Ridho Mukti https://telusuri.id/author/ridho-mukti/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 15 Oct 2019 11:19:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ridho Mukti https://telusuri.id/author/ridho-mukti/ 32 32 135956295 Bisa Seduh Kopi Sendiri di Perguruan Kopi https://telusuri.id/seduh-kopi-sendiri-di-perguruan-kopi/ https://telusuri.id/seduh-kopi-sendiri-di-perguruan-kopi/#comments Sat, 31 Mar 2018 02:30:52 +0000 https://telusuri.id/?p=7597 Meskipun namanya baru beredar di semesta kopi Jakarta, Perguruan Kopi digagas oleh orang-orang lama. Salah seorang pendirinya, Hendri Kurniawan, jauh sebelum minum kopi di kafe dianggap keren, telah lebih dulu menempuh “jalur kopi.” Bahkan, tahun...

The post Bisa Seduh Kopi Sendiri di Perguruan Kopi appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun namanya baru beredar di semesta kopi Jakarta, Perguruan Kopi digagas oleh orang-orang lama. Salah seorang pendirinya, Hendri Kurniawan, jauh sebelum minum kopi di kafe dianggap keren, telah lebih dulu menempuh “jalur kopi.”

Bahkan, tahun 2013 ia dinobatkan sebagai orang Asia Tenggara pertama yang jadi salah satu World Barista Championship Technical Judges, yakni juri teknik yang menilai pengetahuan barista tentang kopi, termasuk alasan memilih kopi dan rasanya, cara kerja barista, dan penyajiannya.

perguruan kopi

Penggunaan mesin mempersingkat waktu penyajian/Menara by Kibar

Sekarang, Hendri adalah World Coffee Event Certified Judge untuk World Barista Championship, World Coffee in Good Spirits Championship, World Brewers Cup, serta Authorised Specialty Coffee Association of Europe Trainer yang berwenang memberikan sertifikat pada barista.

Dimulai dari “ABCD School of Coffee” di Pasar Santa

perguruan kopi

Barista Perguruan Kopi mempersiapkan kopi untuk mesin espresso/Menara by Kibar

Setahun sebelum menjadi salah seorang World Barista Championship Technical Judges, Hendri dan rekannya, Ve Handojo, mendirikan “ABCD School of Coffee” di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Itu adalah sekolah kopi pertama di Indonesia. Hendri merasa bahwa sebuah fondasi kultur kopi yang kuat sangat diperlukan agar kopi tidak sekadar jadi tren.

Karena itulah penikmati kopi perlu diedukasi. Mereka mesti diberikan pemahaman bahwa kopi bukan hanya sekadar pengobat rasa kantuk, tapi juga sebuah produk kuliner yang mempunyai beragam rasa, dan bahwa varian rasa kopi tercipta dari sebuah proses yang panjang, dipengaruhi oleh kondisi tanah, proses menanam, hingga metode penyajian.

ABCD School of Coffee bukanlah gebrakan terakhir Hendri Kurniawan dan Ve Handojo. Di Jakarta dan Yogyakarta, mereka mendirikan Ruang Seduh. Kemudian, bersama dengan Kibar, mereka membuka Perguruan Kopi di Menara by Kibar. Perguruan Kopi yang terletak di lantai 2 itu seolah menjadi puzzle pelengkap event space yang ada di lantai itu.

perguruan kopi

Salah satu acara di “event space”/Menara by Kibar

Karena terletak dekat event space yang tak henti-henti menyelenggarakan acara, sudah tak terhitung berapa orang yang sudah mencicipi kopi racikan Perguruan Kopi. Itu juga yang membuat pelanggannya beragam, dari mulai orang-orang kreatif lingkaran Kibar sampai pejabat-pejabat tenar seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Menariknya, karena Perguruan Kopi adalah “keturunan” dari ABCD School of Coffee, ia juga mengusung konsep yang hampir sama dengan nenek-moyangnya. Demi keperluan edukasi, pelanggan Perguruan Kopi dipersilakan untuk menyeduh kopinya sendiri. Setelah menyeduh kopi sendiri, harapannya, para pelanggan jadi mengerti bahwa untuk menghasilkan rasa yang terbaik kopi harus diolah dengan perhitungan yang akurat.

Tidak menyediakan “manual brew”

Semula, karena berkiblat pada coffee shop ala Jepang, menu di Perguruan Kopi hanya tiga, yakni black coffee, white coffee, dan filter. Namun, rupanya banyak pelanggan yang mencari kopi spesifik. Maka ditawarkanlah menu yang lebih bervariasi, seperti cappuccino, espresso, coffee latte, dan lain-lain. Semuanya espresso base, yakni diolah dengan mesin espresso.

perguruan kopi

Di Perguruan Kopi juga ada minuman lain/Menara by Kibar

Cara penyajian seperti ini dipilih agar lebih praktis. Dengan mesin espresso, proses penyajian jadi lebih cepat. Setelah memesan kopi, pelanggan bisa segera melanjutkan pekerjaannya. Ini juga yang menjelaskan kenapa Perguruan Kopi tidak menyediakan manual brew yang lebih rumit dan memakan waktu. “Banyak yang kecewa karena [sebelumnya mereka] tahunya di sini jual kopi yang manual brew,” ungkap Dani, salah seorang barista Perguruan Kopi.

Terlepas dari bagaimana Perguruan Kopi menyajikan kopi, kafe ini berkomitmen untuk selalu memuaskan pelanggan. Caranya tentu saja dengan menghidangkan kopi terbaik.

perguruan kopi

Cangkir-cangkir Perguruan Kopi/Menara by Kibar

“Pernah suatu ketika ada [se]orang [pelanggan] yang pergi ke Jepang. Muter-muter coffee shop yang ada di sana, nyari kopi yang paling enak. Balik ke Indonesia, orang ini nyari kopi yang rasanya sama enaknya dengan yang dia temui di Jepang. Dan baru ketemu pas di sini [Perguruan Kopi]. Itu suatu pengalaman yang membanggakan, karena waktu itu gue yang ngeshift (istilah keren untuk barista yang jaga),” Dani bercerita.

Setelah hampir setahun berdiri, Perguruan Kopi semakin ramai. Karena itu pula, menurut Dani, semakin banyak pula hal-hal seru yang ia ditemui. “Pengalaman seru kalau [ada] event Google, karena bule-bule biasa ngopi dua-tiga kali” jelas Dani. “Eventnya banyak, dan itu seru. Juga beda-beda, jadi gak bikin bosen,” tambah Dani yang berharap agar semakin banyak event yang digelar di Menara by Kibar. Semakin banyak event, semakin banyak pula pelanggan-pelanggan baru yang akan mencicipi kopi terbaik Perguruan Kopi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bisa Seduh Kopi Sendiri di Perguruan Kopi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seduh-kopi-sendiri-di-perguruan-kopi/feed/ 4 7597
Jalan Kaki Menelusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan https://telusuri.id/menelusuri-pulau-kadoda-dan-pulau-papan/ https://telusuri.id/menelusuri-pulau-kadoda-dan-pulau-papan/#comments Thu, 27 Jul 2017 20:49:10 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1300 Otak saya berputar ratusan kali sebelum menerima tawaran untuk berjalan kaki menyusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Iming-iming menemukan suasana berbeda di Kepulauan Togean membuat saya akhirnya...

The post Jalan Kaki Menelusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan appeared first on TelusuRI.

]]>
Otak saya berputar ratusan kali sebelum menerima tawaran untuk berjalan kaki menyusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Iming-iming menemukan suasana berbeda di Kepulauan Togean membuat saya akhirnya menganggukkan kepala dan berjalan menyusuri desa di bawah teriknya matahari.

Saya kemudian teringat perjalanan saya tahun lalu ke Pulau Weh, lalu perjalanan-perjalanan lain ke pulau-pulau yang juga lain. Rasa-rasanya tidak ada hal yang membedakan pulau ini dengan pulau-pulau lain yang pernah saya singgahi. Semuanya cuma gundukan tanah yang dikepung lautan. Tapi, setelah hari kedua biasanya saya menemukan sesuatu yang berbeda, yaitu keramahan penduduk sekitar pada wisatawan yang datang sehingga saya merasa seperti berada di kampung halaman. Setiap orang saling menyapa, bahkan menawarkan rumah mereka untuk disinggahi, meskipun saya yakin bahwa di sana belum tentu ada yang bisa saya cicipi. Itulah yang membedakan satu daerah dengan daerah lain—bentuk keramahannya.

Jalan utama/Ridho Mukti

Jalan kaki lintas pulau

OK. Let’s go!” sahut saya sembari menyiapkan bekal minum dan mengambil topi karena konon perjalanan kami menyusuri kampung hingga ke Pulau Papan akan memakan waktu kurang lebih satu jam. Belum lagi saya dan kawan-kawan harus naik kapal ke Pulau Kadoda sekitar setengah jam dari penginapan di Pulau Ketupat.

Setelah mendengar deru kapal selama tiga pulu menit, kami pun tiba. Melompat dari kapal, rombongan kami disambut permukiman dengan rumput hijau yang membentang di halaman depan rumah-rumahnya. Beberapa orang warga terlihat leyeh-leyeh di terasnya. Tidak sedikit pula yang justru mendatangi kami sembari melemparkan senyum lebarnya.

Melihat nuansa pulau yang hijau, saya memperlambat laju kaki untuk mengamati setiap hal unik yang saya temui. Itu contohnya: sebuah sumur berukuran kecil yang ternyata adalah salah satu dari dua sumber air yang cuma tersedia di pulau ini. Seluruh masyarakat Pulau Kadoda dan Pulau Papan mengandalkan mata air yang menurut saya lebih mirip kubangan bekas air hujan daripada sumber kehidupan; airnya berwarna coklat. Pinggiran sumur ini pun dibiarkan sekenanya dan tak ditata supaya jadi lebih menarik. Sungguh ironis menyaksikan kampung yang asri lagi apik seperti ini punya sumber air tawar yang tampak terbengkalai.

Kendaraan pribadi orang Bajo/Ridho Mukti

Tak jauh dari mata air, sebuah jembatan kayu sepanjang kurang lebih 900 meter mengantarkan kami menuju Pulau Papan. Jalurnya berkelok, barangkali karena menyesuaikan dengan batimetri. Di sebelah kanannya tampak beberapa tiang kayu menjulang, yang ternyata adalah sisa-sisa jembatan yang dibangun masyarakat sebelum akhirnya pemerintah datang dan mendirikan jembatan yang lebih kokoh.

Kampung terapung

Siang itu, usai menyusuri jembatan yang membelah lautan, kami tiba di sebuah kampung terapung di tengah samudra. Rumah-rumah pertama yang kami temui terlihat tak setegap jembatan tadi. “Mungkin kalau badai datang, orang-orang lebih memilih berkumpul di jembatan daripada berlindung di pondok mereka,” pikir saya. Benar saja, rupanya fondasi rumah mereka tak sampai satu meter ke dalam. Sangat mungkin untuk tumbang dikalahkan amukan laut lepas atau ditaklukkan faktor “U” alias usia.

Pulau Papan tak seberapa besar. Bahkan saya bisa melihat ujung pulau dengan cukup jelas. Sebuah bukit tak seberapa tinggi berdiri di tengah laut. Mereka menyebutnya sebagai Puncak Batu Karang. Bisa jadi dari situlah orang-orang mulai membangun perkampungan. Semakin menjauh dari bukit, semakin anyar bangunan itu berdiri—atau sebaliknya, mengingat sejarah peradaban suku Bajo yang pernah tinggal di atas kapal.

Laut jadi pekarangan/Ridho Mukti

Meskipun sebagian besar bangunan-bangunan ini terbuat dari papan tua, beberapa tampak lebih modern. Genteng plastik, pintu dan jendela penuh ukiran, serta sebagian dinding yang berbahan batu bata membuat suasana Pulau Papan menjadi berbeda dibanding Kampung Bajo kebanyakan. Jumlahnya memang tak seberapa, tapi sangat menonjol karena berbeda. Parabola berukuran raksasa juga menghiasi bagian depan rumah-rumah bergaya kekinian itu.

“Dulu sebelum ada jembatan ini, anak-anak [kalau] mau sekolah harus berenang dulu ke pulau sebelah,” jelas Pak Amin, penduduk Pulau Papan yang kami temui. “Di sini ada sekolah buat kelas 1 sampai 3. Nah kelas 4 sampai 6 adanya di Kadoda. Jadi gantian, yang masih kelas 1 sampai kelas 3, anak-anak dari Kadoda harus berenang ke sini,” tambahnya. Kalau saja tidak ada motor yang memotong obrolan kami, mungkin saya masih membayangkan anak-anak berumur 8 tahun berenang menyeberang pulau sejauh ratusan meter.

Melihat Indonesia tidak dari linimasa

Lalu saya mengamati sekitar. Sebuah sore yang ramai di kampung yang kecil. Orang-orang berkumpul di halaman depan rumah salah satu warga, bersembunyi dari pendarnya matahari yang menyengat. Pak Amin masih saja mengoceh tentang sejarah Pulau Papan, sembari sesekali melemparkan kekecewaannya kepada pemerintah yang berencana menggusur warga pulau karena dianggap mencemarkan lingkungan.

Pulau Kadoda dan Pulau Papan

Jembatan kayu Pulau Kadoda/Ridho Mukti

“Lalu buat apa dibangun jembatan sepanjang ini kalau akhirnya digusur juga orang-orangnya?” timpal Bobby, salah seorang kawan seperjalanan saya. “Kalau emang mau digusur, mending gak usah dibangun sekalian jembatannya. Mending anggarannya dibuat untuk bikin keramba atau sekolah di Kadoda,” ujarnya berapi-api. Kesal sekali sepertinya dia.

Bobby semakin antusias mendengar cerita lain dari Pak Amin. Ia bahkan mengabaikan saya dan kawan-kawan lain yang lebih memilih berkeliling pulau untuk mengambil gambar. Menjelang gelap, kapal kecil kami telah menunggu. Ia siap mengantarkan kami pulang dan mengakhiri perjalanan hari ini. Tiba-tiba saya teringat pada kata-kata bijak populernya Lao Tzu: “A Journey of a thousand miles begins with a single step.” Barangkali benar. Jika saya tidak mengayunkan langkah pertama dari tempat tidur pagi ini, saya tak akan bertemu dengan orang-orang ramah pulau Kadoda, sumber mata air yang lebih mirip disebut kubangan, atau “mantan” orang-orang laut di Pulau Kadoda dan Pulau Papan yang tak menyerah pada kehidupan. Saya bersyukur bahwa hari itu saya bisa melihat dan merasakan langsung suasana Pulau Kadoda dan Pulau Papan, bukan dari membaca linimasa.

The post Jalan Kaki Menelusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-pulau-kadoda-dan-pulau-papan/feed/ 6 1300
Gado-Gado “Bon Bin” yang Melegenda https://telusuri.id/gado-gado-bonbin/ https://telusuri.id/gado-gado-bonbin/#comments Sun, 09 Jul 2017 00:34:18 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=350 Gado-Gado Bon Bin merupakan salah satu kuliner yang dicari oleh wisatawan yang berkunjung ke Jakarta. Letaknya ada di Jalan Cikini, Jakarta Pusat. Bumbu kacangnya yang menggugah selera pernah ditawar puluhan juta rupiah oleh seorang konglomerat....

The post Gado-Gado “Bon Bin” yang Melegenda appeared first on TelusuRI.

]]>
Gado-Gado Bon Bin merupakan salah satu kuliner yang dicari oleh wisatawan yang berkunjung ke Jakarta. Letaknya ada di Jalan Cikini, Jakarta Pusat. Bumbu kacangnya yang menggugah selera pernah ditawar puluhan juta rupiah oleh seorang konglomerat. Tak heran bila usia rumah makan ini telah menginjak 57 tahun dan telah menjadi buah bibir pemburu kuliner.

Nama Bon Bin diambil dari singkatan kata “Kebon Binatang,” karena memang rumah makan ini dulunya berada di Jalan Kebun Binatang sebelum berganti nama menjadi Jalan Cikini. Bangunan rumah makan ini terlihat biasa saja, tidak mencerminkan sama sekali sebagai tempat makan yang cukup melegenda.

Warung Gado-Gado Bon Bin
Warung Gado-Gado “Bon Bin” via pinterest.com

Bangunan selebar sekitar enam meter ini tak menggambarkan namanya. Terlihat sangat biasa. Bahkan papan bertuliskan “Gado-Gado Bon Bin, sejak Tahun 1960” hanya terbuat dari kayu berukuran tak seberapa yang digantung dengan paku. Untuk warung sepopuler itu, Gado-Gado Bon Bin bisa dibilang tidak punya lahan parkir dan hanya mengandalkan trotoar dan bahu jalan.

Kelezatan yang sederhana

Masuk ke dalam, pengunjung kembali disuguhkan kesederhanaan rumah makan ini. Keramik berwarna merah yang tersusun di lantai sebagian pecah karena usia atau mungkin karena struktur tanah yang berubah. Meja yang dipakai adalah meja kayu khas rumah makan padang. Kursinya seperti bangku di acara pernikahan. Daftar menunya sudah usang dan di mana-mana ditambal dengan kertas.

Sepiring Gado-Gado Bon bin
Sepiring Gado-Gado Bonbin via tripadvisor.com

Harga satu porsi gado-gado di sini sekitar Rp 38.000, cukup mahal untuk ukuran gado-gado. Tapi, tentu rasanya sangat lezat, sebab menggunakan bumbu yang sangat khas, sayuran yang segar, dan kerupuk serta sambelnya menggugah selera. Konon, bumbu kacangnya terbuat dari kacang tanah vietnam yang disangrai dan dikupas, makanya rasanya terasa halus, tidak terlalu pekat, dan tidak ada rasa pahit. Bahkan ada sedikit rasa asam dan manis kacangnya pun terasa. Selain itu, tempat ini juga menyajikan asinan dan cendol sebagai unggulan. Rasanya tak kalah enak.

Gado-Gado Bon Bin tidak memiliki cabang. Hal ini dilakukan demi menjaga kualitas makanan yang disajikan. Banyak wisatawan lokal maupun asing yang berebut untuk mencicipi gado-gado legendaris ini. Bahkan banyak pula yang akhirnya menjadi langganan di restoran ini meskipun harus siap menerima antrian panjang bila mau memesan. Pengunjung Gado-Gado Bon Bin ini tidak main-main, dari mulai Ali Sadikin, Taufik Kiemas, dan banyak tokoh Istana Negara yang menjadi pelanggan di rumah makan kecil ini.

Bila ingin menjajal kelezatan Gado-gado Bon Bin, rumah makan ini membuka gerainya mulai dari jam 10 pagi hingga 5 sore. Cobalah untuk mencicipi semua makanannya karena telah terbukti enak dan laris.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gado-Gado “Bon Bin” yang Melegenda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gado-gado-bonbin/feed/ 1 350
Mendengar Kisah-Kisah Heroik dari “Seven Summits” di Temu Pejalan Malang #5 https://telusuri.id/seven-summits-di-temu-pejalan-malang/ https://telusuri.id/seven-summits-di-temu-pejalan-malang/#respond Thu, 27 Apr 2017 19:59:26 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=579 Sebagaimana namanya, Malang dikelilingi barisan gunung yang berjejeran membentuk benteng pertahanan. Hutan berhamburan dan sungai membentang membelah kota. Tak heran penyelenggara memilih salah satu bumi perkemahan di Kabupaten Malang, Buper Bendosari, sebagai tempat berkumpulnya para...

The post Mendengar Kisah-Kisah Heroik dari “Seven Summits” di Temu Pejalan Malang #5 appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagaimana namanya, Malang dikelilingi barisan gunung yang berjejeran membentuk benteng pertahanan. Hutan berhamburan dan sungai membentang membelah kota. Tak heran penyelenggara memilih salah satu bumi perkemahan di Kabupaten Malang, Buper Bendosari, sebagai tempat berkumpulnya para petualang dalam acara bertajuk Temu Pejalan Malang #5 pada 15-16 April 2017 kemarin.

Pukul 7 malam saya dan Janatan Ginting yang kali ini akan jadi pembicara tiba di lokasi acara. Belum tampak para peserta yang berniat hadir untuk mendengarkan ceramah Janatan tentang pendakian tujuh puncak tertinggi di dunia, atau biasa orang sebut Seven Summits.

Beberapa tenda telah berdiri, tapi hanya diisi segelintir orang. Panitia tampak sibuk memasang banner di antara pohon cemara yang tinggi menjulang. Sisanya tengah asyik memasak air untuk menghangatkan badan.

“Sebenernya belum banyak yang tahu tempat ini, soalnya emang baru dibuka dan dikelola sama warga.” Rizki mencoba menenangkan kami yang sudah tak sabar menunggu kedatangan peserta yang lain. Tapi, sebagai tempat yang baru dikelola, bumi perkemahan ini cukup lengkap. Kamar mandi dan lampu penerangan sudah tersedia di sini.

Suasana bincang-bincang di Temu Pejalan Malang via BPI Malang

Jelang tengah malam belasan motor datang menembus dinginnya pegunungan. Panitia kembali menggelar matras dan mengecek pengeras suara.

Jam 10 malam Temu Pejalan Malang #5 dimulai. Saya membuka acara dengan memberikan gambaran umum soal TelusuRI, kemudian disusul Ayos sebagai moderator dan Janatan sebagai pembicara utama. Sebuah video singkat tentang pendakian 7 puncak dunia menyingkap betapa beratnya persiapan hingga pendakian gunung-gunung bersalju di dunia.

Dari ketujuh gunung itu, Aconcagua meninggalkan kesan tersendiri pada Janatan. “Jadi ada kesan yang berbeda kalau naik Aconcagua … kita udah di-judge sejak awal pendakian. Misal kita berempat, nih. Yang paling kuat ‘kan Broery [Broery Sihombing]. Yah, Broery kamu bisa sampai puncak. Sofyan [Sofyan Fesa] kamu bisa sampai Camp 3. Frans [Xaverius Frans] sampai Camp 2. Janatan kamu gak bisa. Jadi saya diperiksa. Di paru-paru ada suara krok-krok gitu kalo bernapas. Nah, itu katanya gejala AMS (Acute Mountain Sickness), gak boleh naik, kalo naik berbahaya. Frans keesokannya diperiksa boleh naik, saya tetap gak boleh.

“Jadi mesti [kondisi psikis saya] nge-drop ya, Mas. Gunung-gunung berikutnya pasti gak lanjut lagi, ‘kan. Akhirnya saya tetep di basecamp. Setelah temen-temen turun dari puncak, ada kabar dari Bandung. ‘Kamu masih pengen naik, gak? Kondisinya sebenernya gimana, sih?’ [Saya jawab] Kalo dokter gak boleh. Saya bilang kondisi fisik sama sekali gak ada masalah. ‘Kalau gitu kita planing lagi. Kita turun ke kota. Ganti provider agen pendakian.’ Saya naik lagi tapi open trip sama temen-temen yang lain. Akhirnya bisa,” ujar anggota Mahitala Universitas Katolik Parahyangan ini panjang lebar.

Jika mendaki gunung-gunung strato di Indonesia saja yang tidak terlalu tinggi terkadang susah, saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya mendaki gunung es. Jalur ekstremnya tentu hanya bisa dilalui oleh orang-orang bermental kuat.

Janatan Ginting sedang menceritakan petualangan-petualangannya via BPI Malang

Lalu Janatan bercerita tentang pendakiannya ke Gunung Elbrus di Rusia. Selain rintangan medan, kendala perbedaan budaya—terutama bahasa—ketika mendaki puncak tertinggi di bekas Uni Soviet itu juga mempengaruhi jalannya pendakian. Namun, lucunya, justru kendala bahasa inilah yang membuat tim Indonesia ‘keliru’ memilih jalur baru yang kemudian dinamakan sebagai Indonesian Route oleh para rescuer Elbrus.

Beberapa pertanyaan juga dilemparkan kepada para peserta, termasuk Sungex, salah satu anggota Komunitas Backpacker Malang Raya, “Biasanya yang terakhir itu yang paling berkesan, kenapa mendaki Everest dulu baru Denali?”

Seraya mengingat pendakian enam tahun silam, Janatan kemudian menjawab, “Jadi itu salah satu strategi yang kita bikin. Kalau misal kita naik Denali dulu baru Everest, itu beresnya tahun berikutnya, bulan Mei 2012. Sedangkan kalau mau cepet, kita bereskan Everest dulu baru Denali. Kalau naik gunung beda-beda musimnya. Everest pertengahan tahun, Denali juga tengah tahun tapi bulan Juni – Agustus. Everest itu Maret – Mei. Kalau kita naik Denali dulu bulan Juli, berarti Everestnya tahun depan. Di sini kita konsultasi dengan Hiro [konsultan pendakian—peny.], itu sangat bermanfaat. Pas kita baru turun dari Everest, kita pengen istirahat, Hiro bilang: udah naik aja Denali langsung. Soalnya masih fit, kondisi fisiknya masih oke. Jadi gak perlu aklimatisasi lagi. Jadi emang masalah musim, sih, Mas. Untuk menghemat waktu dan biaya.”

Hari telah berganti, baru kali ini saya terlena oleh waktu karena mendengar kisah yang langka dan menarik ini. Saya mengamati ekspresi penasaran dari raut muka para peserta Temu Pejalan, atau gelisah menunggu panitia menyudahi acara. Mungkin mereka menyumpahi agar moderator beku kedinginan, lalu selesai. Tak lama, Ayos menutup acara malam itu. Para murid terlihat kecewa. Rupanya mereka merasakan pula apa yang saya rasakan. Kisah pendakian ke gunung-gunung es ini sangat menarik.

temu pejalan acara via BPI Malang

Foto bersama di akhir acara via BPI Malang

Bagi saya, pendakian puncak-puncak tertinggi di dunia oleh Janatan Ginting telah menjadi cambuk bagi petualang-petualang di Indonesia. Bahwa dalam meraih puncak tertinggi dibutuhkan kemampuan terbaik. Namun masih banyak “puncak” di sekitar kita yang harus didaki—melestarikan lingkungan, menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat, dan menyejahterakan seluruh umat manusia.

Sudah pasti akan ada banyak badai dalam pendakian, juga longsoran salju dan lereng yang terjal. Di Indonesia, perlahan-lahan tapi mantap, selangkah demi selangkah, semua dari kita mesti mengatasi masalah tersebut dan menggapai puncak. Jadi, ayo telusuri Indonesia!

The post Mendengar Kisah-Kisah Heroik dari “Seven Summits” di Temu Pejalan Malang #5 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seven-summits-di-temu-pejalan-malang/feed/ 0 579