Rosla Tinika Sari, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/rosla-tinika-sari/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 03 Mar 2023 08:19:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Rosla Tinika Sari, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/rosla-tinika-sari/ 32 32 135956295 Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/ https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/#respond Wed, 08 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37523 Siang di akhir tahun 2022, saya masih disibukkan dengan beberapa agenda perkuliahan. Tepatnya mengurus administrasi yang belum juga terselesaikan. Cukup membuat sedikit nggliyeng, karena overthinking perkara KHS yang semoga saja tidak merah. Melihat keadaan ini,...

The post Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang di akhir tahun 2022, saya masih disibukkan dengan beberapa agenda perkuliahan. Tepatnya mengurus administrasi yang belum juga terselesaikan. Cukup membuat sedikit nggliyeng, karena overthinking perkara KHS yang semoga saja tidak merah. Melihat keadaan ini, dengan sigap tangan seorang kawan menyeret saya keluar area kampus. 

Ayo refreshing, sajak mumet ngono!” (Ayo refreshing, seperti pusing begitu!), ajak kawan saya yang belum jelas ke mana tujuannya. Saya kena gendam dengan ucapnya yang bagi saya bak sabda yang harus ditaati. 

Aja adoh-adoh, selak kelangan jejak Pak Wakil Dekan.” (Jangan jauh-jauh, keburu kehilangan jejak Pak Wakil Dekan), sahut saya. Meski secara lisan saya agak mengelak, namun raga saya manut dengan perintahnya.  

Sesaat setelah itu, kami pun mencegat  BST (Batik Solo Trans) di halte dekat gerbang fakultas. “Nyang Sar Gedhe!” (Ke Pasar Gede). Rupanya ia mengajak saya jajan dan kulineran. 

Lampion Terpasang, Tanda Imlek akan Datang

Tiba di Pasar Gede, nampak lampion-lampion sudah terpasang di sisi barat pasar, berjajar rapi dan indah dipandang. Mata saya sedikit melirik keheranan. Tak lama kemudian, seorang pedagang di Pasar Gede bercerita, seolah telah mengetahui kecurigaan apa yang hinggap di kepala saya. Kabarnya, perhelatan akbar tahunan agar kembali digelar Sudiroprajan.

Iya, Sudiroprajan. Kawasan yang biasa kami sebut kampung pecinan di Kota Solo. 

Dahulu, Belanda mengelompokkan permukiman berdasarkan etnis untuk  melancarkan taktik devide et impera. Di Kota Solo, Sudiroprajan dijadikan sebagai rumah orang-orang Cina. Sedangkan di sebelah selatannya, yaitu Pasar Kliwon sebagai permukiman orang Arab. Melansir informasi dari Pemkot Solo, memang hampir setengah penduduk Kelurahan Sudiroprajan merupakan masyarakat keturunan Tionghoa.

  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Lampion Pasar Gede Solo

Pedagang yang kami temui tersebut juga banyak bercerita mengenai Sudiroprajan dari waktu ke waktu. Katanya, rumah-rumah penduduk zaman sekarang bukan lagi seperti bangunan Cina. Sudah tak banyak warga yang mempertahankan bentuk aslinya. Seperti penduduknya yang kini adalah peranakan Cina, bukan Tionghoa asli. “Pancene trah wong Cina, ananging awakedewe ki ya wong Jawa, Wong Solo” (Memang keturunan orang Cina, tetapi kita ini ya orang Jawa, orang Solo), sahut seorang warga keturunan Tionghoa yang berada di dekat kami.

Terlebih sebagai tempat tinggal tentu harus mengalami renovasi, apalagi bangunan asli zaman dulu sudah  keropos termakan usia. Mengingat, deretan rumah di Sudiroprajan dahulu didominasi dengan kayu. Walau begitu, Gen Z seperti saya masih bisa melihat bangunan Cina yang nampak seperti aslinya dulu. Tepatnya di Klenteng Tien Kok Sie, yang arsitekturnya belum banyak berubah. Setiap sisinya masih mempertahankan konstruksi asli.

“Aja lali ya Nduk, suk nonton lampion!” (Jangan lupa ya Nak, besok nonton lampion!), akhir  percakapan kami siang itu.

Grebeg Sudiro Cermin Semarak Kebhinekaan 

Awal tahun 2023 tiba, gawai saya berdering pertanda ada pesan masuk “Grebeg Sudiro wis wiwitan.” (Grebeg Sudiro dah mulai.) Pesan itu mengingatkan agar saya tidak melewatkannya. 

Sudiroprajan  kali ini mengusung tema “Merajut Harmoni dalam Kebhinekaan”. Benar saja, kelurahan dengan luas wilayah 23 ha ini kembali berhasil mengajarkan saya mengenai sesrawungan.  Meski helatan ini dalam rangka memperingati Tahun Baru Imlek, bukan hanya masyarakat keturunan Tionghoa yang memeriahkan event ini.  Sebagian besar pengunjung adalah “orang Jawa tulen” dan bahkan pengunjung yang datang tidak hanya dari Solo saja.  

Dari Grebeg Sudiro saya juga dapat melihat perpaduan apik akulturasi seni serta budaya Jawa dan Tionghoa. Selaras dengan tujuannya untuk merefleksi Kawasan Sudiroprajan sebagai Kampung Pembaruan.

Melalui media sosial Grebeg Sudiro, ada beberapa event yang digelar. Yang pertama yakni Wisata Perahu Hias. Kerlap-kerlip lampu pada perahu hias akan mewarnai Kali Pepe di Kawasan Pasar Gede dari tanggal 10 hingga 30 Januari 2023. Dengan harga tiket Rp10.000 per orang, pengunjung dapat menikmati terang ribuan lampion di tengah gelapnya malam Kota Solo. 

Selain itu, adapula Bazar Potensi yang juga digelar dari tanggal 10 sampai 30 Januari 2023. Agenda ini  menyedot banyak perhatian warga terutama di malam hari. Lewat bazar dengan HTM Rp0 ini, pengunjung bisa jajan aneka panganan, dari yang tradisional seperti gethuk, sate kere, atau kudapan mancanegara seperti takoyaki hingga dimsum. Di sini, pengunjung juga bisa mencicipi jajanan akulturasi Cina—Jawa yang mentereng di Pasar Gede. Kerajinan “awet” seperti patung barongsai, balon berbentuk kelinci, hingga lato-lato yang sedang viral pun ada di sini.

Selain itu, masyarakat yang mengunjungi Bazar Potensi di Grebeg Sudiro ini juga bisa berswafoto dengan segala macam demit jadi-jadian seperti sundel bolong, pocongan, kuntilanak, falak, hingga vampir dan makhluk biru Avatar. Seperti tahun lalu, warga Sudiroprajan juga memasang ikon tahun baru yakni patung kelinci sebagai salah satu spot foto. Letaknya di sebelah selatan Pasar Gede.   Mengiringi suasana di Pasar Gede, kulintang juga kethek ogleng bisa dengan mudah kita temukan di sini. Di sisi barat area bazar, masyarakat dapat nongkrong di halaman balai kota sembari bersantai.

  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Solo Sudiroprajan Imlek
  • Solo Sudiroprajan Imlek

Sementara itu, pada tanggal 12 Januari 2023 juga terselenggara acara Umbul Mantram, serta Karnaval Budaya pada 15 Januari 2023 yang tayang secara langsung di kanal YouTube Gibran TV.

Puncaknya pada pergantian tanggal 21 ke 22 Januari 2023. Di kawasan Pasar Gede diadakan Panggung Pentas Harmoni Sudiro dengan menampilkan TK Warga, Sanggar Tari Bale Rakyat, Ikamala, Dragon Taiji Fight, dan beberapa grup band lokal seperti Teori, Fisip Meraung, dan D’Diamondz. Yang mana acara ini berlangsung dari pukul 18.00. Pesta kembang api pun menjadi pamungkas, menutup seluruh rangkaian acara ini.

Bisa dibilang Grebeg Sudiro tahun ini lebih meriah dibanding tahu lalu. 

Dari seluruh kemeriahan ini, ada hal yang membuat saya tercengang. Yakni, es teh jumbo yang saya bayar dengan harga Rp5.000.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/feed/ 0 37523
Hik yang Selalu Menjadi Penyaji Hidangan Istimewa Kami https://telusuri.id/hik-solo/ https://telusuri.id/hik-solo/#respond Sun, 16 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35453 Hik merupakan penyebutan pada warung sederhana yang dikenal oleh masyarakat sekitar Solo. Begitu sederhana, hanya menggunakan gerobak sebagai tempat menyajikannya hidangan, tempat makan para pengunjung, sekaligus sebagai tempat bakul meramu wedang. Meskipun terdapat berbagai guyonan...

The post Hik yang Selalu Menjadi Penyaji Hidangan Istimewa Kami appeared first on TelusuRI.

]]>
Hik merupakan penyebutan pada warung sederhana yang dikenal oleh masyarakat sekitar Solo. Begitu sederhana, hanya menggunakan gerobak sebagai tempat menyajikannya hidangan, tempat makan para pengunjung, sekaligus sebagai tempat bakul meramu wedang.

Meskipun terdapat berbagai guyonan yang mengatakan kalau istilah hik ini adalah kependekan dari Hidangan Istimewa Keluarga, Hidangan Istimewa Kampung, hingga Hidangan Istimewa Klaten, istilah hik sebenarnya bukan akronim dari beberapa kata. Walau dalam sejarah sang maestro campursari, Didi Kempot pernah menciptakan tembang yang berjudul “HIK” dengan menyematkan lirik “HIK…, H. I. K. Hidangan Istimewa Klaten”, namun bukan berarti dari sinilah asal mula penamaan HIK. 

  • HIK SOLO
  • HIK SOLO

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah adanya hik memang tidak jauh-jauh dari Klaten, kabupaten yang dulunya masuk di wilayah Karesidenan Surakarta dan berbatasan langsung dengan DIY. Konon cikal bakal penamaan hik bermula dari Mbah Pairo, seorang warga Klaten yang membuka angkringan sambil memikulnya dan berteriak “hiiik iyeeek” di sekitar Jogja. Oleh karena teriakan Mbah Pairo tersebut,  muncullah nama hik di kalangan masyarakat yang kini masih digunakan oleh warga Surakarta.

Hik menjadi hidangan yang selalu mendapat ruang lebih bagi masyarakat Solo Raya karena menjadi tempat yang pas untuk semua kalangan. Mau dari yang muda sampai yang tua, mereka menjadikan hik sebagai tempat nongkrong yang nggak kalah asik dengan kedai kopi. Kalangan pelajar dan mahasiswa juga menghabiskan waktu luang untuk sekedar ngobrol soal kehidupan masa muda yang penuh lika-liku atau luka karena cinta, maupun diskusi ala akademisi demi kemajuan negara dan bangsa di masa depan di sini.

HIK SOLO
Aneka gorengan di hik/Rosla Tinika S

Berbekal uang 10 ribu saja, kita bisa memanjakan diri dengan nasi kucing dan lauk pauk beserta wedangan favorit di warung hik. Ya gimana, wong sebungkus nasi kucing hanya seharga Rp2.000–Rp3.000, es teh Rp2.000–Rp3.000 (ada juga yang masih Rp1.000/Rp1.500), dan gorengan seperti bakwan, mendoan, tempe gembus, tahu  paling banter Rp2.000 sudah dapat 3 biji (sebelum harga minyak goreng naik, sebelumnya hanya dijual Rp500). Lalu gorengan yang lebih high class seperti sosis atau tahu bakso harganya hanya Rp1.500–Rp2.000. Sangat cocok bagi manusia-manusia, khususnya mahasiswa yang perlu manajemen keuangan dengan baik agar tidak harus puasa siang malam di akhir bulan.

Pengunjung hik berasal dari berbagai kalangan dan usia, dengan latar belakang yang berbeda tersebut, mereka membaur satu sama lain—antara pembeli dan penjual maupun antar pembeli sehingga acap kali beragam wawasan baru hadir di tengah-tengah santap bersama. Ya, di sini pengunjung saling bertegur sapa meski mereka tak saling kenal, tidak seperti ketika kita makan di restoran.

Antara Hik, Angkringan, dan Wedangan 

Belakangan ini, ada sebagian masyarakat yang menyebut hik sebagai angkringan dan wedangan. Penyebutan ini banyak hadir dari luar Solo Raya karena sekilas, hik tampak tak jauh beda dengan angkringan maupun wedangan.

Orang menyebut angkringan karena penjualnya menggunakan angkring sebagai lapak. Begitu pula dengan wedangan. Menu wedang atau minumannya lah yang menjadi highlight bagi para pengunjung.

Meski terlihat sama, hik dan angkringan sejatinya memiliki perbedaan meski tidak terlihat mencolok. Hal ini karena zaman yang semakin berkembang membuat selera dan budaya masyarakat Jogja–Solo saling membaur. 

Sega kucing alias nasi kucing merupakan makanan wajib yang dijajakan baik di hik maupun angkringan. Belum bisa disebut hik maupun angkringan kalau tidak menyediakan nasi kucing sebagai sajian utamanya. Tetapi perlu diketahui, kalau nasi kucing yang dijual di hik dan angkringan punya perbedaan pada lauk pendamping. Lauk nasi kucing di angkringan umumnya terdiri dari sambal teri, sedangkan bandeng dengan sambal tomat menjadi lauk utama nasi kucing yang dijual di hik.

Akan tetapi, karena hik dan angkringan pada zaman sekarang bertebaran di mana-mana dengan pemilik yang berbeda-beda pula, hal ini menjadi berpengaruh terhadap sajian menu yang hadir. Bisa saja, kita menemukan nasi dengan sambal teri di penjual hik, atau sebaliknya. Meski begitu, masyarakat Solo tetap menyebut nasi dengan lauk bandeng dan sambal tomat sebagai nasi kucing.

HIK SOLO
Nongkrong sore di hik Pasar Rakyat Sraten, Sukoharjo/Rosla Tinika S

Selain itu, jika melihat jam operasionalnya juga kita akan menemukan perbedaan. Saat berkeliling di wilayah bekas kekuasaan Mataram, khususnya Solo atau Jogja, kita akan menemukan bahwa warung hik buka dari sore hingga malam. Padahal, hik pada umumnya justru banyak yang—meskipun waktu favorit masyarakat berkunjung ke hik adalah menjelang malam hari.

Lain lagi jika bertandang ke Solo Raya. Warung-warung hik sudah buka sedari pagi. Bahkan di tengah kota, ada hik yang buka selama 24 jam. Namun, jam operasional tersebut bukan pakem resmi, jadi kalau ada angkringan atau hik yang buka hanya saat pagi atau malam saja, ya kembali lagi tergantung dengan penjualnya. Wong mereka mau libur sehari saja juga nggak apa.

Selain itu, sundukan alias lauk sate-satean di hik jauh lebih bervariasi. Ada telur puyuh, usus, ati ayam, keong, bahkan manisan kolang-kaling, dan sebagainya. Antara hik dan angkringan, punya bumbu khas masing-masing untuk lauk jenis ini. Kalau di Solo, sate usus hanya berbumbu pedas, sedangkan di Jogja berasa pedas manis. Namun sekali lagi, hal ini bukan menjadi pakem. Kembali lagi referensi siapa pemilik hik dan angkringan tersebut.

Perbedaan lain, juga nampak pada menu wedang. Di Solo, hik menyajikan teh racikan sendiri. Membuat rasa dan aroma teh menjadi khas. Ada yang rasanya sepat, warna pekat, punya aroma harum, hingga teh dengan rasa pahit yang kuat. Sementara itu, angkringan di Jogja menyajikan kopi jos lengkap dengan arang panas yang dimasukkan ke dalam gelasnya. Kalau kamu pesan kopi jos di hik, pastinya belum tentu kopi jos arang tersaji karena masyarakat Solo tidak familiar dengan sajian satu ini.

Jadi, kamu lebih sering makan di hik atau angkringan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hik yang Selalu Menjadi Penyaji Hidangan Istimewa Kami appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hik-solo/feed/ 0 35453
Selasar Malioboro dan Perjalanan yang Berputar-putar https://telusuri.id/selasar-malioboro-dan-perjalanan-yang-berputar-putar/ https://telusuri.id/selasar-malioboro-dan-perjalanan-yang-berputar-putar/#respond Sat, 17 Sep 2022 02:48:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35259 Selepas keluar dari Stasiun Tugu, kaki yang kurang lebih satu seperempat jam berdiri dalam kereta harus sesegera mungkin melangkah ke Kawasan Malioboro. Cuaca semakin terik. Pagi menjelang siang, Yogyakarta kala itu memang cukup menyengat. Orang...

The post Selasar Malioboro dan Perjalanan yang Berputar-putar appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas keluar dari Stasiun Tugu, kaki yang kurang lebih satu seperempat jam berdiri dalam kereta harus sesegera mungkin melangkah ke Kawasan Malioboro. Cuaca semakin terik. Pagi menjelang siang, Yogyakarta kala itu memang cukup menyengat. Orang lalu lalang, banyak yang terlihat sebagai pendatang dan wisatawan. Oksigen rasa-rasanya menipis.

Keluar dari Stasiun Tugu
Keluar dari Stasiun Tugu/Rosla Tinika S

“Kangelan ambegan,” (susah bernafas) ucap salah seorang kawan.

“Rebutan karo wong akeh ngene,” (rebutan [oksigen] sama banyak orang) sahut kawan saya yang lain. 

Mengingat bahwa perbekalan akan segera dingin, bergegaslah kami mencari tempat untuk menikmatinya. Tepat setelah berbelok ke kiri dari pintu keluar stasiun, ada tempat mumpuni untuk sekadar numpang istirahat, malah jauh lebih baik dari ekspektasi kami. Namun, baru berjalan beberapa langkah menuju ke sana, kami menjumpai deretan bangunan dengan warna putih yang lebih nyaman untuk tempat singgah. “Slasar Malioboro,” begitu nama tempat yang tertera pada sebuah pathok informasi jalan berwarna hijau.

Mampir di Slasar Malioboro

Jalan di ujung pedestrian Slasar Malioboro
Jalan di ujung pedestrian Slasar Malioboro/Rosla Tinika S

Kawasan Slasar Malioboro ini mengusung konsep heritage yang menunjukkan Jogja klasik. Perpaduan warna putih gading sepanjang bangunan merepresentasikan Yogyakarta tempo dulu, namun dengan sentuhan modern. Selayaknya arti namanya, Slasar Malioboro merupakan area transisi dari luar menuju Malioboro. Menjadi welcoming area para pengunjung serta sebagai penghubung antara stasiun terbesar di sini. Area yang berada di sebelah utara jantung Kota Yogyakarta ini juga asyik untuk nongkrong.

Sayangnya, karena banyak sekali pengunjung, kami agak kesulitan mendapatkan kursi. Apalagi saat ini banyak pengunjung yang sudah sepuh, jadi kami memprioritaskan kursi untuk mereka. Kami akhirnya duduk di emperan sebuah retail, dengan alas plastik wadah roti yang kami beli di stasiun.

Di sini ada pula Angkringan Kopi Jozz kang tansah kondang kaloka di Jogja, yang kini terlihat lebih estetik dan modern. Tetap eksis dengan setiap sajiannya, lumrah jika banyak pembeli yang sliwar-sliwer.

Slasar Malioboro hadir bersama 18 retail dan 30 UMKM dengan harapan mendongkrak perekonomian masyarakat. Selain itu, segala kebutuhan pengunjung Malioboro utamanya penumpang kereta bisa terpenuhi dengan adanya retail yang ada. Mulai dari makanan, minuman, buah tangan hingga kebutuhan lain. Oleh karenanya, setelah dua orang kawan saya sambat kehausan dan seret saat makan roti, saya anjurkan untuk membeli minuman di salah satu retail minimarket untuk membeli beberapa air mineral. Sementara saya yang sudah membawa botol minum berisi air yang bersumber dari kaki Gunung Lawu memilih menunggunya.

Kawasan yang memiliki luas 1.700 m2 ini memiliki jalur pedestrian dari sebelah timur pintu keluar hingga persimpangan arah Malioboro yang ditandai dengan Loko Coffee Shop Malioboro Yogyakarta. Kafe yang memiliki ikon tulisan Yogyakarta dengan nuansa kuning dan merah.

Sate yang dijajakan di sekitar Slasar Malioboro
Sate yang dijajakan di sekitar Slasar Malioboro/Rosla Tinika S

Trotoar di Slasar Malioboro juga ramai oleh pedagang kaki lima, beragam kuliner khas Yogyakarta pun bisa ditemui di sini. Ada sate, es kunir asem yang rasanya Jogja banget, hingga beragam oleh-oleh seperti bakpia, dodol, geplak, dan wingko babat. Di beberapa pojok area, ada live musik dari pengamen jalanan.

Kawasan yang dibuka pada 1 Maret 2021 lalu ini merupakan wujud program dari PT KAI yang tidak hanya fokus pada layanan transportasi, tapi juga kenyamanan para pelanggan. Upaya tersebut nampak dari adanya Shower Locker, sebuah tempat yang dapat menjadi tempat para penumpang kereta untuk mandi dan menitipkan barang bawaan. Letaknya berada di sisi timur pintu keluar stasiun. Shower Locker menerapkan transaksi non tunai sistemnya canggih yaitu smart locker.

Ngumbara di Kawasan Cagar Budaya Malioboro

Selepas menunggu kawan-kawan menghabiskan roti, kami berjalan ke Malioboro. Pedestrian tak seramai Slasar Malioboro tadi. Sejak adanya relokasi PKL, tidak ada lagi lapak-lapak yang memadati area pejalan kaki. Kebijakan ini dibuat salah satunya dengan tujuan mengembalikan fungsi Kawasan Cagar Budaya Malioboro sebagai lintasan para pejalan kaki. Fasilitas umum untuk teman difabel juga kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Walau terasa lebih lengang, himbauan para petugas keamanan agar para pengunjung menjaga tas, dompet, handphone, dan barang-barang berharga lain dari tindak kriminal tidak luput dari amatan. Dulu, banyak orang menyarankan untuk meletakkan tas di depan dada supaya aman dari copet. Kini, pun masih.

Setelah beberapa menit melangkah, seorang kawan meminta agar kami mampir ke Mall Malioboro, saya turut mengiyakan. Sesuai aturan, sebelum masuk mal, kami harus memindai sertifikat vaksin pada aplikasi PeduliLindungi.

Kami berputar-putar cukup lama di dalam mal untuk mencari headset, barang yang diinginkan kawan saya. Setelah bertanya salah seorang pegawai di mal, headset tersebut ternyata berada di lantai paling bawah. Setelah mencari eskalator turun selama kurang lebih setengah jam, barulah kami bertemu dengan retail yang menjual headset tersebut. Perjalanan yang panjang. Padahal “cuman” headset yang sebenarnya bisa di beli di mana saja.

Keluar dari mal, kami melanjutkan perjalanan dengan menyisir Kawasan Malioboro. Benar saja kata orang, jika Malioboro itu romantis. Romansa di Jogja pun mulai terlihat. Ada beberapa pasang manusia yang sedang kasmaran lalu lalang. Ada pula yang tengah melakukan swafoto lengkap dengan pakaian kejawen, ada pula yang sekadar jalan dan duduk di bangku yang tersedia. Jasa seorang fotografer nampak laris manis di sini.

Malioboro yang terbagi menjadi 5 zona kami susuri dari setiap jengkalnya. Bermula dari Zona 1 yakni sepanjang Grand Inna sampai dengan Mall Malioboro, berlanjut ke Zona 2 yang terbentang Mall Malioboro hingga Mutiara. Kemudian menuju pada Zona 3 yaitu Halte Transjogja 2 ke arah Suryatmajan, lalu ke Zona 4 dari Suryatmajan hingga Pabringan. Dan terakhir di Zona 5 sepanjang Pabringan sampai Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Pedagang es kencur murni
Pedagang es kencur murni/Rosla Tinika S

Pembagian zona ini awalnya bertujuan untuk mengatasi kepadatan wisatawan saat awal pandemi COVID-19. Kini pemerintah kota melengkapi zona-zona tersebut dengan fasilitas swafoto dan tidak ada lagi pendeteksi suhu tubuh  yang tergantung di tangan patung prajurit ikon setiap zona. Akan tetapi, informasi mengenai patung prajurit tersebut masih dapat dibaca jelas oleh pengunjung. Selain itu, pengunjung juga bisa memindai informasi tempat wisata yang tersedia dengan ponsel.

Pada musim liburan seperti sekarang ini, Jogja tampak padat. Bangku-bangku pedestrian penuh terisi, kecuali yang terkena panasnya sorot mentari. Oleh karenanya, para pejalan kaki harus ekstra berhati-hati dengan lalu lalang kendaraan bermotor.

Ada satu hal yang menarik dari alat transportasi di Jogja. Andong-andong di sini dikemudikan seorang kusir yang mengenakan setelan batik lengan panjang lengkap dengan blangkon khas lelaki Jogja. Selain itu, ada pula becak sepeda motor yang sebelumnya jarang ditemui di sini.

Sayangnya keindahan Kawasan Malioboro sedikit banyak terusik oleh sampah-sampah yang berserakan, meski tak jarang setiap sudut tersedia tempat sampah. Plastik bungkus es, kertas bungkus makanan, sedotan nampak awut-awutan bahkan tumpahan es yang terlihat jelas mengotori area pedestrian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Selasar Malioboro dan Perjalanan yang Berputar-putar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/selasar-malioboro-dan-perjalanan-yang-berputar-putar/feed/ 0 35259
Mengenal Prinsip Hidup Prasaja dari Sepincuk Cabuk Rambak https://telusuri.id/mengenal-prinsip-hidup-prasaja-dari-sepincuk-cabuk-rambak/ https://telusuri.id/mengenal-prinsip-hidup-prasaja-dari-sepincuk-cabuk-rambak/#comments Sat, 10 Sep 2022 02:35:25 +0000 https://telusuri.id/?p=35260 “Urip iku sing prasaja!” Begitulah salah satu pitutur luhur yang saya dengar sedari kecil. Nasihat yang berisi pengingat agar senantiasa menjadi manusia yang prasaja. Istilah prasaja sendiri jika ditilik dari KBBI berarti sederhana. Namun bagi...

The post Mengenal Prinsip Hidup Prasaja dari Sepincuk Cabuk Rambak appeared first on TelusuRI.

]]>
“Urip iku sing prasaja!”

Begitulah salah satu pitutur luhur yang saya dengar sedari kecil. Nasihat yang berisi pengingat agar senantiasa menjadi manusia yang prasaja. Istilah prasaja sendiri jika ditilik dari KBBI berarti sederhana. Namun bagi saya, juga sebagian besar orang Jawa memaknai istilah prasaja tidak hanya sebatas hidup sederhana, melainkan lebih dalam dari itu.

Prasaja mengandung arti sebagai sebuah prinsip hidup yang menjadi dasar bagi orang Jawa untuk hidup sak madya, sederhana, terus terang apa adanya, serta jujur. Maka dari itu, setiap manusia diharap dapat berkehidupan secara pas, tidak berlebihan apalagi kekurangan.

Hidup yang prasaja ini dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan sehari-hari seseorang, mulai dari berperilaku, bertutur kata, hingga bersikap. Hal tersebut tercermin dari apa yang melekat pada diri setiap orang, termasuk di dalamnya kudapan yang dikonsumsi. Yap benar, kudapan. Ini dapat terlihat pada berbagai kuliner, salah satunya adalah makanan yang dapat ditemukan di Kota Solo, sebagai kota yang menjunjung budaya Jawa yaitu cabuk rambak. 

Seporsi cabuk rambak seharga Rp3.000,-
Seporsi cabuk rambak seharga Rp3.000,-/Rosla Tinika S

Terlihat dari penamaannya, cabuk rambak terdiri dari dua kata yaitu cabuk dan rambak. Pangan yang satu ini memang memiliki bahan utama berupa cabuk dan rambak yang menjadi pendamping ketupat. Cabuk merupakan sambal khas Wonogiri, suatu kabupaten yang berada di sebelah selatan Kota Solo, yang dulunya termasuk dalam Karesidenan Surakarta. Sambal cabuk terbuat dari biji wijen diperas. Air hasil perasan akan menjadi minyak wijen, sedangkan ampas yang dihasilkan sebagai bahan utama sambal. Biji wijen yang telah diperas tersebut kemudian disangrai. Setelahnya dihaluskan dan dicampur beberapa bumbu sederhana seperti bawang putih, garam, gula jawa, cabai, serta daun kemangi muda. Dari proses tersebut maka akan dihasilkan sambal cabuk kering yang awet sehingga dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama. Jika mau dipakai sebagai saus, sambal cabuk kering tinggal dicampur sedikit air. 

Sementara rambak adalah penyebutan pada kerupuk yang umumnya terbuat dari krecek alias kulit sapi atau kerbau. Dahulu krecek didapat dari limbah pembuatan wayang kulit, yang kemudian dibersihkan dan digoreng. Akan tetapi, seiring dengan mahalnya harga rambak berbahan krecek, maka oleh para pedagang cabuk rambak, krecek diganti dengan rambak gendar atau karak. Rambak gendar terbuat dari nasi yang diberi ragi kemudian dipotong tipis melebar yang selanjutnya dijemur dan digoreng. 

Menata ketupat
Menata ketupat/Rosla Tinika S

Cabuk rambak begitu sederhana, bukan hanya dari kesederhanaan bahan-bahan yang digunakan, melainkan juga dari penyajiannya. Dalam setiap sajiannya, cabuk rambak terdiri dari ketupat diiris tipis-tipis melebar lalu disajikan pada pincuk yang biasa dibuat dari daun pisang atau kertas minyak bungkus makanan dan kemudian disiram dengan sambal cabuk serta ditambahkan rambak sebagai ramikannya. Jumlah potongan ketupat yang disajikan pun tidak begitu banyak, seringnya hanya 5-8 potong saja. Sedang, untuk memudahkan penikmat dalam merasakan lezatnya setiap suapan cabuk rambak, pedagang akan menyediakan lidi kecil seukuran tusuk gigi sebagai pengganti sendok. 

Siraman sambal cabuk
Siraman sambal cabuk/Rosla Tinika S

Oleh karena ukurannya sak numlik atau mungil, membuat cabuk rambak digolongkan ke dalam jajanan selingan dan bukan termasuk makanan berat. Meski menggunakan ketupat sebagai main course-nya, cabuk rambak dinobatkan sebagai hidangan pengganjal. 

Warung-warung penjualnya pun terbilang sederhana, umumnya cabuk rambak hanya dijual di pinggir jalan. Tanpa tenda dan hanya menggunakan meja ukuran kecil sebagai lapak dagangan. Sementara bagi para pelanggan yang hendak makan di tempat telah disediakan tikar sebagai alas duduk. 

Walau tergolong sebagai kuliner otentik di Kota Solo, tidak banyak warung yang menjajakan cabuk rambak. Oleh sebab itu, untuk mencari pedagang cabuk rambak terbilang susah-susah gampang, lantaran hanya dapat ditemukan di beberapa tempat, itu pun di acara-acara tertentu saja. 

Namun, berpijak pada pengalaman pribadi, setidaknya saya menjumpai beberapa titik yang kerap digunakan untuk berdagang cabuk rambak. Salah satunya adalah di sekitar pusat jajan Stadion Manahan, tepatnya di selter kuliner sisi utara stadion. Setiap pagi, utamanya di hari Minggu terdapat salah seorang pedagang yang menjajakan cabuk rambak bersama dengan nasi liwet. Akan tetapi, untuk membelinya harus gerak cepat, karena kalau kesiangan sedikit saja bisa kehabisan. Maka dari itu jika ingin mencicipi sembari olahraga pagi di Stadion Manahan sesegera mungkin untuk membelinya. 

Kemudian ada pula di Depan SMA N 5 Surakarta, yang biasa berjualan di jalur pedestrian Jl. Letjen. Sutoyo di jam sarapan. Bagi yang ingin mencicipi cabuk rambak, juga tidak boleh kesiangan, biasanya jika sudah masuk pukul 09.00 WIB sudah ludes terjual.

Mbak Lasmi yang tengah mengiris ketupat
Mbak Lasmi yang tengah mengiris ketupat/Rosla Tinika S

Selain di Kota Solo, cabuk rambak juga dapat ditemukan di trotoar sebelah barat SMP N 1 Gatak, Kabupaten Sukoharjo. Letaknya di selatan Perempatan Pasar Stasiun Gawok, jika dari stasiun Gawok hanya berjarak 200 m ke arah tenggara. Berbeda dengan pedagang cabuk rambak di Kota Solo yang biasa menjajakan di waktu makan pagi, penjaja cabuk rambak yang biasa disapa dengan Mbak Lasmi berdagang setiap sore hari hingga menjelang malam. Selain berdagang cabuk rambak, beliau juga turut menjajakan beberapa makanan lain seperti gendar pecel, sawut dan singkong rebus gula jawa.

Yang pasti saat sekaten tiba, akan ada beberapa pedagang cabuk rambak yang berjualan di halaman Masjid Agung Keraton Solo.

Jika memang masih dirasa kesulitan menjari penjaja cabuk rambak, dapat mencarinya melalui peta online semacam Google Maps. Karena cabuk rambak dipasarkan dengan cara kelilingan sehingga lapak dagangannya sering berpindah-pindah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Prinsip Hidup Prasaja dari Sepincuk Cabuk Rambak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-prinsip-hidup-prasaja-dari-sepincuk-cabuk-rambak/feed/ 1 35260
Kilas Balik Perjalanan KRL Solo — Jogja https://telusuri.id/kilas-balik-perjalanan-krl-solo-jogja/ https://telusuri.id/kilas-balik-perjalanan-krl-solo-jogja/#respond Mon, 11 Jul 2022 03:25:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34495 Setelah berjibaku mencari tempat antre agar bisa masuk ke kereta yang berangkat dari Stasiun Gawok, akhirnya saya dan kawan-kawan beserta penumpang lain berangkat ke Kota Istimewa Yogyakarta. Kala itu gerbong K3 1 11 14 yang...

The post Kilas Balik Perjalanan KRL Solo — Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah berjibaku mencari tempat antre agar bisa masuk ke kereta yang berangkat dari Stasiun Gawok, akhirnya saya dan kawan-kawan beserta penumpang lain berangkat ke Kota Istimewa Yogyakarta. Kala itu gerbong K3 1 11 14 yang menjadi tempat saya menumpang.

KRL rute Solo-Yogyakarta yang saya tumpangi ini dijadwalkan berangkat pada pukul 08.17 WIB dari Stasiun Solo Balapan. Kereta memulai keberangkatannya dari stasiun awal yang berada di Jalan Wolter Monginsidi Nomor 112, Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Stasiun yang memiliki histori tersendiri di ibu kota batik, Surakarta. Tak ayal, Stasiun Solo Balapan dapat menginspirasi Lord Didi, seorang maestro campursari dalam menciptakan salah satu tembangnya yang berjudul Stasiun Balapan

Termasuk dalam kategori stasiun kereta api kelas besar bertipe A, stasiun yang namanya tak lepas dari nama kampung sebelah utara Stasiun-Balapan menjadi stasiun terbesar di kota yang berjuluk The Spirit of Java

Selepas berangkat dari Solo Balapan, kereta menuju stasiun kedua yakni Stasiun Purwosari yang letaknya berada Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan. Hampir sama dengan Solo Balapan, Stasiun Purwosari ini juga termasuk stasiun kereta api kelas besar, namun bedanya stasiun yang berada di ketinggian +98 mdpl ini tergolong tipe C. Kereta rel listrik bermotif batik parang warna merah putih itu setiba di stasiun berkode PWS lalu menuju stasiun ketiga, tempat saya berangkat. 

Gerbong kereta tempat saya menumpang
Gerbong kereta tempat saya menumpang/Rosla Tinika S

Memulai Perjalanan

Barulah pada pukul 08.28 WIB kereta tiba di Stasiun Gawok, ini berarti lebih cepat dua menit dari jadwal keberangkatan yang semestinya. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang nampak dari balik jendela adalah area persawahan tanaman padi. Di sisi barat samar-samar terlihat Gunung Merapi dan Merbabu.

Tak lebih dari 15 menit bertolak dari Stasiun Gawok, kereta tiba di Stasiun Delanggu yang berada di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Klaten. Di sini, kereta rupanya harus berhenti lebih lama dari jadwal yang semestinya. Hal ini kemungkinan besar akibat terlalu cepatnya waktu tiba kereta sehingga harus menyesuaikan ketepatan waktu sesuai jadwal. Stasiun kereta api kelas III (kecil) yang berketinggian +133 mdpl ini memiliki kesamaan dengan Stasiun Gawok, hanya disinggahi KRL rute Joglo.

Sebelumnya, warga sekitar stasiun berkode DL ini juga berharap agar kereta rute Joglo dapat berhenti di Stasiun Delanggu untuk memudahkan mobilitas masyarakat. Setelah waktu sesuai dengan jadwal yakni sekitar pukul 08:48 WIB, kereta menuju stasiun berikutnya yakni Stasiun Ceper yang berada di Jalan Stasiun Ceper, Penggung, Jambu Kulon, Kecamatan Ceper. 

Setiba di stasiun yang termasuk stasiun kereta api kelas II ini, kereta kembali berhenti untuk mengangkut penumpang. Saat kereta berhenti sejenak menunggu penumpang di stasiun yang ketinggiannya sama dengan tepat stasiun sebelumnya, terlihat kawan saya yang mulai mengalihkan pandangan tertuju pada gawainya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Sebagian lagi sekadar memeriksa tugas yang telah dikerjakan, termasuk juga saya. 

Suasana di dalam kereta
Suasana di dalam kereta/Rosla Tinika S

Hingga tanpa terasa kereta yang mulai kembali melaju sudah sampai di Stasiun Klaten, terletak di Jalan Haji Samanhudi, Tonggalan, Klaten, Klaten Tengah. Berada di pusat Klaten, stasiun ini termasuk dalam kategori stasiun kereta api kelas I yang berketinggian +151 mdpl. 

Saat menunggu kereta kembali melanjutkan perjalanan, sontak saya dan beberapa penumpang lain terkejut selepas beralih pandang terhadap kedatangan petugas keamanan yang mak jegagik alias seolah tiba-tiba saja datang untuk menertibkan penumpang. Petugas kembali menyampaikan sejumlah aturan yang harus dipatuhi para penumpang. 

Lalu pada pukul 09.13 WIB kereta tiba di Stasiun Srowot yang letaknya di Ngaseman, Gondangan, Kecamatan Jogonalan. Selepas dari stasiun berketinggian +152 mdpl tersebut, kereta kembali melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Brambanan. Stasiun berkode BBN ini lebih dikenal sebagai Stasiun Prambanan karena letaknya yang berdekatan dengan candi Hindu terbesar di Indonesia–Candi Prambanan. Tepatnya berada di Jalan Raya Solo-Yogyakarta No.25, Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan. Stasiun kereta api kelas I yang memiliki ketinggian +146 mdpl selain melayani KRL rute Joglo juga melayani KA angkutan semen. Menjadi stasiun paling barat di Klaten menandakan bahwa sebentar lagi, kami akan memasuki wilayah DIY.

Tak setelah itu, sampai juga di stasiun yang berdekatan dengan Bandara Adi Sucipto, yaitu Stasiun Maguwo. Selepas kereta kembali melaju dari stasiun yang terletak di Kelurahan Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, pemandangan sudah nampak jauh berbeda dari sebelumnya. Kini yang terlihat adalah perkotaan daerah istimewa yang dipadati beragam aktivitas masyarakat. Stasiun pemilik kode MGW dalam sejarahnya pernah melayani bongkar muat pupuk Sriwijaya dan pengangkutan ketel untuk memasok avtur ke bandara. Eksistensi stasiun bandara kelas II ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang tak lepas dari bandara yang terlihat lebih sepi.  

Jalanan Jogjakarta tampak macet
Jalanan Jogjakarta tampak macet/Rosla Tinika S

Mata saya terus tertuju pada panorama dari balik jendela sembari menunggu kereta berhenti di Stasiun Lempuyangan. Stasiun dengan kode LPN ini terletak di Kelurahan Bausasran, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta. Setiba di stasiun kereta api kelas besar tipe B, nampak kereta yang mulai senggang karena sebagian besar penumpang telah sampai di stasiun tujuan.

Saat kereta kembali melaju, yang terlihat dari balik jendela kereta adalah jalanan Yogyakarta yang banyak dipenuhi pengendara. Setiap ruas jalan raya tak ada yang luput dari pengendara kendaraan bermotor, utamanya di sekitar Adipura. Seusai itu, akhirnya kereta berhenti di Stasiun Yogyakarta yang terletak di Sosromenduran, Gedong Tengen.

Stasiun yang juga dikenal sebagai Stasiun Tugu merupakan stasiun akhir sebagian besar penumpang KRL rute Joglo. Kami yang masih muda menghindari berdesak-desakan dengan orang yang lebih tua. Jadi, kami memilih keluar dari kereta belakangan.

Antrean saat check out yang lebih senggang dari menit-menit sebelumnya
Antrean saat check out yang lebih senggang dari menit-menit sebelumnya/Rosla Tinika S

Kami pun tidak segera check out dari stasiun kereta api kelas besar tipe A dan kawan-kawan saya memilih untuk membeli roti di salah satu gerai di stasiun. Sembari mengisi perut yang mulai bergemuruh kelaparan untuk menghindari antrean yang bejubel, kami mencoba mencari tempat yang tepat untuk menikmati roti.Setelah sliwar-sliweran di stasiun ternyata tidak ada bangku yang mampu kami duduki lantaran penuh. Putus asa mencari bangku kosong kami kembali melihat antrean yang tidak lagi memanjang seperti tadi. Akhirnya kami mencoba antri untuk check out dan keluar dari stasiun menuju kawasan wisata Malioboro.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kilas Balik Perjalanan KRL Solo — Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kilas-balik-perjalanan-krl-solo-jogja/feed/ 0 34495
Solo — Jogja: Naik KRL, Berangkat dari Stasiun Gawok https://telusuri.id/solo-jogja-naik-krl-berangkat-dari-stasiun-gawok/ https://telusuri.id/solo-jogja-naik-krl-berangkat-dari-stasiun-gawok/#respond Mon, 27 Jun 2022 12:16:51 +0000 https://telusuri.id/?p=34113 Berawal dari iseng, saya mengajak kawan lama untuk kembali sowan ke Kota Yogyakarta. Saya menghubunginya, seorang kawan yang paling sat set, das des, gas wut wut ketika ada ajakan dolan. Saya kemudian mengirimkan pesan kepadanya...

The post Solo — Jogja: Naik KRL, Berangkat dari Stasiun Gawok appeared first on TelusuRI.

]]>
Berawal dari iseng, saya mengajak kawan lama untuk kembali sowan ke Kota Yogyakarta. Saya menghubunginya, seorang kawan yang paling sat set, das des, gas wut wut ketika ada ajakan dolan. Saya kemudian mengirimkan pesan kepadanya sebagai penyambung wacana dari kawan lainnya untuk berkumpul bersama saat lebaran. Alangkah lebih elok jika kumpul bersama kali ini, sekaligus melakukan perjalanan singkat di Yogyakarta. Kami kemudian menyusun rencana perjalanan, topik terpenting perbincangan kami yakni KRL. Rencananya dalam perjalanan ini kami menumpang KRL dengan rute pemberangkatan Solo-Yogyakarta dari Stasiun Gawok.

Jalur kendaraan bermotor tidak menjadi pilihan karena jarak antara kami dengan pusat Kota Jogja cukup jauh, belum lagi harus bermacet-macetan ria. Bukan menjadi hal yang patut kami coba. Selain itu, kami mempersilahkan pemudik dari perantauan untuk menikmati ruas-ruas jalan yang jarang-jarang mereka lewati di hari biasa. Lagipula akses yang kami dapat kini sudah cukup baik. Stasiun pemberangkatan yang kini tidak harus ke tengah Kota Solo dan stasiun akhir yang berada di Kawasan Wisata Yogyakarta.

Singkatnya, perburuan hari senggang tak lupa kami lakukan setelah rencana ini mendapat kesepakatan dari kami berempat. Mencari waktu longgar di tengah hempasan tugas pertengahan semester menjadi hal yang penting. Maklum musim ujian belum berakhir sepenuhnya. Terpilihlah hari yang paling sak klek di antara kami, yakni H+4 lebaran, alias hari Jumat pertama di bulan Syawal. Mencari jadwal keberangkatan dan kepulangan KRL dengan mengakses laman pemberitaan lokal juga kami lakukan. 

Stasiun Gawok
Pintu masuk Stasiun Gawok/Rosla Tinika S

Pada tanggal yang kami pilih ternyata KRL Solo-Jogja memberangkatkan setidaknya sepuluh kali perjalanan ke Yogyakarta yang terbagi dalam waktu sedari bakda Subuh hingga bakda Magrib. Dan dari sekian jadwal keberangkatan itu, kami pilih pukul 08.30 WIB. Karena pada waktu pemberangkatan ini tidak begitu pagi sehingga kami dapat mempersiapkan diri sekaligus waktu tiba di stasiun akhir belum masuk siang hari.

Urusan pemilihan stasiun keberangkatan tidak kami bingungkan, yakni Stasiun Gawok yang paling dekat dengan jalanan, yang paling lancar serta paling tidak sibuk jika dibandingkan stasiun pemberangkatan lainnya–utamanya Stasiun Solo Balapan atau Stasiun Purwosari. Bahkan sekitar 4,5 tahun yang lalu kami pun kerap guyon ketika naik kereta primadona rute Joglo, Prambanan Ekspres (Prameks) dengan berangkat dan pulang dari Stasiun Gawok.

“Kalau saja keretanya bisa berhenti di Stasiun Gawok, mending yo berangkat dan pulang dari stasiun ini. Ora mung liwat thok kaya saiki.” Perbincangan kami, setiap kali melewati Stasiun Gawok ketika berangkat ke Yogyakarta maupun pulang.

Stasiun Gawok
KRL di Stasiun Gawok/Rosla Tinika S

Stasiun yang berada di Jalan Panjang Gawok, Dusun II, Desa Luwang, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah ini memang sudah lama tidak menjadi persinggahan kereta. Konon sudah puluhan tahun hanya menjadi perlintasan kereta api. Kalau dari cerita kawan saya yang asli wong Gawok, stasiun ini sudah menjadi persinggahan kereta saat orang tuanya masih kecil. 

Barulah setelah kereta rel listrik atau commuter line (KRL) Yogyakarta-Solo dioperasikan untuk pertama kalinya, Stasiun Gawok kembali menjadi persinggahan kereta. Tepatnya sejak tanggal 10 Februari 2021 stasiun yang termasuk sebagai Stasiun Kereta Api III ini menerima kedatangan dan pemberangkatan KRL.

Perjalanan Solo – Yogyakarta dari Stasiun Gawok

Saat hari keenam bulan Mei telah tiba, saya persiapkan diri untuk berangkat ke stasiun pada pagi hari. Kawan saya yang rumahnya sepelemparan batu dengan Stasiun Gawok meminta kami tiba di stasiun pukul 07.45 WIB untuk menghindari antrian. Ndilalah-nya saya sebagai orang yang bertempat tinggal paling jauh dari Stasiun rupanya kena usil.

Saya yang dengan sengaja datang rada telat agar semua sudah kumpul duluan, malah menjadi orang pertama yang datang. Saya segera mengontak kawan-kawan saya agar gek ndang berangkat. Untungnya tak lama kemudian, kedua kawan saya berdatangan. Rupanya salah satu kawan saya mengajak saudaranya, yang semakin  menambah personel kami dan makin ramainya perjalanan kami.

Stasiun Gawok
Antusias calon penumpang saat kereta akan datang/Rosla Tinika S

Hingga jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 8 lewat sedikit, saya mengisi saldo kartu multi trip yang saya pinjam dari salah seorang kawan. Hanya dengan dengan tarif Rp8.000,- saya dan penumpang KRL lainnya dapat menuju stasiun tujuan.

Selepas 15 menit berlalu, masih ada kawan yang belum terlihat batang hidungnya, padahal sudah hampir pukul 08.20 WIB. Oleh karena itu pun, petugas stasiun bolak-balik bertanya mengapa kami tidak segera check in. Saat kereta sudah siap berangkat di Stasiun Solo Balapan, barulah kawan “teladan”- (guyonan kami bagi orang yang suka telat) saya ini datang. Segeralah kami antri masuk dan menempelkan kartu saat mendaftar. Sebelum kereta datang, antusiasme calon penumpang sangat terlihat, para calon penumpang ramai-ramai memenuhi perlintasan yang kala itu berada di jalur tiga, dari empat jalur yang ada.

Calon penumpang mulai berjejeran saat pengeras suara menginformasikan KRL telah tiba di Stasiun Purwosari dan berebut tempat bahkan sebelum kereta benar-benar berhenti di perlintasan dan membukakan pintu masuknya. Tak lama setelah KRL tiba di stasiun yang berketinggian +118 mdpl ini, sudah nampak jelas KRL yang penuh sesak.

Umpek-umpekan tak terelakkan.

Ini tak lain karena Stasiun Gawok menjadi stasiun ketiga yang memberangkatkan penumpang, maka hasilnya kami pun harus berdiri sepanjang perjalanan. Memprioritaskan tempat duduk bagi mereka penumpang yang semestinya mendapat ruang. Alhasil imbauan agar selalu jaga jarak tidak dapat diterapkan, jarak antar penumpang tak lebih dari dari 25 cm. Meski begitu kami tetap bersyukur dapat berangkat menuju Yogyakarta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Solo — Jogja: Naik KRL, Berangkat dari Stasiun Gawok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/solo-jogja-naik-krl-berangkat-dari-stasiun-gawok/feed/ 0 34113
Dewa Emas, Transformasi Menuju Desa Wisata Terpadu https://telusuri.id/dewa-emas-transformasi-menuju-desa-wisata-terpadu/ https://telusuri.id/dewa-emas-transformasi-menuju-desa-wisata-terpadu/#respond Mon, 06 Jun 2022 02:30:37 +0000 https://telusuri.id/?p=33908 Desa Kemasan merupakan salah satu dari dua belas desa di Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali yang mulanya tak jauh berbeda dengan desa lain di sekitarnya. Desa ini memiliki topografi dataran rendah berupa area persawahan dengan masyarakat...

The post Dewa Emas, Transformasi Menuju Desa Wisata Terpadu appeared first on TelusuRI.

]]>
Desa Kemasan merupakan salah satu dari dua belas desa di Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali yang mulanya tak jauh berbeda dengan desa lain di sekitarnya. Desa ini memiliki topografi dataran rendah berupa area persawahan dengan masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani padi. Namun menjadi desa yang disebut-sebut sebagai ibu kota Kecamatan Sawit—lantaran di desa ini letak Kantor Kecamatan Sawit berada—membuat banyak perkembangan terjadi di Desa Kemasan

Seiring  bertambahnya waktu dan berkembangnya zaman, masyarakat Kemasan mulai tersadar akan pentingnya pembangunan desa. Hingga kini Desa Kemasan menjadi desa yang tumbuh dengan konsep desa wisata.

Gapura Dukuh Mungup/Rosla Tinika S

Pembangunan Desa wisata Kemasan berawal dari pemikiran para masyarakat yang merasa jika daya pariwisata Kemasan Sawit perlu dikelola dengan baik. Tujuannya adalah untuk menciptakan kenyamanan sekaligus meningkatkan taraf perekonomian seluruh lapisan masyarakat Kemasan. Sebagai realisasi rencana pembangunan Desa Kemasan maka dibentuklah Dewa Emas sebagai konsep Desa Wisata Kemasan.

Masyarakat Kemasan pun mengerti, tentunya membangun suatu desa tidaklah secepat membalikan telapak tangan, karena perlu melalui proses panjang dengan sinergitas masyarakat untuk melakukan setiap projek pembangunan desa. Pembangunan Kawasan Wisata Dewa Emas bermula dari beberapa dukuh yang menjadi sentra Dewa Emas. Hingga pada bulan April 2014, objek wisata Desa Kemasan telah membuka diri untuk khalayak umum.

Bak gayung bersambut, gagasan pembangunan Dewa Emas disokong oleh pemerintah pusat yang meneken Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur regulasi suntikan dana desa yang pertama kali dikucurkan pada tahun 2015. Setelah mendapat dana insentif, pembangunan semakin meningkat hingga pada Juli 2016 pengelolaan Dewa Emas berada di bawah naungan BUMDes Karya Lestari Manunggal (Kalem).

Kantor pemerintah Desa Kemasan/Rosla Tinika S

Tidak sekadar membangun wisata, masyarakat Desa Kemasan juga berkonsentrasi untuk mewujudkan wisata edukasi bagi para pengunjung, khususnya anak-anak. Dengan memaksimalkan sumber daya yang ada di desanya, dibangunlah aneka fasilitas yang mampu menjadi daya tarik Dewa Emas. Di desa ini terdapat pelbagai wisata yang dapat dinikmati setiap pengunjung yang berdatangan. Mulai dari wisata edukasi, wisata alam, hingga wisata kuliner patut dicoba para wisatawan karena mungkin tak dapat dijumpai di tempat lain. Dewa Emas juga menawarkan paket mancakrida (outbound) untuk anak-anak yang dapat direservasi melalui situs web resminya desawisatakemasan.com lama sosial medianya.

Pintu masuk kolam renang dan resto/Rosla Tinika S

Kolam Renang dan Resto di Dukuh Mungup

Dewa Emas memiliki beberapa kolam renang dengan kolam utama yang berada di timur Umbul Tirtomulyo atau lebih tepatnya di sebelah barat Pendopo Dewa Emas—yang senantiasa akan menyambut wisatawan. Pendopo tersebut sekaligus menjadi landmark Desa Kemasan.

Di kolam yang terdiri dari dua bagian yakni di bagian barat memiliki kedalaman kurang lebih satu meter dengan dasar keramik serta di bagian timur dengan kedalaman sekitar dua meter dengan dasar kolam berupa tanah dan  batuan yang dapat digunakan pengunjung untuk ciblon maupun keceh. Dengan tiket masuk Rp3.000 setiap pengunjung dapat berenang sekaligus bermain air. Di kolam renang Dewa Emas juga terdapat resto yang menjajakan makanan khas Desa Kemasan.

Kebun Asman Toga Sahwahita/Rosla Tinika S

Pertanian Padi di Dukuh Maron

Di Dukuh Maron, setiap pengunjung dapat merasakan langsung bagaimana menjadi seorang petani tradisional. Ada berbagai aktivitas yang dapat dilakukan seperti ngluku atau membajak sawah, menanam padi, hingga belajar cara merawat tanaman yang menjadi panganan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia tersebut.

Pembuatan Jenis Roti di Dukuh Tangkisan

Pengunjung dapat pula belajar mengolah roti di Dukuh Tangkisan. Tidak perlu khawatir apabila tidak mengerti takaran setiap bahan yang digunakan karena akan ada pemandu yang mengajarkan untuk membuat beragam jenis roti.

Lahan Kangkung dan Pengolahan Sampah Terpadu di Dukuh Kemasan

Di Dukuh Kemasan terdapat perkebunan kangkung air yang  menjadi destinasi wisata. Kangkung sengaja dibudidayakan oleh warga sebagai sajian khas yang dapat dinikmati para pengunjung di Resto Dewa Emas. Selain itu, di dukuh ini juga terdapat pengolahan sampah terpadu yang merupakan representasi dari kesadaran masyarakat Desa Kemasan dalam memiliki pola hidup bersih dan sehat.

Kampung Lukis dan Tari di Dukuh Karanggayam

Bisa dibilang Dukuh Karangayam merupakan gudangnya para seniman Dewa Emas. Seniman dan seniwati Dukuh Karangayam akan mengajarkan setiap pengunjung untuk belajar berkesenian mulai dari melukis hingga menari. Meski berada di ujung timur dan utara desa, tidak membuat masyarakat Dukuh Karangayam abai untuk turut berkontribusi membangun desa. Karena jaraknya cukup jauh dari pusat kegiatan Dewa Emas, peserta outbound yang ingin belajar melukis dapat menggunakan kereta kelinci yang disediakan oleh pengelola Dewa Emas. Pemandu akan mengantar peserta outbound dan sesampainya di sanggar lukis maupun sanggar tari, para seniman akan memandu para pengunjung yang hendak belajar.

Petunjuk Desa Wisata Kemasan di Simpang Jalan Solo-Jogja, Perbatasan Boyolali, Sukoharjo, dan Klaten/Rosla Tinika S

Pembuatan Jamu di Dukuh Tegalsono

Jamu yang sudah menjadi minuman tradisional di Indonesia juga dapat ditemukan di Desa Kemasan, tepatnya di Dukuh Tegalsono. Tidak hanya merasakan cita rasanya, tetapi juga dapat melihat sekaligus turut serta dalam mengolah jamu.

Akses Menuju Desa Kemasan

Jalan menuju Desa  Kemasan mudah diakses. Melalui jalan raya Solo-Jogja, tepatnya di Persimpangan Sanggung dapat berbelok ke arah barat–belok kiri jika dari arah Yogyakarta atau belok kanan jika dari arah Surakarta. Jaraknya hanya 3 km dari persimpangan yang berada di perbatasan tiga wilayah-Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Klaten. Selepasnya akan ada petunjuk arah  yang sengaja dipasang oleh Disporapar Kabupaten Boyolali untuk memudahkan pengunjung di berbagai titik hingga menuju Desa Kemasan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dewa Emas, Transformasi Menuju Desa Wisata Terpadu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dewa-emas-transformasi-menuju-desa-wisata-terpadu/feed/ 0 33908
Kampung Matoa: Upaya Warga Dukuh Karangduwet, Boyolali https://telusuri.id/kampung-matoaupaya-warga-dukuh-karangduwet-boyolali/ https://telusuri.id/kampung-matoaupaya-warga-dukuh-karangduwet-boyolali/#respond Wed, 30 Mar 2022 02:43:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33241 Akhir-akhir ini kesadaran akan pembangunan desa semakin marak dilakukan. Baik masyarakat maupun pemerintah bersinergi dalam mengoptimalisasi potensi desa. Semakin banyak masyarakat desa yang berjibaku mengembangkan sumber daya di lingkungan sekitar untuk memajukan daerahnya. Terlebih semenjak...

The post Kampung Matoa: Upaya Warga Dukuh Karangduwet, Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini kesadaran akan pembangunan desa semakin marak dilakukan. Baik masyarakat maupun pemerintah bersinergi dalam mengoptimalisasi potensi desa. Semakin banyak masyarakat desa yang berjibaku mengembangkan sumber daya di lingkungan sekitar untuk memajukan daerahnya. Terlebih semenjak pemerintah memberi dana desa sebagai pembiayaan insentif untuk memfasilitasi kebutuhan desa yang juga memiliki dampak menjamurnya kegiatan memaksimalkan potensi hingga “mempercantik” desa.

Sejalan dengan hal itu pula yang kini tengah dilakukan oleh masyarakat Dukuh Karangduwet, RT 13, RW 03, Desa Bendan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Masyarakat Dukuh Karangduwet melihat bahwa Desa Bendan yang memiliki luas wilayah 0,93 km2 begitu potensial akan kekayaan yang dimilikinya. Salah satu potensi tersebut tak lain adalah banyaknya pohon matoa yang tumbuh di Desa Bendan, utamanya di Dukuh Karangduwet. 

Pohon Matoa di salah satu rumah/Rosla Tinika S

Kondisi ini mengingat di Desa Bendan sangat mudah untuk menemui tanaman yang asli berasal dari Papua tersebut. Bahkan setiap halaman rumah masyarakat di Dukuh Karangduwet terhiaskan dengan pohon bernama latin Pometia pinnata. Tak ayal ini membuatnya disebut sebagai Kampung Matoa.

Lebih-lebih lagi terletak di dekat wisata ziarah Pengging, tepatnya sebelah barat  kompleks pemakaman Yosodipuro dan Masjid Agung Cipto Mulyo membuat letak Kampung Matoa begitu strategis. Walhasil wisatawan yang hendak berkunjung tidak perlu kesulitan untuk mencarinya.

Kala memasuki wilayah Dukuh Karangduwet yang ditandai oleh gapura bertuliskan Kampung Matoa, pengunjung akan disambut dengan jajaran pohon matoa. Sedang, saat tengah berada di dalam kampung, pengunjung akan merasakan begitu teduh dengan kanopi alami dari dedaunan pohon matoa yang begitu rindang. Saking rimbunnya patera tersebut hampir sulit ditembus sinar matahari. Apalagi ditambah dengan jalanan yang tidak begitu lebar membuat terasa ayem di bawah lebatnya pohon matoa.

Awal mula Kampung Matoa

Dahulu di Dukuh Karangduwet ini hanya ada satu orang yang menanam pohon matoa. Beliau adalah Mbah Cipto yang memulai bercocok tanam pohon matoa di halaman rumahnya. Mulanya Mbah Cipto menanam bibit pohon matoa yang beliau dapatkan dari Kecamatan Sawit, sebuah kecamatan yang berbatasan langsung di sebelah selatan Kecamatan Banyudono. Mbah Cipto kemudian menanam dan merawat bibit tersebut hingga tumbuh besar. Namun anehnya, setelah bertahun-tahun pohon matoa itu berkembang dan semakin tumbuh besar, pohon tersebut tidak segera berbuah.

Mbah Cipto pun merasa jengah lantaran menunggu pohon yang sudah lama ia tanam sejak kecil tidak kunjung dapat dipanen. Karenanya, beliau berniat untuk menebang pohon tersebut. Akan tetapi, saat hendak menebanginya ternyata pohon tersebut telah berbunga dan mulai menunjukkan perkembangannya, buah kecil-kecil mulai tampak. Lantas Mbah Cipto mengurungkan niat untuk menebang pohon matoa yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kampung Matoa tersebut.

Setelah dipanen buah matoa milik Mbah Cipto turut dicicipi oleh tetangga kanan kirinya. Saat dirasakan ternyata buahnya manis, dagingnya pun tebal dengan kulit yang kemerahan. Selepas itu banyak masyarakat yang ingin menanamnya dengan cara mencangkok dan ikut menanam di pekarangan sehingga setiap masyarakat memiliki minimalnya satu pohon matoa.

Dukuh yang terdiri lebih dari 30 kepala keluarga itu akhirnya banyak ditumbuhi pohon matoa. Sementara, nama Kampung Matoa hadir secara spontanitas tanpa penelitian ilmiah maupun mencari wangsit. Dukuh Karangduwet lekat dengan julukan Kampung Matoa berawal dari salah seorang masyarakat yang mantu di tahun 2018. Di mana temanten pria berasal dari Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Keluarga temanten pria mengatakan kampung dari manten putri adalah Kampung Matoa. Sedangkan, keluarga temanten putri menyebut besannya berasal dari dari Kota Pasir, Kecamatan Wedi (wedi dalam bahasa Jawa berarti pasir). Guyonan ini tersimpan di benak masyarakat Dukuh Karangduwet kemudian masyarakat rembugan dan sepakat jika dukuhnya diberi julukan Kampung Matoa. Kemudian nama tersebut  dituliskan pada spanduk yang dipasang di atas gapura pintu masuk Karangduwet.

Berjalan di Kampung Matoa/Rosla Tinika S

Kepala Desa Bendan, Mas Teguh Rahayu, mengatakan bahwa satu pohon matoa bisa menghasilkan satu kuintal setiap musim, di mana setiap tahunnya bisa tiga sampai empat kali musim panen. Baginya, ini masih menjadi daya tarik wisatawan lokal, karena rasa matoa khas dari Dukuh Karangduwet yang tumbuh di dekat sumber mata air, Umbul Guyangan berbeda dari daerah lain. 

Buahnya tebal dan manis seperti rasa durian dengan kulitnya tipis samar-samar. Melihat potensi ini beliau juga berharap di waktu mendatang pohon matoa dapat semakin berkembang luas di wilayah yang dipimpinnya. Kedepannya tidak hanya sebatas sebagai Kampung Matoa melainkan menjadi Desa Matoa. Hal ini dikarenakan masih banyaknya masyarakat di luar Dukuh Karangduwet yang menanam pohon matoa. Ditambah harga jualannya yang terbilang tinggi yakni sekitar Rp40.000,00 s/d. Rp60.000,00 untuk satu kilogramnya. 

Pengunjung dapat datang ke Kampung Matoa langsung saat musim panen tiba. Bahkan di sini, pembeli juga bisa memetik buah matoa yang telah matang langsung dari pohonnya. Pohon yang umumnya berbunga pada bulan Juli hingga Oktober ini dapat dinikmati buahnya setelah 3 bulan bunganya berkembang menjadi buah yang matang sempurna. Sehingga waktu yang tepat untuk berkunjung ke Kampung Matoa adalah sepanjang bulan Oktober sampai Desember.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kampung Matoa: Upaya Warga Dukuh Karangduwet, Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-matoaupaya-warga-dukuh-karangduwet-boyolali/feed/ 0 33241
Jamu Nguter: Kuliner Kontemporer yang Kian Populer https://telusuri.id/jamu-nguter-kuliner-kontemporer-kian-populer/ https://telusuri.id/jamu-nguter-kuliner-kontemporer-kian-populer/#respond Fri, 18 Mar 2022 02:42:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33033 Kota jamu adalah salah satu julukan bagi kabupaten yang berada di eks Karesidenan Surakarta, Sukoharjo. Eksistensinya sebagai kota jamu pun telah terdengar seantero Nusantara hingga pada tahun 2019 lalu, Sukoharjo dinobatkan sebagai Destinasi Wisata Jamu...

The post Jamu Nguter: Kuliner Kontemporer yang Kian Populer appeared first on TelusuRI.

]]>
Kota jamu adalah salah satu julukan bagi kabupaten yang berada di eks Karesidenan Surakarta, Sukoharjo. Eksistensinya sebagai kota jamu pun telah terdengar seantero Nusantara hingga pada tahun 2019 lalu, Sukoharjo dinobatkan sebagai Destinasi Wisata Jamu oleh Pemerintah Pusat melalui Kemenko PMK. Karenanya, tak heran ketika bertandang ke kabupaten yang memiliki semboyan makmur ini, kita akan langsung disambut oleh Patung Jamu Gendong yang tak lain adalah ikon Kabupaten Sukoharjo.

Seorang lelaki bertelanjang dada, seolah memperlihatkan kekekaran otot-otot lengan tangannya. Ia mengenakan bawahan celana panjang dengan lipatan di bawah lutut sekaligus caping sebagai penutup kepala. Juga tak lupa cangkul yang dipikul di pundak sebelah kirinya. Sedang di sebelah kirinya, seorang perempuan menggendong tenggok (keranjang dari anyaman bambu) berisi gendul-gendul (botol) jamu yang diikat dengan selendang mendampingi. 

Perempuan tersebut mengenakan atasan kebaya dan bawahan berupa kain jarik. Tangan kirinya membawa ember kecil. Begitu kira-kira gambaran patung tersebut, patung yang merupakan representatif masyarakat tradisional Sukoharjo—seorang lelaki petani dan seorang mbok jamu, sebutan bagi perempuan penjual jamu gendong. 

Berpusat di Nguter

Tak hanya ada satu atau dua patung jamu ikonik yang dapat ditemui di Kabupaten Sukoharjo. Di pelbagai sudut Sukoharjo, utamanya di Kecamatan Nguter, kita dapat dengan mudah menemui patung jamu. Mulai dari yang terlihat estetik dan modern, hingga yang sudah usang. Kecamatan Nguter memang dikenal sebagai pusat sentra jamu. Di pelbagai instansi maupun tempat umum, ikon jamu mudah ditemukan. Di Polsek Nguter misalnya, memampangkan jelas tulisan ‘Nguter Kota Jamu’ lengkap dengan patung mbok jamu di sudut utara.

Jamu dan Nguter adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.Produksi jamu di Nguter dapat tetap eksis hingga sekarang karena urgensi jamu bagi kehidupan yang diwariskan sejak masa lampau. Bagi masyarakat, jamu adalah tandha urip yang berarti pertanda hidup manusia. lantaran jamu memiliki pelbagai tujuan dalam mengonsumsinya. Diantaranya, untuk mengobati penyakit, mencegah datangnya penyakit, menjaga kesehatan sekaligus imunitas tubuh.

Konon sejarah panjang pembuatan jamu berawal dari sini, sebuah desa kecil yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sukoharjo dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonogiri. Di sini, orang pertama kali mengenal seni meracik jamu secara tradisional yang terbuat dari dedaunan dan rempah sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Namun, para acaraki (peracik jamu)= pada zaman dahulu tidak begitu banyak. 

Menata jamu tradisional via TEMPO/Tony Hartawan

Dulu, pembuatan jamu perlu diawali dengan prosesi pembacaan doa kepada Tuhan. Tujuannya agar jamu dapat menjadi sarana perantara penyembuhan penyakit. Seorang peracik jamu harus memiliki hati dan pikiran yang bersih.. Dipercaya, jika seorang peracik jamu dihinggapi hawa buruk maka khasiat jamu bisa hilang.

Pembuatan jamu mulanya dilakukan dengan cara sederhana. Langkah pertama yakni mencuci dan membersihkan empon-empon seperti kencur, kunyit, cengkeh, kayu manis dengan air mengalir kemudian merendamnya dengan air bersih. Setelah itu barulah ditumbuk halus dengan lumpang dan diseduh dengan air panas hingga siap diminum. 

Dari pelbagai cerita yang berkembang di masyarakat, konon acaraki pada mulanya seorang laki-laki. Anggapan tersebut didukung adanya pengertian bahwa pekerjaan membuat jamu adalah suatu pekerjaan berat. Seiring berjalannya waktu dan proses membuat jamu dipermudah dengan pelbagai alat bantu pekerjaan meracik dan menjual jamu dilakukan oleh para ibu rumah tangga.

Pendapat lain mengatakan bahwa jamu mulanya dibuat oleh ibu rumah tangga yang beraktivitas di dalam rumah. Sembari di rumah mengurus rumah, mereka meracik jamu untuk keluarga maupun dijual. Dari berjualan di sekitar Nguter, lambat laun target pasar penjualan meluas ke masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya. Bahkan banyak kerabat Keraton Surakartamemesan jamu dari Nguter.

Varian jamu beragam. Ada beras kencur, kunir asem, pahitan, temulawak, pegel linu, stamina pria, cekokan hingga jamu khusus ternak seperti jamu untuk ayam petarung.

Untuk menyiasati pesanan yang banyak, para penjual jamu membawa tenggok yang berisi gendul jamu. Tenggok digendong di punggung dengan selendang. Cara berjualan itu kemudian dikenal dengan penjual jamu gendong atau mbok jamu asal Nguter. Hingga kini mbok jamu asal Nguter tetap bertahan dan meluas ke wilayah lain, meski jumlahnya semakin lama mengalami penurunan.Selain menjual dengan cara gendong, ada juga mbok jamu yang menjajakan jamu dengan sepeda onthel hingga sepeda motor. Bahkan belakangan ini kita dapat dengan mudah menemukan warung maupun kafe jamu.

Ragam Fasilitas untuk Njamu

Pada tanggal 1 April 2015 Pasar Jamu diresmikan. Di sini pengunjung dapat melihat pedagang yang menjajakan empon-empon yang menjadi bahan utama pembuatan jamu. Harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan di tempat lain karena didatangkan langsung dari petani jamu. Mengingat di Pasar Jamu ini biasanya para tukang jamu kulakan untuk membuat racikan jamu, yang membuat harganya murah agar peracik jamu dapat meraup laba lebih. Pendirian Pasar Jamu oleh pemerintah setempat, selain sebagai pusat transaksi produk jamu lokal juga untuk menghindari peredaran jamu ilegal. Sehingga setiap bahan pembuatan jamu telah terjamin kualitasnya.

Apabila tidak tahu racikan yang pas untuk membuat jamu, pengunjung dapat membeli paket racikan jamu yang dapat dibuat sendiri di rumah. Tinggal dituang dengan air panas atau direbus dengan air mendidih, racikan sudah siap dikonsumsi. Namun, kalau masih kebingungan akan cara yang tepat menyeduh racikan jamu, kita bisa memesan jamu instan yang tinggal diseduh sesuai dengan prosedur penggunaan yang dianjurkan. Jamu cair yang siap minum pun juga banyak dipasarkan langsung dari para peraciknya.

Lalu jika tidak mau repot dan ingin langsung minum di tempat, bisa langsung mengunjungi kafe jamu yang berada di depan pasar yang tepat berada di pinggir jalan utama Sukoharjo-Wonogiri. Kafe Jamu Sukoharjo ini diresmikan pada tanggal 18 Maret 2019 oleh Menko PMK yang kala itu dijabat oleh Puan Maharani. Kafe jamu ini dapat berdiri atas kerja sama antara pemerintah Kabupaten Sukoharjo dengan perusahaan swasta PT. Konimex, dan pelaku UMKM beserta BPOM. Pemkab sebagai inisiator dan regulator serta perusahaan swasta yang berperan sebagai role model dalam produksi jamu. Pelaku UMKM menjadi pihak yang paling penting dalam produktivitas pembuatan jamu karena sekitar 80% produk jamu rumahan yang dihasilkan dari produksi UMKM. Sedang peran BPOM di sini penting dalam distribusi jamu untuk menjamin keamanan jamu yang diedarkan telah memiliki izin edar.

Kafe Jamu Sukoharjo yang berada di bagian depan Pasar Jamu Nguter/Rosla Tinika S

Kafe jamu yang ada di nguter itu didapuk sebagai kafe jamu pertama yang ada di Indonesia. Nuansa kafe yang lebih modern jika dibandingkan dengan warung jamu tradisional biasa diangkat agar dapat menarik minat kaum milenial hingga generasi Z. mengkonsumsi jamu dianggap ndeso dan ketinggalan jaman. Apalagi stigma pahit dan tidak enak yang melekat di pikiran para kawula muda. Namun hal itu dapat ditepis lantaran rasa dan penyajian jamu di Kafe Jamu Sukoharjo lekat dengan anak muda. Ditambah dengan kenyamanan yang ditawarkan membuat para pengunjung tidak perlu malu dan sungkan untuk pamer foto di media sosial apalagi tempatnya yang estetik dan modern tanpa meninggalkan budaya asli gaya minum jamu.

Karena komplitnya sarana njamu di pasar ini membuat Pasar Jamu Nguter sudah dipenuhi oleh masyarakat yang hendak membeli racikan jamu sejak pagi. Jika masih kurang puas dan mau menelusuri pembuatan jamu, bisa juga datang ke Kampung Jamu sebagai sentra pembuatan jamu Nguter. Kampung jamu menawarkan edukasi bagi masyarakat yang tertarik akan pengolahan jamu dari yang masih berbentuk mentahan hingga bisa dinikmati langsung.

Bagi masyarakat yang ingin membeli jamu produksi UMKM tetapi terbentang jarak yang jauh maka bisa membeli dari marketplace. Pasar Jamu Nguter ini sudah merambah ke penjualan online di pelbagai situs marketplace. Tinggal klik dan pilih pesanan jamu telah bisa di genggaman tangan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jamu Nguter: Kuliner Kontemporer yang Kian Populer appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jamu-nguter-kuliner-kontemporer-kian-populer/feed/ 0 33033
Menengok Akulturasi Islam dan Jawa dalam Masjid Cipto Mulyo Pengging https://telusuri.id/menengok-akulturasi-islam-dan-jawa-dalam-masjid-cipto-mulyo-pengging/ https://telusuri.id/menengok-akulturasi-islam-dan-jawa-dalam-masjid-cipto-mulyo-pengging/#respond Wed, 02 Mar 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32894 Masjid Cipto Mulyo, salah satu masjid tertua yang ada di Kabupaten Boyolali, tepatnya di RT 9/RW 02, Dukuh Ireng, Desa Bendan, Kecamatan Banyudono. Masjid yang berada di kawasan wisata ziarah Pengging tersebut merupakan tempat peribadatan...

The post Menengok Akulturasi Islam dan Jawa dalam Masjid Cipto Mulyo Pengging appeared first on TelusuRI.

]]>
Masjid Cipto Mulyo, salah satu masjid tertua yang ada di Kabupaten Boyolali, tepatnya di RT 9/RW 02, Dukuh Ireng, Desa Bendan, Kecamatan Banyudono. Masjid yang berada di kawasan wisata ziarah Pengging tersebut merupakan tempat peribadatan umat Muslim yang terbilang istimewa. Hal itu terjadi lantaran yang membangun masjid adalah Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Paduka Paku Buwono X, ia berkuasa pada masa pemerintahan tahun 1893-1939 M.

Pendirian masjid dapat dilihat dari penanggalan yang tertulis jelas pada prasasti kayu dengan aksara Jawa, terletak pada serambi depan yang letaknya tepat di atas tangga masuk. Dari penulisan prasasti tersebut dapat diketahui  bahwa Masjid Cipto Mulyo didirikan pada Selasa Pon 14 Jumadil Akhir 1838 Je berdasarkan penanggalan Jawa atau jika dalam kalender Masehi terhitung pada tahun 1905.

  • Masjid Cipto Mulyo
  • Masjid Cipto Mulyo
  • Masjid Cipto Mulyo

Maka tepat pada tanggal 18 Januari 2022 Masehi yang bertepatan dengan 14 Jumadil Akhir 1955,  Masjid Cipto Mulyo telah memasuki usia ke 117 tahun. Namun, untuk memudahkan para pengunjung masjid, pengurus masjid telah memasang informasi tanggal pendirian Masjid Cipto Mulyo dengan aksara Latin yang diletakkan di tiang penyangga sebelah utara bagian depan masjid yang akan menyambut setiap jamaah yang hendak memasuki area masjid. 

Sejarah Masjid Cipto Mulyo

Dari kabar  yang beredar di telinga masyarakat masjid dibangun hampir bersamaan dengan Sanggrahan Ngeksipurna yang menjadi tempat peristirahatan para priyayi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Nama pendirinya pun juga lekat pada atap yang berbahan dari kayu yang letaknya sangat strategis dan dapat dilihat dari kejauhan. Nama Paku Buwono X sebagai tetenger Raja Surakarta  yang lahir pada 29 November 1866 diabadikan pada atap bagian timur yang akan sangat tampak dari jalanan sekitar saat kita mengunjunginya.

Bagi sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat penganut agama Islam, Masjid Cipto Mulyo bukanlah sekadar tempat sebagai ruang menyembah Sang Khalik. Tempat suci tersebut juga merupakan saksi perjalanan masuknya agama yang menjadi wahyu utama Rasulullah SAW di Karesidenan Surakarta pada tahun 1800-an. Sekaligus sebagai jejak peninggalan dan penyebaran Islam di Kabupaten  Boyolali.

Masjid Cipto Mulyo
Masjid Cipto Mulyo/Rosla Tinika S

Masjid Cipto Mulyo terletak bersebelahan dengan makam pujangga R.Ng. Yosodipuro. Nilai kebhinekaan pun tumbuh dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Hal tersebut tercermin pada setiap tahunnya terdapat tradisi sebaran apem kukus keong emas, yang telah diresmikan menjadi warisan budaya tak benda oleh pemerintah. Upacara untuk menghormati sosok pujangga Jawa tersebut biasa dilakukan di bulan Sapar selepas salat Jumat. Lahan  parkir Masjid Cipto Mulyo menjadi tempat untuk menyebar apem setelah diarak keliling sekitar tempat bersejarah sekitar Pengging. Nilai sosial dapat terlihat dari toleransi masyarakat yang menyatu sebagai pelestari budaya Jawa.

Susuhunan ke sembilan Keraton Surakarta memberikan nama untuk masjid ini. Namanya lekat dengan bahasa Jawa, berbeda dengan masjid yang biasanya berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Terdiri dari dua kata yakni Cipto dan Mulyo di mana Cipto berarti cipta dan Mulyo berarti mulia. Sehingga secara harfiah nampak jika dibangunnya Masjid Cipto Mulyo diharapkan dapat menjadi tempat terciptanya kemuliaan, mengingat sebagai masjid tempat para umat manusia bersujud pada Tuhannya. Para jamaah diharapkan dapat hidup mulia dan sejahtera baik secara lahir maupun batin selama hidup di dunia hingga kepulangannya menuju tempat keabadian di akhirat kelak.

Lantaran dibangun oleh raja, masyarakat merasa bahwa masjid tersebut merupakan tempat spesial. Sejak dahulu, bagi masyarakat, sosok raja adalah pemimpin yang menjadi khalifatullah atau wakil Tuhan di dunia. Setiap tingkah laku raja merupakan sabda yang menjadi panutan masyarakatnya. 

Masjid Cipto Mulyo
Area parkir masjid yang kerap digunakan untuk sebaran apem/Rosla Tinika S

Bentuk bangunan masjid yang letaknya di sebelah barat Umbul Sungsang tersebut berbeda dengan desain kebanyakan masjid Jawa kuno pada zaman dahulu maupun masjid yang mendapat pengaruh dari bangsa lain, mengingat Masjid Cipto Mulyo didirikan 40 tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Dari sinilah terlihat jika bagunan masjid merupakan representasi dari Islam sebagai agama dan kepercayaan yang menjadi sarana menyembah Gusti Pangeran serta Jawa sebagai budaya masyarakat yang mengajarkan tata cara hidup yang baik sebagai sesama makhluk Tuhan. 

Hal tersebut memperlihatkan pengaruh Islam dan Jawa begitu lekat pada setiap sisi masjid. Memberikan pengajaran bagi masyarakat penganut agama Islam agar hidup sebagai umat Muslim yang senantiasa menjunjung ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW tanpa melupakan kesejatian hidup sebagai manusia Jawa yang diciptakan untuk nguri-uri budhaya Jawi. Antara Islam dan Jawa terlihat saling melengkapi dalam hidup masyarakat sehingga dapat mencapai kesempurnaan hidup sebagai manusia yang sejati.

Menyusuri Bangunan Masjid Cipto Mulyo

Selain itu, dari arah kiblat yang menjadi patokan shaf shalat pengunjung dapat melihat hal yang berbeda. Arah kiblat di Masjid Cipto Mulyo mengarah serong ke kiri yang berbeda dari umumnya yang menyerong ke kanan. Patok arah kiblat tersbut telah dipasang oleh Kemenag kantor wilayah Jawa tengah bertahun-tahun silam. Patok tersebut menggambarkan penunjuk kiblat yang dibuat dari kuningan dan tembaga yang terpasang di lantai serambi bagian depan masjid.

Meski Hingga kini telah  mengalami beberapa kali renovasi, namun Masjid Cipto Mulyo tetap memiliki bentuk yang tak jauh berbeda jauh seperti aslinya saat pertama kali dibangun dahulu. 

Masjid Cipto Mulyo
Masyarakat mengunjungi Masjid Cipto Mulyo/Rosla Tinika S

Tiang usuk yang terbuat dari kayu jati konon masih asli bahkan dindingnya pun masih asli. Hanya beberapa sisi saja yang dilapisi batu marmer khas material gunung Merapi. Sampai sekarang konstruksi kayu dan bangunan belum berubah, hanya sebagian kawasan luar masjid yang kini menjadi halaman dan lahan parkir saja mengalami renovasi supaya bisa menampung jamaah yang kerap memakmurkan masjid dengan baik.

Piranti lain yang menjadi pelengkap masjid pun masih asli seperti mulanya termasuk bedug dan kentongan. Bedug besar yang terbuat dari kayu utuh dan kentongan yang tertulis Paku Buwono X menjadi benda yang dapat dilihat dari luar masjid. Letaknya yang berada di bagian luar tersebut lekat dengan fungsinya sebagai sarana penyebarluasan informasi. Namun seiring dengan bertambahnya waktu, bedug dan kentongan sebagai media komunikasi masjid tidak dipergunakan insentif seperti dahulu. Selayaknya masjid lain yang menggunakan pengeras suara, muadzin Masjid Cipto Mulyo mengumandangkan adzan dengan bantuan mik serta loudspeaker agar terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, kubah masjid berarah empat mata angin hingga kini pun masih dipertahankan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Akulturasi Islam dan Jawa dalam Masjid Cipto Mulyo Pengging appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-akulturasi-islam-dan-jawa-dalam-masjid-cipto-mulyo-pengging/feed/ 0 32894