Rizka Nur Laily Muallifa https://telusuri.id/author/rizka-nur-laily-muallifa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 17 Aug 2019 10:30:19 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Rizka Nur Laily Muallifa https://telusuri.id/author/rizka-nur-laily-muallifa/ 32 32 135956295 Tercengang di Pasar Ngat Paingan https://telusuri.id/tercengang-di-pasar-ngat-paingan/ https://telusuri.id/tercengang-di-pasar-ngat-paingan/#respond Sun, 24 Feb 2019 23:07:51 +0000 https://telusuri.id/?p=11885 Menjelang pungkasan 2018, mata telusur menjumpai unggahan Instagram @agendasolo yang mengabarkan keriangan Pasar Ngat Paingan di Boyolali. Bulan berikutnya, saya iseng pergi ke kawasan lereng Merapi, bermaksud menelusuri keberadaan pasar warga yang digelar pada Minggu...

The post Tercengang di Pasar Ngat Paingan appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjelang pungkasan 2018, mata telusur menjumpai unggahan Instagram @agendasolo yang mengabarkan keriangan Pasar Ngat Paingan di Boyolali. Bulan berikutnya, saya iseng pergi ke kawasan lereng Merapi, bermaksud menelusuri keberadaan pasar warga yang digelar pada Minggu Pahing itu, sekalian, barangkali, dapat memperbarui khazanah pengetahuan sosioekonomi bertaut Kabupaten Saudagar Sapi.

Selama tinggal di Solo sejak 2014, saya lebih mengenal Boyolali dalam term susu segar yang tendanya tergelar di penjuru kota. Konstruksi tenda-tenda penyedia susu segar hampir selalu serupa—kain putih dengan paduan tulisan warna hijau dan biru menjadi penanda; nasi bandeng; beragam tusukan; sampai jajanan pasar. Pokoknya tenda itu sudah mirip toko serba ada. Ada segala rupa.

Sekitar pukul 09.30 WIB diri sampai di tempat tujuan, Dusun Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, tentu saja berkat bantuan aplikasi telusur peta dan beberapa kali ajuan pertanyaan kepada warga di kiri-kanan jalan. Di Pasar Ngat Paingan sudah ada gelaran tari yang ditampilkan enam anak perempuan, kira-kira usia sekolah dasar.

Anak-anak yang menari mengenakan kostum unik/Rizka Nur Laily Muallifa

Anak-anak penari itu mengenakan aksesori yang terbuat dari hasil panen warga. Aksesori yang dipasang melingkar pinggang terbuat dari sawi, gelang tangan dan kaki dari daun pisang, kalung dari terong. Gelaran tari itu mendekonstruksi aksesori penari yang jamak kita jumpai. Di lingkungan tinggal di mana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, gelaran tari dengan pendayagunaan beragam hasil panen sebagai aksesosi itu menjadi kontekstual, menggelitik mata pandang wisatawan dari kota seperti saya.

Tren desa wisata

Zaman kiwari tak cuma meracuni masyarakat perkotaan dengan kegiatan pamer aktivitas makan atau sekadar nongkrong sambil pesan segelas kopi di sejumlah restoran dengan jenama tersohor. Masyarakat perkotaan juga jadi doyan pelesiran menjamah alam, mendaki gunung, berkemah di pantai, menelusuri kebun teh. Semuanya demi ikhtiar memperoleh foto berkualitas bagus untuk diunggah di pelbagai media sosial. Foto itu gengsi sosial. Hal-hal di luar kepentingan berfoto sudah diibaratkan elegi.

Sejak ponsel pintar dan internet bukan hal yang eksklusif-eksklusif banget, keberadaannya sudah sampai ke desa-desa. Tapi gaung penggunaannya tetap belum mampu mengalahkan kehidupan berponsel masyarakat kota. Masyarakat desa paling santer, ya, mengerti Facebook. Beberapa di antaranya ada pula yang mulai coba-coba Instagram. Itu pun keterhubungannya terbatas pada lingkungan satu rukun tetangga, desa, atau tingkat kecamatan yang mewujud dalam grup WhatsApp arisan.

Langgam Jiwa/Rizka Nur Laily Muallifa

Kendati demikian, selalu kita jumpai sosok yang cukup berwawasan di suatu lingkungan masyarakat. Menanggapi peristiwa gandrung berfoto yang melanda masyarakat perkotaan, sosok-sosok inilah yang akhirnya memprakarsai tumbuhnya sekian desa wisata. Hal ini juga terjadi di Dusun Dangean, sampai akhirnya muncul kegiatan bertajuk Pasar Ngat Paingan yang digelar tiap empat puluh hari sekali.

Pasar ini digelar di tempat berbeda menggunakan asas giliran, dari dusun satu ke dusun lain. Kebahagiaan seperti tumpah di satu tempat setiap kali pasar dihelat. Para warga kompak mengenakan pakaian adat seperti baju lurik, udeng, blangkon, kebaya, jarik, caping. Stan-stan dari bambu dan jerami didirikan memanjang di kanan-kiri jalan dusun. Ibu-ibu berbagi keceriaan saling mencoba makanan dan minuman yang mereka sajikan.

Ngat Paingan itu ujud kesadaran bersinergi. Warga berani mengeluarkan modal di awal baik untuk bergadang, meninggalkan sekejap kesibukannya menggarap lahan, juga berbagi antarsesama. Gagasan menjadikan Ngat Paingan sebagai ikon desa wisata tak mungkin lekas berbuah manis, bila salah satu indikatornya ialah banyaknya wisatawan yang berkunjung ke sana. Perlu proses yang diimbangi dengan konsistensi dan kejutan-kejutan berbasis lokal demi meraih mata simpati wisatawan.

Menumbuhkan Kebahagiaan

Stan Mukira/Rizka Nur Laily Muallifa

Kedatangan saya pada Desember 2018 lalu itu merupakan Ngat Paingan yang kedua. Beberapa wisatawan yang tampaknya datang dari kota menyisir tiap stan, menciptakan obrolan, memperkarakan dagangan, sebelum akhirnya membeli pelbagai makanan tradisional seperti pecel gendar dan dawet. Di kejauhan, saya melihat stan yang menjual minuman herbal. Mukirah, perempuan paruh baya empunya stan itu begitu energik. Kepada setiap orang yang melintasi stannya, ia menawarkan untuk mencicipi minuman herbal racikannya.

Segelas air berwarna cokelat beraroma jahe dengan serutan kelapa muda dan kacang goreng. Di Solo, kita mengenal minuman yang begitu itu dengan nama wedang ronde. Mukirah kemudian menawarkan bulatan-bulatan berwarna merah muda—besarnya mirip bulatan-bulatan pada wedang ronde—untuk melengkapi sensasi minuman herbal racikannya. Rupanya itu hasil eksperimen Mukirah. Di rumah, ia memiliki pohon buah naga yang sedang rajin berbuah. Selain langsung dimakan atau dibuat jus, sebagian buah naga itu dihancurkan untuk dicampur dengan tepung ketan. Adonan itu kemudian dibentuk bulat-bulat dan bagian dalamnya diisi gula aren.

Kami berbincang cukup asyik sampai akhirnya muncul laki-laki bercambang lebat mengenakan kaos bertuliskan National Geographic. Ia Mardiyono, suami Mukirah. Sejujurnya, saya tercengang dan lekas membuat praduga bahwa yang saya hadapi pastilah sepasang suami-istri yang cukup baik pengetahuannya. Dugaan saya tak keliru. Pasangan ini ternyata tengah memulai kegiatannya mengembangkan perpustakaan anak di samping rumahnya.

Perpustakaan anak yang dikelola Mardiyono dan Mukirah/Rizka Nur Laily Muallifa

Konsep perpustakaannya menyenangkan. Setiap kali ada anak yang ingin membaca buku, ia diwajibkan membawa satu botol kosong. Botol-botol kosong ini kemudian akan dimanfaatkan untuk menanam tumbuh-tumbuhan. Sebab, selain mengembangkan perpustakaan, pasutri ini juga memiliki kebun tanaman herbal. Setiap Jumat anak-anak yang berkunjung ke perpustakaan akan mendapatkan jus buah gratis. Buah-buah yang dijus itu berasal dari kebun miliknya.

Mukirah yang senang bergelut dengan dunia anak-anak ingin menularkan kegemaran membaca kepada belia-belia di desa tempat tinggalnya. Ia juga merancang program-program khusus seperti hari mewarnai dan menggambar. Pelbagai pengetahuan ia dapatkan dari kegemarannya membaca sejak muda. Pengalaman berbuku menciptakan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya. Kebahagiaan itulah yang ingin ia tularkan kepada anak-anak di lingkungan tinggalnya. Tsah!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tercengang di Pasar Ngat Paingan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tercengang-di-pasar-ngat-paingan/feed/ 0 11885
Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/ https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/#respond Mon, 21 Jan 2019 15:15:50 +0000 https://telusuri.id/?p=11442 April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan...

The post Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar appeared first on TelusuRI.

]]>
April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan lain dengan “orang-orang besar” yang baru terjadi seusai mereka tutup usia.

Kendati tidak bisa bertemu untuk menuai kuncup-kuncup pengetahuan langsung darinya, informasi tentang sosok dan karya Bagong terdokumentasi dengan sangat baik. Ini tampak ketika saya menghadiri pameran arsip bertajuk Ruang Waktu Bagong Kussudiardja. Pameran berlangsung pada 29 September-3 November 2018 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, Yogyakarta.

Pameran arsip itu menjadi demikian penting untuk mengetahui dan, lebih jauh lagi, mempelajari kesungguhan Bagong dalam berkesenian. Salah satu sumber primer pameran arsip itu adalah arsip pribadi Bagong. Artinya, Bagong memiliki kesadaran akan perlunya kegiatan mengarsip. Ia mencoba mendisiplinkan dirinya untuk melakukan kerja pengarsipan berkenaan dengan karya-karyanya, mulai dari surat-surat kerjasama, surat keputusan, surat undangan, foto-foto perjalanan atau peristiwa kesenian, foto pertemuannya dengan para tokoh dunia, catatan seminar, pola lantai karya koreografinya, dan sejumlah artikel/naskah untuk pertunjukan, untuk media cetak, maupun untuk buku.

Mengutip Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran arsip Ruang Waktu Bagong Kussudiarja, bentangan arsip itu menunjukkan posisi Bagong dalam situasi: dilihat-melihat, dibaca-membaca, ditulis-menulis, dan difoto/direkam-memfoto/merekam.

Sosok Bagong yang dikenal sebagai seniman lintas skena itu kiranya mewujud dalam konsep PSBK. Kita melihat PSBK sebagai ruang berkesenian yang luwes merespon berbagai jenis kesenian—tari, musik, teater, rupa. Dus, perwajahan PSBK kini jelas tak bisa lepas dari semangat Bagong mengimani kesenian sebagai pilihan yang diupayakan dekat dan menjadi milik bersama masyarakat.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
“Deathline” karya Nurina Susanti/Rizka Nur Laily Muallifa

Dalam diskusi Public Lecture (27/10) lalu, diri ini, sebagai awam, mendapat cukup informasi mengenai persinggungan karya-karya Bagong dengan masyarakat. Beberapa tari ciptaan Bagong menjadi milik masyarakat di daerah-daerah tertentu, maksudnya diakui menjadi tarian daerah. Bagong tak pernah mempermasalahkan hal yang demikian. Ia justru senang ketika karyanya dapat diterima dan masih terus dipelajari dalam irama kehidupan bermasyarakat.

Seni tumbuh

Keinginan Bagong itu dengan mudah kita temui dalam kegiatan-kegiatan di PSBK, salah satunya ialah keberadaan program residensi seniman. Program hasil kerjasama PSBK dan Bakti Budaya Djarum Foundation itu setiap tahun membuka kesempatan bagi para seniman terpilih. Program tersebut jelas memberi ruang kepada masyarakat (dalam hal ini seniman dari berbagai daerah) untuk berproses seni bersama di PSBK.

Ihwal ini tidak bisa tidak bertaut dengan gagasan yang melatari Bagong menginisiasi padepokan seni. “Gagasan saya mendirikan padepokan ini muncul di benak saya ketika saya mengikuti pengambilan gambar film “Al-Kautsar” di sebuah pesantren. Saya benar-benar terkesan oleh kehidupan pesantren, hubungan antara yang mendidik dan yang dididik, keseharian para santri, kedisiplinannya, kerja keras mereka untuk mendapatkan ilmu dari para guru mereka, pengabdian mereka pada pesantrennya. Banyak. Di situlah saya mulai tergugah. Betapa baiknya pendidikan pesantren ini ditiru” (1993: 217).

PSBK kemudian menjadi ruang bertumbuhnya karya-karya para seniman. Salah satu kegiatan dengan tajuk Proyek Rupa Tumbuh 2018 menggagas pameran seni rupa karya para seniman residensi, yang secara puitis diberi judul “Menakar yang Gentar dan Gemetar.”

“Menakar yang Gentar dan Gemetar” dalam tujuh karya dari tujuh seniman

Dalam “Menakar yang Gentar dan Gemetar,” penikmat seni menjumpai tujuh karya dari tujuh seniman residensi yang berhasil bertahan. Konon, berdasar cerita dari salah seorang seniman, pada mulanya program residensi yang dimulai akhir tahun lalu itu diikuti oleh sepuluh seniman. Seorang di antaranya tidak dapat melanjutkan program tumbuh bersama di masa-masa awal, disusul dua seniman lain yang mundur atas pertimbangan-pertimbangan khusus oleh seniman yang bersangkutan. Tapi itu tak pernah jadi soal yang terlalu penting.

Tujuh karya yang dipamerkan demikian menarik keingintahuan penikmat seni. Pameran kali ini menarik justru bukan semata karena persoalan estetis atau keindahan karya yang terpajang, melainkan oleh apa-apa yang ada di balik lahirnya masing-masing karya.

Sampai di ruang pameran, saya disambut “Deathline” karya Nurina Susanti. Seniman rupa kelahiran Magetan ini bergelut dengan pandangan dan pengalaman diri dan orang-orang di sekitarnya—lebih banyak anak-anak muda—(serta yang diperolehnya ketika) mengalami hari-hari hiruk-pikuk berkarya dan/atau berkegiatan.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
Caping-caping Sri Kasih Hasibuan/Rizka Nur Laily Muallifa

“Deathline” lahir berkat hari-hari gamang saat “diburu” waktu untuk lekas menyelesaikan karya guna dipamerkan dalam Proyek Rupa Tumbuh; karya ini adalah hasil pengenalan dan pengalaman dirinya saat bersinggungan dengan ragam tenggat. Selesai dengan dirinya, ia hadir kepada teman-temannya, mula-mula memberi pertanyaan, menanggapi jawaban teman dengan pernyataan dan/atau gagasan berkenaan dengan karya yang ingin ia kerjakan. Di situ terjadi alih pengalaman personal dan diskusi. Dua hal yang saya pikir sangat mungkin mendasari penciptaan sebuah karya, apa pun itu.

Bergeser dari karya Nurina yang terasa begitu “muda”—atau justru “anak-anak”—yang bernuansa riang gembira, penikmat bertemu karya Wijil Sinang Purba Waluya. Sinang adalah penulis naskah, aktor, dan sutradara film. Dengan kata lain, Sinang bukan seniman rupa.

Karya itu ialah diri Sinang sendiri, yakni pakaian cokelat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan nuansa rebel. Konon, orangtua Sinang ingin anaknya menjadi PNS. Sementara dalam diri Sinang, PNS itu karib dengan hal-hal formil. Maka ia mengambil satu yang mencolok, seragam. Seragam yang dipajang tampak riuh oleh pin-pin pertanda jabatan di salah satu lengan, sementara lengan lainnya dipenuhi pin-pin simbol kebebasan (untuk tidak mengatakan terkekang oleh aturan) ala Sinang. Beberapa hiasan lucu berwarna merah muda juga kita jumpai di karya Sinang. Barangkali Sinang ingin mengenalkan dirinya, bahwa ia seorang rebel yang hatinya lembut.

Sri Kasih Hasibuan, seniman tari dan teater asal Medan bermain dengan caping dan kain-kain dengan beberapa teknik seperti lilit dan rajut. Pilihannya menggunakan media caping berkelindan dengan kisah ibunya yang seorang petani. Sementara, kain-kain dengan teknik lilit dan rajut yang berwarna-warni ialah gambaran dirinya mengalami beragam hal dalam perjalanan berkesenian. Pilihan kain yang beragam warna boleh kita anggap sebagai jiwa Kasih yang berani.

Dari keceriaan dan keberanian Kasih, kita bertemu Regina Gandes Mutiary. Seniman musik dan teater asal Jakarta itu tampak berdiri di samping karyanya. Beberapa penikmat menghambur ke arahnya. Perbedaan latar belakang pengetahuan, tingkat literasi antarorang, wilayah tempat tinggal, dan banyak faktor lain merupa ketimpangan sosial yang tak terelakkan. Perbedaan pemahaman dalam menghadapi isu tertentu itu konon mesti dikelola dengan kesadaraan akan toleransi. Dengan begitu, kita tak lagi perlu mempermasalahkan perbedaan. Sebab, bagaimana pun juga, perbedaan itu sudah bersifat kodrati, “given,” akan selalu ada.

Kesadaran untuk menghadapi perbedaan laiknya suatu yang wajar itulah yang mendasari kelahiran karya Gandes. Ia mencampur minyak dan air—dua hal yang jelas berlawanan—dalam satu tabung transparan. Sisi-sisi tabung dikaitkan sehingga berbentuk persegi panjang. Ada dua rangkaian tabung berbentuk persegi panjang yang masing-masing berisi minyak dan air yang telah diberi warna, merah dan biru. Gandes merangkainya menjadi sepaket tuas pengungkit. Ketika tuas digerakkan, kentara betul bagaimana minyak dan air dalam tabung itu menuju penyatuan.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
Karya seni Istifadah Nur Rahma/Rizka Nur Laily Muallifa

Ada pula karya Istifadah Nur Rahma yang galau perkara jilbab di panggung pementasan. Bagi sebagian seniman teater perempuan, perkara jilbab ini kadang agak membingungkan. Kata Isti, jilbab itu kegalauan antara kepatuhan dan pilihan, hal yang lumrah dan terasa “biasa.”

Yang lumrah dan terasa biasa ini juga tampak dari karya Muhammad Tahta Gilang Anfasya Nasution, yang mengingatkan saya pada karya cukil kayunya Muhlis Lugis (2015). Muhlis menanggapi peristiwa sosial manusia-manusia gandrung ponsel di segala waktu. Manusia rekaan Muhlis tak punya kepala. Yang melekat di lehernya justru sebuah tangan, tentu saja yang menggenggam ponsel. Dua tangan lain juga tak alpa menggenggam ponsel yang di layarnya tampak penuh ikon aplikasi.

Pertautan ingatan dan pengalaman menikmati seni rupa di masa lalu rupanya cukup mengganggu saya mengenali karya Gilang. Di akhir tahun 2018, suara atau barangkali kegelisahan Gilang menghadapi dunia sosial gegar ponsel pintar tak lagi menghentak jiwa penikmat seni. Kegelisahan itu, kendati masih relevan, terasa biasa saja.

Sebelum menuruni tangga, penikmat bertemu karya Slamet Irfan. Dakron-dakron menyembul laiknya awan gemawan. Kain-kain lilit beragam warna menjuntai. Panjangnya berbeda-beda. Ada yang sangat pendek, ada pula yang sampai melingkar di lantai sebab terlalu panjang. Jika awan dari dakron-dakron itu ialah cita-cita atau mimpi, maka pendek-panjangnya kain itu tak lain ialah upaya menuju ke sana. Upaya itu juga bertaut kesediaan uang, pengetahuan, relasi sosial, dan lain-lain.

Kiranya, karya tujuh seniman residensi ini cukup berhasil merepresentasikan apa yang dilaik disebut Proyek Rupa Tumbuh. Tsah!

The post Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/feed/ 0 11442