Rivai Hidayat https://telusuri.id/penulis/rivai-hidayat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 30 Nov 2023 08:45:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Rivai Hidayat https://telusuri.id/penulis/rivai-hidayat/ 32 32 135956295 Cerita dari Pasar Jatingaleh https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/ https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/#respond Mon, 04 Dec 2023 06:00:20 +0000 https://telusuri.id/?p=40069 Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan...

The post Cerita dari Pasar Jatingaleh appeared first on TelusuRI.

]]>
Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan dari komunitas Hunting Pasar Semarang.

Sebelum pandemi COVID-19, komunitas Hunting Pasar Semarang rutin mengadakan kegiatan memotret suasana pasar tradisional. Berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya. Namun pada tahun 2020, saat pandemi COVID-19 melanda, mereka vakum mengadakan kegiatan selama beberapa waktu.

Penghujung tahun 2022, situasi pandemi membaik. Komunitas ini kembali menggeliat. Tetapi sayangnya, beberapa kali kegiatan dibatalkan karena di hari berlangsungnya acara, hujan turun sepanjang hari. Dan, akhirnya Pasar Jatingaleh menjadi pasar pertama yang mereka kunjungi setelah hiatus selama hampir tiga tahun.

Aku, yang gemar blusukan ke pasar-pasar tradisional sudah sudah sejak lama penasaran kegiatan ini. Secara kebetulan, Pasar Jatingaleh terletak tidak jauh dari rumahku. Pun, Pasar Jatingaleh memiliki bentuk bangunan yang unik dan cerita sejarah yang sangat panjang. Alasan-alasan tersebutlah yang membawaku hadir pagi itu.

  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh

Sejarah Singkat Pasar Jatingaleh

Keberadaan daerah Jatingaleh tidak lepas dari cerita Sunan Kalijaga, saat itu beliau sedang mencari pohon jati yang akan digunakan sebagai tiang Masjid Agung Demak. Di daerah ini, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati yang ketika ditebang bukannya roboh, tetapi malah berpindah tempat (ngaleh). Oleh sebab itu, Sunan Kalijaga memberikan nama Jatingaleh (pohon jati yang berpindah) untuk tempat ini.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Jatingaleh—yang berbatasan langsung dengan daerah perbukitan Gombel—sebagai daerah perbatasan di bagian selatan Kota Semarang. Bahkan Belanda mendirikan sebuah pos perbatasan di sini. Orang-orang yang melintasinya berasal dari Kabupaten Semarang, Ungaran, Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya.

Jatingaleh terus berkembang pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya perkampungan-perkampungan warga. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun sebuah pasar karena di dekat sana juga terdapat sebuah markas militer. Sekitar tahun 1930–1931, arsitek asal Belanda yang bernama Thomas Karsten diberi kepercayaan untuk membangun Pasar Jatingaleh.

Ciri khas Pasar Jatingaleh terletak pada tiang yang berbentuk seperti cendawan atau jamur dan ventilasi pada atap bangunan. Ventilasi tersebut berfungsi sebagai sirkulasi udara dan sumber penerangan alami pada pasar.

Pasar Jatingaleh menjadi pasar rintisan dengan konsep tiang cendawan yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten pada pembuatan Pasar Johar tahun 1936. Ia berharap, kelak Pasar Johar akan menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara pada masanya.

Pasar Jatingaleh
Tiang-tiang penyangga Pasar Jatingaleh/Rivai Hidayat

Memotret Suasana Pasar Jatingaleh

Terhitung ada tujuh orang mengikuti kegiatan ini. Semuanya laki-laki. Kami mengawali kegiatan dengan berdoa, perkenalan diri, dan tentu saja mempraktikkan beberapa arahan yang diberikan selama kegiatan berlangsung. Arahan tersebut salah satunya yakni, kami harus meminta izin kepada pedagang atau siapa pun yang akan kami potret. Sebuah hal dasar sebagai bentuk menghormati dan persetujuan kepada orang tersebut.

Tidak ada rute khusus ketika berkeliling Pasar Jatingaleh. Kami memasuki pasar melalui pintu utama, kemudian berpencar sesuai dengan keinginan masing-masing. Begitu menginjakkan kaki di dalam pasar, tiang-tiang cendawan dan ventilasi berukuran besar yang menjadi ikon dari bangunan Pasar Jatingaleh menyambut. Kondisi bangunan pasar pun masih berdiri kokoh meski telah melewati perubahan zaman.

Para pedagang dan pengunjung tidak terkejut melihat kami yang berkeliling pasar sambil membawa kamera di tangan. Sepertinya mereka sudah tahu jika kami sedang memotret di Pasar Jatingaleh. Barangkali, mereka sudah biasa melihat orang-orang seperti kami ini. Pun, para pedagang juga tidak keberatan ketika kami meminta izin untuk memotret mereka. Bahkan beberapa dari mereka malah meminta untuk kami potret.

Aku menekan tombol shutter secara perlahan. Mengabadikan keadaan pasar dan para pedagang yang sedang beraktivitas. Terus berkeliling pasar sambil melihat aktivitas para pedagang melayani pembeli. Saking asyiknya, tiba-tiba aku sudah berada di bagian belakang pasar. Di sini aku berhadapan dengan dua kios penggilingan daging.

  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh

Suasana tampak lebih sepi pengunjung jika dibandingkan bagian utama pasar. Namun, suara mesin penggiling daging sangatlah berisik. Suara bisa memekakkan telinga, meskipun aku berada di luar kios. Para pegawai tampak tidak terganggu dengan suara mesin tersebut. Mereka tetap tenang saat memasukan daging dan tepung ke dalam mesin. Di dinding kios tertulis harga jasa penggilingan daging. Harga tersebut belum termasuk dengan tepung, bumbu, dan bahan lainnya. Kios ini juga menjual tepung dan bahan lainnya sebagai bahan pelengkap adonan bakso.

Biasanya, permintaan penggilingan daging meningkat pada Hari Raya Iduladha. Orang-orang yang mendapatkan daging kurban, hanya perlu membawa daging yang sudah dibersihkan ke kios ini. Menggiling, dan mengolahnya bersama bumbu dan tepung sesuai takaran hingga menjadi adonan bakso.

Pasar Jatingaleh seperti halnya pasar tradisional lainnya. Ada berbagai macam kios, mulai dari kios daging,  ikan, kelontong, sayur, jajanan, hingga kios pakaian. Dari semua kios yang ada, kios bumbu dapur milik pasangan suami istri menarik perhatianku.

Aku berhenti dan mengobrol dengan berbincang dengan mereka. Sayangnya, aku lupa menanyakan nama mereka berdua. Dari cerita mereka, aku tahu bahwa mereka sudah lebih dari 30 tahun berjualan di sini.

“Pada awalnya kami berjualan beras dan sembako, Mas.”

“Karena banyak saingan, akhirnya kami beralih menjual bumbu dan rempah-rempah,” jelas ibu penjual bumbu.
Selain menjual bumbu dan rempah, mereka berdua juga menjual jamu racikan, dan meracik bumbu aneka makanan seperti rendang, gulai, juga tengkleng.

Bisa dibilang bumbu dapur dan rempah-rempah di kios ini lengkap. Ada jahe, kunyit, kencur, temulawak, lengkuas, pala, kapulaga, daun salam, daun jeruk, hingga kayu manis. Mereka mendapatkan pasokan bumbu dapur dan rempah-rempah dari petani di sekitar Kota Semarang. Mulai dari Salatiga, Kabupaten Semarang, hingga Boyolali.

Pasar Jatingaleh
Penjual bumbu dapur dan rempah/Rivai Hidayat

Pagi itu, saat tangan sang istri sibuk meracik bumbu, mulutnya memberikan banyak sekali penjelasan mengenai manfaat masing-masing rempah. Aku seperti sedang mengikuti sebuah kelas perkenalan aneka rempah Nusantara. Sama halnya dengan penggilingan daging, permintaan bumbu dapur meningkat ketika Hari Raya Iduladha. Saat orang-orang memiliki banyak persediaan daging kurban. 

Sebenarnya perkenalanku dengan pasangan suami istri ini sudah terjadi saat aku masih kecil. Ibuku sering mengajakku ke kios ini. Di kios ini, ibuku sering membeli bumbu dapur dan jamu racikan. Dari dulu hingga sekarang, ibu menjadi pelanggannya. Tak jarang, ibu mendapatkan tambahan bumbu dan rempah-rempah dari pasangan suami istri ini.

Penjual bumbu dapur dan rempah-rempah di Pasar Jatingaleh tidak banyak. Hanya ada 2–3 kios saja. Kios milik pasangan suami istri ini merupakan yang terlengkap jika dibandingkan kios lain.

Aku lalu pamit dan berterima kasih kepada keduanya karena telah mengizinkan singgah, berbincang banyak hal tentang rempah, hingga memotret aktivitas mereka. Kemudian, aku menyusul teman-teman Hunting Pasar Semarang yang sedang beristirahat di bagian pasar.

Kegiatan ini ternyata menyenangkan. Di setiap sudut pasar tradisional, aku menemukan aktivitas yang melibatkan masyarakat dengan berbagai status sosial dan latar belakang. Jika ada kesempatan lain lagi, akan aku akan mengulangi apa yang sudah aku lakukan hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita dari Pasar Jatingaleh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/feed/ 0 40069
Bermain Angklung di Kampoeng Dolanan Nusantara Borobudur https://telusuri.id/bermain-angklung-di-kampoeng-dolanan-nusantara-borobudur/ https://telusuri.id/bermain-angklung-di-kampoeng-dolanan-nusantara-borobudur/#respond Thu, 29 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36760 Pagi itu belasan mobil VW Safari telah berjajar di area parkir Taman Rekreasi Mendut. Mobil-mobil ini menawarkan jasa berkeliling ke destinasi wisata yang berada di sekitar kawasan Candi Borobudur. Keberadaan VW Safari beberapa tahun belakangan...

The post Bermain Angklung di Kampoeng Dolanan Nusantara Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu belasan mobil VW Safari telah berjajar di area parkir Taman Rekreasi Mendut. Mobil-mobil ini menawarkan jasa berkeliling ke destinasi wisata yang berada di sekitar kawasan Candi Borobudur. Keberadaan VW Safari beberapa tahun belakangan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan Candi Borobudur, karena selain mengunjungi candi, mereka juga bisa mengelilingi kawasan Borobudur dan singgah di berbagai destinasi wisata lain.

Salah satu yang mengelola jasa wisata VW Safari adalah Pak Basir. Ia mulai membuka usaha ini pada tahun 2016 dengan bermodalkan tiga mobil VW Safari. Perjalanannya tidak mudah. Bahkan dua tahun pertama sempat terseok-seok hingga ia sempat berpikir untuk menjual ketiga mobilnya. Namun, ia kemudian mengurungkan niat tersebut dan memilih terus mempromosikan jasa wisata yang saat itu belum memiliki banyak kompetitor. Kesabarannya pun berbuah manis. Bermodal promosi yang cukup gencar di sosial media, VW Safari miliknya kian terkenal di kalangan wisatawan.

vw borobudur
VW Borobudur/Rivai Hidayat

Pak Basir menawarkan beberapa rute yang bisa wisatawan pilih, rute tersebut mayoritas masih di sekitar kawasan Borobudur. Jumlah destinasi dan lamanya berkeliling, tergantung paket wisata yang wisatawan pilih. Hari itu, saya dan beberapa rekan menjajal salah satu rutenya, dan tujuan kami yakni Kampoeng Dolanan Nusantara.

Kampoeng Dolanan Nusantara terletak di Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur. Berada di sebelah utara kawasan Candi Borobudur. Kampoeng Dolanan Nusantara pertama kali dibuka pada tahun 2013. Pak Abbet Nugroho, ialah sosok yang mendirikan dan mengelola tempat ini. Kampoeng Dolanan Nusantara berkonsep mengajak pengunjung bermain permainan tradisional dengan suasana pedesaan.

Di sini, saya melihat bermacam-macam permainan tradisional. Ada egrang, bakiak, gobak sodor, gasing, engklek, dakon, dan bekelan. Tidak hanya permainan tradisional, ada juga kelas menari, bernyanyi gending jawa, dan bermain alat musik seperti gamelan, juga angklung.

Siang itu Pak Abbet yang mengenakan baju lurik, blangkon berwarna hitam, dan kain sarung menyambut kehadiran kami. Usai bincang-bincang, beliau telah bersiap untuk memandu kami bermain angklung.

Pak Abbet memilih permainan angklung dengan nada harmonis. Jenis ini dipilih karena menghasilkan banyak nada dan sangat cocok dimainkan oleh banyak orang. Pak Abbet juga mengkombinasikan angklung dengan alat musik modern lainnya. Seperti gitar, drum, dan keyboard.

Sebelum memulai permainan, Pak Abbet memastikan semua peserta mendapatkan angklung sesuai dengan nomor atau kode angka yang tertera pada setiap angklung. Kode angka ini sesuai dengan nada yang akan dihasilkan oleh angklung tersebut. Mulai dari nada do, re, mi, fa, sol, la, si, hingga do tinggi.

Ia kemudian memberikan instruksi dengan kedua tangannya. Instruksi ini adalah tanda untuk peserta memainkan angklung sesuai dengan kode nomor yang ada di angklungnya. Instruksi inilah yang harus kami perhatikan selama bermain angklung.

Pak Abbet juga tidak lupa mengajarkan cara memegang dan memainkan angklung dengan benar. Hal ini perlu diajarkan agar angklung dapat menghasilkan nada dan suara yang sesuai. Peserta tidak langsung menyanyikan sebuah lagu, tetapi mulai dengan latihan kecil memahami instruksi yang ia berikan terlebih dulu.

Aku tidak langsung lancar dalam mengikuti setiap instruksi yang diberikan. Terkadang aku lupa dengan kode nomor yang ada di angklung. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertamaku memainkan alat musik yang berasal dari Sunda ini.

Setelah berlatih beberapa kali dan “cukup” lancar dalam mengikuti instruksi, Pak Abbet langsung mengajak kami untuk memainkan sebuah lagu. Siang itu kami berhasil memainkan beberapa lagu, salah satunya lagu Ojo Dibandingke ciptaan Abah Lala yang dinyanyikan oleh Farrel Prayoga. Lagu ini menjadi sangat terkenal ketika penyanyi cilik dari Kabupaten Banyuwangi itu menyanyikannya di depan Presiden Joko Widodo saat acara Peringatan HUT Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada 17 Agustus 2022 lalu.

Acara jadi semakin seru ketika ada beberapa peserta yang ikut bernyanyi dan menari mengikuti alunan lagu dan nada yang dihasilkan. Semua orang larut dalam keseruan itu.

Di Kampoeng Dolanan Nusantara peserta tidak hanya berkunjung, tetapi juga diajak untuk belajar dan terlibat langsung dalam permainan tradisional dan kesenian yang ada. Ini sesuai dengan apa yang dikembangkan di Kampoeng Dolanan Nusantara, yaitu wisata berbasis edukasi.

Menurut Pak Abbet, “Dalam permainan atau dolanan tradisional banyak mengajarkan budi pekerti luhur. Selain itu, banyak nilai positif yang terkandung dalam permainan tradisional. Mulai dari keterampilan, kejujuran, empati, sportivitas, gotong royong, hingga kerjasama. Hal ini seperti ini tidak didapatkan dalam bangku sekolah. Hal ini perlu ditanamkan ke generasi muda. Dengan mengikuti permainan tradisional, anak-anak akan juga memiliki ketangkasan fisik, dan tubuh yang sehat.”

Pak Abbet memberikan beberapa contoh nilai positif dalam permainan tradisional. Misalnya dalam permainan dakon yang mengajarkan para pemainnya untuk sportif. Mereka hanya boleh memberi. Tidak boleh nguntit atau mencuri. Contoh lain adalah permainan gobak sodor (go back to dor) yang membutuhkan kerjasama tim untuk mengalahkan lawan.

“Sudah seharusnya permainan tradisional perlu dilestarikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan anak.”

jajan di kampoeng dolanan
Jajan di Kampoeng Dolanan/Rivai Hidayat

Selain bermain angklung dan bernyanyi, aneka jajanan pasar menjadi sajian yang Pak Abbet suguhkan kepada kami. Semua tersaji dalam sebuah tampah berlapis daun pisang sebagai alas. Teh dan kopi menjadi pendampingnya.

Di halaman terdapat beberapa gazebo, meja, dan kursi panjang yang bisa digunakan untuk bersantai dan menikmati suasana khas pedesaan. Berada di Kampoeng Dolanan Nusantara seperti diajak balik lagi ke masa kecil. Masa dimana kami sering menghabiskan waktu dengan permainan tradisional.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bermain Angklung di Kampoeng Dolanan Nusantara Borobudur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bermain-angklung-di-kampoeng-dolanan-nusantara-borobudur/feed/ 0 36760
Menonton Pertunjukan Rawa Pening Performing Art 2021 https://telusuri.id/menonton-pertunjukan-rawa-pening-performing-art-2021/ https://telusuri.id/menonton-pertunjukan-rawa-pening-performing-art-2021/#respond Thu, 11 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31329 28 Oktober 2021 lalu, Badan Promosi Pariwisata Daerah Kabupaten Semarang menggelar pertunjukan seni Rawa Pening Performing Art 2021 di Objek Wisata Bukit Cinta. Pelaksanaan acara ini tidak lepas dari keberhasilan pemerintah kabupaten dalam menurunkan status...

The post Menonton Pertunjukan Rawa Pening Performing Art 2021 appeared first on TelusuRI.

]]>
28 Oktober 2021 lalu, Badan Promosi Pariwisata Daerah Kabupaten Semarang menggelar pertunjukan seni Rawa Pening Performing Art 2021 di Objek Wisata Bukit Cinta. Pelaksanaan acara ini tidak lepas dari keberhasilan pemerintah kabupaten dalam menurunkan status PPKM menjadi level 2 dan program vaksinasi yang sudah mencapai 79%. Tujuan diselenggarakannya acara yakni untuk memperkenalkan kembali pariwisata daerah yang sempat terpuruk akibat pandemi. Meski beberapa tempat wisata sudah membuka diri untuk wisatawan, namun penerapan protokol kesehatan ketat tak luput dari perhatian.

Dipilihnya Objek Wisata Bukit Cinta sebagai tempat penyelenggaraan acara karena letaknya yang berada di tepi Danau Rawa Pening. Pun, tempat ini berdekatan dengan destinasi wisata lain, seperti river tubing dan kolam renang di Muncul, serta kawasan perbukitan Sepakung. Sehingga acara ini diharapkan bisa mengenalkan destinasi wisata tersebut kepada peserta yang mengikuti Rawa Pening Performing Art 2021.

Aku mendapatkan kesempatan untuk menonton langsung Rawa Pening Performing Art 2021 bersama beberapa rekan. Pagi itu cuaca di Objek Wisata Bukit Cinta terlihat cerah. Suasana cukup ramai dengan banyaknya pengunjung yang datang. Sebelum memasuki objek wisata, pengunjung diwajibkan untuk mencuci tangan dan mengukur suhu tubuh terlebih dahulu.

Sejak selesai direnovasi, Objek Wisata Bukit Cinta terlihat lebih rapi dan ramai dikunjungi oleh wisatawan baik yang berasal dari sekitar itu maupun dari luar kota. Objek Wisata Bukit Cinta kini memiliki panggung terbuka yang biasa digunakan sebagai tempat pertunjukkan pagelaran seni dan budaya.

Sebelum acara dimulai, aku menyempatkan diri untuk berkeliling. Area pejalan kaki yang sangat nyaman dengan pagar pembatas yang dipasang mengelilingi area. Terdapat beberapa bangku yang bisa digunakan untuk bersantai dan sebuah dermaga yang penuh dengan perahu kecil.

Perahu-perahu ini milik warga sekitar yang bekerja sama dengan pengelola objek wisata dan pengunjung bisa menyewanya untuk berkeliling Danau Rawa Pening, melihat lebih dekat pemandangan barisan pegunungan yang ada. Tengoklah ada Gunung Merbabu, dan Gunung Telomoyo. Di beberapa sudut, tampak tersedia tempat untuk para pengunjung yang tertarik swafoto.

Setelah berkeliling, aku duduk bersantai di bangku yang menghadap ke arah Danau Rawa Pening. Pagi itu, banyak orang memancing di area danau dengan menggunakan perahu. Perahu-perahu yang membawa para pengunjung Bukit Cinta juga terlihat hilir mudik.

Rawa Pening Performing Art 2021 merupakan acara tahunan yang rutin diselenggarakan di Bukit Cinta. Pada tahun 2021, acara ini dimeriahkan oleh tiga sanggar tari yang berasal dari Kabupaten Semarang, yaitu Sanggar Amung Manunggal Budoyo, Sanggar Selo Songo Gedong Songo, dan Sanggar Genta Timur Mahardika.

  • Rawa Pening Performing Art
  • Rawa Pening Performing Art
  • Rawa Pening Performing Art

Penampilan pertama dibawakan oleh Sanggar Amung Manunggal Budoyo yang mementaskan Tarian Babad Suroloyo. Tarian ini menceritakan tentang kisah Selokantoro yang diperintahkan untuk mencari tempat pembuatan Candi Gedong Songo, yang bernama Suroloyo. Pesan yang ingin disampaikan dalam tarian ini adalah sikap amanah dan selalu memegang teguh wasiat dari pemimpin.

Salah seorang penarinya yang bernama Restu berhasil membuat para penonton kagum. Restu yang masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SD merupakan penari termuda. Bahkan Restu mendapat kesempatan untuk membawakan alat penabuh gong yang digunakan untuk acara pembukaan Rawa Pening Performing Art 2021 oleh Bupati Kabupaten Semarang.

Kemudian penampilan dari Sanggar Selo Songo Gedong Songo menyambut. Mereka membawakan Tarian Hasto Broto. Nama tarian ini terdiri dari dua kata, yaitu kata hasto yang berarti delapan, dan kata broto yang berarti perilaku atau perbuatan. Tarian Hasto Broto bercerita tentang delapan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu memberikan semangat kehidupan, bertindak penuh kasih sayang, bertanggung jawab, menanggapi keadaan negeri dan rakyatnya, murah hati, berani, tegas dan adil, menggunakan kekuasaan untuk melindungi rakyat dengan keamanan dan ketentraman, dan pemimpin harus mengendalikan dirinya.

Penampilan terakhir ditutup oleh Sanggar Genta Timur Mahardika yang membawakan Tari Baru Klinting Maneges. Tari ini bercerita tentang legenda terbentuknya Danau Rawa Pening. Tarian ini bercerita tentang seorang anak kecil yang bernama Baru Klinting. Anak tersebut dikucilkan oleh warga desa karena penampilannya yang buruk rupa dan menjijikan. Pada suatu ketika, Baru Klinting mencabut sebuah lidi yang ditancapkan ke tanah. Akibatnya sebuah mata air keluar dari dalam tanah dan akhirnya menenggelamkan desa beserta seluruh warganya. Akibat kejadian tersebut, terbentuklah sebuah danau yang sekarang dikenal dengan nama Danau Rawa Pening. 

Acara Rawa Pening Performing Art 2021 ini seperti mengobati rasa rinduku yang sudah lama tidak menyaksikan acara seni budaya secara langsung karena adanya pandemi. Seperti yang diharapkan banyak orang, aku berharap pandemi bisa segera berakhir agar sektor pariwisata dan kegiatan pariwisata bisa  kembali bangkit dan menggeliat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Menonton Pertunjukan Rawa Pening Performing Art 2021 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menonton-pertunjukan-rawa-pening-performing-art-2021/feed/ 0 31329
Hutan dari Garis Batas https://telusuri.id/hutan-dari-garis-batas/ https://telusuri.id/hutan-dari-garis-batas/#respond Thu, 28 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31157 Setelah sebelumnya berada di Desa Mawan, perjalananku di Kabupaten Kapuas Hulu berlanjut menuju Desa Benuis. Kedua desa ini sama-sama terletak dalam wilayah Kecamatan Selimbau. Meski berada di satu wilayah kecamatan yang sama, Desa Mawan dan...

The post Hutan dari Garis Batas appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sebelumnya berada di Desa Mawan, perjalananku di Kabupaten Kapuas Hulu berlanjut menuju Desa Benuis. Kedua desa ini sama-sama terletak dalam wilayah Kecamatan Selimbau. Meski berada di satu wilayah kecamatan yang sama, Desa Mawan dan Desa Benuis memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Desa Mawan terletak di daerah aliran Sungai Kapuas. Sedangkan Desa Benuis terletak di daerah perbukitan.

Setelah beberapa hari tinggal di Desa Benuis, warga desa mengajakku untuk masuk ke area hutan. Pak Lahan, Pak Lampuk, dan Pak Lebak—warga Desa Benuis—akan menemaniku trekking. Ketiganya berusia lebih dari 50 tahun dan merupakan warga Dusun Lidung, salah satu dusun yang ada di Desa Benuis.

Jalan Tani menjadi salah satu akses menuju area hutan. Baru trekking beberapa menit, aku langsung disuguhi pemandangan sungai yang mengalir. Airnya terlihat sangat jernih dan arusnya tidak deras. Sungai ini bernama Sungai Mayan. Lebar sungai sekitar 5-6 meter. Terlihat sebuah batang pohon dengan diameter 30 cm melintang dan menghubungkan kedua tepi sungai. Awalnya aku mengira bakal trekking dengan sedikit menyusuri aliran sungai dan kemudian memasuki area hutan. Ternyata perkiraanku salah.

Hutan di Desa Benuis
Hutan di Desa Benuis/Rivai Hidayat

Aku baru sadar jika batang kayu tersebut dimanfaatkan sebagai jembatan titian untuk menyeberangi sungai. Pak Lahan yang diikuti kedua anjingnya mulai berjalan melintasi di atas jembatan titian tersebut. Sedangkan Pak Lampuk sudah berada di seberang sungai. Aku tidak tahu kapan Pak Lampuk mulai melintasi jembatan titian ini. Pak Lahan dan kedua anjingnya dapat menyeberangi sungai dengan lancar. Meskipun air sungai terlihat membasahi sebagian jembatan titian. Ini merupakan pengalaman pertamaku menyeberangi sungai dengan menggunakan jembatan titian berupa batang kayu.

Setelah menyeberangi sungai, kami akan memasuki area perkebunan warga. Pak Lahan dan Pak Lampuk mengambil posisi di depan. Sedangkan aku di tengah dan Pak Lebak di barisan belakang. Berbeda dengan kedua temannya yang menggunakan sepatu, Pak Lebak hanya menggunakan sepasang sandal jepit. Namun, hal tersebut tidak memperlambat langkah kakinya.

Tidak lama lagi kami akan memasuki area hutan. Pohon-pohon tumbuh lebat dan menjulang ke atas. Lebatnya hutan membatasi sinar matahari untuk masuk. Terkadang tanah yang kupijak masih terasa lembab dan basah. Tidak hanya karena hujan semalam, tapi juga karena sulitnya sinar matahari menembus lebatnya hutan untuk mengeringkan permukaan tanah.

Tanah yang subur dan banyaknya pepohonan yang tumbang membuat tumbuhan lumut dan tumbuh dengan baik. Tidak hanya tumbuhan perintis ini, tumbuhan jamur juga tumbuh dengan subur dan liar seperti di musim hujan. Koloni semut juga menjadikan batang pohon yang tumbang sebagai sarang mereka. Setiap aku melangkah, aku bisa dengan mudah melihat tumbuhan kantong semar tumbuh subur di hutan ini. Bagi para pendaki gunung dan penjelajah hutan, air yang ada di kantong tumbuhan ini biasa dimanfaatkan sebagai sumber air yang langsung bisa diminum.

Setelah trekking selama 1 jam, akhirnya kami tiba di sebuah lokasi yang menjadi titik akhir perjalanan ini. Titik ini merupakan sebuah persimpangan jalan setapak untuk menuju desa-desa yang berbatasan dengan Desa Benuis. Beberapa pohon besar menjadi penanda persimpangan jalan ini. Sedangkan untuk mencapai batas desa masih diperlukan trekking selama beberapa jam lagi.

Sembari beristirahat, bapak-bapak ini mengeluarkan tembakau kering dan melintingnya ke dalam sebuah kertas rokok. Berbeda dengan dua kawannya, Pak Lebak memilih untuk memasukkan potongan tembakau dalam pipa rokoknya yang terbuat dari kayu. Sedikit dipadatkan, kemudian menyulutnya dengan korek api. Aroma dan asap tembakau menyeruak dalam obrolan kami. Bagi Pak Lebak, merokok dengan cara ini terasa lebih nikmat dan murah, dibandingkan menyesap rokok biasa.

  • Sungai Mayan di Desa Benuis
  • Sungai Mayan di Desa Benuis
  • Sungai Mayan di Desa Benuis

Perjalanan trekking ke hutan ini awalnya tidak masuk dalam rencanaku. Semuanya bermula ketika aku melihat peta wilayah Desa Benuis. Bagian utara dan selatan desa terdapat area hutan yang sangat lebat, kemudian warga desa menawariku untuk trekking ke area hutan yang ada di sebelah utara desa. Di area hutan ini terdapat batas-batas yang memisahkan  antara Desa Benuis dengan desa-desa lainnya. Setiap tanda batas dapat dikenali dengan baik. Tanda batas di Desa Benuis kebanyakan masih menggunakan tanda batas dari alam seperti pohon dan aliran sungai.

Kesepakatan tanda batas wilayah antar desa kemudian disahkan dalam sebuah berita acara narasi batas desa. Berita acara ini ditandatangani oleh kepala desa, perwakilan perangkat desa, dan tokoh masyarakat dari desa-desa yang berbatasan. Narasi batas desa ini merupakan sebuah bentuk penetapan dan penegasan wilayah administrasi sebuah desa.  Fungsinya menghindari terjadinya sengketa, dan konflik perbatasan antar desa. Jika batas antar desa yang berbatasan belum menghasilkan sebuah kesepakatan, maka desa-desa tersebut belum bisa memiliki berita acara narasi batas desa. Sederhananya, desa-desa tersebut masih memiliki masalah atau sengketa batas desa dengan desa lainnya.

Seiring berkembangnya teknologi, batas-batas desa yang tertuang dalam berita acara, narasi batas desa diperbarui dengan menggunakan sebuah pilar atau patok tapal batas dan data titik koordinat. Hal ini untuk memudahkan untuk penelusuran batas desa. Selain itu, setiap pilar juga terdapat data koordinat yang dicantumkan dalam narasi batas desa. Pilar-pilar dan titik koordinat jika dihubungkan akan membentuk suatu garis batas. Selain itu, sebuah batas desa juga berfungsi sebagai penghubung, sekaligus pemisah antar desa. Garis batas ini juga mempengaruhi kehidupan warga yang berada dalam wilayah ini.

Desa Benuis, 18 Januari 2021.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Hutan dari Garis Batas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hutan-dari-garis-batas/feed/ 0 31157
Berkenalan dengan Orang-Orang Desa Mawan https://telusuri.id/orang-orang-desa-mawan/ https://telusuri.id/orang-orang-desa-mawan/#respond Sat, 10 Jul 2021 06:57:57 +0000 https://telusuri.id/?p=29154 Selepas istirahat, aku dan temanku bergegas menuju sebuah dermaga untuk bertemu dengan Pak Jeni. Ia seorang kepala desa dari Desa Mawan. Setelah semua perlengkapan dimasukkan ke perahu cepat, kami langsung berangkat menuju Desa Mawan. Desa...

The post Berkenalan dengan Orang-Orang Desa Mawan appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas istirahat, aku dan temanku bergegas menuju sebuah dermaga untuk bertemu dengan Pak Jeni. Ia seorang kepala desa dari Desa Mawan. Setelah semua perlengkapan dimasukkan ke perahu cepat, kami langsung berangkat menuju Desa Mawan.

Desa Mawan terletak di Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Perjalanan menuju Desa Mawan memakan waktu sekitar 45 menit dari dermaga yang berada di Desa Gudang Hulu, Selimbau. Perahu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju Desa Mawan. Tidak ada jalur darat. Semuanya melalui sungai. Termasuk menyusuri Sungai Kapuas dan sungai-sungai kecil lainnya.

Setelah melintasi Sungai Kapuas, perahu kami memasuki nanga Danau Mawan. Nanga merupakan pertemuan dua aliran sungai. Nanga ini akan membawa kami menuju Danau Mawan, letak Desa Mawan berada.

Perjalanan menuju Desa Mawan Desa Mawan, Kapuas Hulu
Perjalanan menuju Desa Mawan Desa Mawan, Kapuas Hulu/Rivai Hidayat

Suasana Desa Mawan, Kapuas Hulu

Nama Mawan diambil dari nama danau tempat warga ini bermukim. Area pemukiman warga berada di tepi danau. Dengan beberapa kali dayung, perahu bersandar di dermaga kecil yang terletak di seberang rumah Pak Jeni. Semua peralatan yang kami bawa telah diturunkan dari perahu. Selama di Desa Mawan, kami tinggal di rumah Pak Jeni.

“Anggap saja kayak di rumah sendiri, Mas.” Ujar Pak Jeni sembari mengajak kami masuk ke rumahnya.

Pak Jeni bercerita bahwa Desa Mawan dahulunya merupakan sebuah dusun dari Desa Nibung. Kemudian mengalami pemekaran menjadi sebuah desa dalam wilayah Kecamatan Selimbau. Pak Jeni menjabat kepala desa sudah dua periode dan sekarang memasuki periode ketiganya.

Seperti di Selimbau dan desa pesisir sungai lainnya, rumah-rumah di Desa Mawan berbentuk rumah panggung dengan pondasi berupa kayu. Jalan desa berupa jembatan kayu yang mengelilingi area pemukiman warga. Desa Mawan terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Kuala Kapar dan Dusun Teluk Kuala.

Desa Mawan bebas dari kendaraan bermotor. Sepeda atau berjalan kaki menjadi pilihan warga ketika melakukan aktivitas di desa. Jaringan listrik milik negara belum yang masuk ke desa ini. Listrik desa masih menggunakan mesin diesel milik desa yang menyala mulai pukul 18.00 hingga 22.00.

Beberapa rumah memasang panel surya sebagai sumber listrik mereka. Selain jaringan listrik, sinyal telepon dan internet juga sangat sulit. Hanya ada di beberapa titik sinyal bisa diterima dengan baik. Warga desa biasa menggunakan perangkat tambahan untuk mendapatkan sinyal telepon.

Mayoritas warga Desa Mawan bekerja sebagai nelayan. Baik itu sebagai nelayan tangkap, maupun nelayan budidaya. Ikan patin dan ikan toman merupakan ikan yang dibudidayakan di desa ini. Ikan budidaya ini akan dijual jika beratnya sudah lebih dari 1 kg. Jika berat kurang dari 1 kg, keuntungan yang didapat tidak banyak.

Ikan budidaya ini diletakkan dalam sebuah keramba yang berada di tepi danau. Para tengkulak setiap beberapa minggu sekali akan datang ke Desa Mawan untuk membeli ikan. Jauh di pinggiran desa terdapat sekelompok warga yang sedang membuat perahu kayu dengan panjang sekitar 8-9 meter. Terlihat beberapa kapal sedang diproduksi oleh mereka.

Perjalanan menuju Desa Mawan Desa Mawan, Kapuas Hulu
Suasana Desa Mawan Desa Mawan, Kapuas Hulu/Rivai Hidayat

Orang-orang di Desa Mawan

Sehari berada di sini aku mulai berkenalan dengan para perangkat desa yang akan membantuku. Salah satunya adalah Pak Sulardi atau biasa disapa dengan nama Pak Sul. Beliau merupakan Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Mawan. Berdasarkan cerita Pak Sul, warga Desa Mawan mayoritas merupakan keturunan suku melayu dan seorang muslim.

Warga Desa Mawan dulunya adalah para pendatang. Para nelayan yang berasal dari desa-desa di sekitar Danau Mawan. Hasil ikan yang berlimpah membuat para nelayan ini mendirikan hunian sementara di sekitar danau. Para nelayan ini berpikiran daripada bolak-balik, lebih hemat jika tinggal di sekitar danau. Seiring berjalannya waktu, para nelayan ini akhirnya memilih menetap di sekitar danau. Mendirikan rumah permanen dan hidup secara berkelompok di Danau Mawan.

Keluarga Pak Sul juga merupakan orang pendatang. Namun, bukan dari desa-desa di sekitar Selimbau atau Danau Mawan. Ayah Pak Sul berasal dari sebuah desa di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekitar tahun 1977, Pak Yakob, ayah dari Pak Sul, yang berprofesi sebagai seorang guru mendapatkan tugas untuk mengajar di Desa Mawan. Pengabdian sebagai seorang pengajar membawa Pak Yakob di desa ini. Beliau diberi amanah untuk mengajar murid-murid Sekolah Dasar (SD). Pak Yakob yang datang sebagai seorang Nasrani akhirnya memilih untuk jadi mualaf dan menikahi seorang perempuan dari desa ini. Pak Yakob menetap di Desa Mawan hingga akhir hayatnya.

Perjalanan menuju Desa Mawan Desa Mawan, Kapuas Hulu
Senja di Desa Mawan Desa Mawan, Kapuas Hulu/Rivai Hidayat

Orang Melayu yang identik dengan kulit kuning tidak terlihat dalam diri Pak Sul. Pak Sul yang memiliki kulit lebih gelap dan badan yang besar yang menjadi ciri khas orang-orang timur. Penampilan Pak Sul merupakan turunan dari Pak Yakob yang asli orang timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pengiriman tenaga pengajar atau guru ke pelosok negeri ternyata sudah berlangsung lama. Pak Yakob, dkk menjadi kelompok pertama pertama yang dikirim ke daerah Selimbau dan sekitarnya. Saat itu akses jalan belum ada. Menerabas hutan dan menyusuri sungai dengan perahu menjadi pilihan utama bagi warga yang ingin berpergian.

“Sawah yang kita temui tadi, dahulunya dibuat oleh orang Jawa, Mas.” Kata Pak Sul.

Mereka didatangkan dari Jawa untuk membantu warga Desa Mawan dalam pembuatan sawah. Mulai dari tanah garapan, irigasi, hingga galangan sawah yang menjadi pembatas antar petak sawah. Sekarang sawah-sawah ini merupakan tanah milik desa dan warga diberi hak untuk mengelolanya.

Aku mulai tenggelam dalam cerita Pak Sul dan warga lainnya. Warga Desa Mawan berkomunikasi menggunakan Bahasa Melayu Hulu. Aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Namun, aku sangat menikmati pembicaraan mereka. Nada bicara yang meninggi merupakan hal yang biasa di sini. Beberapa kali Pak Sul menjelaskan tentang maksud pembicaraan mereka. Aku pun juga diajari beberapa kata bahasa mereka. Seperti kata auk yang berarti iya, nuan yang berarti kamu, dan magang yang berarti saja.

Cerita dari Kapuas.
Desa Mawan, 25 Desember 2020.

The post Berkenalan dengan Orang-Orang Desa Mawan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/orang-orang-desa-mawan/feed/ 0 29154
Menelusuri Jejak Bosscha di Pangalengan https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-pangalengan/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-pangalengan/#respond Fri, 17 Jan 2020 08:31:28 +0000 https://telusuri.id/?p=19336 Rumah Bosscha memang tidak sepopuler Observatorium Bosscha. Observatorium yang terletak di Lembang itu selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan di akhir pekan, berbeda dari Rumah Bosscha di Pangalengan. Namun, jika ingin menelusuri kisah perjalanan Karel Albert...

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Pangalengan appeared first on TelusuRI.

]]>
Rumah Bosscha memang tidak sepopuler Observatorium Bosscha. Observatorium yang terletak di Lembang itu selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan di akhir pekan, berbeda dari Rumah Bosscha di Pangalengan. Namun, jika ingin menelusuri kisah perjalanan Karel Albert Rudolf (K.A.R.) Bosscha, sudah sepatutnya kamu mengunjungi Rumah Bosscha.

Sebelum berkunjung ke Rumah Bosscha, aku berkeliling Perkebunan Teh Malabar terlebih dahulu. Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar tahun 1896 di lahan seluas sekitar 2.000 Ha. Perkebunan teh ini adalah salah satu yang tertua di Indonesia. Pabrik pengolahan tehnya masih beroperasi hingga saat ini.

Selain berkeliling kebun teh, aku juga menuju Bukit Nini. Ini adalah puncak perbukitan di Perkebunan Teh Malabar yang menjadi tempat favorit Bosscha. Untuk ke Bukit Nini, kita bisa menyusuri perkebunan teh atau melewati jalan untuk kendaraan bermotor.

Jalan menuju Bukit Nini/Rivai Hidayat

Di puncak Bukit Nini terdapat sebuah gazebo yang bisa digunakan untuk menikmati pemandangan berupa hamparan kebun teh. Saat aku tiba, terlihat dua orang bapak-bapak yang bertugas menjaga perkebunan teh. Keduanya menyambut kedatanganku dan teman-teman dengan sangat ramah. Aku pun menyempatkan diri untuk mengobrol dengan salah seorang dari mereka. Ia bercerita banyak hal tentang Bukit Nini, mulai dari pemandangan matahari terbit di atas Bukit Nini, aktivitas perkebunan teh, jalur yang biasa digunakan kendaraan bermotor untuk mencapai puncak bukit, hingga tentang bukit ini yang ramai dikunjungi di akhir pekan untuk menikmati matahari terbit.

Gazebo di puncak Bukit Nini/Rivai Hidayat

Rumah Bosscha di Pangalengan berada di kawasan Perkebunan Teh Malabar. Rumah yang dibangun tahun 1894 di zaman kolonial ini bergaya Eropa. Karena dibangun di daerah dataran tinggi yang memiliki udara dingin, Rumah Bosscha punya langit-langit yang tidak terlalu tinggi dan dilengkapi dengan cerobong asap. Tujuannya agar rumah tetap hangat. Semua barang di rumah ini merupakan peninggalan Bosscha. Semuanya terawat dengan baik, termasuk piano Zeitter & Winkelmann buatan 1837 yang masih bisa dimainkan.

Aku bertemu dengan salah seorang petugas keamanan yang menjaga Rumah Bosscha. Sudah lebih dari lima tahun ia bekerja di sini. Rumahnya juga berada di sekitar Perkebunan Teh Malabar. Pak Ujang bercerita banyak hal tentang Rumah Bosscha dan Perkebunan Teh Malabar, mulai dari kondisi rumah, makam Bosscha yang terletak tidak jauh dari sana, pengelolaan dan alih fungsi lahan perkebunan, penggunaan gunting untuk memetik daun teh, hingga beberapa wisatawan mancanegara yang datang ke Rumah Bosscha.

Siang itu aku melihat satu rombongan turis mancanegara datang ke Rumah Bosscha. Menurut petugas keamanan tersebut, hampir tiap bulan selalu ada wisatawan dari Belanda yang singgah ke rumah ini untuk makan siang dan berziarah ke leluhur mereka. Bangsa Belanda memang sangat menghormati leluhur mereka, salah satunya dengan cara mengunjungi gedung-gedung peninggalan Belanda yang tersebar di berbagai daerah.

Rumah Bosscha dengan pekarangan rumput yang luas/Rivai Hidayat

Rumah Bosscha dan Perkebunan Teh Malabar sekarang dikelola oleh PTPN VIII. Ada beberapa kamar yang bisa disewa oleh masyarakat umum. Terkadang Rumah Bosscha digunakan sebagai tempat gathering. Jika langit sedang berpihak, pengunjung bisa trekking ke Bukit Nini untuk menikmati pemandangan matahari terbit dan hamparan Perkebunan Teh Malabar.

Nama Bosscha memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Kota Bandung pada zaman dulu. Banyak hal yang telah dilakukannya demi perkembangan Kota Bandung, semisal ikut mendirikan Technische Hoogeshool te Bandoeng (sekarang ITB) dan merintis pembangunan Observatorium Bosscha. Berkat jasa-jasanya, K.A.R. Bosscha dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama Kota Bandung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Bosscha di Pangalengan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-bosscha-di-pangalengan/feed/ 0 19336