Ruth Sandra Devi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ruth-sandra-devi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 10 Nov 2020 08:24:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ruth Sandra Devi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ruth-sandra-devi/ 32 32 135956295 Melihat Sundel Bolong Nordik di Flam https://telusuri.id/melihat-sundel-bolong-nordik-di-flam/ https://telusuri.id/melihat-sundel-bolong-nordik-di-flam/#respond Tue, 10 Nov 2020 08:23:32 +0000 https://telusuri.id/?p=25086 Keindahaan alam Norwegia agak mirip dengan Indonesia. Jika di Indonesia banyak sawah luas membentang dengan tanaman padinya, di Norwegia banyak padang rumput hijaunya. Gunung-gunungnya pun sama indahnya, begitu juga sungai, pantai, maupun air terjunnya. Soal...

The post Melihat Sundel Bolong Nordik di Flam appeared first on TelusuRI.

]]>
Keindahaan alam Norwegia agak mirip dengan Indonesia. Jika di Indonesia banyak sawah luas membentang dengan tanaman padinya, di Norwegia banyak padang rumput hijaunya. Gunung-gunungnya pun sama indahnya, begitu juga sungai, pantai, maupun air terjunnya.

Soal ekspresi budaya juga ternyata tak jauh-jauh amat bedanya. Alam perhantuan, misalnya. Jika Indonesia punya “sundel bolong”, Norwegia punya “peri”. Nah, ceritaku kali ini adalah tentang pengalamanku melihat “peri” di Norwegia.


Kereta api buatku bukanlah sesuatu yang aneh. Jika bepergian ke Bandung, ke daerah-daerah di Jawa Tengah, mapun ke Jawa Timur, aku kadang menggunakan moda transpor ini. Enaknya naik kereta api, jika dibandingkan dengan bus atau pesawat terbang, misalnya, adalah kita tak cuma bisa duduk manis di bangku, namun juga bisa bebas berjalan ketika moda transpor ini sedang melaju. Selain itu, pemandangan yang bisa dilihat juga biasanya elok.

Jalan seperti Kelok 9 dekat jalur kereta Flam, Norwegia/Ruth Sandra Devi

Pada suatu hari yang dingin di musim panas, aku naik kereta api di sebuah desa kecil di Norwegia. Namanya Flam. Tunggu—hari yang dingin di musim panas? Aku tidak salah ketik. Sekalipun sedang musim panas, suhu udara memang dingin sekali, bisa mencapai 0 derajat Celsius. Bisa dibayangkan sendiri betapa dinginnya musim dingin.

Flam sendiri menawarkan dua hal pada para turis, yaitu pengalaman melihat fjord naik kapal (fjord cruise) dan pengalaman melihat keindahan alam naik kereta api (panoramic train). Untuk yang kedua ini, jendela kereta apinya sengaja dibuat demikian besar agar turis lega memandang ke luar.

Salah satu desa yang dilewati saat perjalanan naik kereta/Ruth Sandra Devi

Perjalanan kereta panoramik ini dimulai di Flam, terus ke Stasiun Myrdal, lalu kembali ke Flam. Jarak antara Flam dan Myrdal sekitar 20 km saja dan ditempuh selama satu jam. Perbedaan ketinggian antara kedua tempat itu membuat kereta mesti melaju menanjak dan menurun. Flam hanya 2 mdpl, sementara Myrdal 866 mdpl.

Pemandangan yang kulihat dari jendela kereta, sebagaimana di Indonesia, juga indah. Agak-agaknya pemandangan indah itulah yang dijual oleh Norwegia pada para turis. Aku dipukau gunung-gunung yang tinggi, lembah, sungai, terowongan yang membelah bukit, dan desa-desa yang cantik. Sekali waktu aku melihat jalan berliku yang mengingatkanku pada Kelok 9.

Sekitar 5 km sebelum sampai di Myrdal, kereta tiba-tiba berhenti. Para penumpang berebut turun dari kereta. Aku pun ikut turun untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata kereta memang sengaja berhenti di situ untuk memberikan kesempatan pada para turis melihat sebuah air terjun cukup besar. Suara air yang berjatuhan bergemuruh. Air terjun itu bernama Kjosfossen. Orang-orang pun sibuk berfoto dengan latar belakang air terjun.

Sedang asyik berswafoto, sayup-sayung telingaku mendengar suara orang bernyanyi. Iya, menyanyi! Diiringi suara alat musik pula! Kombinasi keduanya bikin suasana jadi mistis dan bikin bulu roma merinding. Lalu, di sana, berdekatan dengan air terjun, tiba-tiba saja muncul sesosok wanita bergaun merah. Dengan rambut putih yang panjang terurai, ia menari-nari di atas apa yang tampak seperti reruntuhan bangunan. Makin menegangkan saja!

Rupanya itu adalah atraksi. Sosok berbaju merah itu manusia yang berpenampilan seperti huldra, sosok mitologis Nordik semacam “peri” yang tinggal di hutan. Penampilannya sebelas-dua belas dengan sundel bolong—ada lubang di punggungnya! Tapi, hulder punya ekor.

Huldra di AIr Terjun Kjosfossen/Ruth Sandra Devi

Atraksi hulder menari-nari di depan Air Terjun Kjosfossen itu sengaja dibikin agar turis mendapat pengalaman yang berkesan dalam perjalanan naik kereta itu. Memang benar, sih, “peri” yang menari-nari itu bikin aku tak mampu melupakan perjalanan ke Flam.

Setelah berhenti sekitar 10 menit untuk melihat peri, perjalanan berkereta dilanjutkan ke Stasiun Myrdal. Berhenti tidak lama di Myrdal, kereta kembali lagi ke Flam.

Stasiun Myrdal/Ruth Sandra Devi

Saat tiba di Kjosfossen, kereta berhenti lagi, dan sosok peri tadi muncul lagi. Sayangnya, nyanyian dan sosoknya tetap sama. Kalau di Indonesia, pastilah akan bervariasi. Misalnya, pada perhentian pertama yang muncul ada gending Jawa beserta penari dengan baju kebayanya. Begitu balik lagi, lagunya ganti jadi lagu Papua. Membayangkannya saja aku sudah ingin sekali mencoba kereta itu.

The post Melihat Sundel Bolong Nordik di Flam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-sundel-bolong-nordik-di-flam/feed/ 0 25086
Di Balik Tawaran Menginap Hampir Gratis https://telusuri.id/di-balik-tawaran-menginap-hampir-gratis/ https://telusuri.id/di-balik-tawaran-menginap-hampir-gratis/#respond Sun, 25 Oct 2020 05:04:31 +0000 https://telusuri.id/?p=24718 Perjalananku ini berawal dari sebuah penawaran yang sangat menarik. Bayangkan saja, aku ditawari menginap tiga malam di Bangkok, di sebuah hotel mewah bintang lima, dengan biaya hampir gratis. Syaratnya bisa dibilang mudah, yaitu mengikuti acara...

The post Di Balik Tawaran Menginap Hampir Gratis appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalananku ini berawal dari sebuah penawaran yang sangat menarik. Bayangkan saja, aku ditawari menginap tiga malam di Bangkok, di sebuah hotel mewah bintang lima, dengan biaya hampir gratis. Syaratnya bisa dibilang mudah, yaitu mengikuti acara pihak sponsor di Bangkok selama satu jam. Siapa yang tidak tergiur?

Sebagai seorang planner sejati—dari dulu aku sering diberi tugas untuk merencanakan sesuatu—tentu aku menyiapkan perencanaan dengan matang, soal mau ke mana saja, lihat apa, naik apa dan di mana, biayanya berapa, dst., dst. 

Namun sungguh sayang, rencana tinggallah rencana. Beberapa hari sebelum aku berangkat, tersiar kabar yang menyedihkan bagi warga Thailand. Bhumibol Adulyadej, raja yang begitu dihormati dan disayangi oleh rakyat Thailand, berpulang. Kepergian sang raja tentu membawa kesedihan mendalam bagi orang Thailand, sehingga banyak tempat wisata yang ditutup untuk menghormati dirinya.

Pada titik itu, aku tak punya bayangan apa yang bakal kuhadapi di Bangkok. Namun, meskipun rencana yang sudah dibuat jadi berantakan, semangat jalan-jalanku tetap tinggi.

Jadilah aku berangkat ke Bangkok pada hari yang telah ditentukan dengan riang gembira. Karena ini bukan kali pertama aku ke Thailand, rasa gembira yang muncul barangkali dipicu oleh biaya menginap yang hampir gratis itu.


Setiba di Bangkok, aku dijemput pihak sponsor di bandara menggunakan mobil mewah. Bukan main, pikirku. Sudah menginap hampir gratis, dijemput pakai mobil mewah pula.

Sepanjang perjalanan menuju hotel, aku melihat warga Thailand mengenakan baju warna hitam, menandakan mereka sedang berkabung atas mangkatnya sang raja. Di banyak tempat terpampang gambar mendiang raja disertai ungkapan belasungkawa yang dalam. (Lewat obrolan dengan beberapa warga Thailand, aku dapat menangkap betapa besarnya rasa cinta dan hormat mereka pada Raja Bhumibol.)

Setiba di hotel, aku melongo melihat kamar. Bukan main luasnya, bagus penataannya, compliment selamat datangnya juga menarik. Belakangan aku mendapati bahwa sarapan yang disediakan adalah sarapan terbaik yang pernah kudapatkan. Enak dan lengkap. Mau cari makanan dari berbagai negara ada semua!

Selain itu, hotel yang berada tepat di tepi Sungai Chao Phraya itu juga menyediakan kapal gratis untuk pergi ke pusat kota. Jadwal keberangkatan kapal itu sudah ditentukan, rutenya dari dan menuju dua persinggahan, yakni Asiatique the Riverfront dan Sathorn. (Asiatique the Riverfront adalah sebuah tempat belanja, bermain, dan makan. Di sana juga ada Calypso Cabaret, Traditional Thai Puppet Theatre, dan arena Muay Thai. Sementara itu Sathorn ada di pusat kota Bangkok dan terhubung dengan stasiun BTS Skytrain.) Rasanya, mengikuti acara mereka selama satu jam tak ada apa-apanya dibanding segala amenitas itu, pikirku.

Tak menunggu lama, siang itu juga aku langsung mencoba transportasi gratis itu untuk merasakan suasana Chao Phraya. Sepanjang perjalanan pemandangannya sangat indah—dan jadi makin indah saat hari mulai gelap oleh lampu warna-warni yang menghiasi bangunan sepanjang sungai.


Selain Chao Phraya, Asiatique, dan Sathorn, aku juga pergi ke satu tempat yang menarik, yakni Jim Thompson House Museum. Rumah bergaya Thailand itu adalah milik seorang pengusaha Amerika bernama Jim Thompson yang dikenal sebagai Thai Silk King atau Raja Sutra Thailand. Rumah yang terbuat dari kayu itu menyimpan banyak karya seni. Untuk masuk tak bisa seenaknya. Pengunjung harus diantar oleh pemandu.

Sungai Chao Phraya malam hari/Ruth Sandra Devi

Aku juga ke Chatuchak, salah satu pasar paling tenar di Thailand. Pasar ini sangat besar. Untuk memandu pelancong menavigasi diri, tersedia sebuah denah yang setiap bloknya diberi warna yang berbeda berdasarkan jenis barang yang dijual. Jika ingin beli baju, misalnya, cukup cari jalan ke blok warna merah.

Mal juga kuhampiri. Ada satu mal yang cukup menarik buatku, namanya Terminal 21. Di tiap lantainya ada ornamen bertema kota-kota di penjuru dunia, mulai dari Tokyo, London, Istanbul, sampai San Francisco dan Golden Gate-nya. Mampir ke satu mal serasa pergi ke banyak negara.

Selain pasar dan mal, aku sebenarnya juga berencana mampir ke kebun raya (botanical garden). Namun, karena bekalku hanya Google Maps, aku malah nyasar ke permukiman dan gagal menemukan kebun raya itu.


Cerita-cerita di atas ibarat “pelangi” dalam perjalananku. Di bagian kedua ini aku akan bercerita soal “hujan dan petirnya.”

Sebagaimana yang sudah kuceritakan di bagian pertama tulisan, segala amenitas menggiurkan itu hanya perlu ditebus dengan mengikuti acara sponsor selama satu jam. Rupanya, acara satu jam inilah yang kemudian jadi penentu nyaman atau tidaknya aku selama di hotel itu. Acara itu ternyata berujung pada ajakan untuk berinvestasi di perusahaan mereka. Setelah melalui perdebatan panjang, dihadapkan pada bermacam-macam orang dari berbagai tingkatan—sampai direktur—akhirnya dengan tegas aku menolak tawaran mereka untuk berinvestasi. Jelas acara itu molor jadi lebih dari satu jam.

Barangkali ini hanya perasaanku saja, tapi setelah menolak ajakan investasi itu kenyamanan tinggal di hotel berubah drastis. Malam kedua, setelah mengikuti acara sponsor, tengah malam ada yang menggedor-gedor pintu kamarku. Aku bangun karena kaget. Setelah kubuka, muncul seorang karyawan hotel yang menanyakan apakah aku melaporkan gangguan internet. Tengah malam begitu, boro-boro melaporkan, menggunakan internet saja aku tidak. Aku sudah tidur sejak jam 8.

Setelah itu susah bagiku untuk melanjutkan tidur. Akhirnya aku nonton TV. Tak berapa lama, pintu kamar kembali digedor. Kali ini orang yang menggedor pintu menanyakan hal-hal lain yang aku sudah lupa. Sepanjang malam kejadian itu berulang sampai beberapa kali. Tentu aku jengkel. Mau menghubungkan kejadian itu dengan penolakanku pagi harinya, tak ada bukti. Tapi, jika tak dihubung-hubungkan, rasanya juga semua itu tak mungkin sekadar kebetulan.

Malam ketiga dan terakhir, aku sudah siap-siap menerima hujan-badai berikutnya. Aku pasang tulisan “Do Not Disturb” di pintu kamar. Dan apa yang terjadi? Tengah malam, dari kamar sebelah terdengar suara menggelegar bagai petir. Penghuni kamar sebelah—entah benar ada penghuni atau tidak—memasang TV dalam volume sekencang-kencangnya. Menonton TV dengan volume senyaring itu kurasa sangat tak biasa. Tapi, jika benar hal itu dilakukan untuk membuatku kesal dan melancarkan komplain, mereka pasti bakal kecewa, sebab aku santai saja. Sudah kusiapkan penutup telinga agar bisa melanjutkan mimpi indahku dengan nyaman.


Dari peristiwa-peristiwa di atas, aku bisa mengambil beberapa pelajaran:

Pertama, jangan cepat tergiur dengan tawaran yang murah atau gratis. “No free lunch” atau ”ada udang di balik bakwan” selalu menjadi pedomanku sejak saat itu. Kedua, nikmati saja masalah yang ada di depan. Anggap saja masalah itu seperti menu makanan baru yang perlu dicoba dirasa. Perkara enak atau tidak urusan belakangan, setidaknya sudah pernah dirasakan. Ketiga, ada pelangi (lagi), kok, di balik hujan badai dan petir. Setiap masalah tetap menyimpan hal indah.

Begitulah pengalamanku. Semoga bermanfaat bagi semua.

The post Di Balik Tawaran Menginap Hampir Gratis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-balik-tawaran-menginap-hampir-gratis/feed/ 0 24718