Syaima Sabine Fasawwa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/syaima-sabine-fasawwa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Dec 2021 04:17:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Syaima Sabine Fasawwa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/syaima-sabine-fasawwa/ 32 32 135956295 Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (2) https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-2/ https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-2/#respond Sun, 26 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31804 Setelah mengistirahatkan kaki di rumah Teh Sarah dan sebelum matahari tenggelam, saya bersama beberapa kawan meluncur ke sungai. Bebarengan dengan anak-anak kecil yang juga tengah membersihkan diri, kami mencoba keramas menggunakan daun layaknya masyarakat Baduy....

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah mengistirahatkan kaki di rumah Teh Sarah dan sebelum matahari tenggelam, saya bersama beberapa kawan meluncur ke sungai. Bebarengan dengan anak-anak kecil yang juga tengah membersihkan diri, kami mencoba keramas menggunakan daun layaknya masyarakat Baduy. Segar!

Kami lalu menghentikan suara keroncongan di perut masing-masing dengan menyantap hidangan yang kami masak bersama Teh Sarah dan keluarga. Dalam kondisi lebih prima, kami kemudian mengadakan bincang-bincang dengan tokoh Suku Baduy. 

Mereka berbagi mengenai sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, hingga sistem pendidikan yang dianut. Dari sini terlihat bahwa masyarakat Baduy telah terbiasa untuk hidup sederhana dengan merasa cukup. Sejalan dengan pernyataan bahwa minimalisme merupakan seni untuk merasa cukup.

Seperti, misalnya, masyarakat Baduy memahami dan menikmati betul cara hidupnya, termasuk cara mentransfer pengetahuan. Mereka tidak menggunakan sistem pendidikan formal untuk itu.

Sungai Baduy
Aliran sungai dalam perjalanan menuju Baduy Dalam/Syaima Sabine Fasawwa

Penjelasan hal tersebut juga didokumentasikan oleh Ekspedisi Indonesia Biru yang dirilis tahun 2015 oleh Watchdoc Image. Salah satu masyarakat Baduy, Ayah Sapri, dalam bahasa lokal berujar, bahwa yang dibutuhkan anak-anaknya untuk bertahan hidup adalah sekolah tani. 

“[Anak-anak] belajar dari saya atau dari ibunya. Meski tak sekolah formal, tapi wajib sekolah bertani, mengerti tanam-tanaman,” terangnya. Dan sama sekali tak ada perasaan minder mengenai cara hidup yang berbeda itu, meskipun masyarakat Baduy sering berpapasan dengan murid sekolah yang berlokasi tak jauh dari tempat tinggalnya.

Begitu pula dalam hal lain. Selama di Baduy, saya mengenakan pakaian warna-warni, membawa telepon genggam, menggendong tas ransel, dan mereka tak terpengaruh sama sekali. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang ada bersama dirinya.

Pengunjung yang singgah di Baduy sama sekali tak menghambat keseharian mereka, apalagi mengikis identitasnya. Masyarakat Baduy mengerti dan menghargai asal-usul mereka sendiri, hingga tetap eksis dan mampu mempertahankan jati dirinya.

Jalur pendakian Baduy
Perjalanan menuju Baduy/Syaima Sabine Fasawwa

Dan sebagai penutup hari, malam itu kami disuguhi durian—gratis. Kami menikmatinya di bawah temaram cahaya bulan saja—tak ada lampu listrik di kawasan ini.

Besoknya, saya menyaksikan bahwa masyarakat Baduy telah memulai hari sejak pagi-pagi sekali. Saya terbangun ketika Teh Sarah tengah membuat api. Mereka berangkat menggarap ladang setelah menyarap.

Prinsip  lain minimalisme terlihat di sini. Minimalisme juga tentang memahami kebutuhan sekaligus kapasitas diri. Dengan begitu, alokasi penggunaan waktu dan energi berjalan efektif serta efisien.

Saya mendapati bahwa waktu bekerja dan waktu beristirahat masyarakat Baduy terbagi seimbang. Tak lebih, tak kurang.

Pun dalam dokumenter tadi, Ayah Sapri berujar, “Pemerintah mendorong agar kami dapat panen setahun dua kali. Tapi adat melarang. Kalau panen setahun dua kali, khawatir kami kelelahan, waktu habis untuk bekerja. Meski panen setahun sekali, asal cukup sandang pangan.”

Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy berjalan beriringan bersama pengunjung/Syaima Sabine Fasawwa

Adapun dari situ jelas terlihat bahwa masyarakat Baduy tentu lebih mengerti betul tentang siapa dan bagaimana dirinya ketimbang orang lain. Atas hal ini, mereka dapat mencapai prinsip work-life balance sebagai sesuatu yang menyatu dalam kehidupan mereka. Dalam hal tersebut, pun, masyarakat Baduy tak menaruh ukuran sejahteranya pada materi belaka, yang sejalan dengan tujuan minimalisme, yakni pembebasan dari keterikatan pada materi duniawi.

Sementara itu, masyarakat modern akrab sekali dengan isu overwork dan burnout akibat pekerjaan, di mana work-life balance jadi barang mahal. 

Di Baduy sendiri, masyarakatnya menggunakan posisi matahari untuk membatasi satu kegiatan ke kegiatan lain, sehingga membentuk keteraturan.

Saya ingin bermalam lebih lama di Baduy, tetapi terik matahari sudah mengajak kami untuk turun dan pulang. Sekitar pukul 07.00, kami mulai meninggalkan pemukiman Baduy. Melewati jalur yang berbeda, kami hanya berjalan selama tak lebih dari dua jam dan tiba di sebuah pasar. Lalu kami menumpang transportasi umum menuju Terminal Ciboleger kembali.

Keluar dari Baduy bak keluar dari satu dimensi lain yang begitu berbeda dan menyenangkan.

Dan tak bisa tidak, mengadopsi minimalisme ala Baduy ke dalam rutinitas saya sebagai bagian dari masyarakat modern merupakan pekerjaan rumah yang bahkan hingga saat ini masih berlangsung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-2/feed/ 0 31804
Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (1) https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-1/ https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-1/#respond Sat, 25 Dec 2021 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31801 Lamunan di suatu sore membawa memori saya pada Suku Baduy. Hutan rimbun. Jalan setapak. Padi gogo. Telanjang kaki. Pakaian dua warna. Ikat kepala. Sungai jernih. Madu dan durian. Sunda Wiwitan.  Bukan secara tiba-tiba, ingatan itu...

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Lamunan di suatu sore membawa memori saya pada Suku Baduy. Hutan rimbun. Jalan setapak. Padi gogo. Telanjang kaki. Pakaian dua warna. Ikat kepala. Sungai jernih. Madu dan durian. Sunda Wiwitan. 

Bukan secara tiba-tiba, ingatan itu muncul selepas saya menyimak konten linimasa media sosial. Belakangan, tidak sedikit kampanye gaya hidup minimalis gencar digalakkan melalui platform ini.

Kemunculannya hadir untuk meng-counter gaya hidup konsumtif yang marak di era modern. Salah satu buku yang turut ramai dibicarakan kemudian adalah buku karya Fumio Sasaki berjudul Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism (2015). 

Sasaki mengenalkan minimalisme sebagai seni mengetahui, memahami, dan mempertahankan hal-hal yang penting bagi diri sendiri. Tujuannya agar manusia terbebas dari rasa kepemilikan. Dengan begitu, jiwanya lebih tenang karena tidak dipusingkan oleh hasrat memiliki sesuatu yang belum tentu diperlukan.

Kampanye itu sontak menghadirkan ingatan saya tentang perjalanan di Baduy. 

Singgah semalaman di kawasan masyarakat adat tersebut, cukup membuat saya menyadari bahwasanya apa yang diupayakan masyarakat modern dengan kampanye hidup minimalisnya saat ini, telah diterapkan masyarakat Baduy sejak lama. 

Semua bermula pada hari ke-11 tahun 2019—dua tahun lalu. Saya berangkat ke Baduy bersama rombongan teman kampus. Bus kami sampai di Terminal Ciboleger pagi-pagi sekali, setelah menempuh perjalanan dari Yogyakarta. Aroma durian segera menyambut kami. Buah berkulit duri itu memang sedang berada pada musim panennya.

Tugu di Terminal Ciboleger
Tugu di Terminal Ciboleger/Syaima Sabine Fasawwa

Sekitar pukul 09.00, saya dan kawan-kawan memulai perjalanan kaki ke Baduy. Beberapa memilih untuk menetap di Baduy Luar, sisanya memutuskan meneruskan perjalanan ke Baduy Dalam. Saya sendiri memilih untuk lanjut melangkah ke Baduy Dalam.

Masyarakat Baduy yang juga akrab disebut sebagai urang Kanekes ini memang terbagi menjadi dua. Urang Tangtu, yakni masyarakat Baduy Dalam, dan Urang Panamping, yakni masyarakat Baduy Luar. Perbedaan paling kentara antara keduanya dapat dilihat dari warna pakaian dan ikat kepalanya. Masyarakat Baduy Dalam menggunakan warna hitam-putih, masyarakat Baduy Luar menggunakan warna hitam-biru tua.

Sepanjang perjalanan, kami ditemani pemandu-pemandu yang berbasis di Banten. Adapun rute jalanan yang kami lalui berupa tanah dan bebatuan saja, yang notabene dibuat sendiri oleh masyarakat Baduy.

Pemukiman masyarakat Baduy Luar
Pemukiman masyarakat Baduy Luar/Syaima Sabine Fasawwa

Selama perjalanan, saya banyak melihat pepohonan. Sayangnya, pengetahuan flora saya buruk sekali. Yang saya tahu, ada banyak pohon nipah di sana. Orang Baduy menggunakan pelepahnya untuk atap rumah. 

Rumah mereka seluruhnya terbuat dari hasil alam: kayu, bambu, pelepah. Ukuran rumah satu dengan lainnya pun cenderung sama. Ada ruang antara tanah dan rumah. Ruang itu digunakan masyarakat untuk menyimpan persediaan kayu, untuk membuat api.

Dalam mendirikan rumah atau hunian, pun, masyarakat Baduy bergotong-royong tanpa imbalan suatu apa. Interaksinya berbasis kekeluargaan dan tidak berorientasi pada materi.

Setelah sekitar 3 jam berlalu, kami sampai di kawasan pemukiman Baduy Luar. Kami rehat sejenak sembari makan siang di dekat jembatan bambu yang besar sekali. Di bawahnya mengalir air sungai yang cukup deras kala itu.

Usai energi kami terisi kembali, rombongan yang bertujuan Baduy Dalam melanjutkan perjalanan, termasuk saya.

Baduy Dalam
Tempat peristirahatan di dekat jembatan bambu/Syaima Sabine Fasawwa

Selain menyaksikan hutan rimbun, selama perjalanan saya acapkali berpapasan dengan masyarakat Baduy. Tanpa alas kaki. Memikul berbagai hasil alam. Setelah memperhatikan dengan lebih seksama, saya mendapati bahwa tak ada satupun dari mereka yang obesitas atau kering-kerontang. Semuanya tampak proporsional. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu hakikat minimalisme, yakni mengenai prinsip menggunakan sesuatu dengan secukupnya. Kok bisa?

Bisa! Tampilan fisik yang serupa dalam suatu kelompok masyarakat secara tidak langsung merepresentasikan setidaknya dua hal.

Pertama, mengenai bagaimana mereka memandang sumber daya alam di lingkungannya. Masyarakat Baduy mengelola potensi alam yang ada di sekitarnya tanpa perspektif kepemilikan individu, apalagi konsep menimbun untuk diri sendiri. 

Bukan rahasia lagi bahwa ladang yang ada di alam Baduy dikelola bersama menggunakan aturan adat. Mereka memahami betul mengenai apa saja, bagaimana,  kapan, dan seberapa banyak yang harus ditanam dan dipanen. Alhasil, konsumsi mereka tidak berlebih dan merata.

Sementara itu, masyarakat modern di luar Baduy masih sarat dengan isu ketimpangan. Banyak orang obesitas, tetapi dalam waktu yang sama tak sedikit pula kasus busung lapar.

Kedua, sistem pangan yang berjalan sedemikian rupa menunjukkan bahwa mereka memiliki pengelolaan hasrat yang baik. Pola hidup demikian pada gilirannya melatih mereka untuk terbiasa mengontrol keinginan. Hingga mereka mampu mengambil dan memanfaatkan sesuatu berdasarkan keperluan. Terbukti, hingga hari ini, alam Baduy masih tetap asri.

Pun pada ihwal di luar pangan. Setelah melanjutkan perjalanan dari pemukiman Baduy Luar menuju Baduy Dalam yang memakan waktu kurang lebih dua jam, saya dan beberapa kawan singgah di rumah Teh Sarah dan ambunya. Ambu adalah panggilan untuk ibu. Nah, di kediaman mereka, saya tidak menjumpai tumpukan barang berlebih. Semua terawat dan memiliki fungsinya masing-masing.

Sementara itu, masyarakat modern di luar Baduy, termasuk saya, sepertinya perlu mengambil kelas yoga atau meditasi dulu untuk dapat berlaku seperti itu—untuk menahan keinginan memiliki sesuatu yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini juga yang menjadi prinsip minimalisme.

Perjalanan menuju Baduy Dalam belum selesai, nantikan cerita selanjutnya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menengok Minimalisme dalam Diri Masyarakat Baduy (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-minimalisme-dalam-diri-masyarakat-baduy-1/feed/ 0 31801
Santapan yang Lahir dari Kesengsaraan https://telusuri.id/santapan-yang-lahir-dari-kesengsaraan/ https://telusuri.id/santapan-yang-lahir-dari-kesengsaraan/#respond Mon, 06 Dec 2021 12:00:41 +0000 https://telusuri.id/?p=31140 Tak bisa ditampik, hubungan manusia dan makanan terjalin sangat erat. Makanan adalah pengalaman universal manusia dalam bertahan hidup. Dan bukan tiba-tiba jatuh dari langit, tiap-tiap makanan memiliki cerita masing-masing untuk sampai di meja makan kita....

The post Santapan yang Lahir dari Kesengsaraan appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak bisa ditampik, hubungan manusia dan makanan terjalin sangat erat. Makanan adalah pengalaman universal manusia dalam bertahan hidup. Dan bukan tiba-tiba jatuh dari langit, tiap-tiap makanan memiliki cerita masing-masing untuk sampai di meja makan kita. Seperti kata Jonathan Safran Foer, penulis asal Negeri Paman Sam, makanan adalah budaya, kebiasaan, keinginan, dan identitas.

Di samping itu, tidak semua makanan memiliki kisah menyenangkan, lho. Tidak seperti croffle atau nugget pisang yang muncul atas inovasi dari para koki, ada pula makanan yang lahir dari kesengsaraan rakyat biasa kala kondisi krisis melanda.

Tak mengherankan apabila kisah-kisah demikian jarang diketahui orang, lantaran kini makanan tersebut telah menjadi santapan bagi semua kalangan, bahkan menjadi hidangan incaran wisatawan kuliner.

Apa sajakah makanan yang memiliki kisah unik tersebut? Ini dia!

1. Tengkleng Kambing

Siapa sangka, tengkleng kambing lahir dari keterbatasan rakyat Solo dalam menghadapi zaman penjajahan Jepang. Kala itu, Jepang merampas semua beras untuk kebutuhan perang dan memaksa petani di desa menjadi romusha, sehingga krisis pangan terjadi.

Sejarawan Heri Priyatmoko menjelaskan, dalam kondisi tersebut, rakyat terpaksa mengolah bahan pangan apapun menjadi makanan, termasuk limbahnya. Tak terkecuali limbah kambing, seperti tulang dan jeroan—sesuatu yang tidak umum dikonsumsi terutama bagi kaum bangsawan yang gemar menyantap daging.

Tengkleng-Tempo/Ukky Primartantyo
Tengkleng via TEMPO/Ukky Primartantyo

Adapun hidangan ini dinamai tengkleng karena mencerminkan sulitnya kehidupan rakyat zaman dulu. Dilansir dari kompas.com, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Prof Dr. Ir Murdijati Gardjito menjelaskan, “Itu dinamakan tengkleng karena kalau ditaruh di piringnya orang miskin dulu, yang terbuat dari gebreng [semacam seng], itu, bunyinya kleng-kleng-kleng.”Sekarang, tengkleng telah berkembang dan menjadi kuliner khas Solo. Buat kamu yang ingin mencoba santapan ini, bisa merapat ke Solo. Ada tiga restoran legendaris yang bisa kamu kunjungi yakni Tengkleng Rica Pak Manto di Jalan Honggowongso Nomor 36, Tengkleng Klewer Bu Edi di Pasar Klewer, dan Tengkleng Bu Jito Dlidir di Jalan Kolonel Sugiono Nomor 67. Cocok juga untuk kamu yang mengidap darah rendah, lho!

2. Tiwul

Pernah menyantap tiwul? Pasti masih ingat dengan rasanya yang manis-gurih khas singkong! Saat ini, kita kerap menjumpai tiwul di deretan jajanan pasar. Namun, sebelumnya, tiwul merupakan makanan pokok setara dengan nasi, lho, terutama di kalangan masyarakat daerah Wonosobo, Wonogiri, Pacitan, dan Blitar. 

Seorang ibu membuat tiwul dari singkong kering via TEMPO/Arie Basuki

Menyitir laporan kompas.com, sejarawan Heri Priyatmoko menerangkan, “Tiwul yang berbahan baku singkong dijadikan pengganti nasi ketika harga beras tidak terbeli oleh masyarakat pada era penjajahan Jepang tahun 1960-an.” Masyarakat menjemur singkong hingga kering dan menjadi gaplek untuk kemudian ditumbuk halus lalu dikukus. Dengan begitu, perut-perut lapar dapat tetap terisi.

Saat ini, selain dihidangkan bersama gula merah, gula pasir, dan parutan kelapa, tiwul juga disandingkan dengan coklat dan keju. Kamu bisa menjumpai tiwul di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa dengan harga terjangkau. Ada pula tiwul kemasan instan yang bisa dibeli via e-commerce, lho!

3. Sate Kere

Istilah kere tentu tak asing bagi orang Jawa. Kere memiliki arti miskin atau tidak punya harta. Dan kisah sate kere memang tidak jauh-jauh dari kemelaratan. 

Serupa dengan kisah tengkleng kambing, sate kere berawal dari ketidakmampuan masyarakat miskin yang ingin menyantap daging di masa penjajahan. Daging adalah makanan mewah yang hanya disantap oleh kaum bangsawan pada masa pendudukan Belanda.

Akhirnya, masyarakat berkreativitas membuat sate tanpa daging. Memanfaatkan limbah pangan yang ada, masyarakat menggunakan jeroan sapi dan gembus yang berasal dari ampas pembuatan tahu sebagai bahan dasar sate kere.

Seporsi Sate Kere di Pasar Bringharjo/Syaima Sabine Fasawwa
Seporsi Sate Kere di Pasar Bringharjo/Syaima Sabine Fasawwa

Sebaliknya, kaum bangsawan sangat anti terhadap jeroan dan gembus. Bahkan, mengutip laporan krjogja.com, pada masa tersebut kaum elite bekerja sama dengan penguasa lokal untuk mengatur abattoir (tempat penyembelihan hewan) supaya tidak menjual daging bercampur jeroan kepada restoran Belanda. Hal ini dilakukan demi menjamin konsumsi daging bagi para bangsawan.

Saat ini, sate kere menjadi santapan kuliner semua kalangan. Hidangan ini banyak ditemukan di daerah Solo dan Yogyakarta. Di Solo, salah satunya kamu bisa mampir di warung legendaris Mbak Tug di Jalan Arifin Nomor 63. Sedangkan di Yogyakarta, kamu bisa menyantap sate kere di trotoar sekitaran Pasar Beringharjo.

4. Bubur

Siapa sangka bahwa menu yang kerap menemani sarapan warga +62 ini lahir dari keprihatinan negeri Tiongkok pada masa krisis. Dilansir dari bobo.grid.id, bubur tercatat sejarah pertama kali sejak sebelum masehi, ketika Kaisar Kuning atau Kaisar Xuanyuan Huangdi berkuasa. Pada masa itu, tepatnya tahun 238 SM, terjadi musim paceklik atau kekurangan bahan makanan yang disebabkan musim kemarau berkepanjangan.

Bubur ayam bunut
Bubur ayam bunut via TEMPO/Rully Kesuma

Kaisar memikirkan cara untuk mengatasi kondisi tersebut. Dimulai dari kaisar yang sedang makan dan menuangkan sup panas ke dalam nasinya, di dapatilah nasi tersebut mengembang, menjadi lembek, dan bertambah banyak. Sejak itu, kaisar meminta juru masak untuk mengolah beras sampai menjadi bubur, sehingga ada persediaan makanan yang lebih banyak untuk rakyatnya dalam menghadapi masa paceklik.

Saat ini, kita bisa menemui bubur di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai topping, mulai dari ayam, telur, hingga sate usus dan sate ati.

5. Intip

Dalam bahasa Jawa, intip berarti kerak nasi. Kerak nasi ini biasanya menempel di dasar kuali atau ketel, perkakas yang digunakan orang zaman dulu untuk menanak nasi. 

Untuk bertahan hidup di masa krisis, lagi-lagi masyarakat memutar otak dengan memanfaatkan segala bahan pangan yang ada, termasuk kerak nasi di dasar kuali. Ketika itu, warga mengkonsumsi kerak nasi dengan cara ditaburi parutan kelapa. Perkembangannya, intip yang juga dijadikan sebagai pakan ternak ayam atau bebek ini kemudian diolah dengan cara lain, yakni dijemur dan digoreng, lalu diberi tambahan bumbu manis-gurih dan asin.

Intip Goreng Oleh-oleh Khas Solo
Pedagang intip tradisional megucurkan cairan gula via [TEMPO/Suryo Wibowo

Kudapan ini banyak digemari masyarakat, sehingga kemudian dibuat secara sengaja. Alias bukan lagi berasal dari nasi yang menempel di kuali, melainkan dibuat dengan cara meletakkan nasi di atas penggorengan, ditekan hingga menempel di dasar  penggorengan, dan dibakar di atas api sebelum kemudian dijemur hingga kering. Baru setelah itu digoreng lagi dalam rendaman minyak panas.

Semakin lama, intip pun hadir dengan berbagai ukuran dan rasa. Intip bisa ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Solo dan Cirebon.

Sudah pernah mencoba semua makanan di atas? Mana yang menjadi favoritmu? Menjajal 5 makanan di atas akan menjadi pengalaman unik. Selain kenyang, kita bisa belajar sejarah sekaligus memahami bahwa makanan erat dengan sejarah sosial-budaya manusia!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Santapan yang Lahir dari Kesengsaraan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/santapan-yang-lahir-dari-kesengsaraan/feed/ 0 31140
Menata Pikiran dan Hati dengan ‘Spiritual Traveling’ di Bali https://telusuri.id/spiritual-traveling-di-bali/ https://telusuri.id/spiritual-traveling-di-bali/#respond Thu, 21 Oct 2021 01:05:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31008 Tak bisa dipungkiri bahwa dua tahun terakhir adalah masa yang berat dilalui karena pandemi. Tidak mengherankan apabila kondisi ini membawa orang pada titik tersulit dalam hidupnya. Tidak menutup kemungkinan juga, kondisi demikian membuat orang berpikir...

The post Menata Pikiran dan Hati dengan ‘Spiritual Traveling’ di Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak bisa dipungkiri bahwa dua tahun terakhir adalah masa yang berat dilalui karena pandemi. Tidak mengherankan apabila kondisi ini membawa orang pada titik tersulit dalam hidupnya.

Tidak menutup kemungkinan juga, kondisi demikian membuat orang berpikir untuk menepi dari rutinitasnya—melarikan diri dan bersenang-senang untuk melepaskan beban. Namun, bagaimana apabila yang dibutuhkan lebih dari sekadar pelarian? Spiritual traveling adalah jawabannya! 

Berbeda dari perjalanan wisata biasanya, spiritual traveling berfokus pada destinasi tertentu yang akan memperkaya pengalaman spiritual yang sekaligus dapat memulihkan kondisi jiwa seseorang. Dengan spiritual traveling, orang dapat merefleksikan berbagai pengalaman hidupnya yang telah dilalui, sehingga pikiran dan hati yang kalut dapat ditata kembali.

Salah satu lokasi yang cocok dikunjungi untuk memperkaya pengalaman spiritual adalah Bali. Pulau yang dihimpit Pulau Jawa dan Lombok ini menawarkan banyak lokasi yang kental dengan tradisi untuk mendapatkan ketenangan. Apa saja yang bisa dilakukan di Bali untuk mencapai inner peace dalam diri? Berikut list-nya!

Upacara Melukat via TEMPO/Suyono

Penyucian diri di pura

Bukan sekadar bangunan, pura merupakan sesuatu yang sakral. Bagi masyarakat sekitar, pura digunakan untuk melakukan upacara penyucian diri atau biasa disebut sebagai upacara Melukat. Adapun beberapa pura di Bali yang dapat dikunjungi untuk mendapat pengalaman melukat tersebut, yakni Pura Dalem Pingit Sebatu di Jalan Raya Tegallalang Sebatu, Pura Tirta Empul di sebelah Istana Kepresidenan Tampaksiring, Pura Tirta Taman Mumbul di Mengwi Badung, dan Pura Campuhan Windhu di Kesiman Denpasar Timur.

Di pura tersebut, siapa pun dapat memperkaya pengalaman spiritual yang menakjubkan! Terutama bagi orang luar Bali, pengalaman ini juga dapat mengasah toleransi. Bahwasanya, terdapat berbagai cara untuk mencapai ketenangan batin yang berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

Melepas emosi negatif dengan terapi tradisional

Bali memiliki tabib atau healer yang terampil untuk membantu memulihkan tubuh, pikiran, dan jiwa dengan metode tradisional. Adapun pendekatan yang dilakukan meliputi meditasi, pemijatan, hingga pembacaan telapak tangan serta penyembuhan spiritual. Berikut rekomendasi yang bisa dicoba!

  1. Cokorda Rai 

Dikenal sebagai Ahli Pengobatan Bali, Cokorda Rai menggunakan teknik totok urat safat dan mudra yang dipadukan dengan gerak olah tubuh, serta menggunakan tenaga dalam dengan menyalurkan energi murni. Teknik-teknik tersebut mengacu pada lontar-lontar terkait Usadha Bali untuk mengobati masalah psikologis maupun fisik. Cokorda Rai ini beralamat di Jalan Palguna, Singapadu Tengah, Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.

  1. Ibu Jero

Ibu Jero menggunakan teknik Reiki untuk pembersihan energi, membantu untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan mental, emosional, dan fisik yang sulit untuk dihilangkan. Ibu Jero beralamat di Jalan Pidada VII Nomor 6X, Ubung, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali.

  1. Pak Sirkus

Pak Sirkus yang dikenal sebagai The Balinese Magic Man menawarkan berbagai terapi yang dapat menyembuhkan mulai dari masalah patah tulang hingga menghilangkan rasa sakit dan ketegangan yang luar biasa secara instan di dalam tubuh. Pak Sirkus menggunakan tongkat dan tangannya untuk menemukan, mengobati, dan meringankan masalah fisik di dalam tubuh. Pak Sirkus dapat ditemukan di Jalan Pantai Berawa Nomor 27, Tibubeneng, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.

  1. Sami Bali Chy Healing 

Sami Bali Chy Healing berlokasi di Jalan Mataram Gang Mangga Nomor 5E, Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Mereka menggabungkan refleksiologi, akupresur, Reiki, penyeimbangan cakra, dan pembersihan energi untuk menghilangkan energi buruk dan ketegangan otot yang menumpuk. Selain itu, berikutnya Sami Bali Chy Healing dapat mengembangkan rencana perawatan berkelanjutan.

Yoga via Unsplash/Jared Rice

Menemukan kedamaian di kelas yoga

Yoga sangat cocok terutama bagi orang yang sedang merasa tertekan. Seringkali hasrat atau keinginan-keinginan dalam hidup justru bertolak belakang dengan kenyataan. Ketika itu terjadi, rasa kecewa, sedih, dan marah, segera menguasai diri. Terlebih di masa pandemi ini. Tuntutan untuk berdamai dengan keadaan begitu besar.

Yoga dapat menjadi alternatif untuk meredakan emosi-emosi negatif tersebut. Yoga adalah seni pengendalian diri untuk mencapai kedamaian. Seperti yang dikatakan Debasish Mridha, “Anda mungkin tidak dapat mengontrol seluruh dunia, tetapi Anda dapat belajar untuk mengontrol dunia batin Anda melalui yoga.” Juga melalui yoga, orang dapat mengenal diri sendiri dengan lebih baik. Layaknya yang tercantum dalam Bhagavad Gita, “Yoga adalah perjalanan diri, melalui diri, menuju diri.”

Berikut adalah rekomendasi kelas yoga yang bisa dicoba:

  1. Desa Seni

Desa Seni menawarkan kelas-kelas yoga  bernuansa desa dengan konsep ruangan unik semi terbuka, termasuk untuk anak-anak. Desa Seni juga dikelilingi berbagai tanaman indah yang membuat udara semakin sejuk. Selain kelas yoga, tempat ini juga menyediakan meditasi dan qi gong. Desa seni dapat ditemukan di Jalan Subak Sari Nomor 13, Canggu, Bali.

  1. The Yoga Barn

The Yoga Barn cocok untuk orang yang mudah bosan. The Yoga Barn menawarkan berbagai kelas yang beragam untuk tujuan penyembuhan. Selain ada kelas yoga, terdapat juga kelas meditasi, ecstatic dance, aquatic dance, begitu juga berbagai teknik penyembuhan dengan reiki, akupuntur dan naturopathy. Untuk yang menyukai seni, ada pula metode penyembuhan dengan art healing. The Yoga Barn ini dapat ditemukan di Jalan Raya Pengosekan, Peliatan, Ubud, Bali.

  1. Shanti Toya Ashram

Shanti Toya Ashram mengusung konsep yang melebur dengan alam. Berada di tepi sungai, kelas yoga di sini akan berlangsung terasa sejuk dan damai. Adapun program yoga retreat untuk selama seminggu yang juga disertai kelas meditasi dan workshop untuk memperkaya pengalaman spiritual. Selain itu, Shanti Toya Ashram juga menyediakan kelas untuk anak-anak. Tempat ini dapat ditemukan di Jalan Umahanyar, Penarungan, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali.Itulah beberapa rekomendasi destinasi spiritual traveling di Bali. Selama perjalanan berlangsung, buatlah juga jurnal atau catatan perjalanan pribadi. Uraikan pikiran dan perasaan yang ada. Hal ini dapat menjadi arsip yang membantu memahami kondisi diri sendiri dengan lebih baik. Dengan begitu, spiritual traveling dapat memunculkan semangat hidup baru dengan suasana hati dan pikiran yang juga baru!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Menata Pikiran dan Hati dengan ‘Spiritual Traveling’ di Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/spiritual-traveling-di-bali/feed/ 0 31008