Raja Syeh Anugrah, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/raja-syeh-anugrah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 18 Jul 2024 16:28:54 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Raja Syeh Anugrah, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/raja-syeh-anugrah/ 32 32 135956295 Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/ https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/#respond Fri, 19 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42363 Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari...

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, karena perlawanannya terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dianggap kompromis terhadap Belanda (Haryanto via Tirto.id, 2023).

Tempat masa kecil Tan Malaka itu bernama Nagari Suliki. Tepatnya Gunuang Omeh, sebuah negeri yang terletak di sisi selatan Kota Padang dan Payakumbuh. Nagari Suliki didukung dengan sumber daya dan keelokan alamnya. Hal itu dapat dilihat dari letak geografis Nagari Suliki yang dialiri sungai dan dikelilingi perbukitan.  

Di negerinya, Tan Malaka dikenal dengan nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Terlahir dari seorang ibu bernama Rangkayo Sinah Simabur, salah satu putri dari keluarga yang terpandang, dan ayah bernama H. M. Rasad Bagindo Malano yang memiliki latar sebagai buruh tani.

Tan Malaka kecil tumbuh dengan ketangkasan dan kecerdasan berbasis pendidikan surau yang ada di sebagian besar wilayah Minangkabau silam. Maka ia pun tangkas pula dalam hal mengaji dan silat, seperti penuturan Zulfikar Kamaruddin—keponakan Tan Malaka dari garis ayah—dalam wawancara Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka di Metro TV (12/7/2017).

Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya
Tampak depan rumah Tan Malaka/Raja Syeh Anugrah

Kontradiksi

Namun, kebesaran Tan Malaka ternyata berbanding terbalik dengan kondisi rumahnya. Saya mendapati kondisinya amat memilukan. Bagi orang-orang yang pertama kali berkunjung ke rumahnya, seperti saya, spontan akan mengatakan, “Betapa tidak terawatnya rumah ini.”

Bahkan sekadar plang jalan yang menunjukkan “Rumah Tan Malaka” saja tidak ada sama sekali. Informasi itu hanya tertulis di dinding rumah warga yang sukar untuk orang ketahui. Sementara di aplikasi Google Maps, terdapat dua titik “Rumah Kelahiran Tan Malaka” yang mengantarkan ke tempat asing.

Alhasil, sebelum ke tempat sebenarnya, saya dan Kak Wina—seorang kakak senior di salah satu lembaga relawan sekaligus orang lokal dari Limo Puluh Koto—kala itu nyasar sekitar 4–5 km. Atau bisa dikatakan titik yang hendak kami tuju sudah jauh terlewat.

Jalanan yang tidak begitu lebar, berliku, dipenuhi kebun-kebun masyarakat, dan rumah-rumah yang jarang membuat kami agak kesulitan. Hal itu membuat kami harus kembali berputar setelah titik tuju yang tadi cukup jauh terlewat. Barulah akhirnya kami tiba di rumah kelahiran Tan Malaka yang berlokasi tepat di Gunuang Omeh, Suliki.

Setiba di sana kami mendapati hamparan halaman membentang, bangunan dengan ciri khas rumah Gadang, tiga buah kuburan, tiang bendera yang tengah berkibar, dan patung Tan Malaka tegak dengan gagahnya. Letaknya tak jauh dari tepi jalan raya Suliki.

Namun, di Lokasi saya tidak mendapati satu orang pun yang berjaga maupun yang sekadar memberikan informasi mengenai sejarahnya. Meskipun begitu saya masih bisa masuk karena memang tidak dikunci. Di dalam rumah terdapat beberapa buku koleksi yang sama sekali tidak terawat, foto-foto Tan Malaka, dan sederet orang-orang yang menyandangkan gelar Tan Malaka.

Kala menyaksikan betapa tidak terawatnya rumah Tan Malaka, sejenak saya bergidik, “Apakah cahaya sejarah di negeri ini sudah tidak hidup lagi sebagaimana esensi kesohoran namanya di tanah air ini?”

Merawat Sejarah

Sejarah kerap dianggap sangat membosankan. Di dalam sejarah hanya berkisah cerita masa lalu. Padahal jika dipahami benar, mereka yang membaca sejarah adalah orang-orang yang memiliki pandangan besar ke masa depannya. Sebab ia telah mengetahui bagaimana orang-orang terdahulu berjuang untuk peradaban.

Berdasarkan hasil diskusi ringan saya dengan beberapa teman dari Lima Puluh Kota, sebelum saya benar-benar pergi ke rumah Tan Malaka, sebagian di antara mereka tidak mengetahui benar siapa Tan Malaka dan peran besarnya terhadap bangsa. Ditambah keberadaan Tan Malaka di Suliki yang seharusnya dapat menjadi mercusuar informasi sejarah, justru malah tidak dihiraukan begitu saja.

Padahal ketika saya dan Kak Wina ke rumah Tan Malaka, di tangga rumahnya berdiri sebuah bangunan kecil yang tidak permanen bertuliskan “BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya)”. Bahwa memang benar, rumah Tan Malaka telah masuk ke dalam situs cagar budaya. Akan tetapi, skala perawatannya tidak berlanjut.

Jika kita tarik kembali ke masa lalu. Masa kecil Tan Malaka di negeri Suliki dihabiskan di surau, yakni sebuah tempat di mana sistem pendidikan tradisional Minangkabau dijalankan. Aktivitasnya seputar mengaji, bersilat, dan mendalami agama Islam. Dari sana kemudian Tan Malaka melanjutkan sekolah guru di Kweekschool, Bukittinggi yang sekarang berganti menjadi SMAN 2 Bukittinggi.

Selepas ia lulus, Tan Malaka disarankan oleh G. H. Horensma, gurunya di Kweekschool, untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena kendala ekonomi yang dihadapi, masyarakat negeri Suliki itulah yang turut membantu meringankan biaya Tan Malaka untuk berangkat ke Belanda, termasuk Horensma yang meminjamkan uangnya.

Tan Malaka memang dianggap sebagai komunis oleh sebagian orang. Namun, bukankah ia sudah menuliskan di autobiografinya “Dari Penjara ke Penjara”: saya di depan manusia adalah komunis, jika di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, sebab di antara manusia banyak setan-setan. Penuturan dari keponakan Tan Malaka bahkan menyebut ia adalah seorang penghafal Quran.

Jadi, artian komunis memang ada betulnya disebabkan bergabungnya Tan Malaka ke dalam Komunis Internasional di Uni Soviet kala itu. Tan Malaka kemudian menyandang posisi sebagai perwakilan Partai Komunis di Asia. Itu pun tidak lama, Tan Malaka kemudian beralih dari kiblat komunis di Rusia setelah ia memberikan pendapat agar adanya perhatian khusus terhadap Pan-Islamisme. Namun, hal itu tertolak dan membuat Tan Malaka berjalan di garis ideologinya sendiri.

Sekiranya ini sekelumit kisah dari kesohoran Tan Malaka. Masih banyak hal lainnya, seperti saat Tan Malaka menjadi guru di perkebunan tembakau di Deli, Sekolah Rakyat di Semarang, hingga mengonsep Republik dan mendorong agar Indonesia merdeka seratus persen tanpa kooperatif. Sebab ucapnya, “Bahwa tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang ada di rumahnya.”

Merawat sejarah tidak hanya merawat ingatan singkat manusia, tetapi juga merawat pengetahuan masyarakat dari generasi ke generasi. Tujuannya agar tetap mengenal siapa itu Tan Malaka yang berasal dari negerinya, Suliki.

Luruskan Niat ke Rumah Tan Malaka

Saya sangat menyarankan bagi siapa pun yang hendak pergi ke rumah Tan Malaka, hal paling utama adalah luruskan niat. Ini agaknya remeh-temeh, tetapi memang benar. Bagi seseorang yang berniat baik untuk ke rumahnya, maka akan ada saja kemudahan.

Dari Kota Payakumbuh berjarak sekitar 33 km dengan waktu tempuh satu jam. Kalau dari Padang lebih jauh lagi, jaraknya 150 km dengan durasi perjalanan hampir empat jam. Di rumah Tan Malaka sama sekali tidak ada sistem tiket. Ini bukan objek wisata sejarah, melainkan lawatan minat khusus bagi yang hendak menapaki jejak kesejarahannya.

Untuk selanjutnya, pahami medan perjalanan dan baca-baca biografi Tan Malaka, agar ketika berada di sana kita dapat memahami esensi sejarah yang melekat pada rumah Tan Malaka dan pusaranya. Hal ini untuk jaga-jaga pula jika setibanya di sana sama sekali tidak mendapati penjaga yang dapat memberikan informasi, setidaknya kisah masa kecil Tan Malaka.

Terlebih informasi yang sama sekali tak tertulis di dalam buku-buku ilmiah maupun garapan sejarawan. Seperti ketika orang tua Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak dapat pulang ke negeri Pandam Gadang. Atau informasi dari Ayah Kak Wina yang asli dari Lima Puluh Kota, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka memiliki kemampuan mengubah wajah. Dan dialah yang menjadi imam salat kala orang tuanya wafat.

Meski kondisi rumah Tan Malaka sangat memprihatinkan, saya rasa pada bagian halaman di rumahnya masih ada yang merawat. Begitu pun kuburannya. Hanya saja saya berandai-andai adanya tindakan tepat dari pihak yang tepat dan memberikan perhatian lebih pada peninggalan sejarah.

Peninggalan sejarah bukan bermakna mesti ditinggalkan, melainkan diperhatikan. Terlebih Badan Pelestarian Cagar Budaya sudah menancapkan namanya sendiri. Keberlanjutan pelestarian tentu menjadi hal yang sangat diharapkan. Kita berbicara sejarah dan ingatan yang mesti terus dirawat.


Referensi:

Haryanto, A.  (2023, 2 November). Biografi Tan Malaka dan Kisah Hidup Sang Pahlawan Nasional. Tirto.id. Diakses pada 27 Mei 2024 dari https://tirto.id/biografi-tan-malaka-dan-kisah-hidup-sang-pahlawan-nasional-ggw8.
Metro TV. Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka (1). Youtube Video. 12 Juli 2017. Dari https://youtu.be/JwpUQxWJEVg?si=ryf3SRc6QzjKzo59.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/feed/ 0 42363
Membuka Lembar Sejarah di Museum Multatuli Lebak https://telusuri.id/membuka-lembar-sejarah-di-museum-multatuli/ https://telusuri.id/membuka-lembar-sejarah-di-museum-multatuli/#respond Sat, 08 Apr 2023 04:00:26 +0000 https://telusuri.id/?p=38016 Tiga tahun silam saya menuntaskan buku berjudul Max Havelaar karya monumental bergenre sastra klasik dari penulis bernama pena Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Karya sastra tersebut amat membekas sekali. Selain terkesan klasik bernuansa tahun 1850-an...

The post Membuka Lembar Sejarah di Museum Multatuli Lebak appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiga tahun silam saya menuntaskan buku berjudul Max Havelaar karya monumental bergenre sastra klasik dari penulis bernama pena Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Karya sastra tersebut amat membekas sekali. Selain terkesan klasik bernuansa tahun 1850-an yang mengisahkan perjuangan bumiputera, juga membuka mata hati dan jiwa kita sebagai pembaca. 

Bahkan saya baru tahu kemudian, ketika melihat foto seorang teman di tahun berikutnya, menampilkan dirinya di samping patung Multatuli karya pahatan seniman bernama Dolorosa Sinaga. Saya mengira patung pada foto tersebut hanya sekadar monumen yang ditaruh oleh pemerintahan Lebak untuk mengenang Multatuli. Tapi lebih dari itu, di sampingnya terdapat museum yang dibangun sebagai ruang edukasi dan merawat ingatan masyarakat Lebak.

Dari dua rentetan peristiwa di atas. Hari itu di bulan Februari akhir 2023, saya berkesempatan melawat ke Rangkasbitung yang tanpa berpikir akan menyinggahi Museum Multatuli, dan akhirnya berujung singgah di sana.

Alasannya sederhana saja, saya melihat papan informasi titik wisata sejarah Lebak, Kampung Adat Baduy dan kawasan konservasi Ujung Kulon setiba di pintu keluar stasiun. Setelah sebelumnya beranjak dari Stasiun Pasar Minggu–Tanah Abang–Rangkasbitung. Saya terpana melihat tampilan gambar kontemporer di spanduk yang menunjukkan titik Museum Multatuli tinggal beberapa ratus meter lagi.

Saya kala itu bersama Abi, seorang mahasiswa Bangka Belitung. Kami dijemput oleh Akid—kawan saya satu pelatihan nasional—bersama kawannya pula menjemput di Stasiun Rangkasbitung. Satu pertanyaan saya pada Akid kala itu, “Di manakah letak Museum Multatuli itu, Kanda Akid?”

“Tak jauh. Dekat cuma. Bahkan kami sering melangsungkan kegiatan diskusi-diskusi di sana,” ujarnya. Saya terperangah tambah tertarik, dan mengajak ia untuk segera ke sana karena tak mau memendam rasa penasaran. Tetap, Lebak sehabis hujan sudah mendekati Magrib. Akid membawa saya terlebih dahulu rehat di sekretariat salah satu organisasi Universitas Setia Budi.

Museum Multatuli
Di samping patung Multatuli/Raja Syeh Anugrah

Nilai Historis Multatuli & Eksistensi Museum

“Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.” Merupakan salah satu peluru kata-kata yang kerap dikutip dari sosok Multatuli. Ia menjadi dikenang hingga memomumenkannya, bukanlah konsep pengkultusan gaya baru. Tidak juga karena ia telah berhasil menggaungkan semangat perlawanan, dan membumikan kemanusiaan ke tengah-tengah koloni Hindia Belanda.

Tapi juga, oleh keberanian Douwes Dekker menanggalkan sikap merendahkan, meremehkan dan lebih menyetarakan bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi manusia. Bukan untuk dieksploitasi tenaganya dan dipaksa menyelesaikan pembangunan demi kepentingan elit penguasa. Juga oleh sebab ia berhasil meng-abadikan mata penglihatannya ke dalam buah karya berjudul asli Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Belanda) hingga kemudian dikenal seantero negeri, dan menginspirasi—Soekarno dan R.A. Kartini.

Multatuli tidak cukup lama berada di Lebak. Datang bulan Januari 1856 dan dipulang-paksakan bulan April karena ia menyerukan penerapan praktik yang berkeadilan untuk kaum bumiputera—antara orang kulit putih dan pribumi adalah sama. Ditambah posisi yang tak menjanjikan hanya sebatas Asisten Residen Lebak dari atasannya Residen Banten Brest van Kempen yang bertolak dari pemikiran humanis Dekker, ia pun tersingkir.

Seorang kelahiran 2 Maret 1820 di Amsterdam itu yang dibesarkan di tengah dinamika dan turut merasakan bagaimana kondisi hidup bersama buruh tekstil di sana. Kemudian kembali ke Eropa dan merampungkan karyanya tahun 1859 di Brussel, Belgia dan mengedarkan karyanya seluas-luasnya pada tahun 1860 hingga diterjemahkan ke dalam 40 bahasa.

Hal yang tak boleh dilewatkan pula. Sebelum karyanya terbit, Douwes Dekker pernah menuliskan secarik surat kepada Raja Willem III. Tertulis, “Apakah yang mulia tahu 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” Raja Willem III itu tak bergeming. Sementara Dekker meski tak lagi memijakkan kaki di tanah Hindia Belanda, ia tetap berjuang dan berusaha membongkar praktik kotor kolonialis agar membuka mata dunia.

Saya amat takjub oleh historis Multatuli yang sarat nilai dan amat filosofis sehingga tak mau melewatkan kesempatan emas untuk mengunjungi Museum Multatuli yang kini berdiri gagah di Rangkasbitung, Lebak. Sebelum tengah hari saya, Akid dan Abi berjalan kaki ke sana. Bangunan yang menyebelah dengan Perpustakaan Daerah Saidjah dan Adinda itu menyatu dalam satu komplek.

Menurut beberapa informasi yang saya dapatkan, Museum Multatuli diresmikan pada 11 Februari 2018 setelah diwacanakan pada Mei 2017. Perhelatannya langsung diresmikan oleh Pak Hilmar Farid selaku Dirjen Kemdikbud RI dan Bu Iti Octavia Jayabaya selaku Bupati Lebak. Tentu perhelatan yang meriah ini akan menjadi nilai dari museum dan menarik lebih luas minat masyarakat lingkup instansi, termasuk sekolah-sekolah yang ada di Lebak.

Museum Multatuli
Bersama siswa SD di Museum Multatuli/Raja Syeh Anugrah

Saya mendapati suasana yang berbeda dari biasanya. Di samping lalu-lalang masyarakat Lebak yang tidak begitu padat seperti ibukota Jakarta, museum ini pun menjadi rumah peradaban sebagai tempat belajar bagi anak sekolahan bersama para guru pendamping. Kala itu, saya bertukar cerita dan sedikit bertanya pada serombongan siswa SD itu. Sejauh manakah mereka mengenal Multatuli. Alhasil, salah satu anak menjawab, “Patung ini adalah Eduard Douwes Dekker.”

Jawaban sederhana dari pengetahuan si anak itu, bagi saya sudah lebih dari cukup. Sebab dari sanalah seiring masa pertumbuhan, ketertarikan mereka akan dikembangkan lewat mesin pencari di gawai, internet maupun buku-buku di perpustakaan. 

Tak jauh pula dari monumen Multatuli, juga berdiri patung Adinda. Sosok perempuan bumiputera yang menjadi tokoh di dalam karya sastra klasik Max Havelaar dengan Saidjah tokoh lelaki bumiputera lainnya.

Di Museum Multatuli, saya kembali mengenang dan mengingat bagaimana Max Havelaar mengubah segalanya. Keberanian ia sebagai asisten residen membongkar praktik gelap dari Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara dan Demang Pajangkujang Raden Wira Kusuma, menumbuhkan jiwa merdeka masyarakat pribumi melawan kesewenang-wenangan.

Sekilas Pandang Museum Multatuli

Tertulis sajak di salah satu ruangan, “Saya telah menyaksikan/bagaimana keadilan telah dikalahkan/oleh para penguasa/dengan gaya yang anggun/dan sikap yang gagah. Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka,” oleh W.S. Rendra berjudul lengkap “Sajak Demi Orang-orang Rangkasbitung”.

Sajak itu terpajang indah di salah satu ruangan. Indah pula sikap Belanda yang pongah digambarkan Rendra dengan sikap seolah-olah ia berbicara kopi di tanah sendiri padahal tanah dari masyarakat bumiputera. Itulah kiranya sepenggal sajak yang bisa diresapi secara langsung dari Museum Multatuli, dan beberapa ungkapan sastrawan lainnya termasuk Pramoedya Ananta Toer.

Museum Multatuli berdiri di atas tanah seluas 1934 meter kubik. Memanfaatkan bangunan bekas Wedana Rangkasbitung yang berdiri sejak tahun 1923. Jika di depan saya mendapati pendopo, maka di dalam saya mendapati ada sekitar tujuh ruangan berisikan masing-masing histori bersambung.

Pengunjung bisa masuk setelah registrasi dan membayar simaksi tiket yang cukup murah Rp2.000/orang. Saya, Abi, dan Akid sudah bisa masuk menjelajahi ruang narasi museum dengan aneka bukti fisik, artefak, dan buku replika Max Havelaar dalam berbagai bahasa.

  • Museum Multatuli
  • Museum Multatuli

Di ruang pertama, saya bisa melihat secara langsung tampilan instalasi patung Douwes Dekker yang menghadapkan kepala ke arah kanan. Di ruang selanjutnya terdapat penjelasan sejarah kopi mengapa ia sampai di Rangkasbitung, Lebak, dan sekitarnya; beberapa pajangan alat pembuat kopinya serta ikat kepala dari masyarakat Baduy Luar, Baduy Dalam dan topi residen.

Ruang selanjutnya ke arah dalam dengan pola berbentuk ‘T’ itu semakin nampak luas. Ada pajangan batu ubin bekas rumah Douwes Dekker lama, karya-karyanya yang replikaan, salinan surat kepada Raja Willem III dan ketakjuban tokoh nasional yang terilhami dari sosok Multatuli. Berkenaan tata ruang, Museum Multatuli didesain dengan gaya modern fraktal yang tidak simetris dan terdapat sistem pencahayaan elegan.

Akses ke museum tidaklah sulit. Dari stasiun Rangkasbitung pengunjung bisa naik angkutan kota atau ojek menuju arah Alun-alun Lebak. Sementara rute kereta bisa diakses dari Stasiun Tanah Abang dengan lama perjalanan hingga dua jam dari Tanah Abang.

Pandangan saya terhadap Museum Multatuli sama halnya memandang timbulan matahari di pagi hari. Meski berdiri sudah cukup lama dari tahun 2018, tapi energinya masih tetap menyala sampai kapan pun. Karena karya Multatuli tak akan pernah lekang di panas dan tak akan lapuk di hujan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membuka Lembar Sejarah di Museum Multatuli Lebak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membuka-lembar-sejarah-di-museum-multatuli/feed/ 0 38016
Gunung Singgalang dalam Kabut Kenangan https://telusuri.id/gunung-singgalang-dalam-kabut-kenangan/ https://telusuri.id/gunung-singgalang-dalam-kabut-kenangan/#respond Fri, 24 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37277 Jika beberapa gunung di Sumatra Barat memiliki puncak yang menurut pandangan saya memiliki panorama indah, Gunung Singgalang justru memberikan nilai dan sensasi seminatural khusus dari sejumlah elemen; hutan pimpingan, lumut, telaga, dan adanya sutet pemancar—alias...

The post Gunung Singgalang dalam Kabut Kenangan appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika beberapa gunung di Sumatra Barat memiliki puncak yang menurut pandangan saya memiliki panorama indah, Gunung Singgalang justru memberikan nilai dan sensasi seminatural khusus dari sejumlah elemen; hutan pimpingan, lumut, telaga, dan adanya sutet pemancar—alias tidak memiliki puncak yang menawarkan pemandangan.

Sedikit dari kebanyakan pendaki ketika naik gunung punya motivasi untuk menapaki puncaknya. Meski ada sanggahan dari pendaki bijak yang mengatakan, “puncak hanyalah bonus” atau ungkapan lain, “sampai mana batas kemampuan kita dalam mendaki, keselamatan nomor satu, puncak nomor dua”.

Dua contoh ungkapan di atas menurut saya tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar. Sebab pendaki yang telah memutuskan untuk mendaki, pasti memiliki konsep, motif maupun motivasi, dan paling utama keselamatan. Sementara perihal siap-siaga dalam pencegahan terjadinya trouble tak luput dari perhatian utama. Oleh sebab itu, puncak secara otomatis menjadi parameter dari misi pendakian.

Namun hal ini tidak akan berlaku jika teman-teman mendaki Gunung Singgalang yang sebelah-menyebelah dengan Tandikek dan Marapi. Singgalang secara geografis berada di Desa Tanjuang, Kenagarian Pandai Sikek, Kabupaten Agam yang langsung berbatasan dengan Bukittinggi dan Padangpanjang.

  • Gunung Singgalang
  • Gunung Singgalang

Singgalang memiliki ketinggian 2877 mdpl. Dengan ketinggian tersebut, motivasi kebanyakan pendaki ke sini adalah menyambangi hutan lumut dan Telaga Dewi—telaga yang menurut perspektif geologi terbentuk dari letusan gunung api ribuan tahun silam, lalu kemudian membentuk kaldera. Kaldera itulah yang kini menjadi telaga lantaran sudah tidak aktif lagi. Sementara menurut cerita oral yang beredar di lingkungan masyarakat setempat, Telaga Dewi berasal dari legenda seorang anak manusia yang dikaitkan dengan adanya pula telaga lain bernama Telaga Sikumbang.

Keberadaan telaga inilah yang kemudian menjadi destinasi dari sejumlah pendaki yang hendak berkunjung ke Singgalang. Soal jalur, Singgalang adalah gunung dengan daya tarik dan keunikan yang dimilikinya. Hal ini terlihat dengan adanya hutan pimpingan atau alang-alang yang melintang di awal jalur pendakian. Jadi teman-teman akan dibuat menunduk terlebih dahulu sebelum memasuki jalur selanjutnya.

Singgalang dan Lain-lainnya

Kaitan jalur pimpingan di awal pendakian Gunung Singgalang sama halnya konsep rumah adat yang ada di Desa Sade, Lombok Tengah. Di Sade, pintu rumah dibuat lebih rendah dengan filosofi, setiap orang yang akan masuk ke dalam rumah itu mesti merunduk sebagai bukti penghormatan terhadap tuan rumah.

Singgalang pun begitu juga. Dengan beban tas ransel yang berat dan aneka barang bawaan lainnya, saat itu saya dipaksa merunduk oleh pimpingan yang entah faktor kesengajaan demi mempertahankan alamiah jalur pendakian atau ada indikator lainnya. Sehingga seolah-olah di sana saya kembali dibuat refleksi—menerapkan konsep penghargaan diri terhadap alam.

Berbicara rute, teman-teman yang berasal dari luar Sumatra Barat yang hendak menyambangi Gunung Singgalang bisa lewat jalur udara dan jalur darat. Jalur udara melalui Bandara Internasional Minangkabau, Padang Pariaman yang berlanjut dengan perjalanan darat sekitar 2,5 jam ke Koto Baru, Kabupaten Agam melewati Padang Pariaman, Kayu Tanam, Padangpanjang hingga tiba di lokasi.

Begitu pula jika menempuh perjalanan melalui jalur lainnya, bisa lewat Kota Solok atau Kab. Solok, lintas Singkarak. Ada pula langsung melewati jalur Batusangkar tembus Batipuah atau Ombilin. Dan ada pula yang akan terlebih dahulu singgah ke Bukittinggi, jika dari arah Pasaman atau Payakumbuh, yang diteruskan perjalanan ke lokasi hanya 30-45 menit lagi.

Sementara untuk teman-teman pendaki yang menggunakan kendaraan pribadi, bisa langsung menuju ke basecamp. Jika pun ada yang naik kendaraan umum, pendaki biasanya akan transit di Pasar Koto Baru baik itu untuk berbelanja perlengkapan logistik dan pendakian. Dari sana, tersedia mobil angkot juga ojek yang akan membawa pendaki langsung ke basecamp melalui jalur Pandai Sikek.

Bercerita sedikit mengenai Pandai Sikek, daerah ini terkenal dengan buah karya hasil kerajinan masyarakat sekitar, yang dikenal sebagai kain songket. Hampir sama dengan yang ada di Silungkang, Sawahlunto. Hanya saja berdasarkan penelusuran singkat, bahwa songket Pandai Sikek dan Silungkang memiliki segi perbedaan dari corak dan historis.

Kembali ke soal pendakian, saya bersama teman-teman mengawali Singgalang dari titik Kota Sawahlunto. Kami menempuh perjalanan yang memakan waktu tiga jam lewat Kota Solok, Kab. Solok, Singkarak, Ombilin, Batipuah, Padangpanjang, Pandai Sikek, dan mendekati basecamp yang ditandai oleh pos pemancar. Saat itu kami tiba pada malam hari sehingga harus beristirahat dahulu untuk memulai pendakian esok pagi. Tentu, karena pendaki tidak diperkenankan mendaki Gunung Singgalang pada malam hari.

Simaksi Singgalang cukup terjangkau, Rp10.000–Rp20.000 untuk setiap orang. Saat mengurus simaksi di basecamp pendakian, biasanya para pendaki akan mendapatkan pertanyaan seputar kelengkapan alat termasuk P3K dan kondisi kesiapan kelompok. Oleh sebab di basecamp Singgalang belum tersedia tempat istirahat pendaki, maka kami mendirikan tenda di lahan terbuka tak jauh dari pintu rimba. Lebih tepatnya 10 menit naik motor ke arah atas, dekat sutet pemancar sinyal salah satu stasiun televisi swasta. Di sana juga tersedia warung warga yang terkenal dengan minuman teh telur ayam kampung.

Kenangan Pendakian Singgalang

Dua kali sudah saya sambangi Singgalang. Pendakian pertama cukup berkesan karena mendapati hari yang cerah, dan bisa mendirikan kemah tak jauh dari bibir Telaga Dewi. Pendakian kedua kali ini, saya tak seberuntung sebelumnya sebab saat itu cuaca sedang tidak bersahabat, kondisi yang kurang stabil membuat saya hanya bisa berkemah di Cadas. Tepatnya di bawah hutan lumut.

Ketika keesokan hari hendak menuju Telaga Dewi, kabut tebal datang beserta gerimis dan angin. Keadaan ini berlangsung cukup lama hingga kami tiba di telaga, membuat saya yang saat itu mengantar rombongan beberapa teman Taman Baca dan Nusantara Sehat di Telaga Dewi tidak mendapatkan pemandangan apa-apa. Atau bahasa anak pendaki, “hanya dapat tembok”. Namun kami cukup beruntung ketika berada di hutan lumut kondisi tersebut menjadikan perjalanan makin asyik.

Kali pertama ke sini, saya bersepuluh orang yang kebanyakan dari teman-teman satu kenagarian. Sementara kali ini, saya membersamai Kak Rahma dan Kak Nadia dari Nusantara Sehat. Mereka berdua adalah orang Bima, NTB dan orang Aceh Barat yang tengah mengabdi di sebuah Puskesmas yang lokasinya cukup terpelosok. Juga ada teman-teman Taman Baca Rimba, Dharmasraya yang terdiri dari Alam, Saiful, dan Zukhni. Perjalanan kali ini memang tidak sesempurna yang kami harapkan. Namun, ada hal lain yang dapat kami lakukan seperti berdiskusi dan memproduksi ide-ide segar mengenai konsep literasi.

Gunung Singgalang
Foto bersama dengan latar Gunung Marapi/Raja Syeh Anugrah

Meski proses pendakian dinilai sebagai selingan, mencoba menepi dari hiruk pikuk dan kesibukan yang monoton, namun kelak ketika kembali, kami pun mesti siap dengan segala realitas yang akan dihadapi.

Kali ini, saya tidak menceritakan estimasi waktu pendakian guna memantik rasa penasaran teman-teman pendaki agar menikmati setiap etape pos-pos yang disuguhkan Singgalang. Pun, selain Telaga Dewi yang sudah tersohor, pendaki bisa menemukan narasi dan pengetahuan baru tentang legenda dari Singgalang itu sendiri. Jadi, kapan kamu akan singgah ke sini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Singgalang dalam Kabut Kenangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-singgalang-dalam-kabut-kenangan/feed/ 0 37277
Refleksi dari Sebuah Pendakian https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/ https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/#respond Mon, 19 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36676 Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti...

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti pesannya, bahwa “Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Naik gunung menjadi pengunci kalimat terakhir Gie. Beda pendakian Gie pada masa itu, beda lagi fenomena dunia pendakian akhir-akhir ini. Dalam patokan terbatas boleh dikatakan sejak ditayangkannya film 5 cm pada Desember 2012 hingga Januari 2013 silam, membuat jagat dunia pendakian “heboh”. Pendaki berbondong-bondong mulai mendatangi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). 

Sekiranya inilah gambaran fenomena yang berbanding terbalik. Ketika orang berbondong-bondong menjadi “keren” dengan mendaki gunung. Mulai dari amatiran, ikut-ikutan, dan pemula-pemula nekat minim persiapan. Semua membaur. Gunung yang seharusnya memberikan ketenangan, keheningan, dan kesyahduannya alam, malah berubah menjadi ruang terbuka yang bising. 

Padahal dengan ramainya gelombang manusia yang menjajaki gunung dapat berefek buruk jika dengan intensitasnya tinggi. Maka, perlu kebijakan pengelola yang memberi jeda gunung hingga tiga bulan sebagai bentuk pemulihan. Sebab jika diabaikan begitu saja lantaran sekadar pencarian keuntungan, ditakutkan membuat gunung kehilangan orisinalitasnya sebagai bagian dari alam raya.

Alam raya, jika ditilik kembali, berisikan berbagai komponen atau unsur-unsur seperti tetumbuhan dan hewan. Begitu pun tanahnya yang mengandung unsur hara bagi kesuburan dan keberlangsungan setiap makhluk hidup. Juga manusia, makhluk ciptaan yang diberikan fisik utuh dan akal sehat sekaligus pionir yang mampu mengelola lingkungan itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman, suatu waktu saya pernah ditanya tentang lelucon reflektif dari seorang Bapak SAR (Search and Rescue), “Coba bayangkan jika satu gunung yang didaki oleh 1000 pendaki dalam rentang waktu satu pekan, dan itu terus-menerus dilakukan tanpa henti, kemudian setiap 1000 pendaki itu membuang air kecil. Lantas apa yang terjadi dengan tanah-tanah di gunung itu?”

Sabana merbabu
Sabana Merbabu berlatar belakang Merapi/Raja Syeh Anugrah

Saya diam sejenak. Sebab saya berpikir bahwa hal kecil tersebut tentu akan menjadi hal besar jika diabaikan. Dan ternyata dalam penjelasan dari pertanyaan itu oleh si penanya, ia mengonsepkan bahwa setiap manusia tidak menentu apa yang ia konsumsi, lalu ketika ia mengeluarkan kotoran, ada zat-zat kimia yang berbahaya turut terbawa kemudian mencemari tanah-tanah. Kalau sudah tercemar, maka unsur hara di gunung akan terganggu dan mengganggu ekosistem di sana.

Dari hal kecil tersebut saya mengiyakan konsepsi itu sekaligus merenungi setiap perjalanan pendakian selanjutnya. Kemudian berpikir ulang, kalau saja etika lingkungan yaitu hubungan manusia dengan alam belum tercipta dan belum menemukan esensinya, bagaimana dengan hubungan manusia dengan manusia ketika di gunung?

Merefleksikan Pendakian

Konsepsi Gie tentang gunung begitu sederhana. Sesederhana ketika ia menghasilkan buah pikir dan kekagumannya pada Lembah Mandalawangi yang terus-terusan ia sambangi ketika lelah dengan hiruk-pikuk perkotaan. Lembah yang memberi ketenangan dan jauh dari kebisingan. Lembah sejuk yang menawarkan refleksi dan introspeksi.

Dalam puisi Sebuah Tanya, Gie menuliskan, “Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi/kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram/meresapi belaian angin yang menjadi dingin.” Betapa bernyawanya untaian kata-kata Gie dalam puisi itu, yang betul-betul merefleksikan keberadaan gunung bagi manusia.

Pada suatu perjalanan pendakian, agaknya saya sukar sekali menemukan keheningan seperti keheningan Gie dapatkan saat ia berlama-lama meresapi ketenangan di lembah Mandalawangi. Walau persepsi ini tidak memukul rata secara keseluruhan, dan perlu diakui masih banyak pula gunung-gunung yang benar-benar hening, tenang dan damai.

Namun begitu, masihkah ada garis-garis hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia serta keramah-tamahan lainnya di gunung saat ini? Jika saja manusia-manusia sudah menyusupi alaminya alam dengan pernak-pernik teknologi yang memecah keheningan alam itu sendiri. Seperti memutar musik tanpa tahu batasan, bersuara keras tanpa tahu telah mengganggu, dan basa-basi yang sulit diterjemahkan apakah itu sebuah ketulusan atas satu kesamaan sebagai pendaki?.

Makin ke sini sepertinya pendakian tengah mengalami pergeseran makna. Sebuah degradasi moral yang menghilangkan jati diri pendaki-pendaki “sejati”. Sehingga keramah-tamahan yang dirindukan itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Tidak lagi seperti sebuah cuplikan di dalam film 5 cm yang menyorot senyuman-senyuman pada setiap apapun, pada waktu kapan pun.

Lagi-lagi ketulusan itulah yang dirindukan, bukan saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap alam lingkungan yaitu gunung. Sejak maraknya dunia pendakian, gunung telah ramai oleh orang-orang yang katanya mencari ketenangan, menikmati alam, dan merefleksikan diri. Disamping itu tak tertahankan pula mengenai bekas-bekas sampah yang telah dibawanya sedari bawah kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa merasa bersalah.

Apakah masih bisa disebut tindakan itu sebuah ketulusan hati, yang mencintai alam sejak mengaku diri sebagai pendaki. Dan inilah sebuah refleksi. Hasil olah renungan dan pertanyaan terhadap diri. Tentang keramah-tamahan dalam bentuk apakah itu?

Lestari Sejak dari Hati

Lestari seharusnya tidak sebatas menjadi slogan semata. Yang didengungkan berulang kali, tanpa henti, dan pada setiap kesempatan yang ada. Lestari juga bukan sebentuk kata yang diucapkan oleh lisan, tapi juga dalam bentuk tindakan. Atau jika boleh berargumentasi, kalau bisa, lestari itu sejak hati.

Perihal hati, bahkan hingga kini saya masih menelaah lebih dalam lagi, hati seperti apa yang sebenarnya saya miliki untuk bisa mewujudkannya ke dalam perlakuan sehari-hari. Perlakuan ketika melangsungkan kegiatan alam bebas seperti mendaki. Hati yang memang dibentuk untuk merespon secara otomatis tentang makna lestari. 

Bagi saya dalam melangsungkan pendakian, perlakuan ketika di lapangan tidak seharusnya menjadi basa-basi, tapi juga setulus hati. Mencitrakan toleransi atas keberagaman dan cara pandang setiap pendaki. Meski saya masih dalam lingkup yang terus berusaha, mencoba menerapkan ketulusan hati. Agaknya tulisan ini saya ketagorikan sebentuk autokritik saya kepada diri sendiri.

Seperti Gie, mencintai Mandalawangi yang diutarakan lewat puisinya, “Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna/aku bicara padamu tentang manfaat dan keindahan/dan aku terima kau dalam keberadaanmu/seperti kau terima daku/.”

Tak ada yang lebih paham, mana yang benar-benar sebuah ketulusan selain kita. Pelaku yang merasakan secara langsung euforia dunia pendakian. Setiap jengkal dari pos ke pos, shelter ke shelter, sabana ke sabana, lembah ke lembah yang diduduki untuk istirahat sejenak. Lalu diri tertegun ketika melihat sampah, dan sampah mulai mengaburkan makna; sudahkah menjadi lestari sejak dari hati?

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/feed/ 0 36676
‘Tektok’ Gunung Lawu via Cemoro Sewu https://telusuri.id/tektok-gunung-lawu-via-cemoro-sewu/ https://telusuri.id/tektok-gunung-lawu-via-cemoro-sewu/#respond Wed, 09 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35985 Tetiba sebuah ide gila terlintas begitu saja. “Ayo malam ini juga kita menuju Lawu,” ujar saya pada Rafid, seorang teman asal Solok, Sumatera Barat. Mengandalkan kontak komunikasi seorang kawan yang berdomisili di Karanganyar. Tepat pukul...

The post ‘Tektok’ Gunung Lawu via Cemoro Sewu appeared first on TelusuRI.

]]>
Tetiba sebuah ide gila terlintas begitu saja. “Ayo malam ini juga kita menuju Lawu,” ujar saya pada Rafid, seorang teman asal Solok, Sumatera Barat. Mengandalkan kontak komunikasi seorang kawan yang berdomisili di Karanganyar. Tepat pukul 01.30 WIB dini hari kami memacu sepeda motor pinjaman berplat AB dari Jogja.

Saya sebut ini nekat, tapi tak nekat-nekat amat. Sebab disamping itu kami masih melandasi perjalanan ini dengan pengetahuan dan mental. Perpaduan inilah yang kami jadikan acuan secara lahir dan batin untuk tancap gas—dan bukan contoh yang baik tentunya. 

Kami tiba di Karanganyar tepat pukul 03.35 WIB. Lalu merehatkan badan di rumah Bang Jun, teman yang menyambut hangat. Di ruang rumah Bang Jun saya tercenung, agaknya perjalanan kali ini serba lugas, kilat, dan cepat. Tak ayal, prinsip Rafid yang unik, yang mengamalkan “ilmu koncek” membuat saya terbawa alur yang serba cepat pula.

Bahkan sampai tidur pun kami hanya dapat tiga jam. Satu jam persiapan kami gunakan untuk sarapan soto—semangkok Rp5.000 plus gorengan—yang ditraktir Bang Jun. Kemudian tancap gas menuju basecamp Cemoro Sewu yang terletak di Sarangan, Kab. Magetan, Jawa Timur yang menurut Google Maps berjarak 37 km dari titik lokasi terkini. 

Dari pukul 09.15 WIB mengawali perjalanan. Berikutnya kami tiba pukul 11.00 WIB di Basecamp Cemoro Sewu. Dan memulai pendakian pukul 11.15 WIB setelah mengurus administratif pendakian seperti mengisi nama, kontak pribadi, darurat, tanggal naik-turun, dan membayar retribusi Rp25.000/orang.

  • Puncak Gunung Lawu
  • Puncak Gunung Lawu
  • Puncak Gunung Lawu
  • Puncak Gunung Lawu

Adapun alasan kami memilih jalur Cemoro Sewu sebab jalurnya terbilang santai dan singkat dengan jarak 7 km menuju puncak dari titik start pendakian di ketinggian 1902 mdpl. Jalur Cemoro Sewu pun telah banyak yang mengulas dan rekomendasi bagi yang hendak tektokan

Entah asing atau tidak bagi sebagian orang menyoal tektokan. Tektokan biasanya dipilih oleh sebab pertimbangan waktu dan kondisi. Sementara kami, lebih mempertimbangkan waktu yang terbatas dan kondisi yang tak memungkinkan lantaran satu lain hal. 

Lewat Cemoro Sewu

Dibandingkan dua jalur lain yakni Candi Cetho dan Cemoro Kandang, kami memilih Cemoro Sewu karena unggul dari jarak dan waktu tempuh. Meskipun jalur Cemoro Sewu didominasi oleh batuan yang tersusun sedemikian rupa, dan membuat ketidaknyamanan bagi sebagian orang. Tapi jarak 7 km dan sudah berada pada  ketinggian 1902 mdpl membuat kami termotivasi. Menurut kalkulasi perjalan kami, dari basecamp menuju pos satu memakan waktu setengah jam lebih. Jalannya berbatu, dan melewati hutan cemara yang terbuka. Dari Pos I hingga Pos II memakan waktu tempuh satu jam. Jalurnya sudah mulai tertutup oleh rimbun pepohonan.

Di sana kami mulai bertemu banyak pendaki, ada rombongan dari Ngawi, Kudus, bahkan Tangerang. Di Pos II kami rehat salat Zuhur. Lalu pukul 13.05 WIB melanjutkan ke Pos III dengan waktu tempuh sekiyar setengah jam. Sepanjang jalur, saya menjadi heran, mengapa jalur ini didominasi oleh bebatuan? Apakah bebatuan yang membentuk jalur ini alamiah atau manusia yang membuatnya?

Puncak Gunung Lawu
Rafid/Raja Syeh Anugrah

Di sela perjalanan, saya banyak pula mengamati tumbuhan mahkota gunung yakni edelweiss yang tumbuh subur. Bentukan pohon cemara yang estetik. Bebatuan yang menghadap langsung ke arah puncak Lawu dan panorama rerimbun hutan penuh misteri. Beberapa saya temukan pula plang larangan vandalisme dan coretan vandalisme itu sendiri.

Setiba di Pos IV, trek mulai terjal. Saya menemukan bekas longsoran menganga akibat dari erosi. Agaknya pendaki mesti hati-hati dan tetap perhatikan pijakan. Tapi menurut saya Pos IV memiliki spot yang cukup menarik untuk merenung sejenak menyaksikan panorama Tawangmangu dari ketinggian. Setelah kami menuju Pos V, sedikit melewati padang sabana, barulah tiba di Pos Sendang Drajat—tempat sumur Lawu berada.

Sendang Drajat menjadi penanda, artinya puncak sudah dekat. Terus ke depan kami berhadapan dengan persimpangan jalan; kanan ke Hargo Dalem tembus ke Warung Mbok Yem dan kiri menuju puncak Gunung Lawu, Hargo Dumilah. Dari sana kami cukup menempuh 15 menit waktu normal. 

Tepat di ketinggian 3265 mdpl saya dan Rafid tiba di Hargo Dumilah pada pukul 15.15 WIB. Kurang lebihnya perjalanan naik sekitar empat jam saja. Di atas sana saya melihat semacam dupa pembakaran, cangkang telur, dan puntung rokok sebagai bentuk simbol kepercayaan lokal.

Puncak Gunung Lawu
Pemandangan mendekati Pos 4/Raja Syeh Anugrah

Melihat Lawu

Sejak banyaknya peristiwa pilu kebakaran hutan di tahun 2015 yang menimpa Gunung Lawu. Hilangnya seorang pendaki di akhir tahun 2018 yang masih menjadi tanda tanya besar keberadaannya. Hingga misteri-misteri lainnya yang dikisahkan sebagai tempat moksanya raja-raja Majapahit seperti  Brawijaya V.

Sematan Gunung Lawu yang dianggap sebagai gunung mistis Indonesia sebenarnya membuat saya agak bergidik ketika hendak menjamahnya kala itu. Meski ketakutan itu lumrah, bagi kami berpikir rasional pun menjadi hal lumrah lainnya sebagai tameng persiapan dalam menstabilkan pikiran agar tetap sehat.

Sekilas bertanya ke penjaga loket bahwa tak masalah jika hendak tektok, akan aman-aman saja dan tak usah khawatir. Beliau memberitahukan di jalur pendakian ada beberapa pos dengan mata air dan warung warga. Satu pesan lainnya “Jangan sampai turun malam, ya, Mas. Usahakan sore sudah kembali ke bawah.” Tapi melihat kondisi saat itu, dengan waktu start pendakian pukul 11.15 WIB saya berpikir ulang apakah bisa?

Sepanjang jalur pendakian saya mengisi waktu untuk mengamati beberapa ritus atau pos yang digunakan sebagian orang menaruh dupa. Terlihat pula burung jalak gunung yang konon jika pendaki memiliki niat baik, tulus dan bersih ia akan dikawal hingga ke puncak, bahkan turun kembali ke bawah. 

Pengamatan lainnya saya menyoroti karakteristik bebatuan Lawu yang menambah penasaran sekaligus kekaguman. Dalam sejarahnya, Gunung Lawu termasuk gunung api atau tipe vulkano yang “istirahat” dengan letusan terakhirnya pada tahun 1885. Serta tempat moksanya (menyepi dari dunia) seperti Kyai Jalak dan Sunan Lawu. Juga legenda Raja Brawijaya V dan Sabdopalon.

Di beberapa titik saya melihat Sumur Jolo Tundo yang ditandai oleh plang “pendaki dilarang masuk” juga Sumur Sendang Drajat yang ditandai plang “buka sendal” jika hendak mengambil air atau wudu di sana. Ketika melintasi sabana di Lawu saya melihat adanya semacam goa. Tapi dari sekian tampakan itu, saya juga salut dengan keberadaan Warung Mbok Yem sebagai warung tertinggi di Indonesia.

Namun sayangnya saya dan Rafid tidak sempat singgah di sana karena mempertimbangkan waktu, dan terngiang nasihat untuk tidak turun pada malam hari. Tapi tetap saja kami mendapati malam hari ketika tiba di Pos II menuju Pos I dan basecamp. Dari sanalah kami mulai mengeluarkan senter dan berjalan hati-hati.

Di perjalanan turun entah kami tersugesti atau sedikit kelelahan. Ketika tiba-tiba terdengar suara dehem yang ketika saya telusuri ke arah depan dan ke samping tak ada apa-apa. Sontak kami beristighfar dalam kondisi mencekam. Tapi ternyata di belakang kami memang ada warga lokal yang mendadak nyalakan senter kepala sambil membawa kayu dari hutan.

Kami pikir apa dan siapa atau ada apa-apanya. Syukurlah bukan apa-apa. Kami sangat senang dan bersyukur sekali sehari di Lawu melalui via Cemoro Sewu dengan jalur berbatu, dapat kami lalui kembali dengan selamat dan dalam keadaan sehat wal afiat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Tektok’ Gunung Lawu via Cemoro Sewu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tektok-gunung-lawu-via-cemoro-sewu/feed/ 0 35985
Melintas Bukit Menumbing, Lalu ke Tanjung Kalian https://telusuri.id/melintas-bukit-menumbing-lalu-ke-tanjung-kalian/ https://telusuri.id/melintas-bukit-menumbing-lalu-ke-tanjung-kalian/#respond Mon, 15 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34868 Niat berkemah di Bukit Menumbing kandas. Izin tak diberikan pihak pengelola kawasan sebab peraturan yang tidak kami ketahui. Alasan rasional yang dapat diterima, Bukit Menumbing adalah tempat strategis—pengasingan tokoh nasional di masa pergolakan politik—sekaligus tempat...

The post Melintas Bukit Menumbing, Lalu ke Tanjung Kalian appeared first on TelusuRI.

]]>
Niat berkemah di Bukit Menumbing kandas. Izin tak diberikan pihak pengelola kawasan sebab peraturan yang tidak kami ketahui. Alasan rasional yang dapat diterima, Bukit Menumbing adalah tempat strategis—pengasingan tokoh nasional di masa pergolakan politik—sekaligus tempat aset berharga berada.

Saya dan Abid menjangkau Bukit Menumbing dari Parittiga. Mengandalkan mobil tumpangan secara estafet, sore itu kami tiba di muka gerbang kawasan setelah menaiki mobil terakhir. Saat turun, di muka gerbang kami disambut sekelompok pemuda desa yang menawarkan tumpangan.

Tampak Muka Gerbang Kawasan Tanjung Kalian
Tampak muka kawasan Tanjung Kalian/Raja Syeh Anugrah

Awalnya kami tolak karena mengira Menumbing dapat diakses dengan jalan kaki. Namun lantaran kondisi fisik yang lelah dan usulan Abid yang sedikit memaksa, saya mengiyakan tawaran tersebut. Lalu, seseorang yang saya anggap ketua kelompok mengutus dua orang plus motor untuk mengantar kami.

Sesaat kemudian, saya bersyukur mengatakan setuju. Sebab, jarak perjalanan cukup jauh dan memerlukan 10 menit waktu tempuh. Itupun baru sampai di pos jaga. Di sana kami berhenti dan bernegosiasi perihal izin kemah yang berujung kecewa, tapi masih bisa berkunjung untuk sekedar melihat-lihat. 

Tanpa berlama, tas ransel diletakkan di pos jaga. Saya, Abid dan dua pemuda lekas gegas menuju Puncak Menumbing. Dihitung kembali, perjalanan saat itu membutuhkan waktu tempuh 15 menit. Tentu tak terbayang jika kami benar-benar jalan kaki. Tak lama setelah itu, kami tiba di puncak.

Di sana saya melihat jelas bangunan klasik pesanggrahan yang dahulu pernah ditempati Soekarno dan tokoh lainnya saat diasingkan Belanda. Di dalam pesanggrahan terlihat mobil klasik berplat BN.10 dan foto-foto lawas terpampang rapi. Namun saat itu kawasan telah tutup, dan kami tak bisa masuk.

Terus ke bawah, saya bertemu patung Hatta dengan sebuah tulisan di epitafnya. Selang itu, salah satu pemuda mengajak kami melihat lubang yang konon dibangun pada masa penjajahan Jepang. Letaknya tak jauh dari pesanggrahan, cukup menuruni tangga yang menurut saya tak karuan dan curam. 

Setelah cukup puas di Menumbing, dan mengingat rencana yang gagal, kami memilih turun bersama pemuda desa tersebut. Singgah mengambil tas ransel, kemudian turun ke gerbang semula tempat pemuda desa tengah duduk santai menunggu kawannya, termasuk kami kali ini. Mereka yang awalnya kami curigai secara spontan, ternyata adalah orang-orang baik yang berusaha beramah-tamah pada kami—para pelancong.

Dari sana kami diajak ke Desa Air Belo, tempat mereka bermukim. Hal ini di luar harapan, sebab dalam perjalanan kami sempat mendengar rumor tentang warga masyarakat daerah yang sedang kami singgahi. Tersentak perasaan negatif, saya langsung menimpali dengan pikiran positif. Akhirnya terjawab saat tiba di desa, mereka justru memberi usulan masuk akal pada kami agar berkemah saja di sepanjang Pantai Tanjung Kalian.

Tak lama setelah itu, ketua kelompok menginstruksikan dua orang temannya mengantar kami ke Pantai Tanjung Kalian. Di sana kami berpisah dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan-kebaikan mereka.

Mercusuar Tanjung Kalian

Tanjung Kalian Light House
Tanjung Kalian Light House/Raja Syeh Anugrah

Usai berpisah dengan dua pengantar—pemuda Desa Air Belo. Kami dihadapkan pada Mercusuar Tanjung Kalian. Mengamati sejenak, lalu sepakat masuk ke dalam sekadar melihat. Di dalam kami malah disambut oleh seorang penjaga yang kemudian diketahui namanya, Pakde Wagiran.

Dari perkenalan singkat itu, Pakde Wagiran lantas mengenalkan kami kepada seorang mantan angkatan yang saya lupa dari kesatuan mana, sekaligus mengusulkan izin bermalam di kawasan mercusuar ketimbang di luar.

Setelah menjelaskan panjang lebar tujuan, bapak angkatan akhirnya mengizinkan kami bermalam di kamar bagian utara bangunan. “Penghuni di sana tengah ke luar kota dalam waktu lama,” ujarnya. 

Kabar baiknya, bapak angkatan pun mengizinkan kami jika esok hendak naik ke mercusuar untuk menyaksikan tampakan pantai dan dermaga bersejarah bekas atmosfer Perang Dunia (PD) ke-II pernah berkecamuk.

Malam yang bersahabat, kami berkumpul hangat di beranda kediaman bapak angkatan. Di sana kami diajak makan bersama dan bercerita panjang mengenai pengalaman Pakde Wagiran, bapak angkatan dan ada satu orang lagi seorang Tionghoa yang mualaf. Hal yang kami syukuri saat itu ialah mereguk banyak sekali pengetahuan.

Saya berpikir, perjalanan tak hanya sekadar menyaksikan keelokan tampakan alam. Dibalik itu, bahkan sampai kami berada di kawasan bersejarah yaitu Mercusuar Tanjung Kalian yang dibangun dengan gaya arsitektur Inggris oleh kolonialis Belanda pada tahun 1862. Peristiwa ini adalah agenda tanpa rencana yang banyak memberikan pelajaran.

Jika ditilik lagi, letak Tanjung Kalian berada di Kecamatan Muntok, Bangka Barat. Secara geografis memang di ujung barat, tetapi wilayah ini adalah pintu masuk Pulau Sumatra-Bangka Belitung. Sebab bersebelahan dengan pelabuhan yang terhubung ke Tanjung Api-api di Sumatra Selatan.

Sementara itu, mercusuar ini berfungsi sebagai menara pandang dan rambu-rambu bagi kapal yang akan merapat atau melintas. Tinggi menaranya kira-kira 65 meter, memiliki warna merah-putih. Kerja terberat sekaligus keharusan karena menyangkut khalayak adalah mengganti bohlam lampu jika mengalami kerusakan.

Berdasarkan informasi saat itu, lampu mercusuar akan hidup pada pukul 17.00 WIB dan mati di jam 06.00 pagi WIB. Disela-sela obrolan, Pakde Wagiran turut menceritakan sebuah kabar yang konon salah satu pohon sukun di kawasan Mercusuar Tanjung Kalian ini pernah ditanam oleh Soekarno kala ia berada di Muntok, Bangka Barat.

Peristiwa Perang Dunia ke-II

Keesokannya di pagi hari yang cerah, saya dan Abid naik ke atas Mercusuar Tanjung Kalian. Sekaligus melepaskan rasa penasaran, bagaimanakah rupa bangunan tua tersebut. Dari pintu masuk menara, saya sudah dibuat bergidik suasananya.

Memerlukan waktu 20 menit untuk sampai ke puncak. Seharusnya bisa lebih cepat, tetapi kami menyelingi dengan berswafoto dan mengamati detail seluk-beluk bangunan yang agak kelam tersebut. Di setiap lantainya terdapat sirkulasi udara berdiameter 30 cm. Dan menurut perhitungan total bangunan ini terdiri dari 16 lantai. 

Menjelang ke atas, tangga beton berganti tangga kayu. Di atas saya sudah mulai melihat cahaya muncul, dan setibanya pemandangan menakjubkan hadir. Puncak mercusuar berbentuk balkon dengan pagar-pagar setinggi 50 cm mengelilingi. Jarak untuk kami berjalan keliling balkon memiliki lebar 0,5 meter.

Dari atas saya dapat menyaksikan kapal-kapal yang hendak berlabuh, dan berlayar menuju Tanjung Api-api. Ada juga kapal nelayan kembali melaut. Di atas kebiruan laut, saya teringat peristiwa pilu, yaitu tragedi kapal Vyner Brooke yang tengah mengangkut ribuan pasukan militer dan sipil mengungsi dari Singapura kemudian dibombardir oleh pasukan Jepang.

Beberapa waktu saya tercenung, dan merenungi kembali perjalanan yang telah lewat sambil menikmati suguhan keindahan Indonesia bagian Bangka Barat. Telah cukup puas, saya dan Abid memilih turun untuk melanjutkan eksplorasi menuju pinggiran pantai. 

Monumen Memoriam yang Dibangun Pemerintahan Australia 1993
Monumen yang dibangun oleh pemerintahan Australia pada 1993

Kami memulai dengan menyisir bagian timur pantai kemudian menuju barat. Sepanjang menyisir saya melihat monumen penghargaan yang dibangun oleh pemerintahan Australia pada tahun 1993 sebagai bentuk memoriam tewasnya 67 perawat akibat kebengisan pemerintah Jepang. 

Menilik kembali, peristiwa tersebut terjadi pada 14 Februari 1942, sekaligus sebuah tragedi Selat Bangka lantaran turut menewaskan ribuan pengungsi. Ekor masalah ini terjadi karena imbas Perang Pasifik dan penyerangan pesawat tempur Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941, sehingga membuat suasana memanas.

Meneruskan perjalanan lebih menjorok ke bibir pantai, saya menemukan cairan aneh berwarna hitam kental dan kenyal. Cairan itu tidak satu-dua, melainkan banyak sehingga terbilang mencemari pantai. Saya coba tusuk dengan kayu, tampak berminyak dan berbau. Kami mengira-ngira cairan itu adalah minyak mentah yang berasal dari kapal tongkang di tengah laut sana.

Benar saja, setelah memvalidasi dengan ibu-ibu penjual ketika kami merehat untuk menikmati kelapa muda dan makanan khas Bangka yaitu otak-otak. Ibu itu membenarkan bahwa belakangan memang maraknya aktivitas kapal-kapal tongkang yang mengangkut minyak bumi di lepas pantai Selat Bangka.

Minyak Mentah yang Mencemari Pantai
Minyak mentah yang mencemari pantai/Raja Syeh Anugrah

Naas sekali, pantai seindah itu dicemari oleh hasil alam negeri sendiri. Bahkan saya sempat bertanya-tanya, siapakah yang diuntungkan di sini? Hasil ceracau kami—siklus minyak diambil dari Indonesia, lalu dibawa ke negara-negara tetangga untuk diolah. Kemudian olahan tersebut dibeli kembali oleh Indonesia.

Hari ini adalah hari terakhir kami. Dan saya akan berpisah dengan Abid. Sementara ia akan menyeberang ke Sumatra Selatan meneruskan perjalanan ke Lampung dan kembali ke Bogor. Saya akan meneruskan ke Pangkal Pinang dan meneruskan ke Belitung lalu kembali ke Jakarta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melintas Bukit Menumbing, Lalu ke Tanjung Kalian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melintas-bukit-menumbing-lalu-ke-tanjung-kalian/feed/ 0 34868
Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu https://telusuri.id/melabuhkan-hati-di-danau-kelimutu/ https://telusuri.id/melabuhkan-hati-di-danau-kelimutu/#respond Tue, 26 Jul 2022 02:56:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34623 Pada 2019 silam di bulan Agustus, tekad bulat saya mengantarkan diri melancong dari Jogja ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dalam masa perjalanan, saya semacam mendapat pencerahan dari seorang tuan rumah di Lombok Barat perihal...

The post Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada 2019 silam di bulan Agustus, tekad bulat saya mengantarkan diri melancong dari Jogja ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dalam masa perjalanan, saya semacam mendapat pencerahan dari seorang tuan rumah di Lombok Barat perihal Danau Kelimutu. 

“Terletak di Kabupaten Ende. Dari Labuan Bajo kamu perlu meneruskan perjalanan menuju Ruteng, Bajawa lalu tiba Ende—tempat di mana Kelimutu berada,” tutur Bang Dodik saat saya tengah berada di rumahnya, Narmada.

Tangkapan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai
Tangkapan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai/Raja Syeh Anugrah

Tanpa berlama kata kunci “Kelimutu” saya ketik di Google dan terhamparlah sejumlah informasi. Saya terkesiap ketika melihat sepotong potret nan indah pancaran tiga warna kawah Kelimutu. Meski visual belaka, saya justru terkesima dengan deretan nama kawah danau, seperti Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Ata Polo, dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai yang bernuansa kearifan lokal sekaligus berbau sakral.

Sepercik informasi tersebut telah saya kantongi. Sesampai di Labuan Bajo, dan ketika berada di rumah salah seorang kawan lokal di Flores, saya menanyakan, “Jauh tidak letak Danau Kelimutu dari sini, Bang?” ucap saya dengan penasaran kepada Bang Abs, bikers CB Labuan Bajo.

“Oh, jauh tentu,” singkatnya. “Adakah angkutan umum untuk membawa saya ke sana atau mobil bak yang bisa menumpangkan saya?” Dengan ragu-ragu Bang Abs menjawab “Tentu,” sekaligus mengusahakan dengan mencari informasi lewat relasi teman-temannya. 

Singkatnya, sebab belum menemukan titik terang, Bang Abs berbaik hati meminjamkan motor CB-nya kepada saya. Oleh karena akan melangsungkan petualangan berikutnya, saya kembali membaca literatur ‘Kelimutu’ agar menguatkan tekad dan semangat. Sekaligus mempelajari kebudayaan lokal dan hal apa saja yang mesti dipersiapkan setiba di sana.

Sementara itu dalam beberapa artikel menyebutkan, bahwa Kelimutu berasal dari dua kata menurut bahasa setempat, yakni “keli” yang artinya gunung dan “mutu” yang artinya mendidih. Atau secara definisi, Kelimutu adalah gunung yang mendidih.

Empat Orang Kawan Saya di Ende
Empat orang kawan saya di Ende/Raja Syeh Anugrah

Menyaksikan Langsung

Sebelum Kota Ende disirami cahaya mentari pagi—bersama empat orang kawan—saya berangkat menuju Taman Nasional Kelimutu di Desa Pemo, Kec. Kelimutu, Kab. Ende menaiki sepeda motor dengan waktu tempuh kira-kira 1 jam 45 menit, dan melintasi ‘seribu kelok Flores’ di jalan Trans Ende-Maumere.

Sedikit memacu motor, tibalah kami di lapangan parkir Kelimutu yang ramai dengan warung berjejer, lapak aksesoris, dan pengunjung lintas daerah bahkan negara tengah bersiap-siap menuju puncak. Dari lapangan parkir ini kami masih perlu meneruskan perjalanan hiking selama 40 menit waktu normal. 

Akses jalan menuju objek Danau Kelimutu sudah difasilitasi undakan tangga dan jalan setapak yang cukup rapi. Selain danau menjadi tujuan utama, sepanjang jalur pendakian tumbuhan endemik pun tumbuh subur dan kicauan burung penghuni taman nasional seperti burung Garugiwa berbunyi nyaring menambah kesan bagi para pelancong.

Meski matahari terbit yang menjadi primadona tidak saya dapatkan, setidaknya saya masih bisa menyaksikan langsung wujud asli pancaran tiga warna kawah Kelimutu. Oh iya, kedatangan saya bertepatan hari kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus. Jadi sepanjang jalur saya banyak bersua dengan peserta dari pelbagai lembaga yang hendak memeriahkan perayaan tahunan di puncak Kelimutu.

Dipandu empat orang kawan, saya dibawa menuju puncak agar dapat menyaksikan rupa asli danau yang disakralkan masyarakat setempat itu. Puncak Kelimutu tidak begitu istimewa, namun dari sinilah kami leluasa memandang tiga kawah yang menjorok sedalam ratusan meter. Tertanda konstruksi monumen setinggi tiga meteran bercorak ukiran hasil buah tangan seniman. Monumen yang terletak di puncak tersebut memiliki fungsi sebagai tempat rehat wisatawan. 

Dari atas saya menyaksikan dengan lepas tiga kawah yang terpisah dan saling bersisian. Dua kawah yang bersanding, yakni Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Mbupu. Sementara kawah kecil yang letaknya cukup tersembunyi bernama Tiwu Ata Polo. 

Pertanyaan saya akhirnya terjawab ketika menyaksikan langsung gradasi warna yang berbeda pada setiap kawah, dan kita dapat membaca papan narasi yang dicantumkan pada beberapa titik. Narasi tersebut berisikan hasil riset penelitian dan investigasi yang dilakukan oleh Dr. Greyjoy Pasternack dari University of California.

Berdasarkan sejarah, Kelimutu bisa dinikmati dan dapat diakses oleh umum berawal dari sebuah penemuan berharga yang dilakukan oleh Van Such Telen, seorang berkewarganegaraan Belanda pada tahun 1915. Serta dikenal luas, tak luput dari buah tangan Y. Bouman yang memvisualisasikan keindahan lewat karya tulis pada tahun 1929.

Sejak saat itu Kelimutu mulai kedatangan wisatawan asing yang mendamba keindahan, meski bagi masyarakat setempat keindahan Kelimutu menjadi keangkeran. Keangkeran karena tiga kawahnya, memiliki dimensi lain—roh-roh yang bersemayam dan muara bagi arwah yang telah meninggal. 

Mengenai warna kawah, secara ilmiah terjadi akibat perubahan oksidasi air danau yang dipengaruhi oleh asam garam. Selain itu juga terdapat kandungan mineral, asam rendah, sulfur dan tembaga, serta memiliki gas yang dipengaruhi asam sulfat. 

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di puncak Kelimutu, kami pun turun hendak menyaksikan lebih dekat dua kawah yang berwarna kebiru-biruan dan kehijau-hijauan, kadang kemerah-merahan. Melintasi tangga kembali ke bawah, di tepi jalan, kera tak diundang menghampiri kami dengan malu malu.

Plang Kawasan Arboretum
Plang kawasan Arboretum/Raja Syeh Anugrah

Lewat Arboretum

Taman Nasional Kelimutu memiliki beragam satwa, dan yang paling umum ditemui adalah kera. Selain dari keindahan yang tiada tara. Ada hal lain yang lebih penting namun terkadang luput dari perhatian wisatawan. 

Adalah kawasan berupa “taman pohon” yang berisikan flora khas dari Kelimutu. Kawasan tersebut bernama Arboretum, yakni wilayah terpusat yang menjadi tempat budidaya 78 jenis pohon dari 36 kelompok suku di areal seluas 4,5 Ha yang difungsikan sebagai pusat penelitian, pendidikan dan kerja-kerja ilmiah.

Saya terbilang minim pengetahuan terkait tumbuh-tumbuhan. Namun terbantu ketika mendapati papan informasi yang menarasikan setiap jengkal hal penting dari luasnya Taman Nasional Kelimutu yang ditetapkan sebagai kawasan alam sejak 26 Februari 1992 meliputi lima kecamatan sekitarnya, seperti Ndona, Wolojita, Ndona Timur, Detusoko, dan Kelimutu.

Gapura Kelimutu National Park
Gapura Kelimutu National Park/Raja Syeh Anugrah

Tanpa terasa keelokan alam membawa kami kembali ke lapangan parkir yang dipenuhi sesak wisatawan. Ada yang naik dan ada yang turun. Sementara tak jauh dari tempat kami berdiri, penjaja oleh-oleh  berdiri tegak menawarkan tenunan Flores sambil menenteng kain-kain tersebut yang berupa ikat kepala, tas dan blanket.Di gapura bertuliskan “Kelimutu National Park”, saya menyempatkan berswafoto untuk mengabadikan arsip perjalanan. Matahari yang mulai terik sebelum benar-benar menyengat, ditepis dahulu lalu kami benar-benar beranjak meninggalkan kawasan Kelimutu kembali ke ‘Kota Pancasila’, Ende.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melabuhkan Hati di Danau Kelimutu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melabuhkan-hati-di-danau-kelimutu/feed/ 0 34623
Menyusuri Lawang Sewu di ‘Kota Atlas’ https://telusuri.id/menyusuri-lawang-sewu-di-kota-atlas/ https://telusuri.id/menyusuri-lawang-sewu-di-kota-atlas/#respond Tue, 21 Jun 2022 02:15:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34112 Perlawatan ke Semarang merupakan hal perdana bagi saya. Tak ayal ketika mendengar nama jantung ibu kota Jawa Tengah tersebut, benak saya mengembara ke deretan nama yang pernah saya baca seperti, Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Lama,...

The post Menyusuri Lawang Sewu di ‘Kota Atlas’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Perlawatan ke Semarang merupakan hal perdana bagi saya. Tak ayal ketika mendengar nama jantung ibu kota Jawa Tengah tersebut, benak saya mengembara ke deretan nama yang pernah saya baca seperti, Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Lama, Simpang Lima, Klenteng Sam Poo Kong dan wilayah yang pernah dijajaki Laksamana Cheng Ho pada ekspedisinya ke Nusantara.

Meski perdana, saya bersyukur masih ada kawan satu organisasi yang merespon niat baik persinggahan saya dan Ali—kawan perjalanan kali ini. Tersebutlah sekretariat hijau hitam yang dihuni oleh mahasiswa tingkat akhir dari beberapa universitas di Semarang, sebagai rumah singgah di mana kami bermalam dan rehat sejenak.

Dalam obrolan malam ketika di sekretariat terbesitlah pertanyaan “Di mana letak Lawang Sewu yang sudah cukup sohor dikenal oleh berbagai pelancong sebagai bangunan cagar budaya plus wisata sejarah itu?” Lalu salah seorang kawan bernama Ikhsan menjawab, “Letaknya tidak jauh dari sekretariat ini.”

Saya dan Ali bersepakat akan mengunjungi Lawang Sewu esok hari. Sebelum pagi tiba, malam itu juga saya langsung mengabari Mas Andy, kawan saya yang berdomisili di Kendal. Saya menyampaikan kedatangan saya dan meminta kerelaan untuk memandu perlawatan ke beberapa titik wisata. 

Sesuai kesepakatan tepat jam 10.00 WIB Mas Andy tiba. Selain teman satu pendakian, ia juga alumnus Universitas Diponegoro yang membuat saya berkesimpulan, bahwa ia sudah mengetahui seluk-beluk Kota Semarang. Sehingga tak perlu lagi kebingungan mengenali jalanan kota yang sepintas lalu di beberapa titik mirip Sao Paulo, Brazil, ujar Ali serampangan.

Rencana telah disusun sedemikian rupa seperti terlebih dahulu mengunjungi Gedung SI atau Sekolah Rakyat Tan Malaka, lalu ke Masjid Besar Kauman, Kota Lama, Klenteng Sam Poo Kong dan berakhir di Lawang Sewu. Dari sekian banyak pilihan, saya menimbang dua tempat apakah masuk ke Klenteng Sam Poo Kong atau Lawang Sewu. Hal ini karena mempertimbangkan harga tiket pasca lebaran yang melonjak drastis.

Loket tiket Lawang Sewu/Raja Syeh Anugrah

Akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi kawasan cagar budaya Lawang Sewu dengan harga yang tiket, Rp20.000,-. Maka ketika tengah berada di halaman klenteng, kami hanya berswafoto saja dan menengok sekilas bagaimana tampak dalam dari kawasan yang dahulunya adalah bangunan masjid. Memasuki muka gerbang Lawang Sewu, petugas mengarahkan untuk memindai kartu vaksin di aplikasi PeduliLindungi. Selanjutnya dipersilahkan menuju loket dan membeli tiket yang bertanda logo KAI (Kereta Api Indonesia). Sedikit membaca beberapa peraturan yang terpampang di samping loket, lalu kami berjalan sedikit ke arah dalam yang langsung disambut oleh hiruk pikuk pengunjung dan pelapak musik.

Selayang Pandang Lawang Sewu

Menara bangunan gaya Hindia Baru/Raja Syeh Anugrah

Bangunan yang dirancang dengan gaya Hindia Baru tersebut bernama Lawang Sewu atau dalam bahasa Indonesianya “Pintu Seribu”. Meskipun secara nyata tidak berjumlah seribu, banyaknya “pintu-pintu” yang menghiasi hampir seluruh ruangan dalam kemasan wisata kemudian dinarasikan  menjadi seribu. 

“Pintu-pintu” tersebut sebenarnya adalah jendela yang hanya saja dalam rancangan Belanda dibuat lebih besar dari ukuran jendela biasa. Hal itu dimaksudkan agar angin leluasa masuk ke dalam ruangan karena berangkat dari iklim di Semarang yang panas dan ruang bangunan Lawang Sewu yang sekarang, dahulu pernah difungsikan sebagai kantor pusat Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS).

Lukisan kaca patri Lawang Sewu/Raja Syeh Anugrah

Awalnya saya bertanya-tanya tentang jumlah jendela yang banyak ini. Mengapa bangunan kantor harus ada dan di bangun tepat di jantung Kota Semarang yang letaknya tak jauh dari Tugu Muda sekarang. Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab satu persatu ketika dengan khidmat, saya, Mas Andy, keponakannya, dan Ali, menyusuri serta membaca setiap narasi dan potret yang tersedia.

Sebelum melangkah ke depan, saya kebingungan hendak memulai dari mana. Namun di sini saya membuat pola, mula-mula ke lantai dua bangunan A, menyapu pandang ke seluruh bagian kawasan Lawang Sewu. Masuk ke bilik-bilik ruangan, melewati jendela dan pintu yang tersusun indah, yang dalam estetikanya memikat wisatawan untuk tak sabar memotret.

Tak ketinggalan saya pun turut memotret, lalu mengamati sepenuhnya setiap sudut bangunan yang telah dipugar sejak 2009, 2011 hingga 2013 lantaran Lawang Sewu ditetapkan sebagai cagar budaya. Setiap polesan cat dinding hingga perbaikan lantai, kusen pintu dan jendela, serta langit-langit ruangan dengan amat detail dipugar habis oleh pihak pemerintah demi menghilangkan kesan seram.

Saya berada di bangunan A, sedang melepas pandang/Raja Syeh Anugrah

Dari bangunan A kami menuju ruang lain, yakni museum kecil yang menghadirkan deretan foto perjalanan proses pemugaran bangunan. Selain itu ada juga puing-puing bangunan mulai dari yang asli hingga replika. Di sana pun tertulis narasi lengkap dengan bukti penguat sehingga memudahkan akses informasi bagi wisatawan.

Dari bangunan A selanjutnya kami menuju bangunan B. Pada ruangan pertama, saya bersama wisatawan lain menyaksikan tayangan pendek video dokumenter tentang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Ke ruang sebelah, narasi panjang terkait sejarah kereta api di Indonesia mulai menyala, dan saya cukup lama di sini untuk membaca satu persatu bagian menarik guna menambah wawasan.

Ternyata dalam beberapa ulasan, terdapat sekelumit sejarah kereta api di Sawahlunto—kota asal saya—yang menjelaskan bahwa jalur kereta api masa itu, dibangun sebagai akses untuk membawa batu bara dari Sawahlunto menuju pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) melewati Solok, Padang Panjang, Tanah Datar, Padang Pariaman dan Padang.

Kemudian di ujung lorong yang menghubungkan bangunan B dan C, terdapat pal bertuliskan huruf kapital “G. C. DAUM”, tepat berada sejajar dengan tangga dan kaca patri Lawang Sewu. Seterusnya saya berbelok ke kanan menuju pintu keluar, sebab sepertinya tidak ada lagi hal yang menarik dari bangunan C.

Saya dihadapan lokomotif kereta uap/Raja Syeh Anugrah

Di luar saya menghampiri lokomotif kereta uap berkode (C 23 01) yang juga tersimpan di Museum Kereta Api Ambarawa dan Museum Kereta Api Sawahlunto. Kereta tersebut mengingatkan saya semasa SD di mana lokomotif uap di tahun-tahun 2007-an, pernah difungsikan sebagai kereta wisata. Tapi kini justru tenggelam sebab jalur yang sudah lama ada terbengkalai.

Menutup Perlawatan

Dari sekian banyak wisatawan yang silih berganti memasuki ruang hingga sudut bangunan. Saya jadi ingin bertanya, apakah objek yang tersedia hanya sebatas formalitas arsip dokumentasi untuk konsumsi publik maya atau betul-betul dipelajari sebagai sarana informasi dan pengetahuan umum sejarah.

Namun saja pertanyaan ini saya pendam ketika meninggalkan kawasan dan menjadi bahan renungan. Beralih kembali, Mas Andy dan keponakannya setelah dari Lawang Sewu berniat akan segera ke Kendal, “Jaraknya tidak jauh, cukup 30-45 menit saja,” tuturnya ketika saya menanyakannya. Tetapi sebelum berangkat,  kami terlebih dahulu mencari tempat makan untuk mengisi perut yang keroncongan.

Pilihan jatuh kepada warung nasi padang. Kami sembari beristirahat setelah seharian penuh mengunjungi objek wisata sejarah di Semarang yang berakhir di Lawang Sewu. Di samping itu, kami pun akan menutup perlawatan dengan tak lupa mengucap sepatah perpisahan dan menghaturkan rasa terima kasih. 

Hingga nasi tandas habis, malam pun datang dan hujan mulai membasahi kota yang berjuluk “kota atlas” tersebut. Untuk mengisi waktu, kami banyak berbincang sejarah dan perjalanan. Mulai dari bagaimana menentukan pilihan destinasi ketika berada di suatu kota persinggahan hingga cara bijak agar perlawatan agar tidak sia-sia. Yang secara keseluruhan dibahas secara bebas pandangan sebagai ruang bertukar pikiran.

Namun di sisi lain, tetap saja ada pokok nilai yang menjadi refleksi saya, Ali, Mas Andy dan keponakannya. Sumber refleksinya itu terpatri dari rasa kenyang nasi padang. Lantaran pikiran dianggap sudah cemerlang, maka kami berkesimpulan ke depan ada baiknya pilihan destinasi ditetapkan untuk tujuan mengedukasi sekaligus menambah wawasan.

Kemudian ketika hujan sudah benar-benar reda. Kami mulai beranjak hendak bersiap-siap pulang setelah sebelumnya menunaikan salat terlebih dahulu di masjid al-Fath Universitas Diponegoro. Sementara Mas Andy akan kembali ke Kendal, saya dan Ali kembali ke tempat inap di sekretariat yang berlokasi tak jauh dari Universitas Negeri Semarang. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Lawang Sewu di ‘Kota Atlas’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-lawang-sewu-di-kota-atlas/feed/ 0 34112
Dari Jogja ke Blora, Melawat ke PATABA https://telusuri.id/dari-jogja-ke-blora-melawat-ke-pataba/ https://telusuri.id/dari-jogja-ke-blora-melawat-ke-pataba/#respond Wed, 15 Jun 2022 01:07:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33994 Bagi Pram, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya,” tutur Pak Soesilo Toer mengulangi ungkapan kakaknya, Pram, saat saya tengah menyambangi pustaka sekaligus rumahnya. Telah lama saya ingin berkunjung...

The post Dari Jogja ke Blora, Melawat ke PATABA appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi Pram, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya,” tutur Pak Soesilo Toer mengulangi ungkapan kakaknya, Pram, saat saya tengah menyambangi pustaka sekaligus rumahnya.

Tampak muka Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa/Raja Syeh Anugrah

Telah lama saya ingin berkunjung ke Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) di Blora, yang diresmikan bertepatan pada hari kematian Pram, 30 April 2006 lalu. Dan barulah di tahun 2022 selepas merayakan hari raya, keinginan itu terwujud. 

Saat itu selang dua hari Idulfitri 1443 H dilangsungkan, saya bersama tiga orang kawan berkesempatan melawat ke Blora. Ketiga kawan saya ini, sengaja tidak kembali ke kampung halaman karena beragam alasan. Lalu dari Jogja kami sepakat akan berangkat mengendarai sepeda motor.

Pagi-pagi usai sarapan, kami gegas meluncur lewat rute jalur Klaten, Solo, Surakarta kemudian belok ke Purwodadi. Dengan kondisi jalan ala kadarnya, waktu kami tersita akibat kondisi mudik dan akses yang kurang memadai. Ketika memasuki jalan lintas Purwodadi sebagai jalur alternatif, kecepatan motor terpaksa dilambatkan.

Menjelang zuhur, salah satu kawan bernama Resmi mengarahkan perjalanan untuk rehat sejenak di rumah kenalannya di sebuah desa yang tak jauh dari pusat Kota Purwodadi. Kami merespon tawaran itu dengan senang hati. Selain bisa istirahat, setidaknya bisa berhari raya.

Dua jam berlalu. Selama di sana, tuan rumah ramah sekali. Kami disuguhkan nasi Padang, kue-kue, sirup segar dan nasi lauk sebelum berpamitan. Siang itu cuaca masih panas, namun kami mesti bergegas. Kami menuju Blora—estafet terakhir. Kemudian di tengah jalan hujan menghadang kami sebanyak dua kali. Setelah menunggu dengan sabar, akhirnya kami bisa meneruskan kembali perjalanan dengan tantangan lain, yakni melintasi hutan jati—identitas Blora—sekaligus mengingatkan masa suram era politik kolonialis Belanda dan pembantaian dalam sejarah.

Sebelum Magrib berkumandang kami telah tiba di gapura bertuliskan “Blora Mustika.” Rehat sejenak lalu meluncur ke perhentian akhir, rumah Gufron. Salah satu kawan sejurusan dan komunitas yang telah berlapang dada menyambut kedatangan.

Gapura Blora Mustika/Raja Syeh Anugrah

PATABA, Soesilo Toer & Pram

Jarak antara PATABA dengan rumah Gufron cukup terjangkau, jadi tak perlu risau. Hal ini memantik ide untuk melakukan kegiatan lain terlebih dahulu, yakni ke pasar dan memasak. Ketimbang buru-buru menuju rumah Pak Soes yang bisa jadi pagi itu sedang beraktivitas.

Pagi sebelum ke pasar, ibu Gufron menyuguhkan nasi pecel berbungkus daun jati—terima kasih setinggi-tingginya atas keramah-tamahan tersebut—lalu kami ke pasar membeli bahan masak untuk membuat rampa rw, kuliner khas dari Sulawesi Utara yang akan dimasak oleh Ali, pemuda Kotamobagu.

Menjelang siang hari, saya, Gufron, dan tiga kawan lainnya yang sudah siap-sedia mula beranjak. Menempuh waktu 15 menit, kami tiba di pelataran PATABA. Di sana saya mendapati Pak Soes tengah merebahkan badan kemudian seketika terjaga karena kedatangan kami. Lalu berdiri dan menyambut dengan ramah.

Motor legend Pak Soes untuk me-Rektor/Raja Syeh Anugrah

Pak Soes menyilakan kami masuk. Sekilas pandang, di halaman saya melihat motor yang biasa dipakai me-rektor (ngorek yang kotor-kotor) dan aneka hasil perburuannya. Juga ada beberapa ekor ayam ternak berkeliaran dan beberapa buah pohon jati serta tanaman lain yang tumbuh di sekitar pekarangan.

Ketika masuk, saya terpesona dengan interior jati rumah kelahiran Pram dan warisan ayahnya—Mastoer, tersebut. Terlihat buku-buku lawas berjejer di rak, lukisan Pram dan foto wajah Pak Soes yang diterbitkan Kompas. Berbagai macam penghargaan mulai piala hingga piagam berjejer dan buku terbitan Pataba Press, menghiasi rak buku lainnya.

Di awal perkenalan, saya tak menyangka Pak Soes begitu bersahaja dan riang menyambut kami—juga tetamu lainnya. Sehingga sepanjang bertamu, seolah tidak ada sekat di antara kami. Pak Soes sepanjang pertemuan sangat mendominasi pembicaraan. Beliau bercerita segala macam; sejarah Blora, pengalaman selama di Rusia, Siberia, cerita unik dirinya dengan masyarakat Eropa, Koeslah abangnya dan Pram. Dan keinginannya mengalahkan Pram dalam segala hal.

Beliau juga bercerita tentang PATABA yang dicap sebagai “perpustakaan liar” karena persetujuan yang tercederai oleh pemerintah. Terlepas dari hal tersebut, PATABA sudah cukup berkembang dan terbilang sukses memajukan budaya literasi di sana. Bahkan satu-satunya pustaka yang menyediakan tempat menginap bagi tetamunya dari jauh. “Tamu dari empat benua sudah ke sini,” ucap Pak Soes.

Saya bersama Pak Soes dalam obrolan/Raja Syeh Anugrah

Hal yang paling saya ingat, yakni topik pembahasan mengenai Dunia Samin karangannya yang ditulis lewat riset selama 20 puluh tahun. Beliau menilai Dunia Samin yang ia tulis adalah folklore, namun dalam buku tersebut tertulis “novel.” Pak Soes menulis Dunia Samin dalam tiga bagian; Dunia Samin I (1963) oleh N.V. Nusantara, Dunia Samin II (1964) dan Dunia Samin III (1978-1979).

Terlepas dari folklore, Dunia Samin berkaitan erat dengan historis panjang di Blora. Samin merupakan representasi gerakan akar rumput dan ‘paham’ yang tumbuh di kalangan petani. Petani yang ingin menentukan nasibnya sendiri, merdeka dari segala kesewenangan pemerintahan Belanda dan menentang atas pajak tanah.

Selain soal Dunia Samin, ia menceritakan kenangan di masa remaja bersama Pram. “Pram saat itu meminta saya sekolah di Jakarta dan menyuruh saya datang ke sana. Namun bukan memperhatikan adiknya, ia malah membiarkan saya mencari penghidupan sendiri untuk meneruskan sekolah,” kenang Pak Soes.

“Tapi bukan berarti Pram abai, ia malah mengenalkan saya dengan beragam buku bacaan. Terutama bacaan-bacaan terkait Uni Soviet dalam hal ini Rusia. Sehingga dengan pengalaman dasar tersebutlah. Akhirnya saya dimudahkan ketika melanjutkan sekolah ke Rusia dengan beasiswa pemerintahan era Bung Karno.”

“Peristiwa yang menarik dari Pram,” Pak Soes kembali mengenang. Istrinya yang terlahir dari golongan kelas ekonomi atas, memilih menikahi Pram dengan alasan, “Aku mencintaimu karena kamu melarat, Pram”. Beliau sempat terkekeh dan kagum dengan sosok abangnya tersebut.

Tanpa terasa detik waktu telah berlalu. Sepanjang kedatangan kami, datang juga dua orang; satu asli Blora dan satu dari Tanjung Priok yang hendak sowan katanya. Disusul sepasang suami-istri dari Pekanbaru, kemudian bergurau, “kami silaturahim ideologis dulu baru biologis—lantaran sesampai di Blora mereka memilih ke rumah Pak Soes terlebih dahulu ketimbang rumah familinya.

Plang nama PATABA/Raja Syeh Anugrah

Merawat Budaya Literasi

PATABA adalah representasi wajah perpustakaan sekaligus wujud yang mencerminkan etos kerja-kerja literasi. Dari rumah sederhana peninggalan ayahnya, Mastoer, Pak Soes mulai membangun peradaban pengetahuan di sana.

PATABA seperti yang diketahui, yakni Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa yang dalam sejarahnya telah dirintis Pak Soes sejak tahun 2004. Tahun ketika Pak Soes memutuskan untuk menetap di kampung halaman setelah pergumulan panjang di Jakarta.

Di Jakarta, beliau agaknya sudah tidak menemukan kedamaian lagi setelah puluhan tahun silam masa itu keluar dari penjara sebagai tahanan imigrasi bukan PKI—disalah persepsikan oleh kebanyakan masyarakat—‘ogah membaca’. Ia kembali, dan kemudian tanggal 30 April 2006, PATABA berhasil diresmikan bertepatan hari kematian Pram.

Lokasi PATABA berada di Jalan Sumbawa yang kini beralih nama Jalan Pramoedya Ananta Toer. Untuk ke PATABA, aksesnya tidaklah jauh dari pusat kota. Sepanjang berdirinya, PATABA telah cukup banyak berkontribusi. Seperti di tahun 2009, PATABA menerbitkan zine kecil-kecilan menggunakan nama Pataba Press di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut.

Tahun 2011, Pataba Press melahirkan anak pertamanya berjudul Suwung. Berlanjut Februari 2013, Pataba Press bekerjasama dengan penerbit Semarang menerbitkan buku Pram dari Dalam. Sempat vakum dua tahun, kemudian tahun 2015 PATABA menerbitkan buku Pram dalam Kelambu. Lalu menyusul buku lainnya hingga sekarang sebagai bentuk sumbangsih terhadap gerakan literasi di Indonesia dan membangun budaya baca kolektif.

Di waktu terluang, saya menyempatkan diri bertualang menjelajahi koleksi demi koleksi perpustakaan yang dihadirkan untuk warga dunia tersebut. Bermacam judul saya temukan, mulai buku lawas ke-Indonesia-an hingga buku-buku berbahasa Rusia. Mulai bacaan sastra, sejarah, novel, hingga buku pemikiran tokoh pergerakan. 

Tak ketinggalan saya mengamati satu-persatu pajangan yang menghiasi rumah baca tersebut. Dan saya mentok dan tercenung cukup lama mengamati lukisan karya Zein Nitamara, Palangka Raya, 2021 yang mencitrakan sesosok wajah dengan tulisan “Bacalah dan Bakarlah Semangatmu, Membaca dan Menulis”, – Soesilo Toer.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Jogja ke Blora, Melawat ke PATABA appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-jogja-ke-blora-melawat-ke-pataba/feed/ 0 33994
Perjalanan Menelusuri Kilometer Nol Indonesia https://telusuri.id/perjalanan-menelusuri-kilometer-nol-indonesia/ https://telusuri.id/perjalanan-menelusuri-kilometer-nol-indonesia/#comments Tue, 17 May 2022 01:50:46 +0000 https://telusuri.id/?p=33407 Saya mengira Sabang adalah nama pulau. Ternyata tidak. Weh-lah nama pulaunya. Sebagian yang saya dengar dari cerita kebanyakan kawan pun beranggapan begitu, Sabang itu pulau. Padahal jelas Sabang ialah kawasan kota yang berada di dalam...

The post Perjalanan Menelusuri Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya mengira Sabang adalah nama pulau. Ternyata tidak. Weh-lah nama pulaunya. Sebagian yang saya dengar dari cerita kebanyakan kawan pun beranggapan begitu, Sabang itu pulau. Padahal jelas Sabang ialah kawasan kota yang berada di dalam teritorial Pulau Weh, Provinsi Aceh. 

Setidaknya hal tersebut juga menjadi kekeliruan saya lalu diluruskan oleh salah seorang kawan di sana. Kekeliruan itu akan berlarut jika saya diam dan tidak bertanya. Jauh sebelum kaki berpijak di Sabang, bagi saya wilayah tersebut hanyalah sebatas daerah yang kerap disambangi pelancong dan petualang nusantara hingga mancanegara belaka.

Namun makin ke sini saya menjadi mafhum. Perihal titik wilayah pun menjadi penting. Dan tak pelak lantaran nama Sabang lebih fasih dilisankan oleh orang di luar Aceh daripada nama Pulau Weh itu sendiri. Selain itu, dalam penamaan titik batas, Sabang pun acap kali disebut, ditulis—berulang kali bahkan di atlas Indonesia hingga dunia.

Kapal merapat bersiap menurunkan penumpang/Raja Syeh Anugrah

Sabang ialah pusat kota Pulau Weh yang bisa diakses dalam jarak tempuh 15 menit kendaraan roda dua dari Pelabuhan Balohan. Dan sebelum sampai di Balohan, saya mengakses Pulau Weh lewat jalur laut. Tepatnya di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Menaiki kapal feri dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit.

Sesampainya di Balohan, pelancong yang tak membawa kendaraan akan disambut aneka ragam tipe kendaraan; travel, rental motor, mobil, becak motor, sampai pick up tumpangan, dan saya kali ini dijemput oleh kenalan jauh. Sepulang kerja, Bang Nanda menjemput saya yang sudah menanti di warung kopi tak jauh dari gapura bertuliskan, “Selamat Datang di Kota Sabang.”

Saya sempat bertanya, “Mengapa Sabang? Dan mengapa orang rela dari berbagai pelosok negeri hanya untuk memijakkan kaki di ujung barat Indonesia ini? Apa yang menarik dari Sabang dan mengapa pula saya ikut tertarik ke dalam arus magnet tersebut?” Yang akhirnya semua pertanyaan terjawab setelah sekian lama menghabiskan waktu di sebagian besar Pulau Weh.

Gapura “Selamat Datang di Kota Sabang”/Raja Syeh Anugrah

Di Balik Titik Nol

Tak ada pilihan bagi backpacker seperti saya selain menaiki kapal feri kelas ekonomi. Di atas kapal bersama penumpang lainnya, saya membaur duduk di geladak. Titik awal kali ini adalah perjalanan laut. 

Usai menempuh perjalanan laut selama 1 jam 30 menit, saya melanjutkan perjalanan darat sekitar 15 menit. Tujuan selanjutnya adalah Kota Sabang. Namun sebelum ke kota, Bang Nanda mengajak saya tunaikan kewajiban terlebih dahulu di dua masjid berbeda. 

Di kota, semalam suntuk saya tidur di ruang sempit sebuah musala. Lagi-lagi tak ada pilihan lain bagi backpacker seperti saya. Keesokan hari, saya mengira akses menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia yang menjadi titik akhir bagi pelancong dan petualang akan lebih dekat. Ternyata masih jauh dari jangkauan setelah melihat di Google Maps.

Kali ini saya beruntung. Pagi itu ketika hendak mencari makan saya mendapat kenalan baru sesama pecinta vespa, dan ia saya temui saat menjaga warung milik kakaknya. Faktor beruntung lainnya, jalan menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia semakin dipermudah ketika ada hembusan kabar satu hingga dua orang akan menjemput saya dan siap mengantar ke Monumen Kilometer Nol Indonesia.

Dari musala titik saya menginap semalam, dua orang kawan bersama tiga orang lainnya bersenang hati mengantar saya. Tak tanggung-tanggung jaraknya yang kami akan tempuh kurang lebih 30 menit.

Melewati jalan berkelok di kelilingi hutan belantara, jurang-jurang yang menganga dan bukit rimbun berisikan beragam satwa. Sekitar 30 menit dalam sepinya jalan akhirnya kami sampai. Dari titik memarkirkan kendaraan, kami perlu berjalan beberapa menit dan barulah terlihat tugu sekaligus simbol nol kilometer Indonesia.

Saya masih berpikir, bahkan setelah jauh kaki melangkah dan sekarang berada di titik barat Indonesia. Ternyata orang-orang baik itu masih ada. Jujur, saya sama sekali tidak mengira merekalah orang-orang yang akan menggenapkan misi ini. Dan saya pun kagum, ternyata sahabat ini masih duduk di bangku SMA. Lebih telisik, mereka berasal dari organisasi Forum Anak Sabang.

Jika dihitung, semisal ditempuh dengan berjalan kaki tentu akan memakan waktu lama atau menunggu mobil angkutan agaknya amatlah jarang. Pilihan praktis wisatawan kebanyakan ialah rental motor atau mobil—untuk rombongan. Ditambah jalan yang tidak mulus dan cenderung menanjak, menurun, berkelok, menambah kompleksitas jalan tempuh menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia.

Tepat di tugu bertuliskan “Kilometer 0 Indonesia,” saya melihat banyak wisatawan keluarga. Asalnya macam-macam, yang pernah bertemu saya di kapal dan bertemu kembali di sini, mereka dari Medan. Tidak hanya wisatawan, banyak pula pedagang yang menjajakan oleh-oleh berupa pernak-pernik dan baju bertuliskan “I Love Sabang.”

Di depan Kilometer Nol Indonesia/Raja Syeh Anugrah

Ujung Barat Sebenarnya

Salah satu kawan itu bernama Rafi. Dialah yang memberitahu saya fakta unik dibalik label  Kilometer Nol Indonesia, yang identik sebagai ujung barat Indonesia. Lagi-lagi saya hampir keliru di sini dan mengira inilah titik ujung sebenarnya; berupa tugu bertuliskan “Kilometer 0 Indonesia.”

Bersama Raffi yang mengantarkan ke Kilometer Nol/Raja Syeh Anugrah

Selama berada di kawasan Monumen Kilometer Nol Indonesia, selain menikmati, merenung, dan mengamati, saya banyak habiskan waktu berswafoto. Untuk mengobati rasa penasaran, mereka mengajak saya menaiki menara tak jauh dari tugu. 

Menara berlantai dua yang saya naiki, menyuguhkan pemandangan Samudera Hindia luas membentang dengan ombak yang ganas. Hembusan semilir angin khas tepian pesisir—yang dengan khidmat saya rasa dan kenangkan. Sesekali mereka melempar ceria dan mengajak saya selfie ala anak muda..

Dari menara kami turun kembali, di sudut yang lain saya kembali berfoto, namun ada kejanggalan. Tembok bercorak batik bertuliskan “Kilometer Nol Indonesia” itu rumpang. Entah apa penyebabnya. 

Bagian rumpang dari tembok Kilometer Nol/Raja Syeh Anugrah

Saya menyapu pandang. Silih berganti orang berlalu-lalang. Ada yang asyik dalam suasana, putar haluan kembali pulang, dan tertawa riang seolah titik Barat adalah penghapus duka lara. Setelah dirasa cukup bagi saya untuk berpijak di sini, kami pun beranjak meninggalkan area Monumen Kilometer Nol Indonesia.

Di atas motor menuju tempat wisata lainnya Raffi menjelaskan kepada saya, “Bang, ayah saya bagian dari tentara. Beliau pernah mengajak saya ke sebuah pulau nun jauh di sana. Untuk menuju sana perlu melewati ganasnya ombak. Dan tak ada kapal-kapal menuju sana selain kapal tentara yang membawa logistik.”

Saya terperanjat, Raffi melanjutkan, “Itulah yang dinamakan Pulau Rondo. Wilayah batas yang sebenar-benarnya ujung Indonesia. Bukan Kilometer 0 Indonesia yang kita sambangi tadi. Itu hanyalah simbol belaka.”

Dengan penasaran yang tak tertahankan, saya lekas mencari kata kunci Pulau Rondo di mesin pencarian Google. Betul adanya, di Pulau Rondo pun ada tulisan Kilometer 0 Indonesia. Di sana hanya tentara yang tinggal untuk menjaga batas negeri dari caplokan negara asing seberang lautan. Dan petani-petani yang didatangkan untuk bercocok tanam membuat lumbung ketahanan pangan.Di atas jalan beraspal Sabang saya berkata, “Bisakah saya yang backpacker ini ke sana, Raffi?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Menelusuri Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menelusuri-kilometer-nol-indonesia/feed/ 1 33407