Royyan Julian https://telusuri.id/penulis/royyanjulian/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:23:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Royyan Julian https://telusuri.id/penulis/royyanjulian/ 32 32 135956295 Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/ https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/#respond Fri, 24 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45442 Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat...

The post Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat penciptanya.

Paling tidak, itulah yang kita lihat pada batik Madura yang mengejawantahkan falsafah pragmatis manusianya. Namun, tentu saja, batik Madura juga membentangkan hal-hal lain yang mungkin luput dari pengamatan sepintas, sehingga mengubah pandangan sok tahu kita bahwa kerajinan lokal Pulau Garam itu cuma goresan kasar di atas kafan. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Perajin batik Madura mewarnai motif/Samroni

Pragmatisme Batik Madura

Keliaran motif batik Madura tak kusadari hingga pada suatu siang di Pasar Kolpajung, ibu mengacungkan telunjuk ke selembar kain yang dibeber di sebuah kios. “Mungkin dia yang kaucari,” katanya. “Dia”, di kalimat yang ibu ucapkan, terdengar seperti jodoh yang seolah-olah ingin kutemukan. “Cocok dengan karaktermu,” lanjutnya. Kuyakin, ibu sama sekali tak tahu tabiatku. 

Batik yang ibu anggap sesuatu yang tengah “kaucari” dan “cocok dengan karaktermu” itu adalah kain berlatar hitam dengan percikan-percikan putih, kembang sulur, dan semburan samar warna-warna neon. Kelak kutahu, nama motif batik itu adalah ulat dan rumput oleng. Tapi, mengapa ia cocok dengan watakku?

Batik tersebut memang masih menggunakan motif lazim sebagaimana batik Madura pada umumnya. Namun, di sana kreativitas personal perajinnya turut hadir: latar hitam dan semburan warna-warna neon. Batik itu bagai langit malam yang dipercik kembang api. Kombinasi kelam dan warna neon seperti mewakili watak ambivalen, perasaan fluktuatif, atau kemuraman yang ditutupi topeng senyum dan tawa. Mari kita singkirkan diskusi tentang kepribadian tak menyenangkan itu sambil memberi simpulan singkat, bahwa batik Madura bergerak di antara konvensi dan invensi yang bergelora. Bahkan, terlampau bergelora mengingat batik ganjil lain yang kutemukan beberapa tahun setelah itu sama menterengnya.

Batik ganjil tersebut kutemukan di pasar yang sama. Juga ketika aku berkunjung bersama ibu. Warnanya amat mencolok di antara batik-batik yang lain. Sekali lihat, kau akan mengingat rambut merah Ariel dan sahabat ikannya, Flounder, di film The Little Mermaid bikinan Disney. Batik itu bermotif ekosistem laut dengan biota kuning campur biru, ikan dan segala vegetasinya, berlatar air merah menyala seperti Sungai Nil yang dikutuk Yahweh pada episode “Sepuluh Tulah Mesir” dalam kisah Musa.

Ketika kutanya perihal motif batik tersebut kepada Samroni (22), ia menjawab, “Itu nyomot dari Pinterest.” Tanggapannya membuat marwah kemaduraanku luntur. “Banyak kok pembatik sekarang yang nyontoh di Pinterest,” tambahnya. Aku tahu, pemuda kekar ini model dadakan dan fotonya yang berkain batik pernah mampang di surat kabar lokal. Tapi, bisa tidak, sih, ia sedikit ngarang bahwa batik yang kubeli itu bermotif apalah.

Terlepas dari aspek orisinal dan bajakan tersebut, akhirnya aku paham, gaya cetar dan warna membahana inilah yang barangkali membuat ibu bilang bahwa batik Madura pantas dipakai anak muda. Kini aku menangkap maksud ibu ketika berkata, “Cocok dengan karaktermu.” Waktu itu, usiaku memang masih dua puluhan. 

Kehadiran warna-warna vulgar pada batik Madura bukan kehendak asal tabrak. Ia memiliki semacam alasan yang bisa kita duga bahwa rona semarak tersebut muncul karena dorongan imaji ideal Madura atas warna. Sebab, lanskap alam Madura monoton. Lingkungan fisik Madura dilabur warna yang tak kaya ragam: bukit kapur, sabana, dan laut. Itulah mengapa batik Madura menjadi wahana untuk menumpahkan imaji orang Madura tentang dunia penuh warna. Kecenderungan artistik ini bisa dibandingkan dengan karakter manga bermata lebar lantaran orang-orang Jepang bernetra sipit. Tokoh-tokoh kartun itu menjadi model paripurna manusia Negeri Sakura.

Secara sederhana, pola batik Madura, setidaknya bisa dikelompokkan menjadi tiga: motif botani, elemen fauna, artefak budaya. Sekar jagat merupakan motif yang merangkum seluruh pola. Ia tampak seperti kain yang dijahit dari perca berbagai rupa. Seluruh motif batik Madura dipindai dari komponen realitas fisik yang hadir di sekitar orang Madura. Motif botani, misalnya, berupa alang-alang, tanaman rambat, beras tumpah, bunga lawang. Sementara itu, jagat fauna meliputi kupu-kupu, burung kenari, cakar ayam. Pola artefak budaya kerap meniru anyaman bambu. 

Gambar-gambar itu tak digurat dengan detail halus sebagaimana batik Jawa. Bias estetis tersebut dikerjakan bukan lantaran orang Madura tak mampu menciptakan karya seni yang subtil, melainkan lebih dilandasi oleh pandangan hidup. Jagat hidup orang Madura cenderung pragmatis ketimbang gagasan hayat manusia Jawa yang batiniah.

Masyarakat dengan gerak hidup yang banyak dikendalikan oleh ketidaksadaran memiliki produk seni detail, halus, aneka rupa, sebagai wujud arketipal. Arsitektur klasik seperti gotik dan barok, misalnya, berornamen lebih rumit ketimbang rancang bangun modern, seperti Art Deco atau minimalis. Sebab, orang-orang abad ke-20 telah mencapai puncak kesadaran ketimbang masyarakat klasik yang masih menyisakan tilas ketaksadaran. 

Aspek-aspek kesadaran tak membutuhkan simbol arketipe yang rumit serta semarak karena telah dialihkan dalam budaya sains, teknologi canggih, dan ekonomi. Pragmatisme memberi ruang pada produk modernitas tersebut dengan mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kepraktisan. Sifat tak detail nan tak halus itu akhirnya mendorong motif batik Madura ke bentuk abstrak, realisme murni yang mendekati formasi-formasi dasar semesta: geometri. Maka, watak tersebut bersinergi dengan jagat hidup pragmatis yang memandang dunia apa adanya.

Jati Diri di Persimpangan Masa Lalu dan Kini

Di Pamekasan, batik kerap dipromosikan pemerintah dengan jalan di luar akal sehat. Salah satu kabupaten di Madura ini memang memiliki ambisi menjadi Kota Batik melebihi Pekalongan. Motif-motif batik dipoles di tembok, tiang listrik, pepohonan, dan jembatan. Di era Bupati Badrut Tamam, badan mobil dinas pun dilapisi pola batik. Agak norak, tetapi ada gunanya. Paling tidak, ketika melihat mobil batik nangkring di acara mantenan, kita jadi tahu bahwa fasilitas negara tersebut telah disalahgunakan. Kepemimpinan Tamam juga meluncurkan program sepatu batik, tetapi tak laku di pasaran. Anak-anak muda Pamekasan tetap lebih suka mengenakan Converse atau New Balance ketimbang sepatu yang dilapisi kain batik.

Bidang atau tekstil bermotif semarak seperti batik memang lebih bijak jika tidak ditampilkan dengan aneh-aneh. Batik yang pada dasarnya sudah terlihat ramai memang paling anggun dipakai sebagai kain bawahan—sebagaimana cara orang-orang dulu memakainya—atau dibuat baju dengan desain bersahaja. Batik yang terlempar ke dunia fesyen dan dipajankan di atas catwalk kerap malih kostum lajak, akrobatik, dan membuat kita bertanya-tanya, “Busana kayak gitu mau dipakai di mana?” Meski dirancang dengan itikad eksperimental atau alasan-alasan luhur seperti melestarikan dan memperkenalkan khazanah seni budaya ke konsumen manca, bagiku siasat lebay semacam itu tak akan menambah nilai adiluhung serta ekonomi batik. 

Dalam amatanku yang sumir, batik Madura—dan agaknya batik-batik yang lain—mulai populer dijadikan sarung ketika polemik Islam Nusantara menggema di seantero Indonesia. Batik yang dulu cuma dikenakan sebagai jarit wanita atau pria keraton kini diviralkan pula oleh kaum santriwan. Di media sosial, misalnya, Gus Iqdam acap tampil dengan sarung batik. Mubalig muda tersebut sampai repot-repot—atau mungkin tidak—membangun bisnis dengan mengorbitkan mereknya sendiri. 

Tren tersebut lama-lama merambat ke Pulau Garam yang memang lekat dengan budaya santri. Bahkan, para personil band tersohor Madura, seperti Lorjhu’ dan La Ngetnik menggunakan sarung batik saat pentas. Sementara itu, pentolan band Warga Tabun—yang notabene keluarga santri—juga mempromosikan produk batiknya dengan motif kontemporer. Batik-batik kontemporer ini tak sedikit diproduksi pesantren. Aku pernah dikasih sarung batik kontemporer bergambar tugu Arè’ Lancor Kota Pamekasan oleh seorang lora (putra kiai) muda yang punya bisnis batik. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Pembatik Madura kontemporer mengukur kafan/Royyan Julian

Batik-batik kontemporer tersebut sepertinya telah lepas dari motif tradisional. Ia digurat sesuai selera kekinian senimannya. Meski batik kontemporer mulai menjamur, bukan berarti batik Madura yang dikembangkan dari pola lama ditinggal. Batik Madura masih masif dipakai, baik di hajatan maupun aktivitas keseharian, juga menjadi seragam pegawai hingga anak-anak sekolah. Sebab, batik tulis Madura bisa dijangkau semua kalangan dengan harga puluhan ribu sampai jutaan.

“Aku suka batik karena hidup di lingkungan batik,” daku Samroni yang ibunya seorang pembatik. “Keluargaku bisa hidup karena batik. Memakai batik menjadi kata lain dari menyokong ekonomi para pekerja batik yang upahnya tak seberapa.” Namun, Samroni juga punya alasan estetis mengapa suka batik meski cuma bisa mengekspresikannya dengan kata “bagus”. 

Aku sulit membayangkan batik punah dari Madura, Jawa, atau Indonesia. Sebab, bangsa kita masih mempertahankan identitas-antara, “jati diri” yang tegak di persimpangan masa lalu dan kini. Maka, malam-malam itu akan senantiasa leleh di atas tungku, menetes dari liang canting. Malam-malam itu terus digurat di lembar-lembar kafan, digurat entah sampai kapan.

Foto sampul oleh Afnan R.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/feed/ 0 45442
Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2) https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-2/ https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-2/#respond Sun, 08 Sep 2024 21:00:42 +0000 https://telusuri.id/?p=42626 Dan hari itu adalah kali keduaku ke Pantai Hutan Nipah setelah tiga puluh tahun yang lalu. Meskipun bernama “nipah”, kenyataannya, hutan itu lebih banyak ditumbuhi pohon buni yang buah-buahnya menjadi makanan makaka. Di tepi hutan,...

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dan hari itu adalah kali keduaku ke Pantai Hutan Nipah setelah tiga puluh tahun yang lalu. Meskipun bernama “nipah”, kenyataannya, hutan itu lebih banyak ditumbuhi pohon buni yang buah-buahnya menjadi makanan makaka. Di tepi hutan, kesenyapan itu meruapkan hawa wingit. Apalagi di belakang kami tiba-tiba muncul sosok tua bertongkat kayu dengan kemeja dan celana pendek belel.

“Siapa, ya?” bisikku kepada Iko.

“Jangan bilang beliau siluman,” jawab pemuda itu sambil melepas dan melilitkan jaket Reebok dongker di pinggang, menampakkan kaus kelabu yang membungkus torsonya. 

Sebenarnya aku tahu, si orang tua berharap kami memberinya sedekah. Kondisi pariwisata yang oleng mungkin mendesaknya meminta-minta. Kami membiarkannya mengikuti kami. Siapa tahu ia bisa menghalau bila ada monyet edan mendadak menyerang.

Legenda Raden Segara 

Merasuki relung hutan, beberapa makaka mulai terlihat, campur-baur suara satwa terdengar, dan cahaya matahari tertutup rimbun pepohonan. Jalan setapak Nipah cukup lebar, tak banyak kelokan, teduh, dan sedikit gelap. Beberapa meter setelah tikungan terakhir, jalan buntu.

Di sudut hutan itulah sejulang pohon buni bertubuh lebar berdiri kokoh meski telah sepuh, setua kisah Raden Segara. Raga pohon diselimuti selembar kain berwarna kuning mencolok, menunjukkan bahwa makhluk itu dikeramatkan.

Suatu kali, ketika melihat foto pohon itu, seorang kawan bertanya, “Kenapa kuning? Itu Jawa sekali.” Aku tak punya jawaban pasti. Bisa jadi sarung kuning itu cuma kebetulan. Namun, kalau mau othak athik gathuk, aku ingat empat warna dalam kisah Dewa Ruci, cerita yang amat berarti dalam falsafah kebatinan orang Jawa. Dalam kisah itu, Werkudara masuk ke perut Dewa Ruci. Di lambung sang dewa liliput, ia menjumpai empat warna hasrat. Kuning merepresentasikan nafsu supiah, hasrat duniawi.

“Itu petilasan Raden Segara,” ucap si kakek sambil menunjuk rantai batu yang melingkar di bawah pohon buni. Kualihkan pandang ke papan besi yang berdiri di sebelah buni. Plakat bercat putih tersebut menerakan kisah Raden Segara. Di akhir cerita, hulubalang Gilingwesi bertanya kepada Tanjung Sekar perihal ayah Raden Segara. Ketika perempuan itu menjawab, “Siluman”, kedua ibu-anak mendadak lenyap seolah-olah menyusul sang ayah ke negeri para peri. Lokasi moksa tersebut ditandai kain kuning yang melilit pohon buni dengan lingkaran batu di kakinya.  

Maka, kain supiah menjadi penanda bahwa Raden melepaskan takhta dan syahwat duniawi. Sebab, di situlah dahulu keraton sang pangeran didirikan. Warna kuning berunsur air, seperti ‘Segara’, nama daging sang Raden yang harus ditanggalkan untuk menyongsong jati dirinya yang lain, identitas gaib sang ayah sebagai sosok yang berasal dari dunia roh.

Karena tak dibutuhkan lagi, aku merogoh selembar rupiah dan menyerahkannya kepada si kakek. Kepergian orang tua itu berbarengan dengan berkumpulnya beberapa makaka di sekitar kami. Aku menyesal tidak membawa pisang atau kacang. Sementara Iko masih khusyuk menekuni cerita Raden Segara di papan itu.

Sungguh, kisah Raden Segara punya beberapa varian. Cerita Raden Segara di papan itu seversi dengan yang ditulis Zainal Fattah dalam Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja (1951). Namun, Sangkolan: Lègènda bȃn Sajara Madhurȃ (2005) karya A. Sulaiman Sadik mengakhiri kisah dengan kembalinya Raden Segara dan ibunya ke Jawa setelah berhasil mengalahkan legion Cina yang berusaha menginvasi Kalingga.

Baik versi satu maupun versi yang lain bagiku memiliki motif politis. Aku menduga, hilang atau perginya Raden Segara dalam kisah itu merupakan penolakan orang Madura sebagai zuriat Jawa. Sebab, sang pangeran hengkang dari Madura ketika ia masih lajang dan tak meninggalkan keturunan. Penafian ini bisa jadi didorong oleh rasa tak senang orang Madura atas ekspansi Jawa di tanah mereka. Penampikan akar genealogis tersebut mengembalikan kita pada spekulasi Rifai bahwa penduduk mula-mula Madura berasal dari gelombang migrasi Proto-Melayu. Jika tidak, kita hanya akan menemui riwayat Madura yang berselubung halimun.

Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2)
Kawanan Makaka nongkrong di pohon tumbang/Royyan Julian

Para Penggawa Raden Segara

“Aku baru tahu legenda ini,” tukas Iko usai membaca papan itu.

Aku lebih beruntung karena telah mendengar cerita Raden Segara ketika masih duduk di sekolah menengah awal. Waktu itu, seorang teman mempresentasikan tugasnya yang mengangkat kisah Raden Segara di depan kelas. Saat pertama berkunjung, aku hanya tahu Hutan Nipah dihuni para monyet tanpa mengerti legenda satwa tersebut. Kini, lawatanku ke Nipah semacam tapak tilas cerita Raden Segara dan Tanjung Sekar.  

“Jadi, monyet-monyet di sini jelmaan para penggawa Raden Segara setelah ia pergi dan keratonnya ikut lenyap,” simpul Iko dengan mengedipkan mata sipitnya. Kami berjalan meninggalkan pohon buni bersarung kuning. “Tapi, kenapa harus jadi monyet? Kenapa enggak jadi sapi aja?”

“Monyet lebih mirip manusia,” tebakku sekenanya. Karena kemiripan morfologis itulah, dalam banyak dongeng, monyet sering dihubungkan dengan manusia: Subali Sugriwa, Lutung Kasarung, Ciung Wanara. Bahkan, dalam kitab suci, Bani Israel dikutuk jadi monyet ketika melanggar hari Sabat. Jauh sebelum Charles Darwin menyiarkan manifesto ilmiahnya tentang kekerabatan genetik manusia dengan monyet, legenda-legenda itu telah menyiratkan keintiman asosiatif kita dengan primata berekor panjang tersebut.

Eman, kita enggak bisa ngomong sama monyet-monyet ini,” keluh Iko sambil mencari tempat duduk aman di pendopo bertabur tahi cicak dan kalong. Sebagaimana semua sarana di sini, pendopo itu juga terbengkalai.

“Padahal makaka punya tiga ratus kosakata,” sahutku menghampiri kawanan monyet yang nongkrong berjajar di bekas pohon tumbang. Seekor ibu monyet tampak waspada dengan mendekap erat-erat bayinya yang menyesap ambing.

“Kalau paham bahasa mereka, kita bakal bisa menyimak khotbah tentang Raden Segara versi tradisi monyet Nipah,” gelak Iko, melambaikan helai-helai rambutnya yang lurus.

“Kita butuh ilmuwan gigih kayak Jane Goodall yang memahami bahasa simpanse. Atau, orang yang meneliti tiga ratus kosakata makaka perlu kita undang untuk berbicara dengan monyet-monyet di sini.” 

Sayang, percakapan itu harus diakhiri matahari yang bergeser ke barat dan dingin yang mulai menyusup. Kami keluar dari permukiman monyet seperti Raden Segara meninggalkan hutan itu. Di gerbang, kami tak menjumpai kakek pembuntut. Kami hanya bersemuka dengan derau gelombang laut, pasir putih, dan orang-orang yang tak ada lagi. Aku bayangkan, beginilah suasana Nipah setelah Raden Segara sirna, setelah pangeran Jawa itu ditelan kabut misteri, setelah ia memutus riwayat di jantung sejarah Madura yang sayup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-2/feed/ 0 42626
Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1) https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-1/ https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-1/#respond Sat, 07 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42620 Madura menetas dari sejarah yang berkabut. Peristiwa itu terjadi ketika malam bertelekung langit nila. Roh bulan turun dan singgah di mahligai Tanjung Sekar. Membuahi rahim putri Gilingwesi dengan saripati yang bersinar. Demikianlah awal kehamilan partenogenesis...

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Madura menetas dari sejarah yang berkabut.

Peristiwa itu terjadi ketika malam bertelekung langit nila. Roh bulan turun dan singgah di mahligai Tanjung Sekar. Membuahi rahim putri Gilingwesi dengan saripati yang bersinar. Demikianlah awal kehamilan partenogenesis tersebut berlangsung. Seperti Anunsiasi Maria saat Ruhul Kudus meniup janin di garwa perawan sunti.

Namun, bukan suka yang jatuh pada hayat Tanjung Sekar, melainkan duka. Maka, pembunuhan atas gadis itu disiapkan. Sebab, Hyang Tunggal tak ingin negerinya cemar. Meski demikian, nasib menumpulkan rencana raja. Tanjung Sekar lolos dari pisau maut. Ke laut, ia kabur dengan rakit kayu. Kelak, ia dan putranya yang terlahir di tengah segara terdampar di sebuah pulau dan menetap di tepi pantai antah-berantah, terra incognita yang hanya dihuni pohon dan mambang. Ke pantai inilah aku dan Iko hendak ziarah.

Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1)
Pantai utara Madura/Ikrar Izzulhaq

Genealogi Pulau Madura

Pantai Monyet Nipah terhampar di hutan utara Sampang. Kami harus menyisir 70 kilometer dari kota Pamekasan. Motor Honda Beat putih akan membawa kami ke sana.

Tapi, motor itu belum datang. Padahal jam telah menunjuk angka sepuluh. Pada waktu segitu kami sepakat bertemu di Loka Coffee. Ikrar Izzulhaq atau Iko baru tiba tujuh menit berselang dengan seringai kucing Cheshire dan garukan di kepala yang tak gatal. Lalu, pemuda tinggi-ramping itu berapologia dengan rasa bersalah yang dibuat-buat, “Sori, Bro, bangkit dari ranjang ternyata enggak semudah petuah Marcus Aurelius.”

Kami pun berangkat dengan laju rata-rata 70 kilometer per jam. Matahari duha akhir Mei memang tak ramah. Akan tetapi, cahaya kemarau akan membuat semuanya terlihat zahir. Apalagi, rute yang bakal kami lalui membentangkan panorama elok. Jalur ke utara tak selempang jalan selatan. Melewati trayek utara, motormu akan berkelok-kelok, naik-turun bukit dan lembah.

Memasuki Pakong, jalan raya menggantung di lereng curam. Suhu udara surut. Di sanalah kulihat seekor bubut alang-alang melayang turun, merentangkan sayap terakota dengan ekor berayun anggun. Hinggap ke dahan kepuh yang menancap di punggung tebing.

Namun, hanya di Waru kau akan bersyukur menyaksikan tubuh bukit-bukit gamping dengan monokromatik dan geometri yang tegas. Bertemu para raksasa batu mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk kerdil, gentar di hadapan kontur bumi yang mirip punggung Godzilla. Di sini, udara kian berat. Aku merapatkan jaket. 

Dahulu, di awal abad ke-10, konon wilayah Madura masih berupa tonjolan-tonjolan karang di permukaan air. Ketika laut susut, kita akan paham bawah pucuk-pucuk cadas tersebut adalah puncak bukit. Itulah mengapa, ada yang bilang, nama Madura berasal dari kata lemah dhura yang berarti ‘tanah niskala’. Sebab, wujud daratan itu antara ada dan tidak. Tiada yang tahu mengapa akhirnya eksistensi geologis pulau ini tak lagi dipengaruhi pasang-surut segara. 

Kubayangkan, jalan yang kususuri dulunya menjadi dasar laut yang kian dalam bila permukaan air ditarik gravitasi bulan. Aku lupa bagaimana hawa lautan. Tapi, saat Waru telah menjelma dataran tinggi, tentu terjadi transformasi drastis temperatur hangat pesisir ke suhu sejuk perbukitan. 

Ketika jalan menurun, suhu udara naik. Di Pasean, Iko membelokkan kemudi ke barat, menuju Sampang. Sisi kanan telah berubah pantai, sedangkan di kiri jalan sering kami jumpai deretan batuan karst yang rompal dicungkil tambang. Seorang klerus cum aktivis Sumenep, A. Dardiri Zubairi, pernah memaparkan bahwa ekosida di Madura dioperasikan melalui strategi makan bubur. Bukit-bukit gamping digerus dalam gerak sentripetal. Eksploitasi dengan modus demikian kelak mendorong pulau ini mengalami kekeringan di wilayah pinggir, lalu menjalar ke pusat. 

Barisan bukit kapur di Madura sesungguhnya merupakan perpanjangan gunung gamping Jawa sebelum bagian barat dan selatan tanah ini dipatahkan gempa. Lindu tersebut dikabarkan Nagarakretagama. Adikarya Prapanca itu tidak menyebut tahun berapa goncangan terjadi. Tentu, berita gempa ala Nagarakretagama tidak akan dipercaya jika kita meyakini teori tentang dataran rendah Madura yang berubah selat pascaperiode glasial. Itulah mengapa, kedalaman selat Madura kurang dari seratus meter.

Apa pun itu, yang jelas, forsir atas batu karst sama dengan merusak waduk rubanah yang ditatah alam. Bila gunung-bukit kapur hancur, bumi tak lagi sanggup membendung air. Tragedi kematian mata air menjadi sirine bahwa kiamat akan digelar. 

Kiamat memang pernah dialami leluhur orang Madura, tetapi bukan di tanah ini, melainkan di negeri asal mereka. Empat ribu tahun yang lalu, ketika imperium Tiongkok memperluas teritori, bangsa-bangsa di semenanjung Indocina bergerak ke selatan, hijrah ke pulau-pulau di Nusantara. Beberapa di antaranya mendarat di Madura dan menjadi moyang orang-orang Pulau Garam. Spekulasi semacam ini pernah dijabarkan Mien A. Rifai dalam Lintasan Sejarah Madura (1993) yang tentu saja bisa memiliki selisih waktu dengan catatan metahistoris. Anakronisme tersebut dapat terjadi karena perbedaan kalender antara kronik modern dengan tarikh kebudayaan lama; juga dengan narasi legenda yang berputar dalam waktu obskur. 

Dari situlah arah utara disimpan sebagai memori kolektif orang Madura tentang masa lalu yang kelam. Pengalaman arketipal ini memengaruhi tradisi fengshui mereka yang percaya bahwa selatan adalah kiblat prospektif. Rumah yang memunggungi utara berarti siap menyambut masa depan cerah yang memancar dari selatan. 

Ditegakkan untuk Ditinggalkan

Namun, perjalanan kami justru melawat masa lalu yang dianggap gelap itu. Dan ketika sampai di Sokobanah, kami harus menuntaskan jarak 33 kilometer lagi. Rumah-rumah terlihat mulai renggang. Celah tersebut membiarkan suara debur ombak lautan menyusup ke telinga. Sementara itu, angin muson yang mengembuskan musim timur cukup meringankan tubuh dari beban panas surya. 

Di Sokobanah, zaman terasa berhenti. Jalur utara memang lebih sepi kendaraan karena rute selatanlah yang menjadi jalan provinsi Madura–Jawa. Namun, kesunyian di utara terkesan seperti disebabkan oleh jejak mereka yang merantau ke tanah jiran. Madura utara memang dikenal sebagai daerah dengan tradisi rantau yang tinggi. Rumah-rumah ditegakkan hanya untuk ditinggalkan; monumen megah sebagai simbol dari kerja keras di negeri seberang. Rumah-rumah itu kadang cuma dihuni kaum lansia dan anak-anak; kadang tikus, kampret, dan burung-burung yang menitipkan sarang.

Ironi yang menyelubungi pikiranku sepanjang jalan itu sirna saat kami melewati jembatan yang merintangi Sungai Nipah, lalu belok kanan. Pohon-pohon nipah berjejer di tepi sungai berkulit hijau dengan tekstur rata. Dari celah pokok-pokok palma kulihat perahu-perahu besar berlambung putih ditambatkan. Di geladak perahu, sejumlah nelayan yang tak melaut tampak memeriksa mesin, jala, dan perkakas. Ekosistem Sungai Nipah setenang lanskap negeri dongeng.

Ketenangan itu pecah saat azan Zuhur berkumandang. Kami telah memarkir motor di salah satu halaman rumah warga yang mendadak jadi lahan parkir. Permukiman di Desa Batioh tak seriuh kampung-kampung nelayan pada umumnya. Beberapa monyet makaka berlalu lalang di pekarangan, memanjat pohon, dan seekor pejantan bertengger di bubungan, memindai kemahaluasan cakrawala. 

Di mulut kampung, kami berpapasan dengan papan bertuliskan “Selamat Datang di Pantai Hutan Kera Nepa”. Di belakangnya, buih ombak susul-menyusul dari kaki langit yang membelah laut dan angkasa, membuat gradasi biru dengan warna lebih pekat di bawah dan lebih pucat di atas. Seekor dara laut melayang-layang dan mematuk ikan di permukaan air yang tak tenang. 

Warung-warung dengan bentuk dan cat hijau yang seragam berbaris rapi di tepi pantai. Kami menyusuri deretan kedai. Hari itu memang bukan waktu libur. Hanya segelintir warung yang buka dan satu-dua warga nongkrong di sekitarnya. 

Akan tetapi, aku juga tak yakin objek wisata itu bakal ramai di hari libur. Sebab, ketika memasuki gerbang hutan yang telah usang, sebuah gazebo terlihat suwung dan kotor, seperti tak pernah digunakan. Di Madura, kita akan sering menjumpai tempat-tempat wisata yang telantar karena sudah tidak dikunjungi lagi. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-1/feed/ 0 42620
Keris yang Ditempa Rahim Api (3) https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-3/ https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-3/#respond Wed, 12 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42145 Saat ditanya, bagian mana dari keris yang terlihat paling feminin, Rista menjawab: ladrang. Pangkal warangka itu, baginya, seperti visualisasi gerakan menari dengan satu tangan ke atas dan yang lain ke bawah. Kita bisa menjumpai gestur...

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat ditanya, bagian mana dari keris yang terlihat paling feminin, Rista menjawab: ladrang. Pangkal warangka itu, baginya, seperti visualisasi gerakan menari dengan satu tangan ke atas dan yang lain ke bawah. Kita bisa menjumpai gestur tersebut di banyak tarian Nusantara, bahkan pada gerakan darwis berputar Tarekat Maulawiyah. Tapi, secara zahir, ladrang memang tampak seperti labia mayora.

Jawaban ladrang ala Rista berbeda dengan pendapat arus utama bahwa ganja adalah unsur feminin keris yang dianggap lambang yoni. Dasar bilah keris itu merupakan bagian yang ditusuk pesi, besi yang mencuat di pangkal keris yang tampak seperti kontol cilik. Rista sepakat bila pesi merupakan elemen maskulin keris.

“Menurut mitos orang Jawa, kalau pesi-nya patah, bagian yang lain akan lemah. Bahkan, pesi seringkali dijadikan sikep. Pesi adalah inti keris. Aku pernah pakai aplikasi android untuk menguji daya magnet keris. Rata-rata daya tarik tinggi memang ada di bagian pesi.”

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)
Ika Arista mengajar anak-anak TK/Ika Arista

Rista dan Madura

“Apa yang enggak kamu suka dari orang Madura?” Pertanyaanku langsung meloncat ke persoalan yang lebih personal.

“Bukan Maduranya, tapi lingkungan di mana aku tinggal dan berinteraksi,” ucap perempuan yang pernah bekerja dua tahun di Jakarta itu. “Tidak bisa dipukul rata. Madura terlalu luas. Masyarakatku belum siap menerima pilihan-pilihan hidup hari ini.”

“Tapi, kamu tetap bisa berkarya, kan?”

“Karena aku bodo amat. Orang ngomong, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Aku lajang dikiranya pilih-pilih. Makanya, kalau lebaran aku memilih tinggal di rumah ibu di Blitar. Kalau di sini mengusik banget. Perkata style, misalnya. Uban itu kayak aib. Ibu minta aku mewarnai semua rambut untuk menghilangkan yang putih-putih. Malah, aku pengen diputihin semua biar dikomen masyarakat. Aku, kan, tipe orang yang suka coba-coba.”

“Cek ombak,” celetuk Rosi.

“Benar. Teman-teman sepantaranku, anaknya gede-gede semua, sedangkan aku? Udah enggak nikah, enggak berhijab, enggak feminin. Paket komplet bahan gibah. Awalnya agak jiper. Lama-lama peduli setan. Di sini, perempuan enggak dinilai dari pekerjaannya, tapi dari seberapa cepat dia menikah. Sebenarnya, masalah kerja, mereka support-support aja, tapi perkara nikah, orang-orang di sini masih konservatif.”

Rista memandang pernikahan sebagai kawah candradimuka untuk memaklumi ketidaknyamanan bersama orang lain. Baginya, menikah tidak enak, tapi bukan berarti ia tidak mau menikah. Ia berharap, suatu saat bisa menikah, tapi dengan cara tak seperti orang-orang melayarkan bahtera rumah tangganya. 

“Di tengah tekanan, tinggal di sini, enggak gila aja udah untung,” keluhnya. “Orang nikah itu ke mana-mana enggak harus bareng. Kayak apaan aja.”

“Bukannya orang menikah memang harus selalu bareng?”

“Aku enggak mau. Hidupmu tetap hidupmu, hidupku tetap hidupku.”

“Tapi tetap tinggal di rumah yang sama, kan?”

“Enggak harus.” Meski begitu, seorang suami, Rista akui tetap menjadi manzil penghabisan di mana ia bebas mengungkapkan diri kepada dunia tanpa penghakiman. “Kalau ternyata pernikahan itu enggak enak, ya sudah, cerai aja.”

“Punya kriteria pria idaman, enggak?”

“Enggak ada. Yang ngerti hidupku ajalah. Visi-misi hidupku, kan, udah nyeleneh banget. Emangnya ada cowok Madura yang bakal bilang: Kamu dengan hidupmu enggak apa-apa, aku dengan hidupku. Mustahil. Aku enggak bisa bersopan-santun kaku, harus salaman, duduk manis. Aduh, enggak, makasih. Kalau ditanya, mau nikah? Pengen. Enggak nikah juga enggak apa-apa. Aku sudah nyaman dengan hidupku hari ini.”

Suatu kali, rumah Rista kedatangan tamu pasutri dari Jawa. Mereka childfree

“Di pikiran kita, punya anak itu investasi masa tua. Kita melahirkan jongos lah, ya,” ucap Rista. 

Konon, pasutri tersebut sudah punya tabungan masa tua untuk biaya panti wreda. Rista iseng bertanya kepada ibunya: Bagaimana seandainya ia memutuskan tak menikah dengan konsekuensi tidak memiliki anak. Mungkin Rista juga harus menyiapkan anggaran untuk panti jompo sebagaimana pasutri itu. 

Ngapain?” jawab ibunya di luar dugaan. “Adik-adikmu mungkin akan menikah dan punya anak. Biar ponakan-ponakanmu yang merawatmu di masa tua. Atau kamu bisa bayar orang.”

Rista melihat orang-orang yang mencurahkan hidupnya di dunia ilmu dan kesenian jauh dari kata uzur, antipikun, masih sehat, dan tetap giat berkarya. Rista tak ingin masa tua seperti orang kebanyakan. Itulah yang membuat Rista, di usianya yang berkepala tiga, senantiasa menjaga kesehatan. 

“Aku enggak pernah mikir punya anak untuk ngurusin diriku. Cukup jadi khalifah aja. Kalaupun perlu punya penerus, penerus enggak mesti anak sendiri, kan?”

“Aku bayangin keris adalah suamimu,” timpalku acak.

“Wah, belum sepuitis itu. Masih jauh. Tetap ingin suami manusia. Tapi, kalau ada calon yang mau melarangku bikin keris, ya sudah, aku enggak nikah aja. Enggak apa-apa. Masa tiba-tiba datang sudah sok-sokan. Aku pengen suami yang maklum ketika istrinya ada tamu cowok-cowok, ngobrol hahahihi cekikikan. Laki-laki kayak gitu yang belum kutemukan. Nikah itu iseng-iseng berhadiah, enggak sih. Ya, coba aja dulu.”

Rista ngeri membayangkan proses persalinan. Itulah mengapa ia ragu untuk punya anak. Namun, ia sadar, ketakutan itu bisa saja hilang ketika sudah menikah. Ia suka anak kecil. Makanya, dulu ia pernah berprofesi guru TK.

“Bisa enggak sih punya anak tanpa melahirkan? Kayak orang meludah gitu. Atau pakai ibu pengganti. Halal, enggak? Halal ajalah, ya. Kita ambil telur, lalu pinjam rahim.” 

Pengakuan Rista tentu akan membuat kritikus seni macam Ellie Jones mengernyitkan jidat. Ia pernah bilang bahwa sejak abad ke-20, keibuan dan kehamilan telah menjadi siasat mapan bagi perempuan untuk menghadirkan diri. Seniman perempuan mengekspresikan pengalaman hamil dan peristiwa keibuan sebagai tema karya untuk memproyeksikan kompleksitas serta visi mereka. Tapi, konsekuensi dari pengalaman tubuh yang spesifik semacam itu telah Rista sublimkan melalui cita-citanya menciptakan keris yang mampu merepresentasikan kepekaan diri dalam merespons realitas sosial. Maka, Rista telah melampaui diskursus Jones dengan menarik ranah personal ke aras komunal.

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)
Ika Arista menempa bilah/Ika Arista

Interseksi yang Tradisional dan yang Modern

Meski begitu, menciptakan karya dengan citarasa pribadi bukan harapan ultim Rista. Cita-cita terbesarnya, yaitu ingin memiliki minigaleri sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang hendak belajar bikin keris. Baginya, seorang seniman perlu berinteraksi dengan anak muda agar ketika tua tidak menjadi manusia kolot yang menganggap banal hal-hal baru. 

“Di sini, banyak senior kita yang merasa adidaya di zamannya dan songong di masa tuanya. Enggak mau digeser. Ketika udah enggak kepakai, nyinyir. Anak-anak muda bikin karya dijatuhin. Maunya dia aja yang selalu tampil dengan ide-idenya yang juga gitu-gitu aja. Itu bahaya banget buat pelestarian dan pengembangan budaya. Aku enggak mau jadi senior kayak gitu. Makanya aku harus terbuka. Kadang-kadang suka K-Pop juga, ngomongin anime, atau apa pun yang lagi hits. Aku melihat sisi lain itu meski orang-orang menganggapnya norak. Paling enggak, ketika anak-anak muda ngobrolin yang lagi viral hari ini, aku enggak haho.”

Itulah mengapa rumah Rista berdesain modern meski juga menjadi kediaman benda-benda pusaka. Tak sesuai ekspektasi Rosi yang berharap memasuki griya adat dengan suasana suram sebagaimana yang ditontonnya dalam film KKN di Desa Penari

“Dupa juga ada, sih. Tapi aku enggak mau stagnan di masa lalu. Yang sudah berlalu cukup jadi romantisme. Serap spiritnya aja. Ke mana-mana aku berkain, tapi enggak mesti berkebaya, toh? Bawahan kain, atasannya Erigo enggak masalah, kan? Klasik itu enggak melulu kita lempar mentah. Batik aja bergeser. Awalnya cuma dipakai sebagai bawahan, lalu jadi baju, bahkan sekarang cuma ditempel-tempelin di aksesoris. Zaman sudah berubah.”

Dengan semangat modern pula, kini Ika tengah mencari desain blawong minimalis dengan lampu elegan sehingga tak terkesan kuno. Ia tak ingin keris-kerisnya cuma nangkring di jagrak ukir naga sebagaimana yang teronggok di ruangan itu. 

“Desain rumahnya modern, tapi jomplang sama keris yang dari sononya sudah bernuansa mistis. Enggak nyatu. Makanya, paling enggak, tatakannya dibuat kekinian juga,” pungkasnya. 

Jagrak dengan keris. Keris dengan rumah. Rumah dengan kampung. Yang tenang dengan yang bising. Yang keras dengan yang lembut. Yang dingin dengan yang panas. Yang feminin dengan yang maskulin. Oposisi-oposisi biner itu akan menjadi pekerjaan rumah (PR) di sepanjang hayat Rista. Berdamai dengan jukstaposisi. Berdiri di atas antinomi. 

Akhirnya, Rista memandai segala paradoks itu agar hadir bukan sebagai konflik, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Tentu, penyatuan dua unsur kontradiktif tersebut menghendaki sebuah adidaya. Sebagai perempuan, ia telah menggenggamnya. Sebab, perempuan adalah prima causa yang darinya keberadaan hidup menjadi mungkin. Sebab, perempuan adalah pemilik garba yang olehnya dunia dilahirkan. Maka, karena Rista seorang per-‘empu’-an, ia tak hanya menatah keris, tetapi juga menempa hayat dengan tubuhnya, dengan rahimnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-3/feed/ 0 42145
Keris yang Ditempa Rahim Api (2) https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-2/ https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-2/#respond Tue, 11 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42139 Ketika ditanya tentang aktualisasi cita rasa pribadi pada keris, Rista menjawab: cita rasa perempuan. “Sebab, menjadi perempuan Madura enggak segampang perempuan modern. Mau berkelit dengan dunia modern pun, hukum sosial belum bergeser sepenuhnya.” Awalnya, Rista...

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika ditanya tentang aktualisasi cita rasa pribadi pada keris, Rista menjawab: cita rasa perempuan. “Sebab, menjadi perempuan Madura enggak segampang perempuan modern. Mau berkelit dengan dunia modern pun, hukum sosial belum bergeser sepenuhnya.”

Awalnya, Rista bangga menjadi satu-satunya empu perempuan dengan segala prestasi yang telah digapai. Namun, lambat laun, pergunjingan mulai menusuk lubang telinganya. Orang-orang bersyak wasangka: Mungkin dia tak ‘kan menikah? Apa yang dibutuhkan? Toh, bisa mencari uang sendiri? Kendatipun dia ingin suami, pasti akan mencari lelaki dengan kemampuan lebih. Kalau laki-laki ecek-ecek, dia tidak akan mau.

“Akhirnya, kemandirian menjadi momok menakutkan. Akhirnya, semua itu bukan pencapaian, tapi pengerdilan perempuan,” ratap perajin yang telah menerima berbagai penghargaan dan berpameran internasional itu.

“Bukankah karena bergender perempuan, seluruh lampu sorot keberuntungan terarah padamu? Empu laki-laki kan sudah banyak.”

“Justru itu letak pengerdilannya. Koki laki-laki tidak se-disorot itu: laki-laki kok masak? Bidan laki-laki juga enggak se-sentral itu, kan?”

Cita Rasa Feminin

Rista pernah dicap lalakè’a burung. Lelaki jadi-jadian. Julukan tersebut beban berat baginya. Seolah-olah hanya laki-laki yang dapat melakukan ini-itu. Jika ada perempuan yang bisa, ia pasti dianggap laki-laki, tetapi gagal di bagian kelamin. 

“Akhirnya kami enggak dilihat sebagai perempuan.”

Kalimat tersebut mematahkan dugaan Rosi bahwa Rista sejenis feminis eksistensialis. Simone de Beauvoir, sang pelopor feminis eksistensialis, berharap perempuan bisa menjadi seperti laki-laki sebagai modus ada-untuk-diri. Dengan menjadi laki-laki, perempuan akan eksis. Sebab, apa yang didefinisikan sebagai manusia adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, keyakinan Rista lebih dekat dengan para pemikir perempuan gelombang ketiga, seperti Julia Kristeva, Hélène Cixous, dan Luce Irigaray. Perempuan bisa mengada melalui karakter karnalnya yang khas tanpa harus menjadi laki-laki.  

“Padahal, di biologi, sebenarnya laki-laki adalah perempuan yang salah hormon,” hiburku.

“Oh, ya? Bagus, dong, kalau ada laki-laki sensitif.”

“Dan laki-laki yang ingin menjadi perempuan sejatinya adalah manusia yang hendak kembali ke fitrahnya.”

“Waria?” sahut Rosi.

“Wah, bahasamu langsung nembak, ya,” tanggap Rista. 

Karena itulah Rista berharap suatu saat dapat mengungkapkan persoalan tersebut lewat karya. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep itu ingin orang-orang membahas kerisnya dari rasa feminin, misal langgam dhapur yang lebih luwes karena dipengaruhi hormon sehingga berefek pada gerak-gerik tubuh saat menempa dan menatah bilah. Meski semua itu berelasi kuat dengan identitas biologisnya sebagai perempuan, Rista tak ingin orang-orang membincangkan karya-karyanya ad hominem.

“Bagaimana kamu menempatkan diri di antara rekan laki-laki?” Rosi kembali bertanya.

“Aku pernah dituduh selingkuhin suami orang. Dan itu kakek-kakek hampir tujuh puluh tahun. Sumpah.”

“Sebuah pusaka, makin tua makin sakti, kan?” candaku.

“Bisa juga.” Rista ngakak. “Tapi, enggaklah. Mau bilang bandot tua, enggak enak. Kaya juga enggak. Bercanda.”

Saat berhadapan dengan pemesan yang kebanyakan laki-laki, Rista memosisikan diri sebagai perajin profesional. Sebab, tak sedikit pelanggan menggodanya hanya karena ia belum menikah. Rista akan membungkam kegenitan itu dengan berkata, “Laki-laki itu besi. Suhumu semana? Oh, suhumu segitu aja?” 

Bahkan, ada pula korban mitos Empu Sombro dengan meminta Rista menjepit keris pesanan dengan selangkangan agar sakti mandraguna. Kalau sudah begitu, ia akan menjelaskan kepada si pemesan bahwa mutu bahan merupakan faktor paling dasar yang menentukan kualitas sebuah pusaka. Baginya, mitos sudah bergeser. Pemahaman tentang kekuatan supranatural juga bergeser. Spiritualitas tradisional mesti ditafsirkan dengan perspektif modern.

“Dulu, orang suka menyepi dari hiruk-pikuk dengan bersemedi. Sekarang kita menepi dari keriuhan media sosial. Ini juga tirakat. Budaya berkembang. Cara pandang bergeser.”

Keris yang Ditempa Rahim Api (2)
Penulis bercakap-cakap dengan Ika Arista/Wardedy Rosi

Tak Sekadar Kanca Wingking

“Lalu, siapa perempuan historis yang kamu kagumi?”

Rista berpikir agak lama, lalu menjawab, “Dyah Gayatri.”

Dyah Gayatri atau Gayatri Rajapatni adalah putri bungsu Kertanegara, penguasa terakhir Singasari, dan istri Wijaya, raja pertama Majapahit. Ketika Jayanegara tewas di tangan Ra Tanca, mestinya Gayatri naik takhta sebagai penguasa Majapahit selanjutnya. Namun, ia telah undur dari kehidupan duniawi dan memilih jalan monastik bikuni. Lantas, ia menaikkan putrinya, Tribhuwanatunggadewi ke takhta Majapahit. 

“Dia bukan cuma perempuan kanca wingking,” Rista mengungkap alasan. “Dia juga punya kuasa. Dia bukannya enggak tahu perjanjian Majapahit timur dan barat, tapi enggak ada larangan terhadap pembaiatan Wiraraja. Dia memilih diam. Citranya dibikin gokil. Dia enggak mau takhta, malah tetap memilih jadi bikuni. Dia enggak peduli gelar raja, tapi namanya enggak kosong dalam sejarah. Semua orang tahu, di balik naiknya Tribhuwanatunggadewi ada Gayatri yang hidup di tiga rezim. Bagiku, dia enggak sesederhana seorang bikuni.”

“Kayak Bu Tien gitu, ya?” Bu Tien atau Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto, sosok yang digadang-gadang berdiri di balik kesuksesan sang Jenderal-Tersenyum mencengkeram Rezim Orde Baru dalam waktu panjang. 

“Banget. Dan Ratu Hemas.” Gusti Kanjeng Ratu Hemas adalah permaisuri Hamengkubuwana X di Kesultanan Yogyakarta. 

“Dia bakal menaikkan Pembayun enggak, ya?”

“Kayaknya.”

Pernah santer isu suksesi kepemimpinan Yogya tentang siapa yang akan menggantikan Sultan setelah lengser keprabon. Desas-desus bakal dimahkotainya putri sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, tentu bakal menabrak tradisi provinsi monarki tersebut yang biasanya menyerahkan posisi kepemimpinan kepada laki-laki. Meski berkata “kayaknya”, bukan berarti Rista tidak yakin Pembayun akan menjadi sultanah. Di situlah Rista percaya peran Hemas akan bermain untuk menjunjung putrinya supaya menggantikan sang suami. 

Di Sumenep sendiri, seorang perempuan pernah duduk di takhta. Kepemimpinan Raden Ayu Tirtonegoro di abad ke-18 hampir mirip pilihan hidup Gayatri. Ia tak lama menjadi Adipati Sumenep. Sebab, pada akhirnya ia menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Muhammad Saot, lelaki jelata yang dinikahinya berdasarkan petunjuk mimpi. 

Mundur dari wilayah publik sebagaimana Gayatri dan Tirtonegoro barangkali cara sintas paling efektif bagi umat manusia. Jejak kebudayaan tersebut dapat ditarik jauh ke masa purba ketika laki-laki berburu, sedangkan perempuan berjibaku dalam aktivitas pengasuhan di gua. Pembagian kerja semacam ini cukup efisien bagi perempuan beserta segala situasi biologisnya sebagai tubuh dengan siklus menstruasi dan penyedia susu. Rumah menjadi ruang paling sehat untuk jasmani fluktuatif dan menjamin keamanan bagi proses pertumbuhan anak-anak. 

Kalaupun perempuan harus turut berpartisipasi dalam mencari nafkah, wilayah domestik bisa dianggap lokasi paling sangkil bagi kompleksitas raga feminin. Pernyataan ini memang terdengar esensial. Namun, kenyataannya, budaya pembagian kerja demikian cukup adaptif sampai sekarang karena kemangkusannya terbukti telah menjaga spesies kita dari ancaman punah. 

Argumentasi tersebut mestinya memberi legitimasi saintifik bagi Hannah Arendt yang memandang perempuan tidak cocok menjadi pemimpin—di ranah publik. Katanya, perempuan tak pantas memerintah laki-laki. Tapi, tidak berstatus pemimpin bukan berarti tak memiliki otoritas, kan? 

Dalam filsafat politik Jawa—yang pada akhirnya ternyata juga menjadi roh kepemimpinan Indonesia—negara adalah perluasan halaman rumah tangga sehingga peran ibu amat sentral. Itulah mengapa, ketika Gayatri undur dari politik publik, kita tidak bisa gegabah menyangka bahwa kapasitas kekuasaannya ikut surut. Faktanya, perempuan inilah dalang di balik layar sejarah kedigdayaan Majapahit. Ia sosok kharismatik yang diabadikan dalam figur arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan paripurna. Sang ibu suri telah berperan sebagai mentor politik suami, putri, dan cucunya, Hayam Wuruk, serta Gadjah Mada yang diangkatnya dari kalangan rakyat jelata.

Pada kasus yang sama, Babad Tanah Jawi juga memberi tahu kita bahwa Panembahan Senapati, pendiri Mataram Islam, belajar ilmu tata negara kepada Nyai Rara Kidul. Perempuan, kita akui, memang pemegang wawasan tentang cara mengoperasikan rumah dengan baik. 

Keris yang Ditempa Rahim Api (2)
Bilah karya Ika Arista/Ika Arista

Perempuan dan Senjata

“Menurutmu perempuan cocok [atau] enggak menggunakan keris?” lanjutku sambil membayangkan Angelina Jolie yang lincah berlaga dengan dua pistol ketika dikeroyok robot-robot kecerdasan artifisial di film Lara Croft: Tomb Raider. 

“Bisa. Keris dalam fungsinya yang simbolis, psikologis, spiritual, atau sebagai teman hidup.” Rista menyuguhkan cerita Arok versi novel Pramoedya Ananta Toer dengan keris Gandring yang dipakai sebagai alat politik. Atau pada eksekusi Trunajaya, Amangkurat menggunakan keris Blabar sebagai simbol kuasa raja. 

“Pernah bikin celurit?”

“Satu kali dan enggak lagi,” kisahnya putus asa. “Susah. Celurit condong pada fungsi pragmatis. Kalau enggak untuk bertani, ya untuk carok. Kalau untuk carok, celurit harus efektif dan efisien. Cekungannya mesti presisi karena akan menentukan arah sabetan. Bahkan, harusnya aku menyelami teknik bela diri biar ngerti posisi celurit ketika penggunanya sedang bertarung.”

“Berpikir sejauh itu?”

“Tentu.”

“Berat juga menentukan,” sahut Rosi.

“Jangan sampai mengganggu pergerakan saat duel,” respons Rista.

“Bisa enggak, kita bilang bahwa keris berwatak lebih feminin ketimbang celurit?”

“Ada satu mantra yang dilafalkan ketika keris dimasukkan ke dalam sarungnya,” daku Rista. Mantra tentang penyatuan laki-laki dengan perempuan yang diibaratkan cermin beserta bayang-bayang, juga ditamsilkan sebagai suami yang memasuki kamar pengantin.

“Tak ada perbedaan keris dengan warangka. Kau adalah bayanganku, aku adalah bayanganmu.” Dibuka dengan salam, mantra itu dicawiskan saat keris telah rampung dibuat dan pertama kali disarungkan ke dalam warangka. Kata Rista, mantra tersebut cuma diucapkan sesuai permintaan pemesan. Ada pemesan yang tidak mau kerisnya diisi apa pun. Ia hanya ingin memiliki. Lagipula, Rista tidak memberi jasa pengisian energi. “Aku cuma bikin rumah. Sebaik-baiknya.” 

Baginya, perempuan tidak untuk mengisi. Seperti filosofi rumah tanéyan lanjhȃng yang dibikin pihak istri dengan perabot yang dilengkapi suami. “Perempuan hanya maqam. Mengisi bukan tugas kami.”

Desing gerinda berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-2/feed/ 0 42139
Keris yang Ditempa Rahim Api (1) https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-1/ https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-1/#respond Mon, 10 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42129 Sombro, perempuan Tuban zaman Pajajaran itu, menatah keris dengan jari-jemarinya sambil melayang-layang di atas samudra. Perempuan, keris, dan samudra. Andai mendengar legenda ini, Erich Neumann akan menariknya sebagai mitografi bunda agung. Mungkin beginilah psikolog Jerman...

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sombro, perempuan Tuban zaman Pajajaran itu, menatah keris dengan jari-jemarinya sambil melayang-layang di atas samudra. Perempuan, keris, dan samudra. Andai mendengar legenda ini, Erich Neumann akan menariknya sebagai mitografi bunda agung.

Mungkin beginilah psikolog Jerman itu akan berbicara bila memang harus menafsirkan kisah tersebut: Nyai Sombro adalah arketipe penyihir bijak yang menempa keris tanpa api, adalah alkemis sakti yang mampu menyulap materi melalui kearifan. Mencipta keris hanya dengan jemari merupakan persatuan harmoni antar-elemen kontradiktif, antara yang keras dengan yang halus, sebuah tema umum dalam psikologi analitik Jungian yang disebut “integrasi antitesis”.

Namun, bisa pula Neumann akan bilang begini: Membuat keris tanpa api bukan berarti membentuknya tanpa panas. Sombro, sang Ibu Samudra, sang Bunda Bumi, tengah menyelenggarakan dunia dengan menyerap tenaga solar dari Ayah Matahari, Papa Langit. Uniomistik Bumi dan Surga. Jikapun ia tak meminjam kalor dari energi maskulin, pada dasarnya api juga unsur fundamental feminin. Dengan tenaga agni yang inheren dalam diri, Sombro menempa keris via kelembutan jari-jari. Bagaimanapun interpretasinya, hikayat Mbok Sombro menjadi citra bawah sadar tentang pencarian keselarasan dalam diri manusia.

Keseimbangan eksistensial melalui alegori keris ini pun muncul pada satu dari tiga laku utama orang Madura: Mon kerras paakerrès. Jika keras, berkerislah. Sifat tegas (keras) tanpa watak wicaksana (keris) hanya akan menggiring dunia ke jurang kaotik. Keserasian fungsi dengan morfologi keris diharap menjadi ibrah bahwa hidup jangan semata-mata tajam dan runcing, tapi juga indah. Seloka tersebut adalah otokritik bagi masyarakat Madura yang telanjur ketiban stereotip miring sebagai orang-orang berdarah panas. 

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)
Gerbang Kabupaten Sumenep/Royyan Julian

Melawat Kota Keris

Kebajikan simbolik keris inilah yang barangkali Ika Arista tanggung. Perempuan 34 itu lahir dan besar di kabupaten paling timur Pulau Madura. Sebagai daerah yang memiliki hampir tujuh ratus perajin tosan aji, Sumenep berselempang nama “Kota Keris”. Dengan peradaban kerisnya, Sumenep telah menggenapi takdir Ika sebagai seorang empu.

Kunjunganku ke kediaman Rista terjadi pada Minggu yang terik. Bersama Rosi, aku memasuki lanskap Desa Aeng Tong-tong yang masih memiliki kualitas mooi Indie. Pohon-pohon kelapa menjulang di pematang, satu unsur dari trinitas panorama Hindia molek. Desa-desa di Sumenep memang akan membawa kita pada realisme puisi-puisi Zawawi Imron yang kerap menghadirkan pokok siwalan, vegetasi yang cocok tumbuh di tanah paling tandus di Madura. Akan tetapi, romantisme akardian tersebut sirna begitu kami menginjakkan kaki di halaman rumah Rista. Desing gerinda melahap seluruh kedamaian pastoral itu.

Sementara masih melayani tiga tamu di beranda, Rista menyambut dengan seutas senyum dan menyilakan kami di ruang tamu. Di atas permadani dengan meja kayu berdesain natural, kami duduk. Satu sisi dinding putih memajang aneka hiasan ukir. Di bawahnya, dua jagrak kayu minimalis dan berukir naga memajang keris-keris. Lalu, rak buku. Di sisi lain, jagrak bufet modern memampang sejumlah gagang keris di satu kolom. Selebihnya kosong.

Beberapa menit berlalu, tamu pamit dan Rista menghampiri kami. Rambut panjangnya yang dihiasi helai-helai uban dikuncir kuda. Ia beratasan kaus hitam lengan pendek bernuansa hardcore dan bawahan kain. Kulitnya cokelat berkilat, seperti disepuh waktu. 

“Aku tahu maksudmu datang ke sini,” tebak Rista. “Kamu barusan habis nulis sate, kan? Bentar lagi pasti nulis keris.”

“Aku enggak bakal ngulang daftar pertanyaan wartawan Kompas dan jurnalis National Geographic, kok,” tanggapku. “Aku bakal nanya yang filosofis aja.”

“Jangan sampai kamu nanya kayak mahasiswa-mahasiswa barusan.” Dua mahasiswi dan seorang pria paruh baya—barangkali dosennya. “Keris itu benda budaya bernilai sakral sehingga tak semuanya harus dibeberkan, apalagi ditakar nominal,” sambungnya mengeluhkan wawancara dengan tamu sivitas akademika itu.

“Enggak cocok ekonomi dihubungkan dengan ihwal esoteris keris. Masa mereka nanya, ada berapa jenis keris, modalnya berapa, dan dijual berapa.” Anggap saja ada keris suvenir dan keris koleksi yang bisa disebutkan harganya. Tapi, bagi Rista, keris ageman yang bernilai spiritual tak bisa ditanya dengan kata ‘berapa’. “Kadang seorang empu membikin sebilah keras berpuasa terlebih dahulu. Rahasia keris adalah rahasia pemesan. Keris sèkep enggak boleh diketahui orang lain karena itulah kelemahan si pemilik. Ini bukan perkara enggak terbuka sama ilmu pengetahuan dan pengembangan penelitian loh, ya.”

Matra Medis Keris

Bahkan, dimensi medis keris pun masih enigmatik meski Rista pernah memperkarakannya di G20 yang dihelat British Council dan Museum Macan di Bali. Ia sadar tak punya latar belakang ilmu kesehatan dan metalurgi. Ia hanya berangkat dari status praktisi. Tapi, ia mulai tertarik pada matra medis keris ketika sepupunya di Blitar disembuhkan dengan benda itu dari bisa ular. Keris menyedot racun yang menjalari saraf. Kasus yang sama ia saksikan ketika ayahnya menyembuhkan seseorang yang digigit ular dengan mata tombak. Tanpa menyentuh, ujung tombak didekatkan pada bekas gigitan, lalu bisa itu merambat keluar. 

“Kupikir enggak ada hubungannya sama bahan, filosofi pamor, dan bentuk.” Rista sudah membandingkan sejumlah keris. Ia berspekulasi, mungkin keris-keris tersebut memang punya kesamaan. Besinya bisa berbeda, tetapi ada kandungan nikel meski kadarnya tak sama. “Kadang penyembuhan itu hanya pakai jempol atau mantra. Artinya, bukan masalah kerisnya, tapi energinya.” 

Rista merasa, sejak dulu masyarakat kita telah melampaui pengetahuan fisik. Mereka mengimani kearifan energi. “Masalahnya, orang percaya sisi ilmiah batu giok untuk kesehatan. Bayar mahal untuk diteliti. Tapi, animo masyarakat pada keris kok enggak sekeren itu, ya. Kalau ngomongin medis keris, jatuhnya klenik,” ucapnya. Di sini, Rista insaf, pengetahuan kita berjalan tanpa jembatan. Dari yang tradisional langsung meloncat ke yang modern. Keduanya tak dihubungkan tali sambungan, tak dianggap sebagai budaya yang berkesinambungan. 

Seseorang menyuguhkan kami teh panas ketika Rista bercerita bahwa ibunya termakan hoaks telur covid. “Karena berita wabah simpang siur, ada manipulasi birokrasi kesehatan, dan teori konspirasi mendominasi, orang-orang mulai kembali ke pengobatan lama,” tukasnya. 

Sebenarnya, orang-orang Indonesia tidak kembali ke pengobatan lama. Mereka hanya diberi pilihan: medis modern atau pengobatan tradisional. Pengobatan herbal yang kerap bercampur anasir nonrasional tidak hilang dari alam pikir masyarakat kita. Fenomena ini tak sama dengan cara pandang orang-orang Barat yang beberapa kali memang mengalami titik balik. Katakanlah tikungan peradaban itu terjadi di Eropa abad ke-18 ketika gerakan Romantik lahir sebagai respons atas supremasi akal budi. Atau di Amerika tahun 60-an terjadi ledakan kembali ke budaya kuno yang ditandai dengan munculnya gerakan New Age, praktik samanistik, keyakinan datangnya zaman Aquarius, dan seterusnya, saat orang-orang melihat dekadensi kemanusiaan karena residu modernitas. 

“Pemerintah mestinya juga mewadahi pengobatan ‘alternatif’. Para praktisi pengobatan ‘alternatif’ itu kerap disumpah untuk ikhlas memberi bantuan tanpa mengharap imbalan.” Seperti yang tersirat pada Sumpah Hippokrates yang justru diikrarkan para calon dokter modern walau sukar diamalkan.

Keris yang Ditempa Rahim Api (1)
Ika Arista dengan latar keris-kerisnya/Wardedy Rosi

Perempuan, Besi, Api

“Bergelut dengan keris sejak SD, ngomong-ngomong, gimana hubunganmu sama besi?” Aku membelokkan topik dengan kelokan yang tak jauh-jauh amat. “Di alkimia, besi dan baja punya sifat laki-laki. Diwakili Planet Mars. Perempuan biasanya dihubungkan dengan timbal.”

“Bahaya, dong,” tawa Rista.

Femme fatale.”

Di kepercayaan Jawa, menurut Rista, besi malah dianggap perempuan. Ia terbenam di perut Bumi. Maka, keris akan ideal ketika raga besinya dicampur secuil besi meteor. Ia spiritualitas sempurna dari persatuan feminin dan maskulin, Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. “Kaum feminis bakal protes, kok kita di bawah terus,” tawanya lagi. 

“Tapi, semudah itukah memperoleh besi meteor di Indonesia? Bukankah batu meteor dijual bersertifikat dalam satuan gram?”

“Itu di luar negeri. Di sini, beli besi meteor bisa colong-colong. Dan emang beneran kecolongan karena enggak bersertifikat.”  

“Jadi, apa arti besi menurutmu?” Rosi menegaskan.

“Perlambang kelemahan,” jawab Rista. Rosi tertawa kecil. “Mungkin itulah kesamaan besi dengan laki-laki. Sama-sama lemah. Kuat di luar, tapi ketika kena suhu yang pas bakal meleleh, termasuk besi meteor.”

Dan unsur panas itu perempuan?”

“Pasti.”

“Cewek mengendalikan.”

“Karena kita tahu suhunya, kita pengendali api. Kita bisa melipat besi kayak jeli.”

Di media sosial, warganet perempuan sering berkomentar “Rahimku anget, Mas” saat melihat foto pria tampan. Api boleh kita anggap gabungan par excellence sisi terang dan gelap perempuan. Ia elemen konduktor kelahiran kembali, proses inisiasi, sekaligus daya penghancur. Seperti neraka dan purgatori sebagai bejana penyucian atau bayi burung feniks yang bangkit dari abu bakar induknya.

Kesadaran tentang sisi lemah besi Rista alami ketika terbang ke Kalimantan untuk menghadiri sebuah acara. Berada di pesawat, melawan gravitasi, dan akrofobia menjadi momen partisipasi mistik tentang kedaifan manusia. Jauh di ketinggian cakrawala, ia merasa kerdil, segala dosa dihitung dan hinggap di pelupuk mata. Rasa gentar menghubungkannya dengan kemegahan hidup yang buas. Dan di situlah, di hadapan bayang-bayang Al-Maut, segemerlap apa pun statusmu, kedua dengkul pasti gemetar.

Memento mori membuat semua pencapaian hidup kelihatan omong kosong. Tapi, kalau pesawat sudah mendarat, kita bikin dosa lagi,” Rista terbahak.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keris yang Ditempa Rahim Api (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keris-yang-ditempa-rahim-api-1/feed/ 0 42129
Karapan Sapi, Karapan Besi (2) https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-2/ https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-2/#respond Thu, 02 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41812 Pemuda kampung itu adalah Rosi (21). Pria jangkung ini berpartisipasi pada aktivitas otak-atik motor balap di serikatnya yang bernama Karang Taruna Racing Team dengan anggota bocah-bocah kecamatan. Konon, ia tertarik pada dunia otomotif sejak duduk...

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pemuda kampung itu adalah Rosi (21). Pria jangkung ini berpartisipasi pada aktivitas otak-atik motor balap di serikatnya yang bernama Karang Taruna Racing Team dengan anggota bocah-bocah kecamatan. Konon, ia tertarik pada dunia otomotif sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. 

“Konsentrasi kami meningkatkan CC mesin,” cerita Rosi. “Kalau motor kami ber-CC 150, gimana caranya biar meningkat ke 170. Bagian blok kami bore up. Kami lebih menggarap motor yang menggunakan karburator ketimbang injeksi. Yang biasanya diubah juga di bagian kelistrikan kayak CDI atau busi.”

Untuk aktivitas harian macam nongkrong sana-sini, konvoi, dan menunjukkan eksistensi, Rosi beserta timnya—yang berkostum sama—lebih acap mengendarai Yamaha Fiz R. Akan tetapi, untuk balapan, tim Rosi akan mengandalkan Satria FU. Baginya, Satria memiliki sejumlah keunggulan yang tak ada pada motor lain. Di samping berbodi kecil dan bermesin gahar, produk keluaran Suzuki tersebut berpersneling hingga enam gigi. “Satria bisa melaju dengan napas lebih panjang,” tukas cowok macho itu. 

Karapan Sapi, Karapan Besi
Rosi di atas motornya/Wardedy Rosi

Inkarnasi Raga Besi

Meski gemar balapan liar yang biasanya dilancarkan di Jalan Kabupaten, tim Rosi juga tak enggan mengikutsertakan “sapi besi”-nya ke turnamen resmi. Seperti ingin menunjukkan bahwa prestasi mereka bisa diuji di segala medan. Di arena legal atau ilegal. 

Meski begitu, Rosi mengaku tak pernah menjadi joki. Baginya, trayektori atau lintasan balap tipe drag senantiasa dibayang-bayangi malaikat maut. Kalaupun tak dirundung ajal, kaki patah adalah konsekuensi minimum nasib apes yang bisa terjadi di rute lempang 201 meter itu. “Ada temanku yang mati waktu kecelakaan,” ucap Rosi bergidik seolah menyadari bahwa nyawa manusia tak sebanyak kucing Buddha. 

“Bagiku, motor cuma mainan.” Tapi mainan Rosi adalah jenis gim yang mempertaruhkan nyawa. Pemuda ini baru berhenti dari kegarangan masa remaja ketika kawan-kawannya harus terjun ke dunia kerja dan ia insaf bahwa modifikasi mesin motor cukup menguras duit orang tua. 

Sementara itu, balap liar tidak pernah dilakukan Amir (26) ketika masih duduk di bangku SMA. Dengan Fiz R, ia hanya mau ambil bagian pada ajang balapan resmi. Sebagaimana karapan sapi, partisipasinya di balapan motor tidak digerakkan motif hadiah yang tak seberapa. Ia hanya ingin reputasi. 

Kian dewasa, pemuda setinggi 170 senti ini lebih memilih bergabung dengan klub motor ketimbang memacu adrenalin di arena balap. Kini ia dipercaya sebagai ketua Klub Motor Ninja Madura. Baginya, klub dapat menjadi ajang memperluas jejaring sosial dengan mutu persahabatan tak seracun geng motor. Satu motor berjuta saudara. Begitu prinsip Klub Ninja Madura.  

“Sejak dulu, Ninja adalah kendaraan idaman anak muda. Sama-sama 150 CC dengan Yamaha Vixion, tapi Ninja masih lebih cepat,” ucap Amir bangga ketika ditanya mengapa memilih Kawasaki tipe itu. Ia menjelaskan bahwa Ninja tidak hanya memiliki daya pikat sensual yang jantan. Motor besar itu diam-diam juga menyimpan muslihat seksual. Sebab, posisi sadel miring akan membuat cewek yang dibonceng merapatkan tubuh pada si joki.

“Cowok enggak cocok pakai matik. Kenapa enggak sekalian pakai lipstik?” ujar Amir, entah bercanda atau serius. “Matik itu motor untuk ngangkut gas LPJ atau galon. Ninja enggak bisa ngangkut barang-barang gituan. Lagian Ninja bukan motor harian. Ia motor yang sengaja didesain buat gaya-gayaan.”

Raga rua Ninja hijau milik Amir tampak serasi dengan postur gemoy pemuda itu. Dan ia memang berkata bahwa motor adalah pantulan karakter pemiliknya. “Kalau motornya jelek, orangnya pasti jelek. Kalau motornya enggak pernah dicuci, orangnya juga jarang mandi.” 

Tidak Sekadar Properti Belaka

Jenis motor mestinya memang mencerminkan bawaan pemiliknya. Seperti Aden (22) yang berperawakan tenang lebih memilih bergabung dengan klub Vario ketimbang Amir-Ninja yang atraktif. Selain karena sederhana tanpa mengurangi tampilannya yang elok, jenis matik tersebut dipilih pemuda indah ini karena kerusakannya jarang parah dan servisnya mudah.

“Memelihara Vario punya banyak kelebihan,” cerita Aden. “Irit, enggak ribet. Kalaupun harus dimodifikasi, yang diubah hanya aksesoris dan suku cadang ringan.”

Telah setahun bergabung dengan Vario Squad Pamekasan, Aden tidak menyangka bahwa klub motor menanamkannya benih-benih filantropisme bersahaja. Ketika tetangganya yang “awam” hendak membeli motor, misalnya, ia kerap menjadi rujukan. Pun ketika motor sanak famili atau bala tetangga mengalami kerusakan, Aden yang akan mencarikan solusinya.  

Seperti hubungan sapi jantan Madura dan pemiliknya, Aden tidak menganggap motor sebagai properti mati semata-mata. Ia memandang motor sebagai sahabat sejati. “Motor menemani kita jalan-jalan meskipun tak ada kawan,” daku Aden dengan deklarasi kesepiannya yang melankolis. 

Apa pun jenisnya, motor telah menjadi inkarnasi-teknologis badan jantan seorang pria. Modifikasi bodi dan suku cadang, serta pendandanan raga motor adalah ikhtiar sang tuan mereformasi kapasitas kepriaannya. Gagasan film-film yang mempersonifikasi kendaraan bermotor, seperti Cars atau Transformers, sejatinya berangkat dari fantasi mistik ihwal tubuh dengan stamina tanpa batas, superior, dan immortal. Meski tak seepik sinema-sinema itu, impian tentang kualitas deistik manusia tengah diupayakan Silicon Valley melalui rekayasa bionik dan kecerdasan buatan untuk melahirkan spesies baru bernama organisme sibernetika, cyborg

Namun, para pembalap amatir Desa Pandan tak berpikir sejauh itu. Barangkali pemuda-pemuda tersebut hanya ingin menghangatkan cuaca dingin senja bulan Maret dengan darah panas akil balig yang perlu disalurkan. Hanya azan Magrib yang akan meredam raung edan sapi-sapi besi itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-2/feed/ 0 41812
Karapan Sapi, Karapan Besi (1) https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-1/ https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-1/#comments Wed, 01 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41806 Langit sore pancaroba sepucat gading mamut yang teronggok di museum telantar. Waktu itu adalah pengujung Maret dan musim hujan di Madura tak segalak wilayah lain. Itulah mengapa di Desa Pandan, sengit garam telah merangsek liang...

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit sore pancaroba sepucat gading mamut yang teronggok di museum telantar. Waktu itu adalah pengujung Maret dan musim hujan di Madura tak segalak wilayah lain. Itulah mengapa di Desa Pandan, sengit garam telah merangsek liang hidung. Sebagian terbang ke laut.

Di bekas rawa, atau mungkin tambak, beberapa kelompok anak muda sedang menunggu Magrib. Tiga perempat jam sebelum corong masjid menggemakan azan, knalpot motor mereka mengerang, terdengar seperti derau mamalia raksasa yang terancam. Aku berada di tengah-tengah keriuhan, turut menjadi bagian dari cara kawula muda itu menghabiskan waktu.

Pandangan kami tertuju jauh ke pusat tanah lapangan, memindai tiga motor yang berlari kencang. Bila dibantu teropong monokular, mataku tentu dapat menangkap detail raga motor yang kian disamarkan kepulan debu di udara. Kita hanya tahu kendaran itu adalah Yamaha RX-King, sejenis matik entah apa, dan Suzuki Satria korban modifikasi sana-sini.

Di titik lain, sebuah motor bebek melaju, terjerat tanah berpasir, lalu jatuh. Si joki mati-matian bangkit, menarik gas, tetapi putaran roda tampak sulit bekerja. Tak membuatnya beranjak ke mana-mana, dan hanya menyelubunginya dengan selimut debu. “Bajingan tolol,” tukas seorang remaja tanggung sambil ngakak bersama kawan-kawannya. 

Para pembalap dadakan itu memang berlaga di arena yang salah. Paling tidak, mestinya mereka sadar, Scoopy nan imut perlu diganti motocross yang kokoh mencengkeram tekstur bumi. Tapi, di kompetisi konyol semacam itu, standar layak dan segala norma tak pernah berlaku.

Maka, balapan iseng tersebut cuma menimbulkan getaran suasana yang melemparku ke sebuah perasaan ganjil bahwa aku tidak sedang menyaksikan pacuan motor. Ini mungkin sejenis deja vu, atau bukan. Tapi, andai kau tahu, bagiku peristiwa yang berlangsung saat itu hanya substitusi aktual dari olahraga tradisional orang Madura: karapan sapi.

Karapan Sapi, Karapan Besi
Pemuda Desa Pandaan menonton balap motor/Samroni

Jantanisasi Tubuh Sapi

Di Pulau Garam, lembu tak diperlakukan sebagai totem, seperti status suci zebu India. Ia hanya hewan yang lantaran multifaedah diperlakukan cukup istimewa ketimbang ternak lainnya. Karapan sapi mungkin sayembara paling tua di antara kontes sapi sono’ dan sabung sapi. Sejarahnya bisa ditelusuri hingga masa ketika Belanda belum menancapkan kaki di Nusantara. Dahulu, ia ditaja untuk meningkatkan produktivitas pertanian di tanah Madura yang tak subur. Namun, kini, karapan sapi telah lepas dari motif ekonomisnya. Ia menjelma turnamen yang diburu untuk menaikkan gengsi.

Gengsi itu memang melekat dengan watak maskulin ketika kepemilikan harta benda bukan satu-satunya simbol wibawa tradisional. Oleh karena itu, hadiah tak seberapa dari pertandingan karapan sapi tidak ada apa-apanya ketimbang prestise yang bakal disandang sang pemenang. Martabat “machoistik” inilah yang membuat para pemilik sapi karapan menjadi “bovino maniak” yang tak segan membobol rekening agar jagoannya ditahbiskan sebagai pejantan utama di medan palagan. 

Itulah mengapa konsep turangga (kuda, kendaraan) dalam filosofi kemakmuran pria Jawa masih terlalu banal. Sebab, relasi antara binatang tunggangan dengan tuannya yang notabene bergender pria melampaui kepentingan ekonomi. Ia juga bergelayut di dimensi psikologis.

Hingga saat ini, citra kejantanan kuno belum hilang dari kesadaran kita. Tubuh kekar dan perkasa ala instruktur fitnes adalah damba setiap pria. Persoalannya, fisik manusia terbatas, dan kenyataannya, hewan-hewan lain memiliki jasmani lebih besar serta bertenaga. Maka, kecemburuan karnal itu kerap muncul dalam wujud makhluk-makhluk mitologis yang mempertautkan tubuh manusia dengan raga hewan sebagaimana kita jumpai pada minotaur—sang pria banteng—atau sentaurus, si manusia kuda.  

Memelihara binatang aduan, seperti kerbau, ayam jago, merpati, jangkrik, atau ikan cupang, merepresentasikan obsesi pria atas kekuatan fisik. Hewan-hewan petarung itu adalah sublimasi maskulinitas destruktif yang mustahil dioperasikan terus-menerus dalam keseharian manusia modern. Kegiatan jasmani tersebut hanya mungkin didemonstrasikan pada masa-masa primitif saat pria di dua suku harus menyelesaikan sebuah konflik.

Ketika peradaban tumbuh dan manusia semakin jinak, adu kekuatan itu diwadahi aktivitas legal macam festival. Dari gladiator hingga smackdown—yang bahkan bisa ditonton bocah-bocah cilik di negara dunia ketiga. Di Madura, ojhung adalah ritual pemanggil hujan yang mempertandingkan dua pria telanjang dada. Adu cambuk rotan berdarah-darah tersebut menjadi pertunjukan maskulin ketika kualitas kejantanan dianggap dapat mendatangkan kesuburan (hujan). Seluruh eksibisi tubuh maskulin itu, dari pergulatan brutal sampai yang cuma berpose setengah bugil di kontes binaraga, tak lain merupakan ekstensi modus adaptasi pria di atas panggung evolusi biologis. Kekuatan otot atau gemerlap bulu ekor menjadi modal simbolik yang memiliki manfaat prospektif demi ketahanan suatu spesies. 

Lalu, modal simbolik hewan-hewan itu diperdaya hasrat manusia ketika transformasi ketidaksadaran ditemukan. Hollywood menangkap fenomena psikis ini dengan baik ketika monyet—makhluk yang sering dianggap licik—bernama Abu adalah binatang yang mewakili profesi jambret sang tuan, Aladdin. Atau dalam How to Train Your Dragon, Toothless merupakan naga yang berwatak seringkih patronnya, Hiccup. Sementara Momo, lemur terbang dalam Avatar: The Last Airbender, sungguh memiliki keselarasan karakter dengan Aang yang lincah di udara.

Representasi Jantanisasi

Secara psikologis, merawat binatang piaraan, seperti melatih kuda pacu, memandikan ayam sabung, atau memberi jamu kuat untuk sapi karapan sejatinya adalah menanam kekuatan kepada sang tuan sendiri. Lebih dalam, hewan-hewan itu bukan lagi turangga sebagai properti yang menyimbolkan status sosial pemiliknya. Ia adalah alter ego seorang pria. Makhluk-makhluk itu merepresentasikan kondisi badani dan rohani si pemelihara. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh, tutur sajak Goenawan Mohamad. Keresahan kuda dalam puisi “Asmaradana” merupakan situasi depresif Damarwulan yang terpaksa meninggalkan kekasihnya karena hendak terjun ke arena perang melawan negara Blambangan. 

Piaraan yang tangguh seakan-akan menandakan bahwa pemiliknya sukses memerankan diri sebagai alpha male. Ketangkasan fisik ini paling sering diukur dari seberapa cepat si hewan bisa berlari meninggalkan kompetitornya jauh di belakang bokong. Kelak, ketika teknologi transportasi menggantikan hewan tunggangan—dan dengan demikian menjelma diri lain yang baru—kendaraan-kendaraan modern itu tak diciptakan untuk jadi alat angkutan belaka sebagaimana pacuan kuda atau karapan sapi. Ia juga dirancang dengan tujuan rekreatif yang menunjukkan kehormatan pria. Kini, trayek Formula 1 dan MotoGP gegap gempita oleh hewan-hewan balap bertubuh besi. 

Dalam khazanah warita sebuah agama Abrahamik, antusiasme terhadap kecepatan kendaraan, misalnya, muncul pada hikayat “Perjalanan Malam sang Nabi” dengan menghadirkan makhluk tunggangan bernama Barak. Para seniman India kerap melukiskan kendaraan samawi ini bertubuh kuda sembrani dengan kepala wanita berwajah tak kalah jelita ketimbang bintang film Bollywood Priyanka Chopra. Namun, kecantikan feminin itu tak lantas membuat Barak kurang heroik daripada aksi gesit mobil-mobil Fast and Furious. Bahkan, ketangkasan kilat tersebut membikin X-15, pesawat paling cepat di dunia milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang mampu melaju 7.273 kilometer per jam, tampak sepayah kura-kura tua berusia seabad. Dengan kecepatan tak tepermanai itulah kendaraan surgawi tersebut membawa sang Nabi menembus lapisan astral dan melambungkan kharismanya sebagai patriarkh paling unggul.

Mungkin Barak dan sang Nabi terkesan seperti sebuah antinomi yang membenturkan daya feminin dan energi maskulin. Namun, kisah ini barangkali hendak memberi tahu kita bahwa watak feminin yang lembut merupakan puncak maskulinitas. Sebenarnya, persatuan dua elemen yang seolah-olah paradoks itu tidak terlalu mengejutkan andai kita pernah mendengar bahwa sang Nabi memiliki gelar nur ala nur, yang secara harfiah berarti ‘cahaya di atas cahaya’. Sang Nabi dan Barak merupakan cahaya yang menunggangi cahaya. Barak adalah representasi jantanisasi subtil sang Nabi sendiri. 

Hanya fiksi futuristik semacam pintu ajaib Doraemon yang bisa menyamai kompetensi kuda langit sang Nabi. Meski nyaris muhal menandingi kecepatan Barak—nama ini pernah dipinjam maskapai penerbangan Bouraq Indonesia Airlines yang kandas setelah 35 tahun melayang di angkasa—peradaban manusia tak kunjung lelah menciptakan teknologi-teknologi cepat. Mulai roket yang diharap mampu melipat waktu penjelajahan ruang ekstraterestrial hingga bongkar pasang motor balap liar pemuda kampung di Madura.

(Bersambung)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-1/feed/ 2 41806
Gastrosufi Rujak Prenduan Madura https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/ https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/#respond Tue, 12 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40329 Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang...

The post Gastrosufi Rujak Prenduan Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang yang menyalakan alarm hanya untuk dimatikan, lalu tidur kembali. Hanya saja, aku terbangun tengah malam dan terlelap lagi menjelang dini hari. Aku tidak sadar telah mematikan alarm dan kembali rebah di atas kasur.

Itulah mengapa aku baru sampai di rumah Bara pukul setengah delapan dan bilang, “Sori, Guys. Tapi, sinar matahari jam segini emang paling optimum mengaktifkan vitamin D.” Aku tahu teman-temanku tertawa karena itu pembenaranku saja. Namun, tentang vitamin D itu, aku tidak keliru, kan? 

Lagi pula, ayolah, untuk apa buru-buru berangkat ke Saronggi pukul enam pagi? Dari Kota Pamekasan, kita cuma butuh satu jam seperempat menit dengan motor berkecepatan sedang untuk sampai ke salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep tersebut. Itu pun sudah terhitung beserta hambatan-hambatannya. Di jalanan Madura—atau di mana pun—aral nyaris selalu ada. Katakanlah, orang-orang yang meminta amal masjid kepada para pengendara di jalan raya. Atau pasar tumpah yang begitu efisien membuat jalan jadi macet. 

Atau yang kami temui di perjalanan ini: Sebuah lapangan yang terhampar di kanan jalan baru selesai menghelat acara agustusan. Di kedua sisi jalan, berjajar mobil pikap bermuatan ibu-ibu—yang oleh feminis Julia Surya Kusuma dianggap bentuk penyetaraan kaum perempuan dengan ternak, padahal di Madura, bapak-bapak pun lazim tepekur bersama sapi-sapinya di gerobak pikap. Ibu-ibu lainnya meluber ke tengah jalan. Kendaraan kami cuma bisa merayap. Di tengah kerumunan ibu-ibu, rasanya seperti berkubang dalam sekolam hormon estrogen.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Beningnya Sendang Saronggi/Ikrar Izzul Haq

Di Sendang Saronggi

Kami memutuskan berpakansi ke Saronggi ketika Abyan mengunggah foto-fotonya yang asyik berenang di sebuah perigi.

“Telaga itu kelihatan liar,” ujarku menyakinkan teman-teman yang bertanya-tanya, apa istimewanya sumber air tersebut.

“Wow, aku suka yang liar-liar,” tanggap Bara dan Nabil nyaris bersamaan. 

Aku sudah membayangkan, untuk sampai ke sana, kami akan melewati semacam rimba gelap karena pohon-pohon gergasi menutupi cahaya matahari. Menebas cabang-cabang bercakar setan yang menghalangi jalan. Atau terbirit-birit dikejar seekor bagong yang siap menyeruduk kami dengan siung runcing. Tenyata agak mengecewakan. Sebab, tak lama berselang setelah belok ke gang di sebelah barak militer, kami sampai. Sendang itu bersisian dengan permukiman. Padahal, dalam hidup ini, kita butuh sedikit ketegangan, kan?

Maka, kami menanggalkan apa yang perlu ditanggalkan dan menyebur ke dalam kolam. Selanjutnya, kurasa tak ada yang perlu diceritakan. Lagian, apa pentingnya menceritakan tujuh jejaka tengah menikmati waktu duha di telaga berwarna toska yang riuh kicau burung madu sriganti? Apa urgensinya menarasikan sebuah sendang bermandikan percikan cahaya surya yang dikitari pohon gayam, nyamplung, dan sulur janda bolong melilit batang siwalan? Kecuali, misalnya, di sana kamu mengalami momen Jumanji atau, paling tidak, sedang mati-matian melepaskan diri dari lilitan anakonda.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Berkumpul di tengah dingin sendang/Ikrar Izzul Haq

Kezuhudan Rujak Prenduan

“Gimana kalau kita makan rujak Prenduan?” celetuk Abyan saat kami mengeringkan badan setelah tiga jam bermain-main di air.   

“Bukan ide buruk,” sahut Iko dan kami memang sepakat tak ada gagasan yang lebih baik ketimbang mencoba makanan yang sebelumnya hanya pernah kudengar dari seorang teman yang menceritakannya dengan berlebihan.

Rujak itu sedang diracik Bibi Mamtuhah yang warungnya kami sesaki. Untuk sampai ke sana, dari Saronggi kami melesat ke timur selama empat puluh menit. Di kampung nelayan inilah enam di antara kami akan mencicipi rujak Prenduan untuk pertama kali.  

Sibuk menyiapkan tujuh cobek rujak, Bibi Mamtuhah yang gendut berdaster hijau motif bunga dibantu tiga perempuan lainnya. Aku penasaran, gimana cara gincu jambon itu tidak meleleh dari bibirnya di udara nyaris empat puluh derajat celcius ini. Bisa saja perempuan bergelung itu cemas riasannya bakal luntur. Seperti kami yang gugup menunggu hidangan tiba, yang benar-benar tiba tiga puluh menit kemudian. Semuanya mengalah untuk tidak makan duluan hingga menimbulkan debat kecil. Mereka setuju, yang paling tua di antara kami yang akan makan terlebih dahulu. 

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Bibi Mamtuhan meracik rujak prenduan/Royyan Julian

Kini, rujak itu teronggok di depanku. Sumpah, setelah cicipan pertama, aku berharap sebuah meteor sekonyong-konyong jatuh di atap warung ini sehingga mereka—yang merasa muda belia—tidak akan pernah tahu rasa rujak yang sudah sekian juta tahun ditunggu dengan segunung penasaran. 

Ya, kurasa temanku memang tidak berlebihan ketika menceritakan gimana rasa rujak Prenduan. Aku kehilangan kata-kata dan heran, kenapa Iko, Bara, Ihya, serta Abyan begitu tenang melahap sesendok demi sesendok rujak itu. Padahal, selama menikmatinya, aku, Asief, dan Nabil tidak berhenti menghujaninya dengan beragam ungkapan superlatif yang hanya bisa kami ekspresikan dengan kata-kata paling esoteris. Akan tetapi, mungkin begitulah cara bocah-bocah itu berasyik-masyuk dengan kenikmatan. Kalaupun dimintai pendapat, mereka cuma akan menjelaskannya secara demokratis, tanpa pujian. 

“Rujak ini sudah melangkah ke derajat gastrosofi,” puja Asief sambil memejamkan mata mengunyah seiris pepaya mentah berlumur sambal petis. 

“Tidak benar,” sahut Nabil menyeruput kuah kecokelatan itu. “Rasa kecut sambal petisnya tidak hanya menuntun lidahku memahami sebuah kearifan.”

“Nyaris transendental. Bukan, bukan itu,” buru-buru kuralat kalimatku. “Ini sudah melampaui yang transendental. Rujak ini begitu—astaga, apa istilah paling representatif? Mistik.” 

Kata ‘gastrosofi’ terdengar terlalu sekuler untuk mewakili rasanya yang mulia. Kupikir tidak hiperbolik kalau kita menyematkan ‘gastrosufi’ kepadanya. Alih-alih filosofis, rujak Prenduan memendam cita rasa sufistik. Ia tidak lagi berdiri di tataran filsafat, tetapi tasawuf. Tak lagi menggiring kita ke kenikmatan kognitif, apalagi jasmaniah, tapi lebih dari itu: ekstatik. 

Mungkin kau akan menyebutku lajak ketika tahu cobek itu cuma berisi irisan krai, pepaya mentah, tahu goreng, tauge rebus, dan keripik tette bermandikan kuah petis encer. Tak lebih dari itu. Namun, bukankah yang hakiki memang kerap bersembunyi di balik wujud zahir? 

Tanpa melihat Bibi Mamtuhah mengulek sambal rujak, aku sudah tahu kuah itu hasil racikan dari petis, air, gula, garam, cabai, dan monosodium glutamat dengan kadar presisi. Tak ada yang eksentrik. Memang begitulah rujak petis pada umumnya. Yang membuat rujak Prenduan terasa sensasional, yaitu tetesan cuka. Cuka adalah kunci—habis ini aku mau nyetok sebotol cuka di lemari es, siapa tahu juga bisa bikin kuah opor jadi menakjubkan. Di Bangkalan, aku pernah makan rujak petis dengan perasan jeruk—entah apa, tetapi ini berbeda. Dan perbedaan tersebut bisa kupahami ketika aku sadar—setelah sekian menit kurenungkan dengan khusyuk—bahwa kuah petis rujak Prenduan juga menyertakan tomat mawar. 

Tomat mawar. Saat ini, orang-orang lebih memilih tomat buah ketimbang tomat mawar. Selain karena faktor kelangkaan, ukuran juga menjadi musabab. Kita lebih mudah mendapatkan tomat buah yang besar, gemoy, nan tampak segar ketimbang tomat mawar yang berukuran kecil dan secara visual nyaris tak atraktif. Namun, aku yakin, selain menambah kadar kemasaman, tomat mawar juga melahirkan rasa vegetasi lebih klasik ketimbang tomat buah. Di sinilah aspek ekstrinsik rasa terlibat. Sebagaimana makanan yang menyimpan sisi romantik macam ‘masakan ibu’ atau ‘jajanan kampung’, kenangan kita akan tomat mawar secara subjektif memengaruhi rasa rujak.  

Rujak Prenduan bakal menjadi salah satu (untuk tidak berkata ‘satu-satunya’) rujak favoritku. Orang Madura gemar makan rujak layaknya obsesi masyarakat Sumatera Selatan pada pempek. Itulah mengapa, sebagaimana genre soto yang beragam, rujak di Madura beraneka macam. Rujak kacang, rujak petis, rujak petis-terasi, rujak lontong, rujak cingur, rujak kepiting, rujak siwil, rujak asam, rujak kesambi, rujak kawista (sensasi sepet buah batok menghasilkan rasa yang bernas), rujak kelang (dengan kuah kaldu ikan beserta ikan-ikannya), rujak corek (dengan metode pembuatan dan cara makan yang erotis), rujak soto, rujak bubur, rujak selingkuh (tanpa dosa), dan sederet rujak lainnya yang tak sanggup kusebut satu per satu.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Rujak prenduan khas Madura/Royyan Julian

Petis Madura, Sumber Kenikmatan

Percaya atau tidak, rujak Madura menjadi istimewa karena petisnya. Petis Madura berbeda dengan petis Jawa. Petis Madura terasa gurih dan bertekstur elastis. Petis Madura bukan hanya produk dari sebuah proses endapan kaldu ikan. Petis Madura adalah saripati sukma ikan-ikan. Menerbitkan rasa pekat dan berpijak kuat di lidah. 

“Dosenku bilang, pisang biji akan menetralkan zat-zat buruk petis,” kisah Asief suatu kali ketika kami mengobrol mengapa sambal rujak kacang di Madura dicampur pisang biji mentah. 

Kata ‘buruk’ yang ia ucapkan dengan jelas membuatku membayangkan bahwa yang sedang ia bicarakan bukan petis, tetapi makanan sintetis Sari Roti campur Baygon. Mestinya, dosen itu menerangkan kepada mahasiswanya, zat ‘buruk’ apa yang terkandung dalam petis, bukan penjelasan umum yang semua orang bisa mengarangnya. Kuliah obskur tentang bahaya petis dari seorang akademisi semacam itu hanya akan mengafirmasi tuduhan Sutan Takdir Alisjahbana atas puisi-puisi Chairil Anwar yang dianggap tidak bervitamin sebagaimana rujak. 

“Aku enggak bisa bayangin gimana rasanya kalau enggak pedas sama sekali,” kata Abyan melihat Bara bisa menikmati rujak tanpa cabai sama sekali. “Pasti enek.”

Di sampingku, Asief terengah-engah menahan pedas. Minum, makan, minum, makan lagi, sekuatnya.

“Kamu berhenti?” tanyaku saat melihat beberapa iris buah masih tersisa di cobeknya.

“Enggak,” jawab Asief terbata-bata. “Aku masih ingin, tapi butuh jeda.”

“Masokis,” tanggap Nabil dengan keringat mengucur dari kening dan leher.

Andai bersama kami, Jacques Lacan bakal memberi contoh masokisme semacam itu pada konsep jouissance untuk subjek yang memperoleh kenikmatan dalam penderitaan.

“Aku enggak percaya eksistensi surga. Tapi setelah makan rujak ini, aku yakin surga memang ada,” seloroh salah satu di antara kami. Sebelum kami meninggalkan warung kecil ini. Sebelum kami pergi untuk kembali. Suatu saat nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosufi Rujak Prenduan Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/feed/ 0 40329
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/#respond Tue, 10 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39901 Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak itu buntung.

“Tengok arah pukul tiga,” bisik Asief. Rambut ikalnya tertiup angin sepoi. Aku menuruti perintahnya. “Itu burung layang-layang batu.” Hewan mungil itu betah bertengger di sebilah bambu yang tertancap di tepi rawa. Jaraknya sekitar lima meter dari posisi kami. Ketika terbang, burung itu akan kembali hinggap di situ lagi.

“Apakah burung layang-layang sama dengan sriti dan srigunting?” Pertanyaanku dijawab “tidak”. Aku baru tahu, ketiganya berbeda.

Dari timur, seorang pria paruh baya muncul. Sepertinya ia akan turun ke ladang. Ia memanggul satu sak sesuatu.

“Mau bedil, ya?” Ia mengira kami akan menembak burung. Kami menjawabnya dengan sesimpul senyum.

Dua Penyaru di Imperium Burung-Burung

“Ayo berkamuflase,” ucap Asief sambil mengurai selembar jala saru dari kantong bekas tas helm. “Enggak kelihatan mencolok itu penting,” tambahnya. Itulah mengapa ia mengenakan kaus cokelat pudar lengan panjang, celana parasut kelabu, dan sandal gunung hitam. (Agak mengecewakan, sebenarnya. Padahal, aku sudah membayangkan ia berkostum safari seperti Nigel di serial The Wild Thornberrys dan mati heroik setelah bergulat sengit dengan seekor buaya).

Aku buru-buru melepas jaket berwarna Golkar—tapi agak tua—dan menjejalkannya ke dalam ransel. “Burung enggak buta warna. Makanya, warna bulu mereka semarak. Beda sama mamalia. Di mata kebanyakan hewan menyusui itu, dunia ini miskin warna. Kecuali primata. Penglihatan kita lebih berwarna.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi di balik jaring kamuflase/Royyan Julian

Selembar jaring berbobot ringan dibentangkan. Jala itu berwarna daun. Aku takjub. Motif dan kelirnya akan menyatukan kami dengan tekstur alam. Kami jadi seperti Harry Potter dan Ronald Weasley berkemul selubung mimikri. Sebentar lagi kami akan menyelonong ke kamar rahasia yang dihuni seekor ular naga jelmaan Lord Voldemort.

Di dalam selimut kamuflase Asief berkata, “Jaring ini harganya cuma enam puluh ribu. Atau tujuh puluh. Aku lupa,” sambil mengeset kamera. Lalu kami telungkup berjajar.

Asief menunjuk seekor tikusan di kaki-kaki lembang. Agak jauh di sisi kanan kami. Tiba-tiba seekor burung yang lain muncul dari kedalaman semak.

“Astaga, itu kareo padi. Aku belum pernah mendapatkan gambar apik burung itu.” Ia mengarahkan kamera. “Tapi itu terlalu jauh. Lensaku enggak mampu. Tolong putarkan suara pikat kareo padi.” Aku bergegas membuka Youtube dan membunyikan kicau burung itu. “Mestinya aku membawa speaker,” keluhnya. 

Setelah dua burung itu lenyap, seekor kipasan dan kapasan menggantikan posisi mereka. Kedua burung yang ukurannya sebelas-dua belas itu melompat-lompat mencari makan. Jika tikusan dan kareo pada mencari mangsa di genangan air, kapasan dan kipasan berkitar di tanah agak kering.

“Sepertinya kita perlu membetulkan posisi,” tukas Asief, “kamu dapat banyak jatah selimut. Kakiku enggak ketutup penuh.”

Ke arah jam dua belas, Asief menunjuk titik jauh setelah kami berselubung kembali. “Lihat burung itu.” Aku mencari-cari titik itu. Di sana, hewan kecil berbulu biru bertengger di ranting. “Itu jenis raja udang. Kamu tahu namanya?” Aku menggeleng.

“Cekakak suci.” Puitis sekali.

“Kenapa harus suci?” tanyaku menginterogasi. 

“Sebenarnya aku enggak tahu pasti. Tapi aku pernah baca, konon, masyarakat Polinesia percaya bahwa cekakak suci bisa mengendalikan badai.”

Pandanganku tidak akan sedramatis itu. Namun, hal semacam ini mestinya tidak membuatku heran. Suku-suku dari dunia lama yang masih lestari bahkan tetap mempertahankan kultus kepada binatang totem. 

Asief merekam burung itu ketika sedang mengunyah mangsa. Seekor biawak melata dari arah persembunyian, berharap si burung lengah. Meski sedang asyik menikmati kudapan, cekakak suci tetap waspada. Ketika kadal itu mendekat, sang burung terbang ke dahan yang lebih tinggi. Saat situasi kembali aman, cekakak pindah ke ranting semula.

“Kenapa dia balik ke tempat itu lagi?” Pertanyaanku mengusik kawanku yang sedang sibuk merekam.

“Mereka punya teritori. Kayak burung layang-layang tadi. Kecuali burung-burung migran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Tikusan mencari mangsa/Asief Abdi

Dua jam berselang, kami keluar dari penyamaran dan terkejut mendapati seorang pria duduk di belakang kami.

“Dapat banyak?” Ia bertanya. Kami menangkap maksud pertanyaannya.

“Kami cuma lihat-lihat saja, Pak,” jawab Asief mengulum senyum. Seperti pria sebelumnya, bapak ini mengira kami sedang berburu burung. Padahal kami tidak memegang senjata apa pun.

“Apa kita punya tampang pembunuh?” bisikku di telinga Asief ketika si bapak turun ke rawa. Kedua betisnya ditelan lumpur.

Sebenarnya aku sudah ingin menggaruk betisku sejak di dalam jaring. Sepertinya beberapa ekor semut merayap ke dalam celana. Asal bukan ular sawah, aku masih tahan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak selemah yang Asief kira.

“Mungkin kita bisa melihat burung lebih banyak seandainya debit airnya tidak berkurang,” tukas Asief. “Agustus memang puncak kemarau dan rawa ini surut. Atau jangan-jangan kita datang kurang pagi. Jam-jam segini, burung-burung sudah kelar mencari makan dan sekarang istirahat.”

Masa Depan Burung-Burung

Ketika sedang menikmati matahari duha yang bersinar terang, di kejauhan, sayup-sayup suara kirik-kirik-kirik-kirik terdengar. Asief menyadarkanku akan kedatangan suara tersebut. Indra pendengarannya telah terasah. Bahkan, kendatipun burung-burung itu cuma berbisik, mungkin ia bisa mendengarnya.

“Aku sudah bertahun-tahun berjibaku dengan aktivitas kayak gini,” ucapnya saat aku memuji sensibilitas pendengarannya. Namun, aku heran kenapa kulitnya yang cerah tidak kunjung gosong.

Kami memandang angkasa. Seekor burung melesat di latar biru langit bersaput gumpalan awan. Warna hijau dan sedikit jingga yang menyapu bulu-bulunya tampak samar di ketinggian.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi mengeset kamera/Royyan Julian

“Itu burung kirik-kirik laut,” terang Asief. 

“Kirik-kirik laut,” sahutku. “Berarti ada kirik-kirik darat?

“Enggak ada. Yang ada kirik-kirik senja.” Seperti sudah bisa memahami pertanyaan yang siap kulontarkan, buru-buru Asief melanjutkan, “Mereka suka nongkrong saat senja.”

Apakah burung itu juga hobi mejeng di Capak?

Dari utara, tiga ekor burung terbang. Asief menunjuk ketiga hewan yang sedang menuju selatan tersebut. “Itu kowak malam.”

“Kenapa keliaran siang-siang begini?”

“Mungkin habis kelar ngopi.” Asief mengedipkan mata sipitnya.

Sementara dari timur laut, seekor burung jumbo terbang menuju barat daya. “Kalau itu…“ kalimatnya tersekat. “Oh, tunggu. Ya Tuhan! Itu bukan seperti yang kita lihat di Capak tadi.” Asief nanap dan aku tidak tahu mengapa ia nanap.

“Kenapa?” Aku tak sabar.

“Enggak ada merah di lehernya. Tapi aku enggak yakin. Aku belum pernah melihat dia di sini.”

Cara Asief berkata ‘dia’ untuk burung itu seperti terperangah memergoki mumi Firaun Tutankhamun bangkit dari peti mati dan bergentayangan di Madura.

Kini burung tersebut melayang-layang sebentar di atas padang lembang, mengepakkan sayap-sayapnya yang terentang hampir dua meter sebelum merasuk ke rimbun belukar itu.

“Jadi, itu apa?” desakku.

“Cangak abu.” Pandangannya menerawang ke ufuk barat bagai tertegun usai dijatuhi wahyu.

“Apa?” tanyaku sekali lagi.

“Cangak abu.”

Oke, cukup. Terlalu banyak nama burung dengan bunyi ‘k’ yang ditampung otakku hari ini. Cangak, kowak, kirik-kirik, kuntul, kipasan, kapasan, blekok, tikusan, tekukur, perkutut, cekakak, kutilang, kareo. Satu kali lagi ia menyebut burung dengan bunyi ‘k’, aku bakal semenderita membaca novel Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, yang punya banyak sekali tokoh bernama hampir sama dan harus kuingat satu per satu.

Namun, aku senang menjadi saksi ia menerima momen eureka. Itu artinya, aku pembawa keberuntungan. Jadi, tidak ada alasan lagi baginya untuk enggan mengajakku ke perjalanan semacam ini. Membicarakan alam di alam jauh lebih menyenangkan ketimbang membincangkannya di kafe. Di sini, aku bisa belajar banyak karena Asief akan menunjuk contoh-contohnya secara langsung.

Kini, Asief tengah berusaha membidik seekor dara laut yang melayang-layang di hadapan kami. Ketika seekor anak nila mencaplok anggang-anggang yang berselancar di permukaan air, burung itu menukik dan mematuk sang ikan. Yang memangsa akan dimangsa. Sebuah gambar rantai makanan yang sempurna.

“Susah sekali memotret burung terbang.” Asief mendesah. “Sebenarnya dulu aku punya foto dara laut yang bagus, tapi diambil dosenku buat buku pelajaran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Cangak abu terbang di angkasa/Asief Abdi

Waktu menerabas pukul sepuluh. Asief menginjak patok kepemilikan tanah di pematang buntung itu. Lalu ia berkata dengan masygul, “Cepat atau lambat, kawasan ini akan sepenuhnya menjadi ladang. Bahkan, kita belum tahu, kehidupan macam apa yang bersemayam di relung semak lembang itu.” Aku jadi ikut pilu. “This wetland, Dude, is the last sanctuary for those birds.”

Suaka penghabisan, ramal Asief. Entah ke mana burung-burung tersebut akan pergi. Mungkin ke mata angin akhir zaman. Kepunahan niscaya yang senantiasa mengintai keberadaan satwa-satwa liar. Aku berusaha menghalau bayangan duka yang berputar-putar dalam pikiranku. 

“Makan soto Keppo kayaknya enak.” Kurasa Asief juga sedang melenyapkan gundah dengan kalimat itu.

Memang tak ada ide yang lebih baik daripada sarapan terlambat dengan semangkuk soto bertabur suwir daging ayam. Ayam pedaging yang sulit disentuh ancaman kepunahan. Namun, berkah keberlangsungan spesies harus mereka tebus dengan hidup yang begitu singkat dan menderita.

Lalu, perasaan lega mengalir saat aku sadar bahwa burung-burung di sini tidak bernasib sengsara sebagaimana ayam-ayam yang terhidang di meja makan manusia. Tak ada yang bisa menerka, ke mana takdir akan membawa burung-burung itu. Namun, setidaknya aku tahu, mereka pernah bahagia.


Foto sampul: Burung layang-layang batu bertengger di sebilah bambu (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/feed/ 0 39901