Rio Praditia https://telusuri.id/author/rio-praditia/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 30 Jul 2019 11:35:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Rio Praditia https://telusuri.id/author/rio-praditia/ 32 32 135956295 Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula https://telusuri.id/kopi-plaga-leluhur-kopi-arabika-bali/ https://telusuri.id/kopi-plaga-leluhur-kopi-arabika-bali/#comments Tue, 03 Apr 2018 01:30:08 +0000 https://telusuri.id/?p=7771 Minggu lalu seorang kawan mengajak untuk berkunjung ke kebun kopi di daerah Plaga. Gimmick di ajakannya: “Perkebunan kopi ini lebih dulu ada sebelum [perkebunan kopi] di Kintamani.” Mendengar pernyataan itu tanpa pikir panjang saya sanggupi...

The post Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu lalu seorang kawan mengajak untuk berkunjung ke kebun kopi di daerah Plaga. Gimmick di ajakannya: “Perkebunan kopi ini lebih dulu ada sebelum [perkebunan kopi] di Kintamani.” Mendengar pernyataan itu tanpa pikir panjang saya sanggupi ajakannya.

kopi plaga

Bapak dan Ibu Sudana/Rio Praditia

Daerah Plaga menjadi terkenal karena namanya menjadi brand wine lokal. Namun, dalam perjalanan menuju tempat di perbatasan Kabupaten Badung dan Buleleng ini saya sama sekali tidak menemukan perkebunan anggur.

Jalan ke Plaga biasa jadi rute alternatif menuju Danau Batur atau Danau Bedugul karena posisinya yang berada di tengah-tengah. Perjalanan melewati destinasi populer Bali seperti Hutan Kera Sangeh dan Air Terjun Nungnung, juga Jembatan Tukad Bangung yang menghubungkan dua bukit dan konon tertinggi di Asia.

kopi plaga

Hutan di Plaga/Rio Praditia

Bertemu keluarga Sudana

Setibanya di perkebunan yang dituju, saya disambut hangat oleh Pak Nyoman Sudana dan istrinya, Ibu Wayan Sari. Di rumah mereka yang sederhana, saya langsung disuguhi kopi hasil dari kebunnya. Meski bukan ahli kopi, saya menemukan rasa yang cukup unik dari kopi tersebut: perpaduan antara aroma buah, gula merah, dan madu.

kopi plaga

Menelusuri perkebunan kopi/Rio Praditia

Tak berapa lama ia pamit untuk kembali bekerja di kebunnya. Saya yang memang berniat untuk membuat video dokumenter kopi Bali meminta untuk ikut. “Ini kesempatan langka,” pikir saya.

Jangan bayangkan kebun Pak Sudana seperti perkebunan kopi di Brazil atau Kenya yang rapih tertata laiknya perkebunan teh. Kebun kopi di sini nampak seperti padang ilalang di tengah hutan. Kami harus melewati jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi. Burung-burung pun bisa hinggap di pepohonan untuk ramai berkicau.

kopi plaga

Memetik biji kopi/Rio Praditia

Cara memetik buah kopi

Pak Sudana mengajarkan saya memetik kopi. Untuk mendapatkan rasa kopi yang nikmat maka kita harus mengambil buah yang merah tua saja. Jangan ambil yang kuning apalagi hijau, rasanya belum enak.

Memetik kopi juga harus dengan perasaan, tidak boleh sembrono. Kita harus memetiknya satu-satu, supaya buah yang belum matang tidak ikut terambil.

kopi plaga

Ayu Sudana/Rio Praditia

Pohon kopi arabika di kebunnya ini sudah berumur puluhan tahun. Ketika warga di kampungnya silih berganti tebang dan tanam padi, jeruk, dan kopi, Pak Sudana tetap merawat pohon kopinya.

Kecintaannya akan kopi bermula dari kecil ketika bekerja sebagai penjaga sapi milik seorang berkebangsaan Belanda. Sering bertemu dan disuguhi kopi membuat Pak Sudana mengenal dan jatuh cinta pada kopi, hingga akhirnya ia menanam kopi di lahan ayahnya yang semula sawah. Keputusannya sempat dianggap aneh oleh keluarga yang lebih condong menanam padi dan buah, namun ia tidak peduli.

Nyoman Sudana dan biji kopi merah yang baru dipetik/Rio Praditia

Ekosistem seimbang

Keheranan saya (“Kenapa kebun kopi ini lebih seperti hutan daripada kebun?”) terjawab ketika Pak Sudana menjelaskan konsep perindang.

Bila pohon kopi mendapat sinar matahari langsung sepanjang hari maka buahnya akan sangat banyak dan panen setiap lima bulan. Dampak negatifnya, usia pohon jadi pendek, maksimal lima belas tahun sudah mati atau tidak lagi berbuah.

kopi plaga

Wayan Sari di kebun kopinya/Rio Praditia

Dengan konsep perindang ini—kebun kopi di antara bermacam pohon-pohon hutan—panen hanya bisa delapan bulan sekali. Positifnya, usia pohon bisa melebihi 50 tahun dan terus berbuah. Kopi yang dihasilkan juga lebih berkualitas dan memiliki rasa yang unik.

Ibu Wayan Sari menambahkan bahwa sebagai petani yang bergantung pada alam mereka harus punya bermacam-macam tanaman. “Mau makan nasi kami tanam padi, mau makan buah tinggal ambil, mau minum kopi, ya, kami panen bijinya,” ujarnya bahagia.

kopi plaga

Biji kopi kering atau “green bean”/Rio Praditia

Pemberdayaan petani

“Indonesia punya potensi menjadi penghasil kopi berkualitas terbesar di dunia namun kenapa kita hanya nomor empat dan petaninya tidak sejahtera?” Ayu, putri dari Pak Nyoman Sudana dan Ibu Wayan Sari mempertanyakan.

Melihat hal tersebut, Ayu Sudana yang sudah 12 tahun bekerja sebagai manajer pemasaran di Dubai kembali ke kampung halamannya untuk mengenalkan kopi Plaga kepada dunia.

kopi plaga

Biji kopi sedang disangrai menggunakan mesin modern/Rio Praditia

Sekian puluh tahun petani kita tidak sejahtera karena kopi kita harus melewati berlapis-lapis tengkulak untuk sampai ke brewery dan konsumen akhir. Sudah saatnya petani dan konsumen bergerak bersama untuk perdagangan yang lebih adil.

Sekian tahun Pak Nyoman Sudana membentuk Gabungan Kelompok Petani Kopi di Plaga dengan tujuan mengajarkan cara menanam kopi yang baik, organik, berkualitas, dan berkesinambungan. Kecintaannya akan kopi membuat ia selalu bersemangat di usia senja.

kopi plaga

Sebungkus Bali Beans Premium Coffee/Rio Praditia

Ayu Sudana mendatangkan mesin pemanggang kopi dari Belanda dengan dana sendiri. Tujuannya agar bisa menampung kopi dari petani Plaga dan langsung bisa mengemas dan memasarkannya ke brewery dan konsumen akhir. Petani bisa mendapatkan harga yang tinggi dan konsumen mendapat kopi berkualitas dari petani.

Sore itu saya kembali disuguhi kopi. Kali ini sedikit berbeda dari yang saya minum sebelumnya. Di rasa penutup kopi, aroma madu terasa kuat di lidah. Pak Sudana menyimpulkan: kopi enak bukan saja dihasilkan dari tanaman yang unggul tapi juga pengolahan yang tepat.

Saat matahari sudah mulai condong ke barat, saya pamit pulang ke Denpasar. Ayu Sudana memberikan saya oleh-oleh satu bungkus kopi yang saya minum tadi. “Supaya kamu selalu ingat kami di sini setiap minum kopi,” katanya sambil tertawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kopi-plaga-leluhur-kopi-arabika-bali/feed/ 2 7771
Kuda-Kuda Kekar Desa Mantar Sumbawa https://telusuri.id/kuda-kuda-kekar-desa-mantar-sumbawa/ https://telusuri.id/kuda-kuda-kekar-desa-mantar-sumbawa/#comments Wed, 12 Apr 2017 06:45:31 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=658 “The horse, with beauty unsurpassed, strength immeasurable and grace unlike any other, still remains humble enough to carry a man upon his back.”—Amber Senti Dalam benak saya yang pertama muncul ketika mendengar nama Sumbawa adalah...

The post Kuda-Kuda Kekar Desa Mantar Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>

“The horse, with beauty unsurpassed, strength immeasurable and grace unlike any other, still remains humble enough to carry a man upon his back.”—Amber Senti

Dalam benak saya yang pertama muncul ketika mendengar nama Sumbawa adalah kuda. Ya, sekian lama hidup di Jawa, saya seringkali mendengar orang minum susu kuda liar sumbawa dengan harapan bisa seganas dan selama mamalia itu saat melakukan proses reproduksi dengan pasangannya. Namun, saya bahkan tidak melihat satu ekor kuda pun ketika tiba di Pelabuhan Pototano dan dalam perjalanan menuju Pulau Kenawa.

Saya baru melihat kuda berkeliaran layaknya kambing di Jawa dan sapi di Bali ketika berkunjung ke Desa Mantar. Menurut Ibu Ari, kami (saya dan Asong) harus mengunjungi desa ini. Selain karena desanya yang unik, pemandangan yang bagus dan sejarahnya, desa ini juga jadi tempat syuting film Serdadu Kumbang. Walaupun sampai saat ini saya belum pernah menonton film yang disutradarai oleh Ari Sihasale itu.

Rasanya saya ingin merutuki keputusan bodoh kami berdua saat melintasi perjalanan menuju desa dengan ketinggian 630 mdpl ini. Semua berawal dari celetukan saya pada Asong kalau foto saat traveling tidak pakai backpack itu kurang keren. Asong, yang dalam perjalanan ini melepas keperawanan ransel Deuter Air Contact 55+10, memutuskan membawa tas tersebut yang bermuatan tenda dan segala perangkat survival demi bentuk rucksack yang oke saat difoto, sementara hanya sebagian kecil barang-barang yang ditinggal di rumah Ibu Ari.

Ini bencana, teman-teman….

Jalan sepi menuju Desa Mantar/Rio Praditia

Jalan ke Mantar hanya cocok dilewati oleh mobil 4WD dan motor trail. Selepas melewati jalan becek di tengah perkebunan, jalan yang dihadapi menjadi terjal dengan tekstur pasir, kapur dan batu. Revo milik Asong meraung-raung melaju di jalan yang sisi kiri-kanannya jurang. Kami yang mengendarainya terguncang-guncang saat roda menghajar batu-batu sebesar kepala. Saya yang dibonceng juga harus menanggung berat ransel yang lari ke sana kemari setiap manuver motor salah. Bahu rasanya lecet juga kelu, tulang belakang serasa bergeser.

Parahnya, walaupun kami membawa tas besar, hanya ada air tidak sampai setengah liter yang terbawa. Panas matahari jam dua siang membakar kulit dan debu-debu memekatkan pernapasan juga rongga mulut. Kami kehabisan air dalam waktu singkat.

Di jalan-jalan mendekati desa tingkat kemiringan semakin kejam. Saya berulang kali harus turun dan berjalan kaki menggendong tas gunung sambil terus mengenakan helm. Jika saja tas ini tidak lagi baru dan harganya tidak dua juta dua ratus ribu rupiah, rasa-rasanya sudah saya lempar jauh-jauh ke jurang.

Desa Mantar benar-benar memikat. Memasuki desa kami disambut gedung sekolah dasar. Rimbun pepohonan memayungi jalan. Tak lama, kami menjumpai danau kecil kehijauan yang jadi tempat warga memancing, juga kuda yang berkeliaran ikut minum di sana. Asong benar-benar excited melihat kuda, berulang kali ia berucap, “Hey, man.. itu kuda, man.” Saya yang sudah kelelahan dan dehidrasi hanya sanggup mengangguk-angguk lesu.

Rumah-rumah tradisional di Desa Mantar yang sudah doyong/Rio Praditia

Memasuki permukiman warga, kami langsung mencari rumah Kepala Desa untuk meminta izin agar diperkenankan masuk dan berkeliling. Sayang, saat itu beliau tidak ada, kami disambut oleh istrinya yang akan segera menyampaikan kedatangan kami ketika ia datang dari kota. Tidak lupa Asong berfoto dulu di depan rumahnya ketika beranjak pergi.

Seperti rumah-rumah tradisional Indonesia umumnya, rumah-rumah di Desa Mantar terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Hal ini sebagai bentuk adaptasi nenek moyang untuk menghindari serangan binatang buas. Fondasi yang berupa sambungan-sambungan kayu tanpa paku dan berdiri di atas batu membuat rumah sangat fleksibel terhadap guncangan seperti gempa. Terkadang kita mengagungkan arsitektur Barat tanpa sadar bahwa nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan yang lebih tepat untuk tinggal di nusantara yang kaya namun rawan bencana.

Kami mampir sebentar di warung warga untuk membeli air dan makanan ringan. Pak Husein pemilik warung yang sedang menganyam bambu, ditemani cucunya yang sedang tidur di ayunan, bercerita pada kami, “Di Mantar orang-orangnya agak beda dengan orang di bawah, karena nenek moyang kami berasal dari banyak suku, ada Jerman, Portugis, Arab dan Jawa.” Ia yang melihat rasa penasaran saya melanjutkan, “Kapal yang mereka tumpangi karam saat melewati Selat Alas sehingga membuat permukiman di sini.” Ia juga bercerita tentang tujuh orang putih yang tidak pernah berkurang dan bertambah di Mantar. Bila satu orang putih lahir ke dunia, maka satu dari tujuh orang itu akan mati, bisa saja sakit tiba-tiba walaupun hari sebelumnya masih sehat walafiat.

Berpose di salah satu rumah di Desa Mantar

Berpose di salah satu rumah di Desa Mantar/Rio Praditia

Pak Husein menyarankan kami untuk datang ke lokasi syuting (saya lupa ia menyebut tempat itu apa) yang berada di ujung desa. Berdasarkan petunjuknya kami keluar desa dan masuk ke sawah warga. Mayoritas penduduk Mantar bertani, berladang dan beternak. Mereka berladang dan menanam padi gogo untuk menyesuaikan dengan kondisi geografis yang kering. Sepanjang kami menyusuri sawah yang habis panen, sapi, kerbau, kuda, kambing dalam gerombolan besar bebas hidup tanpa terikat. Mereka makan sisa-sisa tanaman yang masih berakar. Saya merasa seperti tidak sedang di Indonesia, seakan-akan berada dalam setting film koboi di Texas, Amerika.

Kami tidak tersesat, kami hanya menemukan banyak jalan baru yang tidak membawa pada tujuan.

Sadar jalan yang kami lalui hanya berakhir buntu, saya mulai melihat ke kiri-kanan. Hanya ada sapi dan kuda yang memandang curiga. Kami coba berbalik arah, berjalan agak memutar, dan untung saja bertemu lelaki tua yang asyik membelah bambu di depan pondokannya. Tahu kami tersesat, ia berbaik hati mengantar. Kami menyusuri jalan sambil berbagi cerita. Setelah Asong banyak bertanya, bapak yang saya lupa namanya ini mengaku memiliki banyak kuda. Menurutnya, bagi masyarakat Mantar, kuda sumbawa itu selain sebagai alat transportasi juga dijadikan makanan di acara-acara tertentu. Juga sebagai tabungan bila warga butuh uang cepat untuk pendidikan anak, biaya berobat saat sakit atau ongkos naik haji. Kuda sumbawa sangat diminati orang luar Sumbawa sehingga mudah menjualnya. Di luar itu semua, kuda adalah status sosial, semakin banyak kuda yang dimiliki semakin naik status sosial seseorang.

Akhirnya melihat kuda/Rio Praditia

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah artikel di The Jakarta Post pada tahun 2011 tentang kuda sebagai sumber daya genetik (SDG). Kementerian Pertanian RI menetapkan kuda di Sumbawa sebagai salah satu bangsa atau subbangsa kuda di Indonesia. Rumpun Kuda Sumbawa dikenal kerena kemampuan adaptasinya pada lingkungan tertentu yang cukup baik mengingat kuda sumbawa adalah kuda yang adaptif pada kondisi daerah spesifik pada iklim mikro (seperti Pulau Sumbawa).

Percakapan sebentar itu menemani perjalanan saya menuju spot paling favorit di Mantar. Berada di ujung tebing yang terbuka, saya bisa melihat matahari yang mulai condong ke barat di atas Selat Alas. Pelabuhan Pototano beserta pulau dan laguna yang mengitari serasa menantang untuk disinggahi. Saya menyesal kenapa hanya punya sedikit libur untuk menikmati Sumbawa, suatu hari saya akan datang lagi untuk lebih mengenal pulau ini.

Tepat jam 16.30 kami turun ke Pototano, memperhitungkan jalan pulang yang akan jauh dari kata aman bila dilewati pada malam hari. Kuda-kuda di Mantar mengajarkan kami banyak hal; dengan segala keanggunan dan kekuatannya, ia tetap rendah hati untuk membawa manusia di punggungnya.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Rio Praditia.

The post Kuda-Kuda Kekar Desa Mantar Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuda-kuda-kekar-desa-mantar-sumbawa/feed/ 1 658
Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman https://telusuri.id/pulau-kenawa/ https://telusuri.id/pulau-kenawa/#respond Sun, 19 Mar 2017 01:02:35 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=772 “The journey is the destination.” —Dan Eldon Bayangan tubuh kami sudah memanjang ke timur saat menjejakkan kaki di pasir putih pulau yang berada di seberang Pelabuhan Pototano ini. Ransel dan peralatan snorkeling segera diturunkan dari...

The post Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman appeared first on TelusuRI.

]]>

“The journey is the destination.”

Dan Eldon

Bayangan tubuh kami sudah memanjang ke timur saat menjejakkan kaki di pasir putih pulau yang berada di seberang Pelabuhan Pototano ini. Ransel dan peralatan snorkeling segera diturunkan dari kapal. Setuntas melempar muatan maka tak berlama-lama kapal itu segera meninggalkan kami berdua, saya dan asong. Saya takjub, pantai dengan gradasi kristal bening sampai biru tua, saujana mata memandang hanya rumput hijau keemasan bergoyang diterpa angin laut dengan latar bukit kecil meruncing.

Swedia, Sampah, dan Kenawa

Asong sudah tidak sabar untuk basah. Setuntas membongkar muatan di hut yang tersedia di sepanjang pesisir pantai, ia segera memasang snorkel dan terjun ke air. Saya memilih untuk susur pantai dan mengelilingi pulau. Dahi langsung mengernyit ketika menemukan banyak sekali sampah di sudut-sudut pantai.

Beberapa jam yang lalu di teras rumahnya, Ibu Arif, penjaga Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan, bercerita tentang komentar pejalan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Kenawa. Mereka mengaku langsung jatuh cinta dengan keragaman bawah lautnya juga sabana dan kontur bukit di pulau ini. Di lain sisi, mereka mengeluhkan sampah yang memenuhi pesisir pantai.

Terang Ibu Arif, “Saya selalu menegaskan kepada setiap pengunjung untuk membawa pulang sampah yang mereka hasilkan di sana.” Ia melanjutkan, “Saya rasa pengunjung selalu bertanggung jawab atas kebersihan pulau, namun ada hal lain yang di luar kendali kami.”

Menaiki perahu menuju Kenawa/Rio Praditia

Hampir setiap bulan, staf dinas dan nelayan pergi ke Pulau Kenawa untuk gotong royong membersihkan sampah. Setiap kali, lebih dari dua puluh karung sampah terkumpul. Meskipun demikian, keesokan harinya Kenawa akan penuh sampah lagi. Sebagian besar sampah di pantai pulau ini datang terbawa arus ombak, sebagian kecil ulah pejalan tidak bertanggung jawab. “Penumpang di kapal penyeberangan biasa membuang sampah ke laut, sedangkan warga di sisi lain Pulau Sumbawa biasa membuang sampah ke sungai yang terbawa ke laut,” geram ibu Arif. “Sekeras apa kami berusaha Kenawa tidak akan bisa bebas sampah bila orang-orang masih membuang sampah ke laut,” tutup perempuan yang sedang mengandung itu.

Selain pejalan yang datang via Pelabuhan Pototano, pengunjung juga datang dari kapal pesiar yang biasa membuang jangkar di dekat Pototano. Mereka turun dari kapal pesiar menggunakan perahu kecil untuk island hopping. “Saya sebagai orang Indonesia malu bertemu pengunjung kapal pesiar asal Swedia. Setiap mereka datang, mereka pasti sukarela memunguti sampah yang memenuhi pulau dan pesisir desa nelayan, lalu mengumpulkannya di tempat sampah dekat kantor dinas. Kami orang sini yang mengambil keuntungan dari pulau-pulau ini malah semena-mena buang sampah sembarangan.” Ungkap Ibu Arif yang memiliki anak pintar bernama Oval ini.

Pariwisata Kenawa dan Kelestarian Alam

Dulu sekali, sangat mudah menemukan ikan di sekitar Pototano. “Ikan segini ini masih dianggap kecil dan berenang bebas di pinggir pantai,” terang Ibu Arif sambil menggunakan tangannya sebagai perbandingan. Sayangnya, beberapa belas tahun lalu, nelayan menggunakan bom dan potasium sebagai cara singkat mendapatkan ikan. Terumbu karang banyak yang rusak dan bibit-bibit ikan mati. Bom dan racun membuat keberlangsungan kehidupan bahari di sana terhenti. Bila terumbu karang rusak dan bibit ikan mati maka tidak ada lagi sumber kehidupan di sana. Ikan-ikan yang tersisa mengungsi ke daerah lain, yang biasa datang juga sudah tidak lagi berkunjung. Sekarang nelayan harus pergi jauh ke tengah untuk mencari ikan. “Penyesalan dan kesadaran memang selalu datang terlambat,” pungkas Ibu Arif sambil menghela napas.

Di Kapal/Rio Praditia

Dengan semakin ramainya kunjungan turis ke Pulau Kenawa dan pulau-pulau di sekitarnya dan penyuluhan tanpa lelah dari dinas tentang pentingnya terumbu karang, nelayan mulai sadar untuk menjaga terumbu karang. Sekarang nelayan di desa ini tidak lagi menggunakan bom dan racun, mereka sadar dengan adanya terumbu karang maka ikan akan semakin mudah didapat. Di lain sisi, terumbu karang yang terjaga akan menarik semakin banyak wisatawan, tentu saja akan menambah penghasilan nelayan yang menyewakan perahu untuk mengantar pengunjung untuk island hopping. Kesejahteraan meningkat dan alam tetap terjaga.

Memang belum semua nelayan di Sumbawa sadar. Banyak nelayan dari luar Desa Pototano datang dan menggunakan dua alat destruktif tersebut. Namun, staf dinas dengan bantuan TNI AL berulang kali menahan dan menenggelamkan perahu mereka bila kedapatan melakukan hal tersebut.

Percakapan tentang Tuhan

Asong nampak lelah menenteng snorkel setelah berjam-jam berenang dengan penghuni laut. Matahari sudah condong ke barat, sinarnya terhalang bukit tinggi yang diselimuti ilalang. “Coy, kayaknya keren kalau kita bangun tenda di atas bukit kecil itu.” Selain bukit tinggi, terdapat satu bukit kecil di tengah-tengah pulau, dari sana kita bisa melihat sekeliling. Saya langsung menyanggupinya, “OK, coy. Besok pagi pasti asik, tuh, liat sunrise dari sana.” Kami langsung berlari riang berlomba-lomba untuk duluan sampai di sana seperti anak kecil.

Dalam hitungan belasan menit, tenda sudah berdiri, api sudah dinyalakan. Angin berhembus sejuk mengiringi lembayung yang kian kelam. Langit biru berganti dengan malam pekat yang dihiasi pecahan bintang di seluruh permukaannya. Saat cahaya artifisial tidak ada, maka langit selalu menampilkan sisi terindahnya bahkan saat berawan. Ditemani kopi panas dan roti murah kami melamun bodoh, asyik dengan pikiran masing-masing.

Berjalan di tepi pantai/Rio Praditia

Asong membuka percakapan.

“Coy, orang Eropa enak, ya? Kerja satu tahun bisa jalan-jalan tiga tahun.”

“Iya, sih. Jaring pengaman sosial mereka bagus. Walaupun pulang ke negara sudah kehabisan duit, di sana mereka ngga akan kelaparan.”

“Tapi, Coy, orang Eropa kebanyakan ngga beragama. Mereka percaya moral itu lebih penting daripada iman.”

“Ngga semua, sih. Tapi kebanyakan begitu. Mungkin karena hidup mereka sudah enak, ngga mungkin kesusahan dan kelaparan, hidup nyaman dan aman, mereka ngga butuh banyak doa pada Tuhan soalnya negara sudah menyediakan. Filsafat dan ilmu pengetahuan juga sudah bisa menjelaskan fenomena alam yang dulu dianggap kemarahan dan kemurahan Tuhan.”

Asong mengangguk-angguk, “Bener juga.”

“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi susah aja? Memang kalau kita bahagia kita bersyukur pada Tuhan? Koe isih ke gereja ora, cuk?

“Ora’e. Males aku,” ungkap Asong yang dilanjut tawa lepas.

“Aku juga ora. Nah, kita aja yang hidupnya susah, baru senang dikit udah lupa Tuhan.”

“Iyo yo. Cen asu tenan ki menungso. Ora menungso ding—kita sing asu tenan.” (iya ya. Benar-benar brengsek manusia ini.  Bukan manusia, tapi kita yang brengsek)

Selanjutnya keheningan memenuhi udara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing tentang Tuhan.

Pulau Kenawa

Mencari ketenangan/Rio Praditia

Langit berbintang perlahan tertutup awan hitam. Hujan rintik-rintik datang dengan anggun. Kami tak menyangka awan hitam bisa datang secepat itu. Secepat mungkin kami mengamankan seluruh peralatan yang tercecer di depan tenda.

Dalam hitungan detik, hujan mengguyur Pulau Kenawa tanpa ampun. Desir ombak terdengar makin ganas dihajar angin badai. Geledek bergemuruh dan petir menyambar-nyambar di lautan. Kami mulai cemas.

Tenda yang awalnya kami yakini terpasang sempurna mulai miring dihajar angin. Pasak satu per satu tercerabut karena tidak kuat menahan cover. Cover luar dihajar angin dan dihempas hujan, alhasil tidak lagi mampu menahan air. Tenda kami mulai kebanjiran. Kami sibuk menahan tenda dan memegangi frame supaya tidak patah dan terbang. Kami bergantian memegangi tenda dan mengemas seluruh perlengkapan ke dalam ransel gunung. Bila terjadi hal-hal yang diinginkan kami segera bisa menyelamatkan semua barang-barang itu.

Dari dalam tenda terlihat  petir menyambar lautan. Cahayanya seperti blitz lighting studio saat pengambilan foto memakai toga wisuda. Angin semakin tidak ramah. Tenda terangkat-angkat tanpa kendali. Andai kami tidak di dalam tenda tersebut, mungkin tenda dan seluruh isinya sudah melayang-layang di udara.

Dalam kepanikan itu, saya mendaraskan doa meminta pertolongan pada Tuhan supaya badai cepat berlalu.

Seperti percakapan beberapa belas menit sebelum badai—“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi susah aja?”

FIN                             

Pulau Kenawa Pemandangan dari ketinggian

Pemandangan dari ketinggian/Rio Praditia

Perjalanan ini dimulai dari celoteh di obrolan dua minggu lalu tentang ke mana kami akan pergi untuk mengisi libur Kuningan dan Galungan selama tiga hari. Pada awalnya ada empat orang yang berniat melakukan perjalanan ini, yaitu Asong, Galuh, Rara, dan saya. Namun, karena satu dan lain hal, Galuh dan Rara tidak jadi ikut. Perjalanan dari Denpasar kami mulai pukul 22.00 WITA. Setelah menunggangi motor selama 40 menit kami tiba di Pelabuhan Padang Bai. Dari sana, kami membelah Selat Lombok selama 4,5 jam menggunakan kapal ferry untuk menuju Pelabuhan Lembar. Tepat pukul 04.30 WITA, kami mulai menjajal jalan Lombok dari ujung terbarat menuju Pelabuhan Kayangan di ujung paling timur. Lanskap Lombok yang hijau menghibur segala indra sehingga 5 jam di atas motor jadi tidak terasa. Terakhir, kami berdiri di atas kapal ferry menyusuri Selat Alas. Sekitar pukul 11.30 WITA kami tiba di Pelabuhan Pototano, Sumbawa.

Pelabuhan Pototano sungguh unik. Selama ini dalam benak saya, pelabuhan pasti dijejali oleh warung-warung dan penjual makanan dan minuman yang hilir mudik. Namun, berbeda dengan pandangan itu. Pelabuhan Pototano sangat sepi bahkan untuk mencari warung nasi saja kami perlu menyusuri jalan desa dulu. Bila warung saja sulit ditemukan, maka jangan harap menemukan penginapan di area sekitar pelabuhan. Lalu di mana kita bisa menemukan penginapan? Penginapan bisa ditemukan di Alas, sekitar satu jam perjalanan dari pelabuhan ini.

Sesuai petunjuk seorang kawan di Bali, kami menuju Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menanyakan perahu yang akan digunakan menuju Pulau Kenawa. “Wah, Dek. Cuma berdua saja,” tanya Bu Arif setelah kami memperkenalkan diri. Saat itu, Pak Arif yang menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan sedang mengikuti diklat di Bogor, sehingga istrinya yang menyambut kami.

Untuk menuju Pulau Kenawa kita harus menggunakan perahu yang mampu menampung hingga sepuluh orang. Sehingga mau satu, dua, atau sepuluh orang kami harus membayar Rp. 350.000. Untuk menyiasati biaya tersebut maka kami berniat menunggu siapa tahu ada pejalan lain yang datang ke Sumbawa dan berniat pergi ke pulau tersebut. Malang, sampai jam 16.00 WITA tidak ada satu orang juga yang datang. Mau tidak mau kami berangkat dan membayar ongkos perahu yang tidak ramah bagi kantong dua pejalan minim budget ini. Ibu Arif berbelas kasih, melihat duit kami sedikit dan tidak ada orang lain untuk berbagi biaya maka ia menggratiskan biaya sewa dua snorkel.

Jujur, saya suka pergi ke pantai tetapi saya bukan orang yang rela mati-matian menghabiskan energi, waktu, dan biaya untuk pergi ke tempat jauh dan pulau-pulau terpencil untuk snorkeling atau diving demi melihat keindahan bawah laut. Saya lebih suka ke hutan dan gunung atau pergi ke desa untuk mengobrol dengan warga lokal. Setiap pergi ke pantai saya lebih senang jalan-jalan menyusuri pantai, membaca buku, dan melamun bodoh saat mulai bosan. Begitu juga dengan ajakan ke Pulau Kenawa ini, awalnya saya tidak tertarik untuk ikut, namun karena perjalanan yang jauh akan menggunakan motor maka saya tertarik. Pulau Kenawa hanya bonus, yang saya sebenarnya nikmati adalah pengalaman membelah pulau dan melintas dua selat untuk menuju tempat ini menggunakan motor.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Rio Praditia


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-kenawa/feed/ 0 772