Nurillah Achmad, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/nurillah-achmad/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 14 Jan 2024 14:07:36 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Nurillah Achmad, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/nurillah-achmad/ 32 32 135956295 Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman https://telusuri.id/menapaki-bandar-grissee-dalam-lintasan-zaman/ https://telusuri.id/menapaki-bandar-grissee-dalam-lintasan-zaman/#respond Sun, 14 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40925 Saya menghabiskan perjalanan dari Jember menuju Gresik sembari bertanya-tanya, sebetulnya apa yang saya cari sampai-sampai perlu membaca masa silam di sana? Apalagi tidak ada kereta langsung ke Gresik. Saya mesti turun di Stasiun Gubeng, Surabaya...

The post Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya menghabiskan perjalanan dari Jember menuju Gresik sembari bertanya-tanya, sebetulnya apa yang saya cari sampai-sampai perlu membaca masa silam di sana? Apalagi tidak ada kereta langsung ke Gresik. Saya mesti turun di Stasiun Gubeng, Surabaya lalu menaiki kereta komuter menuju Stasiun Indro. Di sepanjang perjalanan itulah, pertanyaan itu bergerak makin liar di kepala. 

Setahu saya, Gresik adalah tanah para wali lantaran ada beberapa makam, seperti Sunan Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri. Selain dikenal sebagai kota islami, saya juga mengenalnya sebagai kota industri. Namun, sebatas mengenal tanpa bersinggungan dalam bentuk apa pun. Karenanya, residensi saya di Gresik yang diselenggarakan oleh Yayasan Gang Sebelah, bekerja sama dengan Badan Bahasa Kemdikbud pada tanggal 9 November 2023 silam, adalah perjalanan yang sarat akan tanda tanya, “Sejauh apa cerita yang akan saya peroleh dalam waktu singkat guna dituangkan ke dalam bentuk cerpen [cerita pendek]?”

Agaknya, pertanyaan ini berhasil mengusik saya selama perjalanan. Sampai akhirnya saat menginjakkan kaki di bentangan rel Stasiun Indro, saya disambut aroma yang tak biasa dihirup. Aroma ini menguar memenuhi langit yang begitu lapang. Sekilas saya menengok ke seberang. Gedung-gedung khas pabrik industri tampak menjulang.

Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
Stasiun Indro di antara megahnya Pabrik Wilmar/Nurillah Achmad

“Itu Pabrik Wilmar, Mbak,” kata seorang staf Yayasan Gang Sebelah yang seakan memahami kebingungan saya.

Sembari mengemudikan mobil, ia menyebut beragam pabrik industri yang tersebar di Gresik. Beberapa nama yang disebutkan sangat tidak asing di telinga. Pelan-pelan saya tersadar jika Gresik bukan sebatas tanah para wali atau kota industri. Saya tahu, kalau Gresik tak ubahnya rahim perempuan. Ia bukan sekadar penanda biologis, melainkan juga memberi kehidupan terhadap apa yang tengah dikandung. Sebagaimana anak ayam yang lahir dari satu induk, tetapi berbeda warna bulu. Ada yang kelabu, hitam atau putih. Maka, seperti itu pula rahim Kota Gresik.

Kadangkala ia mengandung bayi mungil dan mengasihi ibunya saat dewasa. Kadangkala ia mengandung janin rupawan, tetapi saat lahir justru tumbuh seperti Malin Kundang dan Sangkuriang. Atau secara tak sadar Gresik menjadi korban kelicikan burung kedasih. Burung ini dikenal tak mau merawat anaknya. Jadi, dia akan mencari sarang burung lain untuk menitipkan telur-telurnya sendiri. 

Sialnya, telur burung kedasih memiliki waktu peram lebih singkat. Ketika menetas lebih dahulu, mereka membuang telur di dalam sarang yang merupakan anak kandung si ibu angkat demi menguasai makanan dari si ibu. Setidaknya, begitulah gambaran Gresik jika diibaratkan rahim perempuan. Namun, rahim itu tak pernah kering. Ia terus bersetubuh dengan waktu. Bercumbu dengan nafsu. Bergelinjang dengan lesatan peradaban. Dan menyusuinya dengan lautan yang makin hari mengikis kenangan.

Laut dalam Sudut Pandang Zaman Sekarang

Tajuk residensi kali ini adalah Mengalami Gresik Kota Lama. Dan untuk mencapai tujuan ini, saya kira kita memang perlu membaca laut di sana. Gresik dan laut seperti sepasang kekasih. Keduanya tak bisa dipisah. Bahkan jika terpaksa terpisah atas nama keadaan, maka akan lahir kisah Layla-Majnun; Romeo dan Juliet karangan Shakespeare; kisah cinta Hayati dan Zainuddin karya Buya Hamka, atau apa pun yang bertalian dengan kisah cinta getir nan menyakitkan.

Maka tak heran, pada hari kedua pihak Yayasan Gang Sebelah membawa 18 peserta residensi yang berasal dari wilayah nusantara menuju Kelurahan Lumpur. Di sini, saya memang melihat ketenangan ombak laut Gresik, atau memandang para nelayan yang baru pulang melaut dan menurunkan ikan-ikan. Senyum merekah saat mereka memanggul hasil tangkapan seakan pertanda kalau semuanya baik-baik saja.

Akan tetapi, saat saya mendekati Balai Gede, saya menemukan rongga dada yang menganga. Di depan saya, ada tiga kapal tongkang berukuran besar. Salah satu sudut kapal tampak bendera Vietnam.

“Ini semua kapal asing. Biasanya kapal curah ini bawa bahan pupuk untuk pabrik Petrokimia,” kata Pak Darodjib seraya menunjuk pabrik yang dimaksud.

Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
Pak Darodjib saat menceritakan masa lalunya/Yayasan Gang Sebelah

Saya kembali termangu mengingat jarak pandang antara tempat saya berdiri dan kapal-kapal ini amat dekat. Apalagi lelaki yang tak lulus SD ini membuka lembaran lama hidupnya saat ia menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal asing tersebut.

Senyumnya merekah saat menyodorkan paspor. Sebidang dada itu kembali tegap manakala ia menceritakan perjalanannya berkeliling dari satu negara ke negara lainnya. Mulai dari Israel, Rusia, hingga Korea, semua stempel di paspor itu masih ia simpan sampai sekarang.

“Tapi, Nak,” katanya seusai mengenang memori terindah masa muda. “Saya sudah mengakhiri perjalanan mengarungi dunia dengan pergi umrah ke Makkah. Saya sudah cukup dengan apa-apa yang saya lakukan pada masa muda. Sekarang saya memilih bekerja di sini saja. Meski sebetulnya, tempat kita duduk sekarang ini, dulunya adalah lautan tempat nelayan mencari ikan.”

Saya tak menduga pernyataan Pak Darodjib. Dan saya jauh lebih tidak menyangka, lantaran nelayan harus berlayar jauh sampai ke utara Madura demi mencari ikan padahal harga solar terus meninggi. Katanya, “Dahulu saat pabrik tidak seluas sekarang dan belum ada reklamasi, di tempat kita duduk ini banyak ikan. Tapi, sekarang nelayan harus pergi jauh ke Bawean.”

Saya memahami kegelisahan Pak Darodjib, mengingat di atas Balai Gede ini, saya memang tidak melihat pantai sebagaimana batasan antara laut dan daratan. Yang saya dapatkan justru pemandangan kapal asing yang tengah menurunkan muatan.

  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman

Laut Sebagai Gerbang Perlintasan Budaya Masa Silam

Apa-apa yang disampaikan Pak Darodjib membuat saya ngilu. Tentu saja apa yang saya rasakan ini bukan tanpa alasan, sebab Gresik sejatinya memiliki sejarah panjang dalam melintasi zaman. Ia bukan sekadar kota tanpa nama. Jauh dari berdirinya Pabrik Petrokimia atau Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) yang menghiasi pesisir utara, Gresik tak pernah jauh dari ingar-bingar pelabuhan lantaran memiliki Nyai Ageng Pinatih yang menjadi simbol utama.

Bila ditelisik lebih jauh, ada perbedaan redaksi terkait kisah beliau—Nyai Ageng Pinatih. Ada yang menyebutnya sebagai janda, belum menikah, atau sudah bersuami. Begitu pula hubungannya dengan Sunan Giri. Konon, ada yang menyebut kalau Sunan Giri ditemukan di laut sampai akhirnya ditemukan oleh Nyai Ageng Pinatih, atau ada yang sengaja memberikan Sunan Giri kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diasuh. 

Kendati begitu, perbedaan semacam ini dalam dunia sejarah adalah hal lumrah. Namun, dari literatur yang ada semuanya sepakat dengan menyebut Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar perempuan pertama yang diakui Majapahit. Tentu saja pengakuan ini adalah bukti betapa kuatnya pengaruh Nyai Ageng Pinatih pada masa itu, mengingat tidak lazim seorang perempuan mengisi posisi syahbandar.

Maka, tak heran jika laut bagi Gresik adalah gerbang persilangan budaya. Ini bisa dilihat dari bukti-bukti yang masih berdiri sampai sekarang. Saat pihak Yayasan Gang Sebelah membawa para peserta ke makam Nyai Ageng Pinatih di Kebungson, lalu menuju Kelenteng Kim Hin Kiong, salah satu kelenteng tertua di Jawa Timur karena sudah ada sejak zaman Majapahit, atau kantor pos yang merupakan bekas asrama pegawai Vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oostindische Compagnie (VOC). Ini hanya sedikit bukti adanya percampuran budaya pada masa silam.

  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman
  • Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman

Bahkan tak sampai di sini. Pihak yayasan membawa kami menelusuri kompleks makam Kanjeng Raden Tumenggung Poesponegoro, bupati pertama Gresik dan letaknya bersebelahan dengan makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Di kompleks makam ini, saya melihat Surya Majapahit pada bangunan di dalamnya. Simbol ini kerap kali disebut sebagai lambang kerajaan Majapahit. Bedanya, apa yang saya lihat bukan sekadar delapan arah dengan semburat bintang, melainkan ada lafal Arab sebagai penanda masuknya era Islam.

Sungguh, sebuah pertalian budaya yang amat lengkap dan panjang di mana lautan berfungsi sebagai gerbang. Maka, tak salah jika menyebut Gresik dan laut adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Meski pada akhirnya, Gresik dan laut adalah kisah getir seperti apa yang Pak Darodjib sampaikan.

Harus saya akui, perjalanan singkat saya selama residensi di Gresik telah menambah kekayaan khazanah pandangan saya dalam menikmati sebuah kota. Dengan segala seluk beluk ruangannya, Gresik berhasil menyuguhkan dirinya sendiri sebagai kota lama yang sarat akan ragam budaya. Bagi saya, Gresik tidak lagi sebatas tanah wali atau kota industri. Ia telah menjelma sebagai kota yang jauh dari ingar-bingar penolakan reklamasi atau mungkin terdapat penolakan, tetapi tidak seriuh reklamasi Teluk Benoa, Bali.

“Dulu di depan ini, Nak, di seberang bantaran rel yang kamu lihat ini adalah laut. Tapi, kamu lihat sekarang. Tambah luas bahkan tidak terlihat lagi di mana pinggir laut itu,” ujar seorang ibu pedagang pentol sembari menuangkan saus dan kecap.

Ada aroma getir yang saya tangkap dari bibir ibu itu. Sembari menikmati pentol Gresik di sebelah Stasiun Indro saat menunggu kereta commuter line tiba, saya mendengarkan cerita. Dahulu ibu ini sering bermain di pinggir laut, tetapi kini hanya tinggal kenangan di dalam benaknya.

Ah, sudahlah. Saya tidak mau meromantisisme adegan menggetirkan semacam ini. Agak sesak menuliskannya. Cukuplah apa pun yang saya lihat dan dengar menambah kekayaan batin saya dalam memandang Gresik atau Bandar Grissee di pesisir utara Jawa Timur.

Foto sampul:
Tongkang kapal asing yang sedang menurunkan muatan/Yayasan Gang Sebelah


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapaki Bandar Grissee dalam Lintasan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapaki-bandar-grissee-dalam-lintasan-zaman/feed/ 0 40925
Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan https://telusuri.id/toko-roti-sentral-jember-bertahan-dengan-cinta-dan-kenangan/ https://telusuri.id/toko-roti-sentral-jember-bertahan-dengan-cinta-dan-kenangan/#respond Sun, 24 Sep 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39863 Termenung saya memandang sebuah toko tua dengan plang nama kecil ini. Sejenak saya menghela napas dalam-dalam, memandangi dinding depan atas yang kehitaman akibat lembap dan jamur. Awalnya saya tak begitu yakin ada tanda-tanda kehidupan di...

The post Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan appeared first on TelusuRI.

]]>
Termenung saya memandang sebuah toko tua dengan plang nama kecil ini. Sejenak saya menghela napas dalam-dalam, memandangi dinding depan atas yang kehitaman akibat lembap dan jamur. Awalnya saya tak begitu yakin ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Hingga akhirnya, seorang lelaki bertopi keluar dari toko. Tangannya menjinjing seplastik roti.

Ketika lelaki paruh baya tersebut menyeberang ke arah saya, ia tersenyum. Senyumnya seakan menenggelamkan keraguan dan meminta saya mengikuti jejaknya. Akhirnya, saya memutuskan menyeberang jua. Setibanya di depan toko, sekilas saya membaca plang nama “Sentral” berulang kali, lalu mengucap salam pada seorang lelaki sepuh.

Ia menyambut saya lewat senyuman hangat dan memperkenalkan diri sebagai Tee San Tiong. Sebagaimana seorang kawan lama tak berjumpa, begitulah caranya menyapa. Padahal saya tak pernah memasuki toko yang berada di Jalan Raya Sultan Agung, jalur utama yang terletak di tengah-tengah Kabupaten Jember ini.

Sekian detik saya terpana. Dugaan saya sungguh keliru. Begitu kaki menginjakkan diri beberapa langkah, saya tahu jika di tempat ini ada banyak cerita yang sedang mengajak bicara. Etalase kaca yang memburam, pigura berisi foto-foto hitam putih yang terpasang di depan lukisan alam, atau toples kaca zaman dahulu yang di dalamnya menyimpan roti, sementara sebagian toples lain menyimpan beberapa perabotan. Suasana di dalam toko benar-benar berbalikan dengan pemandangan di luar. Amat terawat nan bersahaja.

Mencintai Sepak Bola dan Roti

“Itu kakak saya, Tee San Liong,” katanya ketika saya menatap sebuah foto hitam putih tertempel di dinding. Tampak Presiden Soekarno sedang bersalaman dengan seorang pemain.

Barangkali karena mendapati saya memandang foto ini begitu lama, akhirnya beliau bercerita jika sang kakak adalah pemain Timnas Indonesia. Foto ini diambil pada tahun 1951 saat timnas akan berangkat ke Asian Games yang pertama kali terselenggara di New Delhi, India. Sang kakak bermain sebagai pemain depan. Legendaris pada masanya yang memberi assist pada Ramang, dan berjuluk “Sang Naga dari Jember”.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Foto Tee San Liong (paling kiri) saat bersalaman dengan Presiden Soekarno/Nurillah Achmad

Pada multi event inilah, namanya mulai melejit. Ketika Indonesia mengalahkan Singapura 6-0, Tee San Liong mencetak 4 gol. Sementara ketika Indonesia mengalahkan Jepang 5-3 di Asian Games 1954 Manila, ia mencetak 2 gol. Bila dilihat dari prestasi, tentu sangat membanggakan. Namun, di balik itu semua sebetulnya orang tua Tee San Liong tak merestuinya sebagai pemain sepak bola. Sayangnya, makin dilarang, maka makin berulah. Makin ditentang, makin keras perlawanannya. Beruntung orang tuanya tak pernah menghukum Tee San Liong secara fisik.

Kiprah sang kakak ternyata diikuti sang adik. Meski tak sampai menembus timnas, ia menjadi gelandang andalan Persid Jember. Tee San Tiong turut andil dalam masa-masa kejayaan Persid. Salah satunya menjadi juara di wilayah Karesidenan Besuki (Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Lumajang). Bahkan pengalamannya bertanding dengan Bangkalan seakan menjadi ingatan yang paling membekas.

“Saya masih ingat, tahun 1960-an saya bermain di Bangkalan. Setelah bertanding, saya membeli salak yang langsung dipetik dari pohon. Rasanya sangat manis dan berbeda dengan salak di sini,” kenangnya seraya tertawa.

Dari sorot matanya itu, saya tahu ada bahasa cinta di sana. Kecintaannya pada sepak bola sama persis dengan kecintaannya menjaga warisan toko roti keluarga. Dibangun pada tahun 1928, yang bersamaan dengan berdirinya gereja Katolik Santo Yusup, sang ibu memutuskan membangun usaha roti. Pada awalnya, bangunan berada di BII (Bank Internasional Indonesia) yang berada di Jalan Baru dan telah berganti nama menjadi Jalan Gatot Subroto. Namun, akhirnya pindah ke Jalan Raya Sultan Agung hingga sekarang.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Potret kedua orang tua Tee San Liong/Nurillah Achmad

Pemberian nama Sentral karena Jalan Sultan Agung menjadi pusat kehidupan orang-orang kota. Pelanggannya kebanyakan orang Belanda. Dalam sehari bisa mengirim seratus roti tawar ke para kompeni. Umumnya kepada mereka yang bekerja di pabrik gula. Entah pabrik gula Jatiroto di Lumajang, Semboro di Jember, ke Situbondo atau Banyuwangi.

“Orang Belanda sukanya itu roti tawar. Nanti sama mereka dicampur selai atau margarin. Kalau ke Situbondo, biasanya dikirim lewat bus intern. Kalau dekat, biasanya memakai Jawatan Pos (sebutan PT Pos Indonesia zaman dahulu).”

Setelah orang tua Tee San Tiong wafat, usaha ini tak serta-merta tutup. Malah diteruskan sang anak. Kendati beda generasi, resep kuno masih tetap bertahan hingga sekarang. Bahkan oven yang dipakai bukanlah oven layaknya pembuatan roti modern. Tee San Tiong masih menggunakan tungku yang bawahnya terdapat bara api kayu bakar.

Tidak Sekadar Menjual Rasa

“Tak ada keinginan menjual roti modern, Ko?” kata saya penasaran melihat cintanya yang begitu besar terhadap resep peninggalan orang tuanya. Lelaki kelahiran 1935 ini menggeleng.

“Meskipun secara ekonomi pendapatan kami menurun drastis karena jumlah roti modern meningkat pesat, tetapi saya tidak ingin menjual rasa saja. Saya juga ingin menjual cerita.”

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Tee San Tiong, Pemilik Toko Roti Sentral (Nurillah Achmad)

“Cerita?” saya kembali takjub mendengar jawabannya.

“Ya, cerita bagaimana roti ini berdiri sejak zaman Belanda, cerita pelanggan yang umumnya berusia sepuh lalu mewarisi kenangan pada anak cucunya, dan anak cucu ini merasa terhubung dengan kakek nenek mereka hanya melalui roti, atau cerita bagi mereka yang belum pernah mencicipi dan ingin mengetahui perjalanan toko. Inilah yang ingin saya jual.”

Untuk sekian lama, saya hanya mampu tersenyum. Namun, saya tidak bisa berlama-lama karena ada rombongan guru dari Surabaya yang kebetulan datang ke Jember, sengaja mendatangi toko roti Sentral sebagai destinasi perjalanan wisata mereka. Saya segera memilih beberapa potong roti di etalase.

“Saya membuatnya tanpa pengawet. Kamu mau tahu cara menikmati roti ini yang paling nyaman di lidah?”

Saya manggut-manggut menunggu tips darinya.

“Sandingkanlah dengan secangkir teh. Maka kamu tidak sekadar menemukan rasa di sana, melainkan juga cerita.”

Saya senyum-senyum sendiri. Akhirnya, saya lekas pulang demi mengikuti saran dari pemilik toko roti ini. Anjurannya benar-benar terbukti. Dari gigitan pertama potongan roti kismis, saya merasakan aroma khas menyergap penciuman. Aroma ini tidak saya temui pada roti umumnya. Teksturnya lembut. Aroma wanginya mirip-mirip aroma cendana. 

Pada gigitan kedua saya tersenyum. Saya seakan terlempar ke masa silam dan melihat bayangan Ibu Oen Hwa Nio—ibu Tee San Tiong yang fotonya terpajang di depan lukisan—sedang mengelus dada, sebab anaknya memilih kabur ke Surabaya ketika ia melarang Tee San Liong bermain sepak bola.

Sementara pada gigitan roti cokelat, saya malah termenung. Saya teringat bagaimana Tee San Tiong bertahan di tengah gempuran bakery-bakery modern. Ia tahu betul, sedikit banyak, nama toko roti Sentral secara perlahan akan tenggelam. Proses produksinya menurun tajam. Namun, ajaran orang tua tak pernah memintanya putus asa apalagi menyerah.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Produksi roti Sentral yang kian sedikit/Nurillah Achmad

Selanjutnya pada gigitan roti kacang saya justru teringat novel Madre karya Dee Lestari. Saya kira, penulis favorit saya ini mesti ke Jember demi mencicipi roti Sentral. Satu-satunya alasan karena toko roti ini juga tak kalah bernilai dengan biang roti Madre di novelnya.

Gigitan demi gigitan saya nikmati. Banyak bayangan yang silih berganti dalam benak ketika saya tuntas mencicipi. Sampai akhirnya, teh teman bersanding juga tuntas saya teguk. Saat itulah, ketika semuanya tak ada sisa, saya menemukan apa yang Tee San Tiong maksud. Bahwa memang toko roti Sentral bukan sekadar menjual rasa, melainkan juga menyuguhkan cerita perjuangan sebuah keluarga serta saksi bisu peradaban sebuah bangsa.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Potongan roti yang saya nikmati/Nurillah Achmad

Inilah yang membuatnya bernilai. Aroma dan cerita seakan sepasang kekasih yang tak mengizinkan waktu memisahkan keduanya. Bila tak percaya, saya mengundang Anda untuk menikmati roti kuno yang resepnya mereka pertahankan sampai sekarang, lalu sandingkan dengan secangkir teh. Baik pagi atau sore hari, tak jadi soal. Satu-satunya perbedaan adalah dengan siapa kita menikmatinya. Niscaya, Anda akan serupa bintang-bintang berjatuhan. Manakala sekarat dalam senyum indah terakhir, bintang-bintang ini masih berterima kasih terhadap langit yang begitu lapang.

Persis roti Sentral. Pada gigitan terakhir, Anda akan tenggelam dalam aroma yang tak pernah ditemui sebelumnya. Namun, Anda masih berterima kasih atas balutan cerita yang berusia hampir 100 tahun lamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/toko-roti-sentral-jember-bertahan-dengan-cinta-dan-kenangan/feed/ 0 39863
Taman Baca Oce: Rental Komik Terakhir di Jember yang Bertahan hingga Sekarang https://telusuri.id/taman-baca-oce-rental-komik-terakhir-di-jember/ https://telusuri.id/taman-baca-oce-rental-komik-terakhir-di-jember/#respond Sat, 04 Mar 2023 04:00:30 +0000 https://telusuri.id/?p=37524 Rental komik ini benar-benar seperti bunglon. Apabila tak memicingkan mata lekat-lekat, niscaya orang yang berlalu lalang di jalan raya takkan pernah tahu, jika ruangan berukuran 6×3 meter itu adalah penyewaan komik terakhir di Jember. Satu-satunya...

The post Taman Baca Oce: Rental Komik Terakhir di Jember yang Bertahan hingga Sekarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Rental komik ini benar-benar seperti bunglon. Apabila tak memicingkan mata lekat-lekat, niscaya orang yang berlalu lalang di jalan raya takkan pernah tahu, jika ruangan berukuran 6×3 meter itu adalah penyewaan komik terakhir di Jember. Satu-satunya tanda hanya kalimat “OCE, Taman Baca” yang tertempel di dinding. Itupun tak seberapa mencolok.

Taman Baca Oce
Pak Uce, pemilik rental komik terakhir di Jember/Nurillah Achmad

Ketika saya berkunjung ke sana, tampak seorang lelaki paruh baya duduk di kursi. Jemari kanannya tengah menjepit rokok. Suasana tampak sepi. Namun di luar ruangan, keramaian tak terhindari. Lokasi tempat sewa komik ini berada di tengah kota. Letaknya berdekatan dengan Polres Jember.

Oce diambil dari nama lelaki itu. Sebetulnya, namanya Tosan Mangudi, tapi ia lebih dikenal sebagai Uce. Konon, ia memiliki garis keturunan Belanda, Cina dan Jawa. Pak Uce mendirikan taman baca sejak tahun 1995. Bermula dari ruangan berukuran 2×2 meter di depan rumahnya, ia memulai menyewakan buku koleksi pribadi.

“Awalnya saya tidak percaya diri karena di sebelah juga ada rental komik yang koleksinya sudah ribuan. Tapi untungnya, saya bergaul dengan orang yang lebih tua yang sudah kaya pengalaman.”

Akhirnya, ia tak jadi tutup usaha. Pak Uce terus menyisihkan uang guna menambah koleksi komik dan novel. Setahun kemudian, ia mulai merasakan keuntungan. Apalagi, tempat sewa komik di sebelah hendak tutup dan dan si pemilik meminta Pak Uce membeli koleksi komik dan novel di sana.

Usahanya berjalan pesat ketika memasuki tahun 2000. Novel Harry Potter diburu banyak orang. Begitupula dengan komik Detective Conan, Captain Tsubasa, Doraemon atau One Piece. Selaku pemilik rental, Pak Uce tak diam saja. Ia membaca semua koleksi buku-buku dan itu mempermudah tugasnya saat menjelaskan kepada pembaca terkait komik atau novel apa yang hendak mereka cari.

Lelaki kelahiran 1968 ini juga tak lupa diri. Ia sisihkan uang untuk menabung. Sampai akhirnya, ia dikejutkan dengan jumlah tabungan. Hasilnya cukup membeli mobil. Ia pun memutuskan memiliki kendaraan itu dan kembali menabung dari hasil sewa komik. Selang beberapa tahun kemudian, ia lagi-lagi tercengang melihat hasil tabungannya. Kali ini, ia mampu membeli tanah dan membangun rumah.

“Yang terpenting, kita harus bisa mengerem. Tidak boleh boros, tapi juga tidak boleh pelit,” tuturnya sambil sesekali menghisap rokok.

Saat ditanya soal koleksi komiknya itu, Pak Uce bercerita kalau komik dan novel di ruangannya berjumlah 25.000 eksemplar. Bahkan ia yakin, sebetulnya lebih dari itu apabila tidak dicuri.

  • Rental komik di Jember
  • Rental komik di Jember
  • Taman Baca Oce

Pak Uce kerap mendapati orang-orang yang sengaja mengambil komik atau novel miliknya. Bila ketahuan, ia tak pernah membawa si pencuri ke polisi melainkan memintanya mengembalikan atau mengganti apabila hilang.

Sebagaimana di tempat lain, rental komik sempat menjadi primadona, terutama era tahun 2000-2010. Entah anak-anak, remaja bahkan dewasa, rasa-rasanya mereka berburu komik dan novel. Selain milik Pak Uce, di Jember juga terdapat rental komik TOP yang berada di dekat kampus Unej. Namun seiring waktu, ketika internet mulai memenuhi riak kehidupan, keberadaan rental komik satu per satu mulai menutup diri termasuk rental komik TOP.

Arus modernisasi tak lagi bisa dibendung. Para pembaca banyak beralih ke warnet dan gawai. Pak Uce menyadari hal ini. Namun, dia tetap memilih bertahan di tengah gempuran media sosial dan kemudahan menemukan bahan bacaan.

“Saya tidak yakin kalau minat baca masyarakat itu rendah,” katanya. “Saya kira karena mereka sudah punya gawai dan sering bermain game dan berselancar di media sosial yang menyebabkan mereka jarang membaca.”

Yang membuat saya terpaku, Pak Uce tidak berniat menutup rental komiknya ini. Malahan ia terus memperbaharui koleksi komik dan novel. Seperti novel Dilan karya Pidie Baiq atau novel karya Tere Liye. Sebulan sekali ia ke Surabaya menaiki sepeda motor guna membeli komik atau novel terbaru.

Taman Baca Oce
Ribuan komik tertata rapi di Taman Baca Oce/Nurillah Achmad

“Mungkin saya idealis. Tapi saya terlanjur cinta dan saya sangat mencintai pekerjaan ini.”

“Sekalipun zaman terus berkembang, Pak?” tanya saya.

“Ya, saya tidak akan menutup rental ini atau menjual komik dan novel saya. Terutama komik pertama yang menemani saya dari nol. Itu adalah jimat buat saya,” pungkasnya.

Saya tersenyum tepat saat gerimis pertama jatuh ke pangkuan bumi. Bagi sebagian orang barangkali langkah Pak Uce dinilai pragmatis. Tak mau berkembang mengikuti zaman sebab pemilik rental komik yang lain telah beralih ke bisnis berbeda. Namun bagi Pak Uce, kebahagiaan batin adalah yang terpenting.

Terbukti, rental komiknya ini masih didatangi pengunjung tiap hari. Bahkan saat saya keluar hendak pulang, terdapat seorang lelaki menepikan sepeda. Saya kira, sebentar lagi lelaki itu memilih komik atau novel yang hendak dibaca, menyerahkan KTP sebagai jaminan lantas membayar uang sewa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Taman Baca Oce: Rental Komik Terakhir di Jember yang Bertahan hingga Sekarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/taman-baca-oce-rental-komik-terakhir-di-jember/feed/ 0 37524
Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum https://telusuri.id/situs-duplang-peninggalan-zaman-megalitikum/ https://telusuri.id/situs-duplang-peninggalan-zaman-megalitikum/#respond Thu, 05 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28781 Ini adalah kedatangan saya yang keempat kalinya. Terik matahari tak begitu menyengat. Mega mendung yang nampak dari timur raung tak menciutkan nyali untuk mengunjungi Desa Kamal Kecamatan Arjasa. Padanya saya membulatkan tekad sebab Arjasa bukan...

The post Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah kedatangan saya yang keempat kalinya. Terik matahari tak begitu menyengat. Mega mendung yang nampak dari timur raung tak menciutkan nyali untuk mengunjungi Desa Kamal Kecamatan Arjasa. Padanya saya membulatkan tekad sebab Arjasa bukan sembarang tempat. Di sini, terdapat banyak sejarah yang barangkali tak semua daerah memiliki. Salah satunya adalah Situs Duplang.

Duplang adalah nama padukuhan di Desa Kamal. Jaraknya sekitar 16 km dari pusat Kota Jember. Melalui jalan nasional Jember—Bondowoso, situs ini dapat ditempuh memakai kendaraan pribadi. Letaknya berada di lereng Hyang Argopuro. Tak ayal udara begitu sejuk ala pegunungan. Apalagi situs berada di dataran yang lebih tinggi dibandingkan daerah sekitar.

Sebelum memasuki pintu masuk, terdapat sebuah rumah sederhana yang sebagian berdinding gedhek, sedang yang lain terbuat dari semen dan bata. Di sinilah Pak Sudarman tinggal. Selaku Juru Pelihara, dia bertanggung jawab menjaga, mengelola, dan merawat situs ini. Dari beberapa pigura yang terpajang, tampak beragam aktivitas yang diabadikan, salah satunya membersamai staf cagar budaya.

Pak Sudarman di Antara Deretan Batu Kenong/Nurillah Achmad

Sosok Pak Sudarman begitu hangat. Tak pelit cerita saat menjelaskan perjalanannya menjadi Juru Pelihara. Usianya memang tak lagi muda, tapi tubuhnya masih kuat berjalan. Ingatannya pun tak lekang zaman. Bahkan bibir saya sempat terkatup saat pertama kali berkunjung, Pak Sudarman menyapa saya memakai bahasa Indonesia. Bukan apa-apa, sebagian besar orang tua yang saya temui di desa-desa, kebanyakan berbahasa Madura atau Jawa. Apalagi Jember memiliki percampuran budaya keduanya.

Barangkali karena melihat mimik muka saya yang keheranan itulah, akhirnya Pak Sudarman bercerita jika dirinya lahir pada tahun 1938 dan bersekolah di Sekolah Rakyat yang letaknya di Candi Jati.

“Saat itu jarang ada pakaian. Kami biasanya menebang pohon bunut. Semisal butuh semeter, kami ukur batang pohon itu lalu dipukul-pukul. Begitu berulang-ulang sampai sekiranya kulit kayu bisa dikelupas. Nah, kulit kayu itu yang kami bentuk menjadi pakaian.”

“Bisa dicuci, Pak?”
“Lho, zaman dulu tidak ada sabun.”
“Lantas?” Kata saya yang penasaran.
“Ya, pakai buah lerak. Bijinya itu berbusa.”

Saya terpingkal-pingkal mendapati Pak Sudarman yang tertawa mengenang masa lalunya. Tetapi, mimik muka beliau seketika berubah serius saat saya bertanya asal mula menjadi Juru Pelihara.

Keriput tuanya seakan ikut bicara. Kedua kelopak matanya jauh memandang deretan pohon jati. Bibirnya bergetar saat ia mengingat masa lalu, pada masa di mana gurunya yang bernama Pak Karman bercerita bahwa pada zaman dulu kala, manusia purba tidak mengenal baca tulis dan semua peralatan menggunakan batu. Bukan besi. Sudarman kecil seketika teringat akan halaman rumahnya yang penuh batu-batu purba.

Sepulang sekolah, ia lekas-lekas menemui bapaknya yang ketika itu berusia sepuh. Konon, usianya mencapai 180 tahun. Sudarman kecil lantas bertanya pada sang bapak, dengan apa nenek moyang membuat batu kenong di halaman rumahnya itu? Apakah dipahat dengan batu atau pakai kapak batu?

Sang bapak yang perawakannya hemat bicara hanya menjawab singkat, “Semua batu itu, Cong, sebetulnya lunak. Tidak keras.” Sudarman kecil yang belum disunat mengernyitkan dahi. Ia mengulang pertanyaan serupa, dengan apa nenek moyang membuat batu kenong di halaman rumahnya. Lantas, bapaknya meminta sang anak memungut batu di halaman, dan Sudarman kecil segera mengambil batu.

Tanpa banyak cakap, sang bapak menggenggam kuat-kuat batu tersebut. Seketika batu itu luluh menjadi abu. Sudarman kecil tercekat. Dalam benaknya tertancap heran, bagaimana bisa batu yang sedemikian keras dapat berubah wujud menjadi abu hanya dengan digenggam sang bapak? Tetapi, ia masih mengulang pertanyaan yang sama. Dengan apa nenek moyang membuat batu kenong di halaman rumahnya?

Sang bapak yang merasa putranya belum puas, akhirnya meminta Sudarman kecil mengambil batu berukuran lebih besar di hutan jati. Sudarman yang begitu semangat segera menelusuri hutan, lantas memikul sebuah batu berukuran agak besar. Setelah tiba dan menaruh di hadapan bapaknya yang tak sanggup berjalan, ia mengamati apa yang diperbuat orang tuanya itu. Betapa tergagapnya ia sewaktu bapaknya menyentuh batu, dan mengupas bagian atas hingga berbentuk seperti batu kenong di halaman rumahnya, dan itu hanya menggunakan tangan tanpa alat bantu. 

Batu Kenong/Nurillah Achmad

Peristiwa ini benar-benar menguras rasa takjub. Sontak Sudarman mengutarakan keinginannya agar sang bapak mewarisi ilmunya tersebut. Sang bapak mengangguk setuju asal Sudarman meneruskan pendidikan ke Sekolah Teknik. Sayangnya, saat Sudarman berada di tingkat lanjutan ini, sang bapak dipanggil Tuhan tanpa sempat mewarisi ilmunya.

“Ini yang menjadi penyesalan saya, kenapa tidak belajar dulu meskipun belum lulus dari Sekolah Teknik.”

Saya melihat aroma penyesalan dari mata tuanya. Kendati begitu, ia tak patah arang memelihara batu-batu purba yang berserakan di halaman rumahnya. Apalagi, selama di Sekolah Rakyat, ia menjadi murid terpandai nan piawai membuat peta. Kecintaannya akan sejarah seakan telah direstui zaman. Terbukti sejak zaman 1985, ia memelihara situs ini.

Karena letaknya di Dusun Duplang, peninggalan nenek moyang ini lebih dikenal sebagai Situs Duplang. Terdiri dari batu menhir, kenong tunggal dan kenong kembar, serta dolmen. Selain di lahan ini, sebetulnya batu-batu purba banyak berserakan di wilayah Arjasa. Pak Sudarman pun menuangkannya dalam sebuah peta. 

Tak heran, dalam kunjungan saya yang keempat kalinya ini, Pak Sudarman mengajak saya menelusuri batu-batu yang ada di peta. Layaknya pencari harta karun, kami menyusuri sungai-sungai terjal, jalan berkelok tajam, dan tak jarang terperosok dari atas pematang. Semisal, batu mata angin yang menunjukkan empat penjuru arah yang berada di rumah Bu Ika di Dusun Krajan. Belum lagi batu tulis, batu kursi serta dolmen dan menhir yang tak jauh dari tepi Kali Gumblung. Sebagian yang tercantum dalam peta Pak Sudarman, ditunjukkan dengan jalan menikung.

Batu Menhir/Nurillah Achmad

Menurut penelitian yang dilakukan BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan, batu-batu zaman megalitikum ini diperkirakan muncul pada abad 10 M, bergantian dengan munculnya candi Borobudur di abad ke-9. Namun, tak sedikit yang berujar jika batu ini telah ada pada abad ke-4.

“Selain Kendal dan Trowulan, wilayah yang saya tempati ini adalah wilayah purba,” kata Pak Sudarman. “Bahkan menhir di sebelah pohon mangga ini, diyakini sebagai stupa layaknya stupa Borobudur. Apabila benar, maka tidak menutup kemungkinan di bawah rumah saya terdapat candi.”

Mendapati Pak Sudarman yang lancar menceritakan batu-batu purba, saya teringat akan juru kunci gunung dan makam. Tapi, Pak Sudarman lekas-lekas menyangkal. Ia tak mau disamakan dengan juru kunci, layaknya juru kunci makam para wali.

“Sesuai amanat dari dinas, saya ini seorang Jupel. Juru Pelihara. Kalau juru kunci, ia ahli tirakat. Ahli doa. Saya tidak pandai begitu. Saya hanya ingin menjaga dan merawat batu-batu ini saja.”
“Apakah nanti ada penerus dari Bapak?”
“Oh, tentu. Anak saya yang sekolah di STM itu penerusnya.”

Seketika saya tersenyum. Ah, barangkali saya terlampau buru-buru menyimpulkan keadaan jika nantinya sepeninggal Pak Sudarman, tak bakal ada yang menggantikan sosoknya.

“Tapi, Nak,” sambungnya lagi. “Anak saya tidak akan sama dengan saya. Caranya menjelaskan tentang apa itu batu kenong tunggal dan batu kenong kembar, apa dan bagaimana batu-batu ini dulunya berada, serta cerita apa yang tersimpan pada masa lalu, tak semuanya sama dengan apa yang saya ketahui. Benar ia anak saya, tetapi kami beda kepala dan beda zaman.”

Saya mengangguk setuju tepat gerimis pertama jatuh ke atas pangkuan lereng Hyang Argopuro. Pak Sudarman benar. Ia tak bisa diganti meski telah menyiapkan seorang penerus. Sama persis seperti almarhum bapaknya yang telah menjaga batu-batu purba sejak zaman lampau, tapi ilmu dan tirakatnya tidak bisa digantikan. Yang ada hanyalah sosok anyar yang barangkali dengan sosok ini, situs Duplang tetap lestari dan jauh dari jangkauan pencuri seperti yang terjadi pada tahun awal tahun 2000


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Situs Duplang, Peninggalan Nenek Moyang Zaman Megalitikum appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/situs-duplang-peninggalan-zaman-megalitikum/feed/ 0 28781