Ramadhanur Putra https://telusuri.id/penulis/ramadhanurputra/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 01 Nov 2024 08:42:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ramadhanur Putra https://telusuri.id/penulis/ramadhanurputra/ 32 32 135956295 Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini? https://telusuri.id/siapakah-yang-sebenarnya-merdeka-hari-ini/ https://telusuri.id/siapakah-yang-sebenarnya-merdeka-hari-ini/#respond Thu, 31 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42930 Saya melaju dengan motor Astrea Star keluaran 1996 dengan kecepatan yang tidak seberapa di jalanan Jogja. Seorang bapak tua dengan gerobak rongsokannya di bibir jalan mencuri perhatian saya, dan saya memutuskan untuk menepi. Saat itu,...

The post Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Motor yang saya pakai berkeliling/Ramadhanur Putra

Saya melaju dengan motor Astrea Star keluaran 1996 dengan kecepatan yang tidak seberapa di jalanan Jogja. Seorang bapak tua dengan gerobak rongsokannya di bibir jalan mencuri perhatian saya, dan saya memutuskan untuk menepi. Saat itu, Jogja sedang berkencan dengan senja. Langit merah menyaksikan orang-orang bergegas menuju arahnya masing-masing dari sudut barat kota.

Jogja, dan seperti wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, sedang merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang beranjak senja di usia 79 tahun. Di pinggir jalan, di spion bentor (becak motor), dan di bibir mobil orang-orang bendera merah putih berkibar.

Namun, bapak tua di pinggir jalan itu, yang semakin senja juga usianya, seolah sedang tidak merayakan apa pun. Biasa-biasa saja. Namanya Pak Sariman (55), asal Purwokerto. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di Jogja dengan mengumpulkan rongsokan bersama gerobak kesayangannya.

Saya bercerita panjang lebar dengannya. Ia sehari-hari mengumpulkan rombengan untuk diganti dengan rupiah. Satu kilogram rongsokan yang dia peroleh bisa setara dengan uang dua ribu rupiah. Biasanya, dalam sehari ia bisa mengumpulkan sekitar 30–40 kilogram, sehingga penghasilannya per hari kurang lebih 60–80 ribu rupiah. Namun, dalam satu hari, pendapatan bersih Pak Sariman hanya berkisar di angka Rp20.000. Sebab, ia harus membagi pemasukan untuk kebutuhan pribadinya selama di Jogja, seperti makan dan lainnya.

Penghasilan bersih itulah yang dia bawa kembali ke kampung halamannya di Purwokerto. Biasanya, Pak Sariman pulang kampung satu kali dalam satu bulan. Oh, ya. Jangan tanyakan bagaimana Pak Sariman tinggal di Jogja. Uang segitu tidak mungkin dipakai untuk menyewa kos atau kontrakan.

“Saya tidur di seberang hotel depan sana, Mas,” kata Pak Sariman sembari menunjuk Hotel Cavinton. 

  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Semakin Merdeka, Semakin Tua, Tetap Keras Bekerja

“Ya, orang seperti saya ini cuma menghormati saja masalah kemerdekaan. Kemerdekaan itu, kan, hanya peninggalan nenek moyang. Itu kemerdekaan, kemerdekaan apa? Kalau kemerdekaan kehidupan, ya, tentu belum. Itu cuma kemerdekaan tanah dan air negara. Ya, saya hanya menghormati saja. Kalau kemerdekaan masalah perekonomian bagi [kelas] ekonomi menengah, ya, belum. Merdeka apanya? Iya, kan? Lah, siapa yang merasakan kemerdekaan? Kan, hanya orang-orang tertentu, hanya orang-orang di atas.” Sariman mengungkapkan perasaannya di tengah perayaan hari merdeka bangsa ini.

Saya hanya bisa diam dan mendengarkan. Terlalu panjang penjelasan yang disampaikan untuk saya tuliskan dalam catatan ini. Dan saya, sekali lagi tidak kuat hati untuk memotong penjelasannya. Seperti mendengarkan curhatan seorang teman yang sedang diputuskan oleh pacarnya. Panjang dan penuh duka. 

Pak Sariman bukan satu-satunya orang yang bekerja di usia tuanya di kota ini. Saya juga menyaksikan seorang ibu yang menjajakan koran di lampu merah, bapak tua yang membuka bengkel, membawa becak motor (bentor), dan pedagang kaki lima yang bekerja hingga malam tiba.

“Merdeka-merdeka, ya, tetap kerja, Mas,” ungkap seorang ibu penjaja koran itu. Saya menanyakan perasaannya di hari kemerdekaan ini.

  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Pak Sariman, ibu penjaja koran, dan pekerja lainnya adalah para pekerja serabutan di Jogja Istimewa. Mereka adalah para pejuang di tengah ketidakpastian kerja masyarakat urban. Apalagi, usia yang telanjur tua dan latar belakang pendidikan seadanya, menutup mereka dari kemungkinan mendapat upah dan keselamatan kerja yang layak. Dalam suasana kemerdekaan, mereka masih terjebak dalam situasi kehidupan yang gamang. Tetap bekerja dengan penghasilan yang tak seberapa dan usia yang semakin senja.

Sementara generasi X dan Baby Boomer paling banyak berada di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Begitu laporan yang saya kutip dari “Analisis Profil Penduduk Indonesia; Mendeskripsikan Peran Penduduk dalam Pembangunan” berdasarkan hasil Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik tahun 2020. Generasi X adalah kelompok usia yang lahir pada rentang tahun 1965–1980, umur mereka 40–55 tahun; sedangkan generasi Baby Boomer adalah kelompok usia yang lahir pada tahun 1946–1964, umur mereka 56–74 tahun. Pengelompokan generasi ini merujuk pada teori generasi yang dikemukakan oleh William H. Frey yang membagi generasi menjadi enam generasi: Post Gen Z (2013–sekarang), Gen Z (1997–2012), Gen Y atau Millenial (1981–1996 ), Gen X (1965–1980), Gen Baby Boomer (1946–1964), dan Gen Pre–Boomer (sebelum 1945).

Menurut laporan itu juga, Gen X yang rata–rata berusia 40–55 tahun adalah penduduk usia produktif yang terlibat aktif dalam perekonomian Indonesia dengan total 36,53%. Angka itu memosisikan Gen X di urutan kedua penduduk usia produktif yang bekerja di Indonesia berdasarkan kategori generasi setelah Gen Y (39.89%). Diikuti oleh Gen Z di urutan ketiga dengan total 11,98% dan setelahnya Gen Baby Boomer (11,60%). Gen  X dan Gen Baby Boomer ini didominasi oleh tamatan SD/sederajat dengan persentase masing-masing 33,96% dan 41,56%. Artinya, secara kualitas sumber daya manusia siap kerjanya lebih rendah dari Gen Z dan Gen Y.

Gen X dan Gen Baby Boomer seolah menghadapi senja yang buram. Saat usia tua, mereka berada di tengah ketidakpastian ekonomi. Seperti anak sulung yang terbuang dari kasih ibunya. Ketika pemerintah sedang bergeliat menyambut bonus demografi di satu abad usianya nanti, yaitu pada 2045, Gen X dan Gen Baby Boomer seperti telantar dari pangkuan negara. Kala usia bangsa semakin bertambah, mereka semakin menua dan masih terus berupaya mencari kerja.

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Seorang pekerja bengkel di pinggiran Jogja/Ramadhanur Putra

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Kondisi ini kian ironis dalam benak saya, ketika saya menyaksikan orang-orang tua yang lain sedang berbagi tanda jasa di Istana Negara, Jakarta. Rabu (14/8/2024), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan tanda kehormatan Republik Indonesia berupa Medali Kepeloporan, Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma kepada 64 orang tua. Penganugerahan itu diberikan oleh Presiden Jokowi kepada anggota kabinetnya, ketua umum partai politik, dan orang-orang yang “berjasa” selama satu dekade pemerintahannya.

Saya tidak mengerti banyak tentang politik, tapi apakah pemberian tanda kehormatan itu berangkat dari keuletan kerja orang-orang yang selama ini membantunya mengatasi permasalahan bangsa? Jika iya, kenapa orang-orang seperti Pak Sariman, ibu penjaja koran, dan pekerja serabutan lainnya masih saya temukan hanya selang beberapa hari setelah penganugerahan itu? Sebuah kontradiksi  yang saya temui di hari raya kemerdekaan. Hari raya kemerdekaan bagi Presiden yang menjadikan “Kerja, Kerja, dan Kerja” sebagai semboyan politik yang populer.

Siapa yang bekerja dan siapa yang berjasa? Pertanyaan ini masih mengusik benak saya.

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Seorang ibu mampir toko untuk belanja dengan bersepeda/Ramadhanur Putra

Okky Madasari dalam kolom opini yang dimuat di Jawa Pos, menyebutkan bahwa kolonialisme tidak melulu hilang jika sebuah bangsa telah merdeka. Kolonialisme itu mungkin dan bisa tetap berlanjut selama rasisme dan keserakahan masih ada. Rasisme dan keserakahan yang berimplikasi pada kebijakan politik akan melahirkan situasi keterjajahan yang baru. “Kemerdekaan itu nasi dikunyah jadi tai,” begitu ia mengutip Wiji Thukul dalam tulisannya.

Dan agaknya, seperti itulah kondisinya hari ini. Hari raya kemerdekaan Indonesia tak sepenuhnya dirasakan oleh rakyatnya, sebab hari kemerdekaan masih menyisakan pertanyaan bagi mereka, besok mau makan apa? Sepertinya, kemerdekaan Indonesia tidak berjalan beriringan dengan kemerdekaan nyawa bangsanya, akibat kelompok tertentu yang serakah dan mabuk kuasa.

Saya kembali ke jalanan, meninggalkan Pak Sariman dengan seluruh keluh kesahnya di hari merdeka. Sembari membawa motor, saya putar lagu Kelompok Penerbang Roket dari album “Teriakan Bocah”.

“Banyak yang bilang berbeda, tapi tetap sama. Banyak yang ingin merdeka, tapi sementara. Di mana mereka? Mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka? Di mana mereka? Mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siapakah-yang-sebenarnya-merdeka-hari-ini/feed/ 0 42930
Suara-Suara dari dalam “Gua” https://telusuri.id/suara-dari-dalam-gua/ https://telusuri.id/suara-dari-dalam-gua/#respond Mon, 11 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41330 Saat orang-orang antusias mendengarkan calon pemimpin bangsa ini bersilat kata di televisi ibu kota—memperdebatkan konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa. Saya lebih memilih untuk mendengarkan keluhan petani dari dalam “gua”. Seperti satire Iwan...

The post Suara-Suara dari dalam “Gua” appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat orang-orang antusias mendengarkan calon pemimpin bangsa ini bersilat kata di televisi ibu kota—memperdebatkan konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa. Saya lebih memilih untuk mendengarkan keluhan petani dari dalam “gua”. Seperti satire Iwan Fals dalam bait salah satu karyanya, “…goa yang penuh lumut kebosanan”.

Dari Boyolali, lembah di antara Gunung Merapi dan Merbabu itu saya bercerita dengan seorang petani kawakan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil susu segar terbesar di Jawa Tengah, hingga dijuluki Kota Susu—New Zealand Van Java—karena tingginya tingkat produksi susu perah di sini. Kendati demikian, alam raya Boyolali yang sejuk membuat aktivitas pertanian menjadi “jalan ninja” penghidupan masyarakatnya.

Kurang lebih 15 menit dari pusat kota, saya menemani seorang teman yang bekerja di sebuah NGO (non-governmental organization atau lembaga swadaya masyarakat) untuk membagikan bibit buah-buahan dan pohon secara cuma-cuma kepada warga setempat. Cuma-cuma, adalah hal yang lebih menarik bagi orang desa daripada program pembangunan desa yang diobral oleh politisi kita akhir-akhir ini.

Pak Tani yang Malang 

“Saya gak mau dibayar cuma seratus ribu untuk ikut geber-geber motor sambil bawa bendera partai di jalan raya, Mas. Seratus ribu hanya habis untuk bensin, makan siang, dan rokok doang. Sisanya, kita capek. Lebih baik saya ke tegal [sawah dalam bahasa setempat],” Pak Tani menjawab lugas pertanyaan saya di sela-sela rehat pembagian bibit.

Kami berbincang soal pemilu, kampanye, dan bagaimana masyarakat di desa ini hidup begitu-begitu saja, meskipun rezim silih berganti setiap lima tahunnya. Hidup begitu-begitu saja? Apakah sebegitu tidak berdampaknya pemilu bagi masyarakat desa ini?

Kadang, politik susah untuk dijadikan harapan bagi mereka. Mereka hanyalah imbas sekaligus umpan atas keserakahan orang-orang di ibu kota. Bagi mereka, politik hambar rasanya. Ya, paling banter politik hanya akan terasa saat musim-musim kampanye.

Akan tetapi, saat mereka kesusahan mencari bibit, tak cukup uang untuk membeli pupuk, lahan pun terpaksa diganti dengan setumpuk uang demi kepentingan umum (negara). Pemerintah entah ke mana? Politik entah di mana? Paling hanya terlintas pada “baju dinas” petani yang penuh dengan keringat kecewa. Saat kemarau panjang akibat krisis iklim, menyebabkan tanaman mereka rusak, siapa yang bertanggung jawab? Saat hasil panen melimpah, lalu dibiarkan membusuk karena harga pasar turun drastis, siapa yang mengganti rugi? Siapa yang memberi jaminan?

Entahlah, masyarakat desa kadang tidak pernah terhitung dan diperhitungkan sama sekali dalam politik. Kecuali dalam kalkulasi daftar pemilih tetap (DPT) yang akan dikelabui!

Pak Tani lanjut bercerita. Kalau musim kampanye datang, tim yang katanya sukses akan datang ke desa-desa, mematok pohon-pohon mereka dengan baliho penuh senyum palsu para politisi. Beberapa dari warga desa juga dibayar untuk ikut kampanye dengan konvoi di jalanan kota. Meramaikan pesta demokrasi, katanya.

Konvoi sambil geber-geber motor kerap saya temui akhir-akhir ini. Biasanya, fenomena itu saya temukan ketika orang-orang akan pergi ke stadion untuk menonton klub bola favoritnya. Namun, kali ini tidak. Mereka tidak memakai jersey klub bola, tetapi kaus partai dan bendera yang dikibaskan ke kanan dan kiri. 

Saya heran, kenapa mereka rela mengganti knalpot standar kendaraannya dan secara riang gembira menaikturunkan pedal gas di jalanan. Pesan apakah yang ingin mereka suarakan, kalau pada akhirnya suara knalpot itu hanya menutupi suara-suara orang dari pelosok desa ini? Apakah mereka pikir itu adalah tindakan heroik? Apakah mereka patriot? Apakah itu tindakan sukarela sebagai relawan? Toh, saya pikir juga tidak. Mereka cuma dibayar seratus ribu sebagaimana yang diungkap oleh Pak Tani tadi.

Pak Tani mengaku senang karena mendapatkan bibit secara gratis untuk ia tanam di lahannya. Agar mendapatkan bibit secara gratis, Pak Tani harus melewati proses seleksi, memenuhi beberapa syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak NGO. Sebelum pembagian bibit, teman saya yang bekerja di NGO itu harus melakukan sosialisasi dan survei lahan. Lahan, adalah hal yang menentukan berapa banyak petani akan mendapatkan bibit gratis. Semakin luas lahan, semakin banyak bibit yang akan diperoleh.

Anomali Lahan dan Kepemilikan Tanah

Namun, sialnya lahan yang luas hanya dimiliki oleh warga yang bekerja di kantor desa. Sedangkan warga biasa (tidak bekerja di kantor desa) hanya mendapatkan sepertiga atau seperempat dari yang mereka dapatkan. Saya sedikit berpikir, apakah ini memang karena lahan yang warga biasa punya hanya segini, atau proses seleksi yang manipulatif. Setidaknya itulah yang saya lihat saat proses pembagian bibit.

Entah kenapa, pikiran saya langsung terbang liar. Barangkali, inilah yang membuat program pembangunan desa macet. Dana desa yang disalurkan kadang terhambat oleh proses-proses birokrasi yang manipulatif atau ulah pejabat-pejabat desa yang culas. Membayangkan kondisi ini, maka jangan heran apabila pejabat kita di ibu kota lebih besar culasnya, lebih banyak korupsinya.

Suara dari dalam "Gua"
Saya bersama Mbok Ito (kiri)

Berbicara tentang lahan, saya teringat dengan rintihan suara Mbok Ito. Seorang janda tempat saya menyewa sepetak kamar untuk berteduh di perantauan. Mbok Ito adalah ibu kos yang ramah dan baik hati. Ia menyewakan kamar kos dengan harga rendah. Setidaknya, harganya di bawah rata-rata indekos dekat kampus saya. Kampus Islam swasta yang terletak di daerah perbatasan Bantul—Jogja. Daerah pedesaan yang terpaksa modern.

Dulunya, daerah ini adalah wilayah perdesaan. Sawah-sawah membentang di setiap pinggir jalan. Masyarakatnya hidup dari hasil tani. Kampus saya, dulunya berada di kawasan perkotaan. Seiring berjalannya waktu, kampus mempunyai kebutuhan untuk memperluas area dan menambah gedung. Lembaga pendidikan tinggi itu akan menampung lebih banyak lagi mahasiswa. Akhirnya, daerah kampus ini sekarang berdiri menjadi solusinya.

Cita-cita untuk relokasi kampus adalah cita-cita yang mulia bukan? Sebab, kampus adalah “pabrik” untuk mencetak para intelektual yang nantinya akan mengabdi pada masyarakat. Akan tetapi, sayang seribu sayang, cita-cita mencerdaskan anak bangsa itu tidak berbanding lurus dengan mencerdaskan masyarakat desa di sekitar kampus. Salah satu warga terdampak sekitar kampus itu adalah Mbok Ito.

Mbok Ito memang tidak tahu baca tulis, yang ia tahu adalah bagaimana hari esok dia bisa tetap makan. Itulah yang membuat Mbok Ito akhirnya mendirikan kos empat kamar di atas sawah warisan bapaknya. Lalu apa cerita Mbok Ito yang membuat suaranya merintih tragis? Adalah adiknya yang juga punya usaha kos-kosan, di atas tanah warisan juga, lalu menjual tanah dan bangunan kos itu pada orang lain karena sedang butuh uang. Orang lain yang datang entah dari mana; biasanya dalam dunia akademis disebut dengan pemilik modal, investor, borjuis, dan sejenisnya.

Sepintas, memang tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh adik Mbok Ito. Toh itu adalah jual beli yang sah. Namun, Mbok Ito yang tidak mengerti baca tulis mampu berpikir kalau itu adalah pekerjaan yang sia-sia. Ia menangis, membayangkan benda apa lagi yang akan dijual adiknya nanti ketika segepok uang itu nantinya habis.

  • Suara dari dalam "Gua"
  • Suara dari dalam "Gua"

Sawah yang Menumbuhi Kos, Kafetaria, dan Warung Makan

Tidak hanya Mbok Ito. Dalam kesempatan yang lain, saya juga mendengar suara Pak Waris, seorang buruh tani beranak empat. Semenjak sawah-sawah sudah banyak dijual, dia sering sepi job. Bahkan harus rela untuk keluar masuk desa menggarap lahan warga lain. Begitu pun Pak Gimin, peternak kambing yang sudah kesusahan untuk mencari rumput. Tanah-tanah kering dan penuh coran telah menutup kesempatan untuk rumput bisa subur dan layak dimakan ternak. Jangankan subur, tumbuh saja sudah enggan.

Dalam masyarakat desa yang terpaksa modern, kita bisa menemukan lebih banyak lagi suara-suara dari dalam “gua”. Sawah bukan lagi ditanami padi dan tanah tiada bertumbuh rumput, melainkan deretan kafetaria tempat mahasiswa kongko, rapat, mengerjakan tugas, atau hanya sekadar menghabiskan waktu untuk gelak tawa. Sawah adalah lahan luas untuk mendirikan kos-kosan mewah bagi mahasiswa yang datang dari berbagai daerah membawa uang dari bapak-ibunya. Sawah dan tanah adalah tempat mendirikan warung-warung makan guna memenuhi kebutuhan primer mahasiswa, agar tidak mati kelaparan di tanah orang. 

Dan pada akhirnya, masyarakat desa adalah tuan rumah yang menjadi “pelayan” bagi mereka yang datang. Tidak lagi tuan tanah yang dihormati harkat dan martabatnya. Mereka tidak dididik seperti kampus mendidik mahasiswanya.

Mendengar Pak Tani, Mbok Ito, Pak Waris, dan Pak Gimin, saya bertanya: bagaimana kita (mahasiswa) akan bertanggung jawab terhadap ilmu yang kita dapatkan di kampus?

Dan kepada para calon pemimpin bangsa yang berdebat tentang konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa, saya ingin bertanya: sudahkan Anda sekalian mendengar suara-suara dari dalam “gua” ini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suara-Suara dari dalam “Gua” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suara-dari-dalam-gua/feed/ 0 41330