasar Loak Jembatan Item Jakarta
Lapak barang bekas yang menempati trotoar pejalan kaki/Nita Chaerunisa

Perlu Peran Pemerintah

Keberadaan Pasar Loak Jembatan Item sebenarnya sangat bagus sebagai salah satu cara menjaga lingkungan. Barang yang sebelumnya dianggap sudah tidak berguna, berubah di tangan orang lain yang menganggap barang tersebut masih memiliki nilai. Jadi, barang tersebut tidak terbuang sia-sia dan bisa saja merusak lingkungan. 

Meskipun secara ruang dan interaksi yang terbangun tampak seperti pasar informal, tetapi menurut saya pemerintah setempat harus memiliki andil. Kehidupan pasar sering kali mengganggu akses jalan utama maupun trotoar jalan. Bahkan bagi pengunjung seperti kami saja kurang nyaman dalam berbelanja, apalagi masyarakat umum yang tengah melintas area pasar. 

Pasar Loak Jembatan Item sudah ada sejak lama dan kini semakin berkembang. Alangkah baiknya pemerintah bertindak konkret agar pasar ini tertata, tetapi tetap mempertahankan ciri khasnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Lapak Pedagang Pasar Loak Jembatan Item Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-lapak-pedagang-pasar-loak-jembatan-item-jakarta/feed/ 0 43073
Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2) https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-curug-leuwi-asih-2/ https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-curug-leuwi-asih-2/#respond Thu, 22 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41210 Perjalanan dilanjutkan menuju Curug Leuwi Asih. Salah satu trek yang kami lalui ternyata juga merupakan jalur motor trail, sehingga sering kali kami harus menepi ketika ada rombongan motor trail lewat. Tiba-tiba ada celetukan terdengar di...

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan dilanjutkan menuju Curug Leuwi Asih. Salah satu trek yang kami lalui ternyata juga merupakan jalur motor trail, sehingga sering kali kami harus menepi ketika ada rombongan motor trail lewat.

Tiba-tiba ada celetukan terdengar di antara rombongan, “Saya mau ikut nebeng motor trail saja!”. Saking sudah lelahnya menghadapi jalur menanjak. Namun, tentunya ditanggapi dengan tawa oleh orang-orang lainnya.

Saat masih di area perbukitan terbuka langit semakin gelap. Para pemandu mulai mengeluarkan jas hujan dari tas mereka untuk dibagikan kepada peserta. Ya, salah satu benefit yang peserta dapat dari open trip ini adalah jas hujan yang disediakan oleh pemilik jasa.

Benar saja, tidak lama setelah itu air mulai turun dari langit. Jas hujan yang sudah dibagikan mulai kami pakai. Waktu itu beberapa di antara kami ragu untuk memakai jas hujan—termasuk saya—karena tetes air yang belum cukup deras. Namun, begitu makin deras akhirnya jas hujan dikenakan oleh semua peserta. Trekking pole akan menjadi semakin berguna untuk membantu menjaga keseimbangan tubuh saat menapaki jalan menanjak dan menurun.

Untungnya hujan berhenti saat kami memasuki kawasan yang didominasi kawasan perkebunan. Di area ini kami bertemu para petani singkong yang sedang memetik, mengupas, dan membawa hasil panen mereka ke dalam karung-karung. Tak jarang kami harus bergantian menggunakan jalan setapak dengan para pekerja kebun. 

Setelah melewati lahan singkong, kami menyusuri perkebunan sereh. Area ini letaknya lebih tinggi dari kebun singkong. Perpaduan antara bau tanah yang habis tersiram hujan dengan aroma yang khas dari daun sereh menciptakan suasana rileks dan menenangkan ketika melewati kawasan ini.

Rehat Sejenak di Warung Sebelum Melanjutkan Perjalanan

Saat sedang asyik berjalan sambil menikmati pemandangan dari lahan sereh, tiba-tiba terdengar suara kambing bersahutan. Ternyata kami sudah mulai memasuki wilayah permukiman penduduk. Melihat ada pendopo dan beberapa kursi kayu, rombongan memutuskan beristirahat sebelum ke Curug Leuwi Asih.

Dari sini pun sudah terdengar gemericik air. Tidak butuh berjalan jauh kami sudah menemukan aliran sungai dengan banyak batu besar. Kami makin berjalan ke arah hulu dengan menyusuri jalan setapak yang berada di samping alirannya. Tentunya jalur yang ditempuh pun lebih licin karena lebih dekat dengan aliran air. Di sepanjang jalur ini kami akan melewati gazebo di sebelah kiri dan aliran sungai di sebelah kanan.

Setelah menyeberang melalui jembatan kayu dan menyusuri puluhan anak tangga, tibalah kami di tujuan terakhir perjalanan sekitar pukul 13.00. Rombongan duduk dan berkumpul di salah satu gazebo dekat warung. Memang di lokasi ini banyak berdiri warung dengan gazebo untuk para pengunjung beristirahat. Pengunjung tinggal pilih, mau di gazebo yang terletak di pinggir aliran air atau di dekat anak tangga yang menuju air terjun Leuwi Asih.

Sebagian peserta open trip langsung menuju lokasi curug berada, sementara lainnya memilih untuk memesan makan terlebih dahulu. Saya bergabung dengan kelompok yang kedua. Teman saya yang dari awal berjalan bersama juga memiliki pilihan yang sama seperti saya.

Sebelum bermain air, rasanya saya harus mengisi tenaga terlebih dahulu, terlebih baru usai menempuh perjalanan trekking selama beberapa jam. Hanya beberapa saat saja saya perlukan untuk menghabiskan pesanan saya berupa semangkuk mi instan dengan satu telur ceplok dan irisan cabai.

Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2)
Aliran air di Curug Leuwi Asih/Nita Chaerunisa

Bermain Air di Curug Leuwi Asih

Dari deretan warung, kami hanya perlu berjalan beberapa meter saja untuk sampai ke air terjun atau lokasi persis Curug Leuwi Asih. Tempat wisata ini dikelola dengan baik, terlihat dari pagar besi yang dibuat sepanjang jalan menuju curug dan jalur yang sudah disusun dengan batuan kecil di atas tanah. Tujuannya supaya pengunjung tidak mudah terpeleset saat berjalan di atasnya.

Curug Leuwi Asih bukan termasuk tipe air terjun yang mengalir tinggi dari tebing. Menurut salah satu orang yang saya temui di curug, air terjun ini berasal dari aliran sungai yang memecah bebatuan besar. Air yang turun dari curug bergabung bersama aliran sungai dari atas, lalu mengalir di antara batu-batuan. Saya juga tidak mengetahui hulu dari aliran sungai tersebut.

Tepat di dekat air terjun, terdapat dua batu besar di tengah aliran yang mengalir ke bawah. Di samping kanan dan kiri aliran juga terdapat batu besar. Banyak pengunjung yang biasa menjadikan batu-batu tersebut sebagai titik untuk melompat ke air. Bagi pengunjung yang tidak berani melompat dari ketinggian, juga bisa sekadar berfoto di sni.

Karena malas membawa pakaian basah saat pulang nanti, alhasil saya hanya asyik berfoto di antara batu-batuan saja. Lagipula saat itu Curug Leuwi Asih sedang ramai pengunjung, sehingga kami harus bergantian bermain di beberapa titik yang dianggap menarik oleh pengunjung. Namun, untuk pengunjung yang ingin bermain air, sudah tersedia banyak toilet yang letaknya cukup dekat.

Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2)
Spot melompat dari atas batuan di Curug Leuwi Asih/Nita Chaerunisa

Kembali ke Lapangan Leuwi Asih

Waktu menunjukkan hampir pukul 15.00. Sudah nyaris enam jam kami trekking dan bermain air. Rombongan open trip segera bergerak pulang menuju Lapangan Leuwi Asih melewati pemukiman penduduk sejauh kurang lebih satu kilometer. Karena berada di permukiman penduduk, jalur yang dilalui tidak sulit seperti sebelumnya. Kami melewati rumah penduduk dan warung-warung milik mereka, serta kandang hewan ternak.

Saya baru mengetahui ternyata jarak antara Curug Leuwi Asih dan Lapangan Leuwi Asih tidak jauh. Mungkin bagi pencinta alam yang hanya sekadar ingin bermain air dan tidak ingin repot berjalan jauh, Curug Leuwi Asih bisa masuk daftar kunjungan. Perjalanan bisa dimulai dari Lapangan Leuwi Asih yang lokasinya juga tidak jauh dari jalan kampung. 

Setelah sampai di Lapangan Leuwi Asih, peserta open trip langsung diantar pulang kembali menuju meeting point. Jalur yang dilalui sama seperti perjalanan berangkat. Rasa lelah atas perjalanan seharian dan embusan angin sepoi-sepoi sore itu membuat beberapa peserta terlelap di atas mobil pick up yang mengantar kami. Dari titik kumpul, saya dan beberapa peserta yang menggunakan fasilitas antar jemput diantar kembali menuju Stasiun Bogor.

Pengalaman melakukan perjalanan trekking dengan menggunakan jasa usaha open trip ternyata jadi salah satu pilihan berwisata yang menarik. Selain bisa menambah teman, dengan bantuan pemandu, para pencinta alam tidak perlu takut tersesat saat memilih jalur menuju destinasi tertentu. Selain itu tentunya para pemandu juga bisa membantu mendokumentasikan perjalanan, sehingga kami tidak perlu takut kehilangan momen saat berada di jalur trekking.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Curug Leuwi Asih (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-curug-leuwi-asih-2/feed/ 0 41210
Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1) https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-gua-garunggang-1/ https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-gua-garunggang-1/#respond Wed, 21 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41201 Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit, Sentul menjadi alternatif wisata bagi banyak orang yang tinggal di wilayah sekitarnya. Salah satu aktivitas wisata yang dapat dilakukan di Sentul adalah trekking. Banyak sekali rute trekking...

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit, Sentul menjadi alternatif wisata bagi banyak orang yang tinggal di wilayah sekitarnya. Salah satu aktivitas wisata yang dapat dilakukan di Sentul adalah trekking. Banyak sekali rute trekking di kawasan perdesaan yang berada di Kabupaten Bogor tersebut, khususnya rute untuk menuju destinasi tertentu seperti rute ke gunung, bukit, curug, gua atau tujuan wisata lainnya. 

Ternyata kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh warga lokal. Banyak dari mereka yang membuka usaha open trip dengan menjadi pemandu (guide). Mereka juga menyediakan trekking pole dan beragam fasilitas lain. Open trip ini sangat membantu bagi yang belum terbiasa melakukan trekking, atau ingin trekking tetapi tidak memiliki teman, seperti saya dan satu teman saya.

Dari sekian banyak informasi open trip dengan berbagai rute trekking yang ada di media sosial, saya dan teman memilih rute Gua Garunggang—Curug Leuwi Asih. Pemilik open trip berhasil menjalankan teknik marketing-nya, karena membuat kami berdua penasaran dengan rute yang mereka sebut memiliki jalur yang santai dan tidak membosankan. Selain itu dengan fasilitas penjemputan dari Stasiun Bogor juga memudahkan kami berangkat dari Jakarta menggunakan KRL Commuter Line. Kami bersama beberapa peserta lainnya yang juga menggunakan fasilitas ini dijemput dari Stasiun Bogor menuju meeting point (titik kumpul).

Sentul Nirwana Jungleland ditunjuk sebagai tempat kumpul bagi 23 peserta open trip yang datang dari berbagai wilayah di sekitar Sentul. Dengan menaiki mobil pick up, peserta menuju lapangan Leuwi Asih yang merupakan lokasi awal trekking sekaligus tempat parkir kendaraan. Perjalanan menuju Lapangan Leuwi Asih hanya membutuhkan waktu 15 menit.Di Lapangan Leuwi Asih kami melakukan briefing, stretching exercises untuk meregangkan otot-otot, dan berdoa demi kelancaran perjalanan. Di lapangan ini juga kami melihat beberapa rombongan lain. Ada yang baru berkumpul dan ada pula yang sudah bersiap jalan lebih dahulu.

Memulai Trekking Menyusuri Sawah dan Hutan

Sekitar pukul 09.00 WIB, dengan dipandu oleh tujuh pemandu, peserta mulai menuruni jalan dari lapangan Leuwi Asih, lalu menyeberangi sungai melalui jembatan bambu menuju area persawahan. Katanya, ada banyak rute jalur yang dapat dipilih oleh para pencinta alam yang ingin melakukan trekking ke Gua Garunggang dan Curug Leuwi Asih. Baik untuk yang pergi dalam jumlah anggota kecil maupun rombongan besar seperti kami. Tinggal pilih saja mau lewat jalur yang mudah dan cepat atau yang banyak rintangan.

Perjalanan trekking waktu itu bertepatan dengan mulai masuknya musim hujan, sehingga jalur menjadi lebih becek dan licin. Matahari pun tidak berhasil menampakkan diri sepenuhnya untuk menemani perjalanan kami. Meskipun begitu, kami tetap dapat memotret lanskap alam yang memanjakan mata. Seperti pemandangan di awal perjalanan yang berupa persawahan yang indah, bukit dan aliran sungai yang penuh batu-batu besar.

Sebelum memasuki area hutan—yang merupakan trek setelah persawahan—rombongan beristirahat sejenak di dekat area camping. Beberapa orang sibuk jajan di warung yang berada di samping area camping ground Hutan Hujan Sentul. Sementara sebagian lainnya sibuk berswafoto dengan background lapangan luas dan beberapa tenda yang belum terisi orang. Sepertinya untuk camping di sini tidak perlu repot membawa tenda karena sudah disediakan oleh pengelola.

Dari sini saya merasa trekking yang sebenarnya baru dimulai. Rombongan menyusuri rimbunnya pepohonan hutan yang berdiri rapat dan menjulang tinggi, juga menapaki jalur yang semakin lembap. Suara burung pun beberapa kali terdengar saling bersahutan di antara gesekan daun yang terembus angin.

Sampai akhirnya trek berubah menjadi vegetasi yang lebih terbuka dengan pemandangan bukit-bukit dengan hiasan aneka tanaman. Tekstur jalan pun berubah menjadi lebih kering, mungkin karena akses sinar matahari lebih bisa langsung menyentuh tanah atau jenis tanahnya yang juga berbeda. Saya kurang tahu pasti penjelasan detailnya

Menikmati Batuan di Gua Garunggang

Sekitar pukul 10.35 rombongan sampai di destinasi pertama, yaitu Gua Garunggang. Destinasi wisata ini berupa kawasan luas yang terdiri dari tumpukan batuan alami bergaris-garis dengan warna gradasi yang didominasi warna cokelat. Beberapa batuan ini menjulang melebihi tinggi manusia. Di antara batuan tumbuh pohon bahkan akarnya ada yang menutupi sebagian batu. Hamparan batu-batu tersusun seperti membentuk labirin yang harus dilewati dengan jalan berliku.

Lokasi Gua Garunggang tepat berada di salah satu batu-batuan paling atas. Sembari menunggu bergantian dengan rombongan lain yang sedang masuk ke dalamnya, pemandu kami memberikan kebebasan kepada peserta untuk berkeliling gua. Beberapa orang sibuk mengabadikan momen di antara batu-batuan yang menjulang, ada pula yang hanya duduk di warung. Di sekitar kawasan ini memang terdapat warung yang menjual makanan dan minuman.

Saya pun tidak mau ketinggalan momentum. Saya mengabadikan foto di beberapa titik. Namun, saya tidak terlalu jauh berkeliling di kawasan ini, karena sibuk mengamati tekstur batu-batuan yang membuat saya kagum.

Bagaimana caranya batu-batuan ini terbentuk? Dengan warnanya yang cokelat kehitaman, apakah batu-batuan ini berasal dari tanah yang tergerus air secara terus menerus sehingga warnanya menjadi seperti itu? Lalu kemudian berubah jadi lebih pekat apakah karena faktor udara atau karena banyak akar pohon yang melingkar di batu-batuan ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar di otak saya.

Untuk masuk ke dalam Gua Garunggang yang berada di bawah tanah, kami harus menuruni tangga sejauh kurang lebih 100 meter. Mengingat kondisi gua yang dalam dan gelap, para pemandu menyarankan bagi peserta yang memiliki riwayat penyakit khusus atau trauma tertentu diimbau untuk tidak memaksa masuk ke gua.

Untungnya saya memiliki kesempatan untuk masuk ke gua, yang ternyata hanya bisa berisi maksimal 15 orang di dalamnya. Jadi, rombongan harus dipecah menjadi dua kloter untuk masuk dengan bantuan pemandu dan tim pengelola Gua Garunggang. Sepertinya Gua Garunggang memang dikelola oleh warga setempat. Terlihat ada beberapa warga lokal yang berjaga di kawasan ini.

Meskipun jalur masuknya sempit, tetapi kondisi di dalam gua cukup luas. Kami dapat menikmati gua dengan berjalan sejauh kurang lebih 50 meter saja. Namun, tetap harus berhati-hati saat berjalan di dalam gua. Terdapat aliran air di lantai gua sehingga jalan menjadi licin.

Kondisi di dalam gelap, ditambah cuaca di luar yang sedang mendung. Bahkan pencahayaan dari senter yang dibawa oleh pemandu pun rasanya kurang mencukupi kebutuhan cahaya saat susur gua. Saya sedikit kecewa karena tidak dapat melihat dengan jelas langit-langit gua dan kelelawar yang katanya masih banyak hinggap di sana. Saya hanya melihat samar-samar saja.

Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1)
Gapura wisata Geopark Gua Garunggung/Nita Chaerunisa

Melanjutkan Perjalanan ke Destinasi Berikutnya

Setelah semua kloter bergiliran masuk gua, sekitar pukul 11.30 rombongan melanjutkan perjalanan menuju Curug Leuwi Asih. Kali ini kita menyusuri perbukitan dengan jalur yang banyak menanjak. Untungnya tingkat kemiringan jalur tidak terlalu ekstrem sehingga aman dilewati, bahkan bagi orang yang belum terbiasa trekking, seperti beberapa orang di rombongan kami.

Setelah kurang lebih 45 menit berjalan di perbukitan, kami melewati papan kayu bertuliskan “Selamat Datang di Geopark Goa Garunggang”, tetapi dari sisi belakang. Ternyata menurut keterangan pemandu, rombongan kami menggunakan rute yang berlawanan dari rute utama. Memang banyak pilihan rute jalur yang dapat dipilih.

Di antara jalur bukit yang kami lalui, lokasi ini yang memiliki pemandangan paling indah. Kami dapat melihat deretan perbukitan lainnya di seberang lokasi kami berdiri. Di bawahnya juga banyak tumbuh tanaman. Sejauh mata memandang dominasi warna hijau tumbuhan sangat menyegarkan mata. Mungkin jika hari itu cuaca lebih bersahabat, maka hamparan hijaunya tumbuhan-tumbuhan itu akan lebih jelas terlihat tanpa kabut yang menutupi.

Rasanya ingin berlama-lama di sini, karena udaranya juga sangat mendukung untuk berdiam diri. Namun, kami harus tetap melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Trekking Sentul: Perjalanan ke Gua Garunggang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/trekking-sentul-perjalanan-ke-gua-garunggang-1/feed/ 0 41201
Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil https://telusuri.id/perjalanan-singkat-di-pulau-merak-kecil-banten/ https://telusuri.id/perjalanan-singkat-di-pulau-merak-kecil-banten/#respond Tue, 23 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41003 Ide perjalanan kami bermula dari sejumlah video Pulau Merak Kecil yang sering muncul di beranda media sosial kami. Video-video tersebut menayangkan warna air laut menyegarkan mata ditambah dengan pemandangan di sekitarnya yang beraneka macam. Saya...

The post Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil appeared first on TelusuRI.

]]>
Ide perjalanan kami bermula dari sejumlah video Pulau Merak Kecil yang sering muncul di beranda media sosial kami. Video-video tersebut menayangkan warna air laut menyegarkan mata ditambah dengan pemandangan di sekitarnya yang beraneka macam. Saya dan seorang teman saya saling berkirim video itu, sebelum akhirnya kami mendapatkan tanggal yang cocok untuk pergi ke lokasi yang sudah lama viral di media sosial. 

Menurut informasi yang beredar di dalam video tersebut, setelah menempuh perjalanan KRL Jabodetabek dan dilanjutkan kereta api lokal tujuan Stasiun Merak, kami bisa menaiki angkutan umum untuk sampai tujuan. Dari Stasiun Merak kami berjalan hingga bertemu jalan raya untuk kemudian naik angkutan umum (sejenis angkot) berwarna merah. 

Saya tidak tahu pasti kode dan trayek angkotnya. Kami hanya mengikuti arahan dari video untuk bertanya langsung ke sopir angkot. Sebelum naik angkot, kami menyempatkan mampir ke minimarket untuk membeli bekal camilan sebagai “teman” menghabiskan waktu selama perjalanan.

Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil
Perjalanan dengan angkot dari Stasiun Merak ke lokasi dermaga menuju Pulau Merak Kecil/Nita Chaerunisa

Menuju Pulau Merak Kecil

“Pak, mau ke Pulau Merak Kecil bisa?” tanya kami ke seorang sopir angkot berwarna merah. Kami hentikan lajunya dengan ayunan tangan dari pinggir jalan.

Setelah sopir mengiyakan, kami mulai masuk angkot. Saat itu di dalam angkot tidak ada penumpang lain. Rasanya seperti menyewa satu angkot hanya untuk kami berdua.

Saya cukup terkejut, karena saya kira akan menempuh perjalanan lama untuk tiba ke lokasi. Namun, belum sampai 15 menit angkot berjalan, sang sopir menginjak rem dan memberitahu bahwa kami sudah sampai. Angkot yang kami naiki berhenti tepat di depan sebuah gapura masuk menuju dermaga penyeberangan ke Pulau Merak Kecil, Mekarsari, Kota Cilegon. Tidak jauh dari Pelabuhan Merak, Banten, yang menghubungkan ujung barat Pulau Jawa dengan Lampung, Sumatra.

Dari gapura terlihat ramainya pengunjung dan kendaraan yang sedang pakir. Meskipun begitu saya tetap dapat melihat laut yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari gapura. Terdapat beberapa perahu yang sedang berlabuh di tepiannya. Sepertinya tanpa harus menyeberang ke Pulau Merak Kecil, area pesisir Pantai Mabak di dekat gapura juga sudah dapat menjadi destinasi wisata karena banyak pengunjung yang asyik berkumpul di sini. 

Kami segera ke loket untuk membeli tiket penyeberangan ke Pulau Merak Kecil. Tarifnya sebesar Rp15.000 untuk sekali perjalanan pergi dan pulang. Usai mendapat tiket, kami langsung diarahkan di atas dermaga untuk mengantre giliran naik perahu.

Dalam satu perahu kecil—kira-kira seukuran perahu yang biasa digunakan nelayan—bisa memuat sekitar 6—10 orang. Jarak tempuh dari dermaga ke Pulau Merak Kecil hanya kurang dari lima menit saja. Dari tempat kami saja sudah terlihat pulau yang akan dikunjungi. Saya setuju dengan video yang beredar di media sosial, bahwa lokasi wisata ini benar-benar mudah dijangkau.

Menikmati Suasana Pulau di atas Selembar Tikar Sewaan

Waktu menunjukkan sekitar pukul 12.35 WIB setibanya kami di Pulau Merak Kecil. Saya juga membayar dua ribu rupiah untuk biaya kebersihan pulau kepada petugas yang berada di dermaga. Hal pertama yang saya dan kawan saya lakukan adalah bergegas mencari musala untuk salat Zuhur. 

Namun, ternyata ketersediaan air untuk wudu sedang menipis. Menurut keterangan petugas, air untuk wudu sedang diproses supaya bisa mengalir deras lagi. Akhirnya kami dan beberapa pengunjung lain memutuskan menggunakan sisa air yang tersedia, meski alirannya sangat kecil. 

Usai beribadah, tampak beberapa pengunjung tidak langsung beranjak pergi. Mereka  menggunakan musala di Pulau Merak Kecil untuk berteduh dari teriknya sinar matahari. Berbeda dengan kami, yang langsung mencari warung untuk memesan mi instan. Kami menikmati makanan yang kami pesan sambil duduk di pinggir pantai, di atas tikar yang kami sewa. Di sini memang banyak disediakan penyewaan tikar untuk pengunjung. Kami dapat memilih lokasi duduk sendiri.

Untuk warung-warung makanan dan minuman berada dalam satu area yang berdekatan. Makanan dan minuman yang dijual pun hampir semuanya serupa, seperti olahan mi instan, aneka nasi, makanan ringan, minuman kemasan, dan kelapa segar. Mungkin yang berbeda hanya ketersediaan stok. Jadi, pengunjung tinggal memilih warung mana yang bisa mengabulkan pesanannya. Adapun harga yang ditawarkan masih relatif normal seperti di tempat wisata pada umumnya. 

Makanan dan minuman yang dipesan juga bisa diantarkan langsung ke lokasi pengunjung duduk bersantai. Saat memesan di warung, pembeli langsung saja memberitahu kepada penjual tempat dia duduk, lalu tinggal menunggu pesanannya diantar. 

Bisa juga seperti kami, yang mengkonfirmasi dengan menelepon penjual karena saat memesan kami belum menemukan tempat yang pas untuk duduk. Meskipun luas pulau mungkin kurang lebih empat hektare, tetapi tidak sulit bagi para penjual untuk menemukan lokasi duduk para pembelinya. Tempat bersantai mayoritas pengunjung berada di tepian pantai.

Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil
Banana boat dan feri yang berada di sekitar Pulau Merak Kecil/Nita Chaerunisa

Kami memilih menggelar tikar tidak jauh dari dermaga dan warung makan. Tepat berada di bawah rimbunan pohon. Dari atas tikar yang kami duduki, kami dapat menikmati suara deburan ombak kecil, melihat putihnya pasir putih, pemandangan bukit dan cerobong-cerobong asap industri di kejauhan.

Kami juga menyaksikan perahu-perahu kecil hilir mudik, tidak terkecuali feri dan kapal-kapal besar lainnya. Sesekali terdengar suara petugas memberikan informasi keamanan, menawarkan pengunjung keliling pulau dengan kapal hingga permainan air banana boat. Riuh dan lalu-lalang pengunjung menandakan kunjungan wisata hari itu lumayan ramai. Jelas saja, saat itu hari Minggu, waktu yang pas untuk berwisata.

Saya dan teman saya memutuskan tidak banyak berkegiatan di pulau. Kami hanya duduk santai menghabiskan waktu singkat yang kami miliki sembari menikmati camilan yang sudah kami beli sebelumnya di minimarket dekat stasiun dan camilan yang baru kami beli di pulau. Ketika ada penjual rujak tumbuk lewat di depan kami, saya pun membelinya. Rujak tumbuk yang pedas dan segar dimakan di tengah teriknya sinar matahari Pulau Merak Kecil, sungguh nikmat rasanya. 

Sekitar pukul 14.45 kami bangkit dari duduk untuk mengambil foto dan mengabadikan momen di sekitar pulau. Saat kami sedang memotret, beberapa kali kami diganggu oleh anak-anak kecil yang sedang main air di pinggir pantai. Mereka tampak iseng, tetapi tingkahnya lucu. Kami bukannya marah, melainkan polah anak-anak tersebut menjadi hiburan bagi kami. 

Memang pada saat itu mayoritas pengunjung yang bermain air laut adalah anak kecil dan beberapa orang dewasa yang menemani. Sisanya merupakan pengunjung yang hanya sibuk berswafoto. Mungkin karena cuaca masih cukup panas, lebih banyak pengunjung yang duduk di pinggiran pantai daripada bermain air. Rimbunnya pepohonan menjadi situasi yang pas bagi pengunjung. Menikmati pantai di siang hari sambil makan, bermain alat musik, atau sekadar bercengkerama bersama.

Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil
Bendera merah putih di dermaga Pulau Merak Kecil/Nita Chaerunisa

Saatnya Pulang

Setelah dirasa cukup dengan foto-foto yang dapat diabadikan, kami langsung bergerak menuju dermaga Pulau Merak Kecil untuk pulang. Di atas dermaga yang terbuat dari kayu, dengan beberapa hiasan bendera merah putih di sekelilingnya, kami menunggu perahu yang akan menjemput kami kembali ke Mabak. Dermaga Pulau Merak Kecil tidak terlalu besar. Hanya bisa menampung beberapa orang di atasnya. Jadi, pengunjung harus bergantian dan tertib antre supaya bisa naik ke perahu.

Perahu yang mengantar kami untuk kembali ke Mekarsari sama seperti saat berangkat. Begitu pun jalur pulang, melewati perahu-perahu nelayan yang sedang bersandar. Kami juga melihat beberapa pengunjung yang sedang asyik naik banana boat. Sejumlah kapal feri yang berlayar melaju tak jauh dari perahu kami.

Sesampainya di dermaga Pantai Mabak, kami langsung mencari angkot yang bisa mengantar kami kembali ke Stasiun Merak. Untung saja kami memperhitungkan waktu dengan baik.

Ketika tiba di Stasiun Merak, kami salat Asar terlebih dahulu baru masuk stasiun. Waktunya pas sekali dengan suara pemberitahuan dari petugas bahwa kereta lokal yang tersedia sudah bersiap untuk berangkat. Kami pun langsung naik dan mencari kursi untuk duduk. Meskipun perjalanan kami di Pulau Merak Kecil cukup singkat, tetapi bagi saya mampu menghilangkan sejenak rasa penat dari hiruk piruk Kota Jakarta. 

Bagi warga Jakarta dan sekitarnya yang ingin pergi ke Pulau Merak Kecil dengan kereta api, saya sarankan berangkat menggunakan jadwal kereta paling pagi dan pulang dengan kereta terakhir. Tujuannya agar bisa lebih lama menghabiskan waktu di Pulau Merak Kecil. Jika tidak ingin merasa lelah setelah berwisata, pengunjung bisa mencari penginapan di sekitar Merak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Singkat di Pulau Merak Kecil appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-singkat-di-pulau-merak-kecil-banten/feed/ 0 41003
Jakarta – Merak: Perjalanan antar Commuter Line https://telusuri.id/jakarta-merak-perjalanan-antar-commuter-line/ https://telusuri.id/jakarta-merak-perjalanan-antar-commuter-line/#respond Mon, 20 Nov 2023 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40066 Sekitar pukul enam pagi saya sudah berada di salah satu stasiun kereta Commuter Line di Jakarta Timur. Pagi itu saya dan satu teman saya berencana pergi ke salah satu destinasi wisata di daerah Merak, Banten....

The post Jakarta – Merak: Perjalanan antar Commuter Line appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar pukul enam pagi saya sudah berada di salah satu stasiun kereta Commuter Line di Jakarta Timur. Pagi itu saya dan satu teman saya berencana pergi ke salah satu destinasi wisata di daerah Merak, Banten. Dari Jakarta Timur, kami naik kereta KRL (Commuter Line) menuju Stasiun Tanah Abang. Entah apa yang dilakukan warga Jakarta di Minggu pagi, karena pagi itu kursi kereta sudah terisi penuh, sehingga memaksa beberapa orang untuk berdiri di lorong gerbong kereta, termasuk saya dan teman saya.

Antrian pintu keluar ruang tunggu kereta
Antrian pintu keluar ruang tunggu kereta/Nita Chaerunisa

Sesampainya di Stasiun Tanah Abang, dari peron jalur 2 kami langsung menuju peron jalur 5 & 6 untuk menyambung kereta Commuter Line tujuan Stasiun Rangkasbitung. Karena menurut arahan petugas, kereta arah Stasiun Rangkasbitung akan berada di antara jalur 5 & 6. Saat kami baru turun eskalator stasiun, di peron jalur 6 datang kereta tujuan Stasiun Serpong dan tidak lama berselang di peron jalur 5 datang kereta tujuan Stasiun Rangkasbitung. Kedua kereta tersebut memiliki jalur perjalanan yang sama, hanya saja yang satu hanya sampai di Stasiun Serpong. 

Saya dan teman saya langsung menaiki kereta rute tujuan akhir Stasiun Rangkasbitung. Situasi di dalam kereta terbilang sepi, hanya ada segelintir orang di dalamnya. Kami memilih duduk di gerbong dengan kursi-kursi yang tidak terlalu ramai penumpang, sehingga kami bisa rileks dengan menyandarkan punggung di kursi kereta. 

Waktu hampir menunjukkan pukul 07.00 pagi, kereta menuju Stasiun Rangkasbitung berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Total waktu yang ditempuh dari stasiun Tanah Abang ke Stasiun Rangkasbitung adalah hampir 2 jam perjalanan dengan melewati 17 stasiun. Dari mulai penumpang kereta masih sepi, kemudian kursi-kursi mulai penuh, bahkan ada beberapa penumpang yang harus berdiri karena tidak mendapat kursi, hingga saat memasuki beberapa stasiun terakhir kondisi penumpang mendadak sepi kembali. Begitu pula dengan pemandangan yang terlihat dari balik jendela sepanjang perjalanan lintas kota ini—Jakarta ke Tangerang—mulai dari gedung dan perkantoran, kemudian beralih pemandangan rumah-rumah warga sampai pemandangan kebun dan sawah. 

Transit di Rangkasbitung

Sekitar pukul 08.45 kami tiba di Stasiun Rangkasbitung. Masih ada waktu kurang lebih 1 jam sebelum kereta Commuter Line Merak berangkat, jadi kami masih punya waktu untuk sarapan. Kami langsung bergegas menuju minimarket untuk membeli makanan yang dapat mengganjal rasa lapar sedari berangkat. Saat ingin masuk minimarket, terlihat ruang tunggu kereta Commuter Line tujuan Merak sudah lumayan ramai. 

Untuk menuju ruang tunggu kereta Commuter Line Merak kami harus check out terlebih dahulu dari Commuter Line Jabodetabek. Situasi di ruang tunggu kereta tampak lumayan sesak, kursi-kursi tunggu semua terisi, ada penumpang yang akhirnya memilih duduk di lantai, ada pula yang berdiri di sekitarnya, dan pun cuaca semakin panas. 

Karena masih ingin sarapan, jadi kami memutuskan untuk duduk dan menunggu kereta di luar area ruang tunggu. Di sini pun terbilang cukup ramai, mungkin di antara mereka ada yang memang bernasib sama seperti kami, ada pula mereka yang sedang mengantar teman atau saudaranya ke stasiun, dan ada pula yang sibuk mengantri tiket di loket.

Tidak lama berselang, petugas tiket menginformasikan melalui pengeras suara bahwa tiket kereta tujuan Stasiun Merak dengan pemberangkatan pukul 09.55—yaitu kereta kami—sudah habis, pemberangkatan selanjutnya baru ada pada pukul 13.50. Tak jadi masalah, karena kami sudah membeli tiket online sehari sebelum keberangkatan.

Tampak ada beberapa penumpang yang kecewa setelah mendengar informasi dari petugas. Di dekat kami ada beberapa ibu yang sibuk mondar-mandir sambil menelpon, sepertinya menelpon keluarganya. Terdengar bahwa mereka mencoba mencari opsi kendaraan lainnya untuk ke tujuan.

Meskipun sama berstatus Commuter Line, kereta rute Rangkasbitung–Merak ini berbeda dengan Commuter Line rute Jabodetabek. Commuter Line Merak merupakan jenis kereta api ekonomi lokal. Susunan kursi Commuter Line Merak menghadap searah dan berlawanan dengan lajunya kereta atau saling menghadap antar penumpang. Sedangkan kursi penumpang Commuter Line Jabodetabek memanjang mengikuti badan kereta, penumpang saling berhadapan dengan penumpang lainnya serta berdesain banyak pegangan tangan untuk penumpang yang tidak dapat kursi. 

Selain itu, Commuter Line Merak mengharuskan penumpang untuk memesan tiket terlebih dahulu baik secara online atau di loket stasiun, penumpang juga dapat memilih nomor kursi sendiri. Namun jika kursi sudah penuh, penumpang tetap bisa mendapatkan tiket tanpa nomor kursi. Satu tiket perjalanan seharga Rp3.000 per orang. Berbeda dengan Commuter Line Jabodetabek, penumpang harus menggunakan kartu sebagai tiket, yang bisa dibeli di loket stasiun atau menggunakan kartu uang elektronik milik pribadi. Harga tiket perjalanannya berbeda tergantung jarak dari naik dan turunnya penumpang.

Keasyikan makan, tak terasa waktu menunjukkan pukul 09.10. Kami lihat situasi di ruang tunggu semakin padat dan tampak orang-orang mulai bersiap. Kami pikir kereta sudah hampir sampai dan kami bisa menunggu di dalam kereta sebelum kereta berangkat. Jadi, kami memutuskan berjalan menuju meja penjaga untuk memindai tiket, lalu masuk ke ruang tunggu. Namun, petugas berkata, kereta baru akan tiba pukul 09.18, sehingga penumpang belum bisa langsung naik ke kereta, karena harus menunggu penumpang kereta sebelumnya turun.

Pukul 09.12 kami berada di dalam area ruang tunggu kereta, berarti 5 menit lagi kereta tiba. Meskipun belum bisa langsung masuk ke kereta, penumpang di ruang tunggu sudah pada bersiap. Ada yang merapikan barang-barang, ada yang bergegas mempercepat menghabiskan makanannya, ada yang menelepon untuk memberikan kabar. Sedangkan saya dan teman saya sudah masuk dalam antrian pintu keluar ruang tunggu kereta.

Perjalanan dari kursi yang berubah

Ketika rantai pembatas antara ruang tunggu dan koridor stasiun dibuka, yang berarti tanda bahwa penumpang sudah dipersilahkan untuk menaiki kereta, saya dan teman saya langsung bergegas mencari gerbong 3. Kemudian kami mulai menyusuri lorong gerbong untuk mencari nomor kursi kami, yakni 18B dan 18C. Kami duduk di kursi yang bermuatan 3 orang, saya dan teman saya duduk bersebelahan. Tepat di ujung kursi kami, di nomor kursi 18A sudah diduduki oleh seorang lelaki. Selain itu, kursi yang berada di hadapan kami juga sudah ada satu penumpang, seorang anak muda laki-laki.

Tidak lama berselang datang lah sepasang suami istri dan dua anaknya, satu balita dan satu bayi. Sang ibu dengan dua orang anaknya duduk persis di hadapan kami, di samping anak muda laki-laki tadi. Setelah membantu merapikan barang bawaan, sang ayah duduk di kursi yang membelakangi kursi istri dan anak-anaknya. Rupanya nomor kursi mereka tidak berdekatan. Baru saja mereka duduk di kursi masing-masing, tidak lama anaknya yang bayi merengek minta susu. Sang ibu langsung meminta suaminya untuk membantu.

Kereta pun semakin ramai, mungkin sang suami merasa bahwa kursi kosong di sampingnya tidak berpenghuni sehingga ia meminta istri dan anak-anaknya untuk pindah ke sampingnya. Dibawa lah semua barang-barang mereka ikut berpindah. Dengan cepatnya kursi milik sang ibu dan anaknya sudah ditempati oleh penumpang lain yang tidak mendapatkan nomor kursi, satu orang bapak dan satu orang anak muda, yang akhirnya mereka duduk berhadapan dengan saya dan teman saya. Memang banyak penumpang yang tidak mendapatkan nomor kursi. Beberapa dari mereka ada yang berpindah-pindah tempat duduk karena sang pemilik kursi sudah datang, ada pula yang pasrah memilih berdiri di lorong kereta.

Tiba-tiba kesialan menimpa saya tepat ketika kereta baru saja berangkat dari Stasiun Rangkasbitung, sekitar pukul 09.55. AC (Air Conditioner) yang berada tepat di atas kepala saya mengeluarkan rintik-rintik air. “Waduh! Sial AC-nya bocor,” ucap saya berbisik. Penumpang-penumpang yang berada di kursi yang sama dengan saya dan kursi di hadapan saya langsung menoleh ke arah saya.

Bukan hanya kursi saya yang basah, baju dan celana saya mulai banyak bekas air berjatuhan. Saya bangun dari kursi dan mencoba membersihkan kursi, baju dan celana saya, sambil mencoba menahan rintik air dari AC. Bapak yang tadi baru saja menduduki kursi milik ibu sebelumnya, dengan baik hati mempersilahkan saya untuk berpindah ke kursi yang ia tempati. Setelah mengucapkan terima kasih, saya menduduki kursinya, yang akhirnya membuat saya dan teman saya tidak lagi bersebelahan melainkan kami saling berhadapan.

Saya sedikit kesal dengan kondisi yang terjadi, namun apa yang bisa saya perbuat. Ini merupakan perjalanan pertama saya menaiki kereta Commuter Line lokal Merak. Jadi saya mencoba kembali menikmati perjalanan dengan sibuk melihat pemandangan hamparan sawah, kebun, pepohonan dan rumah-rumah warga dari balik jendela sambil mendengarkan musik melalui earphone. Namun sesekali saya juga melepaskan earphone untuk berusaha mengamati apa yang sedang terjadi di dalam gerbong.

Misalnya, ada penumpang yang mendapat nomor kursi yang sama, namun mereka naik dari stasiun yang berbeda, hingga akhirnya perdebatan di antara mereka harus dilerai oleh petugas kereta. Ada pula para remaja yang bersenda gurau dengan teman-temannya. Tentunya ada pula suara yang paling sering terdengar, bahkan selalu terdengar dari awal perjalanan, yaitu suara ocehan dan tangisan bayi. 

Dari Stasiun Rangkasbitung, kereta harus melewati 10 stasiun untuk sampai ke Stasiun Merak. Sependek ingatan dan penglihatan saya, penumpang kereta paling banyak turun dan naik di Stasiun Serang, Cilegon, dan Krenceng. Termasuk dua orang penumpang yang sudah lebih dulu duduk di kursi yang sama dengan saya dan teman saya, mereka turun di stasiun yang sama yakni Stasiun Krenceng. 

Saat kereta hampir memasuki Stasiun Merak suara riuh penumpang semakin ramai. Penumpang sibuk menyiapkan diri dan barang bawaannya untuk segera dibawa turun. Namun di sela-sela itu saya lihat ada beberapa di antara mereka yang mencoba mengabadikan pemandangan laut dari balik jendela kereta dan ada pula yang menelepon sanak saudaranya untuk memberi kabar bahwa dirinya sudah hampir sampai. 

Tepat pukul 11.40 sesuai jadwal yang tertera di tiket, kereta memberhentikan lajunya di Stasiun Merak. Saya dan teman saya tidak langsung tergesa-gesa untuk turun, kami menunggu sampai lorong dan pintu kereta lengang baru kami memutuskan untuk turun. Setelah turun dari kereta pun kami juga tidak langsung menuju pintu keluar yang masih ramai penumpang, kami memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sambil meregangkan otot.

Situasi di Stasiun Merak cukup ramai, penumpang yang baru turun kereta berusaha segera keluar stasiun dan ada pula penumpang yang baru datang untuk naik kereta selanjutnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jakarta – Merak: Perjalanan antar Commuter Line appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jakarta-merak-perjalanan-antar-commuter-line/feed/ 0 40066
Film Horor dan Wisata Lokasi Syuting https://telusuri.id/film-horor-dan-wisata-lokasi-syuting/ https://telusuri.id/film-horor-dan-wisata-lokasi-syuting/#respond Tue, 20 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36690 Setelah lebih dari 2 tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, tahun ini, saat curva menurun, pemerintah mulai mengizinkan sektor-sektor publik kembali beroperasi seperti biasa, termasuk bioskop. Salah satu genre film yang paling banyak ditonton adalah film...

The post Film Horor dan Wisata Lokasi Syuting appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah lebih dari 2 tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, tahun ini, saat curva menurun, pemerintah mulai mengizinkan sektor-sektor publik kembali beroperasi seperti biasa, termasuk bioskop. Salah satu genre film yang paling banyak ditonton adalah film horor.

Menurut data dari website Film Indonesia, posisi pertama dan kedua dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2022 ditempati oleh film bergenre horor yaitu “KKN Desa Penari” dan “Pengabdi Setan 2: Communion”. Bahkan film KKN Desa Penari berhasil mencatatkan rekor sebagai film horor dan film Indonesia terlaris sepanjang masa, menggeser posisi film sebelumnya, “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1(2016)”.

Bisa dibilang, selama beberapa tahun terakhir, genre film horor menjadi salah satu genre yang paling diminati masyarakat Indonesia. Hal ini dimanfaatkan oleh para pembuat film hingga menjamurnya film-film horor yang ditayangkan di bioskop selama beberapa tahun terakhir. Uniknya, setelah filmnya ramai, para penonton film horor ini juga berusaha menyambangi lokasi-lokasi syuting dari film horor yang mereka tonton.

Film Horor Indonesia dari Waktu ke Waktu

Jika dibandingkan film horor barat, film horor Indonesia didominasi entitas gaib seperti hantu atau setan dibandingkan serial killer. Sosok-sosok hantu ini diperoleh  dari kepercayaan masyarakat Indonesia, bisa itu sosok yang diamini keberadaannya benar ada atau sosok imajinasi namun dekat dengan apa yang dipercaya masyarakat. Sejak dulu, banyak masyarakat Indonesia yang mempercayai dan meyakini keberadaan makhluk halus, kekuatan gaib, atau dunia supranatural yang mengandung hal mistik.

Budaya masyarakat yang seperti ini menurut Danandjaja tergolong sebagai bentuk folklor lisan. Dalam bukunya yang berjudul Folklor Indonesia tertulis bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan alat pembantu pengingat (mnemonic device). Folklor di Indonesia masih terus melanggeng dari satu generasi ke generasi lain, makanya, tidak heran kalau film horor Indonesia dengan sosok hantu sebagai ciri khasnya masih terus eksis sampai saat ini. 

Dalam tulisan Film Horor Indonesia: Dinamika Genre, Suma Riella Rusdiarti memaparkan bahwa film horor hantu memenangkan dominasi atas horor psikologis. Film horor hantu pertama Indonesia yaitu “Tengkorak Hidoep” (1941) bercerita tentang monster yang bangkit dari kubur dan ingin balas dendam pada reinkarnasi orang yang telah membunuhnya. Sedangkan film horor psikologis pertama di Indonesia yaitu “Lisa” (1971) menampilkan seorang Ibu tiri yang meminta orang lain untuk membunuh anak tirinya. 

Pada perkembangannya, di era sebelum 2000-an, film horor Indonesia banyak bertemakan mitos dan legenda rakyat yang bersifat tradisional dengan sosok identik hantu perempuan. Pemeran hantu perempuan yang dikenal sebagai ratu horor Indonesia adalah Suzanna. Suzanna banyak membintangi film horor Indonesia selama tahun 70-80an, contohnya film “Beranak dalam Kubur” (1971). Sayangnya pada 90-an film horor Indonesia mengalami penurunan. Baru di tahun 2001 film Jelangkung berhasil membangkitkan kembali minat masyarakat terhadap film horor Indonesia. 

Ramainya film horor semakin terlihat di tahun 2006-2007. Perbedaan film horor setelah 2000-an terlihat pada tema cerita yang sudah bukan hanya tentang legenda tradisional, melainkan bergeser dengan dominasi hantu perkotaan atau urban legend. Meskipun fokus cerita bergeser menjadi kontemporer, sosok-sosok hantu yang menjadi bintang di film horor Indonesia tetap sama berasal dari cerita yang sudah tersebar dari mulut ke mulut seperti “Rumah Pondok Indah” (2006) atau “Hantu Jeruk Purut” (2006). Selain itu juga terdapat dua dominasi sosok hantu yang tetap sama  yaitu pocong dan kuntilanak. Sekitar tahun 2008-2009, unsur komedi mulai menjadi bumbu yang terlihat di film horor Indonesia, seperti pada “Tiren” (2008) dan “Hantu Jamu Gendong” (2009). 

Menurut hemat saya, era baru dari film horor Indonesia dimulai di tahun 2017. “Pengabdi Setan”, “Danur” dan “Sebelum Iblis Menjemput” merupakan beberapa film yang paling banyak ditonton masyarakat di tahun itu. Di era ini, film horor bukan hanya tentang cerita yang sebelumnya sudah tersebar di masyarakat secara lisan, muncul kreativitas baru, meskipun masih ada pula film yang diadopsi dari cerita rakyat namun dimodifikasi mengikuti minat pasar saat tahun pembuatan film. 

KKN desa penari
Poster film KKN di Desa Penari/ Instagram @kknmovie

Di era baru ini juga alur cerita film seakan menjadi nilai jual tersendiri, para produser mencoba membuat penonton semakin ketakutan dan penasaran dengan cerita film yang alurnya dibuat tidak mudah tertebak. Seakan merupakan sebuah peluang besar, rasa penasaran ini dimanfaatkan oleh para pembuat film untuk membuat alur menjadi teka teki untuk dilanjutkan pada sekuel berikutnya. Tidak jarang para penonton mencoba menganalisis teka-teki itu dan menerka-nerka alur cerita di sekuel selanjutnya.

Masyarakat Indonesia sepertinya memang tidak bisa dilepaskan dari kisah gaib atau spiritual. Pasalnya di tahun 2019, sebuah sebuah utas Twitter berjudul ‘KKN di Desa Penari’ yang ditulis oleh pengguna bernama ‘SimpleMan’ atau @SimpleM81378523l menjadi viral. Utas ini bercerita tentang sekelompok mahasiswa yang tengah melakukan program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa yang ternyata masih memegang teguh budaya lokal, seperti mensakralkan beberapa tempat dan percaya dengan keberadaan leluhur desa.

Kisah ini disebut-sebut terinspirasi dari kisah nyata, namun ada beberapa hal yang dirahasiakan dan disamarkan untuk melindungi identitas tempat dan tokoh yang ada di dalamnya. Meskipun begitu, banyak masyarakat yang menerka-nerka lokasi kejadian. Kisah ini kemudian diproduksi kembali dalam bentuk buku dan film. Namun karena terhambat pandemi Covid-19, film KKN di Desa Penari baru dirilis di tahun ini.

Sebuah Destinasi Wisata

Ternyata rasa penasaran penonton tidak cukup terpuaskan dengan menonton film, mereka juga penasaran dengan lokasi syuting dari film yang mereka tonton. Tidak sedikit lokasi syuting film horor yang ikut menjadi populer dan banyak dikunjungi oleh masyarakat, terutama film horor beberapa tahun belakang. Entah alasan apa yang mendorong mereka untuk menyambanginya, apakah alasan mereka ingin membuktikan bahwa lokasi syuting tersebut memang benar horor atau ada alasan lain. Karena tidak jarang para pemain atau crew film menceritakan di media tentang pengalaman mereka mendapat gangguan horor selama syuting. Hal ini bisa saja mendorong para penonton untuk membuktikan langsung lokasi tersebut.

Lokasi syuting film horor yang ramai dikunjungi menjelma menjadi sebuah destinasi wisata. Misalnya rumah dinas di bawah kepemilikan PTPN VIII yang sudah lama tidak ditempati. Rumah ini kemudian dikenal sebagai ”Rumah Ibu” setelah menjadi lokasi syuting film Pengabdi Setan. Lokasi ini sekarang sudah berubah menjadi salah satu destinasi wisata di Pangalengan, Bandung. Masyarakat setempat juga memanfaatkan situasi ini untuk membuka peluang usaha, seperti membangun kios makanan dan menjadi tour guide.

Desain dan hiasan di dalam rumah yang bergaya khas kolonial Belanda ini masih dibuat sama seperti di film, termasuk foto seram sosok ‘Ibu’ yang menempel di dinding. Bahkan kadang pengelola menghadirkan orang yang berdandan seperti sosok hantu ”Ibu” di lokasi tersebut. Hal ini semakin menarik minat wisatawan yang penasaran untuk berkunjung, terlebih lokasi rumah juga dikelilingi oleh pemandangan alam yang indah. 

Rumah Susun di daerah Bintara Jaya, Bekasi Barat yang menjadi lokasi syuting film “Pengabdi Setan 2: Communion” yang baru rilis tahun ini juga berhasil menarik minat penonton untuk berkunjung. Rumah susun yang sebelumnya sudah 15 tahun terbengkalai kini ramai dikunjungi orang-orang yang penasaran. Berbeda dari ”Rumah Ibu” di Bandung, bangunan yang memiliki 15 tingkatan ini tidak menyajikan atraksi wisata yang dapat dijadikan objek bagi pengunjung yang datang. Bahkan dari info yang beredar pengunjung hanya diizinkan masuk sampai lantai 4, karena bangunan ini tidak 100% sempurna dan sudah banyak area yang rusak, sehingga takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

Di lokasi ini, pengunjung hanya bisa berswafoto dengan latar rumah susun kosong sebagai objeknya. Meskipun begitu, hal ini tidak mengurangi rasa penasaran pengunjung terhadap lokasi ini, terlebih aksesnya yang mudah, tidak jauh dari jalan raya dan tepat berada di belakang pasar yang masih aktif. Sepertinya lokasi ini memang belum siap menjadi destinasi wisata namun sejauh ini ramainya pengunjung sudah sedikit banyak memberi dampak positif bagi para penjual di pasar.

Berbeda dengan lokasi syuting film KKN Desa Penari. Dari sekian lokasi syuting yang dipakai, Jembatan di kawasan wisata Plunyon Kalikuning, Cangkringan, Sleman merupakan lokasi yang paling banyak dikunjungi orang yang penasaran dengan jalan utama menuju Desa Penari di film tersebut. Lokasi ini sebelumnya sudah termasuk lokasi wisata, kemudian semakin terkenal dan semakin banyak wisatawan yang datang setelah filmnya ramai. Di media sosial, saya lihat banyak berseliweran video pemandangan lokasi ini. Dari jembatan ini, wisatawan bisa menikmati pemandangan hutan pinus, suara gemericik air sungai dan jika cuaca sedang bersahabat bisa melihat Gunung Merapi. 

Jembtan plunyon
Jembatan Plunyon lokasi syuting KKN di Desa Penari/Instagram @btn_gn_merapi

Dari fenomena wisata lokasi syuting film horor ini sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi sebuah tempat yang menguntungkan. Pengelola atau masyarakat sekitar bisa membuatnya menjadi destinasi wisata baru atau mengembangkan destinasi wisata yang sudah ada, atau bisa juga mengalihfungsikan tempat tersebut menjadi lebih bermanfaat terutama lokasi yang dulu terbengkalai atau yang sepertinya belum siap menjadi tempat wisata, seperti Rumah Susun di Bintara Jaya. Pasalnya, penonton sudah mengenal lokasi-lokasi tersebut, akan sayang jika tidak dapat dimaksimalkan menjadi tempat yang menguntungkan bagi pengelola atau masyarakat sekitar. Akan lebih baik jika pemerintah setempat juga ikut membantu pengembangan lokasi-lokasi ini, karena ini bisa saja menguntungkan bagi budaya dan ekonomi masyarakatnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


The post Film Horor dan Wisata Lokasi Syuting appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/film-horor-dan-wisata-lokasi-syuting/feed/ 0 36690
Sarapan dengan Semangkuk Lontong Kari Kebon Karet https://telusuri.id/sarapan-dengan-semangkuk-lontong-kari-kebon-karet/ https://telusuri.id/sarapan-dengan-semangkuk-lontong-kari-kebon-karet/#respond Tue, 22 Nov 2022 16:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36048 “Guys, besok pagi kita mau sarapan apa?” tanya salah satu teman saya sebelum kami bergerak untuk tidur di malam hari. “Terserah”, “ikut aja”, dan “bebas” adalah jawaban dari teman-teman saya yang lainnya. Seorang teman kemudian...

The post Sarapan dengan Semangkuk Lontong Kari Kebon Karet appeared first on TelusuRI.

]]>
Guys, besok pagi kita mau sarapan apa?” tanya salah satu teman saya sebelum kami bergerak untuk tidur di malam hari. “Terserah”, “ikut aja”, dan “bebas” adalah jawaban dari teman-teman saya yang lainnya. Seorang teman kemudian memberikan beberapa pilihan makanan kepada kami. Dari beberapa pilihan yang ia tawarkan, kami sepakat memilih lontong kari karena lokasinya tidak jauh—berkisar 800 meter—dari tempat kami menginap di daerah Braga, Bandung. Segera, kami menuju Gang Kebon Karet, Jalan Otto Iskandar Dinata untuk menyantapnya.

Sebenarnya ada banyak lokasi lontong kari lainnya, namun menurut teman saya, di mesin pencari Google dan media sosial, Lontong Kari Kebon Karet mendapatkan rekomendasi paling banyak sebagai salah satu lontong kari terenak di Kota Bandung.

Lontong Kari Kebon Karet
Jalan kaki menuju Lontong Kari Kebon Karet/Nita Chaerunisa

Perjalanan Menuju Lontong Kari Kebon Karet

Bermodal arahan dari Google Maps, saya dan teman-teman saya berjalan kaki menuju lokasi Lontong Kari Kebon Karet mulai sekitar pukul 08.45 WIB. Dari Braga, kami belok kiri ke Jalan Suniaraja, kemudian kami menyeberang Jalan Perintis Kemerdekaan. Tidak jauh dari situ, kami putar balik tepat di depan Kantor Pusat PT Kereta Api Indonesia, menuju Jalan Kb. Jukut. Setelah kurang lebih 300 meter menyusuri Jalan Kb. Jukut, kami belok kanan menuju Jalan Jalan Otto Iskandar Dinata. Kurang dari 100 meter setelah belok, di sebelah kanan jalan, terpampang gapura bertuliskan Kebon Karet di depan sebuah gang sempit. Ya, kami sudah hampir sampai lokasi. Tak jauh dari gapura, mungkin hanya berkisar kurang lebih 50 meter, kami segera tiba.

Gang Kebon Karet
Gang Kebon Karet yang dipenuhi spanduk dan banner/Nita Chaerunisa

Dari awal masuk gang sampai ke depan rumah makan lontong kari banyak spanduk dan banner yang berisi info Lontong Kari Kebon Karet. Saya jadi bergumam dalam hati, “Mengapa nama tempatnya dipasang sebanyak ini dan bahkan ada yang terpasang di tempat yang tinggi? Apakah mungkin supaya dapat dilihat orang dari banyak sisi? Supaya orang dapat mudah menemukannya, karena lokasinya yang berada di gang sempit?” Gang ini terbilang sempit karena motor dan pejalan kaki yang dapat melaluinya.

Sesampainya di sana, kami tidak bisa langsung masuk ke dalam rumah makan untuk memesan makanan. Kami harus menunggu terlebih dahulu di luar rumah makan dengan berdiri dan berjejer, karena kondisi rumah makan penuh pengunjung. Sebenarnya, saat masih di jalan, kami sudah mendapat info rumah makan penuh dari salah dua teman kami yang tiba terlebih dulu. Mereka berangkat dari tempat yang berbeda dengan saya, jaraknya pun lebih dekat.

Meski sudah mendapatkan kabar melalui pesan WhatsApp bahwa rumah makan Lontong Kari Kebon Karet sedang penuh pembeli, namun hal itu tidak menghentikan langkah kami yang sedang berjalan kaki menuju ke sana. Kami sudah terlanjur jalan, bayangan semangkuk lontong kari yang katanya enak terus mengitari dalam pikiran.

Tak harus menunggu lama, kami mendapat tempat untuk makan. Namun dengan jumlah kami yang mencapai 14 orang, kami tidak dapat makan di kursi dan meja secara berdekatan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 9 pagi, waktu yang pas untuk menyantap lontong kari sebagai menu sarapan. Tak heran, pembeli yang datang jauh lebih banyak.

Seperti Makan di Rumah Teman

Saya dan 8 orang teman saya makan di suatu ruang depan dari sebuah rumah yang seperti disulap menjadi tempat makan. Ada meja dan kursi panjang seperti di rumah makan pada umumnya. Bedanya, ini diletakkan di ruang depan dari sebuah rumah. Ruangan ini dipisahkan dengan ruang tengah rumah hanya dengan lemari kayu yang di sampingnya terdapat akses menuju ruang tengah tersebut. Melalui akses itu kami dapat melihat langsung kondisi ruang tengah yang terdapat sofa dan mainan anak. 

Rumah ini berada persis di samping tempat makan utama Lontong Kari Kebon Karet. Kami merasa seperti mendapat tempat VIP karena hanya kami yang makan di sini, bahkan dengan suasana homey yang didapatkan membuat kami merasa seperti sedang makan di rumah teman. Sementara itu teman saya yang lainnya makan di tempat makan utama, yang bangunannya didominasi keramik berwarna merah tua.

Tak lama setelah mendapat tempat, kami langsung memesan makanan pilihan kami sesuai dengan menu yang tersedia. Ada dua pilihan menu kari, yaitu lontong dan mi. Ada lontong kari  dan mi kari spesial. Namun ada pula lontong kari biasa. Untuk pilihan minuman pendampingnya ada es campur, beberapa pilihan jus, brand teh dalam botol, air mineral, dan teh tawar.

Saya sendiri memilih untuk makan lontong kari biasa dan minum teh tawar hangat. Sedangkan teman saya yang lain ada yang memesan lontong kari spesial dan ada pula yang memesan mi kari spesial. Saya lebih memilih lontong kari biasa daripada spesial karena saya pikir porsi spesial akan lebih banyak dan saya takut tidak habis. Namun ternyata saat pesanan saya datang, porsi lontong kari biasa juga banyak. Sedangkan untuk minuman, di suasana yang masih pagi, saya pikir teh tawar hangat merupakan pilihan yang tepat untuk masuk ke dalam tubuh. 

Meskipun situasi rumah makan sedang ramai, pesanan kami tidak datang terlalu lama. Melihat seporsi lontong kari yang penuh di dalam mangkuk, saya langsung menggerakkan sendok dan garpu saya untuk melihat lebih jelas komponen apa saja yang ada di dalamnya. Satu mangkuk lontong kari biasa terdiri dari lontong, irisan daging sapi tanpa lemak, telur puyuh rebus, kentang rebus, kacang dan bawang goreng serta emping. 

Perpaduan isi dan kuah kari yang cukup kental langsung menggoyangkan lidah saya, saat suapan pertama masuk ke mulut. Untuk suapan pertama, saya memilih untuk tidak terlebih dahulu menambahkan sambal dan acar timun yang disediakan di atas meja, saya ingin mencoba rasa originalnya. Ketika ditambah dengan sambal dan acar timun, rasa kuah kari menjadi lebih segar. 

Saya melihat di mangkuk teman saya yang memesan lontong kari spesial terdapat tambahan sepotong telur rebus. Saya dan teman-teman saya saling mencoba makanan kita yang berbeda satu sama lain. Meskipun berbeda karbohidrat pendamping kari, tetapi rasanya tetap sama nikmat. Bahkan ada teman saya yang mengaku sebenarnya ia tidak terlalu suka kuah kari, namun kuah kari di lontong kari Kebon Karet sangat enak, sampai ia berharap sang pemilik bisa membuka cabang di Jakarta, supaya ia dapat membelinya dengan sering tanpa harus jauh-jauh ke Bandung.

Saat sedang makan, saya baru menyadari bahwa di salah satu kaca ruangan terpasang kertas bertuliskan komposisi rempah-rempah yang terkandung di kuah kari. Uniknya di dalam kertas itu juga terdapat harapan semoga itu bermanfaat bagi tubuh. Tampak baik sekali pemilik warung ini membeberkan komposisi rempah-rempah untuk kuah kari dan doa bagi para pembelinya. 

Bukan hanya komposisi rempah-rempah yang terpampang di kaca ruangan, di salah satu dinding ruangan juga terpampang beberapa foto dan artikel berita tentang lontong kari Kebon Karet. Salah satu yang menarik mata saya adalah foto Pak Ridwan Kamil, mantan Wali Kota Bandung yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat.

Tak butuh waktu lama untuk saya dan teman-teman menghabiskan satu mangkuk lontong dan mi kari kami masing-masing. Satu mangkuk lontong kari biasa yang saya santap sangat membuat saya kenyang. Rasa lapar selama jalan kaki kurang lebih 15 menit untuk menuju rumah makan sudah terbalaskan, energi saya juga terpenuhi untuk menjalani hari.

Soal harga, menurut saya, masih sebanding dengan porsi penuh satu mangkuk dan nikmatnya rasa kari yang tersaji. Satu mangkuk lontong kari biasa yang saya pesan memiliki harga Rp26.000, sedangkan untuk lontong dan mi kari spesial harganya tidak jauh berbeda dengan yang biasa. Untuk teh tawar hangat yang saya pesan, ternyata gratis. Namun untuk pilihan minuman lainnya memiliki harga yang tidak berbeda jauh dengan rumah makan pada umumnya.

Saat jalan pulang kembali ke Braga saya berpikir bahwa pantas saja Lontong Kari Kebon Karet direkomendasikan banyak orang. Lokasinya yang unik, karinya yang nikmat, porsinya yang banyak dan harganya yang masih dalam batas wajar adalah kombinasi yang tepat untuk mengisi perut yang keroncongan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sarapan dengan Semangkuk Lontong Kari Kebon Karet appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sarapan-dengan-semangkuk-lontong-kari-kebon-karet/feed/ 0 36048
Cerita dari Bantaran Kali, “Sebuah Tempat Terbaik di Dunia” https://telusuri.id/cerita-dari-bantaran-kali-sebuah-tempat-terbaik-di-dunia/ https://telusuri.id/cerita-dari-bantaran-kali-sebuah-tempat-terbaik-di-dunia/#respond Mon, 29 Aug 2022 08:44:10 +0000 https://telusuri.id/?p=34950 Jakarta yang masih berstatus Daerah Khusus Ibukota seperti memiliki magnet, banyak orang dari wilayah lain di Indonesia datang ke sini. Mereka yang pergi ke Jakarta ada yang hanya berkunjung, namun banyak juga yang memilih tinggal...

The post Cerita dari Bantaran Kali, “Sebuah Tempat Terbaik di Dunia” appeared first on TelusuRI.

]]>
Jakarta yang masih berstatus Daerah Khusus Ibukota seperti memiliki magnet, banyak orang dari wilayah lain di Indonesia datang ke sini. Mereka yang pergi ke Jakarta ada yang hanya berkunjung, namun banyak juga yang memilih tinggal menetap di Jakarta dengan maksud merubah hidup. Beragam latar belakang orang yang menetap, membuat beragam pula bentuk kawasan permukiman di Jakarta, termasuk salah satunya permukiman kumuh.  

Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne van Voorst
Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne van Voorst/Nita Chaerunisa

Saat pertama kali melihat cover dan judul buku Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta, saya langsung merasa tertarik untuk membacanya. Sebagai warga Jakarta, saya masih sering mendengar stigma negatif tentang kawasan kumuh di Jakarta. Hal ini ternyata serupa dengan pandangan pemerintah yang diceritakan buku ini—di bagian prolog. Mereka mengatakan bahwa keberadaan kawasan kumuh merusak citra Jakarta dan lokasinya juga dianggap berbahaya karena tingkat kejahatannya yang dinilai tinggi.

Buku ini menceritakan kisah Roanne van Voorst saat melakukan penelitian doktoral bidang Antropologi di salah satu kawasan kumuh di Jakarta selama sekitar satu tahun. Namun saya melihat buku ini bukan murni hasil penelitian Roanne, tapi semacam catatan etnografi atau refleksinya ketika melakukan penelitian dengan metode observasi partisipatif, yang mana ia hidup bersama para penghuni kawasan kumuh rawan banjir di Jakarta.

Penelitian Roanne bertemakan perilaku manusia dalam menghadapi banjir, tapi ternyata cerita yang tersaji lebih dari itu. Pada bagian awal buku, Roanne sudah menyinggung bahwa tulisannya tentang kawasan kumuh bukan bercerita mengenai pandangan negatif dari pemerintah dan juga tidak sepenuhnya mendukung cerita sifat positif masyarakat miskin dari peneliti lain. Tapi ini tentang penduduk yang selalu bisa menemukan solusi kreatif dalam memecahkan masalah hidup yang dihadapinya.

Cerita dari buku karya Roanne van Voorst
Cerita dari buku karya Roanne van Voorst/Nita Chaerunisa

Cerita dimulai dari pertemuan tak terduganya dengan Tikus saat dirinya dalam keputusasaan menghadapi berbagai rintangan di awal penelitian. Tikus, seorang pengamen jalanan, mengajak Roanne ke tempat yang katanya terbaik di dunia, bernama Bantaran Kali. Bantaran Kali bukan merupakan nama asli tempat tersebut, begitu pula dengan Tikus dan para tokoh lainnya dalam tulisan ini. Roanne menyamarkan nama dan karakteristik mereka.

Tikus membawa Roanne ke permukiman pinggir kali, dengan rumah-rumah padat saling berhimpitan yang dapat dikatakan kurang higienis dan bangunannya bersifat ilegal. Roanne tinggal di Bantaran Kali dengan menyewa sebuah rumah milik seorang ibu bernama Enin, yang kemudian menganggap Roanne sebagai anak angkatnya. Sedangkan rumah Enin sendiri letaknya lebih atas dari rumah yang ditempati Roanne. Kalau banjir datang mereka tinggal bersama di rumah Enin, juga bersama Neneng—seorang PSK di Bantaran Kali.

“Sudah biasa,” ungkap penghuni Bantaran Kali ketika berbicara tentang banjir. Mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan sebelum, saat dan sesudah banjir. Meskipun begitu, mereka tetap cemas dengan banjir dan takut itu bisa membuat pemerintah menggusur wilayah mereka. Mereka sadar bahwa cepat atau lambat Bantaran Kali akan tergusur.

Salah satu cara yang dilakukan warga Bantaran Kali dalam menghadapi banjir yaitu berkomunikasi dengan pemerintah terkait melalui portofon atau walkie talkie untuk mengetahui perkiraan waktu kedatangan banjir dan berapa lama banjir akan melanda wilayah mereka. Kemudian pemilik portofon menyebarkan info kepada warga lainnya dengan menggedor pintu mereka. Di Bantaran Kali, portofon bukan hanya untuk menyebarkan info banjir, tapi juga dapat meningkatkan status sosial pemiliknya, karena sang pemilik dianggap bekerja dengan pemerintah. Maka dari itu, meskipun mahal, ada di antara mereka yang berusaha untuk memilikinya.

Cerita yang tersaji pada buku ini bukan hanya tentang banjir, banyak cerita kehidupan lainnya di Bantaran Kali. Seperti bencana kebakaran yang menghanguskan beberapa rumah. Mereka yang mengalami kebakaran tetap kembali membangun rumah di Bantaran Kali, meskipun mereka sadar bahwa itu bukan tanah miliknya. Bahkan ada yang membangun rumah lebih mewah dari sebelumnya, dengan harapan nanti saat penggusuran tiba akan mendapat ganti rugi yang besar dari pemerintah.

Roanne juga bercerita bahwa dirinya harus berusaha memahami korupsi yang bertentangan dengan norma hidupnya selama di Belanda. Ia menyaksikan dan mendengar cerita langsung bahwa uang dalam hubungan sosial dapat berguna sebagai alat untuk ”melicinkan urusan”. Korupsi yang ditemukannya ini seakan menjadi rantai dan bukan hanya ditemukan di Bantaran Kali, namun juga pada polisi dan pejabat publik. 

Saat bulan kelima penelitiannya, Roanne sempat mengalami sakit yang membuat tubuhnya tidak berdaya. Roanne yang ingin berobat ke rumah sakit dilarang oleh warga Bantaran Kali. Mereka menganggap rumah sakit itu berbahaya dan lebih memilih pengobatan tradisional, seperti obat-obatan tradisional di rumah Yantri. Ini terjadi karena banyak diantara mereka yang ketika sakit, mendapat perlakuan kurang baik dari pihak rumah sakit.

Warga Bantaran Kali yang perempuan juga melakukan beberapa cara tradisional untuk meningkatkan gairah seks. Ini diketahui Roanne saat Enin dan Neneng memberikan saran kepadanya, ketika ia menceritakan komunikasi dengan kekasihnya di Belanda yang semakin memburuk. Ternyata mereka menduga itu disebabkan oleh gairah seks Roanne yang menurun, sehingga menyarankan Roanne untuk melakukan perawatan vagina dan makan mangga untuk meningkatkan hal itu. Namun Roanne tidak mengikuti semua saran yang diberikan.

The post Cerita dari Bantaran Kali, “Sebuah Tempat Terbaik di Dunia” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-dari-bantaran-kali-sebuah-tempat-terbaik-di-dunia/feed/ 0 34950