Samroni https://telusuri.id/penulis/samroni/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 17 Mar 2025 10:49:14 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Samroni https://telusuri.id/penulis/samroni/ 32 32 135956295 Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/ https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/#respond Thu, 19 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42703 “Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan.  “Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku.  “Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang...

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan. 

“Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku. 

“Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang putri kayangan dan disembunyikan di lumbung padi. Kisah semacam itu juga terjadi pada Aryo Menak,” jawabnya. 

“Kok bisa di Pamekasan ada makam Jaka Tarub. Bukannya kisah itu dari Jawa Barat?” tanyaku.

“Mungkin di akhir hidupnya Jaka Tarub menepi ke Madura,” candanya.

“Seru juga nyari-nyari makam sambil belajar,” sahutku. 

“Kita cari makan dulu, ya,” ucap Royyan terlihat lemas. “Siang-siang gini enaknya makan bakso, yang pedes-pedes, berkuah.”

Aku tergiur, mengiyakan. Setelah beberapa menit berjalan, di tepi terlihat sebuah warung rujak cingur yang membuat Royyan berubah pikiran.

“Makan rujak cingur aja, ya. Kayaknya enak, tuh,” ucapnya. Aku menepi. Kami memesan dua rujak cingur dan es teh. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. 

Tapi, lokasi yang kami tuju terlewati. Kami kebablasan sekitar 500 meter. Untung Royyan sigap menyuruhku berhenti.

“Balik. Aku sedikit lupa. Dulu ke sini juga karena diajak teman,” katanya. 

Aku putar balik dan memasuki gerbang bertuliskan “Wisata Religi Jaka Tarub”.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Gerbang Wisata Religi Jaka Tarub/Samroni

Makam Jaka Tarub

Setibanya di tempat, ternyata areanya cukup luas. Terdapat penginapan dan juga langgar yang sangat terawat. Tiga orang tua di langgar sedang memerhatikan kami.

“Ini juga cagar budaya, ya?” tanyaku sambil memarkirkan motor. 

“Ya. Ayo, masuk,” jawab Royyan. 

Kami masuk setelah membuka jaket karena banyak pohon bambu yang menaungi dan udaranya cukup sejuk. Jalan masuk kompleks makam dinaungi atap galvalum. Di situ, seorang wanita paruh baya sedang duduk. Ia menyapa dan menyilakan kami masuk.

“Paling itu juru kuncinya,” bisikku. Royyan terus berjalan, tak menanggapi.

Jalan menuju makam dibatasi pagar. Sejauh mata memandang, pohon-pohon bambu tumbuh subur. 

“Di sini ada larangan untuk tidak menebang atau mengambil bambu,” Royyan memberi tahu. 

“Kenapa?” tanyaku. 

“Nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya. Kami masuk ke kompleks makam. Tempat itu tak memiliki makam sebanyak yang kami jumpai di kompleks makam Ronggosukowati dan Raja Pamelingan. Sepertinya, kompleks ini khusus makam Jaka Tarub beserta keturunannya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Peziarah mengaji di kompleks Makam Jaka Tarub/Samroni

Setelah kami masuk, ternyata ada orang lain selain kami. Ada dua pemuda sedang mengaji di samping makam Jaka Tarub. Karena masih suasana lebaran, barangkali mereka sedang ziarah. Selain nyekar ke makam kerabat, orang Madura juga berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Penampilan kedua orang itu terlihat seperti santri. Kami menghampiri makam Jaka Tarub setelah dua pemuda itu selesai mengaji.

“Di cungkup itu, ada makam Dewi Nawang Wulan dan anaknya Nawang Sasi,” ucap Royyan. Dari bentuk makam, semua sudah terlihat modern. Batu nisannya sudah menggunakan keramik dan marmer palsu, seperti rumah-rumah orang Madura masa kini.

“Dari legenda yang kutahu, Ki Ageng Tarub tidak memperbolehkan warga memotong sapi karena hewan itu dianggap telah berjasa menyusui Ni Endang Nawang Sasi saat ditinggal ibunya, Nawang Wulan.” kisah Royyan. 

“Berarti hampir sama dengan cerita Aryo Menak yang ditinggal istrinya setelah menemukan selendangnya?” responsku. 

“Ya, begitulah,” jawab Royyan sekenanya. “Bambu di sini juga dilarang diambil karena menurut legenda, bambu-bambu itu berasal dari sujen ayah Aryo Tarub, Ki Ageng Tarub dan ibunya, Ni Endang Kembang Lampir. Bambu-bambu itu disakralkan.” 

Kesakralan tersebut membuat bambu-bambu itu ditulisi nama pengunjung yang berharap segera berjodoh, mengawetkan hubungan, atau membuat mereka berumur panjang.

Makam Jaka Tarub cukup besar, dikelilingi beberapa makam tak bernama. Di utaranya ada makam Syekh Maulana Maghribi. Namanya terdengar seperti orang Timur Tengah yang kuasumsikan penyebar Islam di Madura. Tempat ini dikelilingi pohon bambu dan kolam berair keruh yang meruapkan aroma kurang sedap. Ketika kami keluar dari kompleks makam, terlihat satu keluarga menggantikan kami. Di jalan keluar, kami dicegat juru kunci untuk mencicipi camilan. Untuk menerima berkah, katanya. 

“Kok kayak di gereja, ya,” ucap Royyan. Kami menolaknya dengan meminta maaf.  Royyan berbelok ke toilet. 

Aku berteduh di langgar untuk melihat-lihat sekitar sambil berbasa-basi dengan beberapa orang. Di kejauhan, aku melihat beberapa orang sedang berkumpul di depan papan silsilah. Seseorang terlihat sedang menjelaskan nasab Jaka Tarub. Aku ikut bergabung dan menyimak. Royyan yang sudah datang dari toilet ikut nimbrung.

Ternyata, Jaka Tarub adalah putra Syekh Maulana Maghribi dan Nawangsih. Sementara itu, Jaka Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan, sang bidadari. Jika dilihat dari papan silsilah. 

“Wah, hebat ya, mereka keturunan putri kayangan. Jadi pengen juga,” celetuk Royyan. Aku menahan tawa. 

Kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan ini dan beranjak ke petualangan selanjutnya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Vihara Avalokitesvara/Samroni

Vihara Avalokitesvara 

Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju Vihara Avalokitesvara. Gang menuju Vihara dipenuhi rimbun pohon dan tambak udang yang memantulkan cahaya. Jalan ini cukup bersih dan beraspal. Vihara Avalokitesvara adalah candi Dewi Kwan Im atau Gwan Ying. Dari sumber yang kubaca, arca Dewi Kwan Im di vihara ini ditemukan oleh seorang petani pada 1800-an. Arca-arca di vihara tersebut merupakan patung Buddha aliran Mahayana Majapahit.

“Sebenarnya, dari beberapa buku yang kubaca, Candi Burung di Proppo adalah tempat pertama arca-arca di sini. Tapi, karena akses ke sana cukup sukar dan jauh dari dermaga, akhirnya arca-arca itu ditempatkan di kuil ini. Proppo gagal membangun candi sehingga lokasi semula itu dinamai candi burung yang artinya ‘kuil yang urung (dibangun)’,” ceritaku yang diamini Royyan.

“Dulu, Buddha di Pamekasan sangat kuat, menjadi agama resmi negara Jhâmbringèn yang sekarang menjadi Proppo. Itulah mengapa Pamekasan adalah wilayah di Madura yang paling lambat dimasuki Islam. Peninggalan-peninggalan ini sebagai bukti,” tambahnya. 

Kami memutuskan pergi setelah menghabiskan sebatang kretek. Senja mengakhiri perjalanan ini dan kami melepas penat di kedai tepi pantai di Jalan Raya Pamekasan–Sumenep. Di sana, banyak muda-mudi menunggu surya terbenam. Aku memesan es degan, Royyan memesan sempol seukuran jempol.

“Capek, ya. Nanti pasti bisa tidur nyenyak,” kata Royyan.  

“Lumayan lelah, tapi terbayarkan,” sahutku. “Senang bisa mengisi akhir pekan dengan hal-hal seperti ini. Ada banyak pengetahuan baru yang kuperoleh,” pungkasku.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/feed/ 0 42703
Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/ https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/#respond Tue, 17 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42664 Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju. Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid...

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju.

Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid As-Syuhada yang dibangun pada masa pemerintahan Ronggosukowati, kami melalui gedung Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) bekas karesidenan zaman Belanda yang masih kokoh berdiri; barangkali sudah direnovasi beberapa kali. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Royyan dengan latar tugu plakat makam/Samroni

Makam Ronggosukowati

Hari itu aku diajak Royyan untuk meniti silsilah Panembahan Ronggosukowati yang sudah tak banyak diketahui pemuda Pamekasan. Kala itu kami memiliki tujuan yang tak biasa, menyelinap di riuhnya pasar untuk mengunjungi makam Raja Pamekasan yang tersohor itu.

Di samping pasar Jalan Agus Salim, terlihat tempat peristirahatan Raja Pamekasan yang diakui sebagai pahlawan di Pamekasan. Kami berhenti di pinggir jalan yang bersebelahan dengan pasar. Kompleks pemakaman itu kurang terlihat dengan jelas karena tertutup mobil yang parkir sembarangan. Tak ada tempat parkir khusus meskipun tempat ini cagar budaya. Aku memarkirkan motor di samping tugu plakat makam. Di seberang jalan kulihat pasar masih ramai.

Setelah memasuki kompleks makam Ronggosukowati, ternyata tempat itu lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya. Di sebelah barat terhampar sawah dan di selatan ada pemukiman warga Kolpajung. Denah pada makam Panembahan Ronggosukowati berjenjang ke belakang. Itu berarti halaman utama dan paling sakral adalah halaman paling belakang. Makam Ronggosukowati ada di ujung utara, beratapkan cungkup bersusun dan mustaka yang hampir sama dengan pucuk Masjid Demak. 

Halaman pertama memiliki posisi paling rendah dan terbagi menjadi barat dan timur yang dibatasi jalan. Di bagian barat ada cungkup makam RTA Tjakra Adiningrat I, Bupati Pamekasan periode 1745–1790. Bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur kolonial. Kukira bangunan ini memang didirikan saat zaman kolonial; terlihat dari modelnya. 

Semakin ke dalam, tempat ini semakin tinggi. Ada tiga halaman sebelum kita masuk ke halaman pusat makam Ronggosukowati. Uniknya, ada gapura di setiap halaman. Di halaman terakhir, ada makam Panembahan Sukowati dan istrinya, Ratu Inten, persis di sebelah barat makam. Cungkup dan makam Ronggosukowati bercat putih dan warna emas yang membuatnya terlihat elegan dan berbeda dari makam lainya.

“Tak ada juru kunci makam, ya,” ucapku. 

“Tak masalah karena pengetahuanku tentang tempat ini sudah melebihi juru kunci makam,” jawab Royyan tersenyum.

Desain interior makam panembahan Ronggosukowati berukir gunungan dengan nisan yang ditatah. Gunungannya berpahat simbar dengan warna emas mencolok dan putih. Tempat makam yang tinggi juga menunjukkan sisi kekeramatan makam ini. Mungkin ini menunjukkan pengaruh Ronggosukowati terhadap Pamekasan.

  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)

Ronggosukowati adalah pemimpin yang berjasa bagi Pamekasan karena bisa menyatukan kerajaan Pamelingan dan Mandilaras. Tidak hanya itu, ia juga menjadi raja yang membangun Pamekasan dari keterpurukan. Tak ada pemimpin Pamekasan setelahnya yang bisa melampaui Ronggosukowati.

Tak ada pengunjung lain kala itu. Mungkin karena kami datang siang hari. Hal itu membuat kami leluasa, sebab kedatangan kami memang untuk melihat-lihat dan belajar sejarah Pamekasan. Sebenarnya, cungkup yang ada di sini juga sangat rendah, membuat kami harus membungkukkan badan. Barangkali, ini dilakukan supaya menambah kesakralan tempat makam Panembahan Ronggosukowati.

Cuaca panas yang kian menyengat membuat kami berteduh di bawah pohon yang rindang di belakang makam. Di sebelah barat, aku melihat sawah yang ditanami padi sedang menghijau.

“Sebat dulu. Perjalanan kita masih panjang,” ucap Royyan. Aku tak tahu dan suka dengan kejutan perjalanan selanjutnya yang akan ia tunjukkan kepadaku. Aku memerhatikanya mengisap sebatang rokok. Selesai sebat, kami memutuskan meneruskan perjalanan ke arah timur. Matahari sudah sejajar dengan pundak.

“Kita cari ATM dulu ya. Aku enggak pegang uang,” ucap Royyan. “Yang muda nyetir,” tambahnya. 

“Yang muda memang harus membuat gerakan, tapi, ya, enggak gini juga,” tawaku. 

Kami berangkat melewati Jalan Ronggosukowati, pelan, sambil memerhatikan sekitar untuk mencari ATM.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Plang kompleks makam Raja Pamelingan/Samroni

Makam Raja Pamelingan

Di perjalanan, aku dikagetkan oleh Royyan yang grusa-grusu menepuk pundak sambil menyuruhku berhenti. Aku menepi. Ia turun untuk memastikan sesuatu.

“Ayo, mampir ke sana dulu. Mestinya ini juga jadi bagian dari perjalanan kita,” ucapnya sambil berjalan ke sebuah gang buntu. Aku mengikutinya. Setelah mencapai ujung gang, ada plang tertulis “Kompleks Makam Raja Pamelingan”.

Setibanya kami di kompleks makam, ada sebuah langgar dan beberapa orang dewasa yang sedang duduk fokus pada gawai tanpa menyadari kedatangan kami. Terlihat beberapa dari mereka sedang karaokean dan mengobrol.

Kami beranjak menuju makam. Dari kejauhan terlihat warna nisan dan cungkup yang menyilaukan mata, berwarna hijau terang yang makin terang karena matahari. Tak ada pohon-pohon yang menaungi. Makam Raja Pamelingan tak seluas makam Ronggosukowati. Yang berbeda dari makam lainnya adalah sebuah cungkup dan area makam yang lebih tinggi.

Aku mengikuti Royyan, lebih tepatnya membuntutinya sambil mendengarkan ia menceritakan sejarah makam-makam di tempat ini. “Pertemuan trah Pamekasan dan Sumenep baru terjadi kira-kira saat zaman Banuraga. Hulu trah Pamekasan jauh ke penguasa Singasari, sedangkan Sumenep berhulu ke Wiraraja,” jelasnya. Sebenarnya, ketika mendengarkan ia berbicara, aku merasa seperti didongengi kakek-kakek. Sayang, aku sudah tidak memiliki kakek.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Makam Raja Pamelingan/Samroni

“Banuraga adalah Raja Negara Pamelingan di Lawangan Daya. Dikisahkan bahwa putranya, Ronggosukowati, memindahkan keraton ke Mandilaras dan mengubah negara menjadi Pamekasan,” ucap temanku itu saat ditanya perihal silsilah Ronggosukowati.

Di sana, kami hanya sebentar karena tak ada tempat berteduh. Panas membuat kami beranjak lebih cepat. Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur. Di Jalan Bonorogo, aku menepi sebentar di Rumah Sakit Mohammad Noer. Di sana, Royyan mengambil duit ke ATM.

Kami melanjutkan perjalanan ke timur, menuju Talang Siring di perbatasan Pamekasan dan Sumenep.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/feed/ 0 42664
Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat https://telusuri.id/seni-bersahaja-menikmati-sate-lalat/ https://telusuri.id/seni-bersahaja-menikmati-sate-lalat/#respond Fri, 28 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42254 Di Jalan Niaga, kau bisa memilih makanan apa pun. Kawasan kuliner itu terletak di kota Pamekasan, Madura. Seperti yang kulakukan malam itu. Malam itu mendung tak membuat tubuhku kedinginan. Madura memang identik dengan cuaca panas....

The post Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Jalan Niaga, kau bisa memilih makanan apa pun. Kawasan kuliner itu terletak di kota Pamekasan, Madura. Seperti yang kulakukan malam itu.

Malam itu mendung tak membuat tubuhku kedinginan. Madura memang identik dengan cuaca panas. Apalagi perubahan iklim memang sudah terasa. Keringat malah mengucur di badan. Rasa lapar dan lelah membuatku tak menjalankan pekerjaanku dengan benar. 

“Kamu kok gemetar?” celetuk temanku.

Aku hirau. Padahal pekerjaan harus aku bereskan malam ini. Namun, bunyi perut sudah seirama dengan guntur yang menggelegar, menimbulkan simpati temanku.

“Aku ada tempat makan langganan di Niaga kalau kamu mau,” tawar temanku. Aku mengangguk tanpa memikirkan makanan apa yang akan kami santap.

Usai bekerja, dengan temanku aku berangkat ke Niaga. Cuaca tak mendukung kala itu. Tak ada bulan dan bintang. Hanya kilat yang kerap berkelip di langit.

“Pakai motormu, ya,” ucap temanku. “Aku ambil mantel dulu untuk jaga-jaga. Takut hujan.” 

Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat
Gerbang kawasan kuliner Jalan Niaga Pamekasan/Samroni

Kuliner Tengah Malam

Di jalan, kami mendapati Kota Pamekasan telah sepi. Hanya beberapa toko kelontong dan warung makan yang masih buka. Tak ada rintangan macet. Cuma takut hujan turun tiba-tiba. Kami melalui Jalan Trunojoyo, Alun-alun Arek Lancor, lalu Niaga. Perjalanan itu ditempuh enam menit saja. Kecuali jika jalan macet.

Warung-warung makan masih terang-benderang meskipun jarum jam sudah menunjuk angka dua belas. Niaga didominasi warung lalapan, nasi goreng, sate, dan beberapa lainnya kedai seafood. Pamekasan memiliki banyak makanan khas, seperti kaldu kokot, soto keppo, campur lorjhu’, dan rujak kelang.

Kami tiba di tempat. Aku memarkir motor pinggir jalan, di antara dua warung.

“Kita makan ini, ya. Kamu pasti belum pernah mencobanya,” ujar temanku yang menganggapku udik karena tak tahu banyak mengenai makanan. Aku mengangguk pasrah. 

Aku memang bukan orang yang selalu mencoba makanan baru. Apa pun yang ada, selagi bisa dimakan, pasti kumakan. Lagian aku lapar dan badan sudah payah.

Warung itu sangat sederhana. Di tenda kuning warung tertulis: Sate Lalat Pak Su. Sate lalat. Nama yang aneh. Tapi sate lalat adalah kuliner khas Pamekasan yang tak dijumpai di daerah Madura lainnya. Lalat dijadikan sate, gumamku kala itu.

“Kamu mau sate apa?” tanya temanku yang sudah memesan sate kambing. 

“Sapi,” jawabku singkat. “Kalau makan daging kambing kepalaku pusing.” Selain kambing dan sapi, warung itu juga menyediakan daging ayam dan kelinci.

“Kamu darah tinggi?” Temanku memastikan. Aku tidak tahu pasti. Lalu obrolan kami terhenti. 

“Silakan duduk yang manis,” ucap seorang pria paruh baya agak genit.

Kami tersenyum dan duduk bersandarkan dinding, entah bekas toko atau apa. Bangunan itu terlihat tua. Kami duduk di atas trotoar. Lesehan di karpet motif bunga warna merah, lusuh, dan koyak.

Sambil menunggu, mataku terpaku melihat gemulai tangan kanan Sofyan (30) mengipasi daging sate dengan kipas bambu. Tampak tak bertenaga, tetapi cukup stabil. Tangan kirinya sibuk membolak-balikkan sate lalat. Di tungku terlihat teko alumunium berisi air yang dipanaskan. Sebuah kipas angin usang baru digunakan jika tangannya pegal.

Sofyan memakai celana kelabu dan baju Sakera pudar. Di kanannya terdapat saus sate, kopi-susu, dan rokok yang menemaninya dari rasa kantuk. Rekan kerjanya juga sibuk membantu.

Pesanan tiba delapan menit kemudian. Sate lalat dan lontong yang terpotong-potong terhidang di piring beserta teh hangat. Aku baru paham mengapa sate itu bernama ‘sate lalat’. Bukan karena terbuat dari lalat, melainkan lantaran ukuran dagingnya sekecil lalat. Barangkali karena ukuran cilik itulah yang membuat sate lalat cepat masak dan lekas tersaji. Saus kacangnya lumer di atas sate. Sambalnya terpisah. Aku aduk sausnya. Teksturnya tak terlalu kental. 

Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat
Sofyan memakai celana kelabu dan baju Sakera pudar. Di kanannya terdapat saus sate, kopi-susu, dan rokok yang menemaninya dari rasa kantuk. Rekan kerjanya juga sibuk membantu/Samroni

Menyantap Sate Lalat

“Aku bingung gimana cara memakan sate lalat yang benar,” ucapku. “Takut ujung sujennya yang tajam menusuk lidahku.” 

“Sebenarnya cara menyantap sate, sate apa pun, yang benar menurut Mien Ahmad Rifai, yaitu dengan melepaskan semua potongan dagingnya dari sujen terlebih dahulu, lalu makan,” jawabnya sambil tertawa. 

Aku menyeringai dan mencoba memakannya dengan caraku sendiri: Menarik potongan-potongan dagingnya dengan gigi, lalu melahapnya. Ini cara makan yang simpel, bersahaja.

Dari rasa dan cara membuatnya, sate lalat sama dengan sate Madura lainnya. Konon, sate Madura lahir saat Aryo Panoleh berkunjung ke rumah kakaknya, Batara Katong, penguasa Ponorogo. Di sana, Aryo Panoleh disuguhi makanan dengan bahan dasar daging berbumbu yang ditusuk lidi. Arya Panoleh menolak karena wujudnya aneh. Namun, setelah kakaknya bercerita bahwa makanan itu digemari para pendekar, akhirnya ia mau menyantap sate. Ia membawa resep sate ke Madura dengan mengubah komposisi sausnya.

Walau sate lalat lebih kecil daripada sate Madura lainnya, aku mencoba telaten memakannya. Tusuk demi tusuk kulahap dengan saksama supaya terasa lebih nikmat. Ukurannya yang supermini juga mempermudah makan sate ini. Sate lalat Pak Su memiliki tingkat kematangan sempurna, cukup gurih, dan semua itu ditopang oleh ukuran dagingnya. Berbeda denganku, temanku memakan sate lalat seperti mencocol kentang ke saus. 

Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat
Sate lalat tersaji di piring/Samroni

Di kejauhan, aku melihat bekas piring-piring kotor berantakan. Di depan kami, garpu dan sendok bergabung dengan sedotan dalam satu wadah. Desis kompor dan deru motor melayang-layang di udara. Dan kami serius menikmati sate lalat beserta segala kegaduhannya. 

Di piringku, dua puluh tusuk tinggal delapan. Aku berusaha meresapi bumbu sausnya di dalam mulutku. Kacang, garam, micin, bawang, cabai, dan kecap bersatu dalam rasa yang tertinggal di lidah. Lalu rokok. Pelengkap yang tak mungkin kami abaikan. 

“Kenapa pusat kuliner ini dinamai ‘Sae Salera’?” tanyaku sambil mengisap rokok. 

“Ini penamaan yang salah kaprah.” Temanku menjelaskan, “Dalam bahasa Madura, sae salera berarti ‘badan yang bagus’. Mestinya kan ‘sae eber’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘selera bagus’.” 

Usai sebat, kami membayar tagihan. Harga sate lalat cukup murah. Tiga belas ribu per porsi, sudah termasuk lontongnya.

Kami beranjak. Dua sejoli menggantikan tempat kami. “Ternyata hujan enggak turun,” ucapku.

Motor kami melaju perlahan. Aku mulai berpikir, menarik juga mencoba berbagai kuliner di Pamekasan. Agar tak kudet. Agar kutahu khazanah gastronomi di tanah kelahiranku sendiri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seni-bersahaja-menikmati-sate-lalat/feed/ 0 42254
Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab https://telusuri.id/di-capak-barangkali-senja-telah-dicuri-sukab/ https://telusuri.id/di-capak-barangkali-senja-telah-dicuri-sukab/#respond Tue, 07 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41839 Ke Capak, aku ingin menjemput senja. Pukul 15.00 WIB kalau tidak salah. Aku terbangun dari tidur siang akibat hawa panas. Aku bergegas karena telah terikat janji dengan seseorang yang telah menungguku di sebuah kafe. Di...

The post Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab appeared first on TelusuRI.

]]>
Ke Capak, aku ingin menjemput senja. Pukul 15.00 WIB kalau tidak salah. Aku terbangun dari tidur siang akibat hawa panas. Aku bergegas karena telah terikat janji dengan seseorang yang telah menungguku di sebuah kafe. Di kedai kopi itu, ia telah menanti dengan raut wajah yang tak bisa kutebak. 

“Apakah sudah lama?” tanyaku sambil tersenyum dengan rasa sesal yang dalam. 

“Baru saja, kok. Ayo berangkat,” jawabnya singkat. 

Dari sana, kami berangkat ke utara, lalu ke timur, ke arah tujuan kami. Aku sengaja tidak melewati area perkotaan demi menghindari kemacetan, supaya bisa bercakap di atas motor dan menghirup udara segar. Kami melewati Pademawu Barat. Di peta, desa itu menjadi bagian dari Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. 

Di perempatan Jalan Bunder, kami menoleh dan melihat Masjid Sotok. Secara harfiah, dalam bahasa Madura, sotok berarti “dorong”. Sejarah penamaannya panjang. Melibatkan Panembahan Ronggosukowati, penguasa Islam pertama di Pamekasan pada abad ke-16. Bangunan masjid itu cukup megah, tetapi tampak tak rampung. 

“Orang Inggris menyebutnya pushing mosque,” ucap kawanku yang kutanggapi dengan tawa.

Setelah melewati Jalan Bunder, ke utara, aku menatap begitu luasnya area kompleks pabrik garam, sebagian telantar, terlihat sedikit sekali yang masih beroperasi. Beberapa kincir angin yang tidak berfungsi menandakan bahwa tempat itu hidup segan mati tak mau. Di kejauhan, pandanganku terbentur deretan pohon bakau yang mengitari kompleks.

Di sana, jalanan terasa sepi. Enam remaja tanggung sedang menikmati panorama sambil bersepeda. Mereka bercakap dan tertawa bersama. Aku sengaja memelankan motor karena momen itu seperti melemparku ke masa lalu. 

“Kayak kembali ke masa kanak-kanak,” kataku. Kawanku bergeming. 

Lalu kulambatkan laju kendaraan. Sebab, matahari masih terlalu tinggi. Kami tak ingin sampai di lokasi dengan hawa yang terlalu hangat. 

Berjarak 16 kilometer dari titik berangkat, kami sampai di lokasi kira-kira 40 menit kemudian. Capak, tempat yang akan kami tuju tercatat sebagai dusun di Kecamatan Galis. Andai kecepatan motor kutambah, barangkali kami hanya butuh waktu 30 menit saja. Namun, motorku bertahan di kecepatan 40 kilometer per jam. 

Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab
Jalan Capak yang masih sepi/Samroni

Menikmati Capak

Ketika kami memasuki area Capak, tempat itu masih sepi. Ternyata kami memang tiba terlalu awal. Pemuda-pemudi belum berdatangan. Yang terlihat beberapa orang saja, duduk dan bercakap. Mungkin juga sama denganku, tengah menunggu senja. 

Sebenarnya, yang akrab kami sebut “Capak” adalah sebuah jalan yang rebah di antara pohon-pohon kuda dan diapit bentangan tambak. Aku terkejut. Tongkrongan muda-mudi itu tak seperti biasa. Air tambak surut. Padahal, musim hujan belum sepenuhnya pergi. Padahal, ketika aku bertandang ke sana belum lama dari saat itu, air tambak masih tergenang masif. Dan kini, tak cuma air, pohon-pohon kuda mulai meranggas karena cuaca panas. Memang, walau musim hujan, Madura biasa dengan hawa panas. Atau jangan-jangan, Capak memang jarang tersentuh hujan sehingga air tambak sulit meninggi. 

“Kita ke ujung selatan dulu,” saran kawanku. “Di sini masih sepi. Mungkin di sana kita bisa mendapatkan sesuatu.”

Meski jalan ujung selatan tak beraspal dan rusak karena roda-roda truk, aku manut saja. Di sana, kadang ada beberapa orang memancing ikan. Tak ada pemukiman warga, sebab area itu bekas tempat pembuatan garam. Kematian tempat itu tampak dari gerbang tanpa penjaga, bekas kantor gudang garam yang dibikin jadi bengkel las dadakan, onggokan bangkai traktor, dan lumbung-lumbung garam yang reyot. 

Di tepi muara, kami menikmati kesunyian yang sesekali pecah oleh sayup deru motor.  Di depanku, dua perahu teronggok dalam kondisi rusak dan dua sampan dari pipa raksasa tertambat. Di kejauhan, beberapa orang melempar kail. Kira-kira enam lelaki berusia dewasa. 

“Beberapa bulan lalu, aku birding bareng teman,” kisah kawanku. Aku menyimaknya sambil mendengarkan kicau burung-burung. Ia berusaha menebak nama burung itu, tetapi gagal mengingat. “Kita harus lebih fokus, enggak bersuara, agar bisa menangkap kicau burung-burung itu,” tambahnya.

Aku pun berupaya menangkap seluruh suara di sekitar. Derik serangga, siul burung, dan kesiur angin. Sayang, kesunyian itu harus segera diakhiri supaya kami bisa kembali ke tempat kawula muda menghabiskan sore.

Di sana, anak-anak muda sudah nangkring di tepi jalan. Segerombolan remaja tanggung sedang menggeber motor. Kami menepi di tempat rindang, menapaki rerumputan. 

Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab
Langit yang muram tanpa warna senja/Samroni

Senja yang Muram

Namun, kali itu, tak ada senja di Capak. Awan mendung menutupi matahari sore. Suasana jadi muram. Aku teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma, Sepotong Senja untuk Pacarku (2016). Sukab, protagonis dalam cerpen tersebut, memotong senja seukuran kartu pos untuk dipersembahkan kepada kekasihnya, Alina. Barangkali, senja di Capak juga telah dicuri Sukab, bajingan bucin itu. 

Kemuraman itu kian bertambah ketika kulihat pohon-pohon Capak ditempeli papan-papan kayu bertuliskan kata-kata sok mutiara, seperti kalimat berlagak religius “Pacaran boleh, pegangan jangan” dan “Jagalah kesucian jodohmu”. Aku tahu kata-kata itu ditujukan kepada muda-mudi yang sedang kencan agar tidak berbuat hal-hal tak senonoh di sana.  “Jangan cuma mantan yang dibuang, sampah juga,” ucap papan yang lain, semacam harapan kepada kita untuk menjaga kebersihan lingkungan dari sampah dan pikiran dari mantan.

Di pohon lain, sebuah papan tertulis campuran kode bahasa Indonesia-Madura, “Kematian ta’ abhag-rembhag” yang berarti “kematian tidak bermusyawarah terlebih dahulu”. Kata-kata seperti ini biasanya juga kerap ditulis di badan truk-truk oleng yang belakangan banyak diburu pembuat konten. Ada juga papan bertuliskan kutipan sok bijak dan bersajak, “Visi tanpa eksekusi adalah halusinasi”. 

Papan-papan tersebut dibikin mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN). Papan-papan semacam itu banyak ditemui di tempat-tempat wisata di Madura. Bukannya indah, papan-papan tersebut malah kerap merusak pemandangan dan membuat lanskap alam jadi tidak alami. 

Dari jauh kulihat sekelompok remaja mengambil gambar. Mereka memakai kostum seiras, warna loreng marun dan putih.

“Baju seragam kayak gitu udah biasa jamet pakai,” celetuk kawanku. Mendengarnya, aku geli. Aku tak asing dengan kebiasaan berseragam semacam itu. Dulu, ketika masih remaja, aku juga berkubang dalam pergaulan jamet.

“Hal hal receh seperti inilah yang membuat mereka disebut jamet. Melakukan hal-hal kurang faedah: sepeda motor yang dimodifikasi sembrono kayak mengganti ban pabrik dengan ban cacing, nyopot spion, dan lain-lain. Salah jika menghakimi jamet tanpa alasan yang jelas. Tapi aku enggak suka mereka karena peduli,” tambahnya.

Sinar senja yang tak ada dan raung suara motor mengiringi kami meninggalkan Capak. Kami tidak menemukan apa yang kami cari. Akan tetapi, mungkin kami mendapatkan hal-hal lain. Hal-hal yang belum kami tahu dan harus kami renungkan setelah sampai di rumah. Nanti, nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-capak-barangkali-senja-telah-dicuri-sukab/feed/ 0 41839