Nita Fitriani https://telusuri.id/penulis/nita-fitriani/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 29 Jul 2020 07:06:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Nita Fitriani https://telusuri.id/penulis/nita-fitriani/ 32 32 135956295 NuArt Talks dan Renungan Menjelang Hari Anak Nasional https://telusuri.id/nuart-talks-dan-renungan-menjelang-hari-anak-nasional/ https://telusuri.id/nuart-talks-dan-renungan-menjelang-hari-anak-nasional/#respond Sun, 19 Jul 2020 16:56:41 +0000 https://telusuri.id/?p=23180 Minggu lalu, 12 Juli, saya mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh NuArt Sculpture Park, “NuArt Talks: Cerita Sudut Kota,” tentang bagaimana budaya dapat memengaruhi seseorang dan membuat orang itu ingin terus melestarikannya. Narasumbernya Wan Harun Ismail...

The post NuArt Talks dan Renungan Menjelang Hari Anak Nasional appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu lalu, 12 Juli, saya mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh NuArt Sculpture Park, “NuArt Talks: Cerita Sudut Kota,” tentang bagaimana budaya dapat memengaruhi seseorang dan membuat orang itu ingin terus melestarikannya.

Narasumbernya Wan Harun Ismail dan Samuel Miguel. Wan Harun Ismail adalah seorang penari dan koreografer muda dari Kampar, Riau. Ia mulai menggeluti seni tari sejak SMA saat mengikuti seleksi di sekolahnya. Narasumber kedua adalah Samuel Miguel. Pemuda yang akrab dipanggil Glenn ini seorang pemusik asal Jayapura, Papua. Ia sempat berkuliah di UNRIYO Jurusan Hubungan Internasional dan ISI Yogyakarta Jurusan Etnomusikologi. Memilih untuk berhenti kuliah, ia kemudian mengikuti berbagai kursus, di antaranya kursus alat musik dan bahasa.

Banyak hal yang telah mereka lalui untuk berkontribusi terhadap perkembangan budaya Indonesia. Wan Harun, misalnya, memperlihatkan keseriusannya dengan mempelajari seni hingga jenjang S-2. Karya terbarunya, “Bokal,” pun masuk Ruang Kreatif 2019 Bakti Budaya Djarum Foundation dan dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya.

Sementara Glenn selalu membawa ukulele miliknya sebagai teman untuk menyanyikan lagu-lagu tradisi di lingkungannya. Yang ia lakukan adalah mencoba mempertahankan tradisi dari lingkup terkecil. Cita-citanya, ketika nanti pulang ke Jayapura ia ingin membuat sebuah lagu berbahasa daerah untuk anak-anak di sana. Glenn juga mengungkapkan kekhawatirannya soal tradisi yang pelan-pelan menghilang karena tak ada lagi yang peduli untuk meneruskannya. Menurutnya, hal ini sudah tampak dari sikap anak muda di lingkungannya yang tak acuh seni budaya dan tradisi.

Dari cerita perjalanan kedua sosok tersebut dalam melestarikan budaya, saya menangkap satu benang merah: ada cerita soal pertentangan dengan pihak orangtua. Kedua orangtua mereka sama-sama tak menyetujui jalan hidup yang dipilih anaknya. Jalur seni dianggap tak menjanjikan masa depan yang cerah.

Namun ada ironi di sini, yakni kenyataan bahwa orangtua mereka masing-masinglah yang memperkenalkan seni pada meraka. (Wan Harun bercerita bahwa lagu-lagu daerah yang dinyanyikan orangtuanya ketika ia kecil sangat membekas di hatinya dan membuatnya ingin melestarikan tradisi. Lagu yang biasa dinyanyikan oleh ibu Wan Harun adalah bentuk tradisi lisan batimang, lantunan yang biasa dinyanyikan untuk menidurkan anak, berisi harapan dan doa orangtua terhadap anaknya.)

Beruntung, Wan Harun dan Glenn memiliki tekad kuat untuk mewujudkan cita-citanya. Mereka tak pernah menyerah memperjuangkan impian melestarikan tradisi daerah masing-masing meskipun mesti berhadapan dengan ketidaksetujuan orangtua. Namun Wan Harun dan Glenn adalah pengecualian. Kenyataannya, banyak anak Indonesia yang menyimpan impiannya dalam kotak dan memilih menuruti kehendak orangtua. Ada yang sukses, namun tak jarang juga yang malah gagal lalu kebingungan mencari tujuan hidupnya.

Toleransi mungkin bisa menjembatani hubungan antara anak dan orangtua dalam kasus seperti yang dialami kedua seniman tersebut. Orangtua seharusnya dapat menghargai jalan hidup yang dipilih oleh anaknya. Kalau memang terdapat ketidaksesuaian dengan yang diharapkan orangtua, baiknya didiskusikan dan dicarikan solusi.

Sebanyak 800 anggota Sahabat Anak Marjinal dari Jabodetabek, terdiri atas anak jalanan, anak gerobak, dan anak keluarga tidak mampu, belajar menyampaikan aspirasinya pada Hari Anak Nasional di Jambore Sahabat Anak, Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan, 30 Juli 2016 via TEMPO/Aditia Noviansyah

Salah satu hal yang bisa membangun toleransi adalah pikiran yang terbuka. Seseorang dikatakan sukses bukan hanya ketika ia menjadi dokter dan arsitek. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, pekerjaan-pekerjaan lain pun akan membuat seseorang mencapai kategori sukses. Dengan pikiran terbuka seperti itu, orangtua mestilah akan mendukung penuh pilihan anaknya.

Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 23 Juli, Indonesia akan memperingati Hari Anak Nasional. Mari bersama-sama tumbuhkan rasa toleransi dan berikan kebebasan bagi anak untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Jika mereka ingin mempelajari seni dan budaya, misalnya, dukunglah mereka.

Sebagai penutup, barangkali kita perlu mengingat kembali bahwa tradisi adalah kebiasaan yang secara turun-temurun hidup dalam suatu kelompok masyarakat, sementara budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi; tradisi merupakan identitas dari suatu budaya.

Jika demikian, justru sepatutnya kita respek pada anak kita jika memilih jalur seni dan budaya, sebab itu berarti mereka berkontribusi bagi terpeliharanya budaya dan tradisi, menjadi penjaga yang memastikan bangsa ini takkan kehilangan jati diri.

The post NuArt Talks dan Renungan Menjelang Hari Anak Nasional appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nuart-talks-dan-renungan-menjelang-hari-anak-nasional/feed/ 0 23180
Pengalaman Baru Mengajar Secara Daring https://telusuri.id/pengalaman-baru-mengajar-secara-daring/ https://telusuri.id/pengalaman-baru-mengajar-secara-daring/#respond Tue, 19 May 2020 12:38:57 +0000 https://telusuri.id/?p=21758 Awalnya, saya berpikir bahwa #dirumahaja pasti akan sangat menyenangkan. Tidak perlu pergi ke sekolah, mengeluarkan tenaga ekstra untuk bermain dengan anak-anak dari pagi hingga siang hari, dan juga tidak perlu lembur ketika harus mempersiapkan materi...

The post Pengalaman Baru Mengajar Secara Daring appeared first on TelusuRI.

]]>
Awalnya, saya berpikir bahwa #dirumahaja pasti akan sangat menyenangkan. Tidak perlu pergi ke sekolah, mengeluarkan tenaga ekstra untuk bermain dengan anak-anak dari pagi hingga siang hari, dan juga tidak perlu lembur ketika harus mempersiapkan materi mengajar atau mendekorasi dan memajang hasil kerajinan tangan anak-anak di display board. Ya, saya adalah seorang guru taman kanak-kanak (TK). Hampir tiga tahun saya menekuni bidang pekerjaan ini.

Nyatanya, ini jauh dari kata menyenangkan. Setelah mendekam di rumah selama hampir tiga bulan, mengajar dengan cara baru ini ternyata lebih melelahkan ketimbang berangkat setiap pagi ke sekolah dan pulang petang hari. Padahal proses belajar menjadi lebih pendek dari biasanya. Saya pun harus berkenalan dengan teknik baru dalam mengajar, berkomunikasi secara daring untuk memberikan materi, hingga menyampaikan materi agar bisa diterima dalam kurun waktu yang terbilang singkat yakni kurang lebih 2-3 jam.

Namun, dalam waktu bersamaan, tantangan ini membuat saya lebih “melek” teknologi, mengingat teman-teman suka mengeluhkan ke-gaptek-an saya.

Hal baru yang juga saya alami adalah ketika harus menyiapkan bahan untuk mengajar. Sebenarnya ini bukan hal yang benar-benar baru. Setiap hari setelah jam sekolah anak-anak berakhir pada pukul 13.00 WIB, saya harus menyiapkan bahan mengajar untuk esok hari. Perbedaannya, sekarang saya menyiapkan semua itu di rumah. Saya harus pergi ke sekolah setidaknya dua minggu sekali untuk mengambil bahan-bahan hingga mencetak beberapa berkas untuk kemudian disiapkan sebagai bungkusan yang akan dibawa pulang oleh orangtua murid. Biasanya saya menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam di sekolah untuk mengambil barang-barang.

Tak lupa, saya selalu membuat daftar barang apa saja yang perlu diambil sehingga tidak ada yang terlupa, karena akan sangat merepotkan kalau harus balik lagi. Isi bungkusan tersebut mencakup bermacam aktivitas selama seminggu. Salah satu aktivitas itu adalah membuat kerajinan tangan. Kegiatan ini menyita waktu persiapan paling banyak, namun rasa lelahnya terbayar ketika melihat unggahan hasil karya anak-anak di Instagram. Nah, biasanya saya perlu sekitar 3-4 hari untuk mempersiapkannya, mulai dari menyusun panduan mengerjakan hingga melabeli plastik dengan nama anak-anak. Setelah siap, saya kirim kembali ke sekolah untuk kemudian diambil oleh para orangtua murid.

Isi “meja guru” selama mengajar secara daring dari rumah/Nita Fitriani

Di balik keseruan proses baru dalam mengajar, tetap ada kendala yang juga saya rasakan. Tidak banyak, sih. Salah satunya adalah koneksi internet. Ini memang tidak dapat diprediksi. Kadang lancar, namun ada kalanya mandek. Ini biasanya yang bikin saya deg-degan. Pernah satu kali, ketika menyanyikan ‘’Goodbye Song” sebagai penanda bahwa kelas telah berakhir, tiba-tiba koneksi saya terputus. Panik tentu. Namun, untungnya para orang tua murid memaklumi. Untungnya lagi, koneksi terputus ketika pelajaran memang telah usai.

Tantangan selanjutnya adalah anak-anak yang merasa bosan karena tidak bisa bertemu dan bermain bersama teman-temannya secara langsung seperti di sekolah. Ada pula yang ­ogah-ogahan ketika belajar hingga mangkir berhari-hari tidak mengikuti kelas tapi kemudian muncul lagi. Di sinilah para guru harus memutar otak memikirkan cara supaya anak-anak mau tetap belajar dalam situasi seperti ini.


Hal yang patut diapresiasi selama proses mengajar secara daring adalah peran serta dari orangtua murid.

Sulit rasanya mengajar anak usia 4-5 tahun yang masih belajar membaca. Misalnya saja ketika saya meminta anak membuka halaman 25. Tentu, bila di sekolah, saya bisa dengan mudah mencarikan halaman tersebut untuk mereka. Belajar daring membuat saya tak bisa melakukan itu untuk mereka. Hadirnya orangtua yang terus mendampingi anak dalam proses belajar tentunya sangat berarti bagi para guru. Selain turut memantau perkembangan anak-anaknya, saat pemberian instruksi mereka juga membantu sang anak untuk memahami. Jadi saya tidak perlu mengulang-ulang instruksi. Lumayan, irit suara.

Begitulah pengalaman saya selama mengajar kala pandemi COVID-19. Bersyukur masih diberi kemudahan dalam menjalaninya. Dan, yang terpenting, masih bisa bekerja di saat banyak orang terkena PHK sebagai imbas dari pandemi.

Dengar-dengar, pemerintah Indonesia memiliki rencana untuk memberlakukan skenario “hidup normal,” di mana masyarakat diminta untuk hidup berdampingan dan berdamai dengan COVID-19. Skenario tersebut mengatakan bahwa sekolah akan kembali dibuka pada 15 Juni 2020. Terlepas dari pro dan kontra akan skenario tersebut, saya berharap agar kondisi di Indonesia kian membaik sehingga ketika memang skenario itu dijalankan kita semua bisa merasa aman.

Sesenang apa pun saya saat ini karena tidak perlu ke sekolah, ternyata saya kangen juga dengan ingar-bingar sekolah. Rindu untuk bisa bertemu langsung dengan anak-anak, berdiskusi bersama mereka mengenai hal-hal yang membuat mereka penasaran, meskipun kadang saya juga merasa bingung bagaimana harus menjawabnya karena pertanyaan-pertanyaan itu terlalu absurd.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pengalaman Baru Mengajar Secara Daring appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pengalaman-baru-mengajar-secara-daring/feed/ 0 21758