Putriyana Asmarani https://telusuri.id/penulis/putriyanaasmarani/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:40:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Putriyana Asmarani https://telusuri.id/penulis/putriyanaasmarani/ 32 32 135956295 Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/#respond Thu, 30 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45489 Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan sayuran capcai—yang lebih serampangan dibandingkan kuah masak pae. Bau kentang memahkotai segala aroma di piring saya.

Sangarnya bau kentang, ternyata, setelah saya cecap tidak membunuh rasa-rasa lain yang merangkulnya. Masak pae kiranya sering kena fitnah karena wujudnya menyamai kuah capcai. Saya juga awalnya menstigma sebelum mencicipinya. Kuah masak pae, bagai langit dan bumi, berbeda dengan capcai. Kaldu sapi mencubit titik mulut di mana liur terbit. Ia tidak menendang, cenderung kalem seperti malaikat pencabut nyawa yang datang tanpa diketahui, mengagetkan, dan pasti. Padahal dari awal saya menyangka paling ini rasanya kentang doang. Dan, sebagaimana menghadapi malaikat pencabut nyawa, alih-alih protes atau banyak tanya, orang umumnya bakal kehilangan kata-kata.

Kaldu sapi, saat itu saya langsung memijat kepala yang tidak pusing, membuat saya keblinger dengan matematika perbumbuan Sumenep karena kaldu itu berdansa dengan wortel dan kubis. Kubis mungkin tidak akan seaneh itu dengan kaldu sapi, mengingat biasanya kubis juga mengambang di kuah rawon, tapi wortel, tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya. Bukan berarti antara kaldu sapi, wortel, dan kubis saling adu belati di lidah, ketiganya menyatu di lidah saya. 

Detail irisan masak pae dengan rasa yang seimbang/Putriyana Asmarani

Rasa yang Presisi

A mengamati saya bukan seperti ilmuwan pada mencit, atau anak haram tertua Usher (The Fall of The House of Usher) pada kera percobaan. Seperti Prometheus saat menghidangkan sapi panggang pada Zeus, Prometheus mengamati perubahan wajah Zeus dengan saksama, sebab ia mengibuli Sang Ilah. Tatapan A juga jeli laiknya perempuan psikopat Julia Jayne yang menyeduh teh buat bahan ritual pagan (The Midnight Club).

A menyantap hidangannya, matanya awas, akhirnya keluarlah kalimat sakti itu: “Gimana rasanya?”

“Diam dulu kau,” tanggapku. Kalaupun Franz Kafka nongol saat itu buat mengajak saya kencan, saya akan mencampakkannya. A tak terkecuali.

Rasanya seperti Siddhartha saat meditasinya beres, ia kembali segar dan dengan itu merumuskan penciptaan dan kemanusiaan. Saya menemukan presisi rasa yang matematis dan imbang.

Kuah kaldu sapi yang meriah netral dicerna dengan kue kentang. Irisan daging tidak terlalu menonjol, tidak arogan di atas piring meskipun itu yang bikin masak pae mahal. Daging tidak dipotong gendut kotak seperti dadu, apalagi tipis ceper tak berbentuk seperti kuah-kuah daging pada umumnya. Daging dipotong persegi panjang sebagaimana wortel.

Kalau dilihat-lihat, piring ini seperti orbit tata surya, meskipun Saturnus bercincin, semua planet pada dasarnya bundar. Tidak ada pola yang ingkar, tidak ada rasa yang dominan sehingga membunuh rasa lainnya. Cake tidak asal cemplung, penciptaan semesta juga tidak asal taruh. Saya tidak bisa mengampuni diri sendiri setelah berkata, “Paling ini kayak capcai rasanya.”

“Jadi, gimana rasanya?” A mengulangi. Kalau saya menyuruhnya diam di saat ia menggenggam garpu, itu artinya saya cari mati. Jadi, saya harus menjawabnya.

“Rasanya kayak … reinkarnasi, binasa lalu diciptakan kembali.” 

Eksperimen perpaduan rasa cake yang tampilannya mirip capcai/Putriyana Asmarani

Cake yang Cendekia

Masak pae menjadi dosa akhir tahun yang tak terampuni, terutama setelah saya membandingkannya dengan capcai. Meskipun begitu, saya masih belum insaf. Saya keras kepala, mungkin ini menjadi alasan mengapa dongeng lisan kebanyakan menghukum orang keras kepala. Dilihat dari bentuknya, cake terlihat lebih capcai dari masak pae. Alasan saya menyantap masak pae dulu setelah itu melirik cake, adalah saya yakin cake rasanya sangat capcai, kesimpulannya, cake bisa menyulut emosi. 

Masalahnya, dengan menjadikan masak pae santapan pertama, itu berarti saya mengubur kesan masak pae dengan cake yang rasanya sesuai prediksi BMKG. Masak pae yang mengesankan hanya akan menjadi Minggu malam yang tak lagi menarik bagi Senin pagi. Saya menyingkirkan piring masak pae yang tandas dengan melankolis seperti cara Richard II melepaskan takhta untuk diduduki Henry Bolingbroke: singkat, padat, ngenes.

Lesu saya melihat ada potongan kembang kol, wortel, sawi, dan komposisi mirip capcai lainnya. Sangat mirip, hanya saja tidak ada irisan pentol dan sosis. Yang membuat cake tidak bisa disebut capcai adalah ada irisan tipis bacon halal dari daging entah apa, tahu goreng, dan taburan keripik kentang. Kuah cake, setelah saya obok-obok, tidak sekental masak pae. Betul, secepat ini orang bikin dosa besar setelah insaf beberapa detik yang lalu, “Ini, mah, capcai banget.”

A banting setir, ia mengganti strategi perangnya yang tadinya Lao Tzu banget, sekarang ala Seneca. Itu berarti, demi mensyukuri realita yang akan datang, orang harus merespons dengan kemungkinan terburuk, “Kan, bentuknya memang capcai banget,” katanya dengan senyum jahil. 

Untuk menghadapi hidangan tertentu, saya sama psikopatnya dengan Fernandez, kucing kompleks selingkuhan Siti, yang meneliti bahkan mempermainkan buruan, membunuh mencit perlahan sampai binatang itu tandas. Pertama, saya mencicipi kuah. Kedua, saya sandingkan irisan bacon dengan wortel, selanjutnya wortel, tahu, dan keripik kentang, begitu seterusnya sampai semua bahan berdesakan dalam satu sendok makan. Saya penasaran struktur komposisi apa yang timpang atau imbang saat bersanding, bahan apa yang tidak terasa signifikan tapi justru itu menjadi penyempurna, dan seterusnya.

Tekstur capcai agak berlendir, barangkali ulah maizena. Yang berlendir itu memandikan potongan kembang kol dan brokoli yang kerap dipotong asal. Kuah yang sedap dari capcay biasanya tidak terbit dari saripati bahan yang berkelindan bersama, karena itu, rasa sedap kuah, musnah ketika sayur irisan tebal dikunyah. Ketika makan capcai mulut saya seolah berada di medan laga, rasa apa yang menang, rasa apa yang kalah. Cake, lagi-lagi saya khilaf, bukan saudara kembar capcai. Maka dari itu, saya tak layak mendapatkan pengampunan warga Sumenep.

Alasan legit kenapa tahu goreng (bukan tahu godok) meringkuk di antara tumpukan bahan lainnya, menurut saya tahu goreng lebih berpori dibandingkan tahu godok, sehingga dalam komposisi ini, tahu goreng punya kontribusi untuk menadah rasa, bukan menyimpang rasa. Orang Sumenep kiranya cukup brilian untuk memilih tahu goreng, karena menonjolkan bahwa yang dimakan saat ini adalah tahu cake, bukan tahu biasa. Tentunya, tahu godok cenderung menetralkan rasa dan membawa kesan akhir yang akan terbatas pada ‘sekadar tahu’. Sebab, ia tak terlalu berpori untuk menyerap gugus rasa atau merembeskan saripatinya pada makanan.

Kembang kol, bagi saya, adalah bahan paling keras kepala. Bahan ini cenderung mencolok, mau digeprek berlumur sambal tomat, atau bahkan dihantam sambal bawang yang menjenuhi hidung, kembang kol tidak akan mati rasa. Jadi, memasukkan kembang kol dalam rangkaian komposisi cake, sama seperti merekrut anggota radikal ketika regu ini didominasi fundamentalis. Meskipun hanya terdapat lima iris kembang kol, anggota radikal ini bisa saja merevolusi hidangan satu piring.

Anehnya, kembang kol takluk di bawah kekuasaan cake. Khusus soal hidangan, saya selalu terkesan dengan santapan otoriter. Semakin otoriter, semakin cendekia wajah kuliner. Kalau tidak otoriter begini, saya bisa beli kembang kol sendiri, merebusnya sendiri, dan seterusnya. Kembang kol di cake, menjadi siluman yang hampir tak dikenali di lidah saya.

Saya mesem. A mengangguk-angguk. Siapa sangka strategi distopia Seneca bisa bekerja di industri makanan semacam ini. Saya menandaskan cake seperti anak SMA yang lagi kasmaran. Saya suka cake yang tidak terlalu berlendir, ia pekat karena rempah dan lagi-lagi menggunakan kaldu ayam, bukan sayuran yang diguyur air tawar seperti capcai.

Kalau dibandingkan antara masak pae dan cake, masak pae juaranya. Mungkin karena tekstur lembut kentang memulihkan tendangan kuah yang pekat akan kaldu dan rempah, kelembutan ini hadir sebagai penyeimbang yang jitu. Kentang di cake hadir sebagai taburan gorengan, memberi kesan gurih yang melatari semangkuk komposisi basah, sehingga taburan kentang goreng ini cenderung kalah. 

Tidak banyak pertentangan sensasi rasa ketika dan pascamakan masak pae dan cake. Karena saya pemuja hidangan otoriter, tentunya masak pae sangat Napoleonik. Permisi, bisa jadi Joseph Stalin minder melihat otoritarianisme bekerja dalam semangkuk masak pae. Intinya, saya cengar-cengir meninggalkan Resto Amanis, saya yang tadinya sudah sekacau usai gempa tektonik berubah menjadi kuntilanak di musim semi yang memetik sekuntum mawar merah buat genderuwo yang ia cintai.

Gimana dengan pakta gak-akan-balikMadura yang kau bikin kemarin sore itu?” A bertanya. Sebab, sesungguhnya ia tahu jawabannya, A berhasil. 

“Gawat, aku harus hidup. Aku tak bisa pastikan, nanti kalau sudah tewas, koki di surga bisa bikinin aku masak pae dan cake, atau enggak.”

“Hiduplah, lagian … belum tentu kamu masuk surga!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/feed/ 0 45489
Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/#respond Wed, 29 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45476 Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama. ‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama.

‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John Steinbeck Tikus dan Manusia menjabarkan) tak bakal kebagian Henry IV Dudognon Heritage Cognac Grande Champagne barang seciprat. Jangankan percikannya, nonton konyak ini dilelang, kalau dituang warnanya kayak apa, tak bakal tahu. Bukan konon katanya, diproduksi sejak 1776, disegel selama lebih dari seratus tahun, botol berlapis emas 18 karat, bercokol 4.100 mata berlian, dilelang seharga empat belas juta euro. Jangankan momen kelahiran, ternyata sampai kiamat nanti, orang kere hanya akan bisa memandangi orang bakir ongkang-ongkang minum konyak dengan pemandangan gunung meledak.

Esai ini tidak akan bahas konyak. Sebagai gantinya masak pae dan cake, semacam kudapan pengganjal perut yang kalau dipikir-pikir, okelah kiranya saya rekomendasikan pada raja-ratu seantero Madura yang dikebumikan di Asta Tinggi untuk bangkit dari kubur demi mencicipinya.

Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1)
Kompleks Keraton Sumenep/Putriyana Asmarani

Ajakan Mencoba Masak Pae dan Cake

Satu peleton satan yang mengisi sudut-sudut remang di bantaran kebun siwalan kota Sumenep saat itu tak bakal kaget kalau ada orang macam saya bermuram durja di tanggal tragis 13 Desember 2024. Angka tiga belas di akhir tahun, waktu yang tepat untuk menyudahi segala, tak yakin ada rebirth apalagi transformasi seperti yang diharapkan Nietzsche (bagian death of the self dalam karya Thus Spoke Zarathustra). Namun, sahabat saya A (inisial sebab saya menyayanginya dan di esai ini ada kemungkinan saya akan menodainya, he-he) sejak subuh yang basah sebab hujan memilih geram dan garang, yakin kalau saya secara simbolik (pinjam istilah ‘symbolic death’ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness) sudah binasa. 

Dalam keadaan lantak, A menceletuk, “Kamu harus nyobain campor!“

Mungkin baginya saya terlihat darurat. Butuh pertolongan pertama. Saya tak lupa pernah dengar ini dari mana, tapi senjata satu-satunya yang paling ampuh untuk melelehkan orang keras kepala adalah dengan menyenangkan perutnya. Saat itu saya sedang membalik-balik halaman disertasi Seno Gumira Ajidarma Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan dengan tatapan kosong melompong. Seolah Dajjal sudah lolos dari jeruji, lalu nangkring di pundak saya, badan saya gampang oleng sebab bumi yang saya pijak tengah gonjang-ganjing, mungkin itu yang dilihat A. 

“Madura begitu kejam padamu, baik delapan tahun yang lalu saat kau bertandang ke Pulau Bawean, berak di atas lubang jamban, sangat purba dan setelah itu kau tak berak selama tujuh hari, sekarang…,” A berhenti sejenak tanpa bernapas laiknya saktah dan dunia tak seribet ilmu tajwid, menyadari mungkin saya tak tertolong saat ini. Ia menutup kalimatnya dengan, “Madura masih kejam padamu.” 

“Kalau warungnya tutup gimana? Mengingat ini hari Jumat dan warga Sumenep adalah kaum beriman?”

“Kita dobrak sama-sama, kita pakai kekerasan,” tanggap A, lalu ia merevisi, “ada juga pilihan lain, namanya masak pae dan cake, kalau ditimbang-timbang daripada campor karena mukamu itu sudah sekacau tsunami, masak pae dan cake kayaknya pas untuk situasi gawat. Dengan begitu, kau bisa menghadapi bencana dengan elegan.”

Mengingat sebelum berangkat perang seorang kesatria harus memilih tunggangan terbaiknya, saya nyengir membayangkan masak pae dan cake. Lagi pula, keadaan saya jauh lebih buruk dari Perang Anglo-Zulu, dengan kekuatan militer seadanya Zulu tetap melawan, mereka tahu bakal kalah menghadapi pertempuran ini. Saya tak punya optimisme. Zulu masih ada harapan kemenangan, saya berangkat untuk kalah.

Namun, A cukup berhasil. Pikiran saya yang suntuk kemelut tiba-tiba terbentang layar baru, imaji bentuk makanan semarak muncul, warna-warni santapan meriah berletupan laiknya kembang api, wanginya pun juga ikut terbayang. Bodo amat kalau tak minum konyak empat belas juta euro atau mengemut kue daulat yang hanya disajikan saat upacara pemberkahan Yang Dipertuan Agong.

Selama perjalanan, sekitar setengah jam dari Guluk-Guluk ke area Alun-alun Sumenep, A mendaras berjibun jenis makanan. Awalnya ia gigih spoiler soal campor, saya bersikukuh campor mirip soto hanya saja kecambahnya digoreng. Di titik tertentu saya memang kerap menguras kesabaran A, saya selalu berpikir kuliner Madura tak bakal menyingkur dari kuliner Jawa Timur. Malah, saya sok berpendapat kalau kuliner Madura ngikut-ngikut pola kuliner Jawa Timur.

Dari kiri ke kanan: tampilan campor yang mirip soto, sepiring bulud, dan isian sambal bulud/Dokumentasi A

Hal ini berlanjut ketika A membahas kudapan bulud. Saya bilang itu seperti lemper, kalau lemper isi daging ayam pakai beras ketan, bulud pakai beras punel biasa, luarnya digoreng, isiannya sambal. Pada akhirnya saya masih mengajak A baku hantam, bulud adalah lemper versi anarkis. 

A masih berperikemanusiaan yang meskipun kadang-kadang adil, ia cukup beradab, kalau tidak saya pasti sudah menelantarkan saya di tambak udang. Mau se-anarkis apa pun bulud, ia tidak bisa disebut lemper. Bulud memang kudapan orang kere, bukan berarti saya berhak mengatainya. A mengaduk isi galeri, lalu memberi saya gambaran nyata versi ia bikin sendiri dan versi yang biasa dijual di pinggir jalan. Kehidupan ini memang sebuah arus, ada hulu, ada hilir. Bukan berarti bulud hanyut begitu saja mengikuti pamor lemper, tapi bulud adalah bulud, lemper adalah lemper, titik. Begitulah, kesimpulan ini digertak dengan semburan platonik. 

Dari omelan itu, A cukup patriotik untuk mengatakan, “Dan meskipun kau pulang nanti membawa cendera mata nestapa, kujamin kamu bakal kangen Sumenep.”

“Kangen tragedinya?” Saya memotongnya dengan nyeri. 

“Kangen masak pae dan cake. Cintailah makanan, meskipun nantinya cuma jadi tinja. Allah lebih senang berfirman dengan menyebut sungai madu dan susu berkali-kali di kitab suci daripada mengumbar janji ketemu cowok ganteng di surga nanti.”

Seporsi cake (kiri) dan masak pae khas Sumenep/Putriyana Asmarani

Kesan Pertama

A benar. A harus menjadi orang bener sebab kawannya enggak bener. Ini bukannya terdengar seperti beban, tetapi memang beban betulan. Kami tiba di jam paling terik hari itu. Musim di Madura tampaknya gampang move on, tiba-tiba gerah seolah hujan yang beringas subuh tadi tidak terjadi sama sekali.

Resto Amanis megah rebah di Jl. KH. Wahid Hasyim No. 51, Sumenep. Sebetulnya saya mengira A akan cari warung pinggir jalan, mengingat kami berdua adalah sejenis manusia yang hemat pangkal selalu miskin. Namun, saya yakin A punya alasannya sendiri, salah satunya karena penampakan saya yang sudah tak bisa dibedakan dengan banjir bandang. Ia tak bakal tega membuat saya makan diasapi rokok dari pengunjung warung pinggiran. Mungkin dalam hatinya sudah terpahat wacana, “Mampuslah dengan cara paling megah.”

Setelah itu saya meletakkan takdir di telapak tangan A. Ia dengan gesit mempelajari buku menu, gayanya seperti ibu negara. Kelakuan ini sangat A, mengingat kawannya sudah lebih remuk dari rengginang lorjuk kena bogem Hulk, hanya dengan satu tarikan napas ia siap pesan ini-itu, lengkap dengan minuman dan porsi tambahan untuk dibawa pulang. Ini pekerjaan magis, tak semua orang bisa sakti begini. Kalau ditanya mau ngapain A sepuluh tahun mendatang, ia sudah menemukan jawabannya setelah berkedip sekali. 

“Waduh, ini di luar prediksi BMKG,” ungkap A setelah pesanan terhidang. “Biasanya masak pae dan cake itu jadi sepiring. Tapi kok ini dipisah?” A melirik saya, tampak khawatir jangan-jangan bakal tak sesuai dengan harapannya. 

Di muka bumi ini, saya tak tahu insan penyabar selain A, tetapi itu bukan berarti orang bisa dengan enteng cari gara-gara dengannya. A bisa saja menendang Mars keluar dari orbitnya kalau ada orang menjahilinya. Untungnya, saat itu kami kelaparan sebab sebelumnya jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat, kami hanya saling pandang sebentar merespons dua piring, saking laparnya kami bisa saja menggerogoti meja dan kursi, jadi makanan yang kami hadapi segera menghadapi eksekusi. 

Nafsu hewani sebab lapar teramat, baru kali ini, tidak menjadikan saya seperti kucing kompleks bernama Siti yang menggasak curut got dengan membabi-buta. Tiba-tiba ada semacam rem cakram, dengan perlentenya saya menciduk kuah lalu menyesapnya seperti adegan romansa berkelas. Sebentar kemudian saya tertegun.

Piring pertama, masak pae, bermuatan sepotong kue kentang yang sudah dihaluskan dan dipanggang dengan suhu entahlah, karena terlihat garing di atas tapi tidak gosong di bagian bawah. Dua cabe rawit tergeletak di permukaan kue kentang. Kalau dilihat-lihat keduanya terlalu mencolok untuk rebah begitu saja di atasnya. Namun, dengan begitu kue kentang terlihat lebih berwarna seperti sepetak pasar malam di hamparan padang pasir.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/feed/ 0 45476
Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2) https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-2/ https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-2/#comments Sat, 07 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44448 Dari gugus informasi yang terjalin di media massa, pribumi katanya juga turut berkecimpung dalam gegap gempita Societeit Concordia. Namun, fakta ini tak boleh berhenti di sini saja. Kira-kira awal abad ke-20, bermula atau berkisar di...

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari gugus informasi yang terjalin di media massa, pribumi katanya juga turut berkecimpung dalam gegap gempita Societeit Concordia. Namun, fakta ini tak boleh berhenti di sini saja. Kira-kira awal abad ke-20, bermula atau berkisar di tahun 1980, golongan pribumi terpelajar mulai bercokol. Apabila merujuk pada data obsesi Hans Pols pada kehidupan Abdoel Rivai, seorang pribumi pada masa ini melucuti ke-pribumi-annya; berpakaian, berlagak, dan berlogat seperti orang Eropa agar bisa masuk ke lingkar kehidupan sosial Eropa. 

Begitu pula dengan tokoh Siti dalam fiksi Uning Musthofiyah. Sebagai anak haram pengawas perkebunan yang tiba-tiba dapat bangku di HBS dan diundang ke pesta ultah teman sekelasnya di rumah loji, kebaya harus tanggal dari badannya. Gadis berkulit sawo matang, bermata hijau itu, pada akhirnya memakai gaun, berseragam, dan bersepatu layaknya orang Eropa.

Ini berarti menghayati riak sosial di Societeit Concordia, sama artinya dengan mengakui bahwa untuk melihat meja biliar dan bola sodok saja, seorang pribumi harus dilema dan tampak asing bahkan bagi dirinya sendiri. Di masa itu kiranya, seseorang sudah sebingung Hamlet, “To be or not to be.”

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2)
Potret gedung Societeit Concordia, Malang via Kekunoan/Neville Keasberry

Mengubur Societeit Concordia

Bagi saya, tidak ada pemakaman paling layak dan perkabungan paling epik selain tewasnya Societeit Concordia. Betul, bangunan ini terbunuh, bukan secara metafora tapi dalam artian yang sesungguhnya. Societeit Concordia yang secara simbolik dan ikonis memisahkan kelas elite, pribumi terpelajar, dan jongos serta babu yang dilarang ke sana menjadi titik sorak masyarakat selama masa perlawanan terhadap Belanda dan Jepang, juga kemerdekaan.

Tubuh yang dulunya tak terjamah kelas bawah ini, kemudian menampung coretan-coretan pembebasan, juga harus berbedak abu dilalap api selama Malang Bumi Hangus. Bangunan ini menjadi tawanan, lalu tewas tak lama kemudian. Malang Bumi Hangus tidak menjadikan Societeit Concordia sebagai objek kemarahan saja, tetapi juga sebuah teknik gerilya ―dan yang paling penting, objek kesadaran terhadap tirani penjajahan. 

Ini bukan sesuatu yang disayangkan. Meskipun kemudian bangunan ini menjadi siluman pusat perbelanjaan modern, digubah sedemikian rupa hingga ia tak lagi tampak seperti wujud aslinya. Mal Sarinah setidaknya tak hanya membuka jalan untuk kelas elite belaka. tetapi juga sebagai pusara sorai pembebasan. Sehingga, cagar budaya ini tak cukup ditandai dengan nisan sebongkah batu dan papan pemberitahuan. Tempat kejadian perkara, misalnya lokasi rapat akbar KNIP, perlu ditunjukkan.

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2)
Mal Sarinah kini/Putriyana Asmarani

Bukan Bintang; Binatang Asia

Lagu kebangsaan melatari kepak burung dara, “Kakak mau beli kerupuk uyel?”

Dua-tiga anak berumur kurang dari sembilan tahun menghampiri kami bersama dua kameradnya. Ikat rambutnya longsor, lingkar kerahnya molor setengah pundak, celananya kedodoran. Child labor, di jantung kota ini, di alun-alun, dianggap normal adanya. Justru kalau anak-anak ini tidak nongol secara tiba-tiba, akan terasa aneh. Tumben gak ada anak jualan ini? Tumben gak ada anak jualan itu?

Bilah hujan sebongsor kuncup sayur gambas berumur sepuluh hari mengacaukan lelap lelaki paruh baya yang bobok cantik di atas bangku taman. Menghebohkan anak-anak yang berkejaran, meriuhkan pedagang-pedagang emperan. Termasuk kami yang lari terbirit-birit mencari naungan. Hujan sengit menghunjam. Di jantung kota ini, area beratap justru sangat terbatas. Kalau bukan karena lengan bercabang pohon beringin, kami pasti sudah sekuyup tokoh-tokoh fiksi Osamu Dazai di bulan bersalju. 

“Pokok-pokok beringin itu kiranya sudah ratusan tahun umurnya. Coba lihat di sini, di foto lama, pohon ringkih di foto ini sudah segini gemuknya,” Dini Rachmawati menyodorkan foto lama di unggahan Instagram pribadinya. Layar HP miliknya menadah bintik terpaan hujan. 

Kami membandingkan tubuh beringin yang masih kanak dalam foto hitam putih, tegak seorang diri, lalu mengalihkan pandang pada wujud menuanya saat ini. Ada bagian di dalam kota ini, yang selalu tinggal, dan diusir pergi. Paling tidak, dari seluruh fenomena yang melatari duka Malang, bencana, kekacauan, perubahan zaman, beringin ini tetap menaungi―membersamai.

Salah satu yang pernah disaksikan beringin, merujuk pada kisah yang diusung pemandu kami, alun-alun tidak hanya menjadi tempat pribumi meloloskan diri dari kepenatan domestik, berjalan bergandengan tangan memadu kasih. Sebetulnya, perkara inilah yang melatari mengapa Malang punya dua alun-alun.

Potret Neville Keasbery yang menggambarkan beringin yang ada di Alun-alun Merdeka Malang tempo dulu via Kekunoan (foto kiri), dan beringin yang sama di masa sekarang oleh Putriyana Asmarani

Dahulu, Belanda ogah berpelesiran menikmati sore dengan pemandangan nahas pribumi. Mereka mau taman khusus untuk mereka menyorong kereta bayi, lari-lari, jalan-jalan, bersepeda, berkendara Benz. Begitulah alasannya Alun-alun Tugu berdiri, menyingkur Alun-alun Merdeka. 

Tapi jangan dikira, dengan Alun-alun Tugu segalanya jadi berjarak; orang Belanda atau Eropa, tidak menapakkan kaki di area Alun-alun Merdeka. Tidak, mereka tetap mengunjungi Alun-alun Merdeka dengan alasan: menonton monyet. Ya, biasanya mereka akan melihat pemandangan sekumpulan anak bangsa, berkulit berbeda dengan mereka, berkegiatan di Alun-alun Merdeka. 

Seperti mengunjungi kebun binatang.

Perkara kandang dan manusia yang dianggap binatang membuat pikiran saya melesat ke tahun 1642. Sepucuk surat cinta ditulis oleh seorang tahanan, Richard Lovelace—ia seorang sastrawan. Pada Althea, seorang yang ia cinta, ia berkata:

Stone walls do not a prison make, Nor iron bars a cage.

Alun-alun Merdeka tak berpagar jeruji, sebagaimana binatang dirintangi. Ini adalah tempat terbuka, pemandangan atas hewan liar yang menunduk pada tuan, merangkak untuk permisi. Tentu saja, mereka tidak akan menyerang apalagi menggigit.

Sore itu, angin kencang menggiring arak-arakan awan hitam menyingkir dari jantung kota ini. Hujan tandas seketika. Satu payung, kami berempat. Uap tanah melonggarkan pernapasan kami, seketika itu pula matahari sore menemukan celah untuk menyibak domba-domba langit. Ternyata dari tadi, sembari menunggu hujan, Dini Rachmawati berusaha mendapatkan kartu sakti.

“Ternyata kita boleh mengunjungi area luar Hotel Pelangi untuk saat ini,” katanya girang, lalu auranya menggelap, “tapi ada aturan yang mesti dipatuhi.”

Saya kira ini semacam aturan kunjungan, mengingat sepatu kami kuyup dan pastinya kami akan membawa kenang-kenangan jejak lumpur. Namun, “Kalau sudah sampai di area dansa, nanti saya tunjukkan di mana area itu. Kalian jangan menggumam atau menyanyi lagu Nasi Goreng.”

Nasi Goreng atau Geef Mij Maar Nasi Goreng dilagukan oleh penyanyi legendaris Wieteke van Dort.

“Memangnya kenapa, Mbak?” saya bertanya. Saya menyangka ini semacam kontestasi hak cipta.

“Karena sosok noni akan muncul dan kalian akan diajak ke alam ia berada untuk berdansa bersamanya,” ujar Dini Rachmawati serius. 

Merinding. Kami mengangguk patuh.


Referensi:

Bronte, C. (1999). Villette. Wordsworth Classics.
Cervantes, M. de. (1993). Don Quixote. Wordsworth Classics.
Dahl, R.. (2006). Kiss Kiss: William and Mary. Penguin.
Haggard, H. R. (1996). King Solomon’s Mines. Puffin Classics.
Lovelace, R. (1642). To Althea, from prison. In M. H. Abrams & S. Greenblatt (Eds.), The Norton Anthology of English Literature (9th ed., Vol. 1, pp. xx-xx). W. W. Norton & Company.
Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (Trans. Walter Kaufmann & R. J. Hollingdale.). New York: Random House.
Pols, H. (2012). Nurturing Indonesia: Medicine and decolonisation in the Dutch East Indies. Cambridge University Press.
Proust, M. (1992). In search of lost time: Volume 1: Swann’s way (C. K. Scott Moncrieff, Trans.). Vintage.
Ramadhan, F. I. (2023, 22 Oktober). Societeit Concordia, Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang. Tirto.id. https://tirto.id/societeit-concordia-tempat-gaul-kaum-elite-eropa-di-malang-deZF.
Thoreau, H. D. (2012). Walden and Civil Disobedience. Signet Classics.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-2/feed/ 2 44448
Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1) https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-1/ https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-1/#comments Fri, 06 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44408 Saya tak akan pernah siap untuk melarungkan pertanyaan ini dari hulu ke hilir Watugede, membasuhnya dengan tirta wangsuhpada lalu menghaturkannya pada ibunda Ratu Ken Dedes. Mengapa Tumapel turut moksa bersamanya? Mengapa di jantung Kota Malang...

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tak akan pernah siap untuk melarungkan pertanyaan ini dari hulu ke hilir Watugede, membasuhnya dengan tirta wangsuhpada lalu menghaturkannya pada ibunda Ratu Ken Dedes. Mengapa Tumapel turut moksa bersamanya? Mengapa di jantung Kota Malang saat ini, saya tak berdetak bersamanya?

Lebih dari satu dekade pertanyaan itu menghantui―menguasai. Padahal seorang pengelana, betapa pun rumitnya labirin Daedalus, gelapnya tambang berlian Raja Sulaiman, lingkar amuk Poseidon mencipta gugus alam Cyclades, terasingnya Odysseus di lautan terdampar berkali-kali tak menemukan jalan pulang, seorang pengelana pastilah akan menemukan apa yang ia cari. Begitu janji mitos, dikukuhkan kitab suci. Tapi kota ini, Malang sekali.

Hampa makna, hampa identitas. Malang yang saya kenal, aduh, kalut rasanya bila menyadari ini. Bisa jadi sudah berada di titik nihilisme ekstrem Friedrich Nietzsche (1968), ketiadaan―kehampaan―tanpa makna (hal. 35). Padahal, saya tak segan bila harus segila ahli zoologi Prancis William Scoresby dan Thomas Beale untuk mencari makna itu atau mengisi ketiadaan itu. Tak kurang saya selami bahasa walikan Malang, seperti obsesi William Jones atas bahasa timur. Atau jadi tukang pel di kapal Luffy, One Piece, membantu Robin memecahkan teka-teki kuno. Bila membantu Robin terlalu delulu, baiklah kalau begitu Jean-François Champollion saja. 

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Alun-alun Merdeka Kota Malang/Putriyana Asmarani

Ya, kurang patriotik apa semua ini? Mengais makna di jurang kehampaan. Belum berangkat, saya sudah seheboh Don Quixote. Ditemani sahabat saya yang tentu saja tak asing dengan kegilaan ini, Firda Putri (wallahi, ia tak berkarakter Sancho Panza). Seheboh itu, padahal cuma ke Alun-alun Merdeka Malang. Titania, dewi cinta buta gubahan Shakespeare, tak perlu menyewa seluruh peri hutan untuk menertawakan saya. Oalah, cuma Alun-alun Merdeka, orang satu ini sudah sok akan menemukan makna Kota Malang dalam kehampaan segala!

Kami berdua tawaf area Merdeka-plein van Malang: Alun-alun Merdeka, Titik Nol, Societeit Concordia dan sekitarnya; diimami pemandu tur Jelajah Malang, Dini Rachmawati. Jamaah ini berjalan kaki, karena begitulah pelancong ideal ala Henry David Thoreau; jangan remehkan pengetahuan para pejalan kaki. Buktinya, pelancong ideal ala Leo Tolstoy juga dua pejalan kaki renta, yang tak punya apa-apa selain sepasang kaki menuju Yerusalem.

Walaupun, rute perjalanan kami pantas diremehkan, alun-alun kota, mau cari apa nona? Kami memang tak membidik pemandangan baru. Marcel Proust selalu enggan menyasar itu dalam tujuan perjalanannya; kami mencari pandangan—perspektif—baru.  

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Monumen Trem menghalangi pandangan Chairil Anwar dan Gereja Paroki Hati Kudus Yesus/Putriyana Asmarani

Chairil, Ampunilah Kami

Juni 2024, mestinya ini sudah menjadi album lama. Karena, saya tak berhasil menumbuhkan mawar dalam ketiadaan, gagal memaknai Malang. King Lear, raja tua narsis bikinan Shakespeare, mencemooh saya lima bulan lamanya; perempuan satu ini memang susah dibilangi, “Nothing can come of nothing, speak again!”

Lagi pula saya sudah bersaksi, saya kalah. Namun, tampaknya alam tidak akan membiarkan saya berpihak pada King Lear.

Destinasi satu ini justru dipicu oleh kegelisahan. Chairil memunggungi gereja neo-gotik, Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Kegagahan monumennya turut melanggengkan cagar budaya sebagaimana tugas Dewa Kala. Di sinilah titik temu kami. Sayangnya pantat monumen trem mangkrak tak elok dengan sengaja tepat di muka Pelopor Penyair Angkatan 45, Si Binatang Jalang itu.

Trem bernuansa eksentrik yang nilainya sudah alpa terdistorsi itu bukan satu-satunya yang menodai monumen Chairil Anwar dan Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Gerbong tanggung lainnya mangkrak di depan ruko-ruko yang dulunya dipakai sebagai pusat administrasi Pemerintah Belanda. Sekarang besi-besi aus gerbong ini berhiaskan peta-peta ludah basah dan kering, menguarkan bau pesing, dan bertebaran puntung rokok.

Kalaupun Roald Dahl mau serius dengan kajian ilmiahnya dalam William and Mary, menghidupkan kembali jaringan otak Nietzsche yang sudah lama inna lillahi, sang nihilis tidak akan bisa membantu memaknai benda yang memang dibikin asal tak bermakna. Lalu tanpa susah payah ia bakal menyimpulkan, “Dua benda itu memang tidak berguna.”

“Trem tidak seperti itu wujudnya,” begitu kata imam kami, Dini Rachmawati. Demi alis Frida Kahlo, saya setuju padanya.

Bukan, maksudnya trem tidak seperti itu karena ukuran monumen diperkecil, melainkan kendaraan ini punya tiga muka. Trem untuk mengangkut manusia, trem khusus untuk mengangkut hasil perkebunan, dan gerbong kereta api yang dibagi menjadi tiga kelas berbeda. Ada juga istilah lori, sedangkan trem memiliki istilah tersendiri. Intinya, tiga jenis trem dan gerbong tersebut, sama sekali, baik secara simbolik maupun metaforik, tidak seperti dua benda tadi. 

Intinya, kalau berada di posisi tertentu, monumen Chairil sepenuhnya dirintangi oleh eksistensi trem mini tersebut. Idealnya, memang orang perlu geser posisi sedikit untuk menghayati penampakan sang penyair. Ya, memang harus begitu, karena tidak mungkin monumen Chairil akan tampak menyapa, “Hai pelancong, di sinilah aku berada.”

Kecuali, kalau monumen Chairil bisa cilukba.

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Sudut yang lebih leluasa untuk melihat monumen Chairil Anwar dan gereja/Putriyana Asmarani

Oud Malang, de Societeit Concordia

Pusat perbelanjaan modern pertama di Kota Malang tahun 1947, Mal Sarinah, justru saat ini menjadi tempat yang tidak sibuk-sibuk amat. Kami melihat seonggok batu prasasti yang di sana dibubuhkan kisah momen sejarah. Lebih tepatnya cuplikan sejarah yang terlalu pendek berjudul “Sejarah Situs Sarinah” sejak 1820 (rumah dinas bupati pertama Malang, Raden Toemenggoeng Notodiningrat) hingga terbentuknya Societeit Concordia. Pada 1947 berfungsi sebagai lokasi rapat akbar Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan di tahun yang sama menjadi salah satu objek strategi gerilya, Malang Bumi Hangus.

Cita rasa pembabakan ini, penyederhanaan ini, membuat kehidupan Mal Sarinah berpijak pada angka-angka, seolah ia tak benar-benar hidup. Sebagaimana bila kita bercerita tentang seseorang, dapatkah kita menghayati orang tersebut hanya dengan mengatakan; tahun ini ia lahir, tahun selanjutnya ia bersekolah, lalu tahun ini ia mati. Sangat disayangkan. 

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Salah satu sisi luar Mal Sarinah (foto tahun 2024)/Putriyana Asmarani

Untungnya, makna muncul terjalin tanpa disangka apalagi aba-aba. Ceritanya begini. Pak Akbar, pemilik dan pengasuh Malang Walk Heritage serta DeKlik Kayutangan, pada suatu hari membawa koleksi novelnya Gadis Jawa Bermata Hijau karya Uning Musthofiyah. Dengan tatapan berapi-api, tapi sumpah beliau tidak bermata Helios apalagi Hades, mengatakan, “Mbak, sampeyan harus membaca ini. Harus!” 

Meskipun banyak salah ketik, tata letak yang berantakan, dan dokumentasi bersejarah asli yang agak asal tempel, novel ini, aduh betapa magisnya, membantu saya mengarungi Societeit Concordia, Alun-alun Merdeka, SMA Tugu, dan Lapas Perempuan yang tak terselami.

Fungsi sosial dan rekreasi atau kongko Societeit Concordia apabila dibayangkan memang sangat asik; perpustakaan, rumah bola atau biliar―analisis Dwi Cahyono (Ramadhan, 2023), dan area tempat dansa, menjadi muara hore-hore. 

Sebagai tambahan, tempat ini juga menjadi peluap hasrat dan pelipur lara. Misalnya, dalam narasi Uning Musthofiyah, nyonya-nyonya yang tidak bahagia dengan perkawinan mereka akan mabuk di Societeit Concordia lalu pulang mengomeli dan memukuli babu-babu rumah tangga mereka. 

Apabila kita sepakat bahwa Societeit Concordia memiliki fungsi sosial, ini juga berarti, bangunan ini tidak hanya menaungi orang bercakap dan bertegur sapa saja. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda, kalau suntuk dan ngamuk di rumah loji, biasanya menuju Societeit Concordia untuk meloloskan tekanan mereka. Terutama di masa-masa awal pergerakan pribumi terdengar, mereka merasa terancam, dan hiburan satu-satunya—ke mana lagi kalau bukan—ke Societeit Concordia?

(Bersambung)


ReferensI:

Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (Trans. Walter Kaufmann & R. J. Hollingdale.). New York: Random House.
Ramadhan, F. I. (2023, 22 Oktober). Societeit Concordia, Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang. Tirto.id. https://tirto.id/societeit-concordia-tempat-gaul-kaum-elite-eropa-di-malang-deZF.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-1/feed/ 2 44408
Teater Hompimpah UMM: Mendaras Kematian Lintas Filosofi https://telusuri.id/teater-hompimpah-umm-mendaras-kematian-lintas-filosofi/ https://telusuri.id/teater-hompimpah-umm-mendaras-kematian-lintas-filosofi/#respond Sun, 01 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42590 Salah satu bapak paling bijaksana di muka bumi ini, Jean Froissart, pada suatu hari balik kampung setelah melanglang buana. Ia telah melayari tujuh samudra, menyusupi kolong gua, juga mengarungi sahara, mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk penelitian...

The post Teater Hompimpah UMM: Mendaras Kematian Lintas Filosofi appeared first on TelusuRI.

]]>
Salah satu bapak paling bijaksana di muka bumi ini, Jean Froissart, pada suatu hari balik kampung setelah melanglang buana. Ia telah melayari tujuh samudra, menyusupi kolong gua, juga mengarungi sahara, mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk penelitian dan alam. Sabdanya, “Di buana ini, tidak ada yang pasti kecuali kematian.” Selama pengembaraan itu, sebagai seorang peneliti, tidakkah Jean Froissart merasa cukup hidup? Mengapa baginya, kehidupan tidak lebih pasti dari kematian?

Kehidupan dan kematian yang dipertanyakan Jean Froissart mengingatkan saya pada karya Iwan Simatupang, Bulan Bujur Sangkar, yang dipentaskan LSO Seni Teater Hompimpah Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (26/5/2024). Dalam babak awal, seorang perempuan tua, Ibu sebutannya, menyeret gelondongan kayu sebagai pelengkap mahakaryanya. Kemudian ia bersaksi bahwa enam puluh tahun hidupnya ia persembahkan untuk mendaki gemunung, menyelami lautan, menapaki padang pasir―semua demi mencari kayu dan tali termulia.

Usahanya hampir sempurna. Tiang gantung bikinannya akan memakan korban dan ia sebut itu sebagai kesenian. Bila gagasan atau ciptaan produk kultur tidak memberinya gelar seniman, kematianlah yang akan memberinya pengakuan.

Komunitas ini tampaknya memilih malam terkelam di bulan Mei. Sama mahirnya dengan Edgar Allan Poe menetapkan malam Leonor bangkit dari kuburnya; keruh awan petang melibas purnama perak. Kicau cabak mengiba di antara pepohonan yang berbanjar di depan ruang pementasan. Memasuki ruang pementasan juga tak kalah petang, area ini merupa liang lahat raksasa yang menelan 250 pengikut Korah saat memberontak melawan Nabi Musa. 

Impresi Lakon dan Babak-babak Pementasan

Nyala lampu pertama mengawali babak pementasan. menit berjalan dan belum terbilang puluhan menit, dalam jangka waktu ini, saya terus mendengar kematian dan kematian; mematikan atau yang dimatikan, bunuh dan membunuh, kesudahan dan keakhiran. Pelakon datang lalu pergi tanpa kembali (kecuali Ibu), mereka berdialog tanpa saling mengenal satu sama lain, membincangkan ketidakberdayaan dan ketiadaan.

Saya menekuri, dan dalam hal ini membatasi objektivitas saya untuk fokus pada naskah yang dipentaskan LSO Seni Teater Hompimpah, itu artinya bertahan menjadi mercusuar di antara deburan ombak subjektivitas interpretasi. Saya bahkan tidak menengok naskah Iwan Simatupang Bulan Bujur Sangkar sebelum pementasan agar terhindar dari ekspektasi impulsif. Meskipun mengorek informasi tentang Iwan Simatupang dan Bulan Bujur Sangkar sebelum dipentaskan mungkin bisa membuat kejernihan pikir. Jujur saja, saya memilih untuk datang dengan kelonggaran pikir daripada berpikir yang macam-macam.

Teater Hompimpah UMM: Mendaras Kematian Lintas Filosofi
Percakapan pertama Ibu dengan tokoh Lelaki/Putriyana Asmarani

Multum in parvo atau much in little sudah saya rasakan sejak perempatan pertama naskah ini dipentaskan LSO Seni Teater Hompimpah. Lakon Ibu menyoal pembunuh dan yang dibunuh, korban dan pelaku. Tapi karya seni bikinannya itu, mahakaryanya itu―tiang gantung―menguarkan aura mengundang sehingga korban bunuh diri berjatuhan. Misalnya, seorang berseragam tentara merasa terancam dengan tiang gantungnya, seorang perempuan berduka atas kematian kekasihnya dan buah delima yang diinjak-injak babi, seorang gembala datang dengan warta wanita telanjang yang bunuh diri, dan seterusnya. 

Ketiadaan itu sendiri adalah seni begitu Ibu berkata. Ibu adalah penciptanya, dan melalui karyanya itu dengan bangga ia memproklamasikan di babak akhir, “Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.” Lalu di tiang gantung ia memutuskan mengambil nyawanya, ia mati oleh sebab buah pikirnya.

Meskipun di akhir pementasan sutradara dari LSO Seni Teater Hompimpah menyatakan tentang kegelisahannya atas maraknya bunuh diri di Malang, sehingga dengan melankolisnya ia berkata, “Itulah sakitnya bunuh diri,” menurut saya malah membuat pesan dari teater ini sumbang. Tidak ada satu pun kata, frasa, atau kalimat dalam teater yang dipentaskan mereka yang merujuk pada penafsiran, “Mati itu sakit.” Apakah sutradara ini pernah mati sebelumnya ataukah wacana sakaratul maut menakutinya? 

Arus opini ‘bunuh diri itu sakit’ telah menggulung badannya hingga ke laut lepas, padahal tidak ada filsuf atau pemikir yang menyinggung bunuh diri dengan khotbah epik soal rasa sakit. Buktinya, momok rasa sakit tidak bisa membatalkan keputusan Virginia Woolf, Osamu Dazai, Sylvia Plath, dan Walter Benjamin misalnya, untuk bunuh diri. Bukankah mereka tengah menanggung rasa sakit di masa itu, bukankah bunuh diri bakal melipatgandakan rasa sakit?

“Menyoal bunuh diri,” kata Albert Camus, “berarti menyelapi intisari filsafat,” (diterjemahkan dengan bebas oleh pengulas). Itu yang ia katakan sebagai kalimat pembuka The Myth of Sisyphus, membuatnya dinobatkan menjadi peraih Nobel Sastra tahun 1957. Alih-alih membubuhi sakitnya sakaratul maut dalam analisisnya, Albert Camus menyatakan bahwa, “Mereka yang memutuskan untuk bunuh diri, justru adalah mereka yang paling menginginkan kehidupan.” Ia mendobrak ukuran dramatisasi kehidupan, “Apakah hidup ini layak untuk dijalani?” menggantinya dengan pertanyaan, “Apakah hidup ini layak untuk diratapi?” 

Merujuk kembali pada teater, bunuh diri diputuskan bukan saat kehidupan dijalani, tapi diratapi―terus meratap hingga, apakah hidup ini layak untuk diratapi? Misalnya dalam babak, seorang lelaki entah siapa, ia berseragam, tampaknya memiliki jabatan (lakon di pentas ini tak bernama) berjalan dengan merana. Ia menuju tiang gantung. Tanpa pikir panjang ia bunuh diri. Ibu memerhatikan tingkah lakunya, terkikik, tertawa. Lelaki yang berjalan menuju tiang gantung dan mengakhiri hidupnya sendiri, apakah ia tengah menjalani kehidupan itu? Tidak, ia sedang meratapi kehidupan.

Namun, kedatangan lelaki itu seakan memberi kesan bahwa bunuh diri bisa sesederhana itu, tanpa solilokui, tak berkata apalagi menggumam―tanpa alasan. Itu merupa klaim bahwa ada kemungkinan orang melakukan bunuh diri tanpa alasan sama sekali. Setidaknya ini yang membuat gusar Albert Camus dalam bukunya The Rebel; “Penyangkalan atas orang memiliki alasan untuk bunuh diri, sama dengan memercayai bahwa ada pembunuhan tanpa motif sama sekali.” Dengan landasan ini, kita semua mengamini bahwa setiap pembunuh memiliki motif, bahkan bila motif itu masuk dalam dua kategori ala Albert Camus, crime of passion dan crime of logic sekalipun. 

Dalam kasus babak bunuh diri tanpa alasan ini saya husnudzon, mungkin alasan itu tidak ada di naskah, mungkin digubah dari naskah asli, mungkin kediaman itu justru merepresentasikan pergolakan hati. Karena di pertengahan awal, Ibu jelas-jelas berkata, “Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh kau?” Itu berarti baik logika maupun hasrat, pembunuh selalu memiliki motif. 

Meskipun ada beberapa kasus minor tentang pembunuhan yang sekadar iseng saja (iseng pun adalah alasan), tentunya ini masuk dalam pikiran atau pendapat yang tak tersampaikan, ini berada dalam ranah pikir tak tergapai ala Carl Jung, psyche objektif (tidak bisa dianalisis). Tak tergapai itulah mengapa wallahu a’lam, coba bilang wallahu a’lam pada Nietzsche, ia pasti bakal mencukur kumisnya. Baginya, di buana ini bisa dijelaskan dan dimaknai bahkan yang ‘tiada’ sekalipun.

Ibu dalam pementasan ini mengingatkan saya pada sosok monster gabut di legenda Yunani, Sphinx, berkepala wanita berbadan singa. Dahulu, ia biasa ongkang-ongkang di Thebes menanti para pendatang untuk menjawab teka-teki bikinannya. Mereka yang gagal menjawab akan dibunuh. Oedipus berhasil menjawab, Sphinx akhirnya bunuh diri. Alur dari teater ini agak mirip, Ibu ada untuk menyoal ketiadaan, orang-orang datang untuk menjawab dan berdialog dengannya. Mereka yang telah berdialog dengan Ibu satu per satu tewas. Bunuh diri Ibu mengakhiri pementasan Bulan Bujur Sangkar, tapi tindakan ini tidak diambil karena seseorang berhasil menjawab. 

Eksistensi Ibu sebagai penanya sekaligus penjawab, menurut saya, cocok untuk digunakan sebagai alegori Socrates. Kalau Ibu menantang para sarjana untuk menjawab pertanyaannya, itu berarti Ibu telah membuka jalan untuk mengkritis kehidupan dan kematian. Karena, “The unexamined life is not worth living,” ungkap Socrates. Tapi ada jebakan dalam sandiwara ini, Ibu seolah menjadi sosok yang paling mengerti, berlagak bijaksana―hal ini yang malah Socrates sebut sebagai ketidakbijaksanaan. Kalau boleh menyadur ungkapan yang lebih posmo, Socrates-nya Ibu is not socrating.

Tidak hanya bertanya dan menjawab, Ibu juga menyatakan berderet-deret penyangkalan. Misalnya, Ibu menyangkal pendapat Lelaki tentang ‘awal mutlak’ setelah kematian; Lelaki berpendapat bahwa ada kehidupan setelah kematian, lalu Ibu menyangkal bahwa kematian tidak sesederhana kelahiran atau awal mutlak seperti yang diajarkan agama. Ini tidak semata-mata menjadikan Ibu pengikut atheistic existentialism-nya Sartre, karena Ibu sendiri juga mengalami pergolakan batin. Tapi yang jelas, menurut saya tokoh Lelaki memiliki theistic existentialism Kierkegaard.

Apresiasi

Saya menemukan banyak anti-fondasionalisme dalam pementasan ini. Bisa dikatakan, semua tokoh dalam pementasan ini, pada bagian-bagian tertentu, tidak yakin dengan pendapat atau pengetahuannya sendiri. Semakin tidak yakin dan semakin gelisah, Lelaki akan membidikkan bedilnya pada Ibu. 

Teater ini tidak menyorot perkara insting kehidupan dan kematian sebagaimana dalam Totem and Taboo karya Sigmund Freud atau adanya dorongan ‘yang primitif’ dalam insting tersebut. Namun, unsur yang lebih mutakhir dibeberkan; insting menyeruak dari keyakinan yang melekat dalam diri manusia, seperti kepercayaan atas agama tertentu misalnya. Bukankah ini sangat Jungian? Hanya saja pergolakan batin melaju tanpa akhir. Teater ini ditutup justru karena ada sesuatu yang belum beres.

Saya tidak sanggup atau bahkan tidak merasa perlu menarik kesimpulan apakah pada akhirnya kehidupan lebih layak dipertimbangkan daripada kematian. Saya juga tidak dapat memihak pelakon tertentu. Bukankah Nietzsche mantap menjawab ‘iya’ setelah ditanya, “Can one live believing in nothing?”

Terlepas dari penyederhanaan sutradara LSO Teater Hompimpah atas kasus bunuh diri dan bunuh diri itu sakit, teater ini bukan versi improvisasi, kata demi kata disampaikan sesuai dengan naskah asli. Hampir tidak mungkin LSO Seni Teater Hompimpah menghafalkannya tanpa penghayatan tinggi. Saya terkesan dengan keberanian LSO Seni Teater Hompimpah, karena di teater di kampus lain mementaskan Narnia (tidak bisa saya sebutkan siapa). Anak-anak yang malas berpikir itu bahkan masih improvisasi ungkapan di film. Padahal karya sudah alih wahana dari novel ke film lalu dipentaskan teater, mereka cuai atas kaidah kepenulisan teater apalagi diskursus narasinya. 

LSO Seni Teater Hompimpah juga sama generasi Z-nya dengan kawanan yang mementaskan Narnia itu, dan mereka mengambil risiko menampilkan karya filosofis Iwan Simatupang. Bagi saya LSO Seni Teater Hompimpah adalah batu Horeb dalam kitab Exodus yang menuntaskan dahaga kaum Nabi Musa, di antara batu-batu tak berguna di generasi mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teater Hompimpah UMM: Mendaras Kematian Lintas Filosofi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teater-hompimpah-umm-mendaras-kematian-lintas-filosofi/feed/ 0 42590
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/#respond Thu, 11 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42320 One of the visitors, braver than me, took the path further away and even opened the closed stubby door. I felt heavier back then, so I told her (we didn’t know each other), “Let’s go,...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
One of the visitors, braver than me, took the path further away and even opened the closed stubby door. I felt heavier back then, so I told her (we didn’t know each other), “Let’s go, this is the furthest we could go, come on!” But she obeyed me after succeeding in the attempt of opening the door. I asked what was inside, she said that it was nothing.

Coming out from the so-not-rabbit hole, we were asked by the tour leader, “Are you guys feeling alright?” Nodding was our answer. Although that bravest candidate looked a bit disappointed expecting to find more or at least there was something in there.

We became friends then, this was the conversation leading our connection to it, “How do you get all the bravery?” I asked. She merrily answered, “I was exorcized once, I could see ghosts in the past, but now I can’t see them.”

I shook my head in awe. I spoke to myself, no wonder she assigned herself for a trip like this.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
The front yard where Soekarno had his speech/Putriyana Asmarani

Bella Vista, The Crisis of Meaning

As this trip was arranged and paid as the assigned members wish, I didn’t know whether entering Bella Vista was free. It should be free. Like many other abandoned houses, Bella Vista is totally wounded, what makes it different from many others is that it is visitable. Before entering the place, we all stood solemnly in the front yard, there we witnessed remnants of the splendor. We were told that where we stood was where Soekarno delivered his speech after he administered Tugu square. Bella Vista served him as the guest house.

A group of teenage boys sat on their modified motorcycles, they made a fuss there just near the building where the part was entirely ruined. A middle-aged vendor, a man shares a space with Bella Vista, he sells something there, he promotes snacks. A little commotion in the front yard didn’t make Bella Vista merrier. Or, being surrounded by human beings doesn’t make this place cleaner. Like that lonely swing in Splendid Inn that doesn’t add value whatsoever for the site. Both look deserted and melancholy. Places that bear history with them are somehow melancholy, I believe all noble sites are touched with that.

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)

But Bella Vista’s appearance is smaller compared to the massive Splendid Inn. This house has a large living room which leads to a dining area. The dining area, in the past, must be very awe-inspiring as it faces directly to the garden like how you imagine the grandeur of Victorian dining and gardens. But do not imagine it as the fine one, because in the present, the garden is ruined, it is now just a rectangular space full of weeds.

I do admit that Europeans are brilliant when it comes to architecture. Bella Vista is ruined now, but the downpours of sun rays wake this place, even some remote areas get a bit of share from the light. With the rays, I come to a profound realization that the past is always wakeful, since then I consider the past as the wisest time signal. I am not so prominent in interior designs and housing morphology but Bella Vista, I think is built like the letter U. Or maybe because the backyard is closed or demolished, so the area was not accessible, the thing is we entered the front and got out from another door in the front area.

Toilet, whether it was built in the past or not, stood horrendously next to the building, not far from where the teenage boys were hanging out. The area was filthy and the boys had no worries in the world whatsoever, I was being skeptical about how they messed around littering here and there.

There isn’t much to tell here except the disturbing vandalism, the collapsed wall, the ruptured windows, and the deformed balcony. The only meaning it could be derived is just the fact that the first president was here once. But would it be all? If, Soekarno didn’t visit Bella Vista, I believe it yields no story at all and soon would be demolished. Who knows?

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
The toilet/Putriyana Asmarani

The Commercialization of Terror

In the absence of life and color, Bella Vista and Splendid Inn conform to the most appalling thing of mankind; the visible world is formed with compassion, however the invisible spheres are formed in fright. H. P. Lovecraft warned us all with this common and indulging mistake, a mistake to fancy that horror is associated inextricably with darkness, silence, and solitude.

It is affirmed that darkness manifests itself from something remote, full of anger, resentful and revengeful. In fact, over time, darkness is man-made. From the moment Splendid Inn and Bella Vista were abandoned and left in ruins, that would be the first stage where darkness approached. The places look inviting for the ghost. Believe it or not, the abandonment is an act decided by the stakeholder itself that invites the devils. But ghosts, today, do not concern us, don’t they?

Ghost hunting or anything ghostly is a commodity. Therefore, people are mostly attracted to visit the sites due to the haunting narrative; a group of school boys and girls went there to take photoshoots, they wanted to get the Danur vibe. They are not the only ones. I believe people receive accumulated hysteria about the horror and therefore decide to visit the place. The more the place receives visitors, the more successful is the marketing campaign.

Hence, no renovation for Bella Vista and Splendid Inn, let alone renovations, the places are not swept or mopped, no staff assigned to clean the place. If an accident happens, let’s say the rotten plywood falls on the visitor’s head leading to serious injury, the first agent to blame is that the demon wants the soul. If not serious injury, the mild one, one gleam of injury is said to be our own mistake not to behave in the site. This judgment is hereditary. Thus, to start with a critical point of view about this market-driven man-made terror is like beating against the solid metal. 

I do believe in ghosts, I also believe in the residual spirits which stay in the sites for the places are parts of their being and identity. I am a devout follower of Kisah Tanah Jawa and a seasonal lover for Jurnal Risa. I am fully aware that certain actions might lead to the anger of those spirits, for instance, if the stakeholder decides to clean the site or renovate, the invisible dwellers might revolt against it. But mankind isn’t a servant for the spirits. To balance the world a pact with the spirits should be made, otherwise there would be the possibility that they encircle the area, create an empire there. Then, the dark spirits do harm to the visitors. Like the visible world we live in, there should be politics too in the underworld, right?

There is also another factor wallowing in the fate of Splendid Inn and Bella Vista. Renovations mean changing, although the efforts also include preserving the place the way it looked in the past, renovations mean replacing materials anew. Then, this concern; renovations mean a threat to genuineness.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3)
Another side of the corridor in Splendid Inn/Putriyana Asmarani

Now, this is fun, this notion of genuineness is fun. Let’s imagine Splendid Inn and Bella Vista’s ruin as a person suffering from cancer. The person is famous for cancer, people are impressed with the story of the person’s battle and survival. But cancer isn’t worshiped, the admiration is rooted from the cure process. Just because a person is famous for the disease, does it mean that the person is less genuine when she or he is cured? All the ruins, the collapsed attic, the tattered balcony, the blasted windows and doors, aren’t these all but a disease in once a perfect body of building in the past?

I know, I know Bella Vista and Splendid Inn were built by the country’s arch enemy, by the colony. I know they are physically less precious than the crystal goblets of Persian sherbet. But, heritage deserves preservation, if not renovation at least cleanliness, like a soul deserves a nourished body to live in. Couldn’t all of us stop this commercialization of terror? In fact, in the end I couldn’t help much. Disney must really hate to hear this but, some lives are messily ever after.


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-3/feed/ 0 42320
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/#respond Tue, 09 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42308 If not for constant care, preservation, and rehabilitation, what’s the 10.000 rupiah for? No, I am not sorry about the value. There are temples in Mojokerto for instance, let’s say Bajang Ratu, the visitor has...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
If not for constant care, preservation, and rehabilitation, what’s the 10.000 rupiah for? No, I am not sorry about the value. There are temples in Mojokerto for instance, let’s say Bajang Ratu, the visitor has to pay for 5000 rupiah as the place needs continuous care and rehabilitation had been made in the past. With a complete abandonment, what’s the 10.000 rupiah for? Ebenezer Scrooge—a character from a novel written by Charles Dickens, Christmas Carol—must have really hated this place, he’s the most frugal in the world literature. Mr. Scrooge won’t pay.

There’s a stairs leading to the second floor in the area where the ticket was sold. This red-painted, splintered stairs is left just that. Imagine if you are tripped there and die funny. Imagine a sudden accident; the stairs break and collapse and then you are trapped in the second floor until God knows for how long. I can tell you that today’s Splendid Inn isn’t preserved for the visitors, it is for the ghost, the ghost doesn’t need stairs.

It was even scarier when my mathematical brain cells work; I weigh 54 kg, we were around 8 visitors with weight ranged from 50 to 60 kg, let’s take median 56 kg times 8 visitors, equals 448 kg weighted upon the old rustic stairs. I tell you, readers. I don’t want to live long but I too don’t want to die like this. Again, what’s the 10.000 rupiah for? There’s probably an argument coming that Dutch architecture is far stronger than you think, but it is vital to note that no matter how flawless a building is built, there’s a durability. 

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)

Splendor Swallowed by Chaos

I believe there’s a brink of restoration in 1950, post-independence of Indonesia. The inn was used as the center of administration for a Japanese colony, in 1950, Faculty of Teacher Training and Education, Airlangga University Surabaya (UNAIR) had the right for the building and restored it for lecturers’ guest house and university classrooms. But the rights shifted again, now it is owned by Malang State University (UM). Now we know, to whom it may concern, the stakeholder responsible for the building.

Believe it or not, I suggest you should believe this; Splendid Inn was renovated in 2015. In the year where Pribumi has all the freedom, in this economy, how come few parts are scattered, decayed, and ruined as if it has never been touched since the 1900s? The second floor just above the ticketing area is a medium-sized hall. It is empty; no furniture or whatsoever. The only sightseeing is windows and a door. There is a balcony leading to the sight of an old mango tree where one of the barks is hanged by a horror-struck swing. See, Indonesian horror scenarios are always predictable; a tree and a swing. Again, why is the swing there, to whom shall it entertain?

Upon leaving the building, I felt relieved about moving on from the stairs. But what waited then, remained unfathomable; it was like experiencing things outlandish and at the same time…whimsical. The second site we visited was this open area where cannons are laid bare and brazen in the yard. I believe they were just artificial, they couldn’t be real cannons. Besides, this place was an inn and university classrooms. I wonder why most sites entice paradoxical things like those Robocop and Ironman figurines in the south of Rampal field.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
The building behind/Putriyana Asmarani

We went on to the buildings behind, the notorious areas, the haunted ones, the ones where Jurnal Risa’s team got possessed by the demons. Let me briefly describe; it is the most wicked dwelling in all meridians. Was it because I felt haunted? No. It was threatening. The roof gable was mesmerizing as it signifies the key European housing style. But from the rake to its very foundation looked intimidating.

We marched to the second floor, we walked upstairs with a safer staircase but still the steps were all dirty. The first sight was a corridor, so far this area was the worst. The bats might have built their empire in the attic, because it crumbled. Their poop scattered all around the floor. There is also a thick scent of termite combined with dirt. Trust me, Ariadne (In Greek mythology, Ariadne boasted her weaving talent to Goddess Athena, she was then cursed as a spider, weaving in the darkest corner of the world) wasn’t cursed in Greek, she is in Splendid Inn all along, all this time.

This is a cosmic heart breaking; rotten plywood hung, hazardous vine entangled, mud-looking dirt scattered not only in the floor but also in the wall, I mean how can they reach the wall? Serial killers must really love it. I even accidentally found a young butterfly trapped behind the window glass, it struggled to bang itself in the mirror thinking that it pursued the brighter and greener world. But I couldn’t help it. My mother’s voice rang in my ear instantly, “Do not touch or meddle, move in or move out things or beings in the site. Those could be the toys, things entertaining the ghosts.” This is triggering though, Goddess Athene made attempt to save Odysseus from the Great God’s curse—in Homer’s Odyssey it is narrated that Goddess Athene felt sorry about the Odysseus’ struggle to sail the world with a curse of never returning home—but I couldn’t even help a single soul, the butterfly.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2)
The corridor in the second floor/Putriyana Asmarani

“Attack” by Something Secret

I walked through the corridor, tip-toeing (although I wore shoes), and found a stairs leading to the darker part of the inn; the third floor. I asked the tour guide, “What’s in there? Could I go there?” The tour guide said, “That’s the third floor, you may go there but I couldn’t be there for you?” I was shocked. I asked, “Why?” She gave me the short answer, “Why else!” After a few days I looked up on the internet and watched Jurnal Risa’s edition in Splendid Inn. I understood then, the area was where the two ghosts dwell; the lady in white and the soldier. 

We didn’t go further than that. But we marched downstairs in the final part of the route. There are speculations denoting that there was a secret door used as an escape during dire situations (raids and wars), there was a secret tunnel leading to SMA Tugu. But no one dares to find out. I understand why. I see smaller doors, not even a single window present, smaller passageways and stairs, enough for one person. If I walked there in a team, we cannot walk side by side so it is easier to predict who will die first in this journey.

I was enticed by the ‘secret tunnel’, the tour guide said, “It was probably in there,” pointing her hand towards one of the passage ways. She could only use her finger, she couldn’t lead us there for the same reason. But my curiosity is killing me. I’m a logic-driven person, I believe that as long as I behave, nothing bad will come after me. So I pledged her permission. Until…she said yes.

True, logic-driven but I still believe in ghosts, although I never see one. Fortunately, I wasn’t alone, there were three other visitors who demanded the same thing. We went there with salam and basmalah, I even said excuse me and bowed for it throughout the passage way. Until, the abrupt gust of something I don’t know what crept my back. It didn’t feel like a hand or a body, whatever on my back was, it felt heavy, like a burden, it was as cold as Satan’s hoof. I was short of breath a little bit. I held this sudden strike and took a photo of it, I believed it was clear but at home after the journey the photo ended up blurry.

(to be continued)


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-2/feed/ 0 42308
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/ https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/#respond Sun, 07 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42290 The haunting and daunting Bella Vista and Splendid Inn. No windows are open here. If there are, it might be due to natural causes of rotting and decaying. Otherwise, they break open due to vandalism;...

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
The back area of Splendid Inn/Putriyana Asmarani

The haunting and daunting Bella Vista and Splendid Inn. No windows are open here. If there are, it might be due to natural causes of rotting and decaying. Otherwise, they break open due to vandalism; only the devils know the culprit. The entrance door is wide open, but this openness soon after you bring yourself inside both places makes you realize that the two are shutting themselves off to the world, uninviting and unwelcoming.

A stoic friend of mine, Wildan Habibi, shockingly catechized me a few hours after I visited Bella Vista and Splendid Inn. Whereas, he never meddled with my business before. “Why in the mother earth do you visit those Gomorrah-looking places, all for what? Brown study?”

Even a few Instagram friends of mine rang me to inform me that Jurnal Risa visited Splendid Inn (Wisma Tumapel). They vigorously bombarded me with the YouTube link, adding spice to their hysteria that Splendid Inn is so ungodly that Hades himself will freak out to see the demon of his own making.

But, I still participated in a group tour led by Jelajah Malang with a tour guide, Dini Rachmawati. The tour isn’t partially dedicated to Bella Vista and Splendid Inn visits. It was a walking route that stopped at more than four destinations. However, I just want to pour my attention in this writing only on Bella Vista and Splendid Inn; the two buildings so far as I perceive, yield an odd philosophy. 

Euroclydon of Dutch East Indies

Bella Vista and Splendid Inn have all the features of a building; doors, windows, hall, park, roof, corridor, balcony, kitchen, bathrooms, and all, but all these features are dead as stones. In most resources that I gather and based on the tour guide’s narrative point of view; history is to blame for the notorious dysfunctionality. 

In Malang, Deandelsboulevard (now Kertanegara Street) stretched from the train station area to Coenplein Jan Pieterszoon (now Tugu Street, an area that covers Bundaran Tugu or Bundaran Jan Pieterszoon), this zone is said to be the center of entertainment for the absolute Dutch aristocrats where no Pribumi was allowed to set foot unless they were on slaves’ duty. Such a Charing Cross of London, in East Indies, East Java, Malang, the Dutch made an official settlement in 1767 and cloned their architectural prowess as well as lifestyle here.

Pribumi lived in a ghetto, in suburban areas, a place truly remote and excluded from the Dutch government’s urban planning and surely, the entertainment. The Dutch government’s rule and opprobrious social class made it clear that their norms were made immutable like the law made by Medes and Persians. Dutch East Indies’s afdeling, or an administrator, or assistant resident was made official to rule the area in 1824. Since then, the Dutch population growth added with the glaring industrial opportunity radically changed Malang. In 1879, the train station was operated for the first time to distribute crops. Later, Malang became Kotapraja in 1914.

Bella Vista was built three years earlier than Splendid Inn and seven years earlier than the town hall. It was built in 1920. What was it? Was it a house back then, or an office? I have never heard of such things called exemplary in urban planning. Bella Vista, as a part of Bouwplan I (the first stage of Dutch colonial’s urban planning), was built for an example for all the buildings in the area. Perhaps the physical example was shown for the construction slaves, how impossible it was to bring the slaves to Europe to get the look of buildings’ shape, to show them that, “this is our taste and this is what you should bring to the table.” 

The prominent Splendid Inn, built in 1923 with the look of a Dutch home, was a hotel. It was owned by CC Mulie. However, 19 years later, on March 7, 1942 Japanese officially occupied the area, took over every layer of governance and life, and changed the working class structure with Japanese terms.

The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
Splendid Inn, the secret tunnel area/Putriyana Asmarani

Change wasn’t everything, executions of the remaining Dutch and the rebels occured massively in the area, the current Tugu Senior High School was once Dutch’s HBS (Hoogere Burger School) shifted from education place for the privileged to a slaughter house of mankind. Splendid Inn too, CC Mulie was no longer the owner of the place, whatever belonged to the Dutch, during this time, was taken over by the Japanese; the buildings and the people. 

Power contests are getting entangled in this part, Japanese whose arms, souls, and faith were sworn to help Indonesia’s revolution to the point that the country found its independence, was all a lie. For as far as this narrative is concerned, the Japanese got weaker after World War II, a door for the Dutch to return to Indonesia and seize everything that once became their source of glory. Dutch’s Operation Product 1 in 1947, against the young nation, occupied Surabaya and their next target was Malang. That time on July 22, 1947, grim reapers marched to the town, harvesting the souls.

Ashes for Unfallen Colony

Lawang was the first area subdued by Dutch Operation Product, in a critical situation, a strategy needed to be made; if it wasn’t by arms, it should be by pride. Urban Guerillas, Student’s Armies (Tentara Republik Indonesia Pelajar, TRIP) burned 1000 or more Dutch’s buildings. What were once Dutch’s administration offices, inn, and houses turned into flaring flames. They cut down electricity and water source to stop the building from functioning and from the Dutch army to shelter.

Scorched-earth is a tactic and a military strategy to put the enemy in the grievest deprivation. When talks didn’t yield repentance of imperialism, fire was the only agent to preach the truth in face of falsehood. This was all for it, a tactic used to tarnish the most imperial, the unfallen Dutch East Indies.

The buildings were then critically destroyed and burned, but surely, they weren’t projected for annihilation. The minute I stood after passing the road that separates Deandelsboulevard and Coenplein Jan Pieterszoon, to the point where Bella Vista and Splendid Inn laid bare and wounded, I felt lost in the infinite series of heritage left in abandonment. I could grasp no further with the narrative denoting that it was an inn and that is all. I felt a ruffling surge of emotions, realizing that in this situation; history couldn’t penetrate the thick haze of the present. 

Splendid Inn: The Most Wicked Dwelling in All Meridians

My mother, discerning that I develop bizarre interests in things archaic, warned me that I have to behave in the sites. It is not, above all, the history that becomes the sole concern. Beware of the ghosts, do not wear something red or green. Do not visit the place when you are on your period. Do not say something bad, not because that is inappropriate, but because it may insult or attract the demon.

There, the moment I entered both Bella Vista and Splendid Inn, I felt this artificial chills: what’s waiting for me behind those anachronistic doors, who’s waving on that tight-closed window, and… yes, who’s following me? 

Strangely, let me be honest with you, isn’t rooted from how the place is scaring me but from the external prejudices about the place. These sort of feelings then validated after hearing the tour guide say, “There are few areas that are considered to be densely haunted, you may go there but if something happened, we aren’t held responsible.” Somehow, it’s the philosophy of all tour guides in the world that safety and knowledge are instruments they hold supreme.

  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)
  • The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1)

The visitors have to pay for 10.000 rupiah to explore Splendid Inn; few areas are locked, few areas are open but inaccessible, and lastly few areas are open but for the love of God you’d better not dare. It is, to be honest, killing me after looking at the ticket area; do not imagine a reception place, it was just a chair, a table, and a man sitting there. 

Behind him, there’s plenty of instant coffee hung by the rope, behind the instant coffee there’s a bed with the sight of bed bugs civilization. The man, he doesn’t at all look like he is a staff. He looked homeless with all that coffee and bedding situation. Seriously, why was the bed in there?

(to be continued)


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Unfathomable Solitude of Bella Vista and Splendid Inn Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-unfathomable-solitude-of-bella-vista-and-splendid-inn-malang-1/feed/ 0 42290
Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental? https://telusuri.id/syphon-metro-sumbangsih-irigasi-kolonial-atau-despotisme-oriental/ https://telusuri.id/syphon-metro-sumbangsih-irigasi-kolonial-atau-despotisme-oriental/#respond Fri, 03 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41818 Menjadi satu-satunya primadona warisan irigasi kolonial yang paling gigantik di Malang, Syphon Metro dibumbui dengan bermacam narasi dan kampanye pariwisata. Segala yang melekat padanya disadurkan pada kisah mistis soal penunggu pipa raksasa. Ia menjadi objek...

The post Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental? appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjadi satu-satunya primadona warisan irigasi kolonial yang paling gigantik di Malang, Syphon Metro dibumbui dengan bermacam narasi dan kampanye pariwisata. Segala yang melekat padanya disadurkan pada kisah mistis soal penunggu pipa raksasa. Ia menjadi objek terasing yang eksistensinya diredupkan bayangan hal-hal gaib.

Narasi selain itu adalah kampanye komersial yang menggaungkan kebaikan penjajah atas terbangunnya sistem irigasi modern dengan pipa masif berukuran 1.800 mm, panjang 189,75 meter kali dua, dengan manuver air 8.000 m3/detik, mengairi sawah dan perkebunan seluas 3.029 hektare. Begitulah detail jasmani yang termaktub dalam konten resmi Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air, dengan kalimat-kalimat ajakan yang tidak relevan ,seperti “menakjubkan”, “wah, excited banget”, dan “peninggalan Belanda yang luar biasa”. 

Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental?
Sisi tangga tengah di antara saluran Syphon Metro/Putriyana Asmarani

Hendrik Christiaan Paulus de Vos dalam kajiannya “Bevloeiing, welvaart en cultuur”, De Waterstaats Ingenieur (1926) membumikan betapa heroik pemerintah Belanda dalam misi pembangunan sistem irigasi modern Hindia Belanda. Pernah menjabat sebagai rektor dalam dua periode di Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekarang Institut Teknologi Bandung), Hendrik Christiaan Paulus de Vos mengaitkan usaha ini dengan optimisme penakluk Mesopotamia, Raja Babel, Hammurabi yang mengatakan:

I have turned desert expanses into well-irrigated fields. I have made them fertile and plentiful and converted them into regions of happiness.” (hal. 190).

[Terjemahan bebas penulis] “Telah kuubah lenggang padang gurun menjadi wilayah yang teririgasi dengan baik. Akulah yang telah membuat tanah gersang itu menjadi subur dan gemah ripah, aku juga yang mengubah semua itu menjadi wilayah kebahagiaan.”

Tidak hanya di Indonesia, di seluruh belahan dunia, dalam sejarahnya kemajuan sistem irigasi berarti kemajuan peradaban itu sendiri. Bahkan beberapa penakluk namanya justru diabadikan sebagai bentuk pengabdian mereka pada pekerjaan irigasi. Padahal praktik-praktik pengairan pampat akan despotisme oriental, imperialisme produktif, rezim produktif kolonial, green imperialism, dan birokrasi patrimonial. 

Istilah despotisme oriental atau oriental despotism dalam konteks sistem irigasi kolonial diusung oleh Karl A. Wittfogel dalam gagasan besarnya yang bernama hydraulic hypothesis. Istilah ini kemudian ramai di kalangan kritikus sekitar tahun 1957, setelah bukunya Oriental Despotism diterbitkan. Karl A. Wittfogel memaparkan kenyataan pahit dalam praktik kolonial yang menggadang kemajuan daerah terjajah dengan cara membangun sistem irigasi dan pemerintahan. Beberapa dari gagasan besarnya adalah: (1) sistem irigasi, bagaimanapun bentuknya, tidak bakal bisa terlaksana tanpa adanya praktik pemerintahan terpusat, bahkan kediktatoran; (2) dari poin pertama maka bisa termanifestasikan monopoli kekuasaan dan sistem pemerintahan kolonial yang absolut; (3) meledaknya kerja paksa di daerah koloni. 

Pertanyaan-pertanyaan yang Tidak Terjawab

Dalam kunjungan ke Syphon Metro, saya melihat dengan jelas monumen persegi empat berukuran sedang yang dibubuhi informasi terbatas. Misalnya, informasi itu hanya berkutat seputar ukuran pipa raksasa dan tahun pemugaran. Jujur saja, tanpa harus mengunjungi lokasi tersebut, informasi ini sudah bertebaran di mana-mana. 

Sebagai objek historis, informasi ini tidak mengantarkan pembaca atau pengunjungnya pada perenungan sama sekali. Pada siapa saya menemukan jawaban; berapakah budak yang telah mati karena pipa ini dibangun? Berapakah korban jiwa yang termakan? Siapa saja dan dari kalangan mana sajakah yang menjadi korban, memelopori, atau menjadi mandor pembangunan ini? Berapa gulden yang dihasilkan setelah pipa ini dibangun dan berapa kenaikan keuntungan perkebunan serta pertanian yang dimonopoli pemerintah Belanda setelah pipa ini dibangun?

Tidak ada detail informasi-informasi semacam itu. Paling jauh pembahasan detail arsitektur pipa dan peta konsep pembangunan Syphon Metro dalam riset Joko Saryono dkk (2019).

Maka tidak heran bila karya-karya para imperialis, dengan bangga menyatakan bahwa pribumi harus berterima kasih pada pemerintah kolonial yang sudah memberikan fasilitas dan memelopori komponen-komponen peradaban maju. Syphon Metro sendiri dikabarkan telah memberikan peluang kesuksesan perkebunan dan pertanian daerah, serta menangani musibah banjir. Narasi ini seakan-akan memberi kesan, bahwa usaha ini secara tulus dilimpahkan untuk kepentingan pribumi semata. Di pihak lain, pemerintah kolonial-lah yang membuka lahan dan meraup keuntungan dari sana, sedangkan pribumi menjadi budak perkebunan. 

David Gilmartin melawan arus tersebut melalui bukunya Blood and Water: Nature, Productivity and Colonialism in the Indus Basin yang terbit pada 2003. Tidak hanya menyoal Indus, David Gilmartin juga mengkritisi kondisi Hindia Belanda, menyebut kondisi ini sebagai colonial productive regime dalam praktik imperialisme proto-modern. Maurits W. Ertsen juga melakukan penyangkalan yang sama atas narasi politik pemerintah kolonial dalam risetnya tahun 2006, Colonial Irrigation: Myths of Emptiness.

Mitos kekosongan atau myths of emptiness merujuk pada produksi gagasan fantasi yang mengubah keadaan seakan-akan suatu kebijakan dibuat untuk kepentingan pribumi. Misalnya, pemerintah kolonial menggarap mitos kekosongan lahan, seolah-olah lahan tersebut tidak subur dan tidak berfaedah sehingga pribumi membutuhkan bantuan pemerintah kolonial untuk mengatur lahan-lahan itu. Rohan D’Souza (2015) juga menyuarakan hal yang sama dalam risetnya.

  • Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental?
  • Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental?

Sisi Lain yang Harus Direnungkan

Dari seabrek gagasan perlawanan tersebut, tidak heran bahwa narasi yang telanjur tersebar adalah narasi nuwun si nuwun, tentang bagaimana pemerintah kolonial telah menyelamatkan pribumi dari terjangan banjir dan mengembangkan agrikultur pribumi. Padahal ekses banjir berdampak pada perkebunan dan lahan-lahan pemerintah kolonial sehingga terjadi kerugian besar. Ini termasuk dalam kajian green imperialism, kampanye hijau imperialisme dan tanpa disadari hal semacam inilah yang disebut dengan rezim produktif kolonial.

Mengunjungi tempat ini melalui sisi barat daya, makam Cina terbentang. Sunyi senyapnya melatari suasana Syphon Metro. Gelondongan kayu jati bertumpuk dan dua truk tengah terparkir untuk mengambil kayu-kayu tersebut. Beberapa penebang kayu berseliweran tanpa suara. Mereka terlihat lelah, tetapi keadaan itu tidak mengurangi sopan santun mereka sama sekali. Tak hentinya mereka bilang “permisi” untuk menciptakan kenyamanan bagi pengunjung. Ada satu petugas yang menyaring sampah di bibir pipa raksasa dengan cangkul garpu. Semua bekerja menggunakan tenaga dan ketangkasan.

Dikelilingi pohon-pohon serta kericau pipit dan wiwik, kesunyian di tempat ini membawa kedamaian yang tak terkira. Namun, saya merasakan getaran aneh saat menuruni tangga, bahkan barang dua puluh anak tangga saja. Hal yang pertama muncul di kepala saya bukan arwah penunggu, bukan potret para penjajah yang diagung-agungkan, bukan pula reaksi tegang diapit dua pipa sublim; melainkan isi kepala saya dijejali fakta terselubung tentang korban pembangunan dan pihak-pihak yang diuntungkan. 

Tempat ini layak dikunjungi, untuk bahan perenungan tentunya. Tempat ini adalah bukti sekaligus saksi bungkam despotisme oriental dan kerja paksa yang menjelma dalam gagasan manipulatif imperialisme. Seperti rumah Jengki yang muncul sebagai perlawanan arsitektural rumah Belanda, tentu memungkinkan tanpa bantuan pemerintah Belanda, pribumi juga bisa membangun sistem irigasi yang lebih mutakhir dan tulen.

Sebagaimana Wim Ravesteijn berpendapat dalam risetnya (2005), bahwa dengan sudut pandang Karl A. Wittfogel tentang hydraulic hypothesis dan despotisme oriental, Belanda mengatasi kerugian perkebunan dan pertanian serta memonopoli 1,3 hingga 3,3 juta hektare tanah di Jawa. Memancang tanah pertiwi dengan bangunan irigasi, dan menutup kemungkinan berkembangnya sistem irigasi pribumi sebagai sebuah bangsa yang bisa mencipta.


Daftar Pustaka

Carey, M. (2014). Book Review: Locales of Happiness: Colonial Irrigation in the Netherlands East Indies and its Remains, 1830–1980. History of Geo and Space Sciences (Print), 5(1), 73–74. https://doi.org/10.5194/hgss-5-73-2014.
D’Souza, R. (2015). Mischievous Rivers and Evil Shoals: The English East India Company and the Colonial Resource regime. In Palgrave Macmillan UK eBooks (pp. 128–146). https://doi.org/10.1057/9781137427274_7.
de Vos, H. C. P. (1926). Bevloeiing, welvaart en cultuur. De Waterstaats Ingenieur
Ertsen, M. W. (2006). Colonial Irrigation: Myths of Emptiness. Landscape Research, 31(2), 147–167. https://doi.org/10.1080/01426390600638588.
Harms, A. (2016). Blood and Water: The Indus River Basin in Modern History, by David Gilmartin. South Asia: Journal of South Asian Studies, 39(2), 510–511. https://doi.org/10.1080/00856401.2016.1173629.
Murdock, G. P. (1957). General and Theoretical: Oriental Despotism: A Comparative Study of Total Power. Karl A. Wittfogel. American Anthropologist, 59(3), 545–547. https://doi.org/10.1525/aa.1957.59.3.02a00190.
Ravesteijn, W. (2005). Water Control and The Colonial State: The Case of Dutch Irrigation Engineering in The Indonesian Island of Java, 1832—1942. JSTOR, Vol. 11 (2005), pp. 197-211 (15 pages). https://www.jstor.org/stable/23787028.
Sayono, J., Ayundasari, L., Sulistyo, W. D., & Ridhoi, R. (2019). Utilization of Syphon Metro Kepanjen as outdoor learning site for history students. Proceedings of the 1st International Conference on Social Knowledge Sciences and Education (ICSKSE 2018). Atlantis Press. Vol. 320. https://doi.org/10.2991/icskse-18.2019.14.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Syphon Metro: Sumbangsih Irigasi Kolonial atau Despotisme Oriental? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/syphon-metro-sumbangsih-irigasi-kolonial-atau-despotisme-oriental/feed/ 0 41818
Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/ https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/#respond Tue, 16 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41684 Saya tak mengira, sejak 2021 kebun di rumah telah menjelma sebagaimana di bawah asuhan Dewi Circe, seorang dukun Aiaia dan putri Dewa Helios yang memilih berkebun dalam pengasingan daripada kembali ke kahyangan. Dalam legenda Yunani,...

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tak mengira, sejak 2021 kebun di rumah telah menjelma sebagaimana di bawah asuhan Dewi Circe, seorang dukun Aiaia dan putri Dewa Helios yang memilih berkebun dalam pengasingan daripada kembali ke kahyangan. Dalam legenda Yunani, Circe adalah seorang dewi keturunan Helios (dalam jajaran dewa tertinggi) dan Perse (seorang siluman). Circe adalah nymph atau siluman yang kemudian diusir dari kahyangan ke lokasi terpencil. Di tempat inilah Circe kemudian berkebun. 

Sejauh ini, kebun Bu Jamik telah menumbuhkan sembilan jenis tanaman sayuran, yaitu kacang panjang, belimbing wuluh, terong, kol, labu siam, turi merah yang mulai langka, labu biasa, kelor, dan sawi. Ada pula 19 jenis buah yang namanya aneh bukan main juga tumbuh di sana. Sebut saja kelengkeng durian, kelengkeng matalada, kelengkeng kristal, avokad aligator, avokad miki, sawo jumbo, anggur jupiter, anggur ninel, anggur akademik, anggur everest, anggur transfigurasi. Lalu melon biasa, melon golden alisha, markisa jumbo, stroberi, arbei, belimbing, delima, lemon, dan aneka varietas mangga. Menyebutkan semuanya saja bikin terengah-engah.

Belum lagi tanaman bunga, baik untuk melawat maupun berobat. Ada sekitar sepuluh tanaman yang tersebar di kebun, antara lain aglaonema, sakura, anggrek moth, sukulen echeveria, telang, bunga sepatu, kenanga, melati, mawar de Rescht, dan rosela. Jangan lupakan pula tanaman apotek hidup, seperti kunyit, sirih, daun salam, jahe, kucai, bawang dayak, hingga daun ginseng.

Kalau sudah begini, siapa pernah mengira kebun  ini adalah “alun-alunnya” para demit?

  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo

Perjuangan Menumbuhkan Kesuburan Tanah Wingit

Tanah wingit ini mencapai puncak kesuburannya pada 2023 dan awal 2024. Anggur transfigurasi berbuah lebih dari 40 dompol, anggur ninel terus membuahkan lebih dari 30 dompol sebanyak dua kali dalam satu tahun, dan anggur akademik bisa mencapai tak kurang dari 20 dompol. Hampir satu RT pernah dapat markisa jumbo milik ibu saya, karena sekali panen pohon ini bisa menghasilkan puluhan buah. 

Itu bukan berarti bahwa tanah wingit ini memang subur dari sono-nya. Di awal-awal masa pembabatan pada akhir 2019, tanah di area ini merah. Terik matahari terblokir dinding rumah sehingga potensi mendapatkan sinar yang maksimal adalah saat siang hari hingga terbenam. Dalam satu bulan, posisi matahari yang berubah-ubah membuat ibu saya paling tidak memindahkan tanaman tomatnya hingga lima sampai tujuh posisi berbeda.

Entah itu adalah alasan estetika atau kegabutan luar biasa. Namun, posisi matahari memang berpengaruh penting. Jadi, tanaman-tanaman yang paling butuh banyak sinar harus diletakkan di area yang paling banyak mendapatkan cahaya matahari. 

Sinar matahari berperan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman (Putriyana Asmarani)

Lapisan tanah juga sangat buruk; batu-batu bekas bangunan, pecahan tembikar, seng, dan besi. Komposisi tanah telah rusak dan senyawa yang terpendam di sana bisa jadi beracun. Dampaknya akan membunuh benih dalam sekali tebar atau tanaman sekali tancap. Oleh karena itu, suburnya tanah saat ini bukan hasil dari main sulap atau menumbalkan salah satu adik saya—ia tetap sehat walafiat—melainkan karena usaha tanpa jeda. 

Tetangga sampai berkelakar, bila ibu saya pingsan sekalipun ia bakal terus mencangkul dalam keadaan tidak sadar. Ibu saya terus berkebun: mengukur pH tanah, meramu pupuk, serta membuat lapisan tanah baru dari damen dan batang pisang. Semua ia lakukan dan hanya berhenti kalau sudah tifus saja.

Parahnya ia tidak hanya berjibaku dengan kondisi alam dan tanah semata. Ia juga mesti menghadapi kritik tak sedap dari segala penjuru mata angin. Misalnya, “anaknya sendiri minum susu SGM, tanamannya digelontor susu sapi”, “tokonya sudah ditelantarkan, dia fokus pada kebun padahal tidak menghasilkan”, atau komentar-komentar pedas lainnya menggunakan bahasa rimba.

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Belimbing wuluh/Putriyana Asmarani

Strategi Ibu

Gosip sama kekalnya dengan sepercik api abadi di gunung es. Bersamaan dengan itu, tetangga ibu kiri-kanan dan belakang (tidak ada depan karena langsung berhadapan area sawah dan makam) kerap mampir sambil menenteng kantung plastik. Dengan templat salam yang sama mereka menyapa, “Pagi, Yu Jamik, akas temen (cekatan betul) pagi-pagi sudah di kebun. Aku minta kemangi, ya; cabe, ya; tomat-terong-belimbing wuluh-kelor-ya.”

Ini justru sangat menyenangkan. Itulah syarat evolusi, karena mereka harus bertahan hidup di tengah resesi dan kelangkaan pangan. Tak peduli besok bawa gosip baru atau kemarin menyebarkan gosip lama. Ibu saya sendiri juga suka dengan teori evolusi tersebut. Kalau tidak begini, ia tidak tahu lagi cara lain untuk beramal dan berbuat baik. Saat ini pun ia masih belum ada kehendak untuk menjual hasil panennya. Entah karena alasan apa. Tidak ada cara lain untuk memahaminya. Kadang uang memang tidak bisa dipakai untuk mengelap keringat jerih payah.

Yang jelas, ini adalah permulaan. Sudah saatnya tanah terbengkalai, wingit, dan kosong diolah menjadi area produktif. Sudah saatnya kita “sowan” pada demit di area kosong dan angker, lalu “mengusirnya” dengan cara baik-baik. Meskipun di kebun ibu saya tidak ada ritual pengusiran atau semacamnya, cukup berdoa saja dan berniat baik maka tidak akan ada kendala. Kecuali kendala ayam tetangga yang sedang nayap. Bandit Rambo berceker itu kalau sudah lolos masuk kebun melalui lubang entah dari mana, mereka bakal menghabisi apa saja. Kendala ini memang tidak tertolong.

Di Juwetrejo, beberapa tetangga juga sudah mulai minta benih atau cukulan untuk mereka tanam sendiri. Dan ibu saya memberinya dengan cuma-cuma. Ini termasuk strategi jitu ibu saya, “Kalau mau tomat ini ada cukulan-nya, tanam sendiri saja.”

Secara langsung pernyataannya adalah motivasi untuk merdeka pangan, meski dalam skala kecil. Merdeka pangan berarti sebagai manusia kita telah mencukupi kebutuhan paling dasar dan tidak bergantung pada siapa saja, termasuk kebijakan pasar maupun ekonomi. Merdeka pangan berarti bisa tercukupi. Cukup saat harga komoditas anjlok, berlimpah kala harga komoditas meroket.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/feed/ 0 41684