Rosyid HW, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/rosyid-hw/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:58:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Rosyid HW, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/rosyid-hw/ 32 32 135956295 Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/ https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/#respond Wed, 14 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46912 Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya...

The post Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk appeared first on TelusuRI.

]]>
Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya di hari Minggu yang hangat di pertengahan Februari. 

Hari itu (16/2/2025), hari yang sangat saya nanti-nanti. Jauh-jauh hari, lingkaran merah telah menandai kalender saya. Sehari sebelumnya, di Sabtu malam, hati saya berdebar-debar seperti sedang menanti detik-detik ikrar pernikahan. Saya tidak mampu tidur nyenyak.

Saya memikirkan ulang cerita kakek saya tentang ruwat desa di Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Kata Mbah Salim (84) akan ada kasur-kasur tertutup kain jarik batik di depan rumah warga. Warga kemudian akan mengarak kasur-kasur itu keliling desa. Saya membayangkan Malaikat Maut. Maut identik dengan larik-larik kain jarik. Ah, teramat unik dan menarik.

Ruwat desa Pagerngumbuk sudah pasti berbeda dari ruwat-ruwat desa biasanya. Tidak hanya ziarah kirim doa di makam desa. Tidak melulu pengajian dan pertunjukan wayang. Saya pun bertekad seperti seorang raja yang sedang bersumpah, “Saya harus menontonnya! Dengan mata kepala saya sendiri!”

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Panggung utama ruwat desa Pagerngumbuk/Rosyid HW

Ruwat Desa Pagerngumbuk dalam Tiga Gelombang

Minggu-minggu menjelang bulan Ramadan—disebut bulan Ruwah dalam kalender Jawa—beberapa desa di Sidoarjo menggelar ruwat desa. Demi menonton ruwat desa Pagerngumbuk, saya merelakan diri tidak menonton ruwat desa Balongdowo dengan ritual nyadran-nya di pesisir Sidoarjo. “Mayat bergentayangan tentu lebih menarik daripada orang-orang mabuk ciu dan dangdut di geladak kapal!” seruku.

Bersama Fariduddin Attar, seorang antropolog partikelir, kami berangkat terlampau pagi dan mendapati beberapa orang masih menata tikar-tikar di jalanan depan Balai Desa Pagerngumbuk. Terop telah tegak berdiri. Panggung penuh gamelan sudah tertata rapi. Seseorang mencoba kualitas suara mikrofon. Beberapa panitia sedang bekerja dan berjalan ke sana kemari. “Biasanya pukul sembilan, warga mulai berdatangan,” jawab salah satu penjaja makanan dari puluhan penjual yang telah siap siaga mengais rezeki di sepanjang jalan menuju balai desa. 

“Wartawan, ya, Mas?” tanyanya. Saya menggeleng. “Mau ambil video, ya, Mas?” lanjutnya. Saya menjawab, “Kami hanya ingin menonton.” Menonton malaikat maut, batinku. Sambil melipir ke warung kopi, saya pun berpikir, ruwat desa ini sudah kepalang masyhur hingga banyak orang dari luar desa turut berkunjung.

Gunungan hasil panen sayur warga Pagerngumbuk/Rosyid HW

Tiga gelombang rombongan warga mulai berdatangan ketika jarum jam di dinding balai desa menunjuk angka sembilan. Gelombang pertama adalah bapak-bapak yang mengarak gunungan hasil bumi—lebih dari sepuluh gunungan. Setinggi dua meter lebih, aneka sayuran dan buah-buahan ditata sedemikian rupa agar gunungan terlihat menarik. Ada pisang, sawi, sirsak, terong, ketela, jagung, timun, nanas, gambas, dan kacang panjang. “Gunungan ini dilombakan. Per RT satu gunungan,” kata Fanani, saudara saya yang juga warga Pagerngumbuk. Beberapa jam kemudian, saya membaca statistik: desa ini terbagi menjadi 16 RT. Artinya, ada 16 gunungan hasil ladang.

Beberapa menit setelahnya, rombongan kedua mulai berdatangan. Tiba-tiba, dada saya bergetar. Bulu kuduk saya merinding. Para lelaki tampak seperti menggotong keranda-keranda. Keranda berpenutup jarik dan batik, sebuah bidang persegi panjang diikat pada selonjor bambu atau kayu dan diangkat oleh dua lelaki. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan. Seperti iring-iringan orang meninggal. Rentetan parade kematian. Mereka kemudian meletakkan kendaraan-kendaraan kematian tersebut di area pendopo dan halaman balai desa yang sengaja dikosongkan.

Hidung saya seolah-olah menghirup aroma basah tanah kuburan. Di tiang-tiang balai desa. Di atap-atap genteng. Di pucuk-pucuk daun. Di kilat-kilat lantai. Izrail seakan-akan terbang melayang-layang. Panggilan kematian seperti mendekat, sedekat urat leher. Oh, ini yang diceritakan kakekku.

Aku menatap Fanani dengan alis terangkat. Ia seakan mengerti, lalu membuka mulut: itu hanya dipan atau lincak atau kursi panjang, berisi tumpeng makanan. Aku berpikir, daripada tumpeng, itu lebih mirip mayat. Di antara lalu-lalang orang, Fanani berseru, “Seperti nabi, penyedia tumpeng adalah orang-orang pilihan.” 

Warga berbondong-bondong menggotong bayang dan lincak untuk ditata di balai desa/Rosyid HW

Hanya keluarga penggarap gogol sawah desalah yang berkewajiban mengeluarkan tumpeng. Jika total ada 88 gogol se-Pagerngumbuk, maka ada 88 tumpeng yang dihidangkan. Apabila ada satu keluarga yang menggarap empat gogol, maka keluarga tersebut tetap diharuskan mengeluarkan empat tumpeng. “Aturan ini sudah dijalankan turun-temurun,” katanya.

Daging kerbau adalah hidangan utama ritual ini. Sehari sebelumnya, pemerintah desa menyembelih kerbau. Daging kerbau dibagi-bagikan kepada penggarap 88 gogol sawah desa. Daging kerbau dimasak dan disajikan secara khusus. Tidak boleh sembarangan. Salah satunya adalah sate daging kerbau yang diapit supit bambu dengan pelepah daun pisang di ujungnya. Ada pula sate daging kelapa; kepal parut kelapa yang berisi daging dan sate hati-usus-jeroan—saat bubaran ruwat desa, saya sempat menggigit satu tusuk hati kerbau ini dan rasanya sedap sekali!

Selain daging kerbau, ada pula kerupuk besar selebar rentang jari orang dewasa, pisang hijau, dan jajanan desa macam jadah, kembang gula, dan jenang. Menu sudah diatur dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kondimen tumpeng sudah ditentukan sedemikian rupa. “Jika menunya tidak lengkap, ditakutkan muncul tumbal,” tutur Fanani menakut-nakuti.

Setelah tumpeng-tumpeng tertutup kain batik memenuhi area dalam balai desa, rombongan warga—lelaki dan perempuan; dewasa, remaja, dan anak-anak—mulai memadati kawasan jalanan depan balai desa. Mereka juga membawa tumpeng masing-masing, tumpeng bebas yang mereka berhak memasak apa pun dan siapa pun boleh membawanya. Di atas tikar-tikar yang tergelar, mereka tanpa jeda berbicara tak peduli dengan pidato-pidato kepala desa dan camat yang membosankan. 

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Keramaian warga saat prosesi ruwat desa. Mereka membawa makanan dan jajanan masing-masing/Rosyid HW

Menghayati Makna Ruwatan di Pagerngumbuk

Di tengah riuh yang memiuh, saya memilih berteduh dan menata gaung dari dengung pertanyaan di kepala. Mengapa penduduk Pagerngumbuk yang berjumlah 3.158 kepala merayakan ruwat desa dengan tumpeng-tumpeng yang terlihat seperti mayat? Saya mencoba menerka-nerka sendiri jawabannya.

Gunungan hasil ladang adalah ekspresi syukur dengan dada lapang. Syukur dengan kesadaran bahwa desa dengan luas 166,07 hektare dan tanah sawah seluas 154 hektare telah menganugerahi mereka kehidupan, rezeki, dan berkah yang berlimpah-limpah. Syukur yang tidak hanya diukur secara personal, tetapi juga komunal. Tumpeng dan daging kerbau pun mengejawantah dalam bentuk sedekah. Saling berbagi, saling menikmati; perwujudan rasa kebersamaan, gotong-royong, dan persatuan antar penduduk desa.

Namun, hidup dengan rasa syukur dan bahagia yang membuncah tak menghalangi mereka untuk melupakan hidup yang sesungguhnya, hidup selepas kematian. Walhasil, mereka membungkus tumpeng, masakan daging kerbau, dan jajanan mereka dengan kain batik dan jarik sehingga tampak seolah-olah seperti jenazah, seperti jasad mati yang terbujur kaku. 

Ketika zuhur menjelang dan doa-doa baik telah dipanjatkan, kain batik dan jarik disingkap, isi tumpeng-tumpeng diperebutkan dan dilahap, jajanan dan sajian dikudap. Jiwa-jiwa warga mendongak merayakan syukur hidup. Hati-hati penduduk menunduk mengingat mati. 

Di Pagerngumbuk, seraya mengunyah sate hati-usus-jeroan kerbau, saya belajar menghayati hidup sekaligus menghikmati mati. Hidup memang patut dirayakan, tetapi mati tidak boleh dilupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/feed/ 0 46912
Naga Telaga Berdendang di Sarangan https://telusuri.id/naga-telaga-berdendang-di-sarangan/ https://telusuri.id/naga-telaga-berdendang-di-sarangan/#respond Fri, 18 Apr 2025 02:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46705 “Di dasar telaga, hidup sepasang naga,” tutur seorang bapak pada anaknya seraya menunjuk kecipak ombak di tengah telaga. Alih-alih tertarik, anak empat tahun tersebut malah berlari ke seberang, arah utara. “Kuda, kuda, kuda!” teriak sang...

The post Naga Telaga Berdendang di Sarangan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Di dasar telaga, hidup sepasang naga,” tutur seorang bapak pada anaknya seraya menunjuk kecipak ombak di tengah telaga. Alih-alih tertarik, anak empat tahun tersebut malah berlari ke seberang, arah utara. “Kuda, kuda, kuda!” teriak sang anak. Bapaknya pun mengejar. Sang anak lebih memilih naik kuda daripada mendengar cerita bapaknya.

Namun, meski tak dihiraukan anaknya, ucapan sang bapak tak menguap sia-sia. Telinga saya tidak sengaja menangkap ucapannya ketika bersantai menyesap kopi di tepi Telaga Sarangan, Magetan, Jawa Timur.

Apa benar sepasang naga hidup di dasar telaga ini? Rasa penasaran membekap. Tutur seseorang tak kukenal mengendap di kepala. Tidak elok rasanya jika saya mengganggu bapak-anak yang sedang berpelesir itu. Jari-jemari pun langsung berselancar di dunia maya. Saya mencari “Naga Telaga Sarangan”. Boom! Muncullah kisah asal-usul telaga ini dengan berbagai versi. 

Naga Telaga Berdendang di Sarangan
Deretan speed boat terparkir menunggu wisatawan Telaga Sarangan/Isna Wachidah

Narasi Naga Telaga

Konon, telaga ini bermula dari seorang petani bernama Kiai Pasir yang menemukan telur di tepi ladangnya. Ia pun membawanya ke rumah. Istrinya, Nyai Pasir, memasak telur tersebut, mengirisnya jadi dua bagian dan bersama-sama memakannya dengan Kiai Pasir. Namun, saat kembali ke ladang, Kiai Pasir dan Nyai Pasir merasakan panas di tubuhnya dan perlahan-lahan berubah wujud menjadi naga. Naga-naga itu bergeliat dan berguling-guling di atas pasir hingga terbentuk cekungan yang cukup dalam. Cekungan pun memancarkan air bumi. Akhirnya, sepasang naga terkubur air di dasar telaga. 

Di tepi Telaga Sarangan, mata saya memang memandang cemara-cemara yang anggun bergoyang, kuda-kuda berpenumpang yang berseliweran, lalu-lalang pengunjung yang berjalan, speed boat yang berputar-putar, dan riak-riak air telaga yang berombak. Namun, pikiran saya telanjur terngiang kisah sepasang naga. Hebat! Sepasang naga telah mencipta kenikmatan dan hiburan bagi umat manusia.

Saya kembali tersadar ketika gelap bergelayut dan petang menyelimut. Saya pun memutuskan berjalan mengitari telaga. Di samping telaga, hotel-hotel dan penginapan menjamur. Kelap-kelip lampu mengelilingi telaga. Malam makin larut, tapi pengunjung makin menyemut. Iklim yang sejuk dan pemandangan yang aduhai membuat Telaga Sarangan jadi jujugan wisata, bahkan sejak zaman kolonial.

Puas berjalan-jalan, saya memutuskan duduk di antara rombong sate kelinci dan gerobak ronde-angsle. Kata orang-orang, tanpa menyantap sate kelinci dan menyesap ronde-angsle, kita dianggap belum sah mengunjungi Telaga Sarangan. Setelah memesan, saya bertanya pada penjual sate kelinci, “Apa benar sepasang naga hidup di dasar telaga di kaki Gunung Lawu ini?” Ia mengangguk. Pertanyaan serupa saya lontarkan pada penjaga rombong angsle-ronde. Dia mengiyakan. 

Naga Telaga Berdendang di Sarangan
Penjual sate kelinci di tepi telaga/Isnaini Wachidah

Seteguk ronde hangat membuat dada hangat. Tiba-tiba saya teringat konsep storynomics tourism, pendekatan pariwisata yang menitikberatkan pada kekuatan narasi. Dalam buku Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post-Advertising (2018), Robert McKee mengemukakan bahwa cerita menjadi faktor kuat suksesnya pemasaran produk ekonomi. 

Pada aspek promosi pariwisata, legenda naga Telaga Sarangan adalah contoh absah penerapan storynomics tourism. Pasalnya, narasi tentang Telaga Sarangan yang terbentuk dari geliat naga disebarkan, dituturkan, dan diturunkan. Dari mulut ke mulut, dari kepala ke kepala, dari generasi ke generasi. Legenda naga ini turut mendukung, melengkapi dan memperkuat keindahan alam Telaga Sarangan.

Pemandangan telaga di kaki gunung memang menjadi daya tarik utama wisatawan, tetapi narasi naga telaga tak dapat disepelekan. Legenda naga bergema dalam tempurung-tempurung kepala warga hingga saya mendengarnya pada suatu senja. Ah, bagaimana nasib bapak-anak itu? Apakah sang anak telah mendengar kisah naga telaga?

Malam telah berganti dini hari. Telaga tak kunjung sepi. Tubuh saya butuh menepi dan merebahkan diri. Sebelum benar-benar terlelap, sebuah pertanyaan muncul di kepala. Mengapa asal-usul Telaga Sarangan yang bersumber dari cerita rakyat lebih mengemuka daripada fakta saintifik geologisnya sebagai danau vulkanik?

Foto-foto lawas Telaga Sarangan tahun 1930 (kiri) dan 1935 via Leiden University Libraries/KITLV

Dendang Sarangan

Matahari muncul begitu memesona di kaki Gunung Lawu. Cahayanya mengkilat-kilat hangat. Kabut terangkat mengangkasa. Kemarin, saya sudah tamat mengitari telaga. Saatnya mencari alternatif tempat. Saya meniti setapak di tepi pemukiman, ladang-ladang, dan kebun-kebun. Stroberi, bawang, sawi, dan selada menyapa. Hati saya hangat terasa. Puji Tuhan, Sarangan dianugerahi tanah subur dan pemandangan serupa mazmur. 

Ya, mazmur. Puji-pujian pada Tuhan. Alam seindah ini, pasti memunculkan kidung terlantun dan madah tercipta. Saya membatin. Benar belaka. Saat jemari menelusuri Youtube, terpampang tiga lagu merekam keasrian telaga. Nada-nada menggemakan keindahan Sarangan. Dendang lagu turut mengamplifikasi keasrian telaga. Penuh puja-puji, Ismanto mencipta lagu Telaga Sarangan berlanggam keroncong. Ismanto menulis:

Teduh sunyi damai tenang
Telaga Sarangan
Indah, bukan buatan
Pemandangannya untuk bertamasya

Tempat margasatwa mandi
Berkecimpung ria
Bebas menghias diri
Berkicau murai di tepian telaga

Kolam air ciptaan Tuhan
Berpagar bukit-bukit rimba
Tempat insan datang
Untuk menghibur lara

Di kakinya gunung Lawu
Di situ letaknya
Kagum aku memandang
Keindahannya, oh, rahasia alam

Kolam air ciptaan Tuhan
Berpagar bukit-bukit rimba
Tempat insan datang
Untuk menghibur lara

Di kakinya gunung Lawu
Di situ letaknya
Kagum aku memandang
Keindahannya, oh, rahasia alam

Lagu tentang Sarangan yang lain, yaitu Tangise Sarangan (2016) menjadikan Sarangan perlambang dan telaga sebagai penanda bagi kesedihan hati Saraswati, pencipta lagunya. Ia mengibaratkan telaga adalah tetes tangisnya dan dingin udara Sarangan sebagai kondisi hatinya. Ia menggambarkan Sarangan begitu asri, sangat berbeda dengan perasaannya. Sarangan adalah saksinya melepaskan kekasih hati.

Dengan nada muram serupa, Arya Galih menceritakan kesedihannya pada lagu Sarangan Nglarung Rasa (2021). Arya Galih meramu diksi-diksi penampakan alam dengan diksi keluh kesah hatinya. Lereng Lawu berpadu dengan cinta semu. Pohon cemara berdiri bersama janji yang dikhianati. Ombak telaga bersanding dengan hati dengan luka menganga. Arya Galih mengakhiri lagunya dengan melarungkan rasa sakit hatinya di telaga. Ia bercerita:

Tak larung rasaku ana Telaga Sarangan
(Kularung cintaku di Telaga Sarangan)
Pengen ngilangke rasa ati sing kelaran
(Aku ingin menghilangkan rasa sakit hati)
Ombak tlaga dadi crita, netes eluh saka mata
(Debur ombak telaga jadi cerita, air mata berlinang)
Wus tak larung rasa lara, kari nerima aku lila
(Telah ku larung rasa sakitku, hanya bisa menerima aku rela)

Naga Telaga Berdendang di Sarangan
Kabut menutupi pemandangan Gunung Lawu. Tampak hotel-hotel menyemut di sekitar Telaga Sarangan/Arif Islahuddin

Melalui lagu-lagu tersebut, kita dapat mengerti bahwa telaga sarangan adalah cawan rasa raksasa. Tempat manusia melarung perasaannya. Manusia menumpahkan keluh kesah, melempar duka lara, menambatkan segala penat, dan melunturkan sesak dalam dada. Harapannya, sepulang dari Sarangan, hati gembira riang lapang kembali. Seperti hati saya saat pulang ke Surabaya selepas dua hari semalam bervakansi di Sarangan.

Seraya menginjak pedal gas mobil menuju Surabaya, saya bergumam dalam hati. Telaga Sarangan tak hanya perihal keindahan alam dan kesejukan udara semata. Legenda naga telaga dan dendang nada-nada juga turut mengabadikan keanggunannya. 


Referensi:

McKee, R. &Gerace, T. 2018. Storynomics: Story-driven marketing in the post-advertising world. London: Hachette UK.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Naga Telaga Berdendang di Sarangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/naga-telaga-berdendang-di-sarangan/feed/ 0 46705