Rifqy Faiza Rahman, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/rifqy-faiza-rahman/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:57:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Rifqy Faiza Rahman, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/rifqy-faiza-rahman/ 32 32 135956295 Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/ https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/#respond Fri, 13 Jun 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47447 Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan...

The post Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan retribusi perbaikan jalan kampung saat perjalanan kembali ke Tambolaka (18/7/2025). Dua kejadian beruntun tersebut Jajago dalam satu hari yang sama, yakni 12 Mei 2025, saat road trip di Sumba dengan mobil campervan.

Sebelumnya, John Stephen dan Riana, duo personel Jajago, telah melintasi Pulau Timor, Flores, dan Sumba menjadi penutup musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Dua kejadian yang menimpa keduanya seperti mengulang insiden dilempar batu oleh oknum warga saat melintas di daerah Weliman, Kabupaten Malaka (2/4/2025).

Tak pelak, konten Jajago pun viral. Terlebih diunggah ulang di sejumlah platform media sosial. Hasilnya bisa ditebak. Ribuan komentar membanjir, pro dan kontra mengalir. Masing-masing pihak terkena imbas. Jajago banjir dukungan, pun kenyang hujatan. Begitu pun sebaliknya, para pegiat pariwisata dan masyarakat lokal Sumba mengalami dampak serupa.

Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci
Bentuk salah satu rumah adat Kampung Ratenggaro yang tersisa saat kebakaran hebat tahun 2007. Kini sudah terbangun kembali belasan rumah adat yang lalu berkembang menjadi destinasi wisata budaya populer di Sumba/Monica Renata via Wikipedia

Kronologi dan insiden serupa di tempat lain

TelusuRI menghubungi pihak Jajago untuk meminta klarifikasi perihal insiden yang menimpa mereka. Pada Rabu (28/5/2025), melalui sambungan telekonferensi video, Jhon menceritakan ulang kronologi kejadian di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro seperti sudah diceritakan di Instagram Jajago.

Persoalan pokoknya adalah tarif jasa yang tidak sesuai kesepakatan di awal. Mulai dari kerumunan anak-anak yang dianggap “memaksa” untuk menggunakan jasa foto mereka, sampai dengan permintaan tambahan biaya sewa kuda dan pakaian adat yang melebihi ketentuan awal. Beberapa di antaranya (termasuk oknum warga dewasa) terang-terangan meminta uang untuk dalih beli buku maupun rokok. 

Menurut pengakuan Jhon, ia dan istrinya tidak melihat adanya informasi tertulis perihal tarif retribusi masuk kampung adat, hingga biaya jasa lainnya. Nominal tarif diungkap secara lisan dan berubah-ubah keterangannya. Tampak di video satu oknum pria dewasa berpakaian sarung adat dengan parang di pinggang mendominasi pembicaraan mengenai tarif, yang mendorong anak-anak setempat mengikuti arahannya.

Dari penuturan Jhon, kejadian serupa juga dialami beberapa pengunjung lain sebelumnya, yang ia ketahui dari ulasan di Google Maps. Tidak sedikit catatan negatif mengenai tempat wisata tersebut karena sejumlah kejadian kurang menyenangkan oleh oknum. 

Permintaan sejumlah uang juga dialami Jajago ketika melintas sebuah jalan perkampungan di Kodi, tak terlalu jauh dari Ratenggaro. Dalam rekaman video terlihat seorang pria melambaikan tangan agar mobil Jajago melambat dan berhenti, karena adanya perbaikan jalan kampung atas inisiatif swadaya masyarakat. Meski tampak tidak ada paksaan, tapi oknum pria tersebut menyebut nominal uang yang diperlukan.

Insiden serupa tidak hanya terjadi di Sumba. Di Pulau Jawa, yang perkembangan pariwisatanya terbilang sudah cukup maju dan dekat dengan kota-kota besar, aktivitas pungutan liar (pungli) masih sering terjadi. Salah satu yang paling terkenal adalah objek wisata alam Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Kabarnya, belakangan kerap sepi dan mulai ditinggalkan pengunjung. Umumnya wisatawan kapok karena biaya yang berlapis, berlipat, dan tidak terintegrasi untuk hampir setiap sektor, mulai dari tiket retribusi wisata biasa, berkemah, wahana permainan, wahana foto, hingga kuliner.

Lalu di objek wisata air terjun Tumpak Sewu atau Coban Sewu di perbatasan Malang–Lumajang, Jawa Timur juga menuai polemik. Penyebabnya adalah terdapat tarikan retribusi tambahan di area bawah air terjun, yang berada di perbatasan dua desa. Kejadian ini direkam pengunjung dan viral, menuntut pemerintah setempat menertibkan pengelolaannya.

Di sisi lain, Jhon menegaskan pihaknya tidak mempermasalahkan soal uangnya, tetapi lebih kepada cara meminta dan inkonsistensi tarif yang berlaku di Pantai Mandorak maupun Ratenggaro. Nominal yang simpang siur membingungkan wisatawan karena beberapa oknum meminta uang retribusi dengan harga yang berbeda-beda.

Konten media sosial yang rawan mispersepsi

Saat kami mengkonfirmasi Jajago, pihaknya mengungkap tidak ada masalah perihal adanya sosok pria dewasa terekam membawa sebilah parang di pinggang. John mengaku sangat memahami kebiasaan dan kebudayaan khas Sumba itu, seperti halnya di daerah-daerah lain di Nusantara.

Namun, tanpa adanya penjelasan yang detail, tampilan video itu menimbulkan mispersepsi di kalangan netizen, baik pengikut maupun nonpengikut Jajago. Tak sedikit yang memberi kesimpulan dini bahwa keberadaan parang tersebut merupakan tindakan intimidatif. Kegaduhan publik kian menjadi ketika video juga memperlihatkan sejumlah anak-anak hingga warga lokal menyebut secara jelas patokan harga jasa wisata yang berlaku di sana. Tak terkecuali soal ‘biaya jasa’ perbaikan jalan kampung yang dilintasi Jajago setelah meninggalkan Ratenggaro.

Konten yang viral menimbulkan konsekuensi, sehingga menuntut kebijaksanaan dan kelapangan hati yang lebih dari warganet. Sebab, tidak sedikit sorotan tajam dan tanggapan negatif warganet yang menyudutkan masyarakat Sumba, khususnya Ratenggaro dan sekitarnya. Ditambah ulasan negatif pengunjung (rata-rata bintang satu dari lima penilaian) melalui Google Maps. 

Bupati Sumba Barat Daya Ratu Ngadu Bonnu Wulla, seperti dilansir dalam iNews Sumba (24/5/2025), dilaporkan berurai air mata saat menghadiri pertemuan dengan warga Kampung Adat Ratenggaro usai kejadian viral yang diunggah Jajago tersebut. Ia merasa sedih dan terluka karena masyarakat Sumba Barat Daya mendapat sorotan negatif dari warganet yang mungkin belum mengetahui akar permasalahan sebenarnya. Bahkan mungkin belum semuanya memahami kultur hingga kekurangan dan kesenjangan yang terjadi antara masyarakat di Indonesia timur dengan Pulau Jawa yang lebih maju.

Sekalipun begitu, pihaknya mewakili Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya berkomitmen untuk berbenah. Ratu Wulla menekankan penegakan peraturan desa tentang retribusi resmi dan pengelolaan wisata yang sudah ada untuk mencegah ulah pihak yang sewenang-wenang terulang lagi.

Dalam rilis terpisah melalui Galeri Sumba (18/5/2025), Adi Mada, Wakil Ketua Lembaga Adat Ratenggaro, memberi tanggapan resmi mengenai viralnya dugaan pungli yang dialami Jajago. Ia menyampaikan permintaan maaf atas insiden yang terjadi. Dari pernyataannya, terungkap adanya konflik internal antarwarga yang cukup serius perihal pengelolaan wisata di sana. Situasi ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mengambil kesempatan tanpa persetujuan lembaga adat.

Seperti menguatkan pernyataan bupati, Adi Mada menambahkan, ia bersama sejumlah tokoh adat dan perangkat daerah terkait berkomitmen untuk menyelesaikan konflik internal di kampung secepatnya. Sebab, regulasi pengelolaan wisata di tingkat desa dan daerah sebenarnya sudah ada, tinggal diperkuat kembali. Termasuk melakukan pembinaan serta pembenahan internal untuk memperbaiki kualitas pelayanan wisata di Sumba Barat Daya, khususnya sekitar Kampung Adat Ratenggaro.

Kiri: Foto udara Pantai Mandorak berpasir putih dan dikelilingi tebing karang/Fajar Nasution via Traveloka Indonesia. Kanan: Tebing-tebing karang dan jernihnya laut jadi ciri khas Pantai Mandorak/Zahra via Wikipedia.

Pendidikan sumber daya manusia jadi kunci

Sebelumnya, TelusuRI mencoba meminta pendapat Agustina Purnami Setiawi, akademisi pendidikan Universitas Stella Maris Sumba perihal kasus ini. Istri Adi Mada itu baru bisa menyediakan waktu wawancara secara daring di akhir pekan (24/5/2025), setelah agenda padat mendampingi bupati saat kegiatan di Kampung Adat Ratenggaro.

Senada dengan bupati, Agustina merasa sedih dan prihatin. Ia menyadari kekurangan dan keterbatasan sumber daya manusia di Sumba dalam hal pelayanan pariwisata. Terlebih sampai saat ini Sumba Barat Daya masih tergolong daerah tertinggal, seperti tertera dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2020. Ia mengakui, perkembangan pariwisata di Nusa Tenggara Timur, khususnya Sumba Barat Daya, terbilang lambat dibandingkan daerah-daerah lainnya, apalagi Jawa.

“Di sini ada masalah sumber daya manusia (SDM). Walaupun kami punya potensi [pariwisata] besar, ada SDM yang belum siap,” ungkapnya.

Namun, ia menggarisbawahi, Ratenggaro memang begitu spesial. Sebagai salah satu kampung adat tertua, Ratenggaro sejatinya memiliki nilai-nilai budaya yang luhur, magis, dan pada dasarnya masyarakat lokal sangat ramah. Agustina berani menyatakan, Ratenggaro sudah lama terkenal sebagai kampung adat, yang sejatinya tetap bisa hidup tanpa adanya pariwisata.

Bahkan ketika berusaha dikembangkan dan diberdayakan sebagai destinasi pariwisata, Ratenggaro perlu waktu lebih lama untuk benar-benar dianggap siap menerima wisatawan. Sebab, bagi Agustina, pemahaman kepariwisataan yang bisa memberi dampak ekonomi benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi penduduk setempat. Kesenjangan literasi kepariwisataan ini ia anggap berakar dari kesenjangan pendidikan yang umumnya terjadi di wilayah Indonesia Timur. Katanya, jangankan berpikir tentang sekolah, jika untuk makan saja masih kesulitan.

Untuk itu, Agustina berharap pemerintah dan wisatawan mau memikirkan pemerataan akses pendidikan sebagai timbal balik yang harus diberikan setelah Ratenggaro, Mandorak, dan tempat-tempat di Sumba Barat Daya kian populer sebagai destinasi wisata. Bentuknya bermacam-macam, bisa sekalian menggelar kegiatan literasi, bagi-bagi buku, hingga lokakarya sederhana untuk anak-anak dan keluarga di kampung-kampung adat. Ia tidak ingin Sumba hanya dikeruk potensinya untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu, tetapi tidak berdampak apa pun untuk pengembangan SDM lokal, khususnya Sumba Barat Daya.

Selain itu, Agustina juga menitip pesan penting bagi wisatawan yang berkunjung, baik ditemani pemandu lokal maupun tidak. Bagaimanapun, sebagai tamu, penting untuk lebih bijaksana dalam mendokumentasikan perjalanan mereka di tempat baru, yang kulturnya bisa jadi sangat berbeda daripada daerah asalnya. Sebab, ada ruang-ruang privasi warga, hingga ruang-ruang keramat dan sakral yang tidak boleh dimasuki atau direkam. 

Jhon (kiri) dan Riana berpose dengan pakaian adat di samping mobil campervan Jajago Keliling Indonesia saat singgah di Desa Adat Todo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur/Instagram Jajago

Perlunya duduk bersama untuk kemajuan pariwisata Sumba

Senada dengan Agustina, anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumba Barat Daya Argen Umbupati, mengakui ada dua sudut pandang pelajaran yang bisa dilihat dari kejadian yang menimpa Jajago. Pertama, viralnya konten Jajago dijadikan sebagai landasan semua pihak yang berkaitan untuk membenahi industri pariwisata di Sumba Barat Daya. Kedua, citra pariwisata di Sumba Barat Daya, khususnya Kampung Adat Ratenggaro dan sekitarnya, kembali menuai sorotan tajam dan cenderung negatif di kalangan warganet.

Padahal menurut Argen, kondisi Ratenggaro dan Mandorak saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu sebelum dikemas sebagai destinasi wisata. Saat itu pariwisata masih terasa asing dan kawasan tersebut dianggap berbahaya bagi para pendatang. Namun, setelah penetapan peraturan desa dan daerah tentang pengelolaan pariwisata setelah pandemi COVID-19, situasinya mulai membaik meski belum 100 persen sempurna.

Pemandu lokal yang berbasis di Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya, mengakui wilayahnya masih memiliki banyak kekurangan dalam pelayanan pariwisata. Untuk itu, meski tidak wajib, pihaknya menyarankan para tamu atau wisatawan menggunakan jasa pemandu lokal demi kenyamanan berwisata. Melalui pemandu diharapkan wisatawan bisa mendapat informasi dan penjelasan seputar kebudayaan lokal, maupun hal-hal yang boleh dan pantang dilakukan selama di Sumba Barat Daya.

Selain itu, Argen juga berharap semua pihak pemangku kepentingan di Sumba Barat Daya bisa duduk bersama. Menurutnya komunikasi sangat penting untuk menyamakan visi dan frekuensi demi kemajuan pariwisata di Pulau Sumba. Sembari berbenah, Argen menyampaikan kepada siapa pun agar tidak perlu takut dan tetap datang menikmati keindahan alam dan budaya Sumba.

Terakhir, Jajago tetap menyampaikan harapan besar dan optimisme agar pariwisata Ratenggaro, Mandorak, dan peran masyarakat Sumba Barat Daya semakin baik di masa mendatang. Pun tempat-tempat wisata lainnya di Sumba, mulai dari wisata alam, kuliner, hingga budaya. Terlepas dari kejadian yang menimpa, Jhon dan sang istri mengakui Sumba sebagai destinasi penutup road trip terbaik dan terindah selama musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur.

Foto sampul: Kampung adat Ratenggaro di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (Shandi Irawan via Wikimedia)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/feed/ 0 47447
Pesan buat Para Pendaki Gunung https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/#respond Fri, 11 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46613 Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba. Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka...

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.

Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.

Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.

Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.

‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Para pendaki antusias memotret pemandangan dengan ponsel di camp Puncak Pemancar saat sore hari. Tampak serpihan-serpihan sampah di rerumputan hasil buangan pendaki yang berkemah sebelumnya/Rifqy Faiza Rahman

Upayakan semangat minim sampah itu

Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani. 

Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area). 

Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.

Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah. 

Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Petugas Basecamp Skydoor mengecek satu per satu barang bawaaan pendaki Gunung Kembang via Blembem. Basecamp ini termasuk salah satu pelopor pendakian nol sampah di Indonesia/Rifqy Faiza Rahman

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati

Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.

Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun. 

Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.

Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri. 

Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.

Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman

Bijaksana mengukur diri sendiri

Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.

Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.

Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.

Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.

Selamat mendaki gunung!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/feed/ 0 46613
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/#respond Mon, 31 Mar 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46485 Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pendaki mengular di punggungan jalur Thekelan dengan tujuan sama: menuju puncak tertinggi Gunung Merbabu/Rifqy Faiza Rahman

Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati matahari terbit dari puncak Merbabu. Sementara kami baru memulai langkah pukul 04.00.

Di depan dan belakang kami banyak rombongan pendaki. Tampaknya peserta open trip, yang tentu ketahanan fisik dan ritme langkahnya berbeda-beda. Beberapa kali kami harus bersabar menunggu antrean panjang yang meniti jalan setapak di antara cerukan batu, karena hanya bisa dilalui satu per satu.

Seperti kebiasaan kemarau bulan Agustus, angin berembus cukup kencang sepanjang subuh. Debu-debu beterbangan, bikin mata kelilipan. Vegetasi sangat terbuka, hanya perdu kering, cantigi, dan edelweiss yang hijaunya kontras dengan trek tanah dan batu-batu besar berselimut duli. Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl), yang berada di titik HM 33, kami tempuh sekitar 45 menit perjalanan dari Pos 2.

Tidak ada tempat lapang untuk beristirahat dengan lega di sini. Umumnya pendaki akan rehat sejenak di area datar HM 31. 

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Lampu perkotaan dan sesaat sebelum matahari terbit/Rifqy Faiza Rahman

Bertemu jalur klasik Thekelan

Waktu menunjukkan pukul lima tepat saat kami tiba di pertemuan jalur Wekas dan Thekelan. Tidak ada tanda yang istimewa di sini, hanya berupa petunjuk arah yang terikat pada ranting cantigi agar saat turun pendaki Wekas tidak kesasar dan bablas ke Thekelan. Pertemuan jalur ini berada di punggungan yang membujur dari Puncak Pemancar hingga Puncak Geger Sapi, lalu berakhir di tebing raksasa tempat empat puncak berada: Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi.

Tugu perbatasan tiga kabupaten tidak jauh dari situ. Meski bentuknya masih kukuh, tetapi kondisinya cukup memprihatinkan karena mulai rompal dan sudah tercabut dari pondasinya. Lapisan semen yang merekat perlahan terkikis alam lewat badai angin dan hujan.

Dari arah utara, para pendaki jalur Thekelan berduyun-duyun menahan gigil untuk mencoba peruntungan ke puncak. Saya kemudian berinisiatif mengajak sebagian teman salat Subuh di Helipad saja, yang tempatnya relatif datar dan longgar untuk beribadah. Sesekali tercium bau menyengat dari kawah-kawah belerang Merbabu. Meski dorman dan tertidur sangat lama sejak letusan terakhir sebelum abad ke-18 silam, gunung ini masih memproduksi bongkahan belerang. Pertanda statusnya sebagai gunung berapi.

Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
Tugu perbatasan kabupaten. Dipotret saat pendakian tektok Juli 2024/Rifqy Faiza Rahman

Hari mulai terang dan menghangat tatkala kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl). Semburat matahari pagi perlahan menampakkan diri. Selepas simpang pos mata air Thekelan, trek sempit dan terjal di antara cerukan batuan jadi tantangan yang menguji ketahanan lutut. Beberapa kali saya harus memegang akar cantigi atau bongkahan batu untuk membantu saya melangkah naik.

Dari atas Geger Sapi—secara harfiah berbentuk seperti punuk (geger) sapi—kami bisa melihat jalur klasik Thekelan yang legendaris. Pada saat-saat tertentu, punggungan panjang yang naik dan turun itu bak kerucut pipih yang mencuat menembus selaput kabut dan gulungan awan. Nun jauh di seberang, dari barat ke  timur, Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, Telomoyo, dan Ungaran jadi penggembira sebagai latar belakang.

“Istirahat sebentar, Ko, nunggu yang lain,” pinta saya ke Lukas begitu kami tiba duluan di Geger Sapi. Kurniawan, Eko, dan Dio masih di bawah. Tempat ini tidak begitu luas, hanya seperti puncak punggungan yang kemudian berganti ke punggungan lain yang terus menanjak sampai puncak Merbabu.

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pemandangan lebih jelas punggungan jalur Thekelan-Wekas dari Puncak Geger Sapi/Rifqy Faiza Rahman

Di persimpangan jalan

Sinar matahari kembali terhalang tebing di sisi timur ketika kami melanjutkan pendakian. Suasana jalur kembali teduh, debu-debu beterbangan akibat sapuan kaki pendaki. Tak jauh dari Geger Sapi, jalur bercabang menjadi dua, yang sama-sama berujung di persimpangan jalan dekat Ondo Rante. Sama-sama terjal dan melelahkan.

Di titik ini kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Puncak Syarif saja, tidak perlu ke Kenteng Songo maupun Triangulasi. Untuk itu kami memilih jalur kiri karena lebih dekat dengan puncak yang dulunya dipercaya pernah jadi tempat bertapa Mbah Syarif, sesepuh dan tokoh spiritual dari sebuah kampung di lereng Merbabu.

Mendekati Puncak Syarif, saya bertemu dengan sejumlah pendaki yang berjalan di depan. Sebagian baru pertama mendaki Merbabu, atau sudah pernah tapi lewat jalur lain, bukan via Wekas atau Thekelan. Salah satu di antara mereka bertanya puncak-puncak yang mungkin bisa digapai sekali jalan.

“Yang di atas itu puncak apa, Mas?” Ia menunjuk arah tenggara, ke tempat yang akan kami tuju.

“Itu Puncak Syarif, Mas,” jawab saya. 

“Kalau yang disebut Seven Summits Merbabu itu mana saja, Mas?”

“Itu kalau lewat Thekelan, bisa dapat tujuh puncak, Mas. Mulai dari Puncak Watu Gubug, Puncak Pemancar, Puncak Geger Sapi, Puncak Syarif, Puncak Ondo Rante, Puncak Kenteng Songo, dan Puncak Triangulasi. Nah, Puncak Syarif di depan itu puncak keempat.” Ia dan temannya ternyata sama-sama naik dari Wekas. Mereka berencana akan menggapai semua puncak itu.

Satu tanjakan terakhir menyambut setibanya kami di persimpangan jalur Syarif–Ondo Rante. Trek yang kami lalui amat curam dan bikin bulu kuduk meremang karena berada di tepi jurang jurang, menuntut fokus selama melangkah dan memastikan kaki berpijak pada tanah atau batuan yang stabil.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Arti cukup di Puncak Syarif

Angka ‘06:45’ tertera di arloji digital saya ketika kami sampai di Puncak Syarif (3.137 mdpl). Gunung Merapi di selatan begitu gagah menjulang. Statusnya sebagai gunung berapi paling aktif di Indonesia ditunjukkan lewat kepulan asap yang keluar dari kawah, meninggalkan jejak serupa garis memanjang yang melayang di antara awan. Sejak 2018, pendakian ke puncak gunung yang disakralkan Keraton Yogyakarta itu sudah ditutup karena aktivitas vulkanis yang eksplosif dan masih berstatus Siaga selama hampir lima tahun terakhir.

Ternyata sudah cukup banyak pendaki yang tiba di Puncak Syarif, menunjukkan ragam ekspresi eksistensi lewat kamera ponsel. Mendadak rasa haru dan nostalgia menyeruak, mengingatkan saya pendakian pertama Merbabu lintas Thekelan–Selo pada April 2013. Sudah 12 tahun berlalu dan saya baru menginjakkan kaki lagi di puncak ini untuk kedua kalinya. Dulu jauh lebih sepi karena kami adalah rombongan satu-satunya yang melintas jalur waktu itu.

Sebuah tugu dengan desain dan kombinasi warna yang kurang enak dilihat, jenis tulisan serupa Comic Sans di Microsoft Word serta terlalu memakan tempat—seperti di Kenteng Songo dan Triangulasi—jadi pertanda keberadaan puncak tenggara Merbabu ini. Rasanya, plakat puncak jadul 12 tahun lalu masih lebih enak dipegang dan dipandang daripada tetenger fisik seperti sekarang, yang entah mengandung filosofi apa di balik pembuatannya.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Kawasan Puncak Syarif lumayan luas. Setidaknya terdapat dua area datar terbuka yang bisa menampung beberapa tenda dome—walau memang sangat tidak disarankan mendirikan tenda di puncak. Masih lebih mudah menemukan rerumputan di sini daripada Kenteng Songo dan Triangulasi yang permukaan tanahnya sudah tertutup debu tebal saat musim kemarau.

Dari Puncak Syarif, saya bisa melihat para pendaki berbondong-bondong menuju puncak-puncak berikutnya. Terutama Kenteng Songo dan Triangulasi, yang jadi pertemuan jalur Thekelan-Wekas dengan Selo dan Suwanting. Meski hanya tinggal beberapa ratus meter dan kurang dari satu jam saja, membayangkan langkah ke sana sudah capek. Rasanya waktu kami lebih berharga untuk dimanfaatkan istirahat lebih lama di camp.

Saya kembali memastikan ke teman-teman. “Piye? Lanjut Kenteng Songo atau sudah cukup sampai Syarif saja?” 

Kurniawan menyahut, “Wis cukup, balik tenda saja.” Eko, Lukas, dan Dio setuju. Agar tercipta pengalaman baru, kami memilih turun lewat jalan pintas yang tembus mata air di bawah Helipad, lalu kembali menyusuri jalan yang sama menuju Pos 2 Wekas. 

Sepanjang perjalanan ke tenda, saya sudah membayangkan akan menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum berkemas dan turun gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/feed/ 0 46485
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/#respond Mon, 31 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46483 Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang),...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
Gunung Merbabu dipotret dari wilayah Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang/Rifqy Faiza Rahman

Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang), atau Thekelan (Semarang). Meski masih satu kabupaten dengan Suwanting, tetapi Wekas berada di desa dan kecamatan berbeda. Suwanting terletak di Banyuroto, Kecamatan Sawangan, sedangkan Wekas berlokasi di Kenalan, Kecamatan Pakis.

Kesempatan pertama mendaki jalur Wekas datang pada pertengahan Juli 2024. Mulanya saya mencoba pendakian tektok (tanpa menginap), tetapi tidak sampai puncak. Saat itu saya bersama Eko, kawan karib seangkatan semasa kuliah di Malang, hanya menuntaskan perjalanan hingga mata air di jalur Thekelan, lalu balik turun. Baru pada 3–4 Agustus 2024 lalu saya mengulangi jalur ini dengan camping dua hari satu malam. Eko yang kini bekerja di Pemalang ikut lagi, ditambah teman-teman dari luar kota, yakni Lukas dan Dio (Surabaya) serta Kurniawan—kakak tingkat saya semasa kuliah dan kini bekerja di Tangerang.

Dari sekitar tiga basecamp milik warga yang ada di Wekas, saya memilih basecamp Pak Lasin. Rumah petani sayur yang juga berprofesi sebagai pemandu dan porter itu dekat dengan akses utama menuju pintu hutan Merbabu Pass, titik awal pendakian. Berbeda dengan perjalanan bersama Eko sebelumnya yang membawa motor, kali ini saya membawa mobil sewaan. Sebab, barang-barang untuk pendakian lebih banyak.

Rombongan prapendakian terbagi menjadi dua keberangkatan. Saya menjemput Kurniawan terlebih dahulu di Stasiun Yogyakarta, sedangkan Eko menyusul naik bus ke Salatiga untuk bertemu Lukas dan Dio di sana. Kami sepakat bermalam di basecamp sebelum pendakian keesokan paginya, agar persiapan lebih mudah dan tidak terburu-buru.

Tampak luar basecamp Pak Lasin di Wekas (kiri) dan kondisi bagian dalam rumah/Rifqy Faiza Rahman

Kehangatan di tengah dingin

Konsekuensi dari menyulap rumah menjadi basecamp adalah berbagi ruang antara keluarga dengan tamu. Di Wekas sebagian besar tamu adalah pendaki Merbabu, yang mungkin populasi hariannya melebihi jumlah populasi penduduk setempat. Menurut sistem reservasi daring taman nasional, Wekas dapat jatah kuota harian 294 pendaki. Lebih sedikit daripada Selo, Suwanting, dan Thekelan yang mengakomodasi 330–350 pendaki per hari.

Dalam catatan GPS saya, ketinggian rumah Pak Lasin mencapai 1.748 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagaimana hunian perdesaan di kaki gunung, rumah Pak Lasin sangat sederhana tanpa banyak perabot. Ada tiga bagian di rumah ini, yaitu dua kamar pribadi, ruang tamu, dan pawon lawas beralas tanah—kamar mandi satu-satunya juga ada di sini. 

Di ruang tamu tak berkeramik itu, hanya plester semen, puluhan pendaki bisa beristirahat di atas tikar yang disediakan Pak Lasin. Kadang-kadang pendaki menambahkan alas matras atau sleeping pad agar hangat lalu tidur dengan sleeping bag, seperti yang saya lakukan. Selepas petang sampai subuh keesokan harinya, suhu di luar akan turun mendekati angka satu digit. Menusuk kulit, tetapi di dalam rumah hangat. 

Di rumah, istri Pak Lasin menyediakan makanan dan minuman untuk pendaki. Menunya antara lain nasi sayur (plus lauk telur), nasi goreng, mi goreng, dan mi rebus. Pilihan minumannya standar, seperti teh, kopi, dan air mineral biasa. Menu makanan yang sederhana itu semata pertimbangan kemudahan bahan saja, bukan karena tenaga yang terbatas. “Kalau bikin ramesan gitu repot nanti, Mas, karena harus bolak-balik ke pasar buat belanja bahan. Kalau sayur kan tinggal ambil di kebun, sementara beras, telur, dan mi bisa awet buat beberapa hari, jadi tidak harus setiap hari pergi ke pasar,” jelas ibu dua anak itu.

Ia biasa memasak di pawon jadul itu, mengandalkan kayu bakar sebagai sumber perapian, yang bisa jadi sumber kehangatan. Kehangatan yang juga muncul dari interaksi antarpendaki dengan keluarga Pak Lasin, 

Eko berfoto bersama Pak Lasin dan istri (kiri). Istri Pak Lasin sedang merebus air di pawon rumahnya. Foto ini diambil saat pendakian tektok bersama Eko pada Juli 2024 lalu/Rifqy Faiza Rahman

Jarak dan air, jaminan kenyamanan jalur Wekas

“Jalur Wekas itu jalur paling pendek dan cepat di Merbabu,” kata Pak Lasin. Ia menyebut kisaran angka 4–5 kilometer untuk total jarak dari basecamp ke Kenteng Songo dan Triangulasi, puncak tertinggi gunung ini.

Saya coba mengecek situs web taman nasional. Panjang jalur Wekas 4,86 kilometer. Benar kata Pak Lasin, lebih pendek dari Selo (5,63 km), Suwanting (5,68 km), dan Thekelan (6,1 km). Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur Thekelan di percabangan batas tiga kabupaten: Magelang-Semarang-Boyolali (2.847 mdpl).

Selain soal jarak, Pak Lasin menyebut ketersediaan sumber air jadi kelebihan jalur Wekas. Letaknya di Pos 2 Kidang Kencana (2.480 mdpl), yang juga jadi tempat berkemah paling ideal di jalur ini. Kami tidak perlu repot-repot membawa banyak air dari basecamp, pun tidak perlu khawatir kehabisan bekal air selama pendakian. 

“Turun dari puncak bisa isi ulang air lagi di bawahnya Helipad itu,” jelas Pak Lasin. Helipad (2.898 mdpl) adalah salah satu pos datar yang sempit di punggungan jalur Thekelan-Wekas menuju puncak. Dinamakan Helipad karena bentuknya menyerupai landasan helikopter, hanya saja tidak ada huruf ‘H’ besar di permukaan tanahnya.

Tak jauh dari Helipad, ada satu cabang jalur menurun yang bisa jadi jalan tembus ke puncak atau sebaliknya, dan terdapat sumber air yang dialirkan dengan keran. Jaraknya kira-kira 5–10 menit perjalanan. Dari sumber ini pula tersambung pipa-pipa PVC yang lentur dan panjang, menyelimuti lereng-lereng curam, untuk memenuhi kebutuhan air jalur Suwanting.

Akan tetapi, lanjut Lasin, kenyamanan jalur Wekas tersebut acapkali kurang memikat pendaki, yang kebanyakan lebih memilih Selo atau Suwanting. Bukan tanpa sebab. Pendeknya jarak tempuh jelas membawa konsekuensi bahwa jalur akan lebih sering menanjak dan minim bonus—istilah untuk trek datar atau landai. Adanya penutupan untuk rehabilitasi kedua jalur itu beberapa waktu lalu rupanya membawa berkah. Jalur klasik Thekelan dan Wekas yang sebelumnya jarang dilirik mulai mendapat atensi seperti dahulu kala.

“Kalau pendaki lawas dulu, ya, tahunya naik Merbabu lewat Thekelan atau Wekas, Mas,” kata Pak Lasin. Kedua jalur tersebut sama-sama bisa diakses dari jalan raya Magelang–Salatiga, dekat kawasan wisata Kopeng.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Ujian kesabaran hingga HM 19

Pendakian pada Sabtu pagi (3/8/2024) kami mulai pada pukul 08.30 setelah sarapan nasi sayur dan lauk telur yang dibuat istri Pak Lasin. Kami juga memesan masing-masing seporsi nasi telur untuk makan siang di camp Pos 2 Wekas nantinya. Tukang ojek dengan tarif Rp15.000 sekali jalan yang kami pesan untuk mengantar ke pintu hutan Merbabu Pass (1..858 mdpl) juga sudah siap di depan basecamp.

Sejam sebelumnya, Eko turun ke Pos TPR (tempat pemungutan retribusi) yang terletak di tepi jalan kampung, untuk registrasi ulang SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang telah kami pegang lewat reservasi daring. Kami hanya perlu membayar biaya tambahan berupa retribusi kampung dan parkir. Banyak mobil rombongan pendaki yang parkir paralel di pinggir jalan. Sebab, kontur kampung cukup ekstrem dan sempit jika dipaksakan parkir dekat basecamp, kecuali sepeda motor yang bisa dititipkan di masing-masing basecamp.

Tampaknya pendakian hari itu akan ramai pendaki karena akhir pekan. Pak Lasin pun ikut naik, ia dan tetangga dusunnya disewa sebagai porter dan pemandu oleh satu rombongan pendaki asal Jakarta. “Alhamdulillah hari ini full (kuota), Mas.”

Untuk itulah kami berangkat lebih awal, sebelum jalur terlalu sesak pendaki. Menggunakan ojek merupakan pilihan bijak untuk menghemat tenaga dan waktu, sekaligus memberi sedikit kontribusi pada roda perekonomian masyarakat.

Perjalanan dengan ojek ke Merbabu Pass dilanjutkan dengan jalan kaki. Sebuah plang putih sederhana memberi informasi yang menyambut pendaki memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Trek awal yang datar di 200 meter pertama sempat memberi kami napas lega, sebelum harus bersahabat dengan tanjakan yang nyaris tanpa putus sampai patok HM (hektometer) 19.

“Ya, normalnya paling 3–4 jam sudah sampai Mas di Pos 2,” Pak Lasin memberi info waktu tempuh pendakian. Ketika saya dan Eko mendaki tektok bulan sebelumnya, kami butuh dua jam berjalan santai dari Merbabu Pass sampai Pos 2. Dengan beban bawaan yang lebih banyak, kami berasumsi akan sampai di Pos 2 dua kali lebih lama dari durasi tektok.

  • Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Rasanya, energi dari asupan sarapan pagi mulai menguap seiring kemiringan tanjakan jalur Wekas. Berdasarkan pengalaman tektok sebelumnya, satu kilometer pertama sampai Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl) baru bisa dianggap pemanasan. Dua pos bayangan tanpa selter, Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl), kurang representatif sebagai tempat istirahat sehingga kami sedikit memacu tenaga agar bisa mengatur napas lebih lama di selter Pos 1 yang berupa gazebo kayu. Pendakian menuju Pos 1 memerlukan waktu sekitar 50–60 menit. 

Tutupan hutan jalur Wekas sedang-sedang saja. Vegetasi yang tumbuh di jalur punggungan yang dilalui pipa air itu didominasi cemara gunung, mlanding (sejenis lamtoro), dan tanaman perdu. Jika beruntung, akan terlihat kawanan Macaca fascicularis alias monyet yang bergelantungan di dahan-dahan dan relatif jinak, tidak seagresif di Rinjani, Butak, atau hutan Baluran.

Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian menuju camp Pos 2. Di sinilah ujian kesabaran sesungguhnya, baik fisik dan mental. Selepas HM 11 sampai HM 19 adalah fase terberat jalur ini. Kaki harus diangkat tinggi-tinggi melebihi lutut. Untuk menguji diri, Dio meminta bertukar tas. Ia ingin merasakan carrier 65 liter milik saya yang berisi tenda kapasitas empat orang, alat masak, dan sejumlah logistik lainnya. Sementara saya memakai tas Dio yang bobotnya relatif lebih ringan.

Hari kian beranjak siang. Langkah kian tertatih. Dio sempat terlihat kepayahan ketika mencapai ujung tanjakan HM 19, tapi menolak menyerah. Tanggung, katanya. Ia benar. Vegetasi sudah terbuka. Hanya perlu 600 meter lagi sampai ke HM 25, tempat Pos 2 berada. Di sisi kiri terpisah jurang, tampak punggungan jalur Thekelan yang berujung pada Puncak Pemancar. Bekas menara radio tentara itu ambruk tak bersisa akibat badai besar musim hujan lalu.

Ritme langkah kami mendadak cepat seiring melandainya jalan setapak berdebu. Pos idaman jalur ini telah menyambut di depan mata. Lukas dan Kurniawan sudah tiba lebih awal setengah jam yang lalu. Mereka ‘mengkaveling’ sepetak tanah yang muat untuk dua tenda dome kami. Hanya sepelemparan batu dengan gazebo kayu dan keran sumber air. Kami akan bermalam di sini.

Gazebo sederhana di area camping ground Pos 2 Wekas (kiri) dan kumpulan tenda rombongan pendaki peserta open trip/Rifqy Faiza Rahman

Menyongsong senja, merayakan malam

Sebelum berangkat mendaki, aplikasi radar cuaca memprakirakan dua hari ke depan akan cenderung cerah. Mungkin hampir niscaya karena Agustus hingga September terbiasa jadi puncak musim kemarau, yang identik dengan debu dan angin kencang.

Walaupun potensi turunnya hujan itu tetap ada. Jika itu terjadi, BMKG kerap menyebutnya sebagai ‘campur tangan’ fenomena global, yakni gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, yang berperan dalam sistem curah hujan tropis dan memicu gelombang iklim berskala besar Osilasi Madden-Julian (MJO). Fenomena-fenomena ini mungkin tidak akan tampak secara tersurat di langit beberapa daerah dan dampak yang timbul setelahnya. Namun, setidaknya dalam pendakian kami hari itu, cuaca yang bersahabat berpeluang lebih besar terjadi daripada cuaca buruk. Di Gunung Merbabu, alam memiliki kemungkinan besar menghadirkan senja dan pagi dengan raut khas yang semestinya.

Ada satu alasan lagi yang membuat saya memilih tanggal pendakian di hari ini. Sebagai penikmat fotografi, saya tidak ingin melewatkan kesempatan memotret milky way saat malam tiba. Fenomena malam menakjubkan ini hanya akan mudah terlihat saat tanggal-tanggal fase bulan baru (new moon), atau saya biasa menyebutnya fase bulan mati—bisa dicek lewat aplikasi kalender bulan semacam Lunar Phase atau sejenisnya. Sebab, langit akan lebih bersih tanpa polusi cahaya dari hari-hari ketika bulan bersinar terang benderang. Gunung yang tinggi dan minim gangguan cahaya buatan jadi salah satu prasyarat wajib untuk merekam miliaran bintang dan sistem tata surya dalam galaksi spiral Bimasakti lewat lensa kamera.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Usai perburuan foto senja dan gemintang, saya kembali ke tenda. Pembicaraan sebelum makan malam tadi masih menggantung di antara kami, lalu saya pastikan lagi, “Gimana, besok jadi muncak?”

Tarik ulur rencana ke puncak itu karena ada sebagian dari kami yang masih merasa lelah setelah dihajar tanjakan jalur Wekas. Mulanya sempat merasa cukup dengan berada di Pos 2 ini, tetapi semua akhirnya sepakat. Kami berencana berangkat agak santai, sekitar pukul empat pagi. Kami tidak akan tergesa mengejar matahari terbit di puncak, tidak akan berambisi pula untuk menggapai seluruh puncak tertinggi.

“Mau sampai Puncak Kenteng Songo atau cukup di Puncak Syarif saja?” saya tanya ulang.

Opo jare sesok ae, wis,” kata Eko dan Kurniawan serempak, lalu mengajak saya segera beristirahat. Bagaimana kelanjutan perjalanan kami, tergantung apa kata alam besok pagi.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/feed/ 0 46483
Memuliakan Durian Candimulyo https://telusuri.id/memuliakan-durian-candimulyo/ https://telusuri.id/memuliakan-durian-candimulyo/#respond Fri, 28 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46461 Candimulyo terkenal sebagai sentra durian terbesar di Magelang. Dari varian lokal sampai premium tersedia. Kehendak alam jadi tantangan yang tak akan pernah bisa diduga. Teks & foto oleh Rifqy Faiza Rahman Dusun Suran, Surojoyo, Candimulyo...

The post Memuliakan Durian Candimulyo appeared first on TelusuRI.

]]>
Candimulyo terkenal sebagai sentra durian terbesar di Magelang. Dari varian lokal sampai premium tersedia. Kehendak alam jadi tantangan yang tak akan pernah bisa diduga.

Teks & foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Memuliakan Durian Candimulyo
Warga melintas dengan motor di gapura Dusun Suran, salah satu produsen durian lokal dan premium di Candimulyo, Kabupaten Magelang

Dusun Suran, Surojoyo, Candimulyo pada Rabu pagi kala itu (26/2/2025) seperti hari-hari kerja biasa. Mendung tidak menyurutkan rutinitas sehari-hari; anak-anak dan para guru tetap berangkat ke sekolah, perangkat desa bergegas kerja di kantor kelurahan, sejumlah petani pergi ke sawah. 

Namun, lain dengan kesibukan di depan rumah Mahmudi (41), seorang pekebun dan penjual durian. Hari itu saya diajak melihat proses panen durian di salah satu petak kebun dekat kampung. Usai menyeruput segelas teh hangat yang disuguhkan Evi (39), istri Mahmudi, kami pun bergegas. Takutnya keburu hujan dan bikin jalan setapak tanah becek, yang bisa menyulitkan langkah. Sebab, lokasi pohon duriannya berada di tengah hutan, dekat tuk (mata air) dan kolam pemandian warga. 

“Kita jalan kaki saja, Mas, lebih aman. Jalannya licin dan curam kalau pakai motor. Kalau orang sini, kan, sudah biasa,” jelas Mahmudi, yang akan menemani saya berjalan.

Dua sepeda motor bebek siaga, salah satunya terpasang rombong atau kambut atau keranjang anyaman plastik berwarna hijau untuk mengangkut durian hasil panen. Bentuknya persegi dengan dua kompartemen dengan volume seimbang. Motor hitam pabrikan Suzuki 110 cc itu dikendarai Andika (20), keponakan Mahmudi. Sementara motor biru Yamaha 110 cc dipakai berboncengan oleh kerabat Mahmudi, Dwi (27) dan Muhlisun (37). Secara profesional, mereka adalah buruh panen—Mahmudi menyebutnya tukang nebas—yang diupah sebesar Rp50.000 per hari. 

Kiri: Mahmudi melayani pembeli durian di depan rumahnya, yang ditata khusus untuk kenyamanan pengunjung, dilengkapi fasilitas air mineral dan camilan ringan. Selembar terpal biru dipasang agar terlindung dari panas dan hujan.
Kanan: Andika mengendarai motor pengangkut rombong untuk menampung hasil panen durian.

Panen durian: berebut sumber rezeki banyak makhluk hidup 

Jarak ke kebun kira-kira 500 meter. Motor hanya bisa mengakses maksimal 300 meter dan diparkir di dekat tuk yang berada di pinggiran sungai kecil. Sisanya melewati jembatan bambu dan menyisir jalan setapak agak menanjak ke area pesarean (pekuburan) tanpa nama—Mahmudi bilang ada hubungannya dengan Keraton Jogja. 

Ada dua pohon target panen pagi itu. Meski tidak mengetahui secara pasti, tetapi menurut Mahmudi durian yang dipanen sejenis durian mentega. “Tapi KW super, Mas, he-he-he,” candanya. Ia mengupas satu buah dan saya diberi kesempatan mencicipinya. Dari kulit terluar, bau harum semerbak cenderung wangi. Dagingnya tebal dan karakter rasa cenderung manis, dengan sedikit pahit di akhir gigitan.

Pohon durian terbesar berusia 70 tahun di barat pusara akan dipanjat Muhlisun, adik kandung Mahmudi. Lingkar pohonnya terlalu besar untuk dipeluk satu orang. Tingginya kira-kira 30-an meter. Sementara pohon yang lebih kecil berada di tenggara, yang akan dipanjat Andika. Setiap pohon telah dipasang tangga vertikal berupa bilah-bilah bambu yang ditancapkan dengan paku. Bentuknya serupa dengan struktur tulang belakang manusia.

Sebelum memanjat, Muhlisun menyiapkan tali untuk mengerek durian ke dari dahan ke bawah (kiri). Perbandingan ukuran tubuh Mahmudi dengan pohon durian berusia hampir tiga perempat abad yang dipanjat Muhlisun.

Tidak ada sertifikasi khusus untuk memanen buah tropis dari genus Durio itu. Kuncinya dua: jeli dan berani. Jeli, dalam hal melihat cuaca, tanda-tanda panen, dan memperhitungkan waktu panen. Hanya dengan mata telanjang dari permukaan tanah, Mahmudi sudah amat paham buah-buah mana yang siap panen dan memiliki kualitas bagus. Lalu berani, dalam hal kemampuan mengatasi takut ketinggian dan risiko jatuh karena tanpa alat pengaman memadai. Sebab, Muhlisun dan Andika hanya berbekal dua alat, yakni sebilah pisau untuk memangkas durian yang sudah matang dan seutas tali tampar panjang untuk mengerek durian ke bawah.

“Kalau dulu dilempar, Mas, risikonya ya buah bisa pecah kalau jatuh ke tanah dan pasti kualitasnya tidak bagus. Sekarang pakai tali lebih aman, kayak katrol sumur,” jelas Mahmudi. Setidaknya ada dua kali pemanjatan selama musim durian. Pertama, saat pohon sudah berbunga dan memunculkan bakal buah. Mahmudi dan kawan-kawan akan naik untuk mengikat batang buah dengan tali rafia agar tidak jatuh ketika sudah waktunya matang. Kedua, saat panen seperti sekarang ini.

Jelas saya bukan orang yang tepat untuk pekerjaan berbahaya ini. Cukup dengan melihatnya saja sudah jeri. Apalagi melakukan, ngeri. Jika sampai saya tahu ada pembeli menawar sadis sebuah durian berkualitas bagus, saya akan menyeretnya ke kebun ini untuk melihat langsung bagaimana “buah surga” itu diambil dari takhtanya.

  • Memuliakan Durian Candimulyo
  • Memuliakan Durian Candimulyo
  • Memuliakan Durian Candimulyo

Mahmudi mengatakan, memanen durian memang harus dilakukan segera untuk menjaga kualitas durian, sehingga jangan sampai durian melewati tingkat kematangan berlebih. Selain faktor cuaca, ada alasan genting lainnya yang menuntut kegiatan panen berkejaran dengan waktu, yaitu mencegah satwa liar seperti bajing, kelelawar, atau tikus datang. “Sudah ada bakul (penjual atau reseller) dari Kalibawang (Kulon Progo) yang pesan juga, Mas, jadinya harus segera diamankan sebelum terlambat,” kata Mahmudi. Kalibawang termasuk salah satu sentra durian di Yogyakarta. Biasanya, setiap penjual tidak hanya menjajakan durian lokal setempat, tetapi juga dari daerah lainnya seperti Kaligesing (Purworejo), Kepil (Wonosobo), hingga Banyumas.

Tentu ia pun juga menyediakan lebih untuk stok penjualan. Namun, ia tak memungkiri, ada hak rezeki juga yang harus alam penuhi untuk makhluk hidup seperti itu. “Makanya kadang saya ‘ikhlaskan’ saja satu-dua buah yang sejatinya siap panen tapi sudah keburu dimakan hewan,” ujar Mahmudi, sambil menunjuk beberapa buah yang jatuh membusuk di atas tanah setelah dimakan bajing atau kelelawar. “Tapi kalau menurut saya, lebih mending [durian] dimakan bajing karena masih disisakan daging [buahnya], daripada tikus hutan yang rakus babat buah sampai habis.”

Muhlisun dan Andika bak orang utan yang lincah memanjat pohon serta berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Pijakan kaki dan genggaman tangan mereka begitu lengket, seolah-olah yakin semuanya akan baik-baik saja. Satu per satu durian dipanen dan meluncur deras ke bawah. Mahmudi dan Dwi bertugas mengumpulkan durian-durian tersebut. Nantinya sekitar 30 buah diikat pada sepotong batang bambu sepanjang hampir dua meter, lalu dipanggul dua orang menuju rombong. 

Panen hari itu menghasilkan sedikitnya 70 buah dari dua pohon. Satu rombong hanya bisa memuat separuhnya, sehingga pengangkutan ke rumah Mahmudi berlangsung dua kali. Kini giliran Dwi yang membawa rombong bermuatan satu kuintal durian itu dengan motor.

  • Memuliakan Durian Candimulyo
  • Memuliakan Durian Candimulyo

Terserah apa kata Allah

“Saya mulai terjun ke dunia durian 12 tahun lalu setelah menikah, diajari kakak saya,” kata Mahmudi. Waktu itu ia belum punya pekerjaan tetap. Sehari-hari bekerja serabutan sebagai kuli di proyek-proyek bangunan, atau apa pun yang bisa menghasilkan rezeki.

Ketekunan bapak tiga anak itu membuahkan hasil. Saat ini Mahmudi bertanggung jawab merawat 200 pohon durian beraneka varietas, baik lokal maupun premium, yang tersebar di kebun-kebun di Desa Surojoyo. Kebanyakan milik masyarakat, sehingga ada sistem bagi hasil antara dirinya dengan pemilik kebun yang di dalamnya ditumbuhi pohon durian. Di sisi lain, Mahmudi hanya memiliki segelintir pohon durian di kebun pribadi warisan orang tuanya.

Dari semula menjual durian dengan cara berkeliling, dari satu lapak ke lapak lainnya di pinggir jalan kecamatan, dari puskesmas hingga sekolah, kini Mahmudi cukup menyediakan lapak di teras rumah, menunggu pencinta durian berbondong-bondong datang menikmati durian khas Candimulyo. “Kalau dulu saya yang cari-cari pembeli, sekarang mereka yang mencari saya,” guyon Mahmudi. 

Memuliakan Durian Candimulyo
Daging buah durian mentega hasil panen Mahmudi dan tim

Secara teori, merawat pohon durian cukup mudah karena tidak perlu perlakuan khusus. Tumbuh alami begitu saja, ketika tiba waktunya akan panen dengan sendirinya. Namun, cuaca tak menentu, yang disinyalir sebagai dampak dari perubahan iklim, membuat Mahmudi harus bekerja ekstra. Selain memberi kombinasi pupuk dan pestisida secara organik dan kimia secukupnya, ia mesti rutin mengontrol kondisi pohon, terutama saat memasuki fase-fase krusial berbunga dan siap berbuah. Belum lagi serbuan makhluk hidup “sesama pencinta durian” seperti bajing, kelelawar, tikus, hingga ulat yang siap berebut sumber rezeki tersebut.

Musim panen pun turut bergeser, dan beberapa tahun terakhir Mahmudi tidak bisa memberi jawaban pasti kapan persisnya musim raya durian terjadi. “Kalau dulu hampir bisa dipastikan rutin mulai November–Desember sampai Januari itu puncaknya, Mas. Tapi sekarang hujan terus kayak gini, ya, jadinya mundur ke Februari–Maret,” keluhnya. Belum lagi jika ada pesanan khusus dan spesifik dari pelanggan yang menginginkan varian durian tertentu, ia harus menyiapkan pohon dan buahnya jauh-jauh hari.

Ketidakpastian cuaca turut berimbas pada produktivitas pohon dan pemasukan yang ia harapkan. Tahun ini, ia akui mengalami penurunan drastis. Musim kejayaan seperti berhenti. “Musim durian 2024 kemarin masih bisa dapat banyak, Mas. Satu pohon yang lebat itu bisa berbuah menghasilkan 400 butir dalam satu musim raya. Tapi sekarang, kayak yang kita panen barusan, dapat 70–80 butir saja sudah bagus,” jelasnya. Separuh dari jumlah tersebut yang terjual setiap harinya juga disyukuri Mahmudi.

Padahal, modal yang ia keluarkan sangat besar untuk perawatan pohon. Belum lagi menghitung bagi hasil dengan buruh panen dan pemilik kebun. Jika musim tidak tepat waktu, potensi pemasukan pun ikut-ikutan tidak tepat waktu, yang menuntutnya memutar otak agar roda perekonomian berputar. “Makanya saya tidak hanya bergantung pada pembeli biasa, Mas, tapi juga berharap bisa diambil banyak bakul. Saya juga menerima pemesanan dari luar kota, kayak kemarin saya kirim ke Semarang, Indramayu, dan Jakarta,” tutur Mahmudi.

Memuliakan Durian Candimulyo
Mahmudi (tengah) berdiskusi dengan Dlimah (kanan) dan Muhlisun di antara tumpukan durian hasil panen yang siap diambil bakul atau dibeli pengunjung

“Kalau penjual sih enak, Mas. Mereka tinggal pesan ke saya dengan harga khusus bakul (penjual), lalu dibawa dan dijual lagi di daerahnya,” terang Mahmudi. “Kita-kita di kebun ini yang pusing milih buah [durian] yang bagus sesuai pesanan.”

Walaupun terkadang ketir-ketir, Mahmudi tak ingin surut harapan. Tuntutan dapur memang membuatnya tak ingin melewatkan kesempatan sekecil apa pun setiap harinya. Namun, dalam 12 tahun perjalanannya menggeluti dunia perdurenan, ia mengaku sudah kenyang dan biasa dengan kondisi seperti ini. Sudah ada hitung-hitungannya sendiri. Idealnya memang bisa mendapat hasil melimpah dari satu musim durian untuk kebutuhan sepanjang tahun. Akan tetapi, jika perkiraannya meleset, ia pun tetap bersyukur.

“Ya, kita penginnya panen terus, dapat buah yang bagus, Mas. Tapi, ya, kalau alam berbicara lain, mau gimana lagi. Opo jare Allah, Mas, disyukuri saja,” ungkap Mahmudi pasrah, tetapi sambil terkekeh-kekeh. Ya, melepas senyum dan tawa adalah salah satu caranya berdamai dengan keadaan. Sejak menggeluti durian sampai sekarang, ditambah pemasukan tambahan di luar musim durian dengan kerja serabutan, sejauh ini Mahmudi masih mampu mencukupi kebutuhan dapur dan sekolah anak-anaknya.

Tampaknya, di antara syarat-syarat teknis seputar budi daya durian, Mahmudi tetap menempatkan tawakal di atas segalanya. Sebuah filosofi spiritual yang menguatkannya untuk tak lupa mencari hikmah di balik usaha banting tulang menghidupi ekonomi keluarga.

Selain di dekat pesarean, Mahmudi dan tim siang itu kembali memanen di pohon durian lokal berusia satu abad di barat masjid dusun. Perlu dua sampai tiga orang dewasa untuk memeluk pohon ini.

Angan-angan panen sepanjang tahun

Mahmudi punya dua kategori durian yang ia jual. Pertama, durian yang dijamin rasa dan kualitasnya. Harganya bervariasi, yang termurah dihargai 35–75 ribu per buahnya, tergantung ukuran. Untuk durian premium, seperti mentega KW super, bawor, hingga musang king, ia mematok paling murah Rp150.000 per buah. 

Sementara kategori kedua adalah durian yang ia tidak berani jamin rasanya. Namun, ia tetap menjualnya dan tidak mengesampingkan durian-durian di kategori ini. “Kalau durian yang rasanya tidak bisa saya jamin biasa saya jual seratus ribu rupiah dapat tiga atau empat buah, Mas,” terangnya. Ia akan disclaimer terlebih dahulu, berterus terang dengan kondisi durian di kategori ini, sehingga pembeli tidak berekspektasi lebih. 

Di balik rutinitas memanen dan menjual durian, Mahmudi mengungkapkan mimpi besarnya. Ia berangan-angan agar durian Candimulyo bisa panen sepanjang tahun. “Saya punya mentor, namanya Pak Wiwik, dosen pertanian UGM. Katanya ada potensi membuat durian tetap produktif dan bisa dipanen sepanjang tahun,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu. Artinya, ada peluang upaya pemuliaan tanaman durian dengan rekayasa genetika atau inovasi budi daya dengan perlakuan-perlakuan khusus pada setiap pohonnya. “Saya berharap riset beliau dan tim bisa segera diterapkan di sini.”

Memuliakan Durian Candimulyo
Andika (kiri) dan Muhlisun, para pemanjat durian yang direkrut Mahmudi, menunjukkan durian hasil panen di depan rumah Muhlisun. Keduanya berharap durian Candimulyo tetap lestari.

Jika angan Mahmudi kesampaian—yang sebenarnya juga jadi impian para pekebun durian di Candimulyo—ia bisa sepenuhnya mengandalkan durian sebagai sumber utama pemasukan, tidak lagi harus bekerja serabutan di luar musim durian. Bisa dibayangkan, setiap hari tamu dari dalam atau luar kota bahkan lintas negara, datang ke teras rumah Mahmudi yang sederhana, menikmati kelezatan durian tanpa harus bersabar menunggu musim panen raya setahun yang akan datang. Senyum Dlimah (46), perempuan berjilbab kerabat Mahmudi yang bertugas melayani pembeli dan didapuk sebagai bendahara durian, akan semakin lebar dan semringah.

Setidaknya, Candimulyo masih lekat dengan pusat durian Magelang, yang akan selalu dicari-cari orang. Bicara durian Magelang, berarti bicara Candimulyo. Seperti julukan sang raja buah (king of fruit) yang melekat pada durian—karena besarnya ukuran, kekayaan rasa, dan kekuatan aroma—pantas kiranya Mahmudi begitu memuliakan durian Candimulyo, sebagaimana seorang prajurit menjunjung tinggi kehormatan sang raja.


Foto sampul: Mahmudi menunjukkan buah durian hasil panen di kebun yang tak terlalu jauh dari rumahnya di Dusun Suran, Candimulyo


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memuliakan Durian Candimulyo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memuliakan-durian-candimulyo/feed/ 0 46461
Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya https://telusuri.id/carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-papua/ https://telusuri.id/carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-papua/#respond Fri, 14 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46092 Carstensz Pyramid, atau Piramida Carstensz di Papua Tengah, Indonesia memiliki ketinggian puncak mencapai 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl). Area puncaknya sangat sempit dan berbatu, dikelilingi jurang-jurang terjal sedalam ratusan meter. Nama lokal dari...

The post Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Carstensz Pyramid, atau Piramida Carstensz di Papua Tengah, Indonesia memiliki ketinggian puncak mencapai 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl). Area puncaknya sangat sempit dan berbatu, dikelilingi jurang-jurang terjal sedalam ratusan meter. Nama lokal dari Carstensz Pyramid adalah Ndugu-ndugu. Sebagian pendapat mengatakan nama lain area puncak berbatu tajam ini adalah Puncak Jaya. Namun, versi lain lebih meyakini Puncak Jaya atau Puncak Sukarno merupakan bagian dataran puncak bersalju dan berdekatan dengan Carstensz Pyramid.

Menurut Hendri Agustin, pendaki gunung profesional dan penulis buku The Seven Summits of Indonesia: Tujuh Puncak Tertinggi di Tujuh Pulau/Kepulauan Besar Indonesia (Penerbit Andi, 2015), Carstensz Pyramid termasuk dalam bagian Barisan Pegunungan Sudirman (Sudirman Range atau Nassau Range) sebelah barat. Selain Carstensz, puncak-puncak tertinggi di kawasan tersebut di antaranya Sumantri, Ngga Pulu atau Puncak Jaya, Carstensz Timur, Trikora, dan Ngga Pilimsit atau Puncak Idenberg. Pertambangan emas Freeport juga ada di pegunungan ini.

Sementara di Pegunungan Jayawijaya (Orange Range), lanjut Hendri, berada di bagian tengah wilayah Papua. Letaknya membentang sepanjang 370 kilometer di sebelah timur Pegunungan Sudirman hingga Pegunungan Bintang. Titik tertinggi pegunungan yang menjadi hulu Sungai Baliem ini adalah Puncak Mandala (4.760 mdpl). Puncak-puncak di sekitar Mandala antara lain Yamin, Cornelis Speelman, dan Jan Pieterszoon (JP) Coen Peak.

Carstensz Pyramid terkenal sebagai salah satu dari tujuh tujuan utama ekspedisi puncak tertinggi dunia (World Seven Summits). Puncak ini mewakili subregional Australasia, bagian dari kawasan Oseania yang di dalamnya mencakup sebagian pulau-pulau Indonesia, Australia, Selandia Baru, dan wilayah kepulauan di Samudra Pasifik. Adapun enam puncak tertinggi lainnya adalah: Everest, Asia (8.848 mdpl); Aconcagua, Amerika Selatan (6.962 mdpl); Denali atau McKinley, Amerika Utara (6.914 mdpl); Elbrus, Eropa (5.642 mdpl); Kilimanjaro, Afrika (5.895 mdpl); dan Vinson Massif, Antartika (4.892 mdpl).

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Peta topografi Barisan Pegunungan Sudirman Barat, diinterpretasi dari fotografi udara oblique (sudut pandang miring) dan pengamatan lapangan oleh R. Milton dan D. Dow saat Carstensz Gletser Expedition 1968, sebuah ekspedisi gabungan Australian National University, Monash University, University of Melbourne, dan Departemen Sains Pemerintah Australia (Hope, 1972)

Sejarah Carstensz Pyramid dan satu-satunya kompleks salju abadi di Indonesia

Sejarah penamaan Carstensz Pyramid cukup unik, karena tidak berasal dari seseorang yang mendaki gunung ini. Neill (1973) menyebut penemunya justru seorang pelaut dan penjelajah Belanda Jan Carstenszoon. Pada tahun 1623, ia diperintahkan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) untuk melakukan ekspedisi ke pesisir selatan Papua (dulu disebut New Guinea atau Nugini).

Perjalanan itu sebagai tindak lanjut ekspedisi Willem Janszoon tahun 1606, yang melihat kemungkinan adanya daratan yang tampaknya seperti masih berderet memanjang ke arah selatan. Dari Ambon, dengan kapal pesiar Pera—rombongan lainnya menumpang kapal Arnhem dengan kapten Willem Joosten van Colster—rombongan bergerak ke tenggara Papua hingga ke Australia.

Di satu kawasan perairan, cuaca bersahabat memungkinkan Carstenszoon melihat gugusan pegunungan serupa piramida menjulang dengan padang es atau gletser di bagian puncak. Ia pun menjadi orang Eropa pertama yang menyaksikan itu dan menamainya Carstensz Pyramid. Laporan temuannya sempat tidak dipercayai di Eropa, karena tidak umum terdapat salju di daerah tropis dan dilintasi garis khatulistiwa.

Penemuan Carstenszoon menjadi tonggak penting pada sejumlah kegiatan eksplorasi di tahun-tahun setelahnya. Benja V. Mambai dalam Masyarakat dan Konservasi: 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia (2012), menulis ekspedisi tahun 1909 oleh Hendrikus Albertus Lorentz berhasil menjangkau daerah pedalaman dan pegunungan Mandala, hingga mencapai kawasan gletser Puncak Jaya. Lorentz seperti memvalidasi temuan puncak pegunungan bersalju yang dulu dilihat Carstenszoon. Nama Lorentz pun diabadikan sebagai nama taman nasional terluas dan terbesar di Indonesia dengan luas 2.505.600 hektare: Taman Nasional Lorentz.

Perbandingan foto gletser oleh Jean Jacques Dozy pada Ekspedisi Carstensz 1936 (kiri) dan Ekspedisi Gletser Carstensz oleh gabungan universitas dan pemerintah Australia pada 1972. Foto udara dengan teknik oblique (sudut pandang miring) tersebut sama-sama menghadap ke timur. Tampak dari kiri ke kanan terhampar area gletser di sekitar Puncak Jaya, mulai dari Northwall Firn, Gletser Meren, dan Gletser Carstensz (Allison dan Peterson, 1989)

Kemudian Ekspedisi Carstensz tahun 1936 oleh trio pendaki Belanda Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel, yang berhasil menginjakkan kaki di Puncak Barat Daya atau Puncak Kedua Northwall (sekarang Puncak Sumantri) dan Puncak Jaya, tetapi belum mencapai Carstensz Pyramid. Ekspedisi pendaki gunung Austria Heinrich Harrer pada tahun 1962 akhirnya berhasil mencapai Carstenz Pyramid. Ia ditemani tiga anggota: Robert Philip Temple, Russell Kippax, dan Albertus Huizenga. Jalur pendakian yang mereka tempuh kemudian dikenal dengan nama Rute Harrer.

Beragam ekspedisi dan penelitian akhirnya mengungkap adanya salju abadi di puncak-puncak Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya. Menurut Allison dan Peterson (1989), hasil tangkapan citra satelit tahun 1974 hingga 1982 menunjukkan tiga lokasi padang es (gletser) abadi kecil di Papua, yaitu Puncak Jaya, Puncak Sumantri, Puncak Mandala, dan Ngga Pilimsit. Padang es terbesar ada di Puncak Jaya, dengan luas sekitar 7 km2. Kompleks gletser tropis lembah sejati yang berada di area puncak-puncak tersebut antara lain: terkenal antara lain Gletser Carstensz, Gletser Meren, Northwall Firn (terdiri dari West Northwall Firn dan East Northwall Firn), dan Southwall Hanging.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Titik sebaran gletser tropis dunia berdasarkan pemetaan Randolph Glacier Inventory via mdpi.com (Veettil dan Kamp, 2019)

Adanya gletser di area puncak Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya merupakan satu-satunya di Indonesia, yang notabene merupakan negara beriklim tropis dan dikelilingi banyak gunung berapi. Tercatat hanya ada tiga kawasan gletser tropis di dunia. Selain Indonesia, gletser tropis lainnya berada di wilayah Pegunungan Andes Amerika Selatan (mencakup Peru dan Ekuador), serta di wilayah Afrika Timur: Gunung Kenya (Kenya), Gunung Kilimanjaro (Tanzania), dan Pegunungan Ruwenzori (perbatasan Uganda dan Republik Demokratik Kongo).

Namun, perubahan iklim dan pemanasan global yang nyata—termasuk El Nino berkepanjangan—membuat luasan padang es tersebut menyusut drastis. Dilansir Tempo.co (2/3/2025), Pakar Klimatologi BMKG Donaldi Sukma Permana, yang juga memimpin Studi Dampak Perubahan Iklim pada Gletser di Puncak Jaya, menyebut laju penipisan es sekitar 2,5 meter per tahun selama periode 2016–2022. Di akhir rentang waktu tersebut, tersisa luas tutupan es 0,23 kilometer persegi dan akan terus mencair, bahkan diprediksi punah dalam waktu kurang dari lima tahun mendatang—dan mungkin tidak akan bisa diselamatkan. Dampak kehilangan gletser di daerah hulu bisa memengaruhi pasokan sumber air dan aliran sungai untuk flora dan fauna endemis, serta masyarakat adat. 

Perubahan luasan tutupan es di area puncak Barisan Pegunungan Sudirman Barat selama 1974–2023 di platform Soar Earth (data diolah dari USGS, European Space Agency, Satelit Copernicus, dan Sentinel Hub)

World Seven Summits dalam daftar Messner

Masuknya Carstensz Pyramid sebagai bagian dari tujuh puncak tertinggi dunia tidak lepas dari peran Reinhold Andreas Messner. Pendaki profesional berkebangsaan Italia ini dikenal karena tercatat sebagai orang pertama yang mendaki solo tanpa suplemen oksigen di Gunung Everest pada tahun 1980. Messner juga merupakan pendaki pertama yang berhasil menginjakkan kaki di empat belas puncak (eight-thousanders) dengan ketinggian minimal 8.000 mdpl.

Diskursus tentang daftar tujuh puncak tertinggi dunia (World Seven Summits) telah berlangsung sejak era 1950-an. Dalam catatan ABC of Mountaineering, William D. Hackett melakukan pendakian puncak di lima benua pada tahun 1956. Ia mendaki McKinley (1947), Aconcagua (1949), Kilimanjaro (1950), Kosciuszko dan Mont Blanc (1956). Saat itu Kosciuszko (Australia) dan Mont Blanc (Eropa) dianggap sebagai gunung tertinggi di kawasannya.

Selanjutnya pendaki Jepang Naomi Uemura menjadi yang pertama mencapai lima dari tujuh puncak gunung: Mont Blanc (1966), Kilimanjaro (1966), Aconcagua (1968), serta pendakian solo ke Everest dan McKinley pada tahun 1970. Pendakian Denali merupakan persiapan Uemura untuk menyongsong ekspedisi Gunung Vinson Massif di Antartika. Namun, ia menghilang akibat badai saat perjalanan turun.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Reinhold Messner saat diwawancarai jurnalis Isabella Fischer pada 2023/Olaf Krüger via Nürnberger Nachrichten

Capaian penting diraih Reinhold Messner, pendaki berpengaruh yang menjadi orang pertama mencapai enam dari tujuh puncak. Mulai dari Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya (1971), Aconcagua (1974), McKinley (1976), Kilimanjaro (1978), Kosciuszko (1983), dan Elbrus (1983). Messner kemudian menetapkan Carstensz Pyramid sebagai puncak tertinggi di Australasia, begitu pun Elbrus yang lebih tinggi daripada Mont Blanc di Eropa. Ia akhirnya menjadi orang kelima yang khatam World Seven Summits setelah berhasil mendaki Vinson Massif pada 1986.

Sejak itu, ia menahbiskan daftar Messner untuk program pendakian tujuh puncak gunung tertinggi di dunia. Seperti diungkap Hamill (2012), Messner berargumen Carstensz Pyramid layak masuk dalam daftar karena pendakiannya bersifat ekspedisi sejati dan jauh lebih menantang, daripada Kosciuszko yang relatif lebih mudah. Daftar Messner ini pun akhirnya lebih banyak diikuti dan dipatuhi pendaki kawakan dunia, termasuk Patrick Morrow. Pendaki Kanada itu pada 1986 berhasil menjadi orang pertama yang menggenapi tujuh puncak versi Messner. Sebelum Messner, Richard “Dick” Bass juga memiliki versi tersendiri dengan memilih memasukkan Kosciuszko untuk mewakili kawasan Australia atau Oseania, bukan Carstensz Pyramid.

  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya

Puncak-puncak tertinggi Papua selain Carstensz Pyramid

Tidak hanya Carstensz Pyramid, ada juga puncak-puncak tertinggi lain, baik di kawasan Pegunungan Sudirman maupun Pegunungan Jayawijaya. Kawasan pegunungan yang terbentuk karena proses konvergen lempeng Australia dan lempeng Pasifik tersebut berada di bawah pengelolaan Taman Nasional Lorentz.

1. Puncak Sumantri (4.870 mdpl)

Menurut SummitPost.org, Puncak Sumantri atau Soemantri—merujuk pada Soemantri Brodjonegoro, mantan menteri ESDM dan mendikbud era Orde Baru—terletak sekitar dua kilometer di utara Carstensz Pyramid. Dahulu disebut puncak barat daya (north west peak) dari Ngga Pulu—area puncak yang pernah lebih tinggi dari Carstensz—tetapi kehilangan ketinggian karena penyusutan gletser secara masif. Ekspedisi Carstensz tahun 1936 oleh trio pendaki Belanda Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel, menyebutnya sebagai Puncak Kedua Northwall; sedangkan Heinrich Harrer pada ekspedisi tahun 1962 menyebutnya Ngapalu, yang kemudian ia gambarkan dalam peta. Dalam bahasa lokal, “Ngga” berarti gunung.

Tebing-tebing besar dengan batuan cadas dan tajam mendominasi bagian timur dan barat puncak gunung ini. Masih terdapat sisa-sisa Northwall Firn (bagian daratan es) di sekitar puncak, yang mungkin akan lenyap di tahun-tahun mendatang karena perubahan iklim.

2. Ngga Pulu (4.862 mdpl)

Nama lain gunung ini adalah Puncak Jaya atau Puncak Sukarno, yang diberikan pemerintah setelah Papua bergabung dengan Indonesia. Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel berhasil menjadi kelompok pertama yang mencapai puncak di sisi utara Carstensz Pyramid itu dalam Ekspedisi Carstensz, 5 Desember 1936. Sampai pada tahun 1974, padang es terbesar Indonesia berada di Puncak Jaya, dengan luas sekitar 7 km2.

3. Puncak Carstensz Timur (4.820 mdpl)

Puncak ini berada di gugusan pegunungan yang sama dengan Carstensz Pyramid, yaitu di Barisan Sudirman Barat. Ekspedisi Carstensz tahun 1936 oleh Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel berhasil menjangkau padang gletser di kawasan puncak ini. Menurut catatan Ahmad (2020), jalur menuju kedua puncak tersebut berbeda arah, terpisah oleh Punggungan Tengah yang memanjang sejauh 4,5 kilometer. Selain Carstensz Pyramid dan Carstensz Timur, di antara punggungan ini juga terdapat titik persimpangan jalur menuju Puncak Sukarno dan Puncak Sumantri.

  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya

4. Puncak Mandala (4.760 mdpl)

Kawasan puncak gunung ini membentuk bentang alam Pegunungan Bintang dan dekat dengan perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Menurut Sitokdana (2016), nama lokal puncak gunung ini adalah Aplim Apom, sebuah peradaban komunitas suku lokal yang meliputi enam subsuku (Ngalum, Ketengban, Kambom, Murob, Kimki, dan Lepki), yang tinggal di kawasan Gunung Aplim Apom atau Pegunungan Bintang. Dulunya puncak gunung ini bernama Juliana Top atau Puncak Juliana. Diambil dari nama Ratu Belanda Juliana Louise Emma Marie Wilhelmina, yang diangkat menjadi ratu pada 6 September 1948.

Setelah Papua bergabung ke Indonesia, pemerintah memberi nama Puncak Mandala. Meski tak jelas apakah ada hubungan sejarah, tetapi tampaknya ada keterkaitan dari perspektif filosofis dan mitologi. Mandala (bahasa Sansekerta), yang melambangkan alam semesta, dianggap serupa dengan kepercayaan lokal tentang penciptaan manusia Pegunungan Bintang oleh Atangki (Tuhan) di Gunung Aplim Apom. Bagi masyarakat Aplim Apom, gunung merupakan pusat alam semesta dan menggambarkan kediaman Sang Pencipta. 

5. Puncak Trikora (4.750 mdpl)

Nama Trikora diambil dari Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), sebuah operasi militer gabungan Indonesia-Uni Soviet pada 1961–1962 untuk merebut wilayah jajahan Belanda di Papua. Gunung ini terletak di bagian timur Pegunungan Sudirman. Menurut Schoorl (1996), suku Dani yang tinggal di dekat Danau Habema menyebut puncak Trikora dengan nama Ettiakup. Lalu pada 1905 diberi nama Ratu Belanda Wilhelmina.

Seperti puncak-puncak lain di Pegunungan Jayawijaya, lapisan es sempat menyelimuti Puncak Trikora. Namun, penelitian pencitraan satelit oleh Kincaid dan Klein (2006) menyatakan bahwa lapisan di puncak tersebut mencair dan lenyap dalam rentang tahun 1936–1962.

6. Ngga Pilimsit (4.717 mdpl)

Ngga Pilimsit merupakan nama lokal, sedangkan nama pemberian Belanda adalah Puncak Idenburg atau Puncak Idenberg. Puncak Idenberg terletak sekitar 21 kilometer ke arah barat laut dari Carstensz Pyramid. Di kawasan gunung ini terdapat Danau Idenberg yang dikelilingi tebing cadas. Pada 1974, riset citra satelit oleh Allison dan Peterson (1989) menunjukkan gletser juga ada di puncak Ngga Pilimsit—selain di Puncak Jaya dan Puncak Mandala— yang mungkin kian mencair seiring perubahan iklim. 

7. Puncak Yamin (4.540 mdpl)

Dalam artikel Fikri di Tempo.co (13/9/2018), jalur pendakian menuju Puncak Yamin baru dirintis oleh organisasi pencinta alam Wanadri pada tahun 2018. Agustian Maulana, Komandan Operasi Ekspedisi Puncak Yamin Wanadri, mengatakan bahwa titik awal pendakiannya berada di Desa Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang. Informasi tentang puncak ini sangat minim. Hasil penelusuran Agustian, penduduk lokal menyebutnya Puncak Lim, sedangkan di luar negeri disebut Prins Hendrik Top. Nama tersebut diduga merupakan pendaki asal Inggris pertama yang bisa mencapai puncak.

Masih banyak lagi puncak gunung yang berada di Taman Nasional Lorentz. Beberapa di antaranya sudah didaki dan bernama, tetapi tak sedikit yang belum memiliki nama dan terjamah pendakian.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Area pertambangan Freeport di bawah Puncak Idenberg (Ngga Pilimsit), difoto dari Puncak Jaya pada tahun 2010/Robert Cassady via GunungBagging.com

Jalur pendakian menuju puncak Carstensz Pyramid

Terdapat dua kategori rute pendakian menuju puncak Carstensz Pyramid, yaitu rute cepat dan lambat. Semuanya mengarah ke satu titik yang sama, yakni Basecamp Danau-Danau (4.261 mdpl), tempat camp terakhir dan aklimatisasi sebelum mendaki ke puncak (summit). Setiap jalur memiliki karakteristiknya tersendiri. 

Rute tercepat adalah melalui kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia—perizinannya mungkin lebih rumit—atau naik helikopter dari Timika ke Lembah Kuning (Yellow Valley), area dekat Basecamp Danau-Danau. Sementara rute lain yang memerlukan perjalanan kaki berhari-hari adalah Sugapa (Kabupaten Intan Jaya) dan Ilaga (Kabupaten Puncak) yang merupakan jalur utara, atau via Tsinga (Kabupaten Mimika) yang berada di jalur selatan.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Telaga di sekitar area Basecamp Danau-Danau sebagai tempat terakhir dan teraman untuk berkemah sebelum puncak/Robert Cassady via GunungBagging.com

Untuk mencapai puncak Carstensz Pyramid, meskipun didampingi pemandu profesional dan berpengalaman, seorang pendaki tetap harus melatih diri dan menguasai beberapa teknik pemanjatan, seperti menggunakan tali saat naik (ascending) dan turun (descending). Kemudian keterampilan rappelling (menuruni tebing vertikal), hingga penggunaan tali tetap dan simpul dasar.

Selain itu, juga terdapat teknik khusus dan memerlukan keberanian mental untuk menyeberangi celah jurang terjal saat mendekati puncak Carstensz. Rahman Mukhlis, pemandu gunung dan anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Eka Citra UNJ, kepada Tempo.co (12/7/2020) menyebutnya sebagai teknik tyroleans (penyeberangan horizontal dengan tali). Jalur tali baja yang melintang antartebing dinamakan Burma Bridge.

Kiri: Penyeberangan dengan teknik tyroleans di atas jurang dalam, yang bergantung sepenuhnya pada kekuatan tali-tali baja yang disebut Burma Bridge untuk bisa menuju puncak Carstensz Pyramid. Kanan: Kelompok pendaki mancanegara berfoto usai berhasil mencapai puncak Carstensz Pyramid/Furtenbach Adventure

Berbeda dengan Carstensz Pyramid, lanjut Rahman, pendakian ke Puncak Jaya lebih mengutamakan teknik trekking atau berjalan di atas permukaan gletser. Setiap pendaki dihubungkan dengan tali karmantel yang dikaitkan pada harness di tubuh masing-masing. Peralatan pendakian lainnya yang diperlukan adalah crampon (alas sepatu bergerigi) dan kapak es.

Secara umum, waktu terbaik pendakian ke Carstensz Pyramid, Puncak Jaya, maupun puncak-puncak lainnya di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya berlangsung optimal pada musim kemarau (September–November). Waktu summit akan dimulai sejak dini hari dan turun sebelum tengah hari, untuk mengantisipasi cuaca buruk yang bisa datang secara tiba-tiba dan berpotensi menimbulkan hipotermia (kedinginan akut) pada pendaki.


Referensi:

ABC of Mountaineering. (2015, 17 Oktober). History of the Quest for the Seven Summits. https://web.archive.org/web/20151017102247/http://www.abc-of-mountaineering.com/articles/historysevensummits.asp. Diakses pada 12 Maret 2025.
Agustin, Hendri. (2024, 11 Agustus). Indonesia 4000er (Four Thousander). https://www.hendriagustin.com/?p=1746. Diakses pada 12 Maret 2025.
Achmad, Djali. (2020, 11 Desember). Catatan Jelang Puncak Carstensz. https://burangrang.com/catatan-jelang-puncak-carstensz/. Diakses pada 12 Maret 2025.
Allison, I. & Peterson, J. A. (1989). Satellite Image Atlas of Glaciers of the World: Glaciers of Irian Jaya, Indonesia. United States Geological Survey Professional Paper 1386-H. https://pubs.usgs.gov/pp/p1386h/.
Aminullah, M. (2020, 12 Juli). 3 Hal Ini yang Membedakan Carstensz Pyramid dan Puncak Jaya. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/3-hal-ini-yang-membedakan-carstensz-pyramid-dan-puncak-jaya-602309. Diakses pada 12 Maret 2025.
Fikir, A. (2018, 13 September). Ridwan Kamil Lepas Tim Wanadri Perintis ke Puncak Yamin Papua. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/ridwan-kamil-lepas-tim-wanadri-perintis-ke-puncak-yamin-papua-819350. Diakses pada 12 Maret 2025.
Hamill, Mike. (2012). Climbing the Seven Summits: A Comprehensive Guide to the Continents’ Highest Peaks. Seattle: The Mountaineers Books.
Hope, G. S., Peterson, J. A., Radok, U., & Allison, I. (1976). The Equatorial Glaciers of New Guinea: Results of the 1971-1973 Australian Universities’ Expeditions to Irian Jaya; survey, glaciology, meteorology, biology and palaeoenvironments. Rotterdam: A.A. Balkema.
Kincaid, J. L., & Klein, A. G. (2006). Retreat of the Irian Jaya Glaciers from 2000 to 2002 as Measured from IKONOS Satellite Images. Journal of Glaciology, Vol. 52, No. 176, 2006. Published online by Cambridge University Press, 8 September 2017. https://doi.org/10.3189/172756506781828818.
Neil, Wilfred T. (1973). Twentieth-Century Indonesia. New York: Columbia University Press.
Novita, M. (2025, 2 Maret). 5 Fakta tentang Carstensz Pyramid, Puncak Tertinggi di Indonesia. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/5-fakta-tentang-carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-di-indonesia–1213993. Diakses pada 12 Maret 2025.
Schoorl, Pim. (1996). Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea, 1945–1962. Leiden: KITLV Uitgeverij.
Sitokdana, Melkior N.N. (2016). Menerima Misionaris Menjemput Peradaban: Sejarah Nama Pegunungan Bintang, Papua dan Awal Mula Peradaban Asli Pegunungan Bintang. Yogyakarta: Kanisius.
SummitPost.org. (2010). Sumantri. https://www.summitpost.org/sumantri/634409. Diakses pada 12 Maret 2025.
Veettil, B. K. & Kamp, U. (2019). Global Disappearance of Tropical Mountain Glaciers: Observations, Causes, and Challenges. Geosciences 2019, 9(5), 196. https://doi.org/10.3390/geosciences9050196.
WWF Indonesia. (2012). Masyarakat dan Konservasi: 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia. Tim Editor: Cristina Eghenter, M. Hermayani Putera, Israr Ardiansyah. Diterbitkan pada Oktober 2012 oleh WWF Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-papua/feed/ 0 46092
Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/ https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/#respond Fri, 07 Feb 2025 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45564 Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan...

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan pangan, energi, dan air. Hal ini diperparah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan, yang menganggap deforestasi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Riset Satya Bumi menyebut daya dukung tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit di Indonesia sudah mendekati ambang batas. Angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare, dengan daerah cakupan terluas ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang luasannya sudah melampaui kebutuhan (surplus). Sementara menurut data MapBiomas, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,7 juta hektare. Daripada memaksakan ekspansi sawit, mestinya pemerintah memerhatikan tata kelola yang lebih baik.

Arah kebijakan yang tidak memiliki sensitivitas pada alam tersebut berpeluang menimbulkan bahaya berupa bencana ekologis, mengancam ketahanan dan diversifikasi pangan lokal, serta merebut ruang hidup masyarakat adat. Belum lagi pemusnahan habitat satwa-satwa endemis yang populasinya sudah makin kritis.

Padahal, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang majemuk justru menjadi nilai plus Indonesia. Masyarakat atau komunitas adat lokal, yang telah hidup berharmoni dengan hutan secara turun-temurun, terbukti mampu melestarikan tegakan hutan—baik itu hutan tropis di daratan maupun hutan mangrove di kawasan perairan—sekaligus menjaga ekosistem kehidupan di dalamnya. 

Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah adat Namblong, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. PT PNM mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang membentang di Lembah Grime. Izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, aktivitas PT PNM masih berjalan. Pembabatan hutan terus berlangsung dan ratusan hektare lahan berhutan milik sejumlah marga telah rata dengan tanah. Meski belum ada kegiatan penanaman, tetapi perusahaan yang tidak memiliki kantor tetap itu telah menyiapkan bibit-bibit sawit siap tanam. Keberadaan industri ekstraktif ini sedang “dilawan” oleh masyarakat lokal dengan beragam cara, di antaranya pengelolaan sumber daya alam oleh Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)/Foto oleh Deta Widyananda

Inilah cara kreatif “menjual” hutan tanpa harus membabat hutan

Pengalaman dari perjalanan ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dalam dua tahun terakhir telah memberikan sudut pandang nyata soal harmoni manusia dan alam, serta tantangan internal-eksternal yang bisa mengancam eksistensinya. TelusuRI ingin mengajak pemerintah maupun para pemangku kepentingan dengan kesadaran penuh untuk bercermin dari jalan hidup para local champion dan masyarakat adat tersebut. Mereka cerdas dan bijak dalam memanfaatkan hasil hutan dan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi tanpa harus merusak hutan.

Inilah cara-cara mereka, yang (seharusnya) bisa menjadi pedoman nyata pemerintah agar lebih kreatif dan bijaksana dalam membuat kebijakan ramah lingkungan.

1. Ekowisata Tangkahan, Langkat, Sumatra Utara

Sepanjang 1995–2000, sekitar 400 hektare hutan di Tangkahan dibabat habis oleh pembalakan liar. Masyarakat dan cukong bekerja sama dalam bisnis kotor pada balok-balok kayu damar senilai jutaan rupiah. Padahal, kampung di pinggiran Sungai Sei Batang Serangan ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, satu-satunya tempat empat mamalia besar endemis berada dalam satu ‘rumah’: harimau, gajah, orang utan, dan badak.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2001, sejumlah pembalak liar mulai menemukan kesadaran dan berubah haluan, yang kemudian membentuk komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger tanggal 22 April. Salah satu inisiatornya adalah Rutkita Sembiring. Tugas utamanya antara lain menghentikan illegal logging, juga mengajak rekan-rekan pembalak untuk bertobat dan mencari jalan hidup yang lebih baik.

Inisiatif tersebut lalu berkembang melahirkan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Terinspirasi dari ekowisata Bukit Lawang, yang telah membuktikan upaya “menjual” hutan tidak dengan menebang, tetapi melalui ekowisata. LPT menggerakan ekonomi alternatif dan merestorasi alam melalui ekowisata berkelanjutan. Sampai sekarang, LPT bekerja sama dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan TNGL, yang bertanggung jawab menampung gajah-gajah sumatra di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Gajah-gajah tersebut umumnya dievakuasi dari konflik manusia-satwa di Aceh-Sumatra Utara. Di PLSK, sejumlah induk dan anak gajah dirawat oleh mahout (pawang gajah), yang juga bertugas memberi edukasi konservasi kepada para tamu LPT, baik domestik maupun mancanegara.

2. Kelompok Tani Hutan Konservasi, Langkat, Sumatra Utara

Tidak hanya di Tangkahan. Selama lebih dari tiga dekade, riwayat perusakan kawasan penyangga TNGL  juga merambah 16.000 hektare hutan di daerah pedalaman Besitang. Alih fungsi lahan yang masif mengubah area hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Mafia tanah pun merajalela, konflik horizontal antara masyarakat dengan pemangku kawasan konservasi tak terelakkan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai upaya memulihkan kawasan. Terdapat 16 KTHK yang masing-masing beranggotakan petani mitra sekitar dengan cakupan lahan mencapai hampir 1.000 hektare. Setiap petani diberi lahan garapan seluas dua hektare untuk menanam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti durian, jengkol, cempedak, aren, petai, dan rambutan. Tanaman-tanaman HHBK ini disebut juga Multi-Purpose Tree Species (MPTS). Program KTHK membuat masyarakat anggota kemitraan tersebut memiliki potensi ekonomi alternatif sekaligus merestorasi kawasan hutan, sehingga tidak lagi bergantung pada perambahan, pembalakan, maupun sawit.

Salah satu kelompok yang masih aktif sampai sekarang adalah KTHK Sejahtera pimpinan Hatuaon Pasaribu. Mantan guru yang getol menggalakkan semangat konservasi dan ekonomi restoratif di tengah keterbatasan dan masih adanya ancaman mafia tanah. Sejauh ini, Pasaribu dan para anggota maupun sejumlah kelompok lainnya telah membuktikan hasil positif dari KTHK. Mereka hanya perlu dukungan pemerintah untuk menjamin keamanan pekerjaaan di lapangan, serta menjangkau akses pasar dan sarana-prasarana budidaya lebih luas lagi.

3. Hutan Mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau

Bertahun-tahun, setidaknya sampai 2002, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis rutin dihajar rob setengah meter setiap Oktober–Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar. Hutan mangrove menyusut akibat perambahan dan pembalakan liar oleh panglong, perusahaan penebangan kayu setempat. Data mencatat, terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992–2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Situasi itu menggerakkan hati Samsul Bahri, seorang nelayan kecil berdarah Jawa untuk menyelamatkan ekosistem mangrove. Pada 2002, ia mulai membudidayakan dan menanam bibit-bibit mangrove di hutan rawa belakang rumahnya. Dua tahun kemudian, Samsul membentuk dan mengetuai Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap, yang diperkuat surat keputusan Bupati Bengkalis saat itu. Selain Belukap, juga ada KPM Perepat yang dipimpin M. Ali B. Dua kelompok ini merupakan pelopor pengelolaan mangrove dengan skema perhutanan sosial.

Lambat laun, 40 hektare hutan mangrove berhasil direstorasi. Pohon tertingginya bisa mencapai 20 meter. Banjir rob sudah berkurang signifikan. Kerja kerasnya mendapat atensi pemerintah dan sejumlah lembaga nirlaba internasional, yang kemudian memberi bantuan pendanaan kegiatan dan advokasi sampai terbentuknya legalitas Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang. Kini, bukan hanya konservasi semata, Samsul dan masyarakat Teluk Pambang menatap masa depan ekonomi restoratif melalui ekowisata dan perdagangan karbon dari 1.001,9 hektare ekosistem mangrove yang telah merimbun.

4. Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur

Masyarakat suku Dayak Lebo di Kampung Merabu adalah jagawana ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Meski dikepung sawit yang tumbuh menjamur di kampung tetangga, orang-orang Merabu masih gigih mempertahankan hutan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sebab, Dayak Lebo lama dikenal sebagai suku pemburu dan peramu obat-obatan tradisional. Madu hutan alami juga jadi salah satu produk unggulan. Sejak 2014, ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang dikelola berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Perbukitan karst Sangkulirang-Mangkalihat benar-benar jadi berkah untuk Merabu. Selain menyimpan jejak prasejarah lewat gua-gua purba, kawasan ini juga memiliki bentang alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu. Pengelolaan ekowisata berada di tangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Sudah tak terhitung tamu yang datang untuk berwisata di Merabu, terutama mancanegara.

Program menarik yang memanfaatkan nilai hutan Merabu adalah adopsi pohon. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri. selaku penanggung jawab program, telah menghimpun hampir 300-an pohon yang diadopsi oleh banyak pihak, mulai dari turis biasa, lembaga nirlaba, hingga instansi pemerintahan. Rata-rata jenis pohon yang diaopsi antara lain damar, meranti merah, dan merawan. Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015–2018. Dana hasil adopsi pohon tersebut kemudian dialokasikan untuk biaya sekolah anak-anak Merabu dan biaya sosial warga kampung yang kurang mampu.

5. Ekowisata Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya

Suku Moi merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong, gerbang barat Tanah Papua. Masyarakat Moi dikenal dengan tradisi egek, yang membatasi atau melarang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu di hutan maupun kawasan pesisir, agar kelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya terjaga. Meski sejumlah daerah di Sorong sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit, ada satu titik yang masih keras mempertahankan tanah ulayatnya, yaitu Malaumkarta Raya. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Di antara lima kampung, hanya Malagufuk yang menempati pedalaman rimba Hutan Klasow. Sisanya berada di pesisir. Jalan kaki sejauh 3,5 kilometer di atas jembatan kayu adalah satu-satunya cara mencapai Kampung Malagufuk. Keterisolasian ini justru jadi nilai lebih Malagufuk, yang kemudian mendunia karena daya tarik ekowisata pengamatan burung (birdwatching). Terdapat lima spesies cenderawasih yang bisa ditemukan di Malagufuk, yaitu cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih kuning-besar, cenderawasih raja, cenderawasih mati kawat, dan toowa cemerlang. Tidak hanya cenderawasih, burung-burung endemis lainnya juga ada, antara lain julang papua, mambruk, dan kasuari. Satwa unik seperti nokdiak atau landak semut dan kanguru tanah juga bisa ditemukan di sini.

Perputaran ekonomi restoratif melalui ekowisata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat gelek (marga) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Mulai dari pemandu, pengelola homestay, porter, hingga juru masak terlibat di dalamnya. Masyarakat Malagufuk mampu melihat nilai lebih dari hutan mereka tanpa harus merusak hutan. Keberagaman potensi burung dan satwa di Malagufuk mengundang turis pegiat birdwatching lintas negara. Di Papua, Malagufuk kini jadi destinasi pengamatan burung paling populer selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura.

6. BUMMA Yombe Namblong Nggua, Jayapura, Papua

Inisiatif luar biasa dalam mewujudkan ekonomi restoratif berbasis masyarakat lahir di Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang menempati tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute berkolaborasi dengan masyarakat adat Namblong membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Per Oktober 2024 lalu, BUMMA resmi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dengan 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemegang saham. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

BUMMA Yombe Namblong Nggua merecik harapan ekonomi kerakyatan di tengah tekanan deforestasi akibat alih fungsi lahan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), yang hak konsesinya sudah dibatalkan pemerintah sejak 2022 lalu. Langkah progresif tersebut pertama di Papua, seiring penetapan pengakuan ribuan hektare hutan adat Namblong oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain Jayapura, BUMMA juga dibentuk di Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Pendirian BUMMA muncul atas keinginan mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga sektor unggulan yang dikerjakan, yaitu budi daya vanili, ekowisata, dan perdagangan karbon melalui restorasi hutan—termasuk memulai penanaman sagu di lahan-lahan terdampak konsesi sawit.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong, yang dijaga dan disakralkan berdasarkan ketentuan adat. Sebatang pohon pun akan sulit dipulihkan dan butuh waktu lama untuk tumbuh seperti semula, apalagi jika sampai 20 juta hektare hutan hilang/Deta Widyananda

Tunggu apa lagi, Pak Presiden dan Pak Menteri?

Contoh riil di akar rumput tersebut mestinya sudah lebih dari cukup sebagai bukti agar pemerintah membuka mata lebar-lebar. Pemahaman sederhana soal keseimbangan ekosistem mestinya juga sudah didapat jika memang pernah melewati masa pendidikan sekolah dasar. Bahwa jika memutus satu rantai dalam ekosistem, maka akan menghapus entitas kehidupan yang bergantung padanya. Sebagaimana menghilangkan pohon-pohon pembentuk ekosistem pemberian Tuhan. Tidak hanya akan memusnahkan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga identitas kebudayaan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Dampak keserakahan dan ambisi akibat menjadikan lahan hutan sebagai ladang bisnis telah nyata merusak segala lini kehidupan yang menjadi hak rakyat. Suku-suku adat terusir dari tanahnya sendiri, satwa-satwa endemis mengais-ngais makanan di tempat yang tidak semestinya—karena hutannya sudah hilang. Belum lagi konflik antara manusia dan satwa, yang sudah amat sering terjadi hingga soal bencana ekologis yang akan timbul. Banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor merenggut banyak hal, yang seringkali hujan lebat maupun cuaca ekstrem menjadi sasaran tuduhan pemerintah, yang tutup mata pada masalah sebenarnya: hilangnya pohon-pohon di hutan sebagai penyerap dan penahan air.

Ayolah, Pak Presiden dan Pak Menteri. Masyarakat adat dan komunitas lokal lebih memahami hutan mereka. Mereka hanya perlu pengakuan legal dan pendampingan, agar hutan alami yang menghidupi mereka terjaga sampai anak cucu. Sebab, jika masih tutup mata, slogan Indonesia sebagai paru-paru dunia sejatinya sudah menjadi sekadar romantisme belaka. Setop mengoceh soal Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika kebijakan-kebijakan di tingkat elite tidak berpihak pada alam itu sendiri.


Foto sampul oleh Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/feed/ 0 45564
Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua https://telusuri.id/menjaga-rumah-cenderawasih-dan-satwa-endemik-di-hutan-papua/ https://telusuri.id/menjaga-rumah-cenderawasih-dan-satwa-endemik-di-hutan-papua/#respond Sun, 10 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43010 Konferensi Keanekaragaman Hayati atau COP16 usai digelar di Cali, Kolombia dan menghasilkan keputusan penting bagi Indonesia. Peluang baik sekaligus tantangan besar bagi pelestarian ekosistem hutan dan masyarakat adat, khususnya di Papua. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto:...

The post Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Konferensi Keanekaragaman Hayati atau COP16 usai digelar di Cali, Kolombia dan menghasilkan keputusan penting bagi Indonesia. Peluang baik sekaligus tantangan besar bagi pelestarian ekosistem hutan dan masyarakat adat, khususnya di Papua.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Orang-orang Papua menyebut, paru-paru Indonesia terakhir berada di tanah adat mereka, setelah Sumatra dan Kalimantan kian tertekan deforestasi akibat alih fungsi lahan dan pembalakan liar. Keistimewaan hak ulayat jadi landasan dasar untuk menjaga kawasan hutan dan perairan sebagai sumber daya penghidupan masyarakat adat Papua. 

“Klaim” masyarakat adat Papua tersebut sebenarnya cukup berdasar. Menilik data terakhir, bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang diolah oleh Auriga Nusantara dalam Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua (2021), hampir 40% dari total 88 juta hektare (ha) luas tutupan hutan alam nasional berada di Papua. Tercatat 33.847.928 ha menyelimuti Tanah Papua, jauh di atas gabungan luas hutan di Kalimantan Tengah (7.278.678), Kalimantan Timur (6.494.977), Kalimantan Utara (5.663.890), Kalimantan Barat (5.516.651), Maluku–Maluku Utara (4.988.917), dan Sulawesi Tengah (3.807.331).

Meski tren deforestasi menurun sejak tahun puncak 2015, tapi angkanya masih tinggi. Di Kabupaten Jayapura saja, meski KLHK sudah memberi surat keputusan (SK) pengakuan empat hutan adat di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong, perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih beroperasi di lahan konsesi yang izinnya sudah dicabut KLHK sejak 2022. Alih fungsi lahan oleh industri ekstraktif semacam ini jelas merenggut ruang penghidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati di dalamnya. 

Seperti di Jayapura dan bagian wilayah Papua lainnya, hutan-hutan alam merupakan rumah bagi aneka flora dan fauna endemik, termasuk burung cenderawasih. Jika kondisi tingginya tingkat biodiversitas tiada banding ini tidak terlindungi dengan baik, nasib serupa yang telanjur terjadi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku bisa dialami Papua, cepat atau lambat.

Konservasi berbalut adat dan ekowisata

Praktik konservasi untuk menjaga keanekaragaman hayati di alam sejatinya telah berlangsung di Papua dari generasi ke generasi. Selain aturan adat yang ketat, pendekatan ekowisata belakangan juga dipilih menjadi jalan tengah untuk mencari manfaat ekonomi berkelanjutan sekaligus keseimbangan ekologis.

Salah satu daya tarik ekowisata yang sedang naik daun adalah wisata pengamatan burung (birdwatching). Orang sudah banyak tahu, cenderawasih merupakan spesies endemik yang selalu berkaitan erat dengan Papua. Beberapa pengamat burung (birder) menyebutnya burung surga (birds of paradise) karena keunikan sifat dan morfologinya. Bulu, tarian, dan kicauannya dianggap eksotis.

Di pedalaman Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, masyarakat Malagufuk menawarkan kegiatan eksplorasi pengamatan lima spesies cenderawasih di Hutan Klaso, belantara yang mengepung kampung mereka. Para pegiat ekowisata Malagufuk telah memetakan lokasi birding yang memungkinkan fotografer lintas negara melihat cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus).

Burung-burung penghuni teduhnya Hutan Klaso di Kampung Malagufuk. (Dari kiri) cenderawasih raja, toowa cemerlang, dan julang papua/Deta Widyananda

Statistik perjumpaan dengan burung-burung tersebut telah banyak tercatat di eBird. Platform daring yang memuat data-data spesies burung dari para fotografer atau ilmuwan tersebut dikelola oleh Cornell Lab of Ornithology, lembaga penelitian di bawah Cornell University, Amerika Serikat. Misinya adalah menafsirkan dan melestarikan keanekaragaman hayati burung melalui penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sejak 2016, saat awal-awal Malagufuk mulai mendunia, lebih dari 185 spesies burung berhasil terpotret—termasuk cenderawasih. Beberapa spesies burung populer di antaranya julang papua (taun-taun), mambruk, kasuari, dan cekakak (raja-udang). Tidak hanya burung, sejumlah satwa endemik juga mudah ditemukan di Malagufuk, seperti ekidna (babi duri) dan kanguru tanah. Mengingat pentingnya keberlanjutan rantai makanan alami, masyarakat adat suku Moi di Malagufuk pun mulai membatasi perburuan babi hutan dan hewan lain untuk menjaga biodiversitas yang ada. 

Begitu halnya terjadi di wilayah adat suku Namblong, Kabupaten Jayapura. Alex Waisimon, pendiri Isyo Lodge dan perintis birdwatching di kampung wisata Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, menawarkan kegiatan pengamatan burung di hutan yang tak jauh dari penginapan miliknya itu. Cenderawasih menjadi objek utama incaran para fotografer maupun pegiat birdwatching dunia. Data-data perjumpaan dengan burung endemik ini tercatat pula di eBird, tak terkecuali burung-burung lainnya. Di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, masyarakat telah memetakan satu lokasi potensial untuk melihat cenderawasih kuning-kecil dan julang papua di dekat hutan mereka.

Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua
Cenderawasih kuning-kecil jantan dan betina bermain di pucuk pohon laban di Hutan Ktu Ku, Kampung Berap/Deta Widyananda

Ekowisata memang menjadi salah satu program unggulan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan vanili dan perdagangan karbon. Wisata susur sungai di Kali Biru, Kampung Berap, menjadi destinasi pelengkap. Tujuan utamanya semata mencari manfaat ekonomi tanpa harus mengganggu ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Sistem bisnis berbasis adat yang diperkuat 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemilik saham menjamin kelangsungan BUMMA sebagai tumpuan ekonomi masyarakat suku Namblong.

Inisiatif-inisiatif lokal inilah yang mesti didukung para pemangku kepentingan (stakeholders) di Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam berbasis adat, disertai pendampingan manajemen yang baik terbukti konkret dalam melindungi keanekaragaman hayati di dalamnya. Masyarakat sejahtera, hutan terjaga. 

Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua
Masyarakat adat suku Moi penjaga Hutan Klaso, Kampung Malagufuk. Saat ini pihak suku Moi di Malaumkarta Raya masih berjuang mendapatkan pengakuan hutan adat dari negara/Deta Widyananda

Seruan dari Cali

Berjarak sekitar 19.000 km dari Indonesia, sekitar 200 negara berkumpul dalam The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) to the UN Convention on Biological Diversity (CBD), pada 21 Oktober–1 November 2024 di Cali, Kolombia. Konferensi internasional ini merundingkan upaya dan pernyataan bersama kepada dunia agar menghentikan perusakan alam yang mengakibatkan kepunahan keanekaragaman hayati. Salah satunya adalah dengan mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Mulanya, seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di Cali untuk mendorong pembentukan Subsidiary Body on Article 8j (SB8j) atau badan permanen untuk pengakuan kontribusi masyarakat adat—yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan lokal, warisan adat, dan praktik-praktik tradisional dalam melindungi keanekaragaman hayati—sempat ditolak perwakilan delegasi pemerintah Indonesia. Indonesia juga tidak menghendaki sistem pendanaan langsung untuk pekerjaan-pekerjaan konservasi yang dapat dijangkau masyarakat adat dalam melindungi keanekaragaman hayati di daerahnya.

Cindy Julianty, perwakilan dari WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia), menyebut penolakan tersebut sebagai sebuah langkah mundur dan sangat disayangkan. Sebab, COP16 mestinya menjadi momentum penting untuk mengimplementasikan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu. 

Eustobio Rero Renggi, juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang juga hadir pada COP 16 CBD tersebut, mengungkap pentingnya sistem pendanaan langsung kepada komunitas atau masyarakat adat. Meksiko, Namibia, Swiss, bahkan Uni Eropa memberikan dukungan langsung terhadap skema ini. Ia beranggapan masyarakat adat merupakan penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati secara turun temurun, bahkan jauh sebelum negara berdiri.

Suasana haru menyelimuti peserta Sidang Pleno COP16 di Cali, Kolombia, saat Presiden COP16 Susana Mohamad (foto kiri, memegang tongkat) menyatakan persetujuan pembentukan Subsidiary Board on Article 8j/UN Biodiversity

Namun, setelah perundingan yang alot, kabar baik tersiar di pengujung konferensi pada 1 November 2024 waktu setempat. Seperti dikutip Betahita (4/11/2024), perwakilan pemerintah Indonesia dan sejumlah negara berubah sikap, mendorong Sidang Pleno CBD menetapkan keputusan bersejarah untuk menyetujui pembentukan Subsidiary Body Article 8j. Lu’lu’ Agustiana, Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK, salah satu delegasi pemerintah Indonesia, mengakui kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal. Pihaknya hanya membutuhkan kejelasan secara proporsional terkait mekanisme atas amanah tersebut berjalan di Indonesia.

Langkah tersebut mesti disambut dengan komitmen kuat di negeri sendiri. Terutama mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat oleh DPR RI yang tersendat sejak 2012. Berbagai usulan penetapan hutan adat, baik di Papua maupun luar Papua, mesti segera ditindaklanjuti untuk mendapatkan pengakuan negara. Dalam catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dari luas wilayah adat yang sudah terpetakan seluas 30,1 juta ha, baru sekitar 16 persen saja yang telah diakui secara hukum.

Situasi ekstremnya perubahan iklim terkini, serta laju deforestasi yang masih masif karena industri ekstraktif atau program lumbung pangan yang kurang tepat sasaran, mendesak penyelamatan masa depan ruang hidup keanekaragaman hayati yang masih tersisa. Masyarakat adat, diyakini punya peran krusial untuk pelestarian alam dan tradisi lokal. Jangan sampai cenderawasih dan burung-burung ikonis kehilangan rumahnya sendiri. (*)

Foto sampul:
Burung cenderawasih kuning-kecil di hutan Kampung Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya (Deta Widyananda)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjaga-rumah-cenderawasih-dan-satwa-endemik-di-hutan-papua/feed/ 0 43010
Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/ https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/#respond Wed, 31 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42433 Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak. Teks & foto: Rifqy...

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Suhu fajar tentu akan lebih menusuk tulang ketimbang angin semalam. Demi menyongsong pemandangan pagi, kehangatan kantung tidur dan kenyamanan tenda harus disibak, menuntut otak memberi perintah pada sekujur tubuh untuk bergerak.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Kabut pagi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Selain malam bertabur bintang, hal ikonis lainnya yang ditunggu-tunggu pendaki di Ranu Kumbolo adalah matahari terbit. Saking identik dan populernya, kalau mengetikkan nama danau ini di mesin peramban, tak terhitung potret pagi telaga suci itu yang berseliweran menghiasi dunia maya. Seperti halnya Danau Segara Anak yang melekat pada Gunung Rinjani, Lombok, begitu pun Ranu Kumbolo dan Gunung Semeru.

Normalnya, pendaki akan menginap setidaknya satu malam di Ranu Kumbolo. Baik itu sebelum menuju Kalimati-Mahameru atau sesudahnya. Kondisi ideal sejatinya adalah dua malam dihabiskan di Ranu Kumbolo, dengan program pendakian empat hari tiga malam. Semalam sebelum ke Kalimati, semalam sebelum turun ke Ranu Pani. Saya pernah merasakannya, dan percayalah, Ranu Kumbolo benar-benar menyuguhkan nuansa yang berbeda. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Embun es di semak-semak Ranu Kumbolo saat puncak musim kemarau/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Melihat atraksi alam di pagi hari

Bahkan kalaupun taman nasional membatasi pendakian menjadi tiga hari dua malam saja, saran saya, lupakanlah Puncak Mahameru. Serahkan nasib dua malam kita dengan berkemah di tepi danau yang terbentuk dari kawah purba Gunung Jambangan itu. Ketika pagi mulai terang, lihatlah detail-detail yang tercermin di pinggiran danaunya.

Kita akan menyaksikan salah satu pertunjukan kolosal dan dramatis dari alam Ranu Kumbolo. Diawali dengan semburat rona langit yang memerah. Lalu pada saat yang tepat, sang rawi akan menampakkan diri dari balik dua bukit di timur danau. Di bulan-bulan tertentu, matahari akan terbit persis di antara dua bukit tersebut.

  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
  • Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)

Kemunculan matahari terbit adalah kabar gembira bagi para pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo. Ia adalah berita tentang kehangatan yang menebus bekunya pagi, serta harapan akan hari yang cerah. Pada momen-momen seperti inilah pendaki akan berbondong-bondong menyambutnya dengan bingkai lensa kamera atau gawai lain yang dimiliki.

Acapkali halimun akan ikut menampakkan dirinya. Entah itu kabut-kabut tipis yang melayang di permukaan danau, maupun terbang rendah dari balik dua bukit ke arah tempat berkemah. Adakalanya cuaca kurang bersahabat. Kabut seakan “berkonspirasi” dengan awan-awan tebal menciptakan pagi yang mendung dan suram. Menghalangi matahari yang dipaksa bersembunyi, yang tak jarang disambut seruan kekecewaan sebagian pendaki.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Mega bergelayut yang menutupi pancaran sang surya di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Padahal seorang teman pernah berkata, “Tidak cuma sunrise yang ngangenin, tapi juga kabutnya.”

Bahkan kabutnya saja dirindukan. Ia tidak peduli alam memberikan sajian pagi seperti apa, mau cuaca cerah melebihi ekspektasi atau jauh dari yang diimpikan. Sebab berada di Ranu Kumbolo saja sudah melebihi bayangan setiap orang, yang tidak semuanya beruntung bisa bertamu ke sana. 

Setiap pendaki rela berjalan menempuh 10 kilometer yang melelahkan dari Ranu Pani. Melintasi empat pos utama dan hutan di bawah tebing Watu Rejeng, sampai akhirnya tiba di Ranu Kumbolo. Sebuah danau seluas 15 hektare yang menjadi Ikon utama dari Semeru yang legendaris. Setiap pendaki, rela menghabiskan banyak biaya, waktu, dan tenaga demi pengalaman yang tak akan terlupakan.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Refleksi Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Tempat untuk merefleksikan diri

Ranu Kumbolo adalah daya pikat yang selalu berhasil menggoda siapa pun untuk kembali. Ya, berdiri di Mahameru atau titik tertinggi Pulau Jawa memang sebuah pencapaian. Namun, pamor danau yang pernah dikunjungi Mpu Kameswara pada 1447 silam, bagi saya, mampu melebihi ketenaran puncak itu sendiri.

Saya jadi teringat lagu Mahameru milik Dewa 19. Nuansa tembang yang dirilis dalam album Format Masa Depan tahun 1994 itu begitu personal dan emosional, sebab sebagian personelnya pernah menginjakkan kaki ke Gunung Semeru. Roman persahabatan dan interaksi hangat antarpendaki tergambar jelas di potongan liriknya.

Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo

Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat cokelat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Balutan kain putih di beberapa pohon menandakan titik-titik sakral bagi masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2017)

Bagi saya, Ranu Kumbolo bukan sekadar tempat transit. Tempat ini adalah guru, sekaligus titik krusial untuk menimbang keputusan akan ego dan ambisi pendaki. Melampauinya hingga ke Kalimati dan Puncak Mahameru, berarti mengantar pendaki beriringan dengan tantangan di depan yang lebih berbahaya. Atau, menghentikan langkah sebagai titik akhir, dan singgah untuk meresapi ruang terbuka yang menenangkan jiwa.

Sebagaimana terpantul dalam permukaan airnya yang tenang, bentuk kehidupan yang mengepung—pohon, bukit, rerumputan, hingga polah pendaki—bak cermin raksasa. Refleksi diri, sebagai kesempatan terbaik untuk memeluk kala yang melambat. Sampai akhirnya kita menyadari, bahwa waktu yang ada di rimba Semeru terlalu singkat untuk dinikmati.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2)
Siapa pun yang telah datang ke sini, suatu saat akan kembali/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-2/feed/ 0 42433
Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/ https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/#respond Mon, 29 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42420 Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang. Teks & foto:...

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang.

Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman


Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Selamat datang di Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Terutama ketika Juni lalu. Beberapa akun pemengaruh, komunitas lokal, atau lembaga pencinta alam baru pulang dari kegiatan bersih jalur pendakian bersama Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Ada satu-dua kawan baik saya yang ikut. Tujuannya memang hanya sampai ke Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan camp dan memaksimalkan fasilitas shelter kayu di tepi danau berketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.

Meski rute relatif tidak banyak berubah, tetapi pergerakan alam meninggalkan banyak jejak setelah pendakian umum ditutup sejak November 2020. Mulai dari longsor di jalur menuju Pos 3 setelah kawasan tebing Watu Rejeng, tumbuhnya banyak pohon di area berkemah Ranu Kumbolo, hingga permukaan debit air ranu yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lama tak dikunjungi manusia, alam Semeru memulihkan diri sebagaimana mestinya.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Permukaan air Ranu Kumbolo yang tenang, dengan latar kolom abu tampak membubung setelah meletus dari kawah Gunung Semeru. Letusan kecil tersebut terjadi berkala dalam 20-30 menit sekali setiap harinya/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Berita penurunan status aktivitas Gunung Semeru dari Level III (Siaga) menjadi Level II (Waspada) pada 15 Juli 2024 turut memantik obrolan di media sosial. Rata-rata menyuarakan rasa rindunya pada jalur pendakian Semeru, khususnya kenangan berkemah di Ranu Kumbolo. Lini masa bak menjadi tempat reuni para pendaki lintas generasi; sekaligus meledek pendaki yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di hutan Semeru.

Tidak terkecuali saya. Meski belum bersuara “ugal-ugalan” di media sosial, saya lekas membuka memori yang tersimpan di cakram keras eksternal. Melihat-lihat lagi kenangan tentang Ranu Kumbolo dalam rentang satu dasawarsa silam. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Gunung Semeru dan lanskap ladang sayur warga Ranu Pane, desa terakhir di kaki Gunung Semeru, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dari desa inilah pendaki memulai langkahnya menuju Ranu Kumbolo dan Semeru/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Bersiap dibekap dingin sejak petang

Umumnya pendaki tiba di Ranu Kumbolo sore hari. Pendakian dari Ranu Pani (2.200 mdpl)—desa terakhir dan pos registrasi pendakian TNBTS—membutuhkan waktu tempuh normal 4–5 jam untuk jarak sekitar 10 kilometer. Melewati jalur yang relatif landai sepanjang gapura pendakian, Pos 1, Pos 2, sampai Watu Rejeng (2.350 mdpl).

Trek akan menanjak menjelang Pos 3 dan kembali melandai saat mendekati Pos 4. Di pos terakhir ini, Ranu Kumbolo sudah terlihat sangat jelas. Tinggal menyusuri turunan terjal menuju sabana Pangonan Cilik, lalu berjalan melipir bukit hingga tiba di area shelter di sisi barat danau untuk berkemah.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Dua pendaki menyusuri jalur di tepian utara danau untuk menuju area utama berkemah Ranu Kumbolo/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Pada prinsipnya, pendaki bebas mendirikan tenda di mana saja, selama tidak terlalu dekat dengan bibir danau dan aktivitasnya tidak mencemari danau. Ranu Kumbolo memiliki arti penting dan sakral bagi kepercayaan masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani. Di area camp, terdapat prasasti berbahan batu andesit yang bertuliskan sebuah kalimat berbahasa Jawa Kuno. Artinya, prasasti tersebut menceritakan tokoh bernama Mpu Kameswara yang melakukan suatu ritual bernama tirthayatra pada tahun Saka 1447. Ritual ini merupakan salah satu rangkaian langkah hidup wanaprastha untuk bisa memasuki tahap akhir kesempurnaan yang disebut dengan sanyasin atau biksuka.

Saya membayangkan di masanya keheningan menyelimuti perjalanan dan laku tapa Mpu Kameswara di Ranu Kumbolo. Saat malam tiba, kedamaian tampak paripurna setelah bintang-bintang dan galaksi menyemut di kolom langit. 

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Pemandangan Ranu Kumbolo dari puncak bukit Tanjakan Cinta/Rifqy Faiza Rahman (Agustus 2018)

Lukisan malam yang harus diabadikan

Sebagaimana di malam terakhir pendakian saya pada akhir Mei 2014. Bertepatan dengan fase bulan mati atau new moon, Ranu Kumbolo begitu hidup. Terlihat tenda-tenda seperti bercahaya, disorot lampu senter para pendaki yang lalu-lalang. Sayup suara pendaki masih terdengar, meski samar.

Selebihnya adalah suara-suara dari corong alam. Gemercik air danau, embusan angin yang menyibak rerumputan dan ranting-ranting pohon. Bahkan langit gemerlap itu pun mungkin bersuara dalam diamnya. Maka jika ingin mengulang, kelak saat pendakian kembali dibuka, saya akan datang bermodalkan fase kalender bulan yang sama, untuk merasakan pengalaman serupa seperti dahulu.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Warna-warni tenda pendaki saat malam memeluk Ranu Kumbolo dan beratap langit penuh bintang/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

Saya sempat berpaling ke belakang. Melihat siluet celah bukit di ujung Tanjakan Cinta. Gurat pepohonan menukik mengikuti kontur tanah. Di atasnya, bintang-bintang menyemut. Seolah-olah menyentuh pucuk pepohonan cemara gunung.

Sejatinya, saya juga menyaksikan pemandangan malam yang sama tatkala pendakian bulan November 2012. Namun, kamera yang saya bawa kurang memadai untuk merekam lukisan malam yang luar biasa itu. Kala itu, hanya tutur cerita dari mulut saya bagi mereka yang bertanya, tentang bagaimana melalui malam yang cerah di tempat semagis Ranu Kumbolo. Kini saya memiliki sedikit simpanan foto malam yang meriah di Ranu Kumbolo. Sebuah alasan paling kuat yang bisa mengajak saya kembali ke sana.

Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1)
Sudut pandang lain untuk melihat bintang di Ranu Kumbolo, yaitu dengan latar depan siluet Tanjakan Cinta/Rifqy Faiza Rahman (Mei 2014)

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik: Ranu Kumbolo dalam Bingkai Lensa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-ranu-kumbolo-dalam-bingkai-lensa-1/feed/ 0 42420