Oswald Kosfraedi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/oswaldkosfraedi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 26 Feb 2024 05:05:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Oswald Kosfraedi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/oswaldkosfraedi/ 32 32 135956295 Meniti Langkah di Gunung Timau https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/ https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/#respond Mon, 26 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41234 Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau...

The post Meniti Langkah di Gunung Timau appeared first on TelusuRI.

]]>
Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau benar-benar berakhir tidak sesuai rencana.

Kekecewaan menyelinap seperti kabut malam menyelimuti puncak yang tidak jauh lagi. Sudah hampir dua jam lamanya, kami berempat—saya, Hersa, Bryan, dan Ari—terduduk di pos penjagaan Gunung Timau, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Portal tertutup tanpa ada satu pun penjaga yang berada di sana. Hanya ada sedikit cahaya lampu cas yang menerangi ruangan pos. Sepintas ruangan ini tampak baru saja ditinggalkan, mungkin beberapa puluh menit sebelum ketibaan kami. Ke mana perginya para penjaga? Pikiran kami menebak kemungkinan demi kemungkinan.

Kami sama-sama tahu, beberapa rombongan sebelumnya tidak diizinkan mendaki musabab kendala perizinan di sini. Bagi kami, jika tidak diizinkan mendaki, paling tidak kami mendapat kepastian dari petugas yang berjaga.

Menit demi menit terus berlalu, harapan kami semakin tipis. Dua tas carrier besar berisi peralatan kemah dan logistik tergeletak begitu saja, sementara dua sepeda motor terparkir lepas di depan portal masuk Gunung Timau.

Malam menjadi semakin sunyi. Hanya desiran angin dan suara binatang malam yang mengisi keheningan. Jaringan internet pun menghilang sejak kami tiba, meninggalkan notifikasi layanan roaming dengan promo internet Timor Leste. Padahal kami masih berada di Amfoang Tengah.

Harapan kami untuk mendaki akhirnya sirna. Tidak jauh dari tempat duduk kami, Ari menemukan sebuah papan kecil bertuliskan: “MOHON MAAF!!! KAMI TIDAK MENERIMA TAMU YANG INGIN BERKEMPING/PIKNIK, FOTO2 DI LOKASI INI. HARAP MAKLUM. TRIMS.”

Tak ada diskusi lebih lanjut. Dengan hati berat kami meninggalkan tempat itu.

Bermalam di Lelogama

Lelogama menjadi keuntungan tersendiri bagi kami berempat. Keberadaan bukitnya, yang belakangan menjadi salah satu lokasi camping favorit, menjadi tempat kami bermalam. Kembali ke Kupang jelas bukanlah pilihan. Menempuh perjalanan jauh di malam hari, dengan rasa lelah selama perjalanan datang, membuat kami memilih berkemah di Bukit Lelogama.

Saya menyusul Ari memarkir kendaraan, dengan sedikit keraguan yang seketika menguasai saya. Melepas kendaraan terparkir di pinggir jalan yang sepi, jauh dari pemukiman dan tempat kami mendirikan tenda, bagi saya sangatlah riskan.

“Aman, Os. Parkir di sini sonde apa-apa,” kata Hersa meyakinkan saya. Itu tidak segera membuat saya tenang, meski setang motor pun telah dikunci. Semoga saja aman, pikir saya sembari mengikuti langkah mereka menapaki Bukit Lelogama. 

Tak menunggu lama, kami mulai mendirikan tenda dengan cahaya senter menjadi penerang. Beres makan malam, saya dan Ari berbincang di dekat perapian, sementara Hersa dan Bryan berada sedikit jauh dari kami. Keduanya tampak serius membahas rasi bintang dan beberapa hal lain, sambil memotret langit Lelogama dengan pemandangan langit bertabur bintang yang menakjubkan. 

Malam kami di Lelogama berjalan panjang. Obrolan beragam topik, dengan tawa yang bersahutan sama lain, mengisi waktu menjelang tidur malam.

“Besok pagi buka mata, pas-pas Timau pung puncak ada di depan sana,” ujar Hersa. Saya menimpali dengan kata-kata penguatan, meski kesempatan pendakian gunung pertama saya pun harus tertunda.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Bryan bersama Andre (kiri), anak lokal di Lelogama/Oswald Kosfraedi

Tengah malam, Lelogama kian sunyi. Menit-menit berikutnya, satu per satu dari kami akhirnya terlelap.

Keesokan paginya, saya terbangun lebih awal. Ringkik kuda yang melintas tak jauh dari tenda membuat saya seketika tersadar. Beres menenggak air mineral, saya beranjak keluar tenda. Menikmati udara pagi yang terasa begitu segar.

Pandangan saya beralih. Gunung Timau kini tampak di kejauhan, tepat seperti yang Hersa katakan semalam. Belasan menit kemudian, Ari akhirnya bangun. Diikuti Bryan yang mungkin tersadar setelah saya menggoyang-goyangkan tenda pagi itu. Hanya Hersa yang kembali tidur meski sempat tersadar sebentar. “Ada stres gagal muncak tuh,” ujar Bryan mencandai Hersa yang kembali terlelap.

Matahari yang kian meninggi membuat panas mulai terasa. Saya, Ari, dan Bryan sempat mengitari Lelogama yang tampak kering di tengah kemarau panjang. Beberapa jam kemudian, anak-anak setempat—Ofni, Andi, dan Andre—kemudian bergabung bersama kami. 

Sembari mengemas barang, kami menanyai mereka banyak hal selalu dijawab ala kadarnya. Belum lagi Ofni, yang lebih sering menanggapi kami dengan bahasa Dawan yang tentu tidak kami pahami. Sesekali tawa kami pecah mendengar jawaban kocak mereka, juga pertanyaan nyeleneh yang dilemparkan Bryan.

Tepat sebelum beranjak, Ofni menyarankan kami untuk mengunjungi Bukit Salib. “Di sana bagus kalau foto,” katanya bersemangat.

Kami berempat pun sepakat. Tak lupa berpamitan dengan mereka bertiga, kami lantas melaju kembali menyusuri jalur jalan ke arah Gunung Timau, sebab bukit Salib berada tepat sebelum kawasan hutan di kaki Gunung Timau.

Kembali Mencoba Keberuntungan di Gunung Timau

Beberapa ratus meter sebelum tiba di bukit Salib, ide berani kembali terbersit: mencoba keberuntungan di Gunung Timau. Bila menimbang waktu, rasanya ini akan sangat melelahkan bila kami harus melakukan pendakian tengah hari seperti ini. Belum lagi semalam kami hanya tertidur beberapa jam. Namun, itu sama sekali tak menjadi halangan, yang terpenting adalah kami bisa bertemu penjaga pos dan selanjutnya semoga saja diperkenankan mendaki.

Sepeda motor kami kembali melaju hingga tiba di pos penjagaan. Seorang petugas menghampiri kami. Hersa dan Bryan berbincang sebentar dengan petugas, sementara saya dan Ari sibuk membersihkan sepatbor motor yang dipenuhi tanah. 

Siang hari itu, keberuntungan berpihak pada kami. Petugas mengizinkan kami mendaki.

Penjagaan di Gunung Timau memang terbilang cukup ketat. Ini tentu bisa dimengerti, sebab tak jauh dari pos penjagaan berdiri Observatorium Nasional Timau, yang merupakan salah satu pusat pengamatan antariksa nasional. Siang hari itu kami melintasi observatorium tersebut, yang desainnya berbentuk bangunan bulat hijau dan beratap seperti kubah berwarna perak.

Bangunan kokoh di tengah kawasan hutan asri menjadikannya tampak begitu unik. Menurut beberapa sumber, pemilihan lokasi pengamatan antariksa ini tidak terlepas dari keberadaan lokasi tersebut, yang memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibanding tempat lain.

Tak jauh dari lokasi observatorium, tepat di batas aspal, kami memarkir kendaraan sesuai arahan petugas penjaga. Berdasarkan informasi Hersa dan Ari, yang sebelumnya pernah mendaki di sini, kami terlebih dahulu harus berjalan menuju titik start pendakian yang berada di dekat bumi perkemahan.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Hersa meniti jalur pendakian ke puncak/Oswald Kosfraedi

Jauh sebelum pendakian ini benar-benar terlaksana, Hersa membohongi saya dengan mengatakan bahwa pendakian memakan waktu setengah hari. Ari sempat mengiyakan penjelasan Hersa, meski dengan sedikit ragu-ragu. Baru semalam mereka menjelaskan durasi pendakian Timau yang sebenarnya hanya memakan waktu satu sampai dua jam. Timau memang tidak terlalu tinggi, tetapi karena saya ikut mendaki, menurut mereka waktu tempuh bisa jadi lebih lama.

Langkah kami mulai menapaki jalan tanah dan berbatu. Beberapa ratus meter berikutnya, kami melintasi sebuah pasar tradisional yang terletak di tengah hutan Gunung Timau. Sebagai pendakian pertama, dengan persiapan minim dan kondisi fisik yang sebenarnya belum siap untuk melakukan pendakian, saya lebih banyak berhenti dan memaksa mereka bertiga untuk menyesuaikan. 

Jalan yang kami lintasi cukup lebar, dengan sedikit aspal yang masih tampak di beberapa titik. Sependek yang saya tahu, menurut penuturan beberapa orang, jalur tersebut adalah jalan menuju desa-desa di Kecamatan Amfoang Utara. Meski kondisinya sudah rusak parah, siang hari itu kami berpapasan dengan beberapa warga lokal yang mengendarai sepeda motor.

Tertatih Menuju Puncak

Tiba di titik start pendakian, kami berhenti sekitar belasan menit sebelum memulai pendakian. Setelahnya kami mulai berjalan melintasi jalur yang didominasi batuan, dengan beberapa titik yang cukup curam. Jalur pendakian Gunung Timau sebenarnya tidak terlalu panjang, tetapi cukup menantang dengan kontur tanah berbatu yang membuat kami harus sedikit memanjat.

Sudah tentu kondisi jalur seperti itu membuat saya menjadi lebih sering berhenti. Bahkan beberapa kali saya sempat meminta untuk tinggal dan menunggu mereka bertiga kembali dari puncak. Tentu saja ketiganya menolak, walau di saat bersamaan juga sama sekali tidak memaksa. Ketiganya dengan sabar menunggu setiap kali saya berhenti lama. 

Seiring langkah kami, udara segar di ketinggian dan pemandangan alam sekitar perlahan mulai memberikan energi positif. Pada setiap istirahat, kami saling berbagi cerita dan tawa, menciptakan suasana penuh keakraban sekaligus memori untuk dikenang. Meski awalnya ragu, saya kian yakin bahwa puncak adalah tujuan yang seiring waktu akan memberikan kepuasan tak tertandingi.

Kabut perlahan melingkupi saat puncak sudah tampak di depan mata. Namun, pendakian belum berakhir. Dengan segala energi yang tersisa, kami kembali melangkah menyusuri trek menanjak dengan batu-batu kecil berserakan. 

Di puncak, gerimis menyambut kami bersamaan dengan kabut yang kian tebal. Senyum puas terpancar dari wajah kami berempat, meski pemandangan dari puncak Timau sepenuhnya tertutup kabut. Hersa, yang sejak semalam begitu kecewa karena gagal mendaki, kini tersenyum sumringah. Bryan pun sama, kerinduannya untuk kembali mendaki setelah rehat beberapa tahun terbayar di Timau. Ari masih tetap dengan lelucon-lelucon atau plesetan katanya yang ia bawa hingga ke puncak.  

Tawa menghias kebersamaan kami selama beberapa puluh menit berada di puncak. Tawa yang mengisyaratkan kebahagiaan atas keberhasilan menginjakkan kaki di titik tertinggi. Untuk kebersamaan yang hangat, serta  akhir yang manis dari sebuah kebulatan tekad dan keberanian untuk mencoba. Ada pengalaman baik, cerita kebersamaan, juga kenangan berharga yang kini kami bawa pulang dari Timau. 

Langkah kami turun kini terasa lebih santai. Tak peduli seberapa lelah, kami hanya bersiap untuk kembali ke Kupang. Sepeda motor melaju, melibas jalanan seiring gelap yang menjelang.

“Mulut asam e,” Bryan tiba-tiba bergumam. Saya baru menyadari stok rokok yang sudah habis di puncak. Itu pun batang terakhir yang terpaksa harus digilir berempat. Saya memacu kendaraan lebih cepat. Takari masih jauh dari sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meniti Langkah di Gunung Timau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/feed/ 0 41234
Memaknai Tradisi Budaya Maritim NTT lewat Pameran “Nenek Moyangku Orang Pelaut” https://telusuri.id/memaknai-tradisi-budaya-maritim-ntt-lewat-pameran-nenek-moyangku-orang-pelaut/ https://telusuri.id/memaknai-tradisi-budaya-maritim-ntt-lewat-pameran-nenek-moyangku-orang-pelaut/#respond Tue, 28 Nov 2023 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40150 Halaman UPTD Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tampak ramai begitu kami tiba di sana. Suasana kian hidup dengan alunan “Dendang Dikideng” yang mengiringi gerakan tari salah satu sanggar tari yang tampil mengisi acara malam...

The post Memaknai Tradisi Budaya Maritim NTT lewat Pameran “Nenek Moyangku Orang Pelaut” appeared first on TelusuRI.

]]>
Halaman UPTD Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tampak ramai begitu kami tiba di sana. Suasana kian hidup dengan alunan “Dendang Dikideng” yang mengiringi gerakan tari salah satu sanggar tari yang tampil mengisi acara malam itu. 

Seperti penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, pameran temporer yang diselenggarakan pihak museum selalu menarik untuk dikunjungi. Tahun ini, tepatnya pada 8–11 November 2023, pameran temporer kembali digelar dengan mengangkat tradisi budaya maritim di Nusa Tenggara Timur. 

Pameran ini bertajuk “Nenek Moyangku Orang Pelaut”. Sebuah tema yang menggariskan bagaimana tradisi budaya maritim telah menjadi warisan sejarah yang turut menjadi bagian kehidupan masyarakat NTT sejak dahulu. 

Bila berkaca pada kondisi geografis NTT, terutama dengan topografi kepulauannya, tentu dapat memahami betapa tradisi budaya maritim turut menjadi aspek utama yang berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan. Namun ternyata, kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik. Masyarakat NTT justru terkenal sebagai masyarakat agraris, dengan pertanian sebagai sektor dominan. Data BPS pada 2021 misalnya, mencatat 56,24% jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di NTT, merupakan pekerja di sektor pertanian. 

Penjelasan itu lantas membuat saya tertarik untuk menjelajahi pameran lebih jauh. Di satu sisi, saya memahami penjelasan tersebut sebagai fakta kehidupan masyarakat NTT yang erat dengan kehidupan agraris. Namun, di sisi lain, ini juga memantik rasa penasaran, terutama bagaimana tradisi budaya maritim hidup sebagai bagian kebudayaan masyarakat NTT. 

Saya berpindah. Ragam koleksi bernuansa maritim terpajang dengan begitu rapi. Saya menyaksikan beragam koleksi, mulai dari miniatur kapal, peralatan tangkap ikan tradisional, juga karya seni seperti tenunan, perhiasan, ukiran, anyaman, dan koleksi-koleksi lainnya. Semuanya seperti menggariskan makna yang sama: tradisi budaya maritim melekat dalam kehidupan masyarakat NTT, lewat kepercayaan nenek moyang, upacara adat, pengetahuan sosial, dan hingga tercermin lewat berbagai karya seni. 

Tradisi Budaya Maritim di Tanah Kering

Sembari berkeliling mengamati ragam koleksi yang ada, saya lalu berhenti, membaca dengan saksama tentang budaya laut di tanah kering. Masyarakat agraris NTT, demikian diterangkan pada papan informasi, memiliki orientasi terhadap laut melalui berbagai ritual adat, cerita-cerita rakyat, motif tenunan, anyaman, ukiran, dan karya-karya seni lain.

Lebih lanjut, hubungan erat masyarakat dengan laut  tergambar lewat kepercayaan masyarakat. Laut berombak ganas diyakini sebagai laut laki-laki (tasi mane), sedangkan laut tenang diyakini sebagai perempuan (tasi feto). Widiyatmika (2011) mencatat, bahwa kepercayaan demikian merupakan klasifikasi budaya masyarakat di Pulau Timor bagian barat. 

Selain itu, di beberapa tempat, seperti di Sumba Barat dan Malaka, hubungan erat dengan laut tergambar lewat kepercayaan khusus terhadap keberadaan buaya. Buaya tidak diperlakukan sebagai binatang dan, masyarakat mengganggapnya sebagai binatang mitologi yang menyimpan banyak cerita. 

Keterhubungan masyarakat NTT dengan laut juga terlihat melalui perlengkapan ritual yang lekat dengan unsur laut. Hal ini misalnya berupa perhiasan wuli, yang memiliki nilai kesakralan dan keunikan tersendiri sebagai unsur budaya masyarakat Ngada. Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bagaimana masyarakat Ngada pada masa prasejarah, menggunakan kerang laut untuk diasah/diupam menjadi mata uang yang bernama ai’dala. 

Ragam tradisi unik yang berhubungan dengan laut juga menjadi bentuk lain keterhubungan masyarakat NTT dengan laut. Masyarakat Sikka etnis Krowe di wilayah pegunungan, sebelum melaut biasanya melakukan upacara (piong) di Nuba Nanga. Upacara ini bertujuan untuk memberi sesajen sekaligus memohon perlindungan Ina Nian Tana sebagai penguasa bumi dan Ama Lero Wulan sebagai penguasa langit. Sementara itu, tradisi unik lain dilakukan oleh masyarakat kampung Maa Bele di Pulau Adonara, Flores Timur, dengan melakukan ritual pao boe—memberi sesajen kepada leluhur—ketika hendak melaut.

Bryan, yang datang bersama saya ke tempat pameran, menunjuk salah satu koleksi dari tanah kelahirannya, Kabupaten Sikka. Koleksi yang ia maksud adalah kain upacara (dugu raga), tenunan Sikka yang dipakai dalam upacara adat di pantai guna memohon cuaca yang bersahabat dalam pelayaran.

Selain koleksi tersebut, beberapa tenunan khas dari berbagai daerah lainnya turut menghias ruang pameran. Di antaranya sarung wanita Kabupaten Lembata, sarung wanita (tenapi) Kabupaten Alor, sarung (lawo wutu) Kabupaten Ngada, sarung wanita (tais feto) Kabupaten Belu, lawo butu Kabupaten Ende, serta sarung (lau witikau/lau hada) Kabupaten Sumba Timur. Tenunan-tenunan tersebut umumnya berupa tenunan yang memiliki hubungan tradisi budaya maritim di NTT, baik dalam bentuk motif tenunan maupun konteks pemakaiannya dalam upacara tertentu.

Koleksi budaya lainnya tampak dalam beberapa koleksi berupa arca kuda dan manusia pemain pasola, mata uang ai’dala, benda budaya berupa perhiasan wuli, saku sirih pinang (kakaluk) dan pompa riul, serta tiang rumah adat bermotif empat ekor buaya berkepala manusia dan kalajengking dari Kabupaten Belu.

Selain itu, tradisi budaya maritim dalam konteks masyarakat NTT semakin kelihatan melalui koleksi peralatan tradisional yang digunakan dalam aktivitas melaut. Malam itu saya menemukan beberapa koleksi, seperti maket perahu layar (Flores Timur), alat penjaring ikan/maruattu (Sumba Barat Daya), alat jaring udang/manggoho kura (Sumba Barat Daya), alat menjaring ikan/wewa (Flores Timur), alat tangkap ikan air dalam/bubu, jala/jala pu (Sabu Raijua), alat menjaring ikan/dalang fufo, lete-lete/perahu layar (Pulau Rote), tombak/tempuling/bho’u (Lembata), alat pancing tradisional (Alor), wadah penampung ikan (Rote Ndao), alat penangkap ikan (Kabupaten Kupang), wadah penampung ikan/kelera (Sabu Raijua), miniatur paledang (Lembata), tombak ikan/keturak (Flores Timur), alat penangkap kepiting/hodo (Sumba Barat Daya), alat penjaring ikan/kenaha (Sabu Raijua),  senapan tembak ikan/bedi (Flores Timur), wadah penampung ikan/pendo (Manggarai), dan berbagai koleksi lainnya. 

Kebersahajaan Tradisi Maritim di Lamalera dan Wanokaka

Di sisi lain ruang pameran, saya menemukan dua tradisi laut yang khas dan unik dalam konteks masyarakat NTT. Keduanya mendapat tempat khusus, dengan penjelasan informasi yang cukup panjang. Begitu menemukan informasi tentang Lamalera, saya sudah menebak bahwa ini akan mengacu pada penjelasan tentang leva nuang atau upacara penangkapan ikan paus oleh masyarakat nelayan Lamalera. Benar saja, pada bagian lain saya menemukan penjelasan detail tentang leva nuang, terutama tentang waktu dan tahapan pelaksanaan upacara ini. 

Tak jauh dari situ, informasi tentang ritual nyale dan pasola di Wanokaka, Sumba Barat, benar-benar mencuri perhatian saya. Saya menaruh fokus, meski ruangan pameran kian ramai. Menurut catatan informasi di ruang pameran, upacara ini merupakan ritus tahunan yang dilaksanakan masyarakat Sumba Barat, terutama di Wanokaka, dan diselenggarakan dalam satu rangkaian dengan pajurra (tinju tradisional di Pantai Taitena), madidi nyale di Pantai Pahiwi dan pasola

Meski sering bertanya pada Umbu Riswan tentang ragam budaya di Sumba, ritual penangkapan nyale belum pernah kami bahas. Saya terus membaca informasi demi informasi yang tertulis di sana. Tradisi ini benar-benar unik, dengan persiapan batin yang dimulai pada bulan pemali atau Wula Biha, larangan-larangan yang wajib dipatuhi dan sanksi adat yang disepakati, pembagian tugas yang melibatkan seluruh kampung yang mengikuti upacara, hingga waktu pelaksanaan yang ditentukan berdasarkan bentuk bulan dan beberapa tanda alam. 

Ritual ini rupanya mengacu pada ritual menangkap cacing laut dalam kebudayaan masyarakat Sumba Barat. Sebagai sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak dulu, nyale diyakini akan menjadi petunjuk awal yang menentukan hasil panen dalam tahun berjalan. 

Penangkapan nyale diyakini dalam beberapa kepercayaan, di mana panen akan berhasil apabila nyale yang ditangkap banyak dan bersih. Jika nyale yang ditangkap mengigit tangan rato, hal itu menjadi pertanda akan ada hama yang menyerang. Selain itu, nyale yang membusuk, menandakan akan ada hujan berlebihan yang membuat padi membusuk. Sementara, jika nyale tidak muncul artinya akan ada kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen dan wabah kelaparan dalam masyarakat. 

Saya mengangguk paham. Kekaguman kian menyeruak dalam dada. “Semoga bisa melabuhkan kaki di tanah Sumba,” gumam saya malam itu.

Peta pelayaran purba/Oswald Kosfraedi
Peta pelayaran purba/Oswald Kosfraedi

Nenek Moyangku Orang Pelaut: Sebuah Refleksi 

“Nenek Moyangku Orang Pelaut” menyiratkan pentingnya permenungan yang mendalam terhadap kekayaan warisan leluhur, terutama terkait tradisi budaya maritim di NTT. Melalui setiap koleksi dan narasi, setiap kita didorong untuk menyadari pentingnya menjaga tradisi sebagai fondasi keseimbangan hidup manusia, alam, dan lingkungan.

Pameran ini bukan hanya sekadar kumpulan benda bersejarah, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan kita hari ini tentang kedalaman hubungan antara manusia dan laut. Warisan leluhur yang terpelihara dengan baik bukan hanya membanggakan, tetapi juga merupakan tuntutan moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang memberi kita kehidupan.

Secara pribadi, saya menemukan bahwa menggali akar sejarah ini memberikan wawasan baru tentang nilai-nilai yang mendasari kehidupan sehari-hari. Perjalanan ini tidak hanya membawa saya kembali ke masa lalu, tetapi juga mengajak saya untuk merenung tentang bagaimana kita sebagai individu dan masyarakat dapat lebih bertanggung jawab terhadap warisan budaya ini.

Dengan mengenang nenek moyang sebagai orang pelaut, kita diingatkan untuk tidak hanya mengejar kemajuan tanpa arah, tetapi juga memelihara keseimbangan dengan alam. Kesadaran akan pentingnya menjaga tradisi warisan leluhur bukan hanya sebagai cermin diri, tetapi sebagai panggilan untuk melibatkan diri aktif dalam pelestarian dan memastikan keberlanjutannya di masa depan.

Pada akhirnya, kesadaran untuk menghormati dan memahami akar budaya kita adalah langkah awal menuju keseimbangan yang lebih baik antara manusia, alam, dan lingkungan. Bekal pemaknaan tentang “Nenek Moyangku Orang Pelaut” dapat menjadi panduan, untuk merangkul masa depan dengan menghargai warisan yang telah ditinggalkan, sekaligus menjadi tonggak baru untuk menjadi lebih baik dalam menjaga harmoni hidup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Tradisi Budaya Maritim NTT lewat Pameran “Nenek Moyangku Orang Pelaut” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-tradisi-budaya-maritim-ntt-lewat-pameran-nenek-moyangku-orang-pelaut/feed/ 0 40150
Kenangan tentang Pulau Rote (2) https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-2/ https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-2/#respond Fri, 24 Nov 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40068 Saya bisa menebak, dengan waktu tidur yang begitu molor membuat sebagian dari kami bangun terlambat. Alhasil kegiatan yang seyogianya direncanakan pukul 07.00 WITA harus bergeser satu jam. Sekitar pukul 08.00 WITA, rombongan kami bergerak menuju...

The post Kenangan tentang Pulau Rote (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya bisa menebak, dengan waktu tidur yang begitu molor membuat sebagian dari kami bangun terlambat. Alhasil kegiatan yang seyogianya direncanakan pukul 07.00 WITA harus bergeser satu jam. Sekitar pukul 08.00 WITA, rombongan kami bergerak menuju tempat pelaksanaan kegiatan di hari kedua, yakni tempat pembuatan gula lontar, yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Pulau Rote.

Di Pulau Rote, keberadaan pohon lontar menjadi salah satu potensi unggulan daerah. Pohon lontar bahkan disebut sebagai pohon kehidupan karena kebermanfataannya yang begitu besar bagi kehidupan masyarakat. Gula lontar, seperti gula lempeng dan gula semut, menjadi salah satu produk pangan paling banyak dihasilkan oleh masyarakat dari pemanfaatan tanaman lontar. 

Perjalanan menuju tempat produksi gula lontar membawa kami semakin jauh menyusuri keindahan alam Pulau Rote. Kian jauh, jalanan yang kami lewati kian sempit. Meski secara umum sudah beraspal, beberapa kerusakan kecil masih kami temui di beberapa titik.  

Setiap tikungan seperti membuka jendela ke pemandangan yang lebih menakjubkan dari sebelumnya. Kami merasakan getaran bus saat melewati jalan yang rusak, meski laju bus melambat, antusiasme kami tidak pudar. Di beberapa titik, bus yang kami tumpangi berhenti musabab kabel listrik yang melintang terlalu rendah dan menghalangi laju kendaraan. Kondektur bus pun segera turun, menyangga kabel dengan kayu, dan memastikan bus dapat melintas. 

Di kiri kanan jalan, mata kami disuguhkan dengan keindahan pemandangan alam yang tak tergoyahkan. Pemandangan perkebunan lontar pun mulai muncul di sepanjang perjalanan, menyambut kami perlahan. Pohon-pohon tinggi dengan daun-daun rimbun menjulang di sekitar, menciptakan bayangan sejuk yang melindungi perjalanan kami dari terik matahari. Kami juga merasakan angin yang lembut bertiup di antara pepohonan, seperti bisikan dari alam yang memberi kami semangat untuk melanjutkan perjalanan.

Tiba di Desa Daudolu
Tiba di Desa Daudolu/Oswaldus Kosfraedi

Tiba di Kantor Desa Daudolu, kepala desa dan jajarannya menyambut kami. Senyum lembut dan ramah dari penduduk setempat menyirami perjalanan kami dengan kehangatan khas Pulau Rote. Seberes berkenalan, mereka berbagi informasi tentang desa, terutama kekayaan budaya dan potensi gula lontar yang menjadi warisan berharga masyarakat setempat.

Perjumpaan itu menjadi begitu berharga. Kami mendapat penjelasan secara detail tentang peran penting gula lontar dalam kehidupan masyarakat dan ekonomi lokal, juga cerita panjang tentang bagaimana gula lontar telah lama diolah secara tradisional dan memberikan mata pencaharian bagi masyarakat Desa Daudolu. Beberapa orang pegawai kantor Desa Daudolu lalu memandu kami menuju salah satu tempat produksi gula lontar. 

Kami tiba di sana saat matahari berada tepat di atas kepala. Mama Sarce, pemilik tempat produksi gula yang kami tuju, membuka ruangnya untuk kami. Kami satu per satu menyalaminya, yang tampak anggun dalam balutan kain tenun Rote di badan. Mama Sarce lalu mengarahkan kami menuju halaman belakang rumahnya, tempat produksi gula miliknya berada.

Bangunan ini  masih sangat sederhana, dengan atap terbuat dari daun lontar, memberikan nuansa autentik yang seakan langsung menghubungkan kami dengan tradisi yang mendalam. Asap perapian mengepul di dalamnya, menciptakan pemandangan yang memikat sekaligus mengundang rasa penasaran tentang bagaimana proses pengolahan gula lontar. Tungku api tradisional di tempatkan di tengah bangunan, seolah-seolah menjadi jantung dari serangkaian proses pembuatan gula. 

Di sekitarnya, kayu-kayu tersusun rapi, menyatu dengan periuk serta wajan yang akan digunakan untuk memasar air nira. Bagian dalam bangunan tampak menghitam. Asap api telah memberi jejak yang mencolok di dinding dan langit-langit bangunan. Meskipun mungkin terlihat tua, jejak-jejak itu menggambarkan usaha dan dedikasi para pembuat gula dalam menghasilkan gula lontar yang khas. 

Di tempat produksi gula ini, kami merasa terhubung dengan sejarah dan tradisi, menyaksikan proses yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Saat kami mengamati proses pembuatan gula dan mendengarkan penjelasan Mama Sarce  dengan saksama, kami tidak hanya melihat proses pembuatan gula, tetapi juga sepenggal cerita kehidupan masyarakat di sini yang tetap menghormati dan memelihara kearifan lokal mereka.

Mama Sarce, kemudian mulai menjelaskan proses pengolahan gula lontar. Dengan nada bicaranya yang khas, beliau memulai penjelasan mengenai beberapa tahapan dalam pembuatan gula lontar, mulai dari penyadapan (pengirisan) tandan bunga mayang pohon lontar untuk mendapatkan nira segar. 

Setelah penyadapan, nira disaring, kemudian memasaknya hingga mendidih, sambil diaduk perlahan hingga mengental. Begitu tahap memasak selesai, nira yang sudah kental didinginkan hingga menjadi padat. Proses produksi kemudian dilanjutkan dengan pencetakan gula lempeng, sementara untuk proses pengolahan gula semut dilanjutkan dengan proses pengkristalan, pengayakan, dan hingga pengemasan.

Menit demi menit berlalu, secara istimewa kami diberi kesempatan mencicipi langsung hasil olahan gula lempeng dan gula semut. Rasa manis yang khas dan wangi yang unik langsung memenuhi lidah kami. “Rasanya sangat khas, dan aromanya begitu berbeda,” kata Annis, suara tanggapannya penuh kekaguman, menggambarkan betapa istimewanya pengalaman ini.

Sebelum beranjak pulang, beberapa dari kami membeli gula semut dan gula lempeng buatan Mama Sarce. Kata mereka, sebagai oleh-oleh yang akan membawa potongan kisah manis Pulau Rote ketika kembali ke daerah asal masing-masing. 

  • Pembuatan gula lontar
  • Foto bersama di depan lokasi pembuatan gula lontar

Beres mengunjungi produksi gula di Desa Daudolu, kami melesat menuju Pantai Nemberala, salah satu spot wisata unggulan Pulau Rote yang terkenal dengan pesona baharinya. Ombak Pantai Nemberala telah lama menjadi magnet bagi para wisatawan pecinta surfing. Selain itu, dari penjelasan beberapa wisatawan lokal yang saya temui, pantai Nemberala juga menawarkan keindahan bawah laut yang tak kalah memukau.

Musabab cuaca, sore hari itu kami bahkan tidak sempat menyaksikan secara langsung sunset di Nemberala. Namun, Nemberala dengan keindahan dan ketenangan alamnya tetap saja membuat kami merasa bahagia dapat melabuhkan kaki di sana. Kami berbagi tawa satu sama lain di sana dan larut dalam kebersamaan yang sepertinya tak akan terulang untuk kedua kalinya.

Sembari menikmati suasana sore itu, saya berbincang dengan beberapa petani rumput laut yang tengah beraktivitas di pinggir pantai. Sesekali saya menyapa wisatawan asing. Konyolnya, basa-basi saya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata malah ditanggapi dengan jawaban bahasa Indonesia yang terdengar cukup fasih. “Banyak bule yang sudah lama menetap di sini, kebanyakan orang Australia,” jelas seorang warga lokal yang duduk tak jauh dari tempat saya berdiri. Saya mengangguk paham.   

Pantai Nemberala
Pantai Nemberala/Oswaldus Kosfraedi

Gerimis menghias Minggu pagi kami di Pulau Rote. Ada rasa tak rela ketika menyadari kami harus kembali ke Kupang hari ini. Siang nanti, sesuai jadwal kapal, kami akan meninggalkan pulau yang benar-benar menciptakan efek kagum pada kunjungan pertama ini.

Pagi itu, Pak Thom tiba-tiba menawari kami untuk berangkat ke kolam pemandian Oemau yang terletak tak terlalu jauh dari tempat penginapan. Tak menunggu lama, kami menyetujui tawaran Pak Thom. Paling tidak ini akan menjadi kenangan terakhir sebelum kembali ke Kupang. 

Kolam Oemau menyajikan sumber mata air alami, tampak begitu jernih dengan rimbun pepohonan yang mengelilinginya. Kami lantas melompat dan menikmati kesegaran air Oemau pagi itu. Uniknya lagi, kolam ini dipenuhi ikan-ikan kecil yang siap menggerogoti kaki.

Menjelang siang, kami pamit pada pengelola penginapan. Tak disangka, meski hanya tiga hari di sini, meninggalkan Pulau Rote ternyata menjadi momen haru yang bahkan membuat beberapa dari kami menitikkan air mata. Pesona dan “rasa” pulau ini dan banyak hal yang kami temui di dalamnya telah memberi warna dalam perjalanan kami. 

Pulau Rote bagi kami juga adalah ruang jumpa dengan orang-orang baik, yang dengan segala keramahannya menerima kami dengan penuh penuh ketulusan hati. Pengalaman ini, segala kebersamaan di dalamnya telah dan akan selalu menjelma menjadi kepingan cerita yang istimewa.   

Pukul 14.00 WITA, seiring kapal yang meninggalkan Pelabuhan Pantai Baru, kami benar-benar mengucap salam perpisahan dengan Pulau Rote dengan segala pengalaman baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenangan tentang Pulau Rote (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-2/feed/ 0 40068
Kenangan tentang Pulau Rote (1) https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-1/ https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-1/#respond Wed, 22 Nov 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40065 Terik matahari mulai menyapa saat kami memulai perjalanan menuju Pulau Rote. Pagi itu, kami sempat hampir ketinggalan kapal di Pelabuhan Bolok. Terengah-engah, kami berlari menyusuri lorong pelabuhan dan akhirnya berhasil memasuki kapal tepat sebelum kapal...

The post Kenangan tentang Pulau Rote (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Terik matahari mulai menyapa saat kami memulai perjalanan menuju Pulau Rote. Pagi itu, kami sempat hampir ketinggalan kapal di Pelabuhan Bolok. Terengah-engah, kami berlari menyusuri lorong pelabuhan dan akhirnya berhasil memasuki kapal tepat sebelum kapal berangkat. 

Tepat pukul 09.00 WITA, KMP Ranaka bergerak meninggalkan pelabuhan. Rombongan kami menempati dek dua, lalu mengambil tempat pada kursi-kursi kosong di antara penumpang lainnya. Beres memastikan ketersediaan tempat bagi semua anggota rombongan, saya berpindah ke dek tiga. 

Selama beberapa kali melakukan penyeberangan, saya selalu menempati dek tiga, dek paling atas, yang menurut saya jauh lebih bebas. Apalagi, penyeberangan ke Rote hanya memakan waktu sekitar empat jam dengan menggunakan feri lambat seperti ini. Waktu tempuh yang jauh lebih singkat ketimbang perjalanan ke Flores via Aimere yang bisa memakan waktu delapan belas hingga dua puluh jam lamanya. 

***

Dek tiga tampak lengang, pemandangan baru yang hampir tidak pernah saya temui pada setiap penyeberangan ke Flores. Saya lantas duduk santai sembari mengamati KMP Ranaka yang kian menjauhi Pelabuhan Bolok. Beberapa saat kemudian satu per satu anggota rombongan berpindah ke dek tiga. Mereka pun rupanya sama, dek tiga bagi mereka adalah pilihan yang tepat. 

Akses ke Pulau Rote melalui jalur laut terbilang cukup mudah dengan jadwal penyeberangan yang tersedia setiap hari. Selain itu, ada beberapa alternatif kapal yang bisa dipilih. Di hari keberangkatan kami saja, masih ada dua opsi kapal lain, yakni KMP Garda Maritim 3 dan KC Express Bahari 1F. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya memilih KMP Ranaka.

Bagi saya, ini benar-benar akan menjadi sebuah perjalanan laut yang menyenangkan. Saya tidak perlu bergulat dengan pikiran bagaimana caranya mengatasi kejenuhan di kapal, menyiasati posisi tidur yang tepat di antara banyaknya penumpang, apalagi mengumpat kesal musabab perjalanan yang rasanya begitu lama. Perjalanan kali ini terasa begitu santai. 

Cuaca yang semula kami khawatirkan, tampak tak lagi menjadi masalah. Langit begitu cerah dan hampir tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Perasaan saya seketika menjadi tenang, sembari berharap semoga cuaca akan selalu bersahabat beberapa hari ke depan, terutama selama kami berada di Pulau Rote. 

Pulau Rote, secara administratif termasuk dalam Kabupaten Rote Ndao. Merunut catatan sejarah, dulunya daerah ini masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang, dan baru menjadi kabupaten sendiri pada tahun 2002. Bagi masyarakat NTT, Pulau Rote menyimpan begitu banyak kekayaan alam dan potensi wisata yang luar biasa. Selain itu, aspek budaya dan kearifan lokal, seperti sasando, ti’i langga, tenunan daerah, ragam pengolahan lontar, dan beragam hal lainnya, menjadi kekhasan tersendiri bagi pulau ini. 

Selama di Pulau Rote, kami—saya bersama dosen dan kesembilan belas mahasiswa PMM—akan mengunjungi destinasi wisata alam Mulut Seribu dan tempat pembuatan gula lontar yang menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat Rote. Sebagai bagian dari agenda kegiatan Modul Nusantara, kunjungan ini ditujukan untuk memperkenalkan kekayaan wisata alam dan kearifan lokal masyarakat Rote kepada mahasiswa PMM yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 

Setelah hampir 4 jam penyeberangan, KMP Ranaka berlabuh di Pelabuhan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao. Siang hari itu, Pulau Rote menyambut kami dengan pesona air laut berwarna hijau toska yang menjadi begitu anggun tatkala berpadu langit biru dan matahari yang bersinar cerah. 

Di Pelabuhan Pantai Baru, kami dijemput bus yang dikemudikan Bapak Sugianto. Tak butuh waktu lama, bus melaju di jalanan Rote Ndao yang beraspal mulus. Hari itu juga kami langsung mengunjungi salah satu destinasi wisata alam di Pulau Rote, tepatnya di Desa Daiama dengan jarak tempuh sekitar 20–30an kilometer. 

Hampir tak ada gambaran apa-apa yang saya ketahui tentang destinasi tersebut. Saya hanya tahu, bahwa tempat yang bernama Mulut Seribu itu pernah menjadi salah satu nominasi Anugerah Pesona Indonesia Kategori Surga Tersembunyi pada tahun 2020 lalu.

Setelah hampir satu jam perjalanan, kami tiba di sana.

Tiba di Mulut Seribu, Pulau Rote
Tiba di Mulut Seribu/Oswaldus Kosfraedi

Laut tampak tenang, warna birunya menyihir mata dalam sekejap. Beberapa perahu motor terparkir di dermaga, yang mana beberapa di antaranya akan kami sewa untuk mengitari pulau-pulau kecil di Mulut Seribu ini.

Air laut yang jernih dengan vegetasi pepohonan hijau sekelilingnya menyajikan pemandangan alam yang masih terjaga dengan baik. Kami berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain, menikmati pemandangan laut sembari mengamati ikan-ikan yang berenang dengan bebasnya hingga ke tepi pantai. Sesekali saya berbincang dengan anak-anak setempat yang sedang bersantai di dermaga. Mereka menanggapi saya dengan ramah, dan selebihnya larut dalam obrolan bahasa daerah mereka sendiri, yang tidak saya pahami. 

Sesuai rencana, harusnya kami akan makan siang terlebih dahulu. Sayangnya, warga setempat yang seharusnya mempersiapkan makan siang kami, rupanya memiliki kesibukan lain. Kabar mengejutkan yang membuat kami mau tidak mau harus melawan rasa lapar untuk sementara waktu. 

Beberapa saat sebelum kedatangan Om San dan Om Lans—sang juru kemudi perahu, gelak tawa kami pecah mendapati Yazid yang terpeleset jatuh hingga celana yang ia kenakan basah kuyup. Saya menjadi salah satu yang paling mentertawakan kesialan kecil yang menimpa Yazid. Seandainya saat itu saya tahu bahwa kemudian kesialan yang lebih besar akan menimpa saya, mungkin saya tidak akan berlebihan mentertawakan Yazid.

Rombongan kami lalu dibagi dua, sebagian menumpang bersama Om San, sebagian lagi bersama Om Lans. Saya bergabung bersama rekan-rekan yang menumpang perahu Om Lans dengan jumlah yang sedikit lebih banyak, sesuai ukuran dan kapasitas perahu. 

Mesin perahu pun menyala, dua unit perahu perlahan bergerak meninggalkan dermaga. Seiring kami melaju, panorama Mulut Seribu kian terbentang di hadapan. Pulau-pulau kecil yang berjajar di tengah laut biru memberikan nuansa keindahan, yang belum pernah kami temui sebelumnya.

Setiap pulau di sini merupakan gugusan karang yang melahirkan pulau-pulau kecil, yang mana laut biru seperti berpelukan dengan hijau rimbunnya pepohonan. Alam seakan menciptakan pulau-pulau ini dengan penuh keajaiban. 

Om Lans memberitahu saya terkait nama-nama pulau kecil di Mulut Seribu. “Ini Batu Kapal,” kata Om Lans sambil menunjuk sebuah pulau yang berada tepat di depan kami. “Disebut begitu karena bentuknya seperti kapal,” katanya melanjutkan.

Selain pulau tersebut, ada juga Pulau Rumah Tujuh yang menurut cerita hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Lalu, ada Pulau Batu Dua Pintu, Pulau Faliki, Pulau Mandere, dan pulau-pulau lainnya yang tersebar di Mulut Seribu.

Menurut beberapa literatur, asal mula nama Mulut Seribu karena keberadaan tebing-tebing, karang, dan pulau-pulau kecil di sekitar tampak tampak menyerupai “mulut” yang banyak. Kenampakan alam memesonanya pun membuat banyak orang menyebut sebagai Kepulauan Raja Ampat yang terkenal itu.

Seperti menyusuri sebuah labirin raksasa, kami melaju di antara celah-celah pulau kecil yang menyerupai pintu menuju sudut lain Mulut Seribu. “Di sini kalau sonde dipandu bisa nyasar, ada jalur masuk dan keluarnya,” terang Om Lans.  

Beberapa kali, kami bersua dengan perahu nelayan setempat yang melintas. Di beberapa titik kami menemukan budidaya rumput laut yang juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat di sini. Semuanya menyatu, memberi warna lain, yang juga menunjukkan bagaimana keterhubungan manusia dengan alamnya. 

Di sini, laut yang tenang, tebing-tebing karang yang kokoh, pulau-pulau kecil nan cantik, riuh rendahnya nyanyian burung-burung di udara, dan keberlimpahan ikan di dalam laut—semuanya berpadu menjadi satu, menjadi kekayaan luar biasa dari Mulut Seribu. 

Perasaan syukur benar-benar mengisi hati kami, untuk kesempatan berharga singgah ke tempat ini.

Usai mengitari Mulut Seribu, rombongan kami bergegas menuju penginapan yang berada di Mokdale, Kecamatan Lobalain. Menurut sopir bus, jarak ke sana cukup jauh dengan estimasi waktu sekitar satu setengah hingga dua jam perjalanan. 

Bus melaju meninggalkan Desa Daiama seiring malam yang kian menjelang. Saya mengatur posisi duduk sebaik mungkin, berharap bisa terlelap, dan baru akan terbangun ketika bus telah tiba di tempat tujuan kami.  

Dua jam kemudian, kami tiba di penginapan. Usai menyusun barang-barang dan menyiapkan tempat menginap, kami berkumpul di teras penginapan. Membaur menjadi satu dalam suasana penuh keakraban, lalu larut dalam obrolan penuh tawa. 

Malam itu berjalan panjang, dengan canda tawa dan cerita-cerita yang tak kunjung habis. Di tengah obrolan, saya memberitahu mereka soal pakaian saya yang ketinggalan di kamar mandi umum Mulut Seribu sewaktu membersihkan diri beres mengelilingi Mulut Seribu. 

Beberapa menanggapinya dengan sedikit kaget, meski kami sama-sama tahu bahwa tidak ada harapan untuk mendapatkan pakaian itu kembali. Beberapa yang lain tersenyum tipis, sambil menahan tawa, mungkin mereka memikirkan hal yang sama, mengingat kembali bagaimana saya menertawakan Yazid dan kemudian tertimpa kesialan yang lebih parah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenangan tentang Pulau Rote (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-1/feed/ 0 40065
Lelah yang Terbayar Tuntas di Fatunausus https://telusuri.id/lelah-yang-terbayar-tuntas-di-fatunausus/ https://telusuri.id/lelah-yang-terbayar-tuntas-di-fatunausus/#respond Sat, 21 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36923 Setiap kali Devi, Ka Ditho, atau beberapa kawan dari Atambua pulang berlibur, saya tahu betul bahwa mereka akan tiba dalam tujuh hingga delapan jam. Biasanya mereka berangkat malam menggunakan bus yang terparkir di sekitaran Oesapa....

The post Lelah yang Terbayar Tuntas di Fatunausus appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap kali Devi, Ka Ditho, atau beberapa kawan dari Atambua pulang berlibur, saya tahu betul bahwa mereka akan tiba dalam tujuh hingga delapan jam. Biasanya mereka berangkat malam menggunakan bus yang terparkir di sekitaran Oesapa. Saya pun hafal betul lokasi parkir bus-bus tersebut, harga tiket bus, hingga jam keberangkatan mereka.

Dengan waktu keberangkatan pada malam hari, saya bisa memprediksi pada pukul berapa mereka akan tiba di Atambua. Namun, itu tidak menjadi soal ketika perjalanan yang demikian telah menjadi hal biasa bagi mereka. Lain cerita untuk beberapa kawan yang memang mabuk perjalanan, bisa jadi durasi perjalanan lebih lama.

Jarak Kupang ke Atambua memang sangat jauh. Atambua berada di ujung Pulau Timor. Untuk tiba di sana harus melintasi beberapa kabupaten sekaligus. Mungkin ini sedikit lebih mudah ketimbang perjalanan darat di Flores sana, mengingat topografi Pulau Timor dominan dengan jalan yang rata. Lain cerita dengan Pulau Flores yang memiliki kontur jalan naik turun, melalui jalur bukit dengan tanjakan dan turunan tajam yang berkelok.

Sebelum Berangkat ke Soe
Sebelum Berangkat ke Soe/Oswald Kosfraedi

Tetap saja, tak peduli serata apa pun jalur jalan, jarak tempuh 270-an kilometer pasti melelahkan. Saya menyadari itu, namun tidak cukup sigap mengantisipasi tatkala melakukan perjalanan ke Atambua. 

Berangkat pagi dengan waktu tidur yang benar-benar tidak efektif semula tak saya pikirkan. Saya menumpang bus kampus dengan semangat, mengambil posisi duduk dekat pintu tengah, lalu membuatnya seolah biasa-biasa saja, tanpa memedulikan seberapa jauh perjalanan yang akan kami tempuh. 

Bus kampus berukuran mini, hanya memiliki 19 kursi penumpang dan 1 kursi sopir. Sementara rombongan kami terdiri dari 24 orang. Memang ini tidak cukup baik bagi kami semua, tetapi karena pelaksanaan kegiatan, mau tidak mau saya dan beberapa lainnya duduk selonjoran di lorong kursi bus atau di tangga pintu tengah.

Dengan keadaan seperti itu, kami harus menempuh ratusan kilometer menuju Atambua dan berbalik kembali ke Soe. Jika saya kalkulasi, total jarak tempuh perjalanan mencapai 400 hingga 500-an kilometer. Awalnya, ini sama sekali bukan masalah, apalagi hawa di beberapa titik perjalanan begitu sejuk. 

Saya ketiduran sebelum memasuki Soe, mungkin karena waktu tidur saya sebelumnya kurang, jadilah saya lebih cepat terlelap. Toh, setelahnya saya kembali fit. Melewati Soe hingga tiba di Kefamenanu, tenaga saya masih kuat, apalagi seberes mengisi perut. Melewati Kefamenanu, saya memutuskan untuk berdiri dan menikmati perjalanan dengan cara yang demikian. Tiba di Atambua dan perbatasan, saya pun masih bersemangat, bahkan hingga kembali dari perbatasan dan melaksanakan kunjungan ke Sekolah Tenun Ikat Flamboyan.

Tiba siang di Atambua
Tiba di Atambua/Oswald Kosfraedi

Malam menjelang, saya turun memesan makan malam untuk rombongan kami. Dengan menenteng dua plastik besar berisi puluhan nasi bungkus, rasa pegal menjalari kaki, juga punggung yang mulai terasa sakit. Seberes mengurus makan malam, kami kembali melaju. Hanya beberapa menit setelah keluar dari Kota Atambua, saya tertidur di antara lorong kursi dengan kepala beralaskan tas rekan mahasiswa, entah milik siapa. 

Beberapa kali saya terbangun dengan suara rekan mahasiswa yang samar saya dengar. Dhava dan Diva masih duduk di dekat pintu tengah. Sementara, di kursi dekat saya berbaring Falupi, Annis, Rebeka; mereka pun terlelap. Sebelum memasuki Kefa, saya sempat berusaha bangun untuk kembali duduk di dekat Dhava, tetapi gagal. Saya menyadari tubuh ini benar-benar lelah, dengan pegal di kaki dan punggung yang semakin menjadi-jadi.

Di dekat bundaran Tugu Biinmafo, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak makan malam. Saya lupa persisnya pukul berapa, tetapi jalanan sudah mulai lengang. Kami semua turun, dan saya segera melompati got kecil lalu mengambil posisi duduk dengan punggung yang bersandar di tembok pagar Kantor DPRD Kabupaten TTU. Semaput, demikian pesan yang saya kirim ke beberapa kawan dekat. 

Beres makan di tempat itu, kami kembali melaju melewati jalur Kabupaten Timor Tengah Selatan hingga tiba di Soe. Saya hanya mengetahui bahwa kami akan menginap di Soe, tetapi tidak tahu persisnya di mana. Rupanya kami akan menginap di Fatunausus yang berjarak kurang lebih 20-an kilometer lagi dari Kota Soe. 

Entahlah, di mana dan seperti apa tempat itu, saya tidak berniat bertanya atau sekadar googling. Saya kembali merebahkan badan, lantas menikmati bus yang bergoyang tatkala memasuki jalur yang lebih sempit dengan tanjakan yang begitu banyak. 

Saya melirik jam ponsel yang sudah menunjukkan pukul 01.00 WITA, sementara kami tak kunjung tiba di Fatunausus. Beberapa menit kemudian, lintasan aspal berganti jalur tanah, dan beberapa meter berikutnya bus berhenti. Sopir bus pun turun memeriksa kondisi jalan apakah bisa dilewati atau tidak. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, saya ikut turun. Sorot lampu bus yang menembus gelap malam itu menyajikan kondisi jalan yang ekstrim. Turunan yang lumayan terjal dengan jalan batuan yang tak lagi baik. 

Setelah beberapa saat, sopir bus kembali naik dan memutuskan untuk melintasi jalur tersebut. Mobil melaju pelan melintasi turunan terjal itu. Rumitnya lagi, bus harus melintasi sungai kecil yang sedikit becek, lalu melintasi sedikit tanjakan kembali sebelum tiba di gerbang masuk tempat kami akan menginap. Dengan bantuan flash ponsel, saya melihat pepohonan ampupu, cemara, dan pinus yang tumbuh di kiri kanan jalan.

Tiba di tempat penginapan, kami lantas segera merebahkan badan yang sudah benar-benar lelah, hingga akhirnya terlelap di tengah hawa dingin Fatanausus. 

Saya bangun sedikit terlambat dan mendapati rekan-rekan yang lain sudah bangun lebih dulu. Beberapa dari antara mereka tampak sudah mandi, duduk santai di halaman depan sambil menyeduh kopi dan teh, juga beberapa lainnya yang tampak berkeliling menikmati alam Fatunausus. 

Tiba malam di sana membuat saya tidak mengetahui bagaimana pemandangan Fatunausus, dan pagi itu saya dibuat terpesona ketika saya melangkah keluar dari tempat penginapan. Hawa paginya yang sejuk berpadu pemandangan gunung batu marmer yang kokoh,  juga dengan rimbun pepohonannya yang hijau. Alamnya begitu indah dengan suasananya yang tenang nan asri. Setelah membersihkan diri, saya menyeduh kopi yang sudah disiapkan di halaman tempat penginapan. Ah, indah nian pagi hari itu.

  • kuda
  • Alam Fatunausus
  • Fatunausus

Fatunausus sendiri terletak di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.  Daya tarik utamanya terletak pada gunung batu marmer yang menjulang dengan hamparan pepohonan hijau yang memanjakan mata. Tempat ini pun telah ditata dengan ketersediaan gazebo yang ada di sekitarnya. Selain itu, pada beberapa titik telah dibangun beberapa spot foto yang bisa digunakan pengunjung ketika berkunjung ke sana. 

Menjelang siang, saya bersama rombongan bergerak ke salah satu titik yang tak terlihat dari halaman tempat penginapan. Tiba di sana, saya sedikit terkejut mendapati gunung batu nan rapi yang selama ini biasa saya temukan di internet. Saya sontak kaget karena tak menyangka bahwa tempat ini terletak di Fatunausus. 

Keunikan gunung batu ini terletak pada bentuknya yang terpahat rapi dan licin sebagai bekas penambangan marmer pada puluhan tahun lalu. Berada di sana membuat saya dapat dengan leluasa menikmati panorama alamnya yang menakjubkan. 

Siang itu, lagi-lagi keindahan alam Pulau Timor membuat saya jatuh cinta untuk kesekian kalinya. 

Kembali dari sana, kami berkemas untuk kembali ke Kupang. Seperti saat datang semalam, saya dan beberapa rekan kembali berjalan mengikuti bus yang melaju pelan pada lintasan yang memang cukup ekstrim. Belum jauh berjalan, saya mendapati seorang bapak yang sedang menunggangi kuda. 

Dengan sedikit usil saya bertanya apakah saya bisa menumpang kuda miliknya. Gayung bersambut, beliau mengiyakan. Saya lantas naik dan menumpang di belakangnya. Bapak itu bernama Frans, ia adalah warga setempat yang kebetulan sering melintas di Fatunausus.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Bapak Frans atas tumpangannya, saya lantas kembali ke bus dan kami melaju meninggalkan Fatunausus.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lelah yang Terbayar Tuntas di Fatunausus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lelah-yang-terbayar-tuntas-di-fatunausus/feed/ 0 36923
Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/ https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/#respond Fri, 20 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36914 Bicara tentang toleransi, Kota Kupang menyimpan beragam cerita baik yang terwujud dalam berbagai hal di dalamnya. Salah satu wujud toleransi itu sendiri tercermin melalui kerukunan antarumat beragama. Dalam skala nasional, Kota Kupang memang telah beberapa...

The post Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bicara tentang toleransi, Kota Kupang menyimpan beragam cerita baik yang terwujud dalam berbagai hal di dalamnya. Salah satu wujud toleransi itu sendiri tercermin melalui kerukunan antarumat beragama.

Dalam skala nasional, Kota Kupang memang telah beberapa kali menerima penghargaan terkait toleransi antarumat beragama. Belum lama ini, mendapatkan Harmony Award dan julukan Kota Toleran. Beberapa tahun sebelumnya, juga pernah meraih penghargaan yang sama. 

Selain Harmony Award, Kota Kupang juga berhasil menorehkan catatan baik melalui Indeks Toleran Award (ITW) sebagai Kota Toleran Indonesia 2020 bersama 9 kota lainnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tertinggi tingkat nasional tahun 2021, dan beberapa torehan lainnya. 

Terlepas dari pencapaian-pencapaian ini, toleransi antarumat beragama di sini memang telah menjadi potret indah yang mewarnai kehidupan orang-orang di dalamnya. Karena itu jugalah saya merasa sangat bersyukur bahwa Kota Kupang pernah menjadi bagian dari sejarah hidup saya, dan sekaligus menjadi tempat saya menimba banyak pelajaran berharga. 

Mengawali Oktober, kami melakukan kunjungan ke dua tempat ibadah yang berdampingan dan sekaligus menjadi salah satu ikon toleransi di Kota Kupang, yakni Masjid Al-Muttaqin dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). 

foto bersama
Bersama Bapak Muhamad Marhaban/Oswald Kosfraedi

Kedua rumah ibadah yang berdiri berdampingan ini cukup terkenal, banyak juga cerita baik yang dapat dengan mudah kita temukan lewat berbagai literatur. Keduanya telah menjadi potret toleransi yang patut dijaga dan diceritakan pula sebagai salah satu representasi kerukunan antarumat  beragama di Kota Kupang. 

Kami tiba di sana sekitar pukul 08.00 WITA sesuai kesepakatan waktu bersama pengurus masjid dan gereja yang kami temui sehari sebelumnya. Menariknya, sehari sebelumnya kami menemui pengurus masjid tepat setelah pelaksanaan salat Jumat. 

Siang hari itu, halaman masjid masih cukup ramai. Kami disambut ramah oleh beberapa pengurus dan remaja masjid. Setelah saya dan Rikar memperkenalkan diri, kami disuguhi kopi dan makanan ringan, lalu larut dalam obrolan yang cukup lama. 

Agenda kegiatan kami di sana bertajuk “Indahnya Toleransi Beragama”, yang dilaksanakan sebagai salah satu bagian dari kegiatan kebinekaan program Modul Nusantara.  Pagi hari itu, kami duduk bersama di teras Masjid Al-Muttaqin bersama Ketua Yayasan Al-Muttaqin, Muhammad Marhaban. Beliau juga merupakan anggota FKUB Provinsi NTT utusan Majelis Ulama Indonesia Provinsi NTT.

Bapak Muhammad Marhaban mengawali cerita dengan berbagi pengalaman saat menjabat sebagai Kepala Kantor Agama di Kabupaten Alor. “Begini-begini sudah pernah jadi kepala kantor,” katanya sambil tertawa. Kemudian beliau berbagi cerita tentang rentetan pencapaian Kota Kupang dalam hal penghargaan kota toleransi. 

Beliau bercerita tentang kerukunan antarumat beragama di NTT, termasuk bagaimana kisah kerukunan antara gereja dan masjid yang berdampingan ini. Di hadapan kami semua, beliau juga dengan yakin mengatakan NTT bisa dijadikan contoh membangun toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 

sesi sharing
Sharing di Masjid Al-Muttaqin/Oswald Kosfraedi

Masih dalam diskusi di Masjid Al-Muttaqin, saya bertanya kepada Bapak Muhammad Marhaban perihal bagaimana kearifan lokal dan kehidupan budaya NTT berpengaruh terhadap kerukunan antarumat beragama. Menurutnya, kearifan lokal dan budaya di NTT memiliki andil besar terhadap terciptanya kerukunan antarumat beragama. Dengan mengambil contoh di Alor, beliau menjelaskan hal demikian dengan acuan buku yang pernah beliau tulis berjudul “Kearifan Lokal Umat Beragama di Kabupaten Alor Dalam Spirit Kerukunan”.

Beliau lalu menjelaskan bagaimana masyarakat Alor tumbuh dalam kerukunan antarumat beragama, yang juga tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat di sana. Masyarakat Alor senantiasa bekerja sama dalam berbagai hal, seperti pembangunan rumah ibadah. 

“Orang Alor itu kalau mau bangun masjid, bukan orang Islam saja yang membangunnya, tapi yang bantu bangun itu [juga ada] orang Kristen,” jelasnya. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bagaimana aspek-aspek kultural dan kehidupan kolektif masyarakat setempat menjadi fondasi kuat guna menciptakan kerukunan antarumat beragama. 

“Agama itu urusan pribadi, tapi dalam kehidupan sosial tidak pernah dibeda-bedakan agama,” tegasnya. Beliau pun mengutarakan faktor kekerabatan juga memainkan peran besar dalam mendukung kerukunan antarumat beragama di sini. Hubungan kekerabatan yang dibangun dengan kesadaran akan pentingnya menerima dan menghargai perbedaan agama turut menjembatani terciptanya kerukunan antarumat beragama. 

Dalam konteks survei indeks kerukunan umat beragama, tiga indikator umum mendasar yang dipakai Kementerian Agama mengacu pada aspek toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Beliau lantas menjelaskan ketiga hal ini dalam konteks kehidupan masyarakat NTT. Selain itu, beliau juga mengetengahkan peran dan dukungan pemerintah dalam menopang kerukunan antarumat beragama. Menariknya, hal ini dipraktikkan secara baik dalam kehidupan masyarakat NTT. 

Kembali dengan mengambil contoh di Alor, pemerintah memberikan dukungan secara maksimal melalui kebijakan yang adil terhadap semua agama, misalnya melalui pemberian anggaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap agama maupun dengan langkah baik berupa kesempatan studi bagi setiap tokoh agama. 

Seusai diskusi dengan Bapak Muhammad Marhaban, teman-teman PMM juga diberikan kesempatan untuk sejenak berbagi pengalaman tentang potret kerukunan di daerah asalnya masing-masing. Seiring sesi yang kian akrab, hujan turun di pagi hari itu meski tak terlalu lama. Pagi  itu, Bapak Muhammad Marhaban juga rupanya memiliki agenda kegiatan lain yang membuat beliau pamit lebih awal.

Kami lalu mengunjungi Gereja HKBP yang terletak tepat di samping Masjid Al-Muttaqin. Di sana Pendeta Maradona Sibagariang yang telah kami hubungi sehari sebelumnya menyambut kehadiran.

Kami lantas kembali mendengarkan cerita kerukunan antarumat beragama dari perspektif beliau. Kali ini, Pendeta Maradona menekankan kepada kami semua bagaimana generasi muda perlu menjadi garda depan dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Dengan gaya bicaranya yang tenang, beliau menyinggung beberapa isu kontemporer yang perlu dihadapi secara bijak dalam konteks kerukunan antarumat beragama. Persoalan-persoalan intoleran yang saat ini sering bermunculan di media sosial perlu dihadapi secara baik dalam upaya menjaga kerukunan, terutama kerukunan antarumat beragama. 

  • Foto Bersama Pendeta
  • foto bersama

Setelah berbincang selama satu jam lebih, kami lantas mengakhirinya dengan mengambil foto bersama tepat di depan Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) siang hari itu. Setelahnya, kami berpamitan pulang. 

Kembali dari sana, saya begitu bersyukur untuk kesempatan berbagi cerita sejak pagi hingga siang hari itu. Saya bersyukur bahwa saya hadir dan terlibat dalam semua kegiatan yang mungkin hanya berlangsung dalam skala kecil, tetapi punya pelajaran dan nilai yang sangat besar guna mendukung tumbuh dan lestarinya kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/feed/ 0 36914
Menjejakkan Kaki di Perbatasan Montaain https://telusuri.id/menjejakkan-kaki-di-perbatasan-motaain/ https://telusuri.id/menjejakkan-kaki-di-perbatasan-motaain/#comments Sat, 17 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36667 Perjalanan selalu menyimpan efek kejut yang tidak pernah terduga. Pada titik tertentu, kita bisa saja tiba pada sebuah perjalanan yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Itulah yang akhirnya saya alami ketika terlibat dalam sebuah perjalanan...

The post Menjejakkan Kaki di Perbatasan Montaain appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan selalu menyimpan efek kejut yang tidak pernah terduga. Pada titik tertentu, kita bisa saja tiba pada sebuah perjalanan yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Itulah yang akhirnya saya alami ketika terlibat dalam sebuah perjalanan hingga ke ujung Pulau Timor, Motaain, yang menjadi perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. 

Rombongan kami berangkat dari Kupang sekitar pukul 06.00 WITA. Dengan titik kumpul di Rusunawa Undana, keberangkatan kami molor satu jam dari rencana awal. Sebagian besar dari kami menumpang bus kampus, sedangkan sebagiannya lagi pada dua unit mobil lain yang kami sewa untuk perjalanan ke sana. 

Sejak awal, rekan-rekan yang berasal dari Atambua maupun yang pernah berkunjung ke Atambua memberitahu saya bahwa perjalanan ke sana akan sangat memakan waktu yang lama dengan jarak tempuh yang sangat jauh. “Besong pi Atambua balik memang ko? Itu besong tacu,” ucap salah satu dari antara rekan kampus saya yang berasal dari Atambua. 

Atambua
Tiba di Atambua/Oswald Kosfraedi

Menyoal jarak, perjalanan kami memang sangat jauh. Untuk tiba di Atambua, kami masih harus melewati Kabupaten Kupang, Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan), Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara), hingga tiba di Atambua, Ibukota Kabupaten Belu. Namun, berangkat ramai-ramai dan terutama dengan teman-teman Modul Nusantara membuat saya sama sekali tidak memikirkan hal tersebut. 

Rencana kami memang berkunjung ke Atambua dan perbatasan memang merupakan bagian dari kegiatan Modul Nusantara. Hanya saja, ide bahwa kami akan menginap semalam di Soe tentu menjadi salah satu ide yang paling berani. Dengan rencana yang demikian, kami tentunya harus berbalik dari Atambua, melewati Kabupaten TTU lagi, sebelum tiba di Soe untuk bermalam. Namun, lagi-lagi saya tidak terlalu ambil pusing dengan hal demikian. 

Mobil melesat. Kami sempat berhenti di Oesao sekitar pukul 06.30 WITA, tepatnya di Pondok Cucur Oesao, yang menurut banyak cerita menjadi salah satu tempat cucur terenak di Pulau Timor. Tak lama berhenti, kami kembali melesat. Melintasi  kawasan hutan Camplong, saya malah tertidur. Ya, ini bisa dimengerti karena saya benar-benar hanya tidur selama dua jam sebelum perjalanan hari ini. 

Sebelum tiba di Soe, sebagian dari rombongan kami sudah terlelap meski sesekali terbangun ketika bus direm mendadak. Ah, tidur di bus memang ada-ada saja ceritanya. Laju kendaraan yang begitu cepat mengantar kami tiba di Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Untuk daratan Pulau Timor, Soe dikenal sebagai daerah dingin dan sejuk. Tiba pagi hari di sana, membuat kami dapat dengan sempurna merasakan sambutan dingin kota ini. 

Hawanya yang dingin tentu sangat berbeda dengan Kota Kupang yang panasnya luar biasa. Paling tidak, Soe membawa saya kembali merasakan satu hal yang paling identik dengan daerah asal saya di Manggarai: dingin dan sejuk. Perjalanan kami berlanjut, dan saya menyadari bahwa perjalanan ini belum seberapa. Lokasi kegiatan yang kami tuju masih sangat jauh. 

Melewati Soe, kami melintasi jalur yang berkelok-kelok. Turunan dan tanjakan bergantian kami lewati. Om sopir yang memegang kemudi pun tampak cekatan menghadapi jalur ini. Kondisi jalan yang demikian tentu berbeda jauh dengan jalur Kota Kupang yang setiap hari kami lewati. Jika Kupang didominasi oleh jalur yang rata dan mulus, Soe dan jalur sepanjang Kabupaten TTS memiliki jalur yang sangat berbeda. 

Saya yang duduk dan sesekali berdiri di pintu bus mengamati kondisi jalanan yang demikian. Beberapa titik jalur ini pun hampir sama dengan kondisi jalan di Manggarai, terutama di beberapa titik yang hampir sama dengan jalur Wae Lengga–Wae Rana, beberapa titik yang lain yang mirip dengan jalur Borong–Sita, juga beberapa titik yang serupa dengan jalur Lembor–Labuan Bajo. 

Di Kabupaten TTS, kami sempat berhenti di pinggir jalan. Semula, saya mengira hanya untuk sejenak beristirahat, tetapi kemudian baru saya paham ketika Pak Thom meminta saya memotret beliau. “Os, lu foto beta di sana,” kata Pak Thom sambil berjalan ke samping sebuah kios kecil di pinggir jalan itu. Tepat di tempat yang dimaksud Pak Thom, saya menyaksikan lahan luas yang ternyata sedang dikerjakan untuk pembangunan Bendungan Temef. 

Segera setelah memotret Pak Thom dan beberapa rekan mahasiswa yang turut ingin mengabadikan tempat itu, kendaraan kami kembali melaju. Keluar dari Kabupaten TTS, kami memasuki wilayah Kabupaten TTU. Kendati letaknya berdekatan, kondisi jalan kedua kabupaten ini sangat berbeda. Begitu tiba di TTU, kondisi jalan umumnya begitu rata dan berbeda jauh dengan lintasan jalur TTS yang sebelumnya kami lewati. 

Memasuki Kota Kefamenanu, kami berhenti di sebuah tugu dengan tulisan BIINMAFO. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami lantas bergegas turun dan berfoto bersama di tugu tersebut. 

Karena minimnya informasi yang saya ketahui tentang Kota Kefamenanu dan segala hal di dalamnya, termasuk tugu BIINMAFO, saya lantas menghubungi Sandro, rekan kelas di Jikom yang merupakan putra Kefamenanu.

“Unu, ini tugu yang ada tulisan Biinmafo artinya apa e?”, tulis saya via WhatsApp. “Itu tugu tiga raja kae. Biinmafo itu singkatan dari tiga suku/kerajaan besar di TTU, artinya Biboki, Insana, dan Miomaffo,” balas Sandro siang hari itu.

Menurut beberapa literatur, tugu dengan tinggi sekitar 10 meter ini merupakan tugu selamat datang di Kota Kefamenanu. Saya pun merasa bersyukur bisa berdiri di tempat yang menjadi ikon selamat datang di Kota Kefamenanu. 

Masih di Kefamenanu, atas inisiatif Pak Thom kami menyinggahi Gereja Katolik St. Antonius Padua di KM 7 Sasi, Kota Kefamenanu. Tampak luar gereja ini sudah cukup sering saya lihat di internet. Desainnya unik dengan corak bangunan yang khas juga menjadi salah satu ikon dari Kota Kefamenanu. Dinding gereja yang anggun disusun dari batu alam berwarna cokelat kemerahan, batu ini berasal dari tanah Timor Tengah Utara. Ketika kami tiba di sana, umat paroki setempat rupanya sedang melaksanakan kerja bakti untuk pembangunan taman doa di sekitar gereja paroki tersebut. 

Gereja katolik
Gereja Katolik di Kefamenanu/Oswald Kofraedi

Menariknya, gereja ini juga dulunya dibangun dengan dana bantuan dari legenda sepak bola Italia, Alessandro Del Piero. Bantuan ini diberikan oleh Del Piero melalui Pastor Antonio Razzoli, OFM Conv, yang merupakan paman Del Piero. Pastor Antonio Razzoli, OFM Conv inilah yang merupakan pastor paroki pertama di daerah ini dan yang merintis sekaligus mengawasi pembangunan gereja.

Kembali dari sana, kami kembali melesat. Atas instruksi Pak Thom dan Ibu Mery, kami akhirnya berhenti untuk sejenak mengisi perut di Kefamenanu. Rombongan kami yang berjumlah cukup banyak lantas secara beramai-ramai memasuki Rumah Makan Padang Baru Jl. Eltari KM 3 Kefamenanu, yang terletak tepat di samping lampu merah. 

Sekitar pukul 11.15 WITA, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Atambua. Dari Kefa menuju Atambua kami menghabiskan hampir dua jam setengah perjalanan. Jalur jalan yang mulus dan rata membuat kendaraan kami melaju dengan cepat dan tiba di gerbang Kota Atambua pada pukul 13.30 WITA. Kami kembali berhenti tepat di sebuah tugu bertuliskan “Selamat Datang di Kota Atambua Kota Perbatasan”. 

Berhenti sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami jelas, perbatasan Indonesia–Timor Leste di Motaain. Tidak dapat disangkal memang perjalanan ini sangat lama, dan boleh jadi itulah yang membuat rekan saya, Dhava, sibuk menyalakan peta sepanjang jalan hanya untuk memastikan berapa lama lagi waktu tempuh kami ke perbatasan. 

Hampir sejam perjalanan, kami akhirnya tiba di Motaain. Setelah menginformasikan pada petugas perihal tujuan kedatangan kami, ia pun mempersilakan kami masuk. Segera setelah bus terparkir, saya bergegas mengganti pakaian dengan mengenakan kaos TelusuRI, paling tidak ini akan jadi tanda bahwa TelusuRI telah sampai di tapal batas Indonesia–Timor Leste. 

Motaain
Foto bersama di Motaain/Oswald Kosfraedi

Sebelum memasuki tugu perbatasan, kami harus melapor diri pada petugas kurang lebih sebanyak tiga kali sampai bertemu dengan aparat TNI dan petugas yang bertugas di gerbang perbatasan. Seorang petugas yang menerima kedatangan kami pun menjelaskan batas yang boleh kami masuki. Meski panas Motaain begitu menyengat, kami begitu bersemangat menginjakkan kaki di perbatasan ini, dan tentu saja kami bergantian mengambil foto sebagai kenangan yang nantinya bisa kami lihat kembali atas kedatangan kami di tempat ini. 

Tiba di Motaain, di perbatasan Indonesia bersama teman-teman mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sungguh adalah sebuah pengalaman yang sangat berkesan. Paling tidak ini menjadi tanda bagi kami semua bahwa kami pernah berdiri di sini sebagai satu saudara, satu darah Indonesia. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjejakkan Kaki di Perbatasan Montaain appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjejakkan-kaki-di-perbatasan-motaain/feed/ 1 36667
Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/ https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/#respond Fri, 16 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36658 Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di...

The post Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan appeared first on TelusuRI.

]]>
Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di sini. Menariknya, semua itu tidak saja tersaji lewat alam yang Tuhan ciptakan dengan begitu sempurna, tetapi juga lewat warisan budaya dan hasil cipta masyarakat di dalamnya. Salah satunya, bisa saya temukan di Rumah Tenun Ikat Flamboyan—sebuah ruang bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok penenun.

Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
Sekolah Tenun Ikat Flamboyan/Oswald Kosfraedi

Sebelumnya, di saya sudah mengunjungi Rumah Tenun Kampung Alor pada 2021 lalu untuk menyaksikan proses menenun serta ragam koleksi yang ada di dalamnya. Setelahnya, saya mengunjungi Rumah Tenun Kampung Sabu dan menyaksikan hal yang sama di sana.

Tenunan dengan segala keindahan motif dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya lahir dari jari-jari terampil dan ketekunan para penenun. Dengan itu, apresiasi atas tenun pertama-tama harus dialamatkan kepada para penenun. Mereka hadir sebagai tokoh penting di balik lahirnya tenunan nan indah, sekaligus berdiri di garda depan dalam upaya pelestarian warisan budaya nan luhur.  

Melabuhkan kaki di Kabupaten Belu memberi saya berkesempatan untuk bertemu para penenun nan terampil.

Memang, selama kurang lebih empat tahun lebih saya berada di Pulau Timor, kekayaan tenunan Kabupaten Belu belum sepenuhnya melekat sebagai identitas daerah ini. Perbatasan, Fulan Fehan, dan beberapa destinasi wisata lainnya masih dominan disebut sebagai ikon Kabupaten Belu. Sementara tenunan masih jarang saya dengar—dalam konteks pergaulan sehari-hari—apalagi keberadaan kelompok penenun dan sekolah tenun yang ada di sana.  

Alhasil, lagi-lagi melalui kesempatan Modul Nusantara, saya tiba di salah satu sekolah tenun lokal yang terletak di Kuneru, Kelurahan Manunutin, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu. Namanya, Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Sekolah tenun ini terbentuk secara resmi dua tahun lalu, berada di bawah binaan Kelompok Tenun Ikat Flamboyan yang berlokasi di tempat yang sama.

Jumlah siswanya berjumlah 15 orang, dan mereka acap disebut sebagai anak-anak Flamboyan. Anak-anak ini merupakan gabungan dari anak-anak sekolah pada jenjang yang berbeda, dengan rincian  empat orang siswa SD, lima orang siswa SMP, dan enam orang siswa SMA. Ketika tiba di sana, anak-anak ini pun sedang menenun beberapa kain tenun khas Kabupaten Belu.  

Sore hari itu, kami berkesempatan bertemu secara langsung dengan Mama Maria Goreti Bisoi, yang akrab disapa Mama Eti Bisoi. Beliau merupakan Ketua Kelompok Tenun Ikat Flamboyan sekaligus pengelola Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dari beliaulah, kami mendapatkan informasi tentang keberadaan sekolah ini.

Beliau menjelaskan, di Kelurahan Manumutin sendiri ada dua sekolah tenun, termasuk salah satunya Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dalam praktiknya, sekolah ini bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar menenun—dari berbagai jenjang pendidikan—untuk kemudian diajarkan dan dilatih perihal keterampilan menenun.  

Aktivitas menenun yang diajarkan kepada anak-anak Flamboyan mempunyai beberapa tahapan. Kelas pertama yakni pengenalan alat dan bahan, serta fungsi alat yang digunakan dalam menenun. Setelahnya, para siswa mendapatkan pelajaran mengenai jenis tenunan maupun nilai filosofis di dalamnya, dan tahapan spesifik lain sehingga para siswa dapat  memahami secara baik serangkaian tahapan menenun.  

Di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, para siswa juga intens dilatih untuk menenun tais futus (tenun ikat) dan tais fafoit (tenun sulam) dalam masyarakat Belu. Terkait alat dan bahan menenun, Mama Eti Bisoi menyebut beberapa alat dan bahan, yang mencakup ailulu, ru’i, knur, kai ana, ulo, kaka balun, beba, benang, dan beberapa lainnya. Sementara terkait motif, beberapa motif yang sempat diperkenalkan beliau, antara lain nugu (dikur-tanduk), bebak taran (dahan pohon tuak bergerigi), romiki (gadis kemak bersolek), aikleu (dahan pohon), dan bia ubu (binatang air).  

Beres pengenalan sekolah tenun kepada rombongan kami, saya menemui Mama Eti untuk sedikit menggali informasi tentang keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Menariknya, menurut Mama Eti, anak-anak yang saat ini tergabung di sini rupanya bergabung atas niat dan kemauannya sendiri untuk belajar menenun. Hal ini pun disampaikan oleh salah seorang anak yang saya tanya hari itu. 

Mama Eti Bisoi
Mama Eti Bisoi/Oswald Kosfraedi

“Karena mau belajar tenun,”katanya sambil tersenyum malu.  

Model pembelajaran terkait jenis tenunan, motif, dan nilai filosofis tenunan pun boleh dibilang sangat unik. Anak-anak sekolah diberi ruang belajar secara mandiri untuk memahami hal-hal demikian. Mama Eti dan beberapa penenun Flamboyan hanya mengirimkan materi melalui grup WhatsApp dan kemudian anak-anak secara aktif mempelajarinya secara mandiri.

Hebatnya, anak-anak ini kemudian datang ke tempat tenun dengan pemahaman yang baik dan benar perihal materi yang dibagikan tersebut. Mama Eti dan pendamping lainnya hanya memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan anak-anak tersebut. Dalam perjalanannya, sekolah tenun ini tidak memungut biaya untuk belajar. Dalam seminggu, anak-anak hanya akan didampingi selama 4 jam oleh dua instruktur yakni Mama Eti dan Mama Marta.  

Obrolan saya dan Mama Eti diakhiri dengan pertanyaan saya perihal ide awal menggagas Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, Kuneru. Dengan nada bicaranya yang tenang Mama Eti kemudian menjelaskan ide awal pendirian sekolah tenun tersebut. 

“Awalnya kita sering ikut kegiatan di luar, dan kita tahu bahwa tenun ini warisan budaya. Kita sadar bahwa ini perlu diwariskan kepada anak cucu, lalu bagaimana cara mewariskannya sedangkan guru-guru di sekolah hanya [fokus] pada bidangnya masing-masing, menenun tidak ada pada program atau kurikulum sekolah.”

“Jadi ya, muncul ide bagaimana kalau kita yang bisa dan mampu [yang mengajarkannya]. Apa salahnya meluangkan waktu untuk ajarkan kepada  anak-anak sendiri?” lanjutnya.

Keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan juga mendapat dukungan positif dari masyarakat sekitar dan pemerintah. Beberapa waktu sebelumnya, Mama Eti Bisoi menerima penghargaan sebagai perempuan yang berjasa dan berprestasi di Kabupaten Belu yang diberikan pada 21 April lalu. Menurutnya, penghargaan ini tidak terlepas dari keberadaan kelompok tenun dan sekolah tenun yang mereka bentuk. 

Mama Eti Bisoi juga menambahkan bahwa secara umum pelestarian tenunan di Kabupaten Belu sudah dilakukan dengan baik. Menurutnya, masyarakat sudah punya kesadaran untuk menaruh perhatian besar pada pelestarian tenun, dan semua itu perlu didukung oleh semua pihak sebagai upaya pelestarian budaya daerah maupun nasional.  

  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan

Beberapa dari rombongan kami pun berkesempatan mencoba menenun dengan peralatan yang ada di sana. Annis, Prasetya, Intan, dan beberapa yang lainnya pun tampak serius mengikuti arahan Mama Eti dan Mama Marta. 

Annis, salah satu rekan mahasiswa Modul Nusantara dari Jawa Barat menyampaikan kesan pribadinya setelah berkesempatan mencoba menenun. 

“Senang bisa ngedengerin ilmu dari pihak pengelola tenun, sama bisa praktek juga secara langsung. Biasanya kan cuma bisa lihat lewat media aja cara menenun. Apalagi kalau ada kelas rutin buat menenun ikutan deh annis. Ya walaupun nggak ulet,” ungkap Annis.  

Seiring malam yang kian menjelang, kami akhirnya pamit pulang dari Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Mobil melaju, dan saya mulai membayangkan betapa jauh jarak yang harus kami tempuh dari sini menuju Soe.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!

The post Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/feed/ 0 36658
Kembali ke Fatubraun https://telusuri.id/kembali-ke-fatubraun/ https://telusuri.id/kembali-ke-fatubraun/#comments Sat, 10 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36520 Mungkin kita bisa saja sepakat bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk mengubah kesan pertama, termasuk pada destinasi wisata yang kita tuju. Namun, kesan dan cerita baru selalu akan tercipta seiring jejak langkah perjalanan dan ragam...

The post Kembali ke Fatubraun appeared first on TelusuRI.

]]>
Mungkin kita bisa saja sepakat bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk mengubah kesan pertama, termasuk pada destinasi wisata yang kita tuju. Namun, kesan dan cerita baru selalu akan tercipta seiring jejak langkah perjalanan dan ragam cerita yang tersimpan di dalamnya. 

Mengenang Fatubraun sejatinya adalah mengenang perjalanan pertama ke sana tahun lalu, menginap semalam, menyaksikan atraksi budaya Amarasi, menyatu dalam kebersamaan dengan teman-teman PMM 1 Undana, dan segala kepingan cerita lain di dalamnya. Hari ini, kembali lewat Modul Nusantara saya kembali melawat ke sana, di tempat yang sama, tetapi dengan orang yang berbeda dan ceritanya yang berbeda pula.

Penghujung September yang panas menjadi momen keberangkatan ke sana. Bersama Pak Thom dan rombongan mahasiswa kelompok 5 Modul Nusantara Undana, kami berangkat saat matahari benar-benar di atas kepala. Bisa dibayangkan betapa menyiksanya panas Kota Kupang yang menuntun keberangkatan kami ke sana.

Rombongan berangkat menggunakan tiga unit mobil, dan tentu saja yang paling menyita perhatian adalah munculnya Kijang milik Bapak Minggus. Kebetulan saya menumpang mobil ini bersama Gufron, Prasetya, Yazid, dan Adam. 

Duduk di samping Pak Minggus, saya pun menggali banyak cerita tentang mobil Kijangnya yang melaju begitu kencang sepanjang jalan ke Fatubraun. Menurut cerita Pak Minggus, Kijang ini merupakan Kijang kelahiran 1996. Kendati usianya tak lagi muda, pengalaman ke Fatubraun membuat saya terkagum-kagum dengan tenaga Kijang yang sempat saya ragukan sewaktu berangkat dari Kupang. 

Berbicara tentang Pak Minggus, paling tidak, saya menemukan tiga hal unik yang menjadi ciri khas sosok kelahiran Sumba ini. Pertama, Pak Minggus punya ciri khas dengan topi koboi yang dikenakannya. Kedua, ia selalu menyapa orang sepanjang jalan, entah itu sesama pengendara maupun masyarakat yang sedang beraktivitas di pinggir jalan. Ia percaya bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya, dan sekadar menyapa di jalan adalah bagian dari bentuk menghargai keberadaan orang lain di sekitarnya. 

Ketiga, Pak Minggus juga adalah sosok yang gemar memotret. Ia kerap menghentikan mobil untuk sekadar mengambil gambar, mulai dari pemandangan, perkebunan penduduk, dan lain-lain sepanjang jalan. Baginya, memotret adalah cara mengabadikan momen dan setiap kesempatan yang pernah dijalani.

Seiring laju mobil yang tanpa ragu melewati jalur menuju Fatubraun, saya terus bercerita dengan Pak Minggus. Hingga tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Fatubraun. Sembari menunggu dua mobil rombongan lainnya, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak menikmati keindahan Pantai Teres yang tersaji di depan mata. Kami berbincang dengan Bapak Minggus yang tentu saja tak melepas ponselnya untuk mengabadikan momen. 

Begitu rombongan lain datang, kami lantas melaju menuju Pantai Teres. Menariknya kali ini kami mengambil rute yang berbeda. Jika tahun lalu kami mengambil jalur kanan dan menikmati Pantai Teres dari gazebo-gazebo yang telah ditata rapi, kali ini kami mengambil jalur kiri. Kendati kondisi jalan yang hampir sama, tetapi mengambil jalur kiri ternyata harus melewati beberapa titik yang rusak. 

Pondok Singgah
Foto di Pondok Singgah/Oswald Kosfraedi

Kami melaju dengan hawa panas yang kian terasa. Tanpa mengetahui di mana kami akan berhenti, kami hanya menikmati laju Kijang Pak Minggus yang sesekali dipacunya dengan begitu kencang. 

Setelah beberapa saat, rombongan kami akhirnya berhenti di pinggir jalan tempat di mana sebuah pondok singgah berdiri. Setelah diarahkan oleh Pak Thom dan Pak Minggus, kami akhirnya duduk di bale-bale pondok singgah tersebut. 

Kami berbagi banyak hal, tentu saja dengan cerita Pak Minggus yang begitu banyak. Selain rombongan kami, seorang warga setempat juga duduk di tempat itu. Awalnya Pak Minggus memperkenalkan bapak tersebut sebagai penjaga pondok singgah itu. 

Tanpa banyak bicara, bapak itu hanya memandang ke arah lautan, tanpa melibatkan diri dalam obrolan kami. Saya lantas berpindah dan mengambil tempat duduk di sampingnya. Saya membuka obrolan kami hari itu dengan memperkenalkan diri dan daerah asal saya. Setelahnya kami larut dalam obrolan beberapa topik, yang sebenarnya sengaja saya tanyakan pada beliau. 

Beliau ternyata warga asli di wilayah tersebut, dan seperti kata Pak Minggus, ia juga menjaga pondok singgah yang kami tempati dan lahan di sekitarnya. Menurutnya, lahan-lahan di sana dulunya adalah milik mereka, tetapi kemudian diberikan kepada orang-orang lain yang ingin menggunakan lahan tersebut, termasuk pondok singgah tersebut. 

Saya cukup heran ketika mendengar kata “diberikan”, dan lantas memastikan kembali perihal hal tersebut. Bapak itu sekali lagi mengatakan bahwa memang mereka memberikan tanah pada orang yang ingin menggunakannya. 

Logika saya berkutat pada pertanyaan bagaimana mungkin tanah yang demikian potensialnya diberikan begitu saja. Di tengah kebingungan tersebut, secara tiba-tiba beliau mengatakan bahwa tanah ini kan bukan kita yang punya, kita manusia hanya mengelolanya. Detik itu juga saya terdiam. 

Setelahnya saya mencoba memancing beliau dengan pertanyaan baru tentang kelebihan Pantai Teres. Menurutnya kelebihan Pantai Teres terletak pada hasil lautnya yang melimpah. Sebuah jawaban yang sebenarnya tidak terlintas dalam benak saya. 

Pondok Singgah
Seberes kegiatan di Pondok Singgah/Oswald Kosfraedi

Ia juga bercerita bagaimana ia tumbuh di wilayah tersebut hingga saat ini ketika Pantai Teres sudah semakin banyak dikenal dengan pembangunan wisatanya yang semakin maju. Ia mengutarakan perubahan besar yang terjadi setelahnya adalah menurunnya hasil laut. Namun, ia juga tidak menampik kenyataan bahwa pengembangan wisata Pantai Teres juga berdampak baik sehingga pantai itu semakin banyak dikenal, semakin ramai dikunjungi, dan semakin ditata dengan baik. 

Di tengah perbincangan kami yang makin panjang, kami diinstruksikan untuk beranjak ke Fatubraun guna melaksanakan kegiatan kebhinekaan hari ini. Saya lantas berpamitan pada beliau dan mengikuti rombongan kami bergegas ke Fatubraun.

Mobil lalu melaju ke Fatubraun. Di tempat parkir Fatubraun, kami lalu berhenti dan lantas mulai menapaki satu per satu anak tangga menuju puncak. Ah, Fatubraun. Rasanya baru kemarin kami larut dalam kebersamaan dengan teman-teman PMM angkatan 1. Hujan menyambut kami dengan derasnya, lalu larut dalam sharing kebudayaan Amarasi, mendirikan tenda, bercerita hingga larut, menyambut sunrise di puncak, hingga kembali dengan cerita yang lekat di ingatan hingga hari ini. 

  • Puncak Fatubraun
  • Puncak Fatubraun

Saya masih ingat baik, bagaimana waktu itu saya sempat kepikiran untuk tidak mendatangi Fatubraun lagi musabab kesan luar biasa bersama teman-teman PMM angkatan 1. Namun, akhirnya hari ini saya menginjakkan kaki kembali: di tempat yang sama, dengan orang yang berbeda.

Saya mengamati sekitar dengan alamnya tak asing juga kenangannya yang masih terekam jelas. Fatubraun menjadi tempat dengan kisah dan kesan terbaik di angkatan 1 dan kini menjadi pembuka di angkatan 2.

Kami lantas menapaki anak tangga menuju puncak. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami lantas mengabadikan momen begitu kami tiba di puncak Fatubraun. Tawa kami mengalun satu di puncak Fatubraun. Sembari bergantian mengambil foto, kami saling berbagi cerita. 

Setelah hampir satu jam lebih, dengan matahari yang kian turun, kami lantas bergegas untuk pulang kembali ke Kupang. Sebelum pulang, terbesit ide untuk menggagas tagline kelompok 5 selama pelaksanaan Modul Nusantara dalam beberapa bulan ke depan. Alhasil, lahirlah “Kelompok 5 beda na. Sond jalan sond asyik”, dan hari itu  tagline  itu pun berkumandang untuk pertama kalinya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Fatubraun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kembali-ke-fatubraun/feed/ 1 36520
Singgah di Rumah Tenun Kampung Sabu https://telusuri.id/singgah-di-rumah-tenun-kampung-sabu/ https://telusuri.id/singgah-di-rumah-tenun-kampung-sabu/#respond Fri, 09 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36443 Tengah hari yang panas, secara tiba-tiba Hersa mengajak saya ke Rumah Tenun Kampung Sabu, tempat kegiatan Modul Nusantara kelompok mereka hari ini. “Mari su Ka Os, dekat sini sa,” ajaknya yang segera saya setujui.  Kami...

The post Singgah di Rumah Tenun Kampung Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Tengah hari yang panas, secara tiba-tiba Hersa mengajak saya ke Rumah Tenun Kampung Sabu, tempat kegiatan Modul Nusantara kelompok mereka hari ini. “Mari su Ka Os, dekat sini sa,” ajaknya yang segera saya setujui. 

Kami lalu melaju dengan sepeda motor miliknya mendahului rombongan mahasiswa Modul kelompok mereka. Hersa sendiri adalah adik tingkat saya di kampus, yang juga merupakan salah satu LO Modul Nusantara Undana, kelompoknya Ibu Rossi. 

“Dekat sini sa” yang dibilang Hersa rupanya tidak dekat-dekat amat dari Rusunawa Undana. Melewati jalur Kayu Putih, kami berbelok lagi di Oepoi, lalu menyusuri Terminal Oebufu, hingga ke daerah Oepura. 

Tiba di Oepura, saya mendapati gerbang masuk Rumah Tenun Kampung Sabu. Perkiraan saya rumah tenun itu sudah benar-benar dekat. Nyatanya kami masih harus melaju kembali melewati gang-gang kecil sebelum akhirnya tiba di sana.

Beberapa menit kemudian, rombongan mahasiswa bersama Ibu Rossi akhirnya tiba. Tak menunggu lama, kegiatan Modul Nusantara pun dimulai. Dengan arahan Ibu Rossi, teman-teman mahasiswa Modul Nusantara berkesempatan mendengarkan penjelasan secara langsung dari para penenun di Rumah Tenun Kampung Sabu. Beragam informasi pun dijelaskan oleh para narasumber: mulai dari sejarah rumah tenun, teknik dasar menenun, peralatan tenun yang dipakai, motif-motif tenun, koleksi tenunan, dan beragam informasi lainnya. 

penjelasan materi tenun
Ibu Rossi menjelaskan materi/Oswald Kosfraedi

Seusai penyampaian materi, teman-teman mahasiswa bersama Ibu Rossi dan Hersa berkesempatan mengambil foto dengan mengenakan beberapa kain tenun yang tersedia di rumah tenun hari itu. Saya yang dimintai bantuan untuk memotret lantas memotret mereka yang tampak elok dengan balutan kain tenun yang mereka kenakan. 

Tak ingin melewatkan kesempatan menggali informasi dari para penenun, saya lalu mendekati beberapa penenun di sana. Mereka adalah Ibu Henderina atau akrab disapa Ma Rika (ketua kelompok tenun Mira Kaddi), Ibu Slapacelak atau sering disapa Nabua, Bapak Tobias, dan Om Lodi. 

Rumah Tenun Kampung Sabu dan Cerita di Dalamnya

Dikisahkan Ma Rika, para penenun di Rumah Tenun Kampung Sabu telah menenun sejak kecil. Menenun dalam masyarakat Sabu (terutama Sabu Mehara) merupakan tradisi yang diwariskan dari nenek moyang mereka hingga saat ini. “Katong mulai menenunnya dari nenek moyang. Jadi turun temurun sampai di katong anak cucu begitu,” ungkap Ma Rika. 

Para penenun di sana pun sebenarnya berasal dari satu daerah asal yang sama, tepatnya dari Kecamatan Hawu Mehara. Pada kisaran tahun 1990-an mereka berpindah ke Kupang dan mulai menekuni aktivitas menenun sebagai profesi mereka. Awalnya mereka masih menenun di rumah masing-masing. Barulah pada tahun 2014, mereka—tergabung dalam satu kelompok yaitu kelompok Mira Kaddi (artinya membangun bersama)—yang berada di bawah binaan Bank Indonesia dan Pemerintah Kota Kupang.

Ma Rika sendiri telah menenun sejak usia belasan tahun di daerah asalnya di Pulau Sabu. Setelah berpindah ke Kupang, Ma Rika kemudian terus melanjutkan pekerjaannya sebagai penenun. Lambat laun, dari hasil penjualan hasil tenun miliknya, Ma Rika bisa membeli sebidang tanah yang saat ini menjadi tempat berdirinya Rumah Tenun Kampung Sabu.

  • Belajar Menenun
  • Menenun
  • Tahapan Menenun

Proses penenunan satu kain di rumah tenun ini biasanya memakan waktu 2-3 minggu dan menghasilkan 3-4 lembar kain tenun dalam sebulan. “Kalau dari awal sampai akhir dalam sebulan itu katong bisa dapat 3-4 lembar kain tenun,” jelas Ma Rika. Hal ini tentu tidak terlepas dari rumitnya proses menenun.  

Bersama kedua penenun lainnya, Ma Rika menjelaskan secara garis besar terkait beberapa tahapan menenun. Tahapan terdiri dari beberapa tahap, yakni warru wangngu (penggulungan benang), mane wangngu (menghani), tali wangngu (proses ikat membentuk motif) menggunakan tali rafia, proses pewarnaan dengan sistem celup (bahan sintetis/kimia dan warna alam, seperti daun nila, akar mengkudu, kunyit, dan lain-lain), penyusunan motif pada kain yang akan ditenun, keteri benang, pemberian hiasan dengan benang warna, pemasangan gun dalam penenunan, proses merapikan dan kunci motif (pemanno), hingga proses akhir penenunan yang biasanya berlangsung selama 5 hari. 

Meskipun saya tidak memahami secara baik tahapan-tahapan menenun yang mereka jelaskan, saya bersyukur paling tidak bahwa saya bisa mendapatkan informasi dari mereka perihal proses menenun yang panjang. 

Penenun di Rumah Tenun Kampung Sabu berjumlah 25 orang, termasuk Ma Rika, Nabua, dan Bapak Tobias. Sementara itu, terkait hasil tenunan, Rumah Tenun Kampung Sabu tidak terbatas pada kain tenun daerah Sabu saja, tetapi juga memproduksi kain tenun ikat dari berbagai daerah di NTT. Siang itu, Ma Rika sempat menunjukkan beberapa kain tenun Rote, Alor, dan beberapa daerah lainnya. Hasil tenunan mereka pun beragam dalam bentuk sarung, selendang, selimut, bahan baju, hingga jas. 

Ma Rika juga mengutarakan beberapa kesulitan yang mereka hadapi. Kondisi bangunan yang mulai rusak menjadi salah satu hal yang disampaikan Ma Rika, terutama kerusakan yang timbul pasca badai seroja beberapa waktu lalu. Selain kondisi bangunan, minimnya jumlah pengunjung dan pemesan tenun juga menjadi tantangan lain yang mereka hadapi. “Tamu tidak ada yang datang, katong pung hasil tenun tu tidak ada orang yang datang beli di sini. Jadi, katong pi jual di galeri-galeri saja,” ungkapnya. 

Setelah berbincang cukup lama dengan mereka bertiga, kami akhirnya pamit pulang. Saya sendiri merasa bersyukur bisa berkunjung ke sana dan mendapatkan cerita banyak dari para penenun. Hari Minggu yang tadinya berasa hambar dan hampir tak ada rencana apa pun akhirnya menjadi bermanfaat dengan kunjungan yang awalnya tidak pernah saya rencanakan. Meskipun tidak terlalu “dekat-dekat sa” seperti yang dikatakan Hersa, tapi saya bersyukur untuk kunjungan ke sana. 

Berkunjung Untuk Belajar

Sebagai bagian dari pelaksanaan Modul Nusantara yang memang ditujukan untuk memperkenalkan NTT dan beragam hal di dalamnya, kunjungan kelompok Ibu Rossi ke sana adalah satu hal yang luar biasa. Teman-teman Modul Nusantara bisa secara langsung menggali cerita dan mengenal salah satu kekhasan NTT, yakni kain tenun. 

Pemilihan lokasi dan topik dalam kegiatan ini pun sejak lama telah direncanakan oleh Ibu Rossi selaku dosen pembimbing kelompok ini. Pemilihan lokasi ini didasari oleh kenyataan bahwa penenun di rumah tenun ini merupakan salah satu kelompok penenun yang masih eksis menenun hingga saat ini kendati Kota Kupang sendiri perlahan berkembang dalam kehidupan yang semakin modern. 

Kelompok penenun Mira Kaddi senantiasa menjaga dan mempertahankan warisan nenek moyang, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai salah satu representasi kebudayaan NTT. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan para mahasiswa pada salah satu profesi yang banyak menghidupi orang-orang di NTT—selain bertani, berladang, dan berladang.  

“Harapannya mahasiswa Modul Nusantara mengenal kekhasan NTT, yakni menenun. Selain itu, mereka juga bisa melihat secara langsung proses menenun, mereka belajar mulai dari memisahkan benang, membentuk motif, dan sebagainya. Mereka memang diharapkan untuk melihat secara langsung bahwa untuk menghasilkan satu kain tenun itu ternyata memiliki beberapa proses yang panjang. Harapannya juga untuk menanamkan toleransi, untuk bisa mereka bisa menghargai  karya dari setiap daerah,” jelas Ibu Rossi yang juga merupakan dosen saya di Prodi Ilmu Komunikasi Undana. 

Mengenakan Tenunan NTT (1)
Para peserta mengenakan tenun NTT dan berfoto bersama/Oswald Kosfraedi

Sekembali dari Rumah Tenun Kampung Sabu pun saya berinisiatif menanyakan kesan teman-teman mahasiswa perihal kunjungan ke sana. Cahya, mahasiswa STMIK IKMI Cirebon menyampaikan kesan pribadinya. “Seru sih, Kak. Kan aku baru pertama kali ke rumah tenun gitu, aku juga nggak tau sebelumnya kalau ternyata emang prosesnya sangat amat membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Selama ini kan kita tuh kayak cuman tahu gambaran-gambaran dari buku doang. Tapi pas ke sana langsung jadi tahu, ternyata prosesnya nggak gampang. Apalagi pas nyoba, kelihatannya simple but it’s hard,” ungkapnya. 

Teman-teman mahasiswa Modul Nusantara yang lain pun mengungkapkan kesan yang sama. Bagi mereka, kunjungan ke sana adalah sebuah pengalaman yang luar biasa, ruang belajar yang baik, dan sekaligus tempat memperkaya pengetahuan tentang ragam kekayaan bangsa ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah di Rumah Tenun Kampung Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-di-rumah-tenun-kampung-sabu/feed/ 0 36443