R. Setya Utami, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/r-setya-utami/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 14 Mar 2021 18:21:58 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 R. Setya Utami, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/r-setya-utami/ 32 32 135956295 Pulau Bangka yang Sepi tapi Menyimpan Memori https://telusuri.id/pulau-bangka-yang-sepi-tapi-menyimpan-memori/ https://telusuri.id/pulau-bangka-yang-sepi-tapi-menyimpan-memori/#respond Sun, 14 Mar 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27359 Perjalanan di pesawat cukup membuatku pening. Selain karena durasinya hanya satu jam, yang tidak cukup untuk menambal kurang tidur setelah berkumpul pukul 5 pagi di bandara, penerbangan ini juga penerbangan pertama setelah jeda satu tahun...

The post Pulau Bangka yang Sepi tapi Menyimpan Memori appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan di pesawat cukup membuatku pening. Selain karena durasinya hanya satu jam, yang tidak cukup untuk menambal kurang tidur setelah berkumpul pukul 5 pagi di bandara, penerbangan ini juga penerbangan pertama setelah jeda satu tahun karantina.

Mas Andi, pemandu kami di Pulau Bangka, menyambut dengan senyum ramah di pintu kedatangan. Ia lalu meminta kami naik ke bus bernuansa Hello Kitty. Kelak, bus ini menjadi saksi ketika aku ketiduran, terbangun, membaca pesan masuk dari kantor—ya, aku tak sepenuhnya liburan kali ini—dan, memandang perkampungan nelayan yang kami lewati dari balik jendela.

Wisata Bangka Belitung
Pemandu/R. Setya Utami

Menyantap lempah kuning, hingga cerita dari Museum Timah

Pemberhentian pertama kami bukan tempat wisata. Prioritas kami yakni mengisi tenaga ke sebuah rumah makan di pinggir jalan yang menyajikan menu andalan masyarakat Bangka, lempah kuning!

Jujur saja, aku bukan penggemar ikan. Selain karena tak pandai masak dan mengolahnya, aku bingung mau cari ikan segar dimana, apalagi saat PSBB seperti sekarang ini. Aku tak menyebutkan fakta ini keras-keras karena tidak mau mengubah suasana penuh antisipasi itu dengan alasan preferensi pribadi. Lempah kuning tetap kutunggu dengan sabar.

Ternyata lempah kuning adalah penganan ikan yang dibalut sup yang bercampur buah nanas. Aku tak pernah mendengar resep ini sebelumnya. Perpaduannya memang unik dan membuat penasaran!

Aku mencicipi kuah itu pelan-pelan dan langsung dikejutkan karena sensasi rasa yang menyegarkan. Buah nanas memberikan rasa khas yang cukup membuatku membuka mata setelah mengantuk sedari tadi. Mual-mual sisa perjalanan pun hilang terbasuh satu persatu makanan yang kunikmati setelahnya.

Lempah kuning menjadi sajian pembuka dari eksplorasi makanan lautku di sini. Aku jadi makin bersemangat saat sudah menyentuh kerapu goreng yang berbumbu gurih, sungguh rasanya membuat kangen hingga aku menuliskannya saat ini. Kerapu goreng memang juara!

Setelah tenaga terisi penuh, kami berpamitan pada pemilik warung untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum jauh melangkah hingga ke ujung pulau, kami mendatangi Tugu Titik 0 Kilometer. Tugu yang baru diresmikan tepat awal tahun 2021 ini memperlihatkan betapa mungilnya pulau ini dibandingkan tempatku biasa bermukim, Pulau Jawa. Jarak di Pulau Bangka terbilang pendek-pendek untuk sampai dari satu ujung pulau ke ujung yang lain. Sepertinya perjalanan Jakarta – Jatinangor kala aku kuliah bisa lebih panjang ketimbang di sini.

Wisata Bangka Belitung
Titik 0 Kilometer Bangka/R. Setya Utami

Titik 0 Kilometer juga menjadi tempat obrolan pertama tentang timah, sumber daya primadona di pulau ini sejak jaman pribumi hingga dikapitalisasi oleh Belanda. Selanjutnya, kami memelajari kesejarahan timah itu di Museum Timah yang didirikan PT Timah, Tbk. Museum ini memuat mulai dari jejak sejarah hingga miniatur kapal pengeruk timah yang berada di lepas pantai Pulau Bangka. Kami wajib mencuci tangan dan periksa suhu sebelum bisa mendengar lebih banyak tentang hal ini, tentu saja.

Timah sudah ditambang oleh warga lokal karena keberadaannya yang mudah ditemui di permukaan tanah tanpa harus menggali terlalu jauh. Dulu, masyarakat Bangka memisahkan tanah dan timah hanya dengan bantuan air. Begitu Belanda datang, dibuatlah situs-situs penggalian yang kedalamannya hingga menembus 100 meter dengan banyak tenaga kerja yang didatangkan dari Cina.

Selain menyajikan cerita dalam bentuk penjelasan lisan, peninggalan sejarah, dan lukisan gambaran asli masa itu, pihak museum juga mendatangkan teknologi AR untuk pembelajaran kontur tanah menggunakan keterangan warna yang menarik untuk disimak. Meski ditujukan untuk anak-anak, kami pun yang orang dewasa senang bermain-main dengan medium pasir yang disediakan.

Menyantap otak-otak di Bangka dan nyore di Pantai Parai Tenggiri

Kami lalu pergi untuk menyantap penganan khas di sana, otak-otak. Jauh dari rasa otak-otak yang biasa kunikmati, di sini otak-otak bahkan punya varian yang cukup beragam. Mulai dari otak-otak bakar hingga otak-otak udang yang terasa lebih liat dan berwarna oranye pudar. Sensasinya cukup melekat, aku sampai lupa untuk membubuhkan saus yang terdiri dari tiga jenis karena otak-otak ini sudah cukup terasa nikmat tanpa tambahan apapun lagi.

Tempat selanjutnya yang kami kunjungi yakni Pantai Parai Tenggiri. Sebagai orang yang belum lama berdoa ingin ke pantai, tentu saja aku menantikannya. Sayang, Pantai Parai yang indah itu terlalu sepi untuk dinikmati sendiri. Hamparan pantai ini menyambung dengan jembatan ke Pulau Batu, sebuah pulau kecil yang terdiri dar bebatuan tinggi sebagai tujuan sightseeing dari ketinggian.

Pasir putih dipayungi awan yang cukup berat menggantung di langit. Suasana Pantai Parai yang sesungguhnya sudah memiliki sertifikat CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) terasa mendung. Angin cukup kencang hingga sanggup menarik serta scarf yang kubawa hilang di antara ombak kencang lautan siang itu.

Rasanya asing sekali melihat fenomena pantai seapik ini tanpa penghuninya. Seperti yang biasa terpatri di ingatan, pantai-pantai dengan pemandangan indah biasanya ramai kunjungan wisatawan. Tapi di sini hanya ada kami dan bentangan alam, melihat ke pucuk horizon yang jauh dari pandangan.

Setelah puas mendaki bebatuan serta menikmati suara deburan ombak yang cukup nyaring, rombongan kecil kami memutuskan untuk langsung menuju ke hotel dan beristirahat untuk petualangan hari kedua. Aku menyerah ke rasa lelah untuk menyaksikan kejutan apa lagi yang akan menyambutku di Pulau Bangka ini.

The post Pulau Bangka yang Sepi tapi Menyimpan Memori appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-bangka-yang-sepi-tapi-menyimpan-memori/feed/ 0 27359
Berani Pergi ke Bangka Belitung Semasa Corona https://telusuri.id/berani-pergi-ke-bangka-belitung-semasa-corona/ https://telusuri.id/berani-pergi-ke-bangka-belitung-semasa-corona/#respond Mon, 08 Mar 2021 07:22:51 +0000 https://telusuri.id/?p=27313 Aku tim #dirumahaja sejak Maret tahun lalu. Betul, hampir setahun lalu. Hidup di kosan memang penuh dengan sakit pinggang, inisiasi hobi baru supaya nggak bosan-bosan amat, dan kadang, mata perih karena terlalu sering berada di...

The post Berani Pergi ke Bangka Belitung Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku tim #dirumahaja sejak Maret tahun lalu.

Betul, hampir setahun lalu. Hidup di kosan memang penuh dengan sakit pinggang, inisiasi hobi baru supaya nggak bosan-bosan amat, dan kadang, mata perih karena terlalu sering berada di depan gawai.

Baru setelah nyaris setahun, aku berani traveling lagi. Tak tanggung-tanggung, destinasi pertamaku di masa pandemi ini berada di luar pulau Jawa. Runtuh sudah niatan untuk tidak menjalani tes usap sampai pandemi selesai karena pada perjalanan kali ini, mau tidak mau aku harus melakukannya setidaknya tiga kali.

Di perjalanan kali ini, aku berangkat bersama rombongan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ke mereka juga aku mempercayakan keselamatan diri dari virus COVID-19.

Swab antigen pertama kujalani sambil meringis-ringis karena bingung dengan sensasinya, tapi lega karena aku masih negatif dan punya izin jalan. Hasil itu diverifikasi di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, satu jam sebelum terbang ke Bangka Belitung. Sampai di sana, aku menyodorkan QR Code dari aplikasi e-HAC yang sudah diisi sebelumnya dengan identitas diri dan detail perjalanan.

Sulit? Gak sama sekali ternyata.

Dunia sudah berputar sebelas bulan lebih sejak terakhir kali aku bisa menapakkan kaki secara bebas tanpa rasa khawatir. Aku tidak tahu bagaimana dengan tempat lain, pada dasarnya aku pun bukan seseorang yang bepergian sesering itu. Tapi bahkan Jakarta, di mataku, terasa asing dengan orang-orang yang memberi jarak dan berjalan lebih cepat dari biasanya. Menutup wajah mereka alih-alih menegakkannya dengan rasa percaya diri.

Jantungku berdebar kuat saat mendapatkan tawaran perjalanan ini. Memikirkan itinerary yang entah cocok atau tidak dengan tubuh tak terlatihku, memikirkan bawaan yang harus ekstra karena pandemi, memikirkan protokol kesehatan dan seabrek dokumennya. Yang ternyata tidak sesulit itu.

Tes usap antigen ternyata tidak sesakit yang aku bayangkan, prosesnya juga tidak lama. Hasil tes pun bisa didapatkan segera. Aku rasa, tes usap saat ini jauh lebih mudah daripada pas awal-awal pandemi dulu. Kini kita bisa menjalani tes usap di klinik-klinik terdekat, proses pemesanan antrian pun juga mudah, bisa dilakukan melalui aplikasi kesehatan seperti Halodoc.

Selain tes usap buat kamu yang akan melakukan perjalanan dalam negeri melalui jalur laut atau udara wajib banget punya kartu electronic-Health Alert Card (HAC). Kartu ini bisa kamu unduh lewat aplikasi e-HAC di Google/Apple Store. Bisa juga diakses lewat inahac.kemkes.go.id.

Verifikasi dokumen yang dibutuhkan juga hanya hasil tes saja beserta kartu identitas. Aplikasi e-HAC sangat mudah digunakan, bisa diisi dengan cepat sebelum berangkat, begitu boarding pass sudah keluar.

Sisanya tentu saja dilanjutkan dengan protokol kesehatan yang dianjurkan, menjaga jarak, memakai masker—bahkan di dalam bus, mencuci tangan sebelum dan sesudah mengunjungi destinasi wisata, serta menggunakan hand sanitizer sebelum memegang apapun. Menariknya, kadang hal-hal yang justru terdengar mudah ini, malah lebih sulit dilakukan karena butuh kedisiplinan dari masing-masing individu. Tapi ternyata semakin dibiasakan, semakin otomatis protokol kesehatan tersebut dijalani tanpa merasa terbebani.

Kami sudah dua hari di Pulau Bangka dan akan langsung mencari tempat cuci tangan begitu turun dari bus. Menggunakan masker setiap saat, kecuali untuk sesi foto sendiri-sendiri. Tidak berjalan dengan kerumunan yang rapat. Dan mengecek suhu badan setiap masuk tempat baru.

Aku yang punya kebiasaan lupa pakai masker di awal pandemi ketika ambil Go-Food di depan kosan pun takjub dengan diri sendiri yang tiba-tiba mulai terbiasa dengan segala macam protokol kesehatan ini.

Pandemi ini menulis ulang cara kita semua untuk tetap berkegiatan.

Di awal kemunculannya, semua orang bingung untuk menyesuaikan diri. Sekarang, semuanya adalah kewajiban tanpa tapi.

Bepergian jauh kala pandemi selain apa yang kujabarkan diatas sesungguhnya tak banyak berbeda dengan bepergian pada umumnya. Pengalaman perjalanan di tempat wisata sambil bercengkrama dengan teman perjalanan hampir tidak ada yang berubah, tetap sama.

Perjalanan cukup lancar hingga kami tiba di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang. Cuaca cerah agak berawan di hari pertama, angin cukup kencang, tidak ada hujan hingga semua kegiatan berakhir.

Selama perjalanan, aku bahkan lupa kalau sebelum berangkat sempat panik dengan segala macam protokol kesehatan yang dijalankan. Selanjutnya, aku akan cerita tentang penerapan protokol kesehatan di tempat wisata sekitar Bangka – Belitung dan melihat seperti apa kondisi pariwisata di sana. Nantikan, ya!

The post Berani Pergi ke Bangka Belitung Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berani-pergi-ke-bangka-belitung-semasa-corona/feed/ 0 27313