Nawa Jamil, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/nuruljamil/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 24 Jun 2025 14:40:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Nawa Jamil, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/nuruljamil/ 32 32 135956295 Bandung dalam Setahun https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/ https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/#respond Tue, 24 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47520 Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar,...

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar, terutama udara dinginnya, bahasa orang-orang yang jauh berbeda, kemacetan jalan yang berada di level berbeda dengan jalan-jalan Makassar, dan tentu saja perasaan sepi yang baru pertama kurasakan di tempat baru ini. 

Bandung adalah babak baru yang datang dengan sendirinya. Prosesnya begitu cepat dan mudah, seolah semuanya memang harus seperti ini: perpindahan karier, mengurusi semua barang di Makassar, membawa semua yang bisa kubawa dalam sebuah tas carrier 45 liter, berpisah jarak dengan semua orang yang aku kenal dan mulai membuka pertemuan-pertemuan dengan orang baru. 

Bandung dalam Setahun
Suasana Jembatan Pasupati Bandung saat malam hari/Nawa Jamil

Jatinangor dan Pertaruhan Baru

Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Jatinangor kami tempuh dengan mobil travel. Pengemudinya cekatan meski cukup cerewet dan tidak sabaran. Selain aku, Mba Leli, dan Adeeva, mobil ini juga mengangkut dua penumpang wanita lainnya.

Perjalanan kami mulus tanpa hambatan. Kami hanya berhenti di satu rest area dan tiba di Jatinangor pada siang hari. Kami pun memasuki salah satu apartemen di daerah ini, menata barang-barang dari Makassar seadanya, lalu merebahkan diri.

Sama seperti petualangan-petualangan sebelumnya, petualangan kali ini juga membuat dada berdebar dan pikiran berkelana penuh rasa penasaran. Bedanya, perjalanan ini lebih banyak tanda tanya dan takutnya. Berbeda dari petualangan-petualangan sebelumnya, tampaknya petualangan ini akan panjang, bisa saja malahan aku menemukan rumah tetap di sini, dan kali ini tidak ada tiket pulang. Untuk pertama kalinya, aku memulai perjalanan dengan berbekal tiket sekali jalan.

Bandung dalam Setahun
Rak penuh buku di toko buku Akar Rumput di Jatinangor/Nawa Jamil

Budaya, Selera, dan Bahasa

Hari-hari di Jatinangor berjalan sibuk dan cepat. Berbeda dengan kehidupan kerja dan bermain di Makassar, Jatinangor membawaku pada kesunyian yang syahdu. Setelah selesai dari pekerjaan 9 pagi sampai 5 sore, aku akan langsung pulang ke kos, merebahkan diri, dan tertidur begitu waktu isya datang. Terdengar membosankan, bukan? Tapi percayalah, ritme ini membawaku pada kenyamanannya sendiri. 

Selain ritme kehidupannya, Jatinangor juga membuatku nyaman dengan makanan-makanannya: nasi pecel Singkiye, tahu (yang secara mengejutkan) terenak yang pernah kumakan selama hidup yang singkat ini, sate solonya, dan semua olahan mi yang enak-enak.

Ada perbedaan mencolok dari kuliner Sunda dan Makassar. Di saat kuliner Makassar menyukai segala sesuatu yang berbahan utama daging dan diolah dengan beraneka bumbu yang berani, seperti coto, sop konro, sop saudara, konro bakar, pallubasa, dan berbagai masakan olahan daging lainnya, masakan Sunda justru minim bumbu dan lebih sederhana. Orang-orang asli Sunda menyukai ikan goreng dadakan yang di luar garing tetapi menyisakan daging ikan yang lembut dan disantap saat masih hangat bersama aneka sayur lalapan. Sayur-sayurnya disajikan segar dan dapat dengan mudah ditemui hampir di seluruh warung Sunda.

Seolah keberuntunganku pindah ke sini tidak pernah habis, aku mendapati diriku mudah beradaptasi dengan bahasa Sunda. Sebagai seorang dari tanah Sulawesi dengan bahasa, intonasi, dan penekanan kata yang jauh berbeda dari Sunda, kuakui cukup sulit untuk menghindari banyak prasangka orang-orang asing terhadapku dari cara bicara orang Sulawesi ini. Banyak sekali orang yang berpikir aku marah, padahal aku hanya berbicara santai (dengan nada dan intonasi bawaan dari Makassar). Inilah seni dari sebuah pertaruhan di tanah rantau. Tantangan bahasa ini adalah sesuatu yang harus aku taklukkan, menikmati prosesnya, dan perlahan menyesuaikan diri dengan tata bahasa orang-orang sekitar. Menariknya, kini aku menikmati bahasa Sunda, lantunannya, dan tuturnya.

Orang-orang Baru

Hal yang paling sedih dari perantauan adalah jauh dari keluarga dan orang-orang yang sudah kuanggap seperti keluarga. Pertaruhan ini juga membawa ketakutan terbesar, “Seperti apa orang-orang yang akan aku temui di sini?” 

Cara dan nadaku dalam berbicara sejujurnya membawa ketakutan tersendiri. Bagaimana jika orang-orang salah paham? Bagaimana jika Bandung dan orang-orangnya tidak seseru Makassar? Bagaimana jika orang-orang tidak membuka ruang-ruang pertemanan baru denganku? Dan banyak perandai-andaian lainnya. 

Dua minggu di perantauan ini, semesta memberiku jawaban ‘tidak’ atas semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan. Momennya tepat pada perayaan Iduladha. Saat itu, aku diajak merayakan perayaan ini di daerah Cimenyan, di sebuah sekolah alternatif bernama Ummasa. Di sini aku bertemu orang-orang Bandung yang menyambutku dengan tangan hangat: Kak Vanbi, Kak Bolang, Kak Meylani, Kak Trisna, dan banyak lagi. 

Keberuntunganku tidak berakhir di sana. Aku juga bertemu dengan lusinan orang baik di Komunitas Teman Manusia Bandung. Pertemuan demi pertemuan menjadikan Bandung tempat yang nyaman bagi perempuan Makassar sepertiku. Dari keramahan orang-orang yang kutemui di jalanan kota, kebaikan orang-orang yang menyambutku dengan hangat di rumah-rumah mereka, keluarga baru yang kutemui di sini, sampai orang-orang asing yang mendengarkan semua ceritaku dengan hati. 

  • Bandung dalam Setahun
  • Bandung dalam Setahun

Petualangan Baru

Bandung adalah tempat jelajah yang menawarkan segala yang kucari: kekayaan musik, budaya, tempat-tempat nyaman di ketinggian, hingga daerah pantai eksotis di Garut yang dapat ditempuh sekitar tiga jam dari kosku. Aku bertemu seorang pencinta musik skinhead Bandung yang mengenalkanku tentang keragaman musik Kota Kembang. Tak hanya itu, Sunda yang terkenal dengan alunan seruling dan alat musik tradisional dari bambu juga menambah semangat eksplorasiku akan kota ini.

Kemacetan kota dan bagaimana orang-orang Bandung lebih senang berdiam diri di rumah saat akhir pekan karena jalanan kota penuh kendaraan berplat B, serta tata kota yang menurutku semrawut adalah perihal kecil Bandung yang baru bisa diketahui setelah mengamati kota ini dalam kurun waktu tertentu.

Kemacetan Jatinangor–Kota Bandung yang melewati Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Cicaheum, hingga berbelok ke arah pusat kota di sekitaran Gedung Sate adalah pemakluman yang kuamini selama setahun di sini. Namun, semua itu tidak sebanding dengan yang ditawarkan: kesejukan kebun teh daerah Pangalengan, Ciwidey hingga Lembang, keunikan Tangkuban Perahu dan gunung-gunung vulkanis di sekitar Jawa Barat, hingga Bandung malam hari yang kuamati dari salah satu kafe di ketinggian daerah Bojong Koneng.

Ada begitu banyak hal indah tentang Bandung, ada begitu banyak petualangan yang mesti dimulai, peristiwa yang mesti dialami, teman untuk didengar, dan perjuangan-perjuangan yang menunggu untuk dimenangkan.

* * *

Merantau tanpa tahu kapan kembali adalah perjalanan penuh tanda tanya. Pertaruhan tanpa tiket pulang ini telah kulalui selama setahun. Hanyalah hal baik yang terpikirkan saat mengingat Bandung dan orang-orangnya. Tak berhenti di sini, perantauan ini masih akan berlanjut di Bandung sampai entah kapan, semoga untuk waktu yang lama, lama sekali. 

Terima kasih orang-orang baru, keluarga yang menerimaku, dan kesejukan Bandung yang ingin kunikmati selamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/feed/ 0 47520
Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/#respond Tue, 01 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42768 Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit...

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung
Perjalanan menyusuri kebun teh menuju House of Bosscha/Nawa Jamil

Mobil kami melewati jalan yang tidak begitu mulus. Tidak ada bangunan di sekelilingnya, hanya kebun teh luas sejauh mata memandang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB, sementara udara di sekitar Pangalengan semakin dingin dan langit kian redup.

Kami memasuki area House of Bosscha yang tampak sepi di sore hari. Pos penjaga juga kosong. Hanya terdapat satu kelompok turis yang tampaknya akan pergi sebentar lagi. Perjalanan penelusuran ini saya lakukan bersama Kak Bolang, orang Makassar yang sudah setahun lebih bekerja di Bandung dan Kak Sandra, seorang teman yang kini tengah menyelesaikan tesisnya di Universitas Indonesia.

Kami memarkir kendaraan tidak jauh dari rumah utama Bosscha dan menyempatkan diri berfoto di beberapa titik, seperti papan rumah dan bagian depan rumah Bosscha. Kami sempat kesulitan mencari pintu masuk ke ruangan ini, meskipun ada banyak pintu. Sayangnya, semua yang kami coba buka terkunci semua. Untungnya seseorang dari rombongan turis tadi menyarankan untuk mencoba pintu belakang. 

“Neng, kayaknya di sini semuanya terkunci. Tadi kami lewat belakang.”

Nuhun, Kang.”

Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung
Salah satu sudut luar Rumah Bosscha/Nawa Jamil

Lorong Waktu Rumah Bosscha

Melihat dari model bangunan dan suasana yang dibawa, saya bisa merasakan bahwa beberapa bangunan yang terpisah dari rumah utama jauh lebih baru. Di bagian belakang, terdapat deretan paviliun dan satu bangunan persis di sebelah pintu belakang rumah utama, yang tampaknya diisi oleh para pekerja yang mengelola tempat ini. Seorang pengelola duduk di dekat pintu masuk. Kami menyapa hangat. Usai membayar biaya kontribusi per orang, kami mulai menelusuri bagian dalam dari rumah tua ini, yang tadinya hanya bisa kami saksikan dari kaca jendela luar.  

Bagian dapur rumah seolah membawaku melintasi lorong waktu. Di sini, sinar matahari masuk secara maksimal dengan interior bernuansa putih. Sebuah drinking water filter yang usianya kuyakini jauh lebih tua dariku tampak kokoh di sudut penanggah (pantry). Seorang petugas duduk di dekat pintu, mempersilakan kami mengeksplorasi bagian dalam dari rumah Bosscha. Dari dapur, pintu langsung terhubung ke ruang tengah. 

Tidak banyak yang tersisa dari ruangan tersebut. Sejumlah pajangan berukuran kecil terpasang di atas sebuah perapian. Ada angklung dengan delapan tangga nada, beberapa patung wayang orang, pigura Karel Albert Rudolf (K. A. R.) Bosscha, serta miniatur makamnya. Di atas pajangan-pajangan tersebut terdapat satu lukisan cat air yang cukup besar. Visualisasi hutan dengan dominan warna hijau membuat saya bisa merasakan kekuatan lukisan ini yang mampu bertahan dalam periode waktu yang lama.

Kemudian ada pajangan-pajangan kecil di kedua sisi perapian, termasuk kaca buram dengan bentuk menyerupai jendela. Selain perapian, di ruangan tersebut juga tersimpan beberapa perabot dari kayu jati kukuh—bahkan lima pria dewasa saja saya ragukan dapat memindahkan perabotan ini—seperti piano dengan tuts kusam yang masih berfungsi, sejumlah sofa, dan sebuah lemari kayu jati (yang tampaknya) superberat hanya dari melihatnya saja.

Bergeser ke ruang tamu, terdapat banyak perabot tua, seperti sofa yang disusun mengikuti bentuk jendela besar ruang tamu, sebuah lampu gantung, beberapa meja kaca bundar dengan kaki-kaki kayu langsing, sofa malas besar, dan lampu lantai dengan desain yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tutupannya begitu besar, bermotif khas grandma core, berbahan kain berlapis tebal dengan aksen kain bulat di sekelilingnya. Satu pertanyaan langsung terlintas saat saya melihat desain lampu lantai tua itu, ”Sebanyak apa debu di benda ini?”

Secara umum, rumah Bosscha cukup terawat mempertimbangkan umurnya yang sekitar satu abad lebih. Termasuk bagian dapur yang masih aktif difungsikan oleh penjaga rumah ini. Kak Bolang dan Kak Sandra masih sibuk berfoto di beberapa sudut rumah, sementara saya memutuskan kembali ke bagian dapur, lalu duduk di salah satu kursi dekat pintu masuk. Saya duduk berseberangan dengan bapak penjaga rumah. Dari perawakannya, bapak itu sudah bekerja cukup lama. Ia juga cukup ramah menjawab beberapa pertanyaanku, termasuk kisah panjang tentang sosok Bosscha. 

”Dari cerita kakek saya yang ikut langsung dengan Pak Bosscha, Bapak dahulu orang yang baik meskipun bukan orang pribumi. Saking baiknya, waktu Pak Bosscha meninggal, kepala rombongan pelayatnya sudah sampai di kuburan, ekornya masih di sini.” 

Namanya Kang Asep. Obralan kami dimulai dengan menceritakan sosok Bosscha, perihal peninggalan orang Belanda yang banyak berjasa bagi masyarakat Bandung, sejarah dan deretan perubahan rumah, juga pengalaman unik selama bekerja di sini. 

Rumah Bosscha mengalami beberapa kali renovasi. Salah satu yang paling diingat Kang Asep adalah peristiwa gempa Sukabumi yang terjadi pada 2009. Dari penuturan beliau, saat gempa terjadi sebagian besar paviliun baru di sekitar rumah Bosscha rusak parah, bahkan beberapa bagian dari rumah utama.  

”Selama Bapak kerja di sini, rumah ini sudah beberapa kali renovasi, Teh. Rusak terparah itu sewaktu tahun 2009. Ada beberapa bagian rumah yang rusak, tapi tidak semuanya.” 

Ia melanjutkan, ”Tapi dulu sewaktu 2009, seluruh paviliun, bangunan-bangunan baru yang dibangun setelah rumah ini seluruhnya rusak, Teh. Justru rumah Bosscha ini yang tidak terlalu parah rusaknya, padahal bangunan ini, Teh, dibangun tanpa semen seperti bangunan-bangunan sekarang.”

Tentang Bosscha

Ada banyak hal yang diceritakan Kang Asep, tetapi banyak hal pula yang justru membuat saya semakin penasaran dengan sosok Bosscha. Dari beberapa sumber, saya bisa merasakan sosoknya yang begitu peduli dengan kesejahteraan pribumi di Bandung, terutama orang-orang yang bekerja dengannya di Perkebunan Teh Malabar. Ia banyak berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan di tanah Bandung, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Pada 1901 ia mendirikan sekolah dasar Vervoloog Malabar bagi anak-anak karyawan dan buruh perkebunan teh. Bosscha juga berperan penting dalam pendirian Institut Teknologi Bandung sebagai Majelis Direktur. Kontribusi yang tak kalah penting dari Bosscha adalah inisiasi pembangunan Bosscha Sterrenwacht atau sekarang dikenal dengan Observatorium Bosscha.

Ia datang ke Hindia Belanda tahun 1887. Namun, tidak langsung ke Bandung, tetapi terlebih dahulu melakukan ekspedisi pencarian emas di Sambas, Kalimantan. Sepulang dari Kalimantan, ia kemudian memulai karir sebagai pengusaha perkebunan teh pada 1896. Selama 32 tahun mengurusi perkebunan dengan banyaknya hal baik yang diberikan kepada orang-orang pribumi, ia akhirnya mengembuskan napas terakhir di rumahnya sendiri. Bosscha disemayamkan di tempat yang paling ia senangi sewaktu masih hidup, yakni di tengah-tengah kebun teh Malabar. 

Terlahir di Gravenhage (Den Haag), Belanda dan meninggal sebagai seorang bujang di Bandung, ia menghibahkan perkebunan dan asetnya untuk kesejahteraan masyarakat Bandung. Dari penuturan Kang Asep, keluarga Bosscha beberapa kali berkunjung ke makam dan rumah Bosscha setahun sekali pada periode 1980-an. Namun, kini sudah tidak pernah lagi.

Sayang sekali, penelusuran jejak Bosscha kemarin tidak sampai ke Observatorium Bosscha. Fasilitas tersebut ditutup semenjak pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, meski saat ini dibuka secara terbatas. Namun, bertandang ke makam Bosscha dan rumahnya, serta bertemu orang-orang yang tumbuh dengan cerita kebaikannya, membuat saya mengerti bagaimana ia begitu dirayakan masyarakat Bandung hingga hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-bandung/feed/ 0 42768
Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music” https://telusuri.id/menikmati-sajian-musik-di-fete-de-la-musique-2024-beyond-music/ https://telusuri.id/menikmati-sajian-musik-di-fete-de-la-musique-2024-beyond-music/#respond Sat, 21 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42712 Sekitar tiga hari kembali ke aktivitas rutin di Jatinangor, Kak Bolang, salah satu guru TK di Sekolah Alam Ummasa mengundang saya dan Kak Sandra menghadiri penampilan anak-anak kebun di Institut Français Indonésie (IFI) Bandung. Setelah...

The post Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music” appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar tiga hari kembali ke aktivitas rutin di Jatinangor, Kak Bolang, salah satu guru TK di Sekolah Alam Ummasa mengundang saya dan Kak Sandra menghadiri penampilan anak-anak kebun di Institut Français Indonésie (IFI) Bandung. Setelah bekerja, di sore harinya saya dan Kak Sandra dari Jatinangor langsung menuju IFI yang terletak di kawasan Sumur Bandung.

Motor kami bergelak melambat bersama kendaraan lain yang terjebak macet begitu sampai di daerah Cileunyi. Kondisi lalu lintas sore yang cukup padat membuat kami terlambat nyaris setengah jam dan baru tiba sekitar pukul tujuh malam. 

Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music”
Penampilan Nil Saujana dan Anak-Anak Kebun/Nawa Jamil

Pementasan Menggemaskan dari Nil Saujana dan Anak-Anak Kebun

Nil Saujana dan Anak-Anak Kebun sementara tampil saat kami tiba. Untungnya, masih tersisa beberapa bangku kosong di bagian belakang. Anak-anak bernyanyi dan bersenang-senang dengan gembira di atas panggung, menyanyikan lagu Main Hujan yang diiringi petikan gitar Kak Yudha.

Nil Saujana dan Anak-Anak Kebun merupakan proyek bersama yang digarap Kak Yudha, salah satu musisi Bandung yang tergabung di grup all-star Syarikat Idola Remaja. Main Hujan merupakan lagu pertama Kak Yudha yang  saya dengar. Mengingatkan saya akan suasana kampung dan saat-saat libur sewaktu sekolah dasar dulu.

Saya seperti menyaksikan pentas sekolah. Selain penampilan Anak-Anak Kebun yang riang dan menggemaskan, dengan suara anak-anak yang bebas dan gerakan-gerakan kecil yang tidak sama, energi dari para penonton—yang saya yakini sebagian besar orang tua mereka—pun menambah suasana pementasan. Para orang tua tampak bangga mengabadikan momen anak-anak mereka. Selain bernyanyi bersama, anak-anak juga bercerita tentang momen paling disukai selama belajar di Ummasa. 

Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music”
Para orang tua menyemangati anak-anak yang tampil di panggung/Nawa Jamil

Seusai penampilan Nil Saujana dan Anak-Anak Kebun, rangkaian acara diistirahatkan sebentar sembari menyiapkan panggung untuk seniman selanjutnya. Saya dan Kak Sandra keluar sejenak, menjalankan misi berfoto bersama Bagus Dwi Danto (Sisir Tanah), suara di balik lagu Obituari Air Mata, Lagu Pejalan, Lagu Cinta, dan banyak lagu indah tentang manusia dan kehidupannya.

Kak Sandra adalah fans Pak Bagus sejak dulu. Sewaktu masih mengenyam pendidikan S-1 pada 2018 di Makassar lalu dan tergabung dalam kepanitiaan di kampus, ia mengundang Pak Bagus sebagai pengisi acara. Malam ini kami memiliki misi untuk membuat ulang foto yang sama dengan perbedaan waktu sekitar enam tahun. 

Beruntung Kak Bolang mempertemukan kami dengan Pak Bagus. Keduanya memang saling mengenal secara personal. Pertemuan fans-idola itu berlangsung cukup lama. Kak Sandra berbincang penuh semangat, sementara Pak Bagus menaruh perhatian penuh akan hal-hal yang terlontar dari mulut fansnya itu. Di akhir perbincangan, mereka berdua kembali berfoto dengan pose yang sama seperti tahun 2018 lalu. Saya “membantu” sebagai pemeran pengganti kawan Kak Sandra. 

Berswafoto dengan Sisir Tanah/Nawa Jamil

Penampilan Eksploratif dari RohElok dan Bottlesmoker

Penampilan selanjutnya diisi oleh RohElok, grup musik yang membawa cerita penelusuran di Pulau Kalimantan. Sebelum memulai, duo yang digagas oleh Baseput dan Deathlezz Ramps menayangkan rekaman video penelusuran Kak Reyhan dan pengalaman eksplorasi mereka selama di pedalaman Kalimantan. 

Setelah itu RohElok memainkan musik yang mengawinkan musik modern dan alat musik tradisional sape. Kak Reyhan melakukan modifikasi terhadap alat musik sape miliknya, seperti menambahkan input cable jack audio sehingga keluaran audionya tidak kalah nyaring dengan suara perangkat musik elektronik dengan banyak kabel yang tampak begitu rumit.

Sebagai seorang yang tidak begitu sering terpapar musik elektronik (EDM), jujur saya cukup menikmati musiknya secara umum. Gerak tubuh duo RohElok serta kemampuan mereka berinteraksi dengan penonton patut diacungi jempol. Di sepertiga akhir penampilannya, Kak Reyhan berbaur dengan penonton dan mempersilakan anak-anak mencoba memainkan sape miliknya. Tentu Anak-Anak Kebun sangat bersemangat dan berebut memetik senar sape tersebut. Sedikit ricuh, tetapi pada akhirnya penampilan tersebut berakhir dengan tepuk tangan yang begitu meriah. 

Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music”
Alat musik khas Dayak, sape, dipadupadankan dengan alat musik modern/Nawa Jamil

Setelah penampilan RohElok, festival malam itu dilanjut ke penampil terakhir, Bottlesmoker, duo seniman yang artistik dan inovatif. Beberapa orang mungkin tidak asing dengan karyanya, seperti Boredom and Freedom, The Edge of Wonderland, serta beberapa karya musik lainnya. Salah satu eksperimen ter-gokil duo ini adalah sound of plant. Sangat unik menyaksikan penampilan mereka. Di panggung, terdapat deretan tanaman dalam pot. Eksplorasi musikal tersebut dinamai “Plantasia”, sebuah proyek musik yang menggabungkan unsur teknologi, alam, dan manusia.  

Bottlesmoker memulai sesi penutup dengan menceritakan proses di balik karya unik tersebut. Mereka memberikan demonstrasi bagaimana tiap tumbuhan memiliki gelombang yang jika ditransformasikan ke dalam suara memiliki gelombang yang berbeda-beda. Dari situs web IFI Bandung, Bottlesmoker menerjemahkan biodata tumbuhan menjadi suara yang diterima telinga manusia melalui perangkat komputasi dan alat musik, yaitu teknologi sensor biofeedback dalam generator tegangan acak empat kali lipat.

Selain Bandung, Fete de la Musique 2024 diselenggarakan di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya selama pertengahan sampai akhir Juni lalu. Saya cukup beruntung bisa menyaksikan pertunjukan ini dan merasakan aura seniman-seniman Bandung. Termasuk bertemu dengan Pak Bagus Sisir Tanah dan seorang yang sempat menjadi seniman tamu pada event Makassar Biennale 2023, yaitu Kak Jim Allan Ebel atau akrab disapa Kak Jimbo.

Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music”
Penampilan Bottlesmoker dengan eksplorasi musikal yang unik/Nawa Jamil

Perjalanan Pulang

Kami meninggalkan IFI Bandung sejam sebelum tengah malam. Kami berniat mencari makan malam tercepat dan termudah. Tatkala menyusuri Jalan Purnawarman, pilihan kami jatuh pada Waroeng Spesial Sambal ’SS’ di Jalan Bawean. Salah satu dari sedikit tempat kuliner yang masih buka saat itu. Kami menikmati sepiring nasi hangat dan sambal super pedas, ditemani dengan wedang uwuh yang sangat cocok dengan suasana dingin Bandung di malam hari.

Perjalanan singkat malam ini ditutup dengan bermotor dari pusat Kota Bandung ke Jatinangor. Suasana malam yang dingin dan jalanan sepi menjadi penutup sempurna kunjungan singkat menyaksikan penampilan aneka sajian musik Fete de la Musique 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Sajian Musik di “Fete de la Musique 2024: Beyond Music” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-sajian-musik-di-fete-de-la-musique-2024-beyond-music/feed/ 0 42712
Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa https://telusuri.id/cerita-perayaan-lebaran-iduladha-di-sekolah-alam-ummasa/ https://telusuri.id/cerita-perayaan-lebaran-iduladha-di-sekolah-alam-ummasa/#respond Wed, 11 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42638 Bulan Juni 2024 berjalan seperti roller coaster. Juni saya habiskan dengan serangkaian situasi yang terjadi di luar kendali, hingga keputusan berani untuk merantau di daerah Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sekitar Minggu pagi, pesawat yang membawa...

The post Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan Juni 2024 berjalan seperti roller coaster. Juni saya habiskan dengan serangkaian situasi yang terjadi di luar kendali, hingga keputusan berani untuk merantau di daerah Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sekitar Minggu pagi, pesawat yang membawa saya dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin di Kabupaten Maros menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang. Dari Tangerang, saya bersama seorang kawan langsung menuju Jatinangor. Total perjalanan memakan waktu sekitar lima jam, sehingga kami baru tiba dan beristirahat sekitar siang hari.

Menyesuaikan diri di tempat baru selalu menjadi tantangan, apalagi ketika kita akan berada sana untuk waktu yang lama. Sejauh ini, Jatinangor cukup menyenangkan: suhu rata-ratanya cukup sejuk, sehingga saya tidak butuh alat pertukaran panas, seperti AC dan kipas angin di kamar. Saya pun merasa jauh lebih bugar selama di sini, sebab setiap Subuh saya selalu jogging bersama kawan baru, lalu warung makan dari berbagai kelas juga kerap menyediakan teh tawar hangat. 

Kesibukan beberapa waktu beradaptasi dengan lingkungan baru menjadikan dua minggu di Jatinangor berlalu begitu cepat, hingga libur (cukup) panjang dari Sabtu ke Senin. Libur pertama sejak pindah ini saya habiskan dengan mengunjungi seorang kawan di daerah Depok. Namanya Sandrawali, seorang perantau dari Makassar yang tengah melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia (UI).

Saya berangkat ke Jakarta pada Jumat malam bersama dua orang teman kerja. Kami tiba di Depok sekitar pukul 10 malam setelah mengantar salah satu teman ke daerah Padalarang. Tidak banyak yang dapat dilakukan di Depok. Saya menghabiskan waktu dengan berkeliling kampus UI, bercerita dengan teman lama, juga mengunjungi mal di daerah Margonda. 

Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa
Sekolah Alam Ummasa/Nawa Jamil

Lebaran di Perantauan

Jauh dari rumah saat momen-momen penting selalu menjadi hal yang membuat sedih. Beruntung, saya melalui momen Iduladha ini bersama sesama perantau dari Makassar. Minggu pagi, saya dan Kak Sandra kembali ke Jatinangor. Rencananya, Kak Sandra akan menetap sampai akhir pekan ini. 

Perjalanan Jakarta–Jatinangor berjalan lancar. Kami tiba di Jatinangor sekitar sore. Lepas Isya, Kak Bolang, salah seorang kawan di Makassar yang tengah merantau juga di Bandung, menjemput kami untuk merayakan lebaran Iduladha di daerah Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Perjalanan ke Cimenyan kami tempuh sekitar 40 menit tanpa hambatan berarti. Begitu tiba, udara dingin langsung menusuk sampai ke tulang, jauh berbeda dengan kesejukan yang sudah akrab dengan saya di Jatinangor. Saat kami tiba, orang-orang di Ummasa sudah tertidur. Lampu-lampu ruangan komunal juga sudah dimatikan semua. Bolang langsung mengarahkan kami ke kamar tamu yang berada di bawah, dekat dari kolam renang dan lapangan basket. Begitu tiba, kami menghabiskan waktu berbincang sebentar—tidak sampai setengah jam—dan beristirahat untuk menunaikan ibadah solat Id keesokan paginya. 

Udara dingin yang menusuk sampai ke tulanglah yang membangunkan saya saat waktu menunjukkan pukul 05.10. Setelah bersiap-siap, saya langsung berjalan ke masjid. Takbir dari pengeras suara menjadi petunjuk termudah menemukan arah masjid. Namun, di saat bersamaan takbir juga membawa ingatan saya menyusuri momen-momen saat merayakan Iduladha bersama keluarga di kampung halaman. Beruntung, suasana haru yang muncul—karena saya merayakan Iduladha seorang diri di perantauan—cukup berkurang begitu mendengar khotbah yang disampaikan dengan bahasa Sunda yang tidak saya mengerti.

Setelah selesai menunaikan solat Id, saya kembali ke Ummasa dengan perasaan lega. Jujur, lebaran pertama kali yang saya pikir akan saya lalui seorang diri membuat saya merasa cukup sedih selama beberapa waktu kemarin. Beruntung, saya tidak melewati ini sendiri. Ada Kak Sandra, Kak Bolang, dan banyak orang-orang baru yang saya temui di Ummasa. Saat tiba, orang-orang sudah tampak sibuk menyiapkan sarapan dan berbagai perlengkapan untuk pemotongan sapi kurban, yang akan dilakukan sekitar satu jam ke depan.

  • Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa
  • Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa

Setelah sarapan pagi yang hangat dengan masakan rumahan dan buah-buahan segar yang ditanam sendiri, kami mulai menyiapkan segala keperluan kurban hari itu. Misalnya, mengalasi besek bambu dengan daun pisang, menyiapkan terpal untuk area pemotongan dan pembagian daging setelah dipotong nanti, dan banyak lagi. Setelah seluruh persiapan selesai, kami pun ikut ke daerah atas, tempat di mana penyembelihan sapi akan berlangsung.

Tepat sebelum pukul sembilan pagi, Pak Ustaz yang tengah berkeliling menyembelih ternak menginfokan bahwa ia tengah menuju Ummasa. Para lelaki yang memang tengah bersiap mulai bergerak memosisikan sapi yang akan disembelih. Suara sapinya terdengar sedih. Beberapa anak-anak juga menangis dan tidak ingin melihat lebih lanjut. Saya pun begitu. Saya memilih kembali masuk bersama beberapa wanita lain yang tidak ingin menyaksikan. 

Pekerjaan kami pun dimulai. Setelah penyembelihan sapi selesai, potongan-potongan tubuh sapi tersebut dibawa ke kami, pasukan yang siap memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Proses memotong sapi ke bagian-bagian kecil, lalu memasukkannya dengan berat yang sama ke masing-masing besek sebelum dibagikan, berlangsung selama beberapa jam dan baru selesai tepat saat siang hari. Selain kesempatan menjadi panitia kurban yang baru saya rasakan untuk pertama kalinya, keramahan dan penerimaan yang begitu hangat dari orang-orang di Rumah Belajar Ummasa adalah hal terbaik dari momen Iduladha ini.

Rumah Belajar Ummasa

Jika di kemudian hari saya diberikan kesempatan untuk tinggal di rumah impian, maka desain, konstruksi, dan keseluruhan bagian dari Ummasa adalah jawabannya. Rumah belajar ini terletak di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Berada di atas ketinggian, rumah belajar tersebut memiliki pemandangan Kota Bandung dari ketinggian yang sangat indah. Berdasarkan cerita dari orang-orang di sini, Ummasa merupakan sekolah berbasis komunitas dan menciptakan ruang nyaman bagi aktivitas belajar anak-anak. Sayangnya, saya tidak sempat bertemu anak-anak Ummasa sebab waktu itu sedang momen libur sekolah. 

Saat ini, Rumah Belajar Ummasa membuka kelas SD reguler dan nonreguler, serta kelas prasekolah reguler dan nonreguler. Meskipun tidak menyaksikan langsung proses pembelajaran di sini, tetapi melihat dari ruang kelas yang tidak seperti sekolah pada umumnya, ruang komunal yang terbuka, serta lapangan luas tempat anak-anak menghabiskan banyak waktu bersenang-senang, membuat saya bisa membayangkan betapa menyenangkan bersekolah di Ummasa. 

Saya cukup takjub bagaimana perjalanan di hidup ini kadang terjadi begitu lambat, lalu tiba-tiba bergerak begitu cepat hingga kita perlu lebih banyak waktu untuk mencerna hal-hal besar yang terjadi. Meskipun merantau keluar dari Makassar setelah menghabiskan seluruh hidup saya di sini adalah hal yang menakutkan di awal, tetapi menjalani kehidupan baru dengan kejutan-kejutan seperti hari ini membuat ketakutan itu perlahan memudar. Berganti ketidaksabaran menunggu petualangan-petualangan baru di Bumi Pasundan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Perayaan Lebaran Iduladha di Sekolah Alam Ummasa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-perayaan-lebaran-iduladha-di-sekolah-alam-ummasa/feed/ 0 42638
Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/ https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/#respond Sat, 10 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42488 Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang...

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang belum pernah saya kunjungi.

Ada potongan sejarah yang mendasari sampai istilah tersebut tumbuh di antara masyarakat Luwu. Padahal secara geografis, Luwu berupa daratan seluas 3.000 km2 dan berada sangat jauh dari Selayar. Sekitar 333 km jika ditarik garis lurus. Namun, perjalanan yang menghubungkan keduanya bisa ditempuh sekitar 18–19 jam dengan bergonta-ganti moda transportasi: bus, mobil, motor, hingga kapal feri.

Setelah lebaran Idulfitri (11/4/2024), saya mencoba perjalanan panjang perdana ke Selayar. Saya cukup beruntung ditemani beberapa teman mengajar di pelosok Maros saat masih kuliah dulu. Ada Kak Bagus, Kak Wiwi, Kak Yasmin, Kak Jannah, Kak Nono, Kak Fajar, Kak Mifta, seorang teman asli selayar bernama Kak Yudi, dan seorang teman yang kebetulan sedang berada di Selayar saat kami ke sana. 

Perjalanan Darat Palopo–Makassar–Bulukumba

Di titik jemput bus di jalan poros lintas provinsi daerah Binturu, Kak Bagus telah menunggu di sana bersama satu tas besar dan sebuah daypack. Barang bawaannya banyak, karena dia akan langsung kembali ke tempat kerjanya di daerah Papua setelah dari Selayar. Setengah jam menunggu, bus kami akhirnya tiba dan berangkat sekitar pukul 20.30 WITA.

Palopo–Makassar menjadi perjalanan darat terpanjang dengan waktu tempuh  9 jam penuh. Kami tiba di Makassar keesokan harinya pada pukul 06.00 WITA. Setelah menaruh seluruh oleh-oleh dari kampung, saya langsung berangkat ke titik kumpul, yaitu rumah seorang teman di Jalan Paropo. Di sini, kami menunggu minibus yang disewa untuk mengantarkan kami ke Bulukumba sejauh 160-an kilometer atau lebih dari empat jam perjalanan.

Ada enam orang yang berangkat dari Makassar. Satu orang lainnya berangkat dengan motor dari Bone, satu orang berangkat dari Bantaeng, dan satu orang sudah menunggu di rumahnya di Bulukumba. Adapun seorang lagi sudah berada di Selayar selama seminggu. Ia menghabiskan libur panjang lebaran bersama keluarga. 

Sopir rental kami sudah datang, yang ternyata dia adalah teman sekelas Kak Wiwi di Bulukumba. Kami banyak berbincang dan menertawakan hal-hal acak selama perjalanan. Setibanya di rumah Kak Wiwi di kawasan Desa Alla, kami hanya beristirahat kurang dari 15 menit lalu melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bira dengan diantar adik Kak Wiwi.

Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
KMP Takabonerate yang melayani rute Bira-Selayar/Nawa Jamil

Nyaris Tertinggal Kapal

Pelabuhan Bira berjarak 30–40 menit dari Desa Alla. Kami berjalan dengan perasaan waswas takut tertinggal kapal terakhir ke Selayar yang berangkat pukul 14.00 tepat. Sementara kami sudah cukup dekat dengan pelabuhan, tetapi belum sampai juga. Beberapa teman terus menelepon, menanyakan plat nomor dan meminta kami untuk melaju lebih cepat.

Kami memasuki gerbang pelabuhan pukul 14.10. Terlihat di kejauhan kapal seperti siap lepas landas, tetapi belum. Ini membuat semua yang berada di mobil merasa lega. 

“Mobil antar penumpang, Pak!” seru kami begitu dicegat oleh salah seorang petugas di pos jaga. 

“Oh, iya. Cepat mi dek! Aduh!” Timpalnya dengan sedikit mengeluh atas keterlambatan kami. 

Mobil mengantar kami tepat di depan pintu rampa yang akan segera tertutup. Begitu turun dari mobil dan pamit sepenuh hati pada adik Kak Wiwi, kami langsung berlari menuju pintu. Di sana seorang teman yang sedari tadi kukuh menahan agar kapal bisa menunggu lima temannya, kini bisa bernapas lega. Beberapa orang menyoraki kami.

Setelah memastikan semuanya aman, kami masuk ke bagian atas kapal karena semua dek penumpang sudah penuh. Baru saja menaruh tas dan duduk sebentar, kapal langsung melaju. Menandakan kami orang terakhir yang ditunggu. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi pengalaman mengejar kapal pertama saya ini cukup seru juga.

Cerita di Atas Kapal

Kru kapal memberi kami satu set makanan berat, terdiri dari nasi, potongan kecil ayam, dan sedikit sayur. Meskipun porsinya cukup sedikit, tapi Kak Jannah, teman kami dengan cekatan membawa bekal lauk-pauk melimpah yang tersisa dari momen lebaran keluarganya. Ia langsung mengubah nasi kotak biasa kami menjadi makanan mewah yang kaya protein dan lemak.

Sambil makan, saya berusaha membuka percakapan dengan Kak Yudi. Dulu kami hanya bertemu sekali di Pulau Lanjukang saat melakukan salah satu kegiatan relawan hasil kolaborasi antarkomunitas. Berawal dari banyak percakapan liar, lalu berakhir dengan satu ajakan, “Nanti kalau ke Selayar kabari saja, nah!”

Akhirnya hari saya berkunjung ke Selayar tiba. Cukup beruntung Kak Yudi, orang asli Selayar dan pemandu wisata, bisa menemani kami dalam perjalanan ini selama beberapa hari ke depan. Jadwal yang begitu mepet membuat saya tidak sempat berbincang banyak dengan Kak Yudi.

Kapal sudah berlayar setengah jalan. Usai memakan jatah nasi dan lauk yang dibawa Kak Jannah dari rumah, saya lalu mengambil tempat di samping Kak Yudi yang saat itu tengah tenggelam dalam isapan rokoknya.

“Maaf, ya, Kak. Tadi Kak Yudi lama menunggu di daerah Bantaeng,” terang saya memulai percakapan. 

“Oh, tidak apa-apa, kok, Kak,” balasnya. 

Selama mengarungi Laut Flores, kami bercerita banyak tentang Selayar dan perjalanan pertamaku ke kepulauan tersebut. Tentu, perihal mitos orang Luwu tidak boleh ke Selayar menjadi topik pertama yang kulontarkan kala itu.

”Kak Yudi, aku kan orang Luwu nih, Kak. Kakak pernah dengar tidak tentang mitos kalau orang Luwu enggak boleh ke Selayar?”

Kak Yudi terlihat sedikit terkejut. Alisnya sedikit naik mengetahui aku dari tanah Luwu. “Oh, ya? Kamu orang Luwu, toh?”

Dari perspektif orang Selayar, Luwu merupakan satu daerah yang berkaitan erat dengan Selayar. Ada banyak sejarah yang melatarbelakangi lahirnya mitos tersebut. Namun, sebagai orang asli Selayar, Kak Yudi pun tidak mengetahui perihal larangan itu.

“Kalau yang kutahu, sih, orang Selayar tidak pernah berjodoh (dalam hal ini menikah) dengan orang Luwu, tetapi mitos yang kamu bilang tadi saya kurang tahu.”

Ia lalu melanjutkan, “Tapi memang Pulau Selayar ini punya sejarah yang kental dengan kepercayaan orang Luwu, juga kisah dalam Kitab La Galigo.”

  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar

Hikayat We Tenri Dio 

Ada banyak sumber dan versi tentang Pulau Selayar, serta kedekatannya dengan Sawerigading. Pelayaran menjadi kata kunci atau benang merahnya. I Malaniki, raja pertama Selayar, dalam beberapa versi disebut We Tenri Dio, anak dari Sawerigading. Dikisahkan Sawerigading dan sang istri, We Cuddai beserta ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio, dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan bersama dari Cina ke Luwu lalu singgah di Selayar.

Terdapat perbedaan pendapat dari sebab persinggahan mereka. Ada sumber yang mengatakan perahu mereka mengalami kecelakaan di laut hingga terdampar di Selayar. Versi lain menyebut perahu Sawerigading hendak mengganti layar di pulau ini. Ada pula yang bilang perahu tersebut memang dijadwalkan untuk berlabuh sementara di Selayar. 

Singkat cerita, atas restu dari kedua orang tuanya, We Tenri Dio memutuskan menetap di Kepulauan Selayar. Di Selayar, We Tenri Dio yang orang Luwu kemudian dikenal sebagai I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio menjadi raja pertama di Putabangun, kerajaan tertua di Pulau Selayar. Ia menikah dan menetap hingga akhir hayatnya di Selayar. Makamnya berada di sebuah kuburan tua dengan nisan di utara, menandakan kuburan ini telah ada sebelum ajaran Islam masuk ke Selayar. Ia dimakamkan bersama tiga kuburan lainnya, salah satunya Lalaki Sigayya, sang suami.

Di pulau ini juga ditemui salah satu jejak kapal Sawerigading, Gong Nekara. Konon, gong ini merupakan salah satu bagian dari kapal Sawerigading yang berfungsi sebagai pertanda saat kapal hendak singgah di pelabuhan-pelabuhan. Gong ini dipercaya hanya ada sepasang di seluruh dunia, yaitu di Vietnam dan Pulau Selayar serta merupakan sepasang “suami-istri”.

Setelah menyelidiki sejarah Selayar dan Luwu, saya sampai pada satu kesimpulan. Tidak pernah ada larangan yang membatasi kedua masyarakat dari tanah berbeda itu saling mengunjungi satu sama lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/feed/ 0 42488
Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/ https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/#respond Mon, 24 Jun 2024 09:08:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42216 Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti...

The post Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti wisuda, kondangan, dan konser-konser di sekitar daerah Tanjung Bunga. 

Tidak hanya orang dewasa yang sibuk dengan berangkat ke kantor sejak pagi dan baru pulang saat petang. Anak-anak pun tidak kalah sibuk. Setelah seharian sekolah, mereka terkadang harus melanjutkan dengan les tambahan atau mengaji saat sore. Kesibukan-kesibukan di kota terkadang membuat kita berpikir bahwa menikmati keindahan berarti selalu pergi jauh dari rutinitas.

Untuk saya, menikmati keindahan tidak harus jauh. Saya selalu punya satu tempat yang cukup dekat dari rumah. Namanya “Kebun Tetangga”. Sebuah kebun urban yang di dalamnya saya bisa melakukan aktivitas seharian menjadi pekebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga

Sekilas tentang Kebun Tetangga

TelusuRI menjadi benang merah pertemuan saya dengan Kak Syukron, sosok di balik Kebun Tetangga. Sekitar tiga tahun lalu, saat perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF), saya bertemu dengan Kak Syukron. Baju warna merah dan tas punggungnya tampak tidak asing, sebab mirip sekali dengan foto profil WhatsApp-nya waktu itu. Saya beranikan diri untuk menegur, dan percakapan kami berlangsung cukup menyenangkan.

Saat itu Kak Syukron bersama Bilal, anak sulungnya. Sebelum pulang, ia mengajak untuk mengunjungi Kebun Tetangga yang katanya sebentar lagi akan panen kombucha. Semenjak ajakan tersebut, Kebun Tetangga menjadi salah satu tempat rutin yang saya kunjungi sampai sekarang.

Saya cukup beruntung diterima dengan baik di sini. Menyaksikan bagaimana kebun bertumbuh, orang-orang semakin banyak, ladang-ladang yang digarap kian luas, dan tumbuhan yang ditanam tambah beragam. 

Sehari di Kebun Tetangga

Seorang teman sekaligus pekebun di Kebun Tetangga menginisiasi gerakan #RabuMie, atau makan mi tiap hari Rabu. Setelah percakapan singkat via teks, kami sepakat untuk bertemu di kebun pagi hari, bekerja di sana, lalu menikmati #RabuMie sebagai penutup hari.

Saya berangkat dari rumah di daerah Batua sekitar pukul 07.00 WITA. Setelah mengendarai motor selama setengah jam, saya tiba di area Kebun Tetangga, Samata, perbatasan antara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Begitu tiba, orang-orang sudah sibuk berkebun. Dua orang tukang tampak sibuk memaku papan-papan kayu ke dinding bangunan kecil yang sementara terbangun di bagian agak luar dari kebun. Lalu di rumah kedua, saya mendapati Kak Syukron dan Erbe, teman saya, sedang mengisi pipa-pipa panjang dengan pasir. 

“Pagi, Kak!” kusapa mereka berdua sembari motor tetap melaju ke rumah utama, kediaman Kak Syukron, Kak Wulan, dan dua anak mereka. Di sini, saya menyimpan tas dan jaket, berbincang sebentar dengan Kak Wulan, lalu keluar menghampiri para pekebun yang sibuk tadi. 

“Jadi, apa bisa kukerja pagi ini?” tanya saya.

“Boleh dibantu panen bunga matahari, Naw. Tapi potong bunga matahari yang sudah hitam saja, nah!”

Setelah menerima instruksi pertama pagi itu beserta alat tempurnya—sebuah tang gunting dengan pegangan berwarna kuning—saya pun berjalan menuju ladang dengan sederet bunga matahari yang tinggi-tinggi. Bahkan banyak yang lebih tinggi dari saya. 

Tugas pertama yang tidak terlalu sulit dan cukup menyenangkan. Tidak ada hal khusus, hanya saja memastikan bunga matahari yang saya panen sudah menghitam dengan kelopak bunga yang sepenuhnya layu. Memotong batang bunga juga sebaiknya tidak terlalu panjang, secukupnya saja. 

Tidak sampai 15 menit, saya kembali dari ladang dengan seember penuh bunga matahari. Saya letakkan di meja, lalu Erbe mengambil seluruh hasil panen itu untuk ditata di atas nampan, lalu dijemur di bawah terik matahari pagi. Tampaknya masih belum ada yang memanen bunga telang pagi itu. Maka, saya menawarkan diri mengambil alih salah satu pekerjaan yang paling saya suka di kebun. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Deretan bunga matahari yang ditanam di Kebun Tetangga/Nawa Jamil

Memanen Bunga Telang

Bunga telang kering dan olahannya menjadi salah satu komoditas unggulan di kebun. Selain bunga telang yang sudah dikeringkan—cocok sekali diseduh dan dinikmati dengan perasan jeruk nipis dan madu—telang juga bisa diolah menjadi sirup telang sereh dengan wangi sereh merah. Rasa teh telang yang manis dan asam juga tak kalah enaknya. 

Seingat saya, telang telah tumbuh di kebun ini dari tahun lalu, atau bahkan lebih lama dari itu. Telang punya banyak manfaat untuk kesehatan. Tumbuhan ini merimbun dan cukup lebat, tergantung nutrisi pada tanahnya dan serangan hama. Memetiknya juga cukup menyenangkan. Bunga telang yang boleh dipetik hanya bunga yang mekar sempurna dan tidak layu. Semakin lebat, bunga ini akan memberikan semakin banyak bunga dengan waktu panen rutin tiap pagi-sore. 

Hari ini saya memetik bunga telang cukup lama sampai kedua otot lengan atas pegal. Mungkin sekitar setengah jam lebih. Untuk sekitar tiga bed tanaman telang dapat menghasilkan 2–3 nampan penuh telang yang siap dijemur. Saya menaruhnya di samping nampan bunga matahari yang telah saya petik sebelumnya. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Hasil panen bunga telang/Nawa Jamil

Aneka Makanan Enak dan Menyehatkan di Kebun

Dapur adalah ruang eksperimen Kak Wulan. Ia pandai mengolah penganan dengan memanfaatkan bakteri-bakteri baik. Termasuk membuat kombucha. Minuman probiotik itu berasal dari teh hitam dan scooby, lalu diberikan potongan buah pada fermentasi kedua, tempe dari aneka biji-bijian—tidak melulu kedelai. Selain itu juga ada tepache, sejenis minuman probiotik dari kulit nanas. 

Saya juga pernah melihat telur bebek yang diasinkan dengan metode direndam dalam toples yang cukup unik. Saat mencobanya, rasanya cukup enak seperti telur asin yang biasa saya nikmati.

Cukup sering saya menikmati aneka makanan sehat dari bahan-bahan yang cukup unik. Kak Wulan adalah salah satu koki yang sangat memerhatikan bahan makanannya. Darinya saya baru tahu, rasa khas garam bali dan garam jeneponto bisa menghasilkan masukan yang lebih lezat dibanding jika menggunakan garam kasar biasa yang kita beli di toko.

Hari itu Kak Wulan hendak memasak ayam saus kacang dan tumis sayur untuk makan siang. Saya diberi tugas membeli wortel dan bawang bombay ke warung kecil tak jauh dari kebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Menu makan siang ayam saus kacang dan sayur tumis hasil masakan Kak Wulan/Nawa Jamil

Berkebun Menjadi Menyenangkan

Usai makan siang, saya membantu Kak Wulan menyemai bibit-bibit sawi dan selada. Sawi-sawi yang tumbuh satu lubang bertiga, siang itu kami pindahkan ke masing-masing lubang. Begitu pun selada. Dengan perbandingan 1:1 antara sekam bakar dan tanah yang sudah bercampur pupuk alami, kami mengerjakannya nonstop selama dua setengah jam lebih. Saya senang melakukan pekerjaan “monoton” seperti ini, memasukkan satu kegiatan fisik di antara kegiatan sehari-hari yang membutuhkan kerja otak berat. 

Selada merupakan komoditas yang paling diminati masyarakat. Selain selada, sayur-mayur organik lain, seperti sawi, aneka sayur lalap, dan cabai juga dilirik oleh supermarket di Kota Makassar. Sayangnya, kapabilitas pekebun-pekebun organik di daerah Makassar dan sekitarnya masih belum mampu mencukupi angka permintaan yang ada. Untuk menyiasati jumlah permintaan yang ada, Kebun Tetangga menerapkan pencatatan waktu semai benih dan pemindahan bibit ke bedengan yang konstan dengan jarak seminggu. 

Saya selalu senang menghabiskan waktu di kebun ini. Melihat lebih lambat, menyaksikan bagaimana tumbuhan punya ritmenya sendiri. Saya senang dengan orang-orang di dalamnya, juga cerita-cerita yang hadir di setiap kesempatan berkunjung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/feed/ 0 42216
Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/ https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/#respond Fri, 07 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42123 Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat...

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat yang begitu akrab bagi orang-orang Sulawesi.

Buku setebal 181 halaman itu merupakan kumpulan tulisan dengan satu benang merah: jejak manusia purba dan yang tersisa dari mereka. Terdiri dari 16 tulisan, buku dengan ukuran huruf cukup besar ini akan membawa pembacanya pada petualangan arkeolog, keseruan lapangan mereka, dan ancaman dalam mempertahankan jejak-jejak purbakala yang masih ada hari ini. 

Sampul depan buku ini cukup menarik. Dua hewan endemik Sulawesi yang kini jarang ditemukan—kutebak anoa dan babi hutan—berdiri di antara tumbuhan belukar dan rumput-rumput tinggi, serta mulut gua yang menggambarkan sebagian besar isi buku ini. Berpindah dari sampul, Eko juga menyediakan kata pengantar yang tak kalah menarik, dinamainya “Tersesat Kenikmatan Tulisan”. Ia menceritakan perihal arkeologi yang sempat ia geluti di kampus sebelum berpindah ke jurusan jurnalistik setelah dirinya ingin menjadi wartawan. Akan tetapi, Eko tetap melanjutkan kecintaannya terhadap arkeologi. Setidaknya buku ini lahir dari sana. 

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Ilustrasi menarik pada sampul depan buku/Nawa Jamil

Lukisan Purba Kampung Biku

Seperti judulnya, buku ini terdiri dari 16 tulisan pencarian jejak-jejak purba di tanah Sulawesi di tengah ancaman ekologi hari ini. Berasal dari tahun yang beragam, 16 tulisan tersebut ditulis Eko sepanjang perjalanannya menelusuri jejak purba Sulawesi.

Ada beberapa tulisan yang menarik (bahkan semuanya), seperti “Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi”. Kampung Biku bukan pertama ini kudengar. Sewaktu menyelesaikan kuliah magister dengan konsentrasi Manajemen Bencana, Kampung Biku nyaris menjadi salah satu wilayah penelitianku. Sebab salah seorang teman di masa lalu sempat bercerita terkait resiliensi unik warga di kampung ini. 

Kampung Biku berada di dalam lembah kecil di atas bentangan karst Maros–Pangkep. Jika musim hujan tiba, air akan menggenangi daerah ini dan menyebabkan banjir setinggi tiang-tiang rumah. Penyebabnya ketiadaan saluran air turun di antara bentangan batuan karst yang membentuk lembah tersebut. Adaptasi selama puluhan tahun membuat para penduduknya dapat membaca tanda-tanda alam dan memperkirakan kapan musim hujan akan datang.

Dari cerita seorang kawan yang pernah berkunjung ke sini, saya kembali mendengar Kampung Biku hari ini lewat penceritaan Eko Rusdianto. Lebih mengagumkan lagi, ternyata di Kampung Biku terdapat lukisan purba agung di salah satu guanya, yakni Leang Tedongnge. Gaya bercerita Eko begitu hidup. Ia seolah membawa para pembacanya menyusuri Leang Tedongnge, lalu menemukan lukisan babi dengan dua ornamen telapak tangan di bagian atas punggung belakangnya. 

Pencarian Rumah Wallace di Maros

Tulisan berjudul “Menelisik Jejak Wallace di Maros” menjadi favorit saya, karena seperti bagian kecil dari buku-buku Enid Blyton 5 Sekawan. Layaknya detektif, Eko dan Kamajaya Saghir mencari rumah yang ditinggali Alfred Russel Wallace sewaktu mengunjungi Maros pada Juli–November 1857. 

Wallace menuliskan tentang kedatangannya di Maros dalam buku The Malay Archipelago, termasuk serangkaian cerita hingga dirinya mendiami hunian yang berada “di kaki sebuah bukit yang ditutupi hutan”. Eko bercerita, ia dan temannya mencari Amasanga, daerah yang bersisian dengan gunung karst, daerah yang konon yang sempat ditinggal Wallace di masa lalu. 

Ketika mendatangi titik Amasanga pada peta kuno Belanda, Eko menemukan tempat itu telah banyak berubah menjadi pabrik semen milik PT Semen Bosowa. Tidak jauh dari titik tersebut terdapat kampung bernama Ammasangeng, tetapi keterkaitan kampung ini dengan titik Amasanga tidak dapat dipastikan. Setelah mencari ulang, mereka kembali turun ke lapangan, menyusuri daerah lain bernama Tompokbalang. Di sana, ia bertemu seorang warga bernama La Saing (60).

“Di sana, dulu ada rumah orang Belanda yang selalu diceritakan nenek saya,” katanya.

Begitu sampai pada penyampaian La Saing, saya tidak dapat membendung rasa haru tersebut. Meskipun sedikit kecewa mengetahui rumah tersebut telah rata dengan tanah dan hanya tersisa jejak-jejaknya saja, tetapi tetap saja, menemukan dan berdiri di titik sejarah adalah hal yang besar. 

Di tempat itu, Eko dan temannya kembali membaca buku The Malay Archipelago. “Kira-kira 50 yard (sekitar 100 meter) dari kaki bukit di bawah rumah saya, terdapat lubang dalam yang berada di alur sebuah sungai dan menjadi sumber air. Setiap hari saya mandi di situ menggunakan ember air dan mengguyurkannya di sekujur badan saya,” tulis Wallace. Lalu persis seperti yang dituliskan Wallace dalam bukunya, Eko dan temannya juga menemukan titik yang dimaksud.

Namun, dalam subtulisan yang diberi judul “Napak Tilas Wallace Terancam Hilang”, Eko menceritakan bagaimana ia mendengar suara dentuman dinamit dari PT Semen Bosowa. Ledakan yang terjadwal tiap pukul 12 siang. Sekitar 400 meter dari lokasi bekas pondok Wallace ini terdapat lubang galian tanah dan satu mobil eskavator yang bekerja, dan beberapa mobil truk pengangkut tanah yang sibuk. Ancaman ini sungguh nyata. Apalagi menurut penuturan dari buku ini, bukit tempat rumah Wallace di masa lalu ini beberapa kali ditawar untuk dibeli.

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Bagian halaman yang mengulas dampak buruk perubahan iklim pada jejak prasejarah di Sulawesi/Nawa Jamil

Pertanyaan-pertanyaan Lainnya

Buku ini benar-benar menyenangkan, seperti buku sejarah yang dibalut petualangan-petualangan arkeologis. Beberapa gua dalam tulisan Eko sangat mudah dijangkau, bahkan Leang-Leang telah terbuka untuk para wisatawan sejak puluhan tahun lalu.

Ada banyak pertanyaan tentang kehidupan jauh sebelum generasi kita ada di bumi hari ini, salah satunya kehidupan purba puluhan ribu tahun yang lalu. Lewat buku ini, Eko sedikit menyingkap pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang purba membuat lukisan tangan? Mengapa mereka bermigrasi? Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka tinggal di bentangan karst Sulawesi ini?

Eko tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan menyediakan jawaban berbagai ahli arkeologi dalam buku ini. Ia juga menyisipkan pertanyaan-pertanyaan penting yang mesti dijawab bersama atas ancaman-ancaman ekologi yang nyata. Sejauh mana kita akan bergerak untuk melindungi yang tersisa dari jejak-jejak manusia Sulawesi di masa lalu?


Judul Buku: Meneropong Manusia Sulawesi; Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi
Penulis: Eko Rusdianto
Editor: Wawan Kurniawan
Perancang sampul: Rara Bijda
Tata Letak: Armin
Penerbit: Penerbit Akasia, Gowa
Tahun Terbit: Cetakan pertama, Desember 2021
Tebal Halaman: x + 171 halaman
ISBN: 978-623-98085–1-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/feed/ 0 42123
Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/ https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/#respond Tue, 21 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41976 Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas...

The post Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan appeared first on TelusuRI.

]]>
Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas rapat kepanitiaan sampai tengah malam. Kami menikmati Coto Pintu Dua yang menyediakan semangkuk kecil coto, ketupat gratis, dan bebas tambah kuah. Kami cukup membayar sekitar Rp15.000 untuk sebuah mangkuk daging rebus berempah, tempat yang hangat, dan cerita yang hidup di tengah malam. 

Saya juga menikmati rasa coto kuah putih. Di Makassar, kita dengan mudah mendapatkan aneka variasi bumbu coto, seperti kuah putih yang gurih dari kacang tanah, coto dengan kuah yang pekat, atau juga coto dengan cita rasa manisnya yang khas. Di kota ini, coto menghidupi seluruh kalangan. Kita masih dengan mudah menikmati semangkuk Coto Daeng Sutte seharga Rp8.000, sampai coto dengan Rp30.000-an per mangkuknya. 

Fakta-fakta Unik tentang Coto

Begitu mendarah dagingnya makanan ini di keseharian orang Makassar, konon coto dipercaya telah hidup sejak zaman Kerajaan Bantaeng. Semuanya berawal ketika seorang juru masak bernama Toak memanfaatkan jeroan kerbau yang kala itu jarang sekali digunakan sebagai bahan masak hidangan kerajaan. Jeroan-jeroan tersebut kemudian ia ramu dengan berbagai rempah lokal dan sambal tauco dari pedagang Tiongkok di masa itu. Kini, coto tak hanya berisi jeroan, tetapi juga daging. Meskipun begitu, orang-orang banyak menyukai coto dari isian jeroannya. Saya pun selalu memesan coto dengan paru kering ataupun daging sekali waktu.

Dua tahun lalu, saya sempat terlibat dalam penyusunan buku Ensiklopedia Pangan Olahan SulSelBar. Salah satu makanan yang tidak terlewat adalah coto khas daerah Makassar. Tidak seperti tanah Jawa, sayangnya kuliner yang begitu beragam dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masih sangat jarang dituliskan. Bahkan sewaktu melakukan penelitian lapangan di Kota Palopo, saya kesulitan mencari rujukan literasi, bahkan di perpustakaan kota sekalipun. Kebanyakan pengetahuan tentang kuliner lokal baru diwariskan secara lisan, turun temurun—yang entah kapan akan hilang tak bersisa, jika tidak dijaga dan dituliskan. 

Dari ensiklopedia ini, saya mengetahui beberapa fakta unik tentang coto, seperti fakta kecil, bahwa makanan ini awalnya diperuntukkan bagi warga miskin di sekitar istana. Mengingat bahan utama pembuatan makanan ini berupa aneka jeroan, salah satu bagian tubuh kerbau yang tidak dilirik sebagai bahan hidangan kerajaan.

Semangkuk Coto Abah

Beberapa hari lalu, selepas menyelesaikan pekerjaan lapangan di daerah Antang, saya hendak pulang ke rumah saat siang. Di jalan, saya melihat papan besar dengan aksen warna merah dan tulisan “Coto Abah”, salah satu merek coto dengan cabang yang cukup masif di Makassar.

Baru sekitar 50 meteran, aroma coto yang kaya rempah dan jam makan siang membuat saya bergegas memarkirkan motor dan masuk ke warung sederhana ini. Di dalam, sebuah menu cukup besar dipajang tepat di dinding belakang kasir. Seporsi coto sedang dibanderol Rp12.000, sedangkan untuk mangkuk besar Rp18.000.

“Bu, pesan satu coto mangko’ besarta’, isinya paru to’ ,” pinta saya. To’ merupakan istilah makassar pengganti “saja” atau “hanya”.

“Oh, iya,” tanggapnya singkat, lalu menuju dapur yang terletak di depan toko. 

Saya pun beranjak, mencari kursi kosong di antara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka. Saya menemukan satu kursi kosong di antara deretan meja panjang. Hal lain yang kusuka dari warung makan sederhana ini adalah kita berkesempatan duduk bersama orang asing. Sembari sesekali membantu satu sama lain—mengoper tisu, memberi sambal, atau kecap manis. Seperti hari ini, saya duduk semeja dengan sepasang orang tua dan tiga anaknya yang masih kecil. Mungkin berusia sekitar 6–12 tahun. 

Kelebihan lain dari warung coto adalah penyajiannya yang cepat. Tidak sampai lima menit, semangkuk coto dengan paru kering yang menggiurkan sudah tersaji di depanku. Langkah pertama adalah mencicipi kuahnya. Coto Abah kebetulan menggunakan kuah putih seperti Coto Fly Over dan Coto Abdesir. Biasanya, warna putih dari kuah coto ini berasal dari perpaduan air beras dan santan. Beberapa resep mengganti santan dengan susu. 

  • Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan
  • Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan

Secara pribadi, saya begitu menikmati coto dengan isian paru. Beberapa warung coto memiliki teknik pengolahan parunya sendiri. Ada yang merebus basah, ada pula yang menggoreng paru mereka sampai kering dan “kriuk”. Saya lebih menyukai paru kering seperti cara pengolahan di warung Coto Abah ini. Parunya terlihat mengambang di air coto putih yang tampak kental, begitu menggugah selera. 

Sama seperti di setiap warung coto kota ini, warung Coto Abah juga menyediakan sambal tumis, kecap manis, semangkuk penuh irisan jeruk nipis, dan ketupat yang tertata rapi di piring-piring rotan. Lidah orang Makassar sangat akrab dengan jeruk nipis. Segala jenis makanan terasa kurang lezat tanpa kehadiran rasa kecut dari jeruk nipis. Kami senang dengan kehadiran jeruk nipis di soto, coto, sate, sup konro, sop saudara, bahkan nasi goreng.

Bertahun-tahun tinggal di kota ini, saya sudah terbiasa dengan jeruk nipis di aneka makanan. Bahkan saya juga kerap menawarkan warung coto legendaris kepada teman-teman dari luar Makassar ketika mereka datang berkunjung. Bagi orang-orang yang tinggal di kota ini, coto bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas yang hadir di setiap momen keseharian. Coto selalu membangkitkan kerinduan ketika berada jauh dari Makassar, menjadi yang selalu dicari dalam perantauan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/feed/ 0 41976
Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar https://telusuri.id/menelusuri-tempat-tempat-yang-kerap-termakan-kesibukan-kota-makassar/ https://telusuri.id/menelusuri-tempat-tempat-yang-kerap-termakan-kesibukan-kota-makassar/#respond Mon, 04 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41279 Siapa sangka, jalan kaki mengikuti rute-rute yang rutin dilalui tiap harinya dengan kendaraan bisa menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Seperti hari Minggu beberapa waktu lalu, saat saya mengikuti aktivitas jalan pagi bersama Teman Jalan Makassar...

The post Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa sangka, jalan kaki mengikuti rute-rute yang rutin dilalui tiap harinya dengan kendaraan bisa menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Seperti hari Minggu beberapa waktu lalu, saat saya mengikuti aktivitas jalan pagi bersama Teman Jalan Makassar (@temanjalan.mks). Kami melintasi jalanan sekitar Karebosi Link sampai ke Jalan Sulawesi, lalu kembali melewati pasar-pasar tradisional yang berusia belasan tahun lebih. Semua dimulai dari gerakan Teman Jalan Makassar, gerakan yang mempertemukan sejumlah orang untuk menghabiskan pagi berjalan-jalan bersama, mengikuti rute dengan sejarah Kota Makassar yang ditawarkannya. Saya cukup beruntung lulus sebagai salah satu peserta Teman Jalan, sebab konon katanya cukup sulit untuk lulus pada percobaan pertama. 

Berdasarkan jadwal yang dibagikan via Instagram, kami harus berkumpul sebelum pukul enam pagi di dekat Indomaret Jl. Ahmad Yani, Makassar. Waktu itu langit masih cukup gelap. Sekitar setengah jam sebelum waktu yang ditentukan, saya berangkat dari rumah dengan jarak tempuh sekitar 20 menitan. Saat tiba dan memarkirkan kendaraan di lokasi titik kumpul, saya melihat beberapa orang telah hadir. Salah seorang lalu memberi tiap orang yang baru datang—termasuk saya—sebuah zine dari Teman Jalan Makassar edisi kali ini. 

Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar
Zine dari Teman Jalan Makassar yang memuat foto, rute, dan informasi sejarah/Nawa Jamil

Zine-nya cukup sederhana, dengan desain yang unik dan tentunya informatif. Zine ini menyajikan beragam informasi, seperti rute jalan kali ini, informasi titik-titik yang akan kami singgahi, serta satu halaman berisi permainan bingo, dengan hadiah bagi lima orang tercepat yang berhasil menyelesaikannya. 

Saat mulai berjalan, saya langsung mendekati seorang perempuan yang tampak sendiri, seperti diriku. Kami berkenalan. Namanya Yuni, seorang pekerja swasta yang tinggal tidak jauh dari Jalan Sulawesi.

Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar
Tampak gerbang makam Pangeran Diponegoro/Nawa Jamil

Dari Pasar Sentral ke Makam Pangeran Diponegoro

Pemberhentian pertama kami berada di sekitar Pasar Sentral. Tidak banyak sejarah yang diceritakan di sini, kecuali bagaimana jalan-jalan sekitar pasar begitu ruwet dan membingungkan. Belum lagi begitu banyak polisi yang siap menilang jika ada pengendara yang salah jalan. 

Selanjutnya kami meneruskan jalan ke arah utara, menuju makam Pangeran Diponegoro. Awalnya saya sama bingungnya dengan orang awam lain, bagaimana makam seorang pahlawan nasional yang lahir, besar, dan berperang di Jawa dimakamkan di tanah Sulawesi. Sejarah memang menyenangkan. Selagi melihat langsung bangunan-bangunannya, kami juga mendengarkan cerita-cerita menarik. 

“Ada perjalanan panjang yang dilalui oleh Pangeran Diponegoro hingga dimakamkan di kota ini. Dulu saat zaman penjajahan Belanda, ia diasingkan setelah pertarungan sengit yang berlangsung sampai 1830. Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, lalu ke Makassar setelahnya di tahun 1833. Ia menetap di Makassar, tepatnya di Benteng Fort Rotterdam sampai akhir hayatnya di tahun 1855,” jelas pemandu.

Kaki kami kembali melangkah, kemudian berhenti beberapa kali pada titik-titik jalan dengan bangunan bersejarah sepanjang rute makam Pangeran Diponegoro—Pasar Butung. Kami mengunjungi sejumlah lorong tersembunyi, melihat arsitektur pecinan yang begitu kental, serta bagaimana bangunan-bangunan itu tampak tua, tetapi kokoh. Cat dinding yang mengelupas, besi rumah yang teroksidasi, berkarat, dan menguning. Satu hal yang kuperhatikan dari ruko-ruko lama di pecinan, yakni mereka memasang teralis besi rapat dan memenuhi balkon lantai dua, sehingga siapa pun yang melihatnya akan langsung teringat kembali ke masa kerusuhan 1997.

Sejarah di Masjid Tua

Saat rute dari Pasar Sentral Ke Butung, kami sempat berbelok ke arah sebuah masjid tua dua tingkat berwarna putih. Masjid ini cukup besar dengan kubah setengah lingkaran sempurna. Kami masuk lewat pintu belakang. Ada pagar tembok tebal dengan lubang pendek hanya sekitar satu meter sehingga kami melewatinya dengan menunduk. Setelah itu, kami lalu berjalan keluar area masjid.

Saya menemukan satu keunikan di sini. Terdapat sebuah rumah yang cukup mewah dibangun di dekat menara masjid, sehingga lingkungan masjid menjadi sangat samar. Halaman rumah ibadah ini juga ditempati beragam aktivitas umum, terlihat dari benda-benda yang tertinggal di sana. Saya membayangkan halaman masjid ini kerap digunakan berkumpul saat sore, misal anak-anak bermain dan para ibu rumah tangga bersosialisasi. 

Dari masjid, kami memasuki satu lorong yang seolah meneriakkan “sejarah”. Lorong ini cukup kecil, tidak akan muat mobil. Diapit bangunan-bangunan tinggi membuat lorong ini sejuk dan dingin. Di ujung lorong, tampak tiga orang pria tua duduk bercengkerama akrab. Dari senyum dan keramahannya, tampaknya mereka telah terbiasa dengan kehadiran Teman Jalan Makassar.

Pemandu memberi penjelasan, “Bangunan-bangunan ini cukup unik di masa lalu. Dulu saat orang-orang datang dan menetap, mereka menyekat satu bangunan rumah persegi panjang ini ke dalam beberapa sekat yang diisi oleh tiap-tiap keluarga. Jadi, sebenarnya mereka tidak membangun masing-masing, melainkan satu bangunan besar yang disekat.”

Salah seorang peserta lalu bertanya, “Jadi, mereka yang tinggal dalam satu bangunan itu keluarga, kak?”

“Belum tentu juga, tetapi yang pasti mereka ini merupakan komunitas yang hidup dan resilient bersama. Sebagian mungkin masih dalam satu garis keturunan, tetapi beberapa juga tidak.”

Kembali ke Karebosi

Setelah dari Pasar Butung, kami lalu meneruskan perjalanan ke arah Selatan. Jalan pulang ke titik awal kami di Lapangan Karebosi. Kami berhenti di sejumlah bangunan tua terbengkalai. Bangunan-bangunan ini begitu jaya pada masanya, seperti satu bangunan yang dulu difungsikan sebagai kampus, tetapi kini setengah rata dengan tanah. Satu lagi bangunan dengan arsitektur atap yang unik, konon dulunya merupakan gedung kesenian atau teater. Bangunan lain yang kami singgahi adalah sebuah bangunan panjang dengan rerumputan tinggi. Sebuah plang musik masih cukup terbaca dan terpasang di depan pintu masuknya. Kak Yuni, salah seorang peserta kemudian berceletuk. 

“Dulu saya pernah les piano di sini,” ungkapnya.  

Sepanjang Jalan Sulawesi merupakan jalanan yang paling kusuka, selain pengalaman memasuki Pasar Bacan dan melihat-lihat penganan olahan babi dan babi-babi mentah. Di Jalan Sulawesi, kami saling bertukar informasi makanan enak yang harus dicicipi turis yang berkunjung ke Makassar, seperti Ayam Goreng Sulawesi, Sop Saudara, ataupun nasi goreng nonhalal yang konon paling enak di sekitar situ. 

Saya tidak pernah membayangkan jalan pagi sejauh tujuh kilometer, menyusuri jalan-jalan yang biasanya sibuk, bisa menjadi sebuah pengalaman menyenangkan. Apalagi bersama orang-orang yang asyik. Dan juga Kak Yuli, telah memberikan banyak informasi tentang bangunan-bangunan, yang kerap luput dari orang-orang kota yang serba cepat.  

Ternyata, jalan kaki membuat kita melihat semuanya lebih detail. Mempertanyakan satu-dua hal yang biasanya luput. Sebuah pengalaman jalan yang tidak biasa, tetapi tentu saja menyenangkan!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-tempat-tempat-yang-kerap-termakan-kesibukan-kota-makassar/feed/ 0 41279
Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/ https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/#respond Thu, 15 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41160 Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan...

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan matahari yang terik sedari pagi, rombongan kami yang terdiri dari enam relawan Sikola Cendekia Pesisir (SCP) dan beberapa peserta dari salah satu yayasan, bersama-sama menaiki perahu berkapasitas 70 orang milik Haji Rasul, seorang pemilik kapal dari Pulau Barrang Lompo—sama-sama terletak di kawasan Kepulauan Spermonde dan perairan Selat Makassar.

Perjalanan menuju Pulau Bonetambu dari dermaga Pelabuhan Paotere, Makassar memakan waktu sekitar satu jam. Saat kami tiba, air laut tidak begitu tinggi sehingga kapal tidak bisa bersandar di dermaga. Pada situasi seperti ini, solusi terbaik adalah seorang awak kapal memakai gabus besar menuju dermaga, lalu mengomunikasikan dengan salah satu warga untuk meminjam jolloro, kapal panjang dan ramping untuk menjemput kami. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Pelabuhan Paotere saat Sabtu pagi sebelum berangkat ke Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Sewaktu menunggu giliran menaiki jolloro, saya duduk di samping Haji Rasul, sang kapten kapal. Kami pun sempat berbincang kecil. “Kemarin waktu pemberangkatan relawan naik kapal ta’ juga tidak bisa sandar di dermaga, ya, Aji?”

Haji Rasul menangguk. “Begini memang selalu, Dek, apalagi kalau berangkat menuju siang. Pasti air laut itu sudah turun, tidak cukup untuk kapal sandar di dermaga. Pasti kandas.”

Ia lalu melanjutkan, “Apalagi daerah bibir pantainya pulau ini sama sekali tidak dibersihkan. Ada banyak karang dan dangkal. Jadi kalau air laut surut sedikit saja, saya sudah tidak berani sandar di dermaga.”

Kami tidak banyak berbincang. Setelah sekitar 15 menitan, jolloro kembali bersandar di samping kapal kami, selesai membawa rombongan pertama ke pulau. Saya pun naik ke jolloro. Dari kejauhan, saya dapat melihat dermaga penuh dengan anak-anak yang telah menunggu kedatangan kami. Kata temanku kemudian, anak-anak menunggu sejak pagi. Mereka terlihat senang dan melambaikan tangan seraya kami tiba di dermaga. 

Anak-anak menyambut meriah. Hatiku sangat penuh dengan tingkah lucu mereka yang berebut untuk menggandeng tanganku. Kusapa wajah-wajah yang tidak asing, beberapa anak juga menegurku.

“Halo, Kak Nawa,” sapanya.

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Haji Rasul menakhodai masker saat mengemudikan kapal miliknya menuju Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Menghadapi Antusiasme Anak-anak

Selama beberapa jam ke depan, sebagian besar kegiatan akan dilakukan di sekolah dasar, kecuali makan siang relawan secara bergantian. Kegiatan ini dimulai dengan pengenalan relawan. Kala itu, saya bertanggung jawab di kelas 5 dan 6 yang digabung dalam satu ruangan untuk memastikan kelas berjalan kondusif. Sementara sesi mengajar diserahkan sepenuhnya kepada dua relawan dari yayasan. 

Kelas 5 dan 6 memang belajar di satu ruangan yang menyatu dengan ruang guru (lebih mirip bilik darurat yang hanya dipisahkan dengan triplek putih). Terdapat sekitar 20 anak dari dua jenjang kelas tersebut. Tidak sebanyak murid di sekolah-sekolah yang umum dijumpai di kota. Selama sejam, kami akan bersenang-senang di dalam kelas: belajar baca, tulis, hitung, dan sedikit bahasa Inggris yang ternyata cukup disenangi anak-anak. 

Mengajar anak-anak di dalam kelas memang cukup tricky. Kita harus sigap membaca tanda-tanda kebosanan, hilang fokus, dan tentu menyiapkan materi ajar yang menarik. Setiap anak unik dengan caranya sendiri, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Ada yang senang dipuji, ada yang malu-malu, ada pula yang senang bermain dan mengganggu temannya. Beberapa pengalaman mengajarku membuatku mengerti bagaimana memperoleh perhatian mereka tanpa melukai pita suara, seperti games, tepuk-tepukan yang variatif, serta memberikan apresiasi untuk setiap hal kecil dan baik yang mereka lakukan. 

Tidak terasa, waktu sudah mendekati siang. Seperti briefing sebelumnya, anak-anak akan diberi makan siang sementara beberapa relawan akan santap siang di rumah Bu RW secara bergantian. Setelah itu permainan berlangsung di luar ruangan. Anak-anak bermain bersama sejumlah kakak relawan, sedangkan sebagian relawan lain sibuk mempersiapkan penyerahan bingkisan untuk setiap anak. Bingkisan-bingkisan itu terdiri dari tas sekolah, perlengkapan sekolah, dan beberapa camilan sehat. 

Anak-anak menerimanya dengan bersemangat. Sebagian di antaranya menyerobot karena saking senangnya. Setelah berfoto bersama, mereka menolak pulang ke rumah mereka dan justru menemani kami ke dermaga. Sayangnya, kami tidak menginap seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya.

  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu

Kekosongan-kekosongan yang Muncul Setelahnya

Kegiatan berbagi dalam bentuk materi menjadi sesuatu yang sangatlah lumrah ditemui, mengingat Indonesia dengan gelar negara berpenduduk paling dermawan di dunia. Sama seperti kegiatan berbagi di Pulau Bonetambu ini, saya melihat begitu banyak kesenangan yang terpancar dari mata anak-anak. Tas punggung yang baru dibagikan bahkan langsung mereka pakai dengan bersemangat.

Membantu dan berbagi memang menyenangkan. Hal baik ini selalu memenuhi hati dengan perasaan hangat. Namun, saya sedikit khawatir. 

Kekhawatiran ini muncul suatu hari, ketika beberapa orang berbagi sepatu untuk anak-anak gunung yang terbiasa tidak memakai alas kaki mewah itu. Donasi materi membiasakan anak-anak dengan kehadiran sepatu itu hingga dipakai setiap hari. Lambat laun, sepatu tersebut mengikis, solnya makin rapuh, dan akhirnya rusak. Yang terjadi setelahnya, lebih dalam dari sekadar alas kaki, kini anak-anak gunung menolak berangkat sekolah tanpa sepatu yang sebelumnya tidak menjadi persoalan. 

Selain itu, pembagian berupa materi akan selalu menjadi hal baik, tetapi: “apakah anak-anak membutuhkan sepatu baru tiap tahun, atau kehadiran guru penuh waktu, ruang belajar nyaman, materi ajar yang menyenangkan dan aplikatif, atau bahkan perubahan pola pikir orang tua mereka bahwa sekolah itu penting?” 

Makin terlibat dengan niat membantu, makin saya sadar bahwa sistem dan perbaikan dari akar menjadi kunci utama perubahan. Tidak sekadar materi yang mengambang di permukaan air, menciptakan kekosongan demi kekosongan di bawahnya. Tidak mudah, apalagi untuk teman-teman relawan yang hanya modal nekat dan rasa kemanusiaan. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk mulai menyentuh hal-hal fundamental di masyarakat pulau. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Perjalanan pulang dari Pulau Bonetambu ke Makassar/Nawa Jamil

Cerita saat Pulang

Kami berusaha kembali ke Kota Makassar lebih cepat, sebab makin malam biasanya ombak akan makin besar. Berbeda saat pergi, kali ini saya langsung mengambil tempat duduk di samping Haji Rasul. Saya berniat berbincang banyak hal dengan beliau tentang teknik mengemudikan kapal. Tentu satu jam tidak cukup, apalagi beliau lebih senang bercerita tentang pengalaman merantau dan anak-anaknya dibanding soal kapal. 

Di bagian kemudi saya duduk bertiga, yaitu Haji Rasul, saya, dan satu relawan SCP, Kak Yaya. Perbincangan kami berlangsung menyenangkan, terutama perihal fenomena nikah muda yang kerap terjadi di pulau, dan bagaimana Haji Rasul keukeuh menasihati kami untuk segera menikah. Saya tidak berkomentar banyak, sebab beliau memberi nasihat karena peduli. Terlihat jelas dari matanya yang dikelilingi kulit keriput. 

Perjalanan pulang cukup menantang. Ombak lumayan besar, sehingga beberapa relawan yang duduk di bagian depan kapal langsung bergegas pindah ke dalam.

Kami kembali menginjakkan kaki di Pelabuhan Paotere sesaat sebelum Magrib. Disambut lembayung senja dan kumandang azan masjid. Setelah berpisah dengan rombongan yang kami kawal pada keberangkatan ini, kami pun menutup perjumpaan dengan semangkuk Coto Flyover, Makassar yang menghangatkan jiwa sampai ke tulang


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/feed/ 0 41160