Retno Septyorini https://telusuri.id/penulis/retnoseptyorini/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 17 Mar 2025 10:54:46 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Retno Septyorini https://telusuri.id/penulis/retnoseptyorini/ 32 32 135956295 “Sego Godog” Khas Bantul di Warung Bakmi Gilang https://telusuri.id/sego-godog-khas-bantul-di-warung-bakmi-gilang/ https://telusuri.id/sego-godog-khas-bantul-di-warung-bakmi-gilang/#respond Wed, 23 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42904 Sedap bawang menguar di udara. Seperti biasanya, ibu memesan nasi goreng, sedangkan saya, lagi-lagi menjatuhkan pilihan pada seporsi sego godog. Salah satu menu khas Bantul yang enak dan kemepyar di lidah saya, meski acap kali...

The post “Sego Godog” Khas Bantul di Warung Bakmi Gilang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sedap bawang menguar di udara. Seperti biasanya, ibu memesan nasi goreng, sedangkan saya, lagi-lagi menjatuhkan pilihan pada seporsi sego godog. Salah satu menu khas Bantul yang enak dan kemepyar di lidah saya, meski acap kali konsepnya dipertanyakan oleh beberapa teman dekat saya. 

Seperti seorang kawan yang menikahi orang Bantul. Ia mengomentari status Whatsapp saya, yang baru saja menghabiskan seporsi sego godog di Warung Bakmi Gilang. “Aku sampai sekarang nggak habis pikir dengan konsep sego godog ini. Tapi suamiku doyan.”

Saya hanya tertawa membaca pesannya malam itu. Ia merasa aneh dengan menu sedap khas Bantul yang satu ini. Bukan cuma dia. Ada beberapa kawan yang mempertanyakan hal senada pada asal usul menu yang “mengawinkan” nasi dengan mi tersebut.

“Sego Godog” di Warung Bakmi Gilang
Kaldu ayam kampung, kunci kelezatan sego godog/Retno Septyorini

Perkenalan Pertama dengan Sego Godog

Sego godog merupakan menu yang dibuat dari kombinasi nasi dan mi, yang dibumbui layaknya bakmi rebus (godok atau godog). Porsi nasi yang digunakan lebih dominan. Di sekitaran Jogja, menu sego godog bisa ditemukan di berbagai warung bakmi jawa. 

Bagi sebagian orang, sego godog mungkin terlihat agak aneh. Selain perkara nasi yang umumnya dimasak liwet atau bubur saja, sekilas sego godog terdengar seperti menu yang kurang sehat karena menggabungkan dua jenis karbohidrat dalam satu masakan. 

Padahal konsep menu dengan dobel karbo macam itu banyak kita temukan di pasaran. Mulai dari magelangan, jenang-jenangan yang bercita rasa manis, hingga camilan tradisional macam klepon cenil ataupun gatot tiwul yang sering disajikan bersamaan dalam satu porsi. 

Walaupun dikenal sebagai salah satu kuliner khas Bantul, tapi sego godog pertama yang saya coba bukan berlokasi di Bantul. Melainkan di kedai mi yang berada sisi timur Terminal Jombor, Sleman. Sayang saya lupa nama warungnya. Saking enaknya menu ini, kalau sedang berada di sekitar Jombor, saya rela buat mampir lagi untuk sekadar mencicipi sego godog-nya saja. 

“Sego Godog” di Warung Bakmi Gilang
Tampak depan Warung Bakmi Gilang di Manding, Bantul/Retno Septyorini

Sego Godog ala Bakmi Gilang, Kedai Bakmi Legendaris di Bantul

Setelah jarang main ke kota, akhirnya saya menemukan lagi menu sego godog di Warung Bakmi Gilang. Itu pun tidak sengaja. Jadi, setiap bulannya saya ada jadwal mengantar simbah kontrol ke salah satu rumah sakit di ujung selatan Bantul. Karena jadwal kontrolnya selalu malam hari, otomatis menu yang tersedia di jalan pun cukup terbatas. Kebanyakan, ya, cuma warung mi atau bakso saja.

Awalnya kami sering mampir di Warung Bakmi Gilang yang berada di Jalan Bantul. Menu yang selalu saya pesan bukan sego godog, melainkan capcai rebus. Kebetulan kalau sudah malam saya lebih suka makan yang ringan di pencernaan. Saat Warung Bakmi Gilang langganan cabang Jalan Bantul itu berkali-kali tutup, saya beralih ke Warung Bakmi Gilang yang berada di Jalan Parangtritis. Lokasinya tidak jauh dari perempatan Manding, berhadap-hadapan dengan gudang JNE.

Ternyata, Warung Bakmi Gilang merupakan salah satu warung bakmi legendaris di Bantul. Warung yang sudah ada sejak zaman simbah saya kini membuka beberapa cabang, salah satunya di kawasan Manding yang jadi favorit saya. Setelah beberapa kali mencoba, saya memerhatikan satu perbedaan yang terlihat dalam penyajian menu ini. Kedai mi di Jombor memberi tambahan mi kuning bertekstur besar, sedangkan sego godog versi orisinal di Warung Bakmi Gilang menggunakan mi putih atau bihun. 

Namun, pernah suatu malam saya penasaran. Apakah sego godog di Warung Bakmi Gilang ini bisa ditambahi dengan mi lethek saja? Ternyata, bisa-bisa saja. Bahannya memang ada, karena mi lethek juga termasuk salah satu menu yang tersedia di warung ini. 

Setelah dicicipi berulang kali, ternyata sego godog bihun putih versus sego godog mi lethek itu sebenarnya sama-sama enak. Bedanya hanya terletak di tekstur mi lethek-nya saja. Karena dibuat dari campuran tepung gaplek dan tepung tapioka, sifat mi lethek jadi mudah menyerap air. Seiring berjalannya waktu, tekstur mi lethek jadi lembek dan berukuran besar. Padahal sego godog itu enak dinikmati pelan-pelan saja. 

Maka kalau ditanya, sego godog mana yang cita rasanya lebih cocok di lidah? Saya lebih memilih sego godog versi orisinal, yang dimasak dengan tambahan bihun. Di mana pun kedainya, kemungkinan besar saya akan memilih tambahan mi putih itu saja. Plus tanpa kecap. Bagi lidah saya, tambahan kecap malah merusak cita rasa gurih dari kaldu ayam kampung yang digunakan dalam sego godog.

Perbandingan sego godog bihun putih tanpa kecap (kiri) dan sego godog mi lethek dengan kecap (kanan)/Retno Septyorini

Cara Pas Menikmati Sego Godog

Menurut saya pribadi, sego godog merupakan menu andalan buat mengusir meriang. Konon sego godog dibuat memang untuk mengusir masuk angin. Cocok pula dinikmati di tengah musim bediding yang biasanya berlangsung sampai September. Pertama, tentu karena cita rasanya yang nikmat sehingga dapat meningkatkan nafsu makan. Seperti halnya memasak bakmi jawa, umumnya sego godog juga dimasak menggunakan kaldu ayam kampung. Ibarat kata, baru nyeruput kuahnya saja sudah enak.

Kedua, tambahan bumbu bawang, suwir ayam kampung, dan telur bebek semakin menambah kelezatan dan nilai gizinya. Rasa-rasanya durasi panasnya sego godog juga terasa lebih lama dari berbagai menu lain yang ditawarkan. Rasa kemepyar-nya juga tahan lama.

Dalam penyajiannya, sego godog di Warung Bakmi Gilang diberi tambahan berupa kacang tanah goreng, bawang goreng, seledri, irisan kol dan timun. Terakhir saya mencoba, seporsi sego godog di sini dibanderol dengan harga Rp18.000. Harga yang sama untuk menu lainnya. Beberapa menu yang pernah saya coba, seperti nasi goreng dan mi lethek rebus maupun goreng, rasanya tidak ada yang gagal.

Di warung ini, kalau pesan teh panas sepaket dengan jogjogan-nya. Artinya, pesan minuman teh akan dapat dua gelas sekaligus. Yang saya ingat, minuman jeruk panasnya juga enak. Sungguh-sungguh panas dan rasa asam jeruknya pas. 

Jadi, kalau berkesempatan jalan-jalan ke Bantul, teman-teman wajib mampir ke warung bakmi lawas yang satu ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Sego Godog” Khas Bantul di Warung Bakmi Gilang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sego-godog-khas-bantul-di-warung-bakmi-gilang/feed/ 0 42904
Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/ https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/#respond Wed, 17 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42356 Sejujurnya saya agak malas kalau disuruh mengantre bubur krecek untuk sarapan orang rumah. Alasannya sederhana, saya jarang mendapati sayur krecek yang enak versi lidah saya. Sebagian besar bubur krecek yang pernah saya cicipi rasanya cenderung...

The post Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya agak malas kalau disuruh mengantre bubur krecek untuk sarapan orang rumah. Alasannya sederhana, saya jarang mendapati sayur krecek yang enak versi lidah saya. Sebagian besar bubur krecek yang pernah saya cicipi rasanya cenderung hambar. Plus kuahnya terbilang agak encer.

Apalagi kalau ketambahan bungkus yang digunakan untuk mengemas bubur tidak diberi tambahan daun pisang yang agak layu. Lha wong diberi tambahan pelapis daun pisang saja kuah kreceknya bisa tembus sampai ke kertas makan, kok. Terlebih jika buburnya cuma dibungkus dengan kertas minyak  berwarna cokelat itu. Selain bubur akan langsung terkena lapisan plastik pada bungkus, bisa-bisa rembesan kuah kreceknya jadi lebih banyak. Kalau sudah begini, sesampainya di rumah, ada kemungkinan kuah sayur kreceknya bisa menyusut sampai habis. 

Meski terkesan sepele, tetapi hal-hal yang demikian membuat saya cukup malas untuk membeli bubur krecek sebagai menu sarapan. Apalagi kalau orang rumah maunya bubur yang masih panas. Mau makan di tempat, kok, kasihan sama simbah yang sudah pakai alat bantu jalan. Mau dibawa pulang harus sabar dengan antrean yang selalu mengular. Karena sering merasa sayang akan kuah krecek yang kerap merembes, biasanya saya membawa rantang empat tingkat.

Selain mengurangi produksi sampah harian, minimal kuah kreceknya tidak ada yang bocor. Namun, karena saya bisanya bawa sepeda motor, jadinya kalau beli bubur dengan rantang harus dibantu ibu. Sayangnya, ketidaksukaan saya untuk mengantre bubur terbentur pada kondisi nenek dan ibu yang kini tengah sakit. Jadi, perkara beli bubur untuk sarapan harus saya lakukan sendiri. dan belinya harus yang agak jauh dari rumah.

Mengapa demikian? Soalnya ibu dan nenek saya lebih menyukai bubur buatan Mbah Reso. Lebih tepatnya, ibu hanya berselera makan kalau buburnya didapat dari warung yang beralamatkan di di Jalan Bantul Km. 7,5, Sewon, Bantul, Yogyakarta itu. Mbah Reso sendiri merupakan nama pemilik kedai gudeg dengan menu andalan berupa bubur dan mangut lele tersebut.

  • Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso
  • Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso

Gudeg Mbah Reso, Andalan Warga Bantul

Ada yang penasaran kenapa namanya Gudeg Mbah Reso, tetapi menu utamanya malah bubur dan mangut lele? Nah, di sinilah letak keunikannya. Ternyata bubur buatan Mbah Reso ini menyediakan gudeg basah sebagai salah satu tambahan menu pendampingnya. Jadi, dalam seporsi bubur di kedai ini, selain diberi sayur krecek juga bisa minta tambahan gudeg basah. 

Awalnya saya merasa sedikit aneh, kok, bisa-bisanya bubur dikasih tambahan gudeg. “Apa enggak enek?” gumam saya ke ibu suatu pagi. Ternyata setelah dicoba, ya, enak-enak saja. Rasanya jadi seimbang antara gurihnya bubur, asin pedasnya sayur krecek, dan manisnya gudeg krecek. Selain tipikal bubur yang kental dan gurih, cita rasa sayur krecek di sini memang enak. Cocok buat pencinta cita rasa asin dan pedas yang agak kuat.

Menariknya lagi, seporsi bubur di sini hanya dibanderol dengan harga Rp5.000 saja. Memang agak mahal kalau dibandingkan bubur krecek di dekat rumah, yang seporsinya bisa dibawa pulang dengan tiga lembar uang seribuan saja. Akan tetapi, kalau sudah membandingkan rasanya, niscaya selisih dua ribu tak lagi jadi pertimbangan untuk memilih bubur yang terletak di kawasan Monggang ini.

Setelah beberapa kali mencicipi bubur kreceknya, ternyata perut saya lebih memilih untuk sarapan dengan nasi. Kalau cuma sarapan bubur, selang dua atau tiga jam ternyata rasa lapar sudah kembali mendera. Alhasil sebelum jam makan siang saya harus kembali memasak. Karena rasa malas kadang datang secara tiba-tiba, itulah sebabnya saat kembali ke Mbah Reso saya lebih memilih untuk membawa pulang sekalian mangut lelenya.

Sejak pertama kali berkenalan, mangut lele Mbah Reso menjadi favorit saya. Kalau teman-teman penggemar mangut lele pedas, kemungkinan besar akan cocok dengan mangut lele dari warung yang bangunannya bercat putih tersebut. Bumbu lele yang medok dan meresap, ditambah aroma smokey yang menguar pada lele membuat mangut buatan Mbah Reso terasa begitu nglawuhi. Bahkan, sisa kuahnya saja terasa enak. Tapi memang, cocoknya buat “teman” makan besar. Kalau hanya sekadar digado rasanya masih keasinan.

Menu Pelengkap Lainnya yang Harus Dicoba

Selain bubur krecek dan mangut lele, saya juga suka beli tambahan sayur untuk pelengkap bubur krecek. Biasanya saya memesan sayur krecek, gudeg basah, mi goreng, gorengan, dan kudapan baceman, seperti tahu bacem dan koro bacem. Kalau ibu saya lebih suka menyantap bubur dengan tambahan mi goreng, sedangkan bapak saya senang dengan tambahan gudeg dan baceman koronya.  

Sementara saya pribadi lebih menyukai tambahan kuah dan tahu plempung (tahu pong) yang terdapat dalam sayur kreceknya. Menyantap bubur hangat dengan kuah pedas menjadi kombinasi enak versi lidah saya. Apalagi kalau makannya ditambah dengan mendoan, maka bubur krecek akan jadi sarapan yang paripurna. Namun,kalau disuruh memilih, ya, saya tetap tim sarapan pakai nasi. 

Kalau teman-teman penasaran dengan bubur Mbah Reso, saran saya jangan datang lebih dari pukul tujuh pagi. Soalnya waktu segitu biasanya buburnya sudah habis. Saya pribadi kalau dapat titah untuk antre bubur, pukul 06.00 kurang sudah keluar dari rumah. Minimal biar masih kebagian semua incaran olahan tangan Mbah Reso. 

Oh, ya. Warung Gudeg Mbah Reso juga menyediakan tempat untuk ngiras, loh. Sebutan untuk langsung makan di sana. Bagaimana, ada yang tertarik mencicipinya juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/feed/ 0 42356
Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul https://telusuri.id/melihat-potensi-minyak-kelapa-dan-blondo-dari-bantul/ https://telusuri.id/melihat-potensi-minyak-kelapa-dan-blondo-dari-bantul/#respond Mon, 01 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42260 Ada pemandangan tak biasa yang saya dapati sewaktu mengantar ibu membeli camilan di warung tetangga. Pasalnya di samping warung tersebut berserakan kulit kelapa, lengkap dengan tumpukan daging kelapa tua yang ditempatkan dalam baskom berukuran cukup...

The post Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada pemandangan tak biasa yang saya dapati sewaktu mengantar ibu membeli camilan di warung tetangga. Pasalnya di samping warung tersebut berserakan kulit kelapa, lengkap dengan tumpukan daging kelapa tua yang ditempatkan dalam baskom berukuran cukup besar. Saya juga sempat melihat beberapa buah kentos yang satu di antaranya berukuran lebih dua kepalan tangan. 

Kentos merupakan sebutan untuk cikal bakal tunas kelapa. Kentos kadang ditemukan dalam daging kelapa yang sudah tua. Namun, tidak semua kelapa tua selalu ada kentosnya. Biasanya kelapa yang memiliki kentos adalah kelapa yang sudah tua, tetapi tidak langsung digunakan untuk memasak. Sayangnya, kelapa yang sudah keluar kentosnya itu daging buahnya akan menyusut sehingga tidak akan setebal kelapa yang belum ada kentosnya. 

Dulu, sewaktu saya masih kecil, saya sempat beberapa kali mencicipi bagian kelapa berwarna kuning gading ini. Tekstur yang empuk ditambah cita rasa yang manis membuat saya jarang menolak saat ditawari kentos oleh orang rumah. Maklum, masa muda ibu saya sempat diwarnai dengan kegiatan membuat minyak goreng sendiri. Kegiatan ini masih berlanjut hingga saya duduk di bangku sekolah dasar. 

Produksi Minyak Kelapa di Rumah Warga

Di era 90-an, saya masih menemui banyak pohon kelapa di sekitar rumah. Biasanya di setiap kebun milik warga itu ada pohon kelapanya barang satu atau dua pohon, tidak terkecuali di kebun simbah saya. Kalau sekarang paling hanya menemukan satu dua pohon saja yang biasa ditanam di tepian jalan. Beda dengan pemandangan di area Bantul yang agak selatan, di mana pohon kelapa masih banyak menjadi “peliharaan” warga.

Dulu sekali panen, simbah saya bisa mengangkut kelapa hingga dua kol. Meski sekali panen jumlahnya nggak banyak-banyak amat, selain untuk masak dan dijual di warung tetangga, kadang simbah menyisihkan sebagian hasil panen untuk dibuat minyak kelapa. Permintaan air kelapa muda waktu itu belum semasif sekarang. Jadinya, sebagian besar kelapa memang dipanen saat sudah tua. 

Karena itulah saat melihat daging kelapa yang cukup banyak tadi, saya langsung berpikir, jangan-jangan mau dibuat jadi minyak kelapa. Sebab sampai sekarang kawasan Bantul masih dikenal sebagai salah satu sentra penghasil minyak kelapa. Ditambah lagi sebelah warung yang dituju ibu saya tadi juga menyediakan stok minyak literan yang ditempatkan di etalase kayu.

Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul
Proses pencungkilan daging kelapa/Retno Septyorini

Bedanya, warung yang menjual minyak menyediakan sayur dan buah-buahan segar, sementara satunya menyediakan aneka jajanan tradisional. Warung minyak tadi milik seorang simbah yang saya lupa namanya, sedangkan warung sebelahnya milik sang menantu.

Jujur saja, deretan botol minyak goreng tersebut cukup menarik perhatian saya. Pasalnya saya juga sempat melihat pemandangan ibu penjaga warung camilan yang sedang menimbang blondo. Blondo merupakan sebutan untuk ampas bercita rasa legit yang merupakan ampas dari proses pembuatan minyak kelapa. Blondo yang tanak itu warnanya cokelat. Karena itulah ada istilah blondo cokelat dan blondo putih. 

Kalau teman-teman masih bingung tentang asal usul blondo, mungkin bisa memakai analogi seperti ini. Mudahnya, produk akhir santan yang diolah menjadi minyak itu ada dua. Ampasnya yang mengambang itu namanya blondo, dan sisanya adalah minyak kelapa. Hasil sampingan pada pembuatan minyak kelapa inilah yang nantinya diolah menjadi areh pada gudeg.

Butuh Kesabaran Ekstra

Tebakan saya ternyata benar. Ibu yang tadi tengah memecah buah kelapa bercerita bahwa daging kelapa tua tersebut memang akan diolah menjadi minyak kelapa. Ia membantu simbah pemilik warung untuk membuat minyak kelapa. Hanya saja minyak buatan simbah dikemas dengan botol bekas minyak kelapa sawit pabrikan.

Karena penasaran, saya pun bertanya pada ibu terkait pembuatan minyak kelapa. Secara garis besar, pertama kelapa harus diparut untuk dibuat menjadi santan kental. Selanjutnya santan ini dipanaskan dalam kurun waktu tertentu sampai mengeluarkan minyak. 

Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul
Perbedaan warna minyak kelapa sawit (kiri) dan minyak kelapa/Retno Septyorini

Lantas apa perbedaan minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit? Kalau dilihat secara fisik, jika dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, warna minyak kelapa cenderung lebih bening. Kalau minyak sawit berwarna lebih kekuningan. Meski demikian, dalam satu kali produksi, warna minyak kelapa juga tidak selalu sama. Biasanya tergantung pada suhu saat memasak santannya. Kalau masih pakai tungku berbahan dasar kayu, besar apinya bisa berbeda-beda. Karena itulah dalam satu kali pembuatan minyak, beda wajan bisa beda warna minyak.

Selain warna, aroma minyak kelapa dan minyak kelapa sawit juga berbeda. Pada minyak kelapa, aroma kelapanya terasa cukup kuat, sedangkan aroma pada minyak kelapa sawit cenderung netral.

Sebab minyak kelapa menghasilkan ampas berupa blondo, kadang blondo ini masih bisa terbawa meski minyak kelapa sudah melalui beberapa tahap penyaringan. Terkadang di dasar kemasan minyak kelapa terdapat endapan atau gumpalan berwarna cokelat. Beberapa kali beli minyak kelapa produksi simbah juga mendapati hal demikian. Namun, bagi saya pribadi tidak masalah karena tidak mengubah rasa minyak. 

  • Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul
  • Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul

Kembali Memasak dengan Minyak Kelapa

Di pasaran, harga minyak kelapa memang lebih mahal harga minyak kelapa sawit. Satu liter minyak kelapa biasanya masih berada di kisaran 30 ribuan rupiah, sedangkan seliter minyak kelapa sawit berkisar sepuluh ribu lebih murah. Kalau harga sedang turun, kadang malah bisa dapat di kisaran Rp19.000. Meski demikian, saya lebih suka memasak dengan minyak kelapa. Aroma yang keluar saat minyak kelapa mulai dipanaskan membuat saya lebih semangat untuk memasak.

Di lidah saya, hasil menggoreng dengan minyak kelapa juga terasa lebih gurih. Ibarat kata, pagi-pagi bikin telur dadar saja sudah bisa memperbaiki mood saya. Karena tidak hobi menggoreng makanan, biasanya satu liter minyak kelapa di rumah baru habis setelah satu bulan pemakaian. Paling banter cuma buat masak telur, ikan, atau sekedar menumis sayuran.

Kalaupun dipakai untuk menggoreng makanan, biasanya saya usahakan untuk tidak menyisakan terlalu banyak minyak. Sisa minyak yang ada biasanya saya gunakan untuk menumis sayur. Jadi, belum pernah ada cerita minyak kelapa di rumah sudah tengik sebelum digunakan.

Bagaimana dengan teman-teman, lebih suka memasak dengan minyak kelapa atau minyak kelapa sawit?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Potensi Minyak Kelapa dan Blondo dari Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-potensi-minyak-kelapa-dan-blondo-dari-bantul/feed/ 0 42260
Sego Manten, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an https://telusuri.id/sego-manten-nostalgia-menu-resepsi-pernikahan-era-1990-an/ https://telusuri.id/sego-manten-nostalgia-menu-resepsi-pernikahan-era-1990-an/#respond Mon, 17 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42163 Saya bukan tipikal orang yang datang ke tempat makan hanya karena viral di media sosial. Namun, tempat makan yang satu ini terasa berbeda. Pasalnya saat saya melihat kiriman di akun teman yang makan di kedai...

The post Sego Manten, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya bukan tipikal orang yang datang ke tempat makan hanya karena viral di media sosial. Namun, tempat makan yang satu ini terasa berbeda. Pasalnya saat saya melihat kiriman di akun teman yang makan di kedai ini, entah mengapa langsung timbul perasaan untuk ikutan mencicipi. Mungkin karena waktu itu saya sedang tinggal sendiri. Waktu melihat tempat makan yang mengusung suasana makan layaknya di rumah, saya merasa tergugah untuk segera singgah. 

Sempat beberapa pekan tinggal berjauhan dengan ibu membuat saya rindu masakan beliau. Kebetulan, Kedai Rukun—tempat yang saya tuju—ternyata juga menyediakan menu ramesan. 

“Wah, cocok!” batin saya dalam hati usai melihat akun media sosial tempat makan yang beralamatkan di Gang Darussalam, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul tersebut. Sebuah tempat makan yang berlokasi di rumah seorang warga Kadipiro. Makanya dikenal pula dengan sebutan Kedai Rukun Kadipiro.

Saat menemukan akun Instagramnya (@kedairukun), saya agak kaget melihat sebuah menu yang ditulis pada papan berwarna putih tersebut. Hah, ada sego manten? Jadilah rencana mencicipi ramesan otomatis berganti usai menemukan menu lawas yang satu ini.

Sego Manten Kedai Rukun, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an
Menu makanan dan minuman ditulis di papan tulis/Retno Septyorini

Keunikan Sego Manten

Sesuai namanya, sego manten merupakan menu utama yang disajikan di acara resepsi pernikahan gaya Jogja di era 1980 hingga 1990-an. Dulu kebanyakan resepsi pernikahan di kampung-kampung itu dilakukan dengan sistem piring terbang, bukan dengan model prasmanan seperti sekarang.

Dengan sistem piring terbang, semua menu dalam acara resepsi disajikan secara bergantian. Mulai dari kudapan dan segelas teh sebagai menu pembuka, lalu dilanjutkan sego manten sebagai menu utamanya. Bisa dibilang sego manten adalah gong pemuncak sajian makanan di acara pernikahan. Senang rasanya menemukan menu lawas tersebut di Kedai Rukun. Semacam jadi pengobat rindu pada kenangan saat diajak orang tua menghadiri acara resepsi pernikahan tahun 1990-an silam. 

Dalam bahasa Jawa, sego berarti nasi, sedangkan manten berarti pengantin. Dalam sepaket sego manten biasanya berisi nasi dengan lauk pauk yang ditata melingkar, terdiri dari kreni yang disajikan bersama kacang kapri utuh, semur telur, acar, dan kerupuk. Bedanya, di papan menu terdapat tambahan berupa sup rolade. 

Saat mengonfirmasikan ke ibu saya, sego manten yang sering beliau temui dulu tidak disajikan dengan sup. Saya sendiri lupa-lupa ingat. Namun, sependek memori saya, saat menghadiri pernikahan teman di Solo dan Sragen, sepertinya ada menu sup sebagai pelengkap sego manten tersebut. Pikir saya mungkin tergantung adat dan anggaran pernikahan. Dengan atau tanpa sup, saya tetap senang menemukan menu lawas yang lokasinya terbilang dekat dengan rumah. 

  • Sego Manten Kedai Rukun, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an
  • Sego Manten Kedai Rukun, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Persis jam makan siang, menu yang saya idam-idamkan sudah tersaji di atas meja. Saya senyum-senyum sendiri melihat nasi yang dicetak menyerupai bunga lengkap dengan beragam lauk yang ditata melingkar tersebut. Selain penyajiannya sama persis dengan sego manten yang pernah saya temui sewaktu kecil, semur telur di menu ini tidak hanya setengah, tapi disajikan utuh. Bedanya hanya dibelah dua saja.

Di lidah saya, semua lauknya terasa enak. Tekstur kreni ayam yang empuk, gurih pedasnya juga pas. Tidak berlebihan. Menu ini semakin terasa enak tatkala dinikmati dengan segarnya acar yang berisi timun, nanas, serta bawang merah dan cabai hijau. Nilai plus lainnya, semangkuk sup rolade pendamping menu dihidangkan dalam kondisi panas. Nuansa yang saya dapat persis seperti saat di kondangan manten zaman dulu. Bedanya kita cukup mengeluarkan uang sebesar Rp25.000 saja.

Bagi saya pribadi, sepaket menu sego manten yang dijual Kedai Rukun terbilang mengenyangkan. Pasalnya sup rolade juga disajikan dalam porsi yang cukup besar. Semacam menyantap dua menu dalam satu harga. Siang itu saya juga memesan es tape ketan hijau seharga Rp6.000. Catatan saya cuma satu: es tapenya agak kemanisan. Jadi, saya sempat minta tambahan es batu. Bagi yang kurang menyukai minuman manis bisa diakali dengan meminta gulanya setengah porsi saja. 

Variasi Menu Lainnya di Kedai Rukun

Menu di Kedai Rukun juga tidak monoton alias akan diganti-ganti setiap hari, seperti brongkos komplet, harang asem, ayam gepuk, bakmoy ayam hingga manut lele. Iya, namanya “manut lele” dan “harang asem”. Penamaan menu di sana memang begitu. 

Khusus sego manten yang saya ceritakan tadi hanya tersedia setiap hari Minggu saja. Selain sego manten dan sup rolade, menu favorit saya lainnya di sini adalah cumi cabe ijo. Bakmoy ayamnya juga enak. Rasanya yang ringan bisa jadi salah satu comfort food yang nikmat disantap kapan saja. 

Menariknya lagi, semua menu paket di sini sudah termasuk dengan seporsi nasi, yang penyajiannya bisa minta dipisah ataupun dicampur. Selain itu ada pula menu tambahan berupa ragam sayur dan oseng-oseng. Ada pula gorengan dan berbagai jajanan jadul, antara lain aneka kerupuk, ciki-cikian, wafer, wingko, dan yangko. Beberapa kali ke sini saya juga menemukan tape hijau yang dikemas dalam kotak plastik. 

Pilihan minuman di Kedai Rukun terbilang variatif. Tidak hanya air mineral saja, ada juga teh, jeruk, tape biasa, tape susu, aneka minuman kemasan lainnya hingga kombucha. Tinggal pilih sesuai selera. Kelebihan lainnya, bayarnya bisa nontunai atau QRIS. Tinggal beberapa kali klik dan beres. Oh, ya. Satu lagi. Kedai yang buka dari pukul 13.00 hingga 21.00 ini tidak menyediakan parkir mobil. Hanya ada parkir sepeda motor dan sepeda. 

Gimana, ada yang tertarik singgah di sini juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sego Manten, Nostalgia Menu Resepsi Pernikahan Era 1990-an appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sego-manten-nostalgia-menu-resepsi-pernikahan-era-1990-an/feed/ 0 42163
Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/ https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/#respond Thu, 18 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41717 Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup...

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup dekat dengan golongan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, uwi hingga tanaman garut atau nggarut. Selain itu di sekitar tempat tinggal saya, sumber karbohidrat nonberas masih cukup mudah ditemui.

Bagi saya pribadi, karbohidrat tidak melulu harus bersumber dari satu atau dua centong nasi. Soalnya diversifikasi karbo yang bersumber dari umbi tidak kalah enaknya, kok. Apalagi kalau dinikmati lengkap dengan kombinasi lauk selayaknya makan nasi. Kalau disantap dengan nilai gizi yang seimbang sesuai anjuran kesehatan, rasa-rasanya tidak perlu khawatir yang berlebihan saat menemui kelangkaan beras di pasar atau supermarket. Sebab selain nasi, masih banyak opsi karbo lain yang bisa dinikmati. 

Singkong, misalnya. Dilansir dari Kompas.com, dokter dan ahli gizi masyarakat DR. dr. Tan Shot Yen, M.Hum. menjelaskan bahwa dalam 100 gram nasi mengandung 129 kkal kalori dengan 27,9 gram karbohidrat, sedangkan 100 gram singkong mengandung sekitar 160 kkal dengan 38,06 gram karbohidrat. Dengan harga yang jauh lebih rendah dari beras, seperti halnya nasi, singkong juga dapat diolah menjadi beragam sumber karbohidrat yang enak dan mengenyangkan. Macam tak ada nasi, olahan singkong pun jadi. 

Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
Saya biasa memakan growol sebagai pengganti nasi, lengkap dengan sayur dan lauk/Retno Septyorini

Menikmati Growol, Pengganti Nasi yang Tak Kalah Enak

Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, singkong berhasil diolah menjadi beragam makanan yang cukup eksis di kancah lokal. Selain ada yang diolah menjadi camilan bercita rasa manis, seperti getuk, gatot, dan tiwul. Ada pula yang diolah khusus menjadi pengganti karbo, di antaranya telo kukus, telo liwet (singkong yang dimasak dengan santan gurih), tiwul gurih (biasa dijual paketan bersama dengan urap dan ikan asin), mie lethek, dan growol. Kudapan yang disebut terakhir adalah olahan singkong khas Kulon Progo.

Lini penjualan growol bahkan sudah sampai Pasar Bantul. Salah satu pasar tradisional yang kerap menjadi rujukan saya untuk berbelanja sayur. Jadinya, selain ngliwet telo, sampai sekarang growol masih menjadi alternatif karbohidrat yang acap kali tersedia di rumah. Sayangnya, saya sendiri belum pernah melihat pembuatan growol secara langsung. Sedari dulu tahunya hanya lokasi jualan growol di pasar tersebut.

Growol sendiri dibuat dengan mengolah singkong kupas yang direndam selama beberapa hari. Saat proses perendaman, air akan diganti setiap hari. Selanjutnya untuk menghilangkan aroma kecing (asam), singkong dicuci berulang kali sampai bersih, Setelah itu singkong masuk ke tahap penggilingan, pengukusan, dan pencetakan. Di Pasar Bantul, growol utuh dicetak dalam bentuk menyerupai tabung dengan diameter sekitar 20 cm. Harga jual growol tergantung besar kecilnya ukuran cetakan.

Tak hanya utuhan, growol juga dijual dalam bentuk potongan dengan harga mulai Rp2.500. Selain dimanfaatkan sebagai pengganti nasi, growol di rumah saya sering diolah dengan cara digoreng dalam balutan tepung asin yang tipis. Bisa dinikmati bersama dengan lauk yang ada tersedia di rumah. Sekilas bentuk dan tekstur growol mirip getuk. Keduanya sama-sama empuk dan tanpa serat, tetapi hanya beda di cita rasa saja. Kalau getuk condong ke manis, sedangkan growol cenderung tawar dengan sekelebat aroma asam. 

Di Bantul, growol biasa dijual bersama dengan pasangannya yang bernama kethak. Kethak merupakan kudapan yang dibuat dari ampas atau sisa pembuatan minyak kelapa (blondo), dengan ditambah bumbu manis maupun asin. Oleh karena itu di Pasar Bantul juga terdapat dua jenis kethak, yakni kethak manis dan kethak asin. Karena bukan penggemar kudapan manis, saya cenderung membeli kethak asin sebagai pelengkap growol. Seporsi kethak gurih biasa dijual dengan harga Rp5.000. 

  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi

Manfaat Growol

Meski terlihat sederhana, ditengarai growol baik dikonsumsi bagi penderita diabetes karena menawarkan indeks glikemik (IG) yang rendah. Indeks glikemik merupakan penanda yang digunakan untuk mengetahui seberapa cepat makanan yang dikonsumsi akan berpengaruh pada kenaikan gula dalam darah. 

Semakin tinggi indeks glikemik dalam suatu makanan, semakin cepat pula makanan tersebut menaikkan kadar gula dalam darah. Sebaliknya, semakin rendah indeks glikemik suatu makanan, maka semakin lama pula reaksi makanan tersebut menaikkan gula darah. Tidak heran jika kini beragam makanan dengan indeks glikemik rendah mulai banyak diminati. Tujuan pokoknya sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh lonjakan gula darah. Termasuk si growol khas Kulon Progo ini. 

Karena sudah lumayan lama mengenal growol, saya sangat mengapresiasi kinerja para pembuat growol yang senantiasa berinovasi dari waktu ke waktu. Pasalnya dulu growol dikenal luas dengan sebutan growol kecing. Sesuai namanya, growol di masa lampau memang berbau asam yang cukup menyengat di hidung. Jadi, jangan heran kalau dahulu penggemar growol kebanyakan adalah orang tua atau lansia. Terutama mereka yang harus menjalani pola makan sehat agar kadar gula dalam darah tetap terjaga.

Seiring berjalannya waktu pula, belakangan bau kecing dari growol sudah banyak berkurang. Kalaupun ada, baunya hanya sepintas lalu saja. Di indra penciuman saya, saat ini bau asam dari growol tidak begitu mengganggu sehingga sama sekali tidak mengurangi selera makan saya untuk menikmatinya.

Sekiranya penasaran ingin mencicipi sensasi makan growol saat berkunjung ke Bantul, teman-teman bisa langsung menuju jalan di belakang Pasar Bantul. Kios growol tepat berada di selatan pintu belakang pasar, tepatnya pasar yang berada di sisi timur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/feed/ 0 41717
Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/ https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/#respond Mon, 25 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41470 Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di...

The post Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di DeLoano Glamping, Purworejo. Sayangnya saya lupa nama mereknya. Sedang satu lainnya saya temui saat ada pameran produk UMKM yang dihelat di Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta. Namanya Samigiri Artisan Tea milik Ibu Surati. Meski berbeda merek, keduanya merupakan jenis teh premium dari Kulon Progo.

Kenapa saya menduga keduanya masuk kelas teh premium? Karena salah satu ciri termudah mengidentifikasi teh premium dapat dilihat dari daun teh yang mengembang sempurna saat diseduh. Selain itu, tehnya juga tidak menyisakan potongan batang. Aroma wanginya menyeruak di hidung. Pendek kata isinya murni daun teh saja.

Kalaupun ada jenis teh premium yang dicampur dengan aneka bunga atau buah kering, keduanya akan dipilih dan diproses dengan cara yang baik. Jadi, ketika diseduh dengan air hangat tanpa gula saja rasanya sudah enak. Tidak terlalu sepet seperti teh wangi atau teh tubruk pada umumnya.

Akan tetapi, sebelum berdebat lebih jauh, tentu kita harus menyadari kalau berbicara tentang teh itu berbicara pula perihal selera. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki preferensi rasa dan kesenangan masing-masing. Dalam hal ini tentu tidak ada yang benar dan salah. Tidak ada pula yang lebih baik atau sebaliknya. Namun, pada perut yang sudah tidak kuat dengan kombinasi asam pahitnya teh tubruk yang “leginastel” alias legi (manis), panas, dan kentel (kental) seperti perut saya, teh premium menjadi opsi yang lebih baik saat kangen ngeteh di pagi atau malam hari. 

Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
Contoh tanaman teh di perkebunan Nglinggo, Kulon Progo/Retno Septyorini

Mengenal Teh Gumilir Purwosari

Perkenalan saya dengan teh dari Kulon Progo ini bisa dikatakan karena ketidaksengajaan. Ceritanya Oktober tahun lalu saya dapat slot untuk mengikuti salah satu acara Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), yaitu Searah Rasa.

Dalam acara yang diampu oleh Komunitas Dje Djak Rasa tersebut, saya dapat sesi ke-5 dengan tema “Kilas Balik Kuliner Era Pangeran Diponegoro”. Acara yang dihelat di Desa Wisata Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo tersebut menjadikan teh gumilir sebagai welcome drink. Sesi ngeteh pagi itu disajikan bersama satu olahan singkong khas Kulon Progo bernama geblek goreng. 

Saat itu fokus acara bukan bercerita tentang teh, melainkan membahas tentang Nok Santri. Sebuah menu khas Purwosari yang konon menjadi menu perbekalan pasukan Pangeran Diponegoro saat terdesak di kawasan Bukit Menoreh. Nok Santri sendiri merupakan set menu berisi nasi dengan lauk seadanya yang ditemukan di Purwosari, seperti tumis pepaya muda, urap sayur, tempe dan peyek gereh petek. Kalau banyak yang penasaran, kapan-kapan saya ceritakan lebih lanjut tentang menu yang kini menjadi daya tarik unggulan dari paket wisata di Desa Wisata Purwosari ini. 

Saat memasak Nok Santri inilah peserta acara Searah Rasa juga dikenalkan pada dua komoditas khas Kulon Progo yang lain, yakni kopi dan teh gumilir. Kami pun dipersilahkan untuk mencoba proses pengeringan teh dan kopi. Caranya dengan memanggangnya secara manual sampai tekstur keduanya menjadi agak kering. Di akhir sesi, teh dan kopi yang kami panggang ternyata sengaja dibagikan untuk para peserta. Senang rasanya membawa buah tangan yang sebagian proses produksinya sempat kami rasakan bersama-sama.

  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari

Siang itu, peserta tur juga diberi tips terkait cara menyeduh teh hijau yang benar. Kata pemandu yang mendampingi, “Untuk memaksimalkan manfaat antioksidan yang ada pada teh, seduh teh dengan air bersuhu sekitar 80 derajat. Bukan dengan air mendidih. Dengan cara demikian, selain tidak merusak manfaatnya, seduhan tehnya pun tetap enak dan tidak over pahit.”

Perkara seberapa lama proses menyeduhnya, itu balik lagi ke selera masing-masing. Kalau saya pribadi cukup dua sampai tiga menit saja.

Karena saya tidak punya termometer khusus, tetapi tetap menginginkan hasil seduhan teh yang enak, saya mengakalinya dengan mendiamkan sebentar didihan air rebusan yang akan saya gunakan untuk menyeduh teh. Selain untuk diseruput selagi hangat-hangatnya, saya kerap memanfaatkan teh untuk dibuat kombucha, sebutan untuk teh yang telah mengalami proses fermentasi oleh scoby (symbiotic culture of bacteria and yeast). Senang rasanya mendapati teh premium yang dipanen langsung dari kebunnya. 

Di akhir acara, saya baru ngeh kalau di sebelah pendopo yang kami kunjungi juga menyediakan berbagai opsi buah tangan khas Purwosari. Ada geblek siap goreng, wedang sari salak, aneka kletikan, legen (tidak selalu tersedia), serta kopi dan teh gumilir.

Kabar baiknya, teh gumilir khas Purwosari ini sudah dikemas dengan sangat baik. Jadi, wangun (pantas) banget kalau dijadikan opsi oleh-oleh usai mengeksplorasi salah satu desa wisata unggulan Kulon Progo tersebut. Harganya terbilang ramah di kantung pula. Belakangan produk lokal memang sudah sebagus itu.

Cara Memesan dan Menikmati Teh Gumilir

Bagi yang penasaran dengan cita rasa teh gumilir, bisa langsung memesannya via Instagram @gumilirtea. Di akun tersebut tersemat tautan yang dapat digunakan untuk memesan teh enak ini.

Karena ingin mengulang momen menikmati welcome drink seperti di awal acara Searah Rasa, akhirnya saya memutuskan untuk membawa serta dua pak teh gumilir. Lengkap dengan geblek siap goreng yang sudah dikemas dengan sangat baik oleh warga setempat. Saat itu teh kemasan 100 gram dibanderol dengan harga Rp20.000 saja, sedangkan geblek Rp10.000/pak. 

Oh, ya. Bagi para penikmat teh di mana pun teman-teman sedang berlabuh, jangan lupa minum tehnya ketika snacking time saja. Misalnya, dinikmati bersama dengan geblek goreng seperti yang disuguhkan pengurus Desa Wisata Purwosari. Bukan saat atau sehabis makan besar. Sebab kandungan tanin dan polifenol pada teh dapat mengikat protein dan zat besi yang terkandung dalam makanan. Sayang kalau niatnya makan sehat, eh malah kandungan gizinya jadi kurang terserap.

Jadi, gimana? Ada yang tertarik mencicipi wisata teh di Kulon Progo? Atau sekalian saja berkunjung ke Desa Wisata Purwosari supaya bisa sekalian menikmati Nok Santri?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/feed/ 0 41470
Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/ https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/#respond Tue, 05 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41288 Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan...

The post Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo appeared first on TelusuRI.

]]>
Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan lokal Mollo hingga agenda makan bersama tertera di sana. 

Maklum, saya memang hobi kulineran. Sayangnya setelah dicermati dengan saksama, jadwal pameran tersebut ternyata berbarengan dengan rentetan agenda yang sudah saya susun jauh-jauh hari. Alhasil saya tidak berjodoh dengan helatan menarik tersebut. Duh!

Di luar dugaan, sebulan kemudian Galeri Lorong kembali mengunggah event serupa bertajuk Em He Tah, yang berarti “Mari Kita Makan”. Acara yang dihelat pada Minggu, 27 Agustus tahun lalu itu digawangi oleh Mbak Steffi. Seorang food science enthusiast yang akun Instagramnya sudah lama saya ikuti. Menariknya, dalam poster tersebut juga disematkan cerita di balik layar terkait pameran sekaligus demo dua resep masakan.

Ceritanya setahun belakangan Mbak Steffi dipercaya untuk mendampingi beberapa guru bimbingan belajar (bimbel) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan yang difasilitasi oleh Sunshine Project tersebut meliputi pengarsipan tanaman pangan lokal beserta resep-resep olahannya. Beragam tulisan dan foto yang terkumpul nantinya juga akan dibukukan. 

Saat artikel ini saya kirim ke Telusuri, buku yang berjudul Em He Tah tersebut sudah terbit. Kabar baiknya satu eksemplar di antaranya sudah ada di rak buku saya. Bukunya menarik sekali. Pegiat pangan lokal wajib punya! 

Pameran Pangan Lokal dan Demo Memasak

Kembali ke acaranya Mbak Steffi. Selain menawarkan pameran dan acara makan-makan, event dengan tiket masuk sebesar Rp65.000 ini ternyata juga dilengkapi dengan demo meracik dabu-dabu teri dan dabu-dabu alpukat. Sebagai orang yang gemar mencatat makanan dan perjalanan, tentu saya tidak akan melewatkannya begitu saja. Apalagi saya belum berjodoh di event Galeri Lorong sebelumnya. 

Senang rasanya melihat event terkait pangan lokal banyak dihelat di Jogja. Tidak hanya memperluas kesempatan banyak pihak untuk mencicipi potensi pangan dari pelosok Nusantara dengan harga yang lebih terjangkau. Acara seperti ini juga dapat menjadi ajang pelestarian kekayaan pangan lokal kita. Karena hal yang tidak pernah dibicarakan, lambat laun akan hilang dari peradaban. Tidak terkecuali dengan ragam pangan lokal yang ada di sekitar kita.

Saking senangnya melihat acara makan-makan ini, saya sempat mengajak beberapa kawan yang kegemarannya seiring jalan dengan hobi saya untuk mengikuti acara ini. Sayangnya yang bisa ikut cuma satu orang saja, tetapi lumayanlah ada teman yang saya kenal untuk gabung di gelaran Em He Tah ini.

  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo
  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo

Menikmati Jagung Bose

Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Sayangnya, meski berjarak 2,5 km saja dari rumah, nyatanya saya sempat wara-wiri mencari galeri yang beralamat di Jalan Nitiprayan, Dusun Jeblok RT 01 Dukuh 3, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta tersebut. Meski sudah dibantu Google Maps, saya sempat kebingungan mencari lokasi bangunan berdesain unik itu. 

Terlebih lagi letak Galeri Lorong terbilang cukup menjorok dari jalan utama. Plus tempat parkirnya juga agak masuk ke halaman. Setelah dua kali kebablasan barulah saya menyadari keberadaan galeri tempat pameran Em He Tah ini dihelat. Sesampainya di lantai dua, ternyata sudah banyak peserta yang duduk sembari menikmati berbagai olahan tangan Mbak Steffi. 

Setelah mengantre akhirnya seporsi jagung bose beserta “teman-temannya” sudah berada di pangkuan. Sore itu, lidah saya begitu gembira menyambut tiap sendok jagung bose yang saya nikmati bersama segarnya dabu-dabu teri. Beberapa suap berikutnya, saya selingi pula dengan menyeruput es asam timor. 

Tak lupa pula saya cicipi menu lain yang tersaji di samping bubur jagung khas Timor Tengah Selatan tersebut. Ubi ungu kukus bertekstur menul-menul itu sengaja saya colekkan dulu ke sambal lu’at, sebutan untuk sambal ulek segar yang difermentasi selama beberapa hari. Baru pada suapan selanjutnya, ubi kukus yang masih hangat saya nikmati dengan sedikit dabu-dabu alpukat. Ah, sedap betul.

Mungkin ini yang dinamakan cinta pada kunyahan pertama. Meski rasanya terbilang sederhana, tetapi lidah saya mengingatnya sebagai kudapan yang istimewa. Bahan pangan yang diolah dengan bumbu minimalis ternyata mampu mengeluarkan rasa asli makanan yang nyaman di lidah. Jagung bose yang kali ini dibuat dari campuran jagung putih, jagung pulut, kacang uci, kacang tunggak, labu, dan daun kelor bisa menciptakan rasa manis alami yang ringan dan cukup menyenangkan. 

“Kalau nanti bisa nyediain bahan sendiri, rasanya saya ingin mengulangi moment ini lagi,” batin saya sembari mendengarkan dengan saksama semua proses pembuatan yang tengah diceritakan Mbak Steffi.

Olahan Jagung Serupa di Bantul

Usai semua kudapan beserta segelas es asam timor tandas, saya langsung bergegas untuk bergabung sekaligus turut mengerumuni meja pameran. Saat melihat Mbak Steffi membuat dabu-dabu teri, saya sempat mencicipi teri goreng yang diletakkan di meja panjang berwarna cokelat itu. Ternyata teri dari Timor rasanya enak. 

Selain terlihat bersih, rasanya dominan gurih. Bukan tipikal teri yang diasinkan dengan kadar garam tinggi. Sebagai pencinta sambal teri, lidah saya merasa cocok dengan tipikal teri timor ini. Mencicipi jagung bose mengingatkan saya pada olahan jagung serupa yang masih banyak dijual di sekitar tempat tinggal saya. 

Di Bantul, jagung biasa diolah menjadi grontol. Sebutan untuk jagung pipil rebus yang dibumbui dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Seperti halnya mi pentil, grontol biasa dijual di pagi hari. Kudapan ini bisa ditemukan di pasar tradisional maupun berbagai titik yang biasa menjajakan aneka jajanan pasar. 

  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo
  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo

Sampai saat ini, grontol masih kerap hadir di meja makan rumah. Sayangnya dari awal jumpa, grontol yang saya temui dikemas menggunakan plastik, bukan dedaunan. Lain di Bantul, lain pula di Imogiri. Kalau di kawasan ini, jagung biasa diolah sebagai pengganti atau pelengkap nasi. Orang sana mengenalnya dengan sebutan sego (nasi) jagung. 

Belum lama ini saya malah menemukan nasi jagung yang agak berbeda dari biasanya. Kalau sajian nasi umumnya memiliki tekstur yang pera ataupun tanak, nasi jagung bercita rasa gurih yang saya temui di Pasar Imogiri malah berbentuk padat. Dalam penyajiannya, sego yang dikemas menggunakan daun pisang tersebut dilengkapi dengan sambal terong. Ada yang pernah mencicipinya juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/feed/ 0 41288
Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri https://telusuri.id/kuliner-mi-pentil-khas-bantul-di-pasar-imogiri/ https://telusuri.id/kuliner-mi-pentil-khas-bantul-di-pasar-imogiri/#respond Thu, 29 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41262 Saat berkesempatan untuk liburan ke Jogja, sebagian kawan saya biasanya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mbakmi. Istilah yang merujuk pada aktivitas menikmati bakmi jawa di kedai mi favorit masing-masing. Sayangnya, warung bakmi jawa di Jogja...

The post Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat berkesempatan untuk liburan ke Jogja, sebagian kawan saya biasanya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mbakmi. Istilah yang merujuk pada aktivitas menikmati bakmi jawa di kedai mi favorit masing-masing. Sayangnya, warung bakmi jawa di Jogja itu biasanya baru mulai buka di sore hari. Walau demikian, ada juga sebenarnya jenis mi lokal lain yang siap santap di selatan Jogja, yang pagi-pagi sudah bisa dinikmati. Namanya mi pentil. 

Mi pentil merupakan mi tradisional khas Bantul yang biasa dijual di pasar-pasar tradisional. Dua di antaranya ada di Pasar Niten dan Pasar Imogiri. Tidak seperti mi pada umumnya yang terbuat dari tepung terigu, mi pentil dibuat dari tepung singkong alias tepung tapioka. Karena itulah meski bertekstur kenyal, tetapi mi pentil termasuk jenis mi yang bebas gluten. Gluten adalah sejenis protein yang ditemukan dalam gandum, gandum hitam (rye), dan jelai (barley).

Sebenarnya bagi orang normal tidak ada pantangan untuk mengonsumsi gluten. Namun, pada orang dengan kondisi kesehatan tertentu, konsumsi gluten dapat menyebabkan reaksi yang berbeda dengan orang normal pada umumnya. Saya salah satunya. Jika dibandingkan dengan mengonsumsi mi dari gandum, perut saya cenderung lebih cocok dengan jenis mi bebas gluten, seperti mi pentil ini. 

Kalaupun sedang ingin mengonsumsi roti berbahan gandum, saya lebih cocok dengan roti yang proses pembuatannya difermentasi dalam waktu yang lebih lama, yang dikenal luas dengan sebutan sourdough. Karena itulah senang rasanya mendapati kuliner lokal yang seiring jalan dengan selera perut sendiri. Apalagi sentra pembuatannya memang ada di Kabupaten Bantul, yang tidak lain merupakan domisili saya.

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Salah satu penjual mi pentil di Pasar Imogiri Bantul/Retno Septyorini

Bentuk Olahan Mi Pentil Khas Bantul

Sesuai namanya, salah satu mi khas Bantul ini bentuknya gilik layaknya pentil sepeda. Penyebutannya juga sama persis dengan pentil sepeda. Bukan yang lain. Di sekitar tempat tinggal saya, mi pentil biasa dijual di pagi hari. Mi jenis ini bisa ditemui di berbagai pasar tradisional di kawasan Bantul. Kalau sedang kangen dengan mi yang satu ini, biasanya saya melipir sebentar di Pasar Niten atau Pasar Imogiri. Dua pasar yang acap kali saya sambangi saat kangen mencicipi mi tradisional khas Bantul yang satu ini. 

Pasar Niten merupakan pasar tradisional terdekat dari rumah, sedangkan Pasar Imogiri adalah pasar yang thiwul gurihnya merupakan jajanan favorit simbah. Jadinya kalau beli biasanya di antara dua pasar ini. Sebenarnya selain mi pentil, di Bantul sendiri ada jenis mi lokal lain yang rasanya mirip mi pentil. Namanya mides. Mides bisa dibilang “kakaknya” mi pentil. Bedanya hanya di ukuran mi yang lebih besar saja. 

“Kalau mi pentil dibuatnya dengan cara digiling, sedangkan mides dengan cara diiris,” ujar Bu Ngatirah, salah satu pedagang mi pentil yang saya temui pada Senin (15/01/2023) lalu. Meski dibuat dari bahan yang sama, tetapi mi pentil dan mides biasa diolah dengan cara yang berbeda. 

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Memasak mides sendiri di rumah/Retno Septyorini

Mi pentil biasa dimasak dengan cara ditumis saja. Itu pun hanya diberi bumbu sederhana layaknya membuat mi pada umumnya. Bedanya, memasak mi pentil tidak diberi tambahan topping, seperti telur maupun potongan sayur, baik sawi hijau maupun kol. Paling mentok ditambahi dengan seuprit bawang merah goreng dan sambal. Kalau dilihat-lihat, wujud mi pentil itu persis mi goreng polosan. Meski terdengar sederhana, tetapi rasa mi yang tidak neko neko ini kadang ngangenin  juga.

Mi pentil matang biasanya ditempatkan di atas tampah yang dialasi daun pisang. Sampai saat ini belum pernah saya dapati mi pentil yang dimasak dengan cara direbus. Pun tidak pernah menemukan kedai khusus yang menjual mi pentil. Saya hanya menemukannya dijual matengan di berbagai pasar tradisional di sekitar Bantul. Berbeda dengan mides yang biasa diolah dengan cara digoreng maupun direbus dadakan sesuai pesanan. 

Selain bisa ditemui di berbagai pasar tradisional di Bantul, mi pentil juga kadang bisa ditemukan di warung sayur rumahan. Orang sini biasa menyebutnya dengan istilah warung tetangga. Pembeda keduanya hanya porsi mi pentil yang bisa dibeli saja. Kalau beli langsung di pasar sistemnya bisa minta berdasarkan porsi atau timbangan. Namun, jika beli di warung tetangga biasanya dijual per porsi kecil dengan harga mulai dua ribuan rupiah.

Saya sendiri lebih suka beli mi pentil langsung di pasar karena bisa pakai sistem timbangan atau atur harga sesuai kebutuhan, seperti beli lima atau sepuluh ribu rupiah. Kemarin seperempat mi pentil dibanderol dengan harga Rp7.000 saja. Selain porsi belinya bisa lebih banyak, jajan di pasar tradisional itu bisa sekalian bawa pulang aneka jajanan enak lainnya. Beda jauh kalau beli di warung tetangga yang satu atau dua kali lahap saja mi-nya sudah “lenyap”. 

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Bentuk mi pentil seharga dua ribuan/Retno Septyorini

Tertambat Thiwul Bu Rustanganah di Pasar Imogiri

Di antara dua pasar tradisional yang pernah saya sambangi, yakni Pasar Niten dan Pasar Imogiri, pada Pasar Imogiri-lah hati ini kerap tertambat lagi dan lagi. Soalnya tepat di samping ruko tempat jualan mi pentil, saya juga menemukan ibu-ibu yang jualan aneka olahan singkong mulai dari kicak, thiwul, gatot, hingga sego jagung yang enak. Bu Rustanganah namanya. Thiwul di sini memang sesuai selera saya. Gurih manisnya enak jadi nggak bikin enek di mulut.

Spesialnya lagi, Bu Rustanganah juga menyediakan thiwul gurih tanpa gula. Biasanya dijual dengan pendamping berupa sambal terong dan daun pepaya rebus yang nggak pahit-pahit amat. Kebetulan thiwul gurih di sini merupakan salah satu jajanan favoritnya simbah saya. Jadi, kalau menyempatkan ke sana, biasanya saya langsung njujug di dua ruko tersebut. Kalau ada yang penasaran ingin mencicip mi di Pasar Imogiri, teman-teman bisa masuk lewat pintu depan pasar lalu belok kiri sampai menjumpai gapura bercat cokelat muda. Nanti kios keduanya berada di sisi kiri jalan.

Tidak seperti mi pada umumnya yang dijual dengan warna senada, mi pentil menawarkan dua pilihan warna yang perbedaannya terbilang mencolok. Ada yang berwarna kuning dan ada pula yang yang putih. Soal rasa tidak ada bedanya, kok. Sebab cara pengolahannya sama-sama ditumis dengan bumbu minimalis. Biasanya dalam setampah mi yang dijual di pasar, setengahnya berwarna putih, setengah lainnya berwarna kuning. Tinggal pilih sesuai selera saja. 

Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri
Pasar Rakyat Imogiri di Bantul/Retno Septyorini

Yang bikin mi pentil di Pasar Imogiri itu tambah spesial adalah karena mi di sini biasa dibungkus dengan daun jati, bukan mika atau plastik bening yang kini jamak dipakai oleh sebagian pedagang makanan. Sayangnya, sampai saat ini saya belum pernah menemukan mie pentil dalam kondisi mentah. Dari dulu nemu-nya, ya, mi pentil matang bercita rasa gurih yang hanya diberi topping seuprit sambal dan bawang merah goreng. Beda dengan mides yang dijual pula dalam kondisi mentah. Meski demikian, saya tidak pernah bosan dengan mi lokal dari Bantul ini. Soalnya selain enak dan murah, makan mi pentil tidak membuat perut saya terasa begah.

Bagi yang penasaran dengan rasanya, jangan lupa mencoba juga saat berkesempatan liburan di Jogja, ya! Apalagi kalau ada agenda jalan-jalan ke Imogiri. Bisalah mampir sebentar di Pasar Imogiri buat mencicipi salah satu ikon kuliner khas Bantul yang satu ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Mi Pentil Khas Bantul di Pasar Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-mi-pentil-khas-bantul-di-pasar-imogiri/feed/ 0 41262
Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/ https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/#respond Sat, 08 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39254 Saya teringat masa enam tahun silam, ketika harus bolak balik ke Banjarmasin untuk urusan pekerjaan. Saya sempat terheran-heran dengan kawan saya yang bela-belain naik motor buntut pinjaman buat nyari bingka (bingke). Salah satu jenis kue...

The post Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya teringat masa enam tahun silam, ketika harus bolak balik ke Banjarmasin untuk urusan pekerjaan. Saya sempat terheran-heran dengan kawan saya yang bela-belain naik motor buntut pinjaman buat nyari bingka (bingke). Salah satu jenis kue yang ada di kawasan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan itu. Meski lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta, tetapi saya tahu dan pernah mencicipi kudapan ini. 

Di Banjarmasin, kue-kue ini terkenal dengan sebutan wadai. Menurut informasi dari beberapa penjual makanan yang sempat saya temui di Banjarmasin, di sana ada sekitar 41 jenis wadai. Saya sempat mencicipi beberapa wadai di pasar kaget sekitar Siring Tendean. Sayang, cita rasanya cenderung manis.

Termasuk saat saya didatangi acil-acil (bibi) yang berjualan kue keliling sewaktu di sana. Saat itu mereka menawari saya kue goreng berbentuk lonjong, yang rasanya mirip dengan galundeng atau bolang-baling. Sebutan untuk kue goreng sederhana di sekitar Yogya yang terbuat dari tepung terigu, gula, dan soda kue. Maka saya pun menyimpulkan bahwa mau dikukus atau digoreng, kebanyakan wadai di Banjarmasin memang bercita rasa manis.

Kue bingke yang dahulu sempat saya cicip di Yogya juga demikian adanya. Meski lupa dapat dari mana, saya ingat rasanya cenderung manis. Walhasil, ketika ada teman saya yang bolak-balik mencari bingke, saya belum tertarik untuk sekadar titip beli. 

Ada beberapa alasan. Pertama, kuenya agak besar. Seingat saya seukuran kue tar, sehingga saya takut kalau kemasan berisi bingke itu sampai tergencet barang bawaan lain di kabin. Kedua, saya selalu dapat jadwal penerbangan pagi,  yang mengharuskan saya berangkat ke Bandara Internasional Syamsudin Noor, Banjarbaru, sekitar pukul 03.30 waktu setempat. Kira-kira satu jam perjalanan dari penginapan saya di kawasan Kayu Tangi, Banjarmasin.

Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
Wadai ipau khas Banjar dalam bentuk seperti risoles via Wikipedia/Ezagren

Perbedaan Bingke dan Ipau

Sejauh yang saya ingat hanya rasa bingke itu mirip kue lumpur. Hal yang membedakan adalah ketiadaan lapisan karamel karena proses pembuatannya yang sedikit berbeda. Jadi, walaupun berulang kali pergi ke Banjarmasin, tak pernah sekalipun saya membawa pulang bingke ke Yogya.

Dahulu, kudapan yang saya bawa pulang malah ipau. Salah satu wadai khas Banjar yang hanya dijual saat bulan puasa. 

Beberapa waktu setelah lebaran saya kembali datang ke Banjarmasin. Saat itu saya bisa menikmati ipau karena kebaikan Pak Orie, salah satu pemilik merek sasirangan kenamaan di Banjarmasin. Saya dan tim sempat meliputnya untuk keperluan pekerjaan. 

Jika wadai khas Banjar lainnya lebih manis, ipau berbeda. Cita rasa kudapan yang terbuat dari tepung, santan, wortel, bombai, dan daging cincang ini lebih gurih. Topping daun bawang semakin menambah sedap wadai favorit saya tersebut.

Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
Proses pemanggangan bingke dengan arang/Retno Septyorini

Memori Bingke yang Kembali lewat Media Sosial

Di hidup saya, cerita tentang bingke baru tersambung kembali setelah enam tahun pulang dari Banjarmasin. Tepatnya awal Juni ini. Itu pun karena faktor ketidaksengajaan.

Suatu siang, ada sebuah video yang mengulas Bingke Pontianak Permata yang mampir ke beranda Instagram saya. Meski sekilas tidak sebesar bingke yang pernah kawan saya bawa dari Banjarmasin, entah kenapa, saya langsung ngiler. Usai berulang kali memutar video, akhirnya saya berhasil membuat tangkapan layar (screenshoot) kontak Whatsapp yang ada pada spanduk gerobak bingke. Setelah menyimpan informasi narahubung, saya langsung memesan satu porsi bingke original. 

Pesan saya baru terbalas malam hari. Rupanya untuk informasi atau pemesanan melalui Whatsapp sebaiknya dilakukan sebelum pukul 12 siang. Di atas itu penjual tidak sempat membuka ponsel sampai selesai berjualan.

Malam itu juga, saya mendapatkan info dari penjual kalau bingke pesanan saya bisa diambil pada kurun waktu pukul 15.00—19.00 WIB. Lokasi jualan bingke ini berada di Jalan Sultan Agung No. 10, Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta. Bingke Pontianak Permata menawarkan enam pilihan rasa, yaitu original (Rp17.000), cokelat (Rp19.000), keju (Rp21.000), cokelat susu (Rp20.000), keju cokelat (Rp21.000) dan keju susu (Rp22.000). 

Mengingat area tersebut rawa macet saat jam pulang kantor, saya bergegas meluncur selesai salat Asar. Walau tetap saja ketika saya sampai di sana lalu lintas sudah terlihat padat merayap.

  • Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta
  • Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta

Pilihan Rasa Bingke Pontianak Permata

Sesuai namanya, gerobak Bingke Pontianak ini memang berada tepat di seberang eks Bioskop Permata Jogja. Jika berkendara dari arah Jembatan Sayidan, maka harus mencari putaran terdekat untuk sampai ke lokasi. Tempat makan tersebut juga dikenal dengan sebutan Bingke Bang Tomy, yang tak lain merupakan salah satu penjualnya.

Menurut Bang Syarif, penjual Bingke Pontianak Permata yang beberapa waktu lalu saya temui, usaha ini sudah dimulai sejak tahun 2006 silam. Penjualnya adalah mahasiswa dari Kalimantan Barat yang sedang studi di Jogja. Awalnya yang jualan adalah Bang Briko, selanjutnya Bang Tomy, lalu dilanjutkan Bang John. “Saya sendiri meneruskan jualan ini sejak tahun 2013 yang lalu,” Bang Syarif menambahkan.

Sore itu, ada sekitar enam bingke yang sudah jadi. Karena dipanggang di atas arang, bingke yang saya bawa pulang masih dalam keadaan panas. Seporsi Bingke Pontianak Permata bisa dibagi menjadi enam potong dengan ukuran sama besar. Cocok untuk menikmatinya bersama teman ataupun keluarga di rumah.

Setibanya di rumah, ternyata bingke pesanan saya masih bertahan dalam kondisi yang hangat. Untuk rentang harga mulai dari Rp17.000, bingke ini termasuk enak. Kombinasi gurih dan manisnya pas. Terasa legit, tetapi tidak kemanisan. Saya yang memiliki tenggorokan sensitif tidak sampai batuk usai mencicipi kue tersebut. Saya tidak ragu untuk memesan kembali kudapan yang cocok bersanding dengan secangkir teh atau kopi tawar itu.

Lantaran sudah merasa cocok dengan rasa original, mungkin lain waktu saya tetap akan memesan varian yang satu ini. Buat Anda yang ingin menikmati kelezatan Bingke Pontianak Permata, bisa pesan melalui Whatsapp di nomor 0896-0800-1716.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicipi-legitnya-bingke-pontianak-permata-di-yogyakarta/feed/ 0 39254
Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul https://telusuri.id/sarapan-gatot-dari-warung-bu-darmi-bantul/ https://telusuri.id/sarapan-gatot-dari-warung-bu-darmi-bantul/#respond Wed, 14 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38953 Suatu pagi, ibu saya membawa pulang beberapa bungkus makanan dari Warung Bu Darmi. Setelah saya lihat, ternyata isinya berbeda-beda. Ada yang berisi gatot, tiwul, dan tentu saja getuk. Sebagai anak yang kurang suka makanan bercita...

The post Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu pagi, ibu saya membawa pulang beberapa bungkus makanan dari Warung Bu Darmi. Setelah saya lihat, ternyata isinya berbeda-beda. Ada yang berisi gatot, tiwul, dan tentu saja getuk.

Sebagai anak yang kurang suka makanan bercita rasa manis saja, saya memilih gatot sebagai santapan. Kudapan satu ini terbuat dari fermentasi singkong yang diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan cita rasa legit dan samar-samar asam. Setidaknya itu yang terasa di lidah saya.

Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul
Dagangan makanan tradisional di Warung Bu Darmi/Retno Septyorini

Gatot, Kuliner Menul-menul dari Fermentasi Singkong

Gatot merupakan kuliner tradisional yang dulunya banyak orang jumpai di berbagai pasar tradisional maupun kedai yang khusus menjual tiwul. Kawasan Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Yogyakarta yang terkenal sebagai penghasil singkong dengan kualitas bagus. Namun, seiring dengan perkembangan infrastruktur, kini gatot hadir di berbagai sudut Yogyakarta. Termasuk di sekitar tempat tinggal saya, Bantul.

Beberapa waktu lalu, saat berkendara di sisi selatan Bantul, tak sengaja saya melihat gaplek—sebutan untuk irisan singkong yang menjadi bahan baku pembuatan gatot—yang dijemur di pinggir jalan raya. Jangan kaget jika rupa gaplek tidak seindah bahan makanan pada umumnya.

Membuat gaplek relatif mudah, yakni dengan menjemur dan “menghujan-hujankan” singkong dalam kurun waktu tertentu hingga berjamur. Tenang, jamur pada gaplek ini tidak beracun, kok. Justru jamur-jamur inilah yang mengurai kandungan gizi singkong sekaligus menciptakan rasa asam yang enak pada gatot.

Yang saya tahu proses pembuatan gatot lebih rumit, karena perlu merendam gaplek selama beberapa hari sebelum meniriskan dan mengukusnya. Setelah matang, barulah mencampurnya dengan juruh—gula jawa yang yang telah dipanaskan hingga cair dan mengental. Karenanya, salah satu cara paling praktis mencicipi gatot adalah dengan membelinya di kedai atau pasar tradisional.

Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul
Tiwul gurih dan manis buatan Bu Darmi yang siap dijual/Retno Septyorini

Warung Gatot Bu Darmi: Alternatif Sarapan dan Teman Ngopi

Kalau sedang tidak ingin sarapan nasi, sesekali saya menggantinya dengan gatot. Warung Bu Darmi yang berada di Jonggrangan, Babadan, Bantul menjadi salah satu warung langganan saya untuk mencicipi hidangan satu ini. Warung ini buka setiap hari mulai pukul 06.30 WIB. Agak siang sedikit, antrean pembeli mengular. Jadi, pastikan datang lebih pagi jika tak mau menunggu lama.

Karena belum ada titiknya di Google Maps, salah satu cara termudah menuju ke sini dengan melewati Jalan Bantul. Kalau dari arah utara, tepat di perempatan rambu-rambu lalu lintas Lapangan Paseban belok ke kanan (barat). Selanjutnya hanya perlu mengikuti jalan sepanjang kira-kira satu kilometer, sampai bertemu dengan Warung Bu Darmi di sisi kiri (selatan) jalan. Tidak terdapat spanduk atau plang nama warung sebagai penanda.

Dari sekian menu, gatot-lah yang menjadi favorit saya di sini. Rasa manisnya pas. Tidak mendominasi. Rasa asam khas olahan fermentasi juga terasa meski tidak terlalu kuat. Namun, justru ini yang membuat saya begitu menyukainya. Perpaduan rasa yang pas.

Selain gatot, Warung Bu Darmi juga menyediakan tiwul. Ia menangkap dengan baik terhadap kesadaran akan beragamnya selera konsumen. Di sini, Bu Darmi menyediakan dua versi tiwul. Pertama, tiwul gurih—jenis tiwul rendah gula yang jarang saya temui di berbagai kedai tiwul pada umumnya. Pasalnya tiwul yang banyak dijual di luaran sana memang tiwul manis yang legit. Dan yang kedua, tentu saja tiwul manis yang juga menjadi favorit saya. Manisnya pas, cocok bersanding dengan kopi pahit saat santap pagi. 

Sebenarnya, ada pula tiwul yang dimasak tanpa tambahan gula sama sekali karena digunakan sebagai pengganti nasi. Orang menyebutnya dengan nama sego (nasi) tiwul. Umumnya kudapan satu ini dijual sepaket dengan lauknya, yakni rebusan sayur, ikan asin, sambal, dan kerupuk. Sayang, Bu Darmi tidak menjualnya.

Bagi saya pribadi, inovasi-inovasi kecil semacam ini menawarkan daya tarik tersendiri. Terlebih rasa manis memang mendominasi jajanan tradisional di Yogyakarta. Sebuah fenomena menarik dan berkaitan erat dengan catatan sejarah Yogyakarta, yang dulunya memiliki belasan pabrik gula.

Olahan singkong Bu Darmi juga cocok untuk bekal camilan usai joging di Lapangan Paseban. Ketika berolahraga di sana, saya biasanya hanya membawa bekal air putih. Sisanya, serahkan pada Warung Bu Darmi.

  • Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul
  • Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul

Kualitas Jadi Kunci Eksistensi Kuliner Tradisional

Suatu pagi, saya pernah menemukan bungkusan gatot yang ternyata ibu membelinya kemarin. Waktu saya cicipi ternyata masih enak, sehingga saya habiskan. Karena penasaran, saat kembali menyambangi Warung Bu Darmi. Saya menanyakan perihal awetnya gatot yang beliau buat.

“Singkongnya sengaja saya pilih yang dari Gunungkidul, Mbak. Kualitas singkong dari sana memang terkenal bagus,” ujarnya memulai cerita.

Saya mengangguk tanda setuju. Pasalnya saya pernah membuktikannya sendiri, kalau singkong dari kebun di kawasan sana rasanya lebih enak. Saya juga pernah bertemu juragan tiwul di Sleman menyatakan hal senada. Bahan bakunya juga berasal dari Gunungkidul.

“Saya ada langganan penjual singkong di Pasar Imogiri yang khusus nyetori singkong. Selebihnya saya ‘kan masaknya masih pakai tungku, sehingga hasilnya jadi lebih tanak. Juruh-nya pun saya masak dulu sampai tanak. Saya juga menggunakan parutan kelapa yang matang. Karena itulah olahan singkong buatan saya ini bisa tahan sampai dua hari. Beli hari ini bisa tahan sampai besok sore,” imbuhnya.

Bu Darmin menambahkan bahwa ada satu kendala dalam usahanya. “Ada kalanya bahan bakunya kosong. Kalau sedang begini, otomatis saya libur jualan.”

Pengalaman selama 20 tahun sebagai pelestari kuliner tradisional berbahan singkong tidak disia-siakan ibu paruh baya ini. Beliau sadar betul bahwa hanya dengan kualitaslah dagangannya mampu bertahan, khususnya di tengah gempuran jajanan kekinian yang banyak viral di media sosial.

Usai berbincang, saya pulang dengan membawa gatot yang harga seporsinya hanya Rp2.500. Pun, sebagai pembeli, kita bisa mencampur isi dalam satu bungkus jajanan ini. Tinggal pilih antara gatot, tiwul, atau getuk.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sarapan Gatot dari Warung Bu Darmi Bantul appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sarapan-gatot-dari-warung-bu-darmi-bantul/feed/ 0 38953