Ruth Stephanie, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/ruthstephanie/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 19 Jan 2023 07:32:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ruth Stephanie, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/ruthstephanie/ 32 32 135956295 Ada Apa dengan Babi dalam Budaya Masyarakat Batak? https://telusuri.id/babi-dalam-budaya-masyarakat-batak/ https://telusuri.id/babi-dalam-budaya-masyarakat-batak/#respond Wed, 30 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36159 “Karena sejak lahir hingga mati, babi sudah jadi budaya di tanah Batak.” Beberapa hari lalu saat ada acara keluarga, saya mengunggah makanan yang ada di atas meja makan ke media sosial. Tentu saja ada lomok-lomok...

The post Ada Apa dengan Babi dalam Budaya Masyarakat Batak? appeared first on TelusuRI.

]]>
Karena sejak lahir hingga mati, babi sudah jadi budaya di tanah Batak.”

Beberapa hari lalu saat ada acara keluarga, saya mengunggah makanan yang ada di atas meja makan ke media sosial. Tentu saja ada lomok-lomok lengkap yang menjadi sajian wajib saat acara patio mata ni mual—acara yang dilakukan anak laki-laki pertama untuk minta izin kepada tulang, saudara laki-laki dari pihak Ibu, saat ingin menikah—diadakan.

Beragam komentar dari teman-teman hingga kolega pun menghampiri. Bagi mereka yang awam dengan acara tersebut, merasa kaget hingga tak percaya ternyata babi sangat disakralkan dalam adat masyarakat Batak.

Bagaimana tidak? Dari kelahiran, acara pernikahan, hingga upacara kematian, hewan bermoncong khas ini wajib ada keberadaannya, dan tentu saja memiliki arti tersendiri dari siapa yang memberi dan menerimanya. Hal-hal memberi dan menerima memang terlihat sederhana, tetapi tidak bagi mereka yang berdarah Batak, terlebih jika memberi makanan dari olahan babi.

Lantas, kira-kira ada apa ya dengan babi dalam budaya masyarakat Batak? Berikut ini merupakan ulasan singkat dari boru—perempuan—Batak asli yang bisa teman-teman TelusuRI sedikit pahami mengapa babi menjadi sangat identik dengan budaya Batak.

Daging babi
Daging babi yang diperjualbelikan/Ruth Stephanie

Mungkin saja setelah membaca tulisan satu ini, teman-teman sudah mengerti arti kode dari B2 hingga B1 jika ingin sesekali berkunjung ke lapo—restoran khas Batak, serta apa itu saksang dan BPK yang terkenal lezat dan gurih.

Ada Apa dengan Babi?

Perlu diketahui bahwa di Indonesia tidak hanya suku Batak yang mengonsumsi daging babi. Ada suku Toraja, Dayak, Manado, Papua, hingga Bali. Selain itu, daging babi juga sebenarnya telah diternak dan tentu saja dikonsumsi oleh bangsa Eropa dan Asia lebih dari ribuan tahun lalu. Kemudian, menjadi konsumsi umum di Nusantara sebelum masuknya ajaran Islam dari Timur Tengah.

Maka, jangan heran jika kawan ingin berkunjung ke rumah bolon—rumah panggung khas Batak—kemudian melihat kolong yang lapang dari rumah tersebut menjadi kandang babi. Karena pada dasarnya memang dari zaman dahulu suku Batak telah mengenal beternak babi. Terlebih babi adalah termasuk hewan yang perkembangbiakannya cepat dan sangat mudah untuk dirawat.

Sekadar informasi juga, bahwa hewan satu ini memiliki sifat prolifik, yakni bisa memiliki banyak anak dalam satu kelahiran. Dalam satu kali kelahiran, induk babi dapat melahirkan 8-14 ekor anak babi. Dalam satu tahun, induk babi bisa mengalami dua kali kelahiran. Jadi, di sini kawan bisa bayangkan bagaimana keuntungan memelihara babi di rumah bolon bagi orang Batak. Selain bisa menjadi cadangan makanan, pun juga bisa menjadi mata pencaharian yang menghasilkan uang.

Dalam bahasa Batak, babi biasa disebut dengan pinahan. Sementara untuk babi yang berumur di bawah tiga bulan biasa disebut dengan lomok-lomok.

Kemudian menurut beberapa ahli budaya Batak juga menjelaskan bahwa sebenarnya dalam kehidupan suku Batak terdapat empat hewan peliharaan yang sangat istimewa yang biasa digunakan dalam pesta-pesta adat. Keempat hewan tersebut adalah babi, lombu (lembu atau sapi), hoda (kuda), dan horbo (kerbau).

  • Lomok-lomok
  • Sop babi
  • patio mata ni mual

Dari sini, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pada faktanya daging babi dapat dipandang sebagai level terendah daging yang bisa dikonsumsi dalam pesta-pesta adat Batak. Babi juga lebih ditonjolkan kepada daging termurah, yang dapat dibeli oleh berbagai lapisan masyarakat. 

Tetapi perlu dicatat juga, walau babi tidak mendapatkan perlakuan khusus pemeliharaan seperti halnya hewan kerbau dan kuda, namun hewan bermoncong ini tetaplah menjadi sebuah komponen adat. Salah satu alasan juga mengapa daging babi menjadi semacam makanan wajib pada pesta atau upacara adat Batak adalah untuk menyatukan komponen yang berbeda dalam satu ruangan yang sama.

Hak Pemberian dan Penerimaan atas Daging

Jika kawan sudah menonton film garapan sutradara Bene Dion Rajagukguk, Ngeri-Ngeri Sedap, pasti sangat hafal dengan adegan si bontot, Sahat, terheran-heran melihat seorang Ibu yang menyimpan daging berkali-kali di tasnya. Sontak adegan tersebut membuat penonton tertawa, terlebih untuk mereka yang bersuku Batak.

Adegan tersebut memang benar kerap dilakukan oleh para Ibu Batak saat pesta besar diadakan. Biasa disebut marpalas—membawa pulang makanan pesta dengan plastik. Tetapi, selain marpalas dalam adat Batak juga ada simbol khas yang biasa dikenal dengan jambar.

Budaya Batak menyebutkan ada tiga jenis jambar, yakni jambar juhut atau hak untuk mendapatkan mendapat bagian atas hewan sembelihan, jambar hata atau hak untuk berbicara, dan jambar ulaon atau hak mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan.

Oleh karena itu, jika melihat dalam pertemuan-pertemuan adat Batak bukan hanya hasil pembagian hewan itu saja saja yang penting, tetapi juga proses pembagiannya. Proses pembagian jambar ini juga harus dilakukan dengan terbuka atau transparan serta melalui perundingan kesepakatan dari semua yang hadir, dan tentu saja tidak boleh dimonopoli oleh tuan rumah atau para tokoh.

Jika pesta sudah selesai, dan terlebih sudah mendapatkan jambar untuk di rumah, maka biasanya esoknya akan diolah menjadi masakan-masakan khas Batak. Sebut saja bisa diolah menjadi saksang—olahan daging babi khas Batak yang bisa juga dilumuri dengan darah babi, sup B2—B2 adalah kode untuk daging babi, dan B1 adalah untuk daging anjing—, hingga yang paling lezat adalah BPK—Babi Panggang Karo yang biasa dilengkapi dengan sambal andaliman.

Lapo
Makanan khas Batak yang tersedia di lapo

Percayalah, ketiga menu di atas tentu tersedia lengkap di lapo-lapo yang biasanya sudah tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

Pada intinya, tiap suku di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing dalam menjalankan budayanya. Babi bukan hanya sekedar hewan. Babi adalah penanda identitas yang memiliki arti penting di kehidupan orang Batak. Kelahiran, pernikahan, memiliki anak, memiliki rumah, hingga kematian, babi bukan hanya sekadar hiasan di sana.

Selain itu, saya juga sangat meyakini bahwa budaya dari tiap-tiap suku bukan hanya dijalankan saja, melainkan ada makna mendalam dalam prosesnya. Proses menjalani kehidupan yang sejatinya sudah tersimbolkan dalam ritual budaya, yang kini lambat laun seakan ditinggalkan karena modernisasi semata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ada Apa dengan Babi dalam Budaya Masyarakat Batak? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/babi-dalam-budaya-masyarakat-batak/feed/ 0 36159
Filosofi di Sepiring Dekke Na Niarsik dalam Adat Batak https://telusuri.id/filosofi-di-sepiring-dekke-na-niarsik-dalam-adat-batak/ https://telusuri.id/filosofi-di-sepiring-dekke-na-niarsik-dalam-adat-batak/#respond Sun, 06 Mar 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33032 Apa yang ada di pikiran kita jika melihat seekor ikan yang telah dimasak kemudian disajikan di depan mata? Terlihat sangat lezat, dan tentu saja ingin sekali langsung menyantapnya. Tak ada yang salah, makanan yang sudah...

The post Filosofi di Sepiring Dekke Na Niarsik dalam Adat Batak appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa yang ada di pikiran kita jika melihat seekor ikan yang telah dimasak kemudian disajikan di depan mata? Terlihat sangat lezat, dan tentu saja ingin sekali langsung menyantapnya. Tak ada yang salah, makanan yang sudah dimasak memang ditujukan untuk disantap. Tetapi ada yang berbeda dari adat Batak dalam melihat sepiring ikan, terutama ikan mas arsik atau dekke na niarsik yang disajikan. Hidangan khas Batak satu ini selalu ada dalam tiap prosesi adat yang dijalankan. Ikan mas arsik bukan hanya sekadar masakan biasa, filosofi yang dipegang orang Batak yakni simbol akan berkat hidup selalu dipegang tiap hidangan satu ini disajikan.

Jika di Korea, kimchi adalah menu wajib di setiap rumah, pun sama halnya dengan ikan mas arsik untuk tiap rumah tangga yang ada di kampung halaman Sumatera Utara sana. Cita rasa yang dimiliki ikan mas arsik ini sangat khas. Ada rasa asam yang kecut, asin, pedas, dan tentu saja yang membuat ikan mas arsik lebih istimewa adalah adanya campuran andaliman, asam gelugur dan bunga rias (atau biasa dikenal dengan kecombrang). 

Lapo (rumah makan khas Batak) mana yang tidak menyajikan makanan khas satu ini? Percaya atau tidak, memasak dekke na niarsik ini harus memiliki kemahiran yang cukup tinggi dalam meramunya. Siapapun dia yang dapat memasak hidangan satu ini pasti memiliki nilai lebih di mata keluarga.

Ikan Arsik
Ikan mas arsik/Ruth Stephanie

Filosofi mendalam untuk sepiring dekke na niarsik

Makanan Batak termasuk salah satu yang memiliki sejarah yang cukup panjang. Terlebih untuk kuliner khas satu ini. Dekke na niarsik adalah salah satu makanan yang menjadi bagian dari adat Batak yang tentu saja memiliki cerita dari mulai kelahiran, perkawinan, hingga meninggal. Angka ganjil dalam sajian dekke na niarsik ini juga memiliki filosofi masing-masing. Satu ekor dekke (ikan) melambangkan untuk mereka yang baru saja menikah, tiga ekor untuk pasangan yang baru saja memiliki anak, lima ekor untuk mereka yang baru saja memiliki cucu. Hingga tujuh ekor dekke hanya diperuntukkan untuk pemimpin bangsa Batak.

Pemberian dekke na niarsik ini juga tidak bisa asal diberikan, tidak sembarang orang boleh memberikannya. Lantas siapakah yang memiliki hak memberikan dekke kepada orang yang tengah menjalankan acara adat? Jawabannya adalah hanya hula-hula atau kerabat dari pihak istri/perempuan saja yang boleh memberikannya (biasa dikenal dengan sapaan tulang), orang tua kandung istri, saudara laki-laki istri, dan komunitas marga pihak istri. 

Ikan Arsik
Dekke na niarsik/Kate.id

Oleh karena itu, karena kuatnya adat Batak ini maka pemilihan ikan masnya pun juga harus yang terbaik dan tetap dalam keadaan utuh mulai dari kepala hingga ekor. Pemilihan ikan mas juga memiliki kepercayaan bahwa ikan mas dikenal hidup di air jernih, juga ikan yang suka sekali berenang beriringan, memiliki usia yang panjang di kawasan Danau Toba.

Dalam penyajian dekke na niarsik, sisiknya pun tidak boleh dibuang, dan tidak boleh dipotong-potong. Selain itu juga disajikan dalam posisi berenang atau kepala menghadap ke orang yang akan menerimanya. Bila jumlahnya lebih dari satu, maka dekke harus diletakan sejajar. Mengapa demikian? Ikan yang sejajar dan menghadap ke penerima diartikan bahwa dalam kehidupan dapat berjalan beriringan menuju arah dan tujuan yang sama. Selain itu juga jika ada permasalahan yang menghalangi dapat diselesaikan secara bersama oleh setiap anggota keluarga. 

Ikan Arsik
Arsik di Lapo/Ruth Stephanie

Orang Batak juga percaya penyajian dekke tidak boleh dipotong-potong karena orang yang menerimanya tidak akan memperoleh keturunan. Begitulah filosofi gambaran utuh kehidupan bagi adat Batak dalam sepiring sajian dekke na niarsik. Makanan lezat khas Batak satu ini sangat mudah didapatkan di tiap lapo yang telah berjamur di berbagai kota besar, khususnya di Jakarta.

Kuliner khas Indonesia memang kaya akan budaya yang tentu saja diturunkan dari tradisi panjang kehidupan masyarakat. Hal seperti inilah yang seharusnya semakin membuat kita bangga menjadi bangsa Indonesia, yang kaya akan budaya bahkan hingga ke ranah kuliner atau makanan.

Di daerah kamu, ada kuliner khas apa?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Filosofi di Sepiring Dekke Na Niarsik dalam Adat Batak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/filosofi-di-sepiring-dekke-na-niarsik-dalam-adat-batak/feed/ 0 33032
Menonton Pertunjukan Float2Nature di Teluk Kiluan https://telusuri.id/float2nature-di-teluk-kiluan/ https://telusuri.id/float2nature-di-teluk-kiluan/#respond Mon, 14 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32731 Sebagai seorang pribadi yang tiap hari mendengarkan musik dan pecinta traveling, saya pernah bermimpi untuk dapat menyaksikan musisi favorit sekaligus menikmati keindahan alam negeri ini. Akhirnya, mimpi tersebut dapat saya wujudkan di tahun 2014. Pada...

The post Menonton Pertunjukan Float2Nature di Teluk Kiluan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang pribadi yang tiap hari mendengarkan musik dan pecinta traveling, saya pernah bermimpi untuk dapat menyaksikan musisi favorit sekaligus menikmati keindahan alam negeri ini. Akhirnya, mimpi tersebut dapat saya wujudkan di tahun 2014.

Pada tahun tersebut juga, saya dapat menghasilkan pendapatan sendiri alias sudah sah menjadi seorang pekerja yang berupah tiap bulannya. Dimulai dari sahabat saya yang mengajak kala itu untuk dapat bergabung ke salah satu konser anniversary para musisi indie tanah air di kawasan Lampung, tepatnya di Teluk Kiluan. Tanpa pikir panjang, tentu saya setuju dengan apa yang ditawarkannya. Selain itu, saya bisa menikmati hak cuti untuk pertama kalinya.

Teluk Kiluan
Gerbang Teluk Kiluan/Ruth Stepanie

Bermalam di Atas Kapal Feri Menuju Pelabuhan Bakauheni

Entah mengapa setiap akan melakukan perjalanan, saya selalu bersemangat. Terlebih untuk kali ini. Semalaman saya telah menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang peserta Float2Nature.

Stasiun Gambir adalah titik poin pertama para peserta Float2Nature. Tentu saja saya sudah bersama sahabat saya sore itu, sambil mengisi perut sebelum menaiki bus khusus menuju Pelabuhan Merak di Banten. Walau bus kami cukup nyaman, tapi tetap saja ada rasa bosan di perjalanan dari Gambir menuju Merak yang  cukup menyita waktu karena memang macet di beberapa ruas tol yang kami lalui. Seperti biasa, untuk melepas rasa bosan tentu saya mendengarkan musik dari berbagai playlist musisi favorit.

Langit telah gelap saat kami tiba di Pelabuhan Merak. Beberapa jam lagi, hari akan berganti saat bus ini memasuki salah satu kapal feri yang siap menyebrang ke kawasan Lampung. Kemudian, para penumpang dipersilakan untuk meninggalkan bus dan dapat menuju ke arah geladak kapal.

Setibanya di geladak, tentu saja saya langsung memesan segelas kopi instan dan mie dalam cup. Ah, betapa nikmatnya menikmati dua sejoli camilan ini di atas kapal yang tengah bekerja. Sesekali juga mengobrol dengan sesama penumpang kapal feri ini.

Kira-kira pukul empat pagi, saya dapat memandang cerahnya Menara Siger berdiri megah dari atas kapal ini. Benar, kami telah tiba di tanah Lampung. Untuk melanjutkan perjalanan menuju Teluk Kiluan memang masih butuh beberapa jam lagi. Oleh karena itu, tiap bus peserta berhenti sejenak di warung makan lokal untuk dapat menyantap sarapan pagi dan jika ada yang ingin membersihkan diri dipersilakan.

Setelah itu, perjalanan kembali dimulai.

Dari Lampung Selatan menuju Kota Bandar Lampung juga tidak dapat dibilang dekat. Dengan perut kenyang dan lumayan segar, saya membuka catatan perjalanan dan menulis ‘Lampung’, pertanda provinsi satu ini telah saya kunjungi.

Bus kami berhenti di salah satu perhentian, dan kami diminta panitia untuk berganti transportasi ke roda empat. Di tiap mobil yang digunakan untuk melanjutkan perjalanan menuju Teluk Kiluan ini ditempati oleh tujuh peserta. Seru!

Sepanjang perjalanan, saya dan sahabat saya dapat memiliki kenalan baru yang juga sama-sama menyukai traveling dan musik. Lebih dari tiga jam kami di mobil, dan harus berhenti beberapa kali untuk istirahat. Hingga akhirnya, pada jam dua belas siang mobil kami telah berhenti di gerbang Teluk Kiluan, samar-samar suara ombak telah menyambut kami.

Float2Nature, Pagelaran Musik di Alam Terbuka

Float2Nature yang saya ikuti bersama sahabat saya itu memang bukan edisi pertama. Tetapi entah mengapa event yang digawangi oleh band Float ini sungguh menarik dan dapat memuaskan para pesertanya.

Fasilitas yang didapat sama sekali tidak membuat kami menyesal mengikuti rangkaian acara ini selama dua hari satu malam. Selain Float, ada juga dua band lainnya yang tak kalah memesona, yakni Payung Teduh dan Banda Neira. Tiap lagu yang mereka bawakan seakan menjadi latar musik di alam terbuka nan indah di kawasan Lampung di bawah terangnya bulan saat itu.

Pagelaran seperti ini memang memiliki batasan untuk pesertanya. Manfaat yang didapatkan setelah mengikuti acara ini tentu saja memiliki kenalan dari berbagai kalangan, serta lebih dekat dengan idola.

Para peserta dapat mengobrol bahkan berenang bersama dengan para musisi indie tersebut. Tempat yang dipilih saat itu juga sangat cocok untuk menampung peserta dan para panitia. Salut saya kepada para panitia yang dapat mengorganisir pagelaran Float2Nature di Teluk Kiluan, Lampung.

Melalui perjalanan Float2Nature inilah pertama kalinya saya dapat menginjakkan kaki di Teluk Kiluan, Lampung. Di pagi hari saat hari terakhir, saya dapat menikmati lumba-lumba langsung dari habitatnya. Belasan lumba-lumba yang bermain-main di habitatnya ini tentu saja membuat kami takjub memandanginya dari atas perahu nelayan.

Seruan demi seruan dapat terdengar dari para peserta tiap kali ada lumba-lumba yang melompat keluar. Seakan mereka tahu ada tamu yang datang. Benar, tak lengkap rasanya jika ke Teluk Kiluan tidak bermain-main langsung dengan para lumba-lumba yang menggemaskan itu.

Hari terakhir Float2Nature ditutup dengan membeli oleh-oleh khas Lampung sebelum beranjak kembali menuju Pelabuhan Bakauheni. Bus kami sudah siap kembali mengantarkan menuju Ibu kota Jakarta.

Di perjalanan menuju pulang sambil berkali-kali memandang hasil jepretan foto di ponsel, saya menyadari bahwa momen perjalanan seperti ini akan sulit dilupakan seumur hidup. Bahkan saya dapat mengatakan bahwa perjalanan Float2Nature di Teluk Kiluan ini adalah salah satu self-reward terbaik yang pernah saya lakukan.

Energi saya telah bertambah untuk bekerja esok hari, dan entah perjalanan ke mana lagi akan membawa langkah saya ini selanjutnya.

Terima kasih Float2Nature. Terima kasih Lampung. Dan, tentu saja terima kasih untuk diri saya sendiri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton Pertunjukan Float2Nature di Teluk Kiluan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/float2nature-di-teluk-kiluan/feed/ 0 32731
Sejenak Kembali ke Pangkuan Tanah Asal di Kawasan Toba https://telusuri.id/sejenak-kembali-ke-tanah-asal-di-kawasan-toba-sumatera-utara/ https://telusuri.id/sejenak-kembali-ke-tanah-asal-di-kawasan-toba-sumatera-utara/#respond Tue, 18 Jan 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32312 Sebagai seseorang berdarah Batak sepertinya tak mungkin jika belum pernah menginjak kaki di tanah asal, yakni di Sumatera Utara. Pendapat tersebut bisa dipatahkan oleh pengalaman saya sendiri. Benar, di tahun 2017 tepat umur saya beranjak...

The post Sejenak Kembali ke Pangkuan Tanah Asal di Kawasan Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seseorang berdarah Batak sepertinya tak mungkin jika belum pernah menginjak kaki di tanah asal, yakni di Sumatera Utara. Pendapat tersebut bisa dipatahkan oleh pengalaman saya sendiri. Benar, di tahun 2017 tepat umur saya beranjak dua puluh enam tahun pertama kalinya bagi saya dapat merasakan tanah asal saya sendiri, yakni di Balige, sebuah kota di kawasan Toba, Sumatera Utara.

Hasilnya? Saya terpana menikmati alam yang dimiliki tanah darah asal saya tersebut. Ah, terlalu banyak bergaul dengan gedung-gedung pencakar langit memang saya ini hingga lupa akan keindahan asli alam dan adat yang dimiliki kampung sendiri.

Danau Toba
Pelabuhan Penyeberangan Ajibata/Ruth Stephanie

Menyusuri Beberapa Kawasan di Sumatera Utara untuk Tiba di Balige, dari Medan hingga Parapat

Mendarat dengan selamat di Bandara Kualanamu kerap membuat saya tersenyum, tentu saja karena bahasa yang sering terdengar adalah bahasa Ibu alias bahasa Batak. Ada sedikit rasa malu di diri ini untuk mengakui bahwa saya tidak bisa berbahasa Batak.

Saya malah lebih bisa berbicara menggunakan bahasa orang luar sana, karena tuntutan pekerjaan di ibu kota. Bandara Kualanamu bukan di Medan, pun sama faktanya dengan bandara Soetta yang bukan berada di Jakarta. Hal itu yang sudah saya ketahui, karena memang tahun 2017 lalu adalah perjalanan kedua saya ke Medan. 

Dari Deli Serdang ke kota Medan memang cukup menyita waktu, tapi saat itu saya bisa perkirakan bahwa saya akan tiba di ibu kota Sumatera Utara itu di jam makan siang. Di kepala saya sudah berlarian ide-ide menu makan siang yang akan saya santap. Setibanya di salah satu pool bus trayek Kualanamu-Medan, saya pun turun. Di dalam bus tadi, saya sempat bertanya kepada seorang Inang (Ibu) di mana restoran lokal terdekat dari pool bus ini. Beliau menjawab tentu saja dengan logat Batak yang kental, “Oh, banyaklah lapo di dekat situnya. Tinggal kau pilih. Atau mau bakmi siantar juga ada di sana, banyak.

Alhasil saya memilih bakmi siantar di salah satu rumah makan yang sederhana, tetapi begitu memasukinya terasa wangi rempah menjalar ke indera penciuman ini. Bakmi siantar yang disajikan juga sangat menggoda terlebih saat disantap siang hari. Setelah santap siang, hari ini saya akan bermalam terlebih dahulu di rumah salah satu saudara. Esok harinya akan saya lanjutkan perjalanan menuju Toba. 

Keesokan paginya, saya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan dilengkapi bekal dari sanak saudara, perjalanan berjam-jam ini pasti akan menyenangkan. Dari jendela mobil saya bisa melihat pemandangan tiap kawasan, seperti Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Pematang siantar, hingga tiba di Parapat. Di kawasan Parapat lah, Danau Toba dapat terlihat begitu menawan. Tentu saja, kesempatan seperti ini tidak akan saya buang begitu saja. Saya berencana untuk menginap satu malam di salah satu penginapan di Parapat.

Setelah selesai mengurus penginapan di salah satu hotel dengan akses langsung ke Danau Toba, saya cepat-cepat mencari apa yang menarik di sini dengan bertanya langsung dengan penduduk sekitar. Jawabannya tentu saja menunjuk ke Desa Wisata Tomok. Kemudian, saya pun bergegas ke Pelabuhan Penyeberangan Ajibata untuk bisa menaiki perahu menuju Tomok.

Di atas perahu berkali-kali saya mengambil gambar melalui kamera ponsel menangkap panorama danau vulkanik terbesar di dunia ini. Faktanya bahwa Danau Toba selain danau vulkanik terbesar di dunia, juga masuk ke dalam daftar 15 danau terbesar di dunia dan masuk ke dalam sepuluh besar danau terdalam di dunia. Bagaimana tidak jika kedalaman danau yang masuk ke beberapa kabupaten ini mencapai sekitar 500 meter.

Setibanya di Tomok, tentu saja saya tidak heran berbagai macam lapak buah tangan berada di sini. Desa Wisata Tomok sudah masuk ke dalam tujuan wisata di kawasan Toba. Di sini terdapat Museum Batak, hingga pertunjukkan boneka Sigale-gale menjadi daya tarik untuk para wisatawan. Di sana pun saya juga menyantap siang, tentu saja dengan makanan khas Batak, ada ikan arsik ditambah sambal tuktuk yang dapat menggoyang lidah para penikmatnya.

Danau Toba
Danau Toba/Ruth Stephanie

Perjalanan Kembali ke Tanah Asal, Balige

Keesokan paginya, setelah selesai menyantap lezatnya lampet dan teh manis hangat, saya akan melanjutkan perjalanan ke Balige. Katanya sih sudah tidak jauh lagi dari Parapat. Benar saja, kurang lebih dua jam saya melewati kawasan seperti Porsea dan Humbang Hasundutan, saya sudah tiba di Kota Balige. Sepanjang perjalanan, salah satu hal yang kerap saya dapatkan adalah bangunan makam dengan ukuran lumayan besar selalu ada di samping rumah penduduk.

Tepat di depan pasar tradisional Balige, saya turun dari mobil carteran yang telah mengantar saya ke sini dari Parapat. Musik khas Batak yang dipasang di dalam pasar jelas bisa saya dengar, ya dapat dikatakan menjadi backsound saat saya berjalan ke arah alamat sebuah rumah sederhana. Beberapa kali bertanya ke pejalan kaki di mana alamat tersebut, sepuluh menit kemudian saya telah tiba di depan rumah tanpa pagar. Ada anak kecil yang keluar masuk dari sana.

Butuh belasan jam menggunakan transportasi udara dan darat, melewati berbagai kawasan yang memiliki kekhasannya masing-masing untuk tiba di tempat ini. Tempat yang seharusnya saya katakan sebagai rumah. Sejenak saya pulang ke pangkuan tanah asal di mana orang tua saya dilahirkan dan dibesarkan, di Toba, Balige, Sumatera Utara.

“Horas!” Kata saya seraya langkah pertama memasuki rumah sederhana itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!

The post Sejenak Kembali ke Pangkuan Tanah Asal di Kawasan Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejenak-kembali-ke-tanah-asal-di-kawasan-toba-sumatera-utara/feed/ 0 32312