Resti Seli, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/resti-seli/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 29 Apr 2022 17:27:17 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Resti Seli, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/resti-seli/ 32 32 135956295 Pulau Semau: Keberangkatan, Ui’Simu, Jambu Air, dan Pantai Otan https://telusuri.id/pulau-semau-keberangkatan-uisimu-jambu-air-dan-pantai-otan/ https://telusuri.id/pulau-semau-keberangkatan-uisimu-jambu-air-dan-pantai-otan/#comments Fri, 15 Apr 2022 02:26:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33406 Perjalanan kali ini saya tempuh bersama beberapa teman yang secara mendadak merencanakan perjalanan pendek “satu hari” di Pulau Semau. Saya yang selalu menyimpan tanda tanya mengenai Semau dan segala isinya, mengiyakan ajakan tersebut. Apalagi, segala...

The post Pulau Semau: Keberangkatan, Ui’Simu, Jambu Air, dan Pantai Otan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kali ini saya tempuh bersama beberapa teman yang secara mendadak merencanakan perjalanan pendek “satu hari” di Pulau Semau. Saya yang selalu menyimpan tanda tanya mengenai Semau dan segala isinya, mengiyakan ajakan tersebut. Apalagi, segala keperluan akomodasi dan konsumsi selama di sana sudah ada.

Sematang persiapan kami, sematang itu pula niat dan tekad saya berkunjung ke pulau gersang tersebut. Seorang teman yang pernah ke sana bilang, “Semau pung pante talalu bagus, lu harus pi,” yang artinya “Semau punya pantai sangat bagus, kamu harus ke sana.”

Di dalam perahu menuju Semau/Resti Seli

29 September 2021, pukul 07.00 pagi kami tiba di Pelabuhan Tenau untuk menumpang perahu motor menuju Semau. Awalnya, kami ingin menggunakan Kapal Feri di Pelabuhan Bolok, namun saat itu jadwal keberangkatan kapal agak kesiangan. Kami yang tidak ingin berlama-lama pun memutuskan untuk menggunakan perahu saja. 

Pagi itu terlihat begitu banyak perahu yang berjejer menunggu penumpang. Kami diarahkan oleh seorang bapak untuk menaiki perahunya. Tanpa basa-basi, kami pun langsung mengikuti bapak tersebut dan menyeberang dari dermaga. Setelah itu, motor kami diikat berderet dengan motor penumpang lain. Penyeberangan dengan perahu-perahu yang beroperasi setiap hari ini relatif murah, biayanya sebesar Rp20.000/orang dan Rp10.000/motor.

Sekitar 15 menit kami menunggu hingga perahu penuh dengan penumpang. Setelah itu, perahu berlayar menghantar kami menuju Semau. Saya duduk di tengah, dekat dengan kemudi. Saya melihat bapak  tadi, membelokkan kemudi ke kanan dan ke kiri sembari melihat arah laju perahu. Baling-baling perahu yang berputar kencang, sesekali membuat percikan air laut mengenai pakaian saya.

Perahu mulai menerjang ombak. Dari dalam perahu, terlihat ombak-ombak tersebut menutupi setengah jendela perahu. Saya sempat sedikit ketakutan dan mulai merasakan pusing. Untunglah, perjalanan ini tidak begitu lama. 30 menit kemudian, kami tiba di Pelabuhan Hansisi, Semau. 

Tiba di Pelabuhan Hansisi/Resti Seli

Pulau Semau merupakan pulau kecil yang terletak di sebelah barat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pulau ini terkenal dengan tanahnya yang tandus dan cuaca panas. Namun meskipun begitu, pulau ini memiliki pantai yang apik, salah satu diantaranya yakni Pantai Otan, terletak di Desa Otan.

Setelah bersandar di Pelabuhan Hansisi, kami memulai perjalanan menuju Pantai Otan dengan waktu tempuh sekitar 45 menit perjalanan. Saat melintas, sedang ada perbaikan jalan sehingga perjalanan tidak begitu lancar. Keringat menetes di sela kepala, cuaca semakin terik membuat kami lelah. Meski begitu, beberapa ruas jalan yang sudah diperbaiki bak menjadi oase di perjalanan ini.

Ada pepatah berbunyi “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian.” Begitulah rasanya setelah tiba di rumah yang kami tempati sementara. Ternyata, rumah ini hanya berjarak sekitar 50 meter dari Pantai Otan. Sebelum ke sana, kami memutuskan untuk berendam terlebih dahulu di sebuah kolam yang berada tak jauh dari rumah. Cuaca siang itu sangat terik, kami butuh menyegarkan diri.

Kolam Ui’Simu

5 menit kemudian kami sampai ke sebuah kolam yang bernama kolam Ui’Simu. Susana sangat sepi, pepohonan di sekelilingnya Kolam tersebut sangat sepi. Ditumbuhi banyak pepohonan. Kami masuk dengan leluasa lalu mulai berenang.

Awalnya saya tidak melihat ada penyu. Namun, setelah berenang lebih jauh, saya melihat penyu besar yang juga berenang di samping. Ini kali pertama saya melihat penyu. Maka dari itu, saya sempat terkejut dan keluar dari kolam. Saya duduk di sebuah bangku dan melihat ada beberapa penyu yang keluar dan menampakan diri ke permukaan air. Penduduk di sini bilang, jangan pernah menyentuh penyu-penyu tersebut. Oleh karenanya, saya memandangnya saja.

Air kolam berasal dari resapan air laut. Sehingga, apabila laut surut maka air kolam akan menyusut. Bila laut pasang, air kolam akan bertambah. Kolam ini dikelilingi oleh bebatuan karang yang tajam. Selain itu, penyu menggunakan celah antar batu karang sebagai tempat persembunyian.

Serangan terik matahari yang membakar kulit, terobati dengan rindangnya Ui’Simu.

Makan jambu air

Menyantap jambu air di rumah warga/Resti Seli

Seorang masyarakat mengajak kami untuk berkunjung ke salah satu rumah penduduk, tak jauh dari Ui’Simu usai kami berenang. Sesampainya di sana, kami makan buah jambu air yang sedang musim-musimnya saat itu. Sambil menyantap, kami berbincang-bincang dengan salah seorang ibu. Dia menceritakan kepada kami mengenai Semau.

Saya mendapatkan dua hal yang cukup mengejutkan. Pertama, di Semau belum ada mall dan pasar. Sehingga, apabila ingin membeli pakaian atau kebutuhan lainnya, masyarakat di sini harus menyebrangi laut menuju Kupang.

Kalau untuk kebutuhan sayur-mayur dan bumbu dapur, biasa membeli dari orang yang menanam di kebun atau yang menjualnya di kios-kios kecil. Kedua, kebutuhan air sangat mahal. Satu tangki air dipatok harga ratusan ribu. Berbeda dengan di Kupang, yang harganya sekitar Rp75.000,00.

Siapa yang tahu, di balik keindahannya, Semau punya “perjuangan” yang harus dihadapi para penduduknya. Saya hanya dapat terus berdoa dan berharap, agar Semau dapat selalu memperjuangkan dirinya, untuk bertahan dan semakin menjadi lebih baik kedepannya.

Berdamai dengan Diri Sendiri di Pantai Otan

Berhubung waktu telah menunjukkan pukul 16.00 WITA, saya dan teman-teman bergegas memacu kendaraan kami menuju Pantai Otan. Perjalanan kurang lebih memakan waktu sekitar 10 menit, deburan ombak Pantai Otan dan sebuah papan bertuliskan “OH, JELAS TENTRAM, AMAN, NYAMAN” kemudian diikuti “Otan Beach” lalu menyambut.

Otan memiliki pasir pantai yang benar-benar putih, halus, dan bersih. Saya memilih berjalan menyusuri pantai tanpa mengenakan alas kaki. Pasir-pasir pantai yang menyusut ke cela-cela jari kaki terasa lembut. Saya melihat dua ayunan yang terbuat dari kayu, menghadap langsung ke arah pantai. Ada juga lopo yang berjajar rapi namun rusak di beberapa bagiannya karena badai Seroja April 2021 lalu.

Senja di Pantai Otan/Resti Seli

Saya duduk di atas ayunan dan terpaku melihat ombak yang tenang, sejenak merasakan semilir angin. Saya kemudian melakukan kontemplasi. Menyadarkan diri untuk berdamai dengan diri sendiri.

“Resti!” Teriak salah satu teman memanggil saya. Mengakhiri refleksi singkat di kepala. Saya bergabung dengan mereka. Memotret kenangan yang nantinya akan kami rindukan. Karena langit semakin gelap, kami memutuskan untuk pulang dan membersihkan diri. Kemudian beristirahat, memulihkan tenaga untuk pulang kembali ke Kupang.

30 September, 06.00 pagi, kami sudah memacu motor menuju Pelabuhan Hansisi untuk mengejar jadwal kapal feri yang akan melaju pada pukul 08.00 menuju Kupang. Perjalanannya sama seperti waktu kedatangan kami, melewati jalan berbatu, tanah putih, dan aspal mulus. Pukul 07.00 kami tiba di pelabuhan. Kami menunggu beberapa saat kemudian feri datang. Terlihat kendaraan besar naik ke kapal terlebih dahulu, baru setelahnya kendaraan kecil.

Kapal mulai berlayar, saya meninggalkan Semau dan kenangannya di sana. Kurang lebih satu jam, kapal bersandar di Pelabuhan Bolok. Menandakan kami telah tiba kembali di “rumah.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Semau: Keberangkatan, Ui’Simu, Jambu Air, dan Pantai Otan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-semau-keberangkatan-uisimu-jambu-air-dan-pantai-otan/feed/ 3 33406
Memaknai Fenomena Alam Pasca Badai Seroja https://telusuri.id/memaknai-fenomena-alam-pasca-badai-seroja/ https://telusuri.id/memaknai-fenomena-alam-pasca-badai-seroja/#respond Sat, 16 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30238 Seroja, bagi sebagian besar atau bahkan semua masyarakat Nusa Tenggara Timur pasti memiliki ketakutan, trauma, serta pengalaman tersendiri terhadap siklon tropis yang satu ini. Pasalnya, Seroja merupakan badai yang sempat menghantam dan memporak-porandakan wilayah Nusa...

The post Memaknai Fenomena Alam Pasca Badai Seroja appeared first on TelusuRI.

]]>
Seroja, bagi sebagian besar atau bahkan semua masyarakat Nusa Tenggara Timur pasti memiliki ketakutan, trauma, serta pengalaman tersendiri terhadap siklon tropis yang satu ini. Pasalnya, Seroja merupakan badai yang sempat menghantam dan memporak-porandakan wilayah Nusa Tenggara Timur pada Minggu, 4 April 2021 pukul 24.00 WITA.

Badai tersebut berupa hujan deras dan angin kencang yang berlangsung selama beberapa jam. Badai yang terjadi malam itu benar-benar membuat saya dan seisi rumah, bahkan semua masyarakat NTT, ketakutan setengah mati. Benar-benar dahsyat. Cuaca ekstrem tersebut di diklaim merupakan Siklon Tropis Seroja yang terkuat dibandingkan siklon-siklon sebelumnya yang pernah terjadi di Indonesia.

Kekuatan angin kencang dan hujan deras sepertinya tidak saja mengakibatkan gedung menjadi rusak, rumah, jalan, jembatan, fasilitas umum, sawah, dan sebagainya rusak. Tetapi juga meninggalkan fenomena-fenomena alam yang unik dan berkesan. Diantaranya, kemunculan danau dan pulau baru setelah hantaman Badai Seroja malam itu, yang keindahan dan kenikmatannya masih dirasakan hingga saat ini.

Gundukan batu-batu besar
Gundukan batu-batu besar/Resti Seli

Kali ini saya “berkelana” mengunjungi salah satu fenomena alam yang terbentuk pasca Seroja di wilayah Pantai Nunhila, Kecamatan Alak, Kota Kupang, ialah gundukan pasir dan bebatuan besar, tersusun memanjang lebih dari 100 meter. Gundukan ini jika dilihat dari jauh maka akan terlihat seperti pagar yang menghalangi amukan gelombang besar terjadi di pantai ini. Namun jika dilihat secara dekat yaitu ketika kamu menginjakkan kaki di atasnya, maka gundukan ini terlihat seperti sebuah pulau kecil yang terdiri dari bebatuan besar, pasir laut, serta karang-karang kecil.

Gundukan ini hanya terbentuk satu malam saja selama Badai Seroja berlangsung. Diperkirakan, saat Badai Seroja terjadi, angin kencang menyebabkan gelombang besar yang dapat memberikan dorongan besar sehingga mampu membawa pasir dan bebatuan besar menjadi bertumpuk pada suatu tempat, maka terbentuklah gundukan mirip pulau tersebut. Saya mengambil nilai positifnya saja, mungkin dengan adanya pagar buatan alam ini dapat menahan laju gelombang yang begitu besar malam itu, tentu untuk keselamatan warga pesisir.

Terletak di Kota Kupang sehingga mudah dijangkau oleh siapa saja, ditambah lagi untuk biaya masuk hanya perlu membayar Rp2.000/motor. Ketika saya datang, saya disambut senyum hangat dari anak-anak sekitar yang bertugas menjaga pintu masuk menuju pantai sehingga, kesan pertama yang saya dapat adalah ramah. Namun, bukankah memang orang-orang Nusa Tenggara Timur selalu ramah terhadap siapa saja?

Tempat menikmati jajanan mirip kafe
Tempat menikmati jajanan mirip kafe/Resti Seli

Untuk mencapai pulau ini, kamu cukup berjalan kaki saja ketika air sedang surut. Saran saya, silahkan datang ketika sore hari, terlepas dari air yang sedang surut, menikmati senja dan berfoto-foto di pulau kecil ini sangat bagus dan mengasyikan. Terdapat juga kapal-kapal kecil yang terparkir dengan baik.

Pengunjung yang hadir terlihat antusias menapaki gundukan ini dan berlomba-lomba berburu foto bersama kilaunya senja. Jika kamu datang pada siang hari, sebaiknya bawalah payung untuk berteduh dari terik matahari karena di sini belum tersedia lopo atau gazebo. Hanya terdapat beberapa pohon lontar yang berjejer rapi, namun posisinya tidak strategis untuk menikmati keindahan pantai dari situ, apalagi pohon-pohon ini berbatasan langsung dengan jalan raya, sehingga akan sangat terdengar keributan kendaraan yang lewat.

Jadi, saran saya sebaiknya datang lah pada sore hari. Namun, lampu penerang yang belum memadai membuat suasana pada malam hari akan terasa sangat gelap. Pada malam hari, dari pantai ini kamu bisa melihat nyala lampu rumah-rumah yang berada di dataran tinggi, sehingga bisa menambah kesan romantis.

Anak-anak bermain
Anak-anak bermain/Resti Seli

Saya melihat suasana sore di pantai ini cukup ramai. Pesisir pantai yang luas dimanfaatkan anak-anak sekitar untuk bermain bola kaki, berlarian kesana kemari dan tertawa, serta pengunjung yang duduk pada tanggul-tanggul yang disediakan sambil menikmati salome—jajanan yang terkenal di NTT, mirip cilok namun lebih sedikit padat dan berserat—lalu jagung bakar, bagi kamu pecinta kopi, di sini juga tersedia kopi panas atau dingin. Untuk menikmati salome, pengunjung bisa duduk kursi kecil dan meja kecil yang terlihat seperti “kafe” karena dihiasi lampu tumblr.

Setelah Seroja terjadi, pantai yang hancur ini kembali ditata jauh lebih baik sebagai tempat wisata yang menarik perhatian, ditambah lagi muncul fenomena gundukan batu dan pasir tersebut, tentu semakin menambah kesan menarik, indah, dan “ajaib”. 

Saya tertegun dan berpikir “Ada pelangi sehabis hujan.” Artinya setelah hantaman Badai Seroja yang begitu dahsyat, ketakutan dan kekhawatiran selama satu malam itu, oleh-Nya digantikan mahakarya yang bisa kita nikmati keindahannya, bahkan bisa menjadi tempat melepas lelah, mencari inspirasi, ketenangan, dan pastinya memanjakan mata kita. Ini semua bisa kita nikmati untuk jangka waktu yang lama, asalkan kita mau menjaga dan memelihara fenomena-fenomena indah ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Fenomena Alam Pasca Badai Seroja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-fenomena-alam-pasca-badai-seroja/feed/ 0 30238
Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/ https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/#respond Thu, 30 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29351 04 Juli 2021 lalu, saya bersama 30 orang teman pemuda dan pemudi gereja memiliki agenda akhir pekan yakni melakukan rekreasi bersama di Pantai Oesina atau yang dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina. Dinamakan Air Cina...

The post Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina appeared first on TelusuRI.

]]>
04 Juli 2021 lalu, saya bersama 30 orang teman pemuda dan pemudi gereja memiliki agenda akhir pekan yakni melakukan rekreasi bersama di Pantai Oesina atau yang dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina. Dinamakan Air Cina bukan berarti penduduk di sini keturunan Cina, tetapi karena dulunya pantai ini menjadi tempat bersandar kapal-kapal dagang dari Cina. Sedangkan, Oesina sendiri memiliki arti Oe “air” dan Sina “Cina”. Jadi, Oesina berarti Air Cina.

Pantai Oesina terletak di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pantai ini terletak sekitar 30 km dari pusat Kota Kupang dan memerlukan waktu kurang lebih 1 jam untuk sampai. Akses jalan sudah cukup baik, walaupun masih terdapat banyak lubang dan juga jalan bebatuan. Namun, masih sangat bisa ditempuh oleh motor, mobil, maupun truk.

Kami pergi dengan menggunakan kendaraan yang telah kami siapkan sebelumnya, dikarenakan tidak ada angkutan umum yang memiliki jalur rute menuju pantai tersebut. Kami sampai pukul 13.00 WITA dengan disambut oleh dua ibu-ibu yang duduk menjaga gerbang masuk pantai. Kami membayar uang masuk dengan kisaran Rp6.000 untuk masing-masing dua orang dan motor yang ditumpangi.

Jejeran Gazebo Pantai Oesina
Jejeran gazebo di Pantai Oesina/Resti Seli

Pantai ini tertata rapi dengan jejeran gazebo sebagai alternatif tempat berteduh dan berkumpul sambil melakukan kegiatan-kegiatan santai. Jangan khawatir apabila tidak membawa persediaan makanan yang cukup, karena pantai ini memiliki warung atau kios-kios untuk menjajalkan makanan dan minumannya.

Setelah sampai, kami langsung menuju gazebo yang sudah dipesan sebelumnya dengan membayar uang sewa Rp50.000. Namun, karena kami berjumlah 30 orang sehingga gazebo kecil itu tidak akan cukup menampung kami maka, gazebo itu hanya kami pakai untuk menaruh makanan dan minuman yang telah kami bawa masing-masing. Sedangkan untuk duduk dan bersantai, kami membuka terpal yang dibawa sebagai alas duduk kami. Sederhana, tetapi sangat menyenangkan. Kami memilih tempat yang sangat strategis, tepat dibawah sebuah pohon rindang sehingga kami tidak memerlukan “atap” lagi. Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, kami memulai rekreasi dengan bermain games mulai dari flip bottle, mencari dan mengumpulkan teman, hingga permainan tradisional galasin atau gobak sodor. 

Suasana di Pantai Oesina
Suasana di Pantai Oesina/Resti Seli

Pasir pantai yang putih dan bersih membuat siapa saja dengan rela merebahkan diri diatas pasir ini. Namun, pasir ini merupakan jenis yang biasa kami sebut “pasir tanam” sehingga cukup melelahkan apabila berlari dan melompat di pasir ini. Jenis pasir ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk bermain galasin. Kami membuat dua tim dengan masing-masing berjumlah 6 orang. Satu tim bermain dan satu tim berusaha menghadang.

Permainan ini mudah dimengerti dan mudah dilakukan karena tidak memerlukan peralatan-peralatan pendukung lainnya. Cukup membutuhkan ketangkasan dan kecepatan dalam berlari. Namun, apabila berlari diatas “pasir tanam” itu sangat membutuhkan energi dan tenaga yang banyak. Itulah kenapa tim yang mendapat giliran bermain sangat sering tertangkap. Kami menikmati permainan itu, bahkan cuaca panas terik tak kami hiraukan.

Setelah cukup puas bermain, kami mulai berpencar untuk mencari spot foto masing-masing. Saya berjalan menuju arah tebing yang sepertinya akan dibangun dermaga disana. Tebing itu besar dan panjang, menjadi ikon khas Pantai Air Cina. 

Aktifitas Penduduk Mencari Batu Karang Kecil
Aktifitas penduduk mencari batu karang kecil/Resti Seli

Sembari melihat-lihat aktivitas pengunjung, saya juga melihat aktivitas penduduk di sekitaran pantai ini. Ada yang sedang memeriksa juluran temali memanjang dan mengapung di permukaan air dengan bantuan botol plastik, menandakan penduduk disini aktif membudidayakan rumput laut. Saya juga melihat ada seorang ibu bersama dua anaknya yang sedang memilih batu-batu karang kecil, sepertinya akan dijual bagi pengunjung yang mampir atau untuk keperluan mereka sendiri. Saya teringat pada kalimat pendek yang pernah saya dengar “alam telah menyediakan semuanya, tinggal bagaimana kamu mengusahakannya” dan memang benar. Buktinya mayoritas masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut dan segala isinya. Begitu juga bagi masyarakat di daerah dataran tinggi misalnya, penduduknya pasti sangat bergantung pada kondisi pertanian mereka.

Jalan-jalan singkat sembari mengamati sekeliling membuat saya tidak menyadari bahwa hari sedikit lagi akan selesai, dan matahari mulai menampakkan senjanya seolah-olah sebagai ucapan pamit kepada saya dan orang-orang di pantai ini. Senja disini indah bukan main, sangat pas bagi yang ingin berfoto ala-ala siluet.

Senja di Pantai Oesina
Senja di Pantai Oesina

Hari semakin gelap, kami kembali berkumpul kemudian bersiap-siap membereskan barang bawaan kami dan tidak lupa memungut sampah kami dan membuangnya ke tempat yang telah disediakan. Tentu saja, agar pantai ini tetap bersih dan memiliki keindahan yang asri.

Kami pulang dengan rasa lelah bercampur senang, bahagia, dan bersyukur (setidaknya bagi saya). Iya, bersyukur! karena masih diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu, bermain, tertawa, dan bergembira bersama hari itu. Sekaligus, bisa melihat dan mengamati aktivitas penduduk di sana lebih dekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/feed/ 0 29351
Melepas Penantian di Pantai Sulamanda https://telusuri.id/melepas-penantian-di-pantai-sulamanda/ https://telusuri.id/melepas-penantian-di-pantai-sulamanda/#respond Sat, 07 Aug 2021 06:05:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28788 Setiap pertemuan akan ada perpisahan. Begitu pula yang saya rasakan sekitar 2 tahun silam. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), saya tak lagi bertemu dengan seorang teman karib karena ia merantau ke Jakarta demi melanjutkan...

The post Melepas Penantian di Pantai Sulamanda appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap pertemuan akan ada perpisahan. Begitu pula yang saya rasakan sekitar 2 tahun silam. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), saya tak lagi bertemu dengan seorang teman karib karena ia merantau ke Jakarta demi melanjutkan pendidikan sekolah kedinasannya. Kami hanya berkirim kabar melalui telepon seluler. 

2 tahun berlalu tanpa tatap muka langsung dengan dirinya. Hingga tepat, 22 Mei 2021 lalu. Dia pulang kembali ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia mengajak saya untuk bertemu di Pantai Sulamanda, Jalan Parawisata, Desa Mata Air, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Jarak dari Kota Kupang menuju Pantai Sulamanda kurang lebih sekitar 11 km dengan memakan waktu sekitar 30 menit. Cukup jauh memang, namun tak saya hiraukan karena rindu yang begitu menggebu-gebu untuk bertemu dia. Dengan berpatokan pada Google Maps, saya melewati beberapa tempat yaitu Matani, Bimoku, dan Tarus. 

Setelah itu, tibalah saya di Desa Mata Air. Jalan masuk menuju Pantai Sulamanda tidak terlalu jauh, namun karena jalan yang sempit dan berbatu membuat saya melajukan motor dengan pelan dan hati-hati. Karena kondisi jalan cukup sempit, agak sulit rasanya jika masuk menggunakan mobil, apalagi ada dua mobil yang saling bertemu. Percayalah, sulit sekali. 

Sepanjang jalan masuk, persawahan yang luas terbentang menyambut saya, seakan-akan sawah itu mengiringi langkah saya menuju pantai. Sepanjang jalan, langit tampak cerah, burung-burung sawah, padi, pohon kelapa dan berbagai jenis sayuran yang ada di sawah ini. Seakan-akan, sebelum menikmati keindahan Pantai Sulamanda, Desa Mata Air menyajikan persawahan indah sebagai hidangan pembukanya. 

Setibanya di Pantai Sulamanda, tulisan SULAMANDA dan Bumdes INA HUK menyambut. Kata orang-orang di sana, SULAMANDA memiliki kepanjangan “Sudah Lama Menanti Anda.” Berdasarkan penafsiran saya, makna dibalik itu adalah seolah-olah pantai tersebut telah menanti kedatangan saya dan secara tak langsung, saya mengetahui alasan mengapa teman saya meminta untuk bertemu di pantai ini. Seperti penantian atas dua tahun tidak bertemu.

Lalu, berdasarkan hasil penelusuran saya, BUMDES singkatan dari Badan Usaha Milik Desa dan INA HUK sendiri diambil dari bahasa Timor yang berarti “satu ibu,” diharapkan pantai ini dapat menjadi seorang ibu yang mampu menyusui dan mengayomi seluruh anak-anak Desa Mata Air agar nanti dapat tumbuh menjadi sejahtera. Makna yang dalam.

Bumdes INA HUK di depang gerbang/Resti Seli

Setelah itu, saya langsung mencari teman saya di tempat yang sudah ia beritahu sebelumnya. Mencari-cari tempat tersebut, saya melihat cukup banyak lopo atau gazebo di pantai ini dan ada banyak kios-kios kecil berjejer menjajakan makanan. Mulai dari makanan ringan, kopi hingga susu tersedia di sini. Namanya juga pantai, kurang afdol jika tak ada kelapa. Semua kios di sini menjual air kelapa dan bisa langsung diminum dari buahnya.

Bukan hanya itu, di sini juga disediakan mic lengkap dengan audio. Instrumen lagu apa saja dapat diputar, sisanya siapapun bisa bernyanyi dengan bebas dan volume yang tidak main-main besarnya. Sehingga, jika bertandang ke pantai ini memang akan terkesan ramai dan ribut karena suara karaoke tersebut.

Sama seperti waktu kedatangan saya, seorang pengunjung meminta untuk bernyanyi sebuah lagu “Robeklah dada ini sayang, bila hatimu ragu, lihatlah di dalam batinku, hanya ada satu namamu, ku lukis dengan dengan tinta emas.” Dan pengunjung lainnya pun ikut bernyanyi, seperti lirik dalam lagu tersebut mewakili isi hati mereka.

Lopo Kecil Sulamanda/Resti Seli

Saya juga melihat sebuah tempat dengan bentuk hati di tengahnya, cocok untuk berfoto bersama pasangan, sahabat atau orang terkasih. Di sini juga terdapat dua toilet yang cukup bersih serta beberapa tempat sampah yang terbuat dari drum besar. Secara keseluruhan, pantai ini benar-benar tertata rapi, kebersihannya pun dijaga. Para pedagang juga ramah. Menambah kesan nyaman.

Tak lama kemudian, saya berjumpa dengan teman yang sudah menunggu saya di sebuah lopo. Terpancar senyum hangat dari wajah kami. Saya duduk dan memulai perbincangan seru kami. Kuliah, teman dan lingkungan baru, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, dan pelbagai macam cerita lain selayaknya dua sejoli yang sudah lama terpisah. Sembari bercerita, kami memesan air kelapa muda dan menikmati pemandangan pantai yang semakin sore, semakin ramai dengan pengunjung.

Ada yang berenang dan berfoto. Ada juga tim pemain bola yang berlatih di ujung pantai sana.

Senja dan Siluet Orang-Orang/Resti Seli

Senja di pantai ini juga tak kalah indah. Senja dan siluet orang berlalu-lalang di ujung sana, seperti memberi kesan manis yang wajib dipotret.

Kami pun semakin larut dalam perbincangan. Seolah-olah cerita selama 2 tahun belakangan ini, kami simpan dengan rapi untuk diceritakan saat itu. Dan Sulamanda, menjadi tempat yang menanti-nanti kedatangan kami. Jika suatu saat kami berpisah kembali, Sulamanda akan menjadi tempat yang selalu dikenang dan dirindukan, atas penantian, segudang kisah, dan segala macam keindahannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melepas Penantian di Pantai Sulamanda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melepas-penantian-di-pantai-sulamanda/feed/ 0 28788
Mengunjungi Pantai Baliana https://telusuri.id/keindahan-wisata-baru-pantai-baliana-dan-minimnya-fasilitas-penunjang/ https://telusuri.id/keindahan-wisata-baru-pantai-baliana-dan-minimnya-fasilitas-penunjang/#respond Mon, 02 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29253 Perjalanan kali ini berawal dari sebuah postingan video singkat WhatsApp story milik seorang teman, yang sedang berada di Pantai Baliana. “Ini pante (pantai) yang ada (sedang) viral.” Begitu kira-kira caption story (dalam bahasa Kupang) tersebut. ...

The post Mengunjungi Pantai Baliana appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kali ini berawal dari sebuah postingan video singkat WhatsApp story milik seorang teman, yang sedang berada di Pantai Baliana. “Ini pante (pantai) yang ada (sedang) viral.” Begitu kira-kira caption story (dalam bahasa Kupang) tersebut. 

Tanpa berpikir lama esoknya pada Minggu, 21 Juni 2021 lalu, saya bersama beberapa teman langsung bertandang ke pantai tersebut. Pantai yang terletak di wilayah Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ini berjarak sekitar 20 km dari pusat Kota Kupang. Selain tidak terlalu jauh, kondisi jalan menuju ke sana juga sudah bagus. Perjalanan pun terasa nyaman dan lancar.

Meski begitu, saat mendekati pantai, jalan yang tadinya aspal mulus, mulai berlubang-lubang. Jalan berlupang ini berujung pada jalan berbatu dengan tanah putih dan sempit. Tak muat untuk lewat dua buah mobil.

Lama-kelamaan jalan semakin sempit. Hanya bisa dilewati satu mobil saja. Dari kejauhan pun mulai terlihat batu-batu karang, jalannya mulai berkelok-kelok, menurun, menukik tajam. Saya dan teman-teman memilih untuk memarkir motor 200 meter dari pantai.

Jalan tanah putih menuju Pantai Baliana/Resti Seli

Perjalanan menuju Pantai Baliana

Mulailah kami berjalan kaki, melewati semak-semak seperti ingin memasuki hutan. Saya berjalan sambil memegang botol minum yang saya bawa karena sebelumnya, seorang teman mengatakan bahwa di pantai tersebut belum ada kios yang menjajakan makanan dan minuman. Jalan tanah putih tadi membuat kaki saya kotor, putih, seperti orang yang sudah lama tidak tersentuh air.

Akhirnya, perjalanan yang cukup melelahkan di tengah terik matahari selesai. Pepohonan rindang menyambut kedatangan kami. Tidak jauh dari situ, di depan kami terlihat ombak-ombak kecil yang datang silih berganti. Menandakan bahwa kami telah sampai di Pantai Baliana, pantai yang sedang viral katanya. 

Motor-motor pengunjung yang berhasil masuk, terparkir dengan rapi. Setiap sudut pantai penuh dengan pengunjung. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa ada di sini. Mereka umumnya datang bersama keluarga, teman, dan juga kekasih.

Saya mulai melanjutkan langkah lalu bertemu dengan sebuah menara yang berdiri kokoh entah untuk apa. Ada pula orang-orang di atas menara tersebut. Lalu, ada pula gubuk reot yang dipenuhi orang di dalamnya. Ada juga yang berjualan jagung, kacang goreng, dan air minum di sana.

Menara dan keramaian/Resti Seli

Suasana Pantai Baliana

Terang saja pantai ini ramai. Banyak hal yang menarik perhatian pengunjung. Sebut saja gugusan batu karang besar yang memanjang dari ujung ke ujung yang menjadi pembatas antara hutan dan pantai. Jadi, pengunjung dapat berdiri di atas jejeran batu karang tersebut untuk memandangi keindahan pantai. Namun, tentu harus berhati-hati karena tidak ada tangga turun dari sana. Jika pengunjung turun ke bibir pantai maka harus melalui cela-cela batu karang. Begitu juga jika ingin naik, harus memanjat batu karang tersebut.

Berbahaya memang, tetapi sepertinya pengunjung yang datang terlalu bersemangat untuk turun merasakan serunya bermain ombak di Pantai Baliana ini. Mereka seperti tidak peduli resiko apabila sampai terjatuh. Tetapi sepertinya, pengunjung sangat berhati-hati naik-turun tebing batu karang itu.

Kami datang berkunjung pada waktu yang tepat, saat air laut sedang surut. Oleh karenanya, kami dan para pengunjung lain bisa berenang, menikmati ombak-ombak kecil pantai ini. Ada juga pengunjung yang menaiki perahu kecil untuk sekadar melompat ke air, menunjukkan atraksi-atraksi sederhana mereka kepada pengunjung lain.

Lain cerita jika kami datang saat air laut sedang pasang. Sudah pasti kami hanya berfoto saja karena tidak bisa turun ke pantai.Untuk pasir pantainya, berwarna putih dengan campuran sedikit warna pink, bersih dan halus.

Sampah di Pantai Baliana/Resti Seli

Sampah yang berserakan

Namun sayangnya, budaya buang sampah sembarangan masih merajalela. Semakin ramai pengunjung, semakin banyak pula sampah bertebaran di segala tempat. Begitulah yang saya jumpai di pantai ini. Mulai dari bungkusan rokok, plastik, kemasan botol air, kertas pembungkus nasi, bungkusan permen, dan banyak lagi.

Saya mulai menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari tempat sampah, namun saya tidak menemukannya. Atau mungkin, saya yang kurang teliti sehingga tidak melihatnya.

Sungguh sedih rasanya. Keindahan pantai ternoda oleh sampah-sampah yang berserakan.

Saya pun sempat bertanya-tanya dalam hati, “Apakah lebih baik jika pantai ini tetap tersembunyi? Jika tidak dikenal banyak orang seperti sekarang, akankah tetap bersih dan asri?”

Semoga kedepannya, ada perhatian lebih dari pemerintah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas penunjang wisata di pantai ini seperti: pengadaan tempat sampah, akses berupa tangga menuju pantai—sehingga pengunjung tidak perlu memanjat tebing tanpa pengaman yang memadahi—, dan satu lagi yang penting menurut saya adalah ketersediaan toilet mengingat pantai ini terletak di dalam hutan dan cukup jauh dari rumah penduduk.

Hari semakin sore, matahari mulai menampakkan senjanya. Setelah puas mengambil foto dan menikmati keindahan pantai, kami memutuskan untuk bergegas pulang sebelum hari benar-benar gelap.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Pantai Baliana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keindahan-wisata-baru-pantai-baliana-dan-minimnya-fasilitas-penunjang/feed/ 0 29253
Melihat Lebih Dekat Rupa Perjalanan dari Kupang ke Rote Kala Pandemi https://telusuri.id/kupang-rote-kala-pandemi/ https://telusuri.id/kupang-rote-kala-pandemi/#respond Wed, 28 Jul 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29344 Pertengahan bulan Juni lalu terjadi sebuah peristiwa penting yang mengharuskan saya untuk bertandang kesekian kalinya ke Pulau Rote. Saya yang merindukan Rote dan segala ceritanya, mulai bersiap-siap pada malam sebelum esok pagi-pagi buta berangkat. Saya...

The post Melihat Lebih Dekat Rupa Perjalanan dari Kupang ke Rote Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pertengahan bulan Juni lalu terjadi sebuah peristiwa penting yang mengharuskan saya untuk bertandang kesekian kalinya ke Pulau Rote. Saya yang merindukan Rote dan segala ceritanya, mulai bersiap-siap pada malam sebelum esok pagi-pagi buta berangkat. Saya menyiapkan pakaian atau barang apa saja yang perlu dibawa. Tidak lupa juga, saya membawa beberapa cemilan kecil untuk bekal selama di atas kapal.

Ya, kapal. Saya akan berangkat dengan menggunakan transportasi jalur laut. Jika berbicara jalur laut, maka sudah pasti perjalanan akan berlangsung cukup lama. Apalagi, yang saya tumpangi adalah kapal ferry lambat. Makanya, perlu untuk membawa cemilan sebagai teman agar tidak kelaparan nanti.

Saya berangkat dari rumah pukul 5 pagi karena, sesuai informasi yang didapat, kapal akan berangkat ke Pulau Rote pukul 8 pagi. Motor yang saya tumpangi membawa saya menuju Pelabuhan Bolok, Desa Nitneo, Kupang Barat. Pelabuhan penyeberangan ini, merupakan salah satu pelabuhan terkenal di Kota Kupang. 

Sesampainya di pelabuhan, saya melihat begitu banyak pengunjung yang sudah menunggu pembukaan loket untuk tes antigen dan juga GeNose. Bagi penumpang dengan tujuan Kupang—Rote (dan pastinya semua rute), memang diwajibkan untuk membawa surat bebas COVID-19. Sehingga, perjalanan akan tetap aman dan terlindung dari penularan COVID-19.

Antri GeNose
Antrian GeNose/Resti Seli

Saya memilih untuk mengikuti GeNose dikarenakan harganya lebih murah, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp50.000. Karena inilah banyak penumpang yang juga memilih GeNose. Sangat banyak yang mengantri ditambah alat teknis yang masih belum stabil—kata petugas nakes—maka, saya mengantri cukup lama hingga kelelahan. Belum lagi terjadi desak-desakan dengan penumpang lain, membuat saya semakin geram karena mereka tidak menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak dengan tepat. Bahkan, ada juga pengunjung yang sempat-sempatnya melepas masker dengan alasan kepanasan. 

Satu hal yang cukup saya soroti saat menjalani tes GeNose ini adalah, tempat yang kita pakai untuk meniup udara berbahan dasar plastik. Saya melihat ada begitu banyak tumpukannya tepat di bawah meja si petugas. GeNose memang sangat membantu karena harganya yang terjangkau, tetapi ternyata juga menyumbang banyak sampah plastik. Namun, bagaimana lagi? GeNose memang lebih murah, jadi lebih banyak diminati para pejalan.

Tes GeNose
Tes GeNose/Resti Seli

Setelah selesai mengantri tes GeNose saya berlanjut untuk membeli tiket. Sebelum itu, saya mencuci tangan terlebih dahulu. Syukurlah, setiap sudut pelabuhan disediakan tempat mencuci tangan.

Pagi hari di pelabuhan sungguh hal yang patut dinikmati. Melihat lalu-lalang orang banyak dan melihat kapal-kapal berlabuh dan berlayar, memiliki daya tariknya sendiri. Salah satu fasilitas yang sangat menarik perhatian saya adalah jalan panjang khusus untuk penumpang yang berjalan kaki. Lumayan panjang sehingga cukup instagramable.

Yap, saya sudah diatas KM (Kapal Motor) Uma Kalada dan sepersekian menit kemudian, kapal mulai berlayar.

Suasana Diatas Kapal
Suasana di atas kapal/Resti Seli

Suasana di kapal sangat ramai. Ada musik yang diputar, ada yang makan, dan ada yang lalu lalang. Meskipun begitu, penumpang yang sedang tiduran di tempat tidur—yang sudah disediakan—tidak begitu terganggu. Jika dilihat, kapal ini tidak cukup rapi. Tentu selain karena kapal ini merupakan kapal tua yang berkarat, tidak sedikit penumpang yang membuang sampah sembarangan. Begitulah, memang sebagian penumpang abai akan kebersihan. Padahal, tempat sampau sudah disediakan.

Ah, sudahlah. Saya kembali menikmati cemilan yang saya bawa sambil menikmati indahnya pemandangan. Seperti biasa, perjalanan kurang lebih 4 jam untuk sampai ke Rote.

Pelabuhan Pantai Baru
Pelabuhan Pantai Baru/Resti Seli

Akhirnya, tiba juga di Pelabuhan Pantai Baru, Rote. Dari atas kapal sangat terlihat bahwa pelabuhan ini cukup tertata rapi dengan besi-besi besar warna kekuningan. Petugas ABK (Anak Buah Kapal) segera melemparkan tali besar ke seberang dermaga yang kemudian dikaitkan di dermaga. Mungkin untuk menahan agar kapal tidak terbawa gelombang air laut—walaupun saat itu laut sedang tenang. Terlihat juga penumpang yang ingin berangkat ke Kupang sedang menunggu kapal mereka.

Sebelum memasuki pelabuhan ini, kapal akan melewati pertemuan dua pulau yang menjadi pintu masuk dan keluar pelabuhan. Sungguh memanjakan mata. Apalagi laut yang tenang membuat pemandangan dari lantai atas kapal ini sangat menenangkan. 

Setelah turun kapal, para penumpang diminta untuk menunjukkan surat bebas COVID-19. Saya lalu berjalan keluar menuju tempat parkir untuk mencari tumpangan.Pelabuhan Bolok ini tidak begitu besar, tetapi, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, pelabuhan ini ditata cukup rapi sehingga tidak sesak.

Perjalanan darat menuju Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah pun dimulai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Lebih Dekat Rupa Perjalanan dari Kupang ke Rote Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kupang-rote-kala-pandemi/feed/ 0 29344
Perjalanan Menyusuri Pulau Rote https://telusuri.id/perjalanan-menyusuri-pulau-rote/ https://telusuri.id/perjalanan-menyusuri-pulau-rote/#respond Mon, 07 Jun 2021 01:13:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28209 Perjalanan ini dilakukan pada Juni 2018. Saat itu sedang libur panjang, saya yang bertempat tinggal di Kupang memutuskan untuk berlibur sekaligus mengunjungi sanak-saudara di pulau selatan Indonesia, Rote Ndao tepatnya di Desa Sedeoen, Kecamatan Rote...

The post Perjalanan Menyusuri Pulau Rote appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini dilakukan pada Juni 2018. Saat itu sedang libur panjang, saya yang bertempat tinggal di Kupang memutuskan untuk berlibur sekaligus mengunjungi sanak-saudara di pulau selatan Indonesia, Rote Ndao tepatnya di Desa Sedeoen, Kecamatan Rote Barat dan di Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah—yang tentunya masih termasuk dalam provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya berangkat dengan menumpangi kapal feri, kapal yang sering dijumpai jika ingin bepergian Kupang—Rote atau sebaliknya.

Kapal ini cukup besar, dan tidak hanya terdiri dari satu lantai saja, tetapi ada beberapa (entah saya lupa). Intinya, dalam kapal tersebut kita masih bisa bergerak leluasa, kesana-kemari menikmati indahnya perpaduan biru laut dan langit yang bersahaja, serta pulau-pulau kecil yang berjejer seakan menghantar saya menuju lautan lepas.

Diatas Kapal Ferry—Menuju Rote/Resti Seli

Hingga akhirnya, saya benar-benar ditengah lautan lepas. Kapal berjalan dengan tenang, walaupun ada beberapa kali kapal ini oleng akibat hantaman ombak besar. Sampai-sampai membangunkan penumpang lain yang sedang tidur. Beberapa penumpang terlihat panik, tetapi sebisa mungkin tetap tenang. Perjalanan ini cukup memakan waktu kira-kira 4 jam lamanya. Saya sampai ke daratan Pulau Rote sekitar pukul 15.30 WITA.

Setelah kapal bersandar, saya pun lekas turun dan menjumpai beberapa sanak keluarga yang sudah menunggu untuk menjemput saya. Tak butuh waktu lama, motor saya mulai melaju. Lelah sudah, tetapi sekali lagi. Alam Rote tidak pernah mengecewakan.  Sepanjang jalan, adakalanya saya ditemani pepohonan rimbun seperti hutan lalu tak lama kemudian, ladang luas dan cuaca panas menyapa kulit saya. 

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, saya tiba di Desa Sedeoen. Indah bukan main desa ini. Berada tepat di pesisir pantai, seluruh tanah di sini diselimuti pasir pantai. Di depan rumah saya berhadapan langsung dengan penginapan berbentuk rumah kecil beratapkan daun lontar, berjejer lurus di depan. Penginapan ini dibangun oleh orang asing yang membeli tanah di sini dan mendirikan usaha penginapan.

Potret Pantai Sedeoen/Resti Seli

Dibalik penginapan-penginapan ini terdapat pantai Sedeoen yang indah di belakangnya.  Untuk sampai ke pantai tersebut, saya berjalan sekitar 35 meter melewati lorong setapak kecil di sela-sela penginapan. Setapak itu menuntun langkah saya menuju pantai indah yang terbentang di ujung sana. Setapak itu terbentang sepanjang pantai, untuk memudahkan pengunjung atau siapa pun yang ingin menikmati keindahan pantai.

Pantainya bersih, pasirnya putih, beberapa perahu yang terparkir dengan baik, dan sinar matahari yang menyengat. Pantai ini juga terdapat rumah kecil atau pondok beratapkan daun kelapa. Tempat berteduh bagi siapa saja di pantai itu. 

Desa ini juga menjadi salah satu saksi menghantar mentari ke peraduannya. Itulah mengapa, senja terlihat sangat bersahaja di sini. 

Setelah beberapa hari di sini, saya pergi mengunjungi sanak-saudara lainnya di belahan Pulau Rote yang lain. Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah. Tidak jauh berbeda, sepanjang perjalanan saya berjumpa dengan pepohonan rimbun kemudian, padang yang terbentang luas. Memakan waktu kurang lebih 1 jam.

Pemandangan yang berbeda ditemui di sini, bukan pantai. Tetapi, sawah hijau yang sangat luas. Persawahan ini terletak tepat di depan rumah saya. Sehingga, udara di sini sangat sejuk. Terdapat juga kolam ditengah sawah yang memanfaatkan masyarakat sebagai tempat menimba air minum dan tempat mandi. Namun jangan salah, ditengah kolam ini sudah dibangun tembok yang memisahkan air minum dan tempat mandi. Air di bagian atas atau yang berasal langsung dari mata air, akan dijadikan warga sebagai air minum. Setelahnya dibagian bawah, adalah tempat mandi atau berendam bagi siapa saja. 

Sawah di Desa Lole/Resti Seli

Saya bermalam di desa ini, ketika malam menjelang, suhu menjadi sangat dingin. Untuk menghangatkan tubuh dan memuaskan lapar di perut, saya bersama beberapa anggota keluarga lainnya, memilih untuk membuat api lalu membakar seekor babi kecil (kami non-muslim). Itu hal yang biasa bagi saya, setiap kali saya berkunjung kesini, pasti akan disuguhkan dengan membunuh ayam atau seekor babi kecil.

Sayangnya, waktu itu sama sekali belum ada listrik yang masuk di desa itu. Sehingga gelap gulita menutupi pandangan kami. Jadi, untuk melewati malam, kami bertukar cerita, sembari menikmati makan malam—daging babi bakar—ditemani remang-remang lampu ti’oek. Lampu tradisional yang menggunakan sumbu dan minyak tanah. Kemudian, kami pun tertidur pulas.

Selang beberapa hari lamanya, perjalanan saya telah usai. Saya diantar ke pelabuhan Ba’a tempat kapal dengan rute Rote—Kupang menjemput saya. Saya pergi dengan keindahan Pulau Rote yang membekas dihati, pantainya yang bersih dan menarik serta persawahan yang sejuk dengan kolam kecil di tengahnya, menambah kesan tersendiri bagi perjalanan saya kala itu.

Pantai Sedeoen dan Persawahan Desa Lole, hanyalah sebagian kecil dari sejuta keindahan yang ada di Pulau Rote, ini membuat saya ingin kembali suatu waktu, untuk menjelajahi dan menemukan kecantikan alam lainnya.

The post Perjalanan Menyusuri Pulau Rote appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menyusuri-pulau-rote/feed/ 0 28209
Senja dan Harapan Baru Diujung Pantai Nunhila https://telusuri.id/senja-dan-harapan-baru-diujung-pantai-nunhila/ https://telusuri.id/senja-dan-harapan-baru-diujung-pantai-nunhila/#comments Tue, 01 Jun 2021 01:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28191 Menginjak usia 20 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa semester 6, membuat saya sedikit demi sedikit mulai serius memikirkan masa depan. Menyadari masa yang saya lalui saat ini bukan lagi bermain, melompat dan berlari sembari...

The post Senja dan Harapan Baru Diujung Pantai Nunhila appeared first on TelusuRI.

]]>
Menginjak usia 20 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa semester 6, membuat saya sedikit demi sedikit mulai serius memikirkan masa depan. Menyadari masa yang saya lalui saat ini bukan lagi bermain, melompat dan berlari sembari tertawa riang bersama teman. Tidak lagi.

Pikiran menjadi kalut tak karuan, banyak hal dipikirkan. Seakan-akan tiap unsur 5W+1H lengkap dipertanyakan. Tak jarang, saya memilih mengasingkan diri dari orang-orang. Berdiam di dalam kamar, merenungi, dan merancang strategi seperti apa saya nanti.

Ketika sedang merebahkan diri diatas kasur empuk, dengan wangi sprei yang baru saja dicuci oleh ibu, tiba-tiba suara telepon masuk berdering. Seorang teman menghubungi. Kami berbincang sekitar 5 menit, kemudian dia mengajak saya keluar untuk sekadar menikmati senja bersama hangat sinarnya itu. “Waktu yang pas bagi pikiran yang kalut” gumam saya. 

Tak butuh waktu lama, motor saya sudah melaju menuju tempat yang disepakati, Pantai Nunhila. Pantai yang terletak di Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 15 menit perjalanan, saya pun sampai pukul 16.25 WITA. Saya memarkirkan motor dan langsung menghampiri teman yang sudah duduk dengan balutan hoodie ungu nya.

Kami duduk diatas tanggul pembatas antara jalan dan pantai dengan tinggi sekitar 1 meter. Tenang, jarak tanggul dengan pantai kurang lebih 5 meter. Di hadapan kami terbentang pantai yang luas, dengan aktivitas nelayan dikejauhan sana. Beberapa perahu nelayan ada yang lalu-lalang di depan kami. “Ingin suatu saat saya menaiki perahu tersebut, berkelana, mencari tujuan hidup saya,” seru saya kepada teman di samping. Dia tidak menanggapinya, mungkin karena sedang fokus memperhatikan laju perahu itu.

Suasana sore itu cukup ramai, selain karena pantai ini terletak tepat di samping jalan raya, cukup banyak pengunjung yang juga hadir menikmati senja bersama keluarga atau sekadar melepas lelah selepas pulang kantor. Ada beberapa anak muda yang nongkrong dan bersenda gurau. Melihat mereka tertawa, saya seperti menyerap energi positif dari mereka.

Suasana Pengunjung dan PKL di Sekitaran Tanggul/Resti Seli

Pantai Nunhila memang sudah disiapkan pemerintah setempat sebagai salah satu tempat wisata dengan suguhan sunset terbaiknya. Itulah mengapa, pantai ini sangat terkenal di Kota Kupang. Selain suguhan sunset yang begitu indah, tak lengkap rasanya apabila tidak ditemani jajanan kaki lima. Minuman hangat, jagung bakar, dan yang paling terkenal adalah Salome khas Kota Kupang, jajanan bulat dan kenyal (bukan cilok) berisi daging disajikan dengan kuah ditambah sambal, kecap, dan saos. Walaupun banyak PKL, jangan diragukan kebersihan pantai ini. Tetap bersih.

Kembali pada senja, saya adalah orang yang tidak terlalu suka memperhatikan senja sebelumnya. Yang sekadar lewat, dan tahu itu senja. Tanpa observasi dan perhatian lebih padanya (senja). Namun, setelah melihat senja milik Pantai Nunhila ini, rasanya menenangkan. Hangat sinarnya yang perlahan mulai sirna dan hembusan angin pantai yang terasa, seakan membuat saya hanyut dalam suasana sore itu. Langit yang cerah menambah kesempurnaan senja. Beruntung sekali, sore itu langit tidak mendung (apalagi hujan) sehingga semakin lengkap suasana tenang itu. Langit tentram diterpa warna api matahari yang sedikit lagi terbenam. Terlihat begitu bersahaja dan agung diatas.

Senja di Pantai Nunhila/Resti Seli

Tak ingin melupakan momen, saya mengambil handphone dan memotret beberapa gambar (termasuk gambar saya). Saya tersenyum lebar di depan kamera.

Saya sedikit menyesal mengapa keindahan dan ketenangan seperti ini baru saya ketahui padahal, sudah sering saya melewati jalur ini. Kemana saya selama ini? Mungkin karena saya terlalu sibuk mengkhawatirkan usia 20 dan masa depan, sehingga saya lupa ada keindahan seperti ini yang bisa saya dapatkan untuk menenangkan pikiran ketimbang mengasingkan diri di dalam kamar. Mungkin salah satu alasan Tuhan menciptakan senja adalah sebagai pelipur lara, sepi, dan keputusasaan, yang tidak bisa kita cari di dalam ‘kamar’. Keluar dan temukan ketenangannya, kemudian harapan baru akan menyusul.

Untuk pertama kalinya bersama hiruk-pikuk pikiran, saya menghantar sang mentari kembali pada peraduannya di ujung sana.  

Tanggul yang kami duduki semakin ramai, tanggul pembatas antara jalan dan pantai, seperti senja yang menjadi pembatas antara siang dan malam. Mungkin agar kita tidak mudah jatuh, terperangkap dalam kekecewaan. 

Indah bukan main menurut saya. Layaknya senja, walau hanya sebentar, dia selalu hadir bersama keindahan yang diukirnya. Pertanda akan ada hari esok yang jauh lebih baik. Saya seperti mendapat semangat dan motivasi baru untuk menjalani hidup, menempuh perkuliahan dan meramu masa depan saya.

Waktu menunjukkan pukul 18.30 WITA, senja sudah tidak nampak lagi, hanya tersisa gelap yang terlihat. Memang, ada cahaya dari remangnya lampu jalan dan dari lampu kendaraan yang lewat. Tetapi, cahaya-cahaya rancangan ‘tangan manusia’ itu, tidak sebanding indahnya dengan karya sang semesta. Senja, langit, dan Pantai Nunhila.

The post Senja dan Harapan Baru Diujung Pantai Nunhila appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/senja-dan-harapan-baru-diujung-pantai-nunhila/feed/ 2 28191