Syukron https://telusuri.id/author/syukron/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 10 Sep 2022 08:34:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Syukron https://telusuri.id/author/syukron/ 32 32 135956295 Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/ https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/#respond Sat, 03 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34951 “Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut...

The post Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut menumpang kapal salah satu warganya jam sembilan pagi. Salah satu keresahan tinggal di pulau adalah seperti ini, tidak ada transportasi reguler. Semua serba tidak pasti. Hanya bisa mengharapkan tumpangan, ikut kapal-kapal warga.

“Saya coba carikan kapal lagi semoga hari ini ada yang pergi,” Pak Desa masih tetap berusaha meyakinkan saya. Kami berdua memang perlu ke Pangkep. Dia ada pertemuan di sana. Sedangkan saya mesti mencari sinyal dan listrik yang stabil.   Kondisi listrik di pulau sudah berbeda dengan 2 tahun lalu saat pertama saya tinggal di sini. Listrik di Kapoposang menggunakan solar panel terpadu yang dihubungkan ke tiap-tiap rumah. Dulu, jika kondisi cuaca bagus kami masih dapat menikmati dari pukul 6 sore hingga pukul 5 pagi. Sekarang dapat menyala 3 jam saja sudah bersyukur. Bagi warga pulau tidak menjadi masalah, tapi bagi saya yang mengandalkan listrik untuk menyalakan laptop ini menjadi persoalan. Laptop tua baterai penyimpanannya tak bisa diandalkan. Mau memakai genset boros di bensin.

Kapal Pagae
Kapal Pagae/Syukron

Langit cerah, laut tenang dan berita baik pun datang. Sejam setelah janji Pak Desa ucapkan kami mendapatkan info di Pulau Pandangan ada kapal pa’gae yang akan menuju Makassar pukul 2 siang nanti. Kapal pa’gae atau kapal pukat jaring memang selalu membawa hasil tangkapan ikan mereka dari laut menuju Makassar. 

Setelah makan siang, kami bersiap menuju kapal pa’gae yang berlabuh depan Pulau Pandangan. Wilayahnya masih satu desa dengan pulau Kapoposang jaraknya hanya 1,2 mll. Kapal yang kami tumpangi milik Haji Jafar, nama kapalnya Safa Marwah 03, Haji Jafar memiliki 4 kapal pa’gae, beliau memang salah satu tokoh di pulau Pandangan yang cukup sukses menjadi nelayan. Si empunya kapal belum tiba tapi kami sudah berada di kapalnya. Selain kami ada 6 orang lagi yang ikut menumpang ke Makassar. 

Kapalnya berwarna putih dengan bobot 30 GT, panjang 20 meter dan lebar 5 meter. Untuk ukuran masih relatif tidak jauh berbeda dengan kapal-kapal pa’gae lainnya. Tapi untuk urusan mesin boleh diadu, biasanya kapal lain memakai mesin dengan 6 silinder, kapal Safa Marwah 03 memakai mesin dengan 8 silinder. Otomatis waktu tempuhnya jadi lebih cepat daripada kapal lainnya. 

Haji Jafar datang tak lama kemudian. Dengan membawa istri dan 3 orang anak buah kapal. Tidak full team yang biasanya bisa sampai 11 orang jika saat mencari ikan. Setelah memberi aba-aba, pasukan kecil Haji Jafar ini dengan mudahnya menyalakan mesin, memutar haluan, dan mulai berlayar ke arah timur. Baru saya tahu kemudian kalau mereka ke Makassar hanya untuk membeli balok-balok es. Ada 250 balok es yang akan dibeli, Mereka akan menyimpannya dalam 5 kotak besar untuk persiapan menjaring ikan nantinya. 

Suasana dalam kapal
Suasana dalam kapal/Syukron

Para ibu dan anak-anak beristirahat dengan nyaman dalam ruang kemudi yang cukup lapang. Sedangkan kami para lelaki berkumpul minum kopi dan mengobrol lepas diayun ombak depan anjungan kapal.

Sebentar lagi tiba di Makassar
Sebentar lagi tiba di Makassar/Syukron

Dari obrolan itu saya jadi lebih mengenal sosok Haji Jafar, saya tak bisa membayangkan bapak tua berumur 60 tahunan, bertubuh kecil dengan peci kupluk, bercelana pendek dan memakai sendal jepit ini ternyata dibalik suksesnya menjadi nelayan ada juga jejak-jejak kelucuannya. Untuk urusan keluarga, tiap kali akan ke Makassar Haji Jafar selalu menyertakan istrinya untuk ikut serta. Kata Pak Desa kalau jaman sekarang istilahnya “bucin”.

Haji Jafar
Haji Jafar/Syukron

Haji Jafar juga ternyata orangnya sangat cuek, pernah ketika jalan di sekitar pelabuhan dan duduk depan salah satu supermarket dia diusir karena penampilannya yang dianggap kumal. Dan beliau dengan santainya pergi tanpa protes atau marah. Ada juga cerita soal Haji Jafar ternyata mempunyai mobil keluaran terbaru tapi tidak pernah dipakai. Alasannya lebih enak naik pete-pete (sebutan angkot di Makassar) tinggal sewa seharian bebas pergi kemana saja, ada yang nyupirin pula. Lalu mobil barunya? Dianggurin saja di rumah kenalannya.

Yang cukup membuat saya takjub adalah usaha dia selama ini tidak memakai pinjaman bank atau dari orang lain. Semuanya murni hasil jerih payahnya sendiri. “Jangan terlalu sombong pakai duitnya orang,” begitu ungkapnya. 

Obrolan kami berakhir saat kapal mulai masuk ke area Pelabuhan Paotere. Kami datang dengan berbagai teriakan penyambutan. Menyambut kedatangan kapal Haji Jafar seperti pulang dari medan perang. 

Saya berpamitan dengan Pak Desa dan Haji Jafar, mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Setelah keluar dari pelabuhan sembari menunggu jemputan saya melihat kesana kemari. Bergumam dalam hati “supermarket mana ya yang mengusir Haji Jafar?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-makassar-dengan-kapal-pagae-pulau-pandangan/feed/ 0 34951
Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/ https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/#respond Sun, 07 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34869 Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan...

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan untuk mengikuti salat Id hari ini tapi untuk bersiap menuju ke Pulau Kapoposang. Kami memang mempersiapkan perjalanan kali ini agar bisa menikmati Iduladha di pulau. Tahun ini ada perbedaan penetapan hari raya Idul Adha. Hari ini Sabtu, 9 Juli 2022 adalah jadwal Muhammadiyah. Sementara kami ikut keputusan Kementerian Agama, lebaran kurban dirayakan esok harinya Minggu, 10 Juli 2022.

Suasana dalam kedai sudah tak tampak seperti tempat nongkrong ngopi lagi. Lebih seperti ruang tamu yang dipakai menginap handai taulan. Berantakan, kursi-kursi yang dijadikan tempat tidur darurat dengan tas menumpuk sana sini serta plastik-plastik berwarna merah berisikan sayur dan bahan kebutuhan lain untuk membuat coto dan konro sudah kami siapkan.

Masyarakat di Kapoposang tak memelihara ternak berkaki empat. Tentu ini membuat banyak orang penasaran karena di sana tak sulit mendapatkan pakan hijau untuk berternak. Masyarakat pulau bukannya tak mencoba memelihara, namun entah kenapa binatang ternak selalu kurus, tak pernah gemuk. Padahal Pulau Pandangan yang masih satu desa dengan Kapoposang punya banyak ternaknya yang gemuk. Cukup aneh kalau dipikir. Ternak-ternak ini memakan sampah, bahkan sampah kertas atau apapun yang bisa dikunyah bakal mereka makan. Misteri tersebut sampai sekarang tak bisa dipecahkan dan memang tak dicarikan pula jawabannya. Masyarakat Kapoposang lebih memilih membeli sapi atau kambing dari luar pulau untuk hajatan nikahan atau aqiqah daripada memelihara. 

Persiapan menuju Kapoposang
Persiapan menuju Kapoposang/Syukron

Seperti untuk Idul Adha kali ini. Tiga ekor sapi diturunkan ke kapal kami sebagai persiapan kurban. Mereka diposisikan seperti layaknya baris berbaris. Pembeliannya patungan dari beberapa warga sekitar 10 juta per ekornya. Tentu tidak mudah memindahkan hewan yang bobotnya lebih dari 100 kilo. Bagian depan kapal Jolloro memang mempunyai desain terbuka hingga terlihat luas, kapal ini diperuntukkan untuk memuat barang yang cukup banyak. Kebalikan dari mobil pickup, bagian bak kosong di justru berada di depan namun penumpang berada di bagian belakang bersama juru mudi kapal. 

Ada 25 orang ikut menumpang kapal. Saya lebih memilih mencari tempat di ujung depan kapal. Agak leluasa untuk sedikit rebahan. Posisi ini tentu bukan tempat favorit bagi penumpang lain karena musti berhadap-hadapan dengan sapi. Saya menerima resiko ini. Beberapa kali badan saya terdorong oleh kepala sapi. Untung saja sapi-sapi ini terikat dengan baik.

Kapal yang kami gunakan adalah kapal milik desa. Kapal kayu panjang 17 meter dan lebar 2 meter dengan mesin kekuatan enam silinder. Dari mesin hingga ukuran terbilang paling bagus dibandingkan kapal-kapal warga lain. Soal daya tempuh juga yang biasanya sekitar 6-8 jam jadi bisa dipangkas menjadi 3-4 jam saja.

Sapi, hujan dan ombak/Syukron

Dengan kondisi perairan berombak dan diiringi hujan tipis-tipis, kami melaju pukul 5.30 pagi. Menembus sungai Pangkep lalu keluar ke laut lepas. Selama perjalanan sapi-sapi ini dituntut memiliki keseimbangan tinggi, mereka harus berdiri dan berusaha tidak terjatuh. Sesekali ada saja sapi yang kehilangan keseimbangan karena kapal diterpa ombak rasanya naik turun seperti roller coaster. Dengan susah payah si sapi kemudian bangkit, berdiri kembali. Di tengah kondisi seperti itu, sapi-sapi ini cukup tenang, atau mungkin tegang luar biasa sehingga mereka hanya terdiam saja.

3 jam berlalu, Setelah melewati Pulau Gondong Bali, Pulau Pandangan dan Pulau Kapoposang tampak mulai mendekat. Arah kapal menuju ke Pulau Pandangan, kami mampir untuk menurunkan salah satu sapi milik haji Jafar, warga Pandangan. 

Menarik sapi di Pulau Pandangan
Menarik sapi di Pulau Pandangan

Sudah belasan cara dilakukan tapi belum juga bisa membuat sapi ini berniat menggerakkan kakinya untuk turun ke tepi pantai. Kerumunan orang diatas kapal sepertinya makin membuat sapi ini kebingungan. 15 menit berlalu setelah sang sapi tenang, kakinya mulai bergerak ingin berjalan. Hasrat untuk keluar dari kapal sudah mulai nampak. Dengan satu hentakan tali, sapi itu mulai mencoba meloncat keluar dari kapal. Semua bersorak lega. Kami yang di kapal semakin lega akhirnya bisa bergegas.  

Sapi di halaman Masjid
Sapi di halaman masjid/Syukron

Kami tiba sebelum adzan Dzuhur memanggil. Air laut mulai surut kami terhenti sekitar 30 meter dari bibir pantai. Saya dan tiga orang lainnya turun berbasah ria. Air laut sama rata dengan pinggang saya. Kami memikul barang-barang yang akan diturunkan, berjalan menuju tepi pantai. Belajar dari cara menurunkan sapi di Pulau Pandangan, kami memberikan waktu agar 2 sapi yang tersisa dapat turun dengan tenang. Dengan segala kerumitan proses mengangkut sapi dari Pangkep, membawa menembus ombak hingga tiba di Kapoposang. Perayaan kurban tetap menjadi salah satu hajatan favorit orang pulau. Karena itulah momen yang sehari-harinya lauk ikan berganti dengan coto atau konro yang aromanya keluar dari tiap-tiap dapur rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/feed/ 0 34869
Dansa-dansi di Parkiran Mal Abepura https://telusuri.id/dansa-dansi-di-parkiran-mal-abepura/ https://telusuri.id/dansa-dansi-di-parkiran-mal-abepura/#respond Fri, 07 Aug 2020 12:01:36 +0000 https://telusuri.id/?p=23456 Ada benang-benang yang tak tampak namun saling terhubung di Abepura. Benang-benang itu saling mengaitkan anak-anak mudanya, menyimpul lewat makan pinang bersama, menyeruput saguer, atau entah-kegiatan-apa sebagai perlawanan untuk menunda pagi, sebelum kembali menghadapi rutinitas membosankan...

The post Dansa-dansi di Parkiran Mal Abepura appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada benang-benang yang tak tampak namun saling terhubung di Abepura. Benang-benang itu saling mengaitkan anak-anak mudanya, menyimpul lewat makan pinang bersama, menyeruput saguer, atau entah-kegiatan-apa sebagai perlawanan untuk menunda pagi, sebelum kembali menghadapi rutinitas membosankan yang menyongsong esok hari, lusa, setelah lusa, dan setelahnya, dan setelahnya. (Di kota ini, hari-hari seperti terlalu cepat dilelehkan oleh matahari. Dan orang-orang perlu memutar otak untuk memaksimalkan pengalaman melewatkan malam-malam yang pendek.)

Di pelataran parkir Mal Abepura simpul itu juga ada. Saat saya tiba di sana, dengungan azan Isya masih bisa saya dengar meskipun sayup-sayup. Musik mendentum-dentum dari pengeras suara. Randi Mozza sang disc jockey tampak berusaha sekali menghalau sunyi malam dan memanggil keramaian untuk mampir ke Abepura. Malam Minggu ini, pelataran parkir, yang seharusnya jadi tempat mobil beristirahat sambil menunggu pemiliknya belanja, dikuasai oleh anak-anak muda Abepura. Dandanan mereka kasual—kaos longgar, celana jin baggy, hoodie, dan topi. Penampilan cuek itu mengesankan bahwa mereka sedang merayakan kebebasan dari seragam sekolah.

Adalah vernacular dance—yang populer dengan sebutan street dance—yang menjadi alasan mereka berkumpul. “Ngamen di jalan,” mereka bilang. Kegiatan ini mereka adakan minimal sekali sebulan.


Musik dan tarian memang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Papua. Sejak dahulu, mereka yang tinggal pesisir maupun yang bermukim di gunung-gunung memasukkan unsur tari dan musik dalam kehidupan keseharian. Menikmati musik dan menari seperti sudah senatural menghirup oksigen. 

Saya masih ingat, saat masih sekolah dasar, setiap Jumat pagi, kami dikumpulkan di tengah lapangan untuk melakukan senam kesegaran jasmani (SKJ), program massal dari pemerintah untuk sekolah-sekolah. Sehabis SKJ, biasanya kami akan menari yospan (yosim-pancar). Itu adalah tarian pergaulan yang sering dibawakan muda-mudi sebagai ekspresi persahabatan. Yospan dan street dance memiliki peran yang sama, yakni mengumpulkan anak muda.

Ada beberapa sanggar tari di Abepura, dari yang khusus tarian tradisional hingga tarian kontemporer seperti modern dance. Semuanya menanamkan nilai-nilai tentang disiplin, kepercayaan berkelompok, dan juga menghargai waktu. Atmosfer skena hip-hop dan pengaruh gerakan-gerakan tari tradisional membuat modern dance tumbuh subur di Abepura.

Dalam street dance diperlukan stamina tubuh dan kedisiplinan berkelompok. Gerak tubuh mereka seperti diatur oleh musik, meskipun bukan berarti patuh. Tempo yang kadang-kadang cepat lalu beralih ke lambat membuat para penari mesti tetap waspada. Insting juga berperan di sini. Keluwesan dan penghayatan ritme adalah dua hal yang menjadi kunci. Para penari yang maju ke lantai dansa akan mencoba mengeluarkan jurus terbaiknya. Ditampilkan di pusat keramaian seperti Mal Abepura, tarian jalanan dengan gerakan-gerakannya yang atraktif dan bebas akan membuat siapa saja menjadi penasaran.


Mereka berkumpul layaknya semut mengerubungi gula, melingkari arena tanding seperti sudah tak sabar untuk mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dengan komando dari Kaka Douglas selaku MC, dari sisi kanan sudah ada yang meliuk-liukkan tangan kaki dan leher dengan gerak kaku. (Bila gerakan bertambah cepat, mereka akan kelihatan seperti orang kena setrum.) Ini bernama gerakan elektrik boogie. Kadang pundak kanan dinaikkan diikuti tangan kanan berbentuk huruf L lalu tangan kiri menumpang pada tangan kanan—agak susah mendeskripsikan apa yang sedang terjadi. Penonton pun cuma bisa mengeluarkan teriakan penyemangat. Persis adegan-adegan dalam film Step Up.

Saya tak tahu bagaimana menilai—saya bukan penari apalagi juri. Bagi saya, semuanya layak mendapatkan tepuk tangan. Sedikit-sedikit, dari berbincang dengan mereka dan mengulik referensi, saya mengerti bahwa cukup banyak gaya menari yang ada dalam street dance, seperti b-boying, popping, locking, krumping, tutting, liquid, housing, Melbourne shuffle, c-walking, jumpstyle, hip-hop dance, dll. Masing-masing gaya itu pun ada yang kemudian memiliki anak aliran, seperti animation dan robotting yang telahir dari popping, atau creep walk dan crown walk dari c-walking.

Ada satu hal yang familiar dari gerakan-gerakan mereka itu. Kaki mereka menari-nari seperti gerakan tari yospan yang dulu rutin saya dan teman-teman lakukan usai SKJ. Entah secara sadar atau tidak, mereka meliuk-liuk mencampur “luar” dan “lokal.” Harmonis. Luwes. Seluwes burung cendrawasih yang sedang menggoda pasangannya; sekuat buaya saat menerkam mangsanya.

Tapi, usai “bertempur” mereka bersalaman. Sportif sekali mereka. Laku mereka itu seolah membantah kenyataan bahwa tingkat kekerasan antar-remaja di Jayapura cukup besar. Mereka seperti menemukan arena untuk berekspresi dan rekreasi. Walau terlihat seperti memberontak dan tak taat aturan, street dance malah mengajarkan sportivitas pada anak-anak muda itu. Adu tonjok diubah jadi gerakan tari tanpa menyentuh lawan. Yang merasa jurusnya kalah harus siap mundur. Semua mesti legawa.

Street dance seolah menyampaikan pesan bahwa pertarungan tak harus berakhir dengan tubuh yang babak belur dan muka lebam. Peluh keringat, napas yang tersengal-sengal, dan badan sedikit pegal rasa-rasanya sudah lebih dari cukup.

The post Dansa-dansi di Parkiran Mal Abepura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dansa-dansi-di-parkiran-mal-abepura/feed/ 0 23456
Suatu Malam di Studio Rap Abepura https://telusuri.id/suatu-malam-di-studio-rap-abepura/ https://telusuri.id/suatu-malam-di-studio-rap-abepura/#comments Sat, 25 Jul 2020 16:59:24 +0000 https://telusuri.id/?p=23241 Jalanan kota Abepura jam 8 malam masih ramai lalu lalang kendaraan, tapi tidak dengan Jalan Cendrawasih yang tepat berada di sisi kiri Auditorium Universitas Cendrawasih.  Sudah hampir 15 menit saya, Ayos, Mawski, dan Fajrin mengawasi...

The post Suatu Malam di Studio Rap Abepura appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalanan kota Abepura jam 8 malam masih ramai lalu lalang kendaraan, tapi tidak dengan Jalan Cendrawasih yang tepat berada di sisi kiri Auditorium Universitas Cendrawasih. 

Sudah hampir 15 menit saya, Ayos, Mawski, dan Fajrin mengawasi sekitar mengharap ada pertanda. Jarang orang lewat. Mungkin orang-orang enggan lewat sini karena tak ada lampu jalan—padahal ada tiang lampunya. Saya curiga lampunya sudah tamat riwayat karena dijadikan target lemparan. 

Suasana sepi ditambah kurangnya penerangan bikin jalan ini susah ditembus. Di kota ini, suasana sepi dan gelap jelas disukai oleh para peminum saguer atau minuman keras lainnya, dijadikan selimut untuk berkumpul. Karena alasan itulah saya menjadi waspada. Teman-teman lain masih tampak santai. Sengaja saya tidak memberi tahu alasan di balik kewaspadaan saya itu kepada mereka. Kalau tahu, bisa-bisa mereka meminta segera balik pulang. 

Lalu pertanda itu tiba. Ada yang memanggil kami dari gelap malam, di depan pintu pagar sebuah rumah. Walau tidak melihat wajahnya, saya tahu itu adalah Mendo, remaja jangkung yang kami tunggu sedari tadi. Ternyata kami hanya meleset dua rumah saja. 

Pantas saja tadi kami tak melihat rumah itu. Posisinya menjorok ke dalam dan hanya diterangi lampu kuning di depan. Siapa pun pasti akan menganggap itu rumah tak berpenghuni. Di pintu rumah masih ada hiasan Natal. Di pojok, pohon Natal plastik masih menjulang. Padahal sudah hampir Valentine. 

Ah, kami tertipu. Semula saya kira kami akan masuk ke dalam rumah. Ternyata tidak. Mendo menuntun kami melewati samping rumah, masuk di antara batang-batang pohon pinang yang menjulang, lalu menunduk dan meliuk-liuk menembus jemuran baju. Suara dentuman bas bervolume kecil bisa saya dengar. Kami menuju sumber suara itu. 

Jubi dkk. sedang melakukan “battle rap”/Syukron

Kami pun tiba. Agak susah memberi label pada tempat ini. Kondisinya semi permanen, setengah tertutup-setengah terbuka, ada pohon jambu yang bertugas menjadi peneduh di siang hari. Saya tidak bisa membedakan mana gudang, dapur, atau tempat cuci. Kombinasi ketiganya menjadi absurd ditambah laptop dan pelantang. Saya perhatikan, di laptopnya tercolok kabel menuju headphone. Kabel pelantang dan kabel memanjang dibungkus dengan lakban cokelat yang ujungnya dibungkus dengan busa yang saya duga sempilan busa kasur. Ternyata itu mikrofon rakitan mereka. Kotak pelantang yang besar itu barangkali cocok jadi tempat tidur bayi. Saya menduga corong itu belum mengeluarkan suara penuhnya ibarat raksasa yang menahan suara. Berbisik. Mengesankan sekali studio mereka ini.

Dalam studio sudah ada Luis, Michael, Elon, Ruts, dan Omri. Mereka tergabung dalam grup rap bernama Jubi. Walau mereka sudah lama saling mengenal, grup ini baru beberapa bulan mereka bentuk. Bongkar pasang di kalangan grup rap memang sudah lumrah.

Walau sering mendapat omelan orangtua karena musik yang mereka dengar terlalu berisik dan tidak jelas, mereka tetap menggemari musik itu. Bagi mereka, menjadi rapper adalah [pernyataan] identitas. (Selain musik rap, reggae juga sudah cukup akrab dengan mereka sejak SD. Itulah yang sedikit banyak memengaruhi karya mereka.)

“Dulu kami hanya bermodal handphone untuk merekam lagu. Sekarang sudah bisa belajar memakai laptop dengan software pengolah audio,” kata Elon. Lagu-lagu kreasi mereka jadi lebih bervariasi. Tema-tema lagunya tidak jauh dari keseharian mereka. Malam ini mereka sedang merekam lagu berjudul “Mana Janji” yang berkisah tentang laki-laki yang menagih janji setia pada kekasihnya. Masing-masing dari mereka merapalkan lirik tapa nada seperti seorang anak sekolah yang belajar menghafal Pancasila.

Mereka rupanya pemburu kesunyian. Bermusuhan dengan suara lalu lalang motor, suara gonggongan anjing, ataupun bunyi-bunyi mengganggu lainnya. Itulah alasan kenapa mereka memilih merekam lagu di malam hari. “Kami sangat berhati-hati karena jika ada suara dari luar masuk saat merekam otomatis kami harus mengulang lagi,” kata Mendo. “Risiko punya studio rekaman di rumah, ya, begini,” lanjut dia.

Musik rap memang digandrungi anak-anak muda di Papua, khususnya di Abepura. Lewat rap, mereka bebas berekspresi dengan lirik-lirik yang disuarakan dengan tempo cepat. Mau itu di taksi (sebutan angkutan umum) antardistrik sampai di gang-gang kecil, lagu rap cukup dominan terdengar, bersaing dengan lagu-lagu Pance Pondaag dan Black Brother. Tidak usah jauh-jauh. Di Tanah Hitam, tempat kami tidur, juga demikian. Tiap pagi ritual Fajrin adalah memutar lagu-lagu rap dengan logat Timur kental di Creative Digital Papua.

Mendo sudah memberi tahu mereka maksud kedatangan kami. Jadi kami tidak perlu banyak basa-basi. Mawski saya lihat sudah mulai asyik menangkap suasana ruangan ini. Mata lensanya lahap memakan pecahan-pecahan adegan yang sedang berlangsung. Sebagai videografer dia sudah tau apa yang harus dilakukan. Ayos lebih kalem mencoba mencairkan suasana dengan membuka obrolan dengan beberapa di antara rapper tersebut. Sebagai penulis tak susah baginya untuk mengulik cerita. 

Berpose bersama anak-anak rap Abepura/Istimewa

Saya sendiri sudah siap dengan perekam suara di tangan, mencoba menangkap obrolan mereka sambil mendengarkannya melalui earphone. Entah karena memang dasarnya Ayos pintar basa-basi atau karena Mendo and the gang doyan bercerita, saya keasyikan mendengar mereka sampai-sampai saya terduduk di tanah. Tapi, lama-lama fokus saya geser dan suara obrolan mereka makin jauh. Lalu saya merasakan kesunyian. Bunyi-bunyi terisolasi. 

“Oh, mereka berhenti mengobrol,” pikir saya. “Tapi kenapa gelap? Mati lampukah?”

Tiba-tiba saya mendengar suara hentakan keras. Seketika saya gelagapan berdiri sambil mencoba mengumpulkan sisa-sisa nyawa. Rupanya saya ketiduran. Dan suara hentakan tadi ternyata teriakan Elon yang ditangkap perekam. 

Tengah malam itu ledakan tawa mereka sukses membangunkan anjing tetangga.

The post Suatu Malam di Studio Rap Abepura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suatu-malam-di-studio-rap-abepura/feed/ 1 23241
Bertiga ke Jayapura https://telusuri.id/bertiga-ke-jayapura/ https://telusuri.id/bertiga-ke-jayapura/#comments Wed, 22 Jul 2020 16:29:08 +0000 https://telusuri.id/?p=23194 Dilihat dari perjalanan-perjalanan yang telah saya lakukan, saya lebih suka berjalan secara berkelompok atau minimal berdua. Mungkin karena sedari dulu lebih sering jalan karena diajak daripada pergi atas inisiatif sendiri. Jalan bersama, beban perjalanan bisa...

The post Bertiga ke Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Dilihat dari perjalanan-perjalanan yang telah saya lakukan, saya lebih suka berjalan secara berkelompok atau minimal berdua. Mungkin karena sedari dulu lebih sering jalan karena diajak daripada pergi atas inisiatif sendiri. Jalan bersama, beban perjalanan bisa dibagi bersama dan kesenangan juga bisa dinikmati bersama. 

Selain dua itu, tentu masih banyak manfaat yang saya dapat dari melakukan perjalanan berkelompok. Saya tidak mahir menulis. Berjalan dengan penulis membuat saya belajar menggali cerita dan melihat dunia dari sudut pandang penulis. Bepergian dengan teman yang hobi mengulik sejarah, saya jadi belajar menghargai masa lalu sebuah tempat. Berjalan secara berkelompok bikin saya belajar berkompromi dengan keadaan. 

Jadi itulah yang membuat saya lebih suka mengikuti dan menemani teman-teman jalan ketimbang pergi sendirian. Mereka juga kelihatannya suka mengajak saya. Sudah banyak yang menyebut alasannya. Garis besarnya tiga. Pertama, saya orangnya irit kalau urusan makan. Tidak banyak mau. Kedua, saya tak merokok dan minum alkohol. Teman-teman yang merokok mestilah merasa lintingan tembakaunya awet jika jalan dengan saya, sebab tak ada pesaing. Karena tak menyentuh alkohol, saya bertugas menjadi penjaga teman-teman yang kebetulan mabuk. Ketiga, ketangguhan saya sudah diuji (mohon bedakan dengan “teruji”), baik dari segi fisik maupun metafisik.

Kota Jayapura menjadi salah satu latar episode perjalanan berkelompok saya, bersama Mawski dan Ayos. 

Kami ke Jayapura dengan misi mengenal lebih jauh skena hip-hop Papua. Genre ini tumbuh subur di Papua, merasuk ke jiwa anak-anak muda Papua seperti aliran kepercayaan. Kultur hip-hop yang terkesan bebas dan tidak suka diatur mungkin menjadi salah satu faktor kenapa genre musik itu disukai. Di Jayapura, kami melihat bagaimana kultur hip-hop berasimilasi dengan budaya Papua. Cara bicara masyarakat Papua yang cenderung cepat membuat mereka mudah menyesuaikan diri dengan musik yang liriknya diucapkan dengan kecepatan yang rentan untuk ditilang. Lalu ada tarian-tarian tradisional Papua yang juga memiliki ritme menghentak sehingga mudah dipadukan dengan tari modern semisal breakdance.

Ketika baru saja mendarat di Jayapura/Istimewa

Misi kami boleh sama, tapi alasan kedatangan kami beda-beda. Kesempatan ke Jayapura berarti kesempatan untuk pulang kampung bagi saya. Jayapura adalah tempat kelahiran saya. Sampai kapan pun Jayapura tetap akan saya sebut sebagai kampung halaman meskipun sejak SMP saya sudah merantau untuk sekolah ke Pulau Jawa. Pulang kampung jarang tebersit dalam pikiran; harga tiket yang mahal lebih nyata ketimbang rasa rindu pada rumah. Jadi, waktu ke Jayapura, mungkin lucu kalau saya pakai kaos dengan kutipan dari Andre Gide yang diterjemahkan Chairil Anwar: “Pulanglah Dia si Anak Hilang.” 

Bagi Mawski, perjalanan itu adalah pelarian dari pekerjaannya sebagai videografer dan editor video. Terlalu sering bepergian, dia merasa perjalanan-perjalanan itu bukan lagi petualangan. “Mengangangkat kamera untuk bekerja dan bermain itu tak pernah sama rasanya,” curah Mawski. Ayos beda lagi. Dosen-rasa-kurator yang berdiam di Surabaya ini bikin saya cukup kaget ketika dia bersedia meluangkan waktunya untuk ikut ke Jayapura. Pada akhirnya saya tahu kenapa dia ikut serta, yakni karena merindukan petualangan tak terduga. 

Mereka berdua adalah teman diskusi yang baik, pendengar yang enak diajak beradu argumen, tapi mempunyai perilaku bedebah. Pasalnya, sering kali ketika kami bertemu orang baru, wibawa saya bisa mereka jatuhkan dengan mudahnya. Kedua kawan itu punya memori bagus yang mampu mengingat kejadian-kejadian konyol yang menimpa saya. Tapi, karena pada dasarnya saya cuek dan sadar diri, celetukan-celetukan pencair suasana dari mereka itu saya terima saja dengan pasrah.

Kami membagi tugas tanpa dibahas. Inilah enaknya melakukan perjalanan dengan teman-teman yang sudah saling memahami. Saya mengatur jadwal bertemu orang-orang yang paham tentang skena hip-hop, Mawski mengurus peralatan tempur yang digunakan untuk mendokumentasikan momen, dan Ayos memetakan apa saja yang perlu digali selama di Jayapura.

Mengolah data di Creative Digital Papua/Syukron

Sebagai Ibu Kota Papua, Jayapura terbagi menjadi lima distrik, yaitu Distrik Jayapura Selatan, Distrik Jayapura Utara, Distrik Muara Tami, Distrik Abepura, dan Distrik Heram. Distrik sebenarnya hanya nama lain dari kecamatan. Penggunaan kata distrik bikin Jayapura terkesan sebagai sebuah tempat futuristik dan modern ala film-film Barat. Tapi Jayapura tampaknya juga sedang ingin mengejar modernitas. Pohon-pohon di gunung mulai habis tergantikan tumbuhan beton. Ruko dan perumahan sudah seperti gulma, ada di mana-mana. 

Berita dan cerita yang beredar tentang kota ini lebih banyak seputar pencurian, demo, kerusuhan, atau pemabuk yang membuat onar. Tapi, berita dan cerita kurang sedap itu tentu tak bikin kedua kawan tangguh itu ciut nyali. Selama di Jayapura kami tinggal di markas Creative Digital Papua. Berlokasi di Tanah Hitam, jaraknya hanya 3 km dari pusat kota Abepura. Sebenarnya base camp ini adalah kos petakan milik Muhajir, kawan SMP saya. Dia menjadikannya sebagai tempat berkumpul anak-anak muda.

Beberapa peristiwa yang menguji ketangguhan kami masih bisa saya ingat dengan jelas. Salah satunya adalah waktu Mawski sedang mengambil gambar di menara TVRI yang lebih dikenal sebagai Jayapura City Tower. Dari sana, pemandangan Jayapura dari atas bukit bagus sekali, apalagi jika direkam saat peralihan dari sore ke malam. Ternyata waktu itu sekelompok orang juga berpikiran sama. Bedanya, bagi mereka momen itu adalah waktu yang tepat untuk menikmati alkohol. 

Otomatis apa dilakukan Mawski dengan kameranya menarik perhatian mereka. Beberapa di antara mereka kemudian mulai mencoba mendekat dalam keadaan linglung dan mulut berbau alkohol. Untungnya Mawski cukup santai dan tahu harus melakukan apa. Tanpa rasa canggung dia menyapa mereka seperti sudah saling kenal. Dengan pendekatan basa-basi, akhirnya dia menyelesaikan urusan dengan aman.

Salah satu sesi wawancara/Syukron

Ada juga satu kejadian saat kami mewawancarai salah seorang narasumber. Mungkin karena tidak pernah diwawancarai depan kamera, sang narasumber cukup kaku berhadapan dengan lensa. Tapi, keluwesan Ayos membuka obrolan dan menggali cerita tanpa disadari membuat kekakuan mencair. Lama-lama, sang narasumber bahkan seperti lupa bahwa dirinya sedang direkam. Perjalanan mengajarkan kita bagaimana memperlakukan orang. Dengan terus mengasah diri, kita juga ikut terbentuk. 

Tapi tak selamanya jalan itu mulus. Dalam perjalanan itu, kami sarapan nasi kuning tiap pagi, makan siang tak menentu, dan makan malam kadang-kadang kami santap tengah malam. Pola tidur kami juga berantakan. Dengan pola makan dan tidur yang berantakan itu, kami asyik bermain ke sana kemari. 

Dan akhirnya ketangguhan Ayos dan Mawski pun memudar. Mereka serempak merasa badan tak enak. Demam mereka, dan muka pucat. Saya? Dengan cuek, seperti biasa, saya anggap saja itu karena mereka kurang makan.

“Dikasih makan sate kambing pasti sembuh,” celetuk saya dengan yakin.

Dan mereka percaya saja, sampai Muhajir melihat keadaan mereka lalu berkata bahwa mereka harus segera tes darah. Muka mereka yang sebelumnya pucat berubah jadi hampir transparan. Dengan lemas, mereka meminta saya mengantarkan mereka ke rumah sakit untuk tes darah. Setelah tes darah dan diperiksa dokter, ternyata ketahuan kalau mereka memang kena gejala malaria.

Berfoto setelah terdiagnosis mengalami gejala malaria/Syukron

Kami saling tatap. Saya menatap untuk mencemooh ketidaktangguhan mereka; mereka menatap dengan pandangan ingin membunuh saya di tempat.

The post Bertiga ke Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertiga-ke-jayapura/feed/ 1 23194
Buku yang Mencari Pembaca https://telusuri.id/buku-yang-mencari-pembaca/ https://telusuri.id/buku-yang-mencari-pembaca/#respond Sun, 21 Jun 2020 16:59:13 +0000 https://telusuri.id/?p=22553 “Buku yang mencari pembacanya.” Waktu mendengar kalimat itu dari Ajo saya hanya tertawa. Lawakannya masih garing seperti biasa. Logikanya ‘kan pembaca yang mencari buku. Tapi, saya benci mengatakan bahwa lawakan garing Ajo itu ternyata benar...

The post Buku yang Mencari Pembaca appeared first on TelusuRI.

]]>
“Buku yang mencari pembacanya.” Waktu mendengar kalimat itu dari Ajo saya hanya tertawa. Lawakannya masih garing seperti biasa. Logikanya ‘kan pembaca yang mencari buku. Tapi, saya benci mengatakan bahwa lawakan garing Ajo itu ternyata benar adanya.

Buku Life of Pi menjadi saksi bisu bahwa ternyata buku mencari pembacanya. Novel Yann Martel itu ada di antara puluhan buku dan alat tulis yang dikirim oleh Tri Widya Asrie, sahabat dari Bali yang biasa kami panggil Neng. Dia memang giat mengumpulkan donasi buku melalui wadah Good Things For Good People untuk dibagikan ke berbagai daerah. Neng berbaik hati mengumpulkan buku untuk didonasikan ke Pulau Kapoposang, tempat saya tinggal. Pulau ini memang minim buku dan rencananya kami akan membuat rumah baca.

Buku "Life of Pi" karya Yann Martel/Syukron
“Life of Pi” karya Yann Martel/Syukron

Coba bayangkan: sebuah buku usang dengan sampul sudah mulai lusuh berkelana dari pemilik pertamanya—yang entah tinggal di mana—lalu sekarang bisa sampai ke tangan saya di sebuah pulau kecil jauh dari mana-mana. Kopian Life of Pi yang sampai ke Kapoposang ini tampaknya adalah sebuah kado untuk seseorang yang berulang tahun. Di halaman judul ada beberapa ucapan tulis tangan dari para pemberinya. Tak jelas nama sang pemilik buku, tapi di halaman persembahan ada sebuah sajak panjang tentang Tuhan, dengan nama, tanda tangan, dan tahun: 2006.

Saat membolak-balik halamannya, saya mendapat kejutan lain, yakni selembar foto triptik khas kotak-berfoto (photobox). Dalam bingkai-bingkai triptik itu lima perempuan muda mejeng seperti gengnya Cinta dalam film AADC.


Saya lupa kapan kali terakhir menamatkan sebuah buku. Padahal, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga kuliah, membaca buku adalah kegiatan menghabiskan waktu yang menyenangkan buat saya. Sekarang, internet adalah penggoda utama yang mendistraksi dan menghalangi saya menyantap buku. Membaca buku seperti tak seasyik dulu.

Ketika memegang buku Life of Pi, yang pertama kali terbayang adalah filmnya. Saya justru mengenal buku ini setelah menonton film adaptasinya yang disutradarai Ang Lee. Filmnya sangat memukau mata dan seperti nyata. Namun, meskipun sudah mengetahui jalan ceritanya, saya tetap tergerak untuk membuka buku peraih Man Booker Prize tahun 2002 ini. Sebagai bahan bakar agar tak berhenti di halaman-halaman pertama, saya tantang diri ini untuk menamatkannya, membacanya dari depan sampai belakang.

Foto triptik dalam “Life of Pi”/Syukron

Halaman-halaman buku ini mengisahkan keping-keping kehidupan Piscine Molitor Patel atau Pi. Pi tinggal di Pondicherry, India, bersama ayahnya yang keras, ibunya yang penyayang, dan kakaknya yang selalu menjahilinya. Ayah Pi adalah pemilik sekaligus pengurus sebuah kebun binatang di kota itu. Tapi, pada suatu masa keadaan memaksa keluarga itu untuk menjual kebun binantang mereka, pergi dari Pondicherry, dan mengarungi samudra menuju Kanada. Itulah awal petualangan Pi meniti garis antara hidup dan mati.

Kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Pi mujur karena menemukan sekoci. Semula ia bertahan bersama beberapa ekor binantang. Namun, yang menjadi temannya sampai akhir—setelah berjuang menghadapi ketakutan, kelaparan, dan keputusasaan selama 227 hari— ketika lunas sekocinya menyetuh pasir di sebuah pantai di Meksiko adalah seekor harimau Benggala seberat 225 kg bernama Richard Parker.

Halaman demi halaman Life of Pi membuat rasa penasaran dalam diri saya dibawa jalan-jalan naik roller coaster. Kadang saya lega dibawa menurun ke cerita-cerita yang menenangkan, di waktu lain saya dibawa naik ke puncak ketidakpastian—untuk kemudian dihempaskan lagi pada kelegaan yang mencurigakan. Tapi, di akhir cerita Life of Pi, keraguan seakan-akan tersisa seperti noda di baju.


Buku Life of Pi menjadi teman perjalanan ke Pangkep dari pulau Kapoposang. Membaca kisah hidup Pi Patel di kapal joloro serasa ikut masuk dalam dunianya, lebih dari menonton film 3D di bioskop. Sensasinya sangat terasa. Pi seperti duduk di samping saya yang menatap jauh ke laut dan bersama-sama kami melihat ikan berloncatan, merasakan bagaimana diayun-ayunkan gelombang, mencicipi percikan-percikan air asin….

Banyak sekali kutipan dalam novel ini yang cocok untuk direnungkan di kapal. Salah satunya: “Iman adalah rumah dengan banyak kamar. Dan ada ruang untuk keraguan dalam setiap lantainya.”

Saya mengangguk-angguk. Manusia wajar saja merasa ragu dengan agama. Agama dan iman adalah proses perjalanan, bukan sekadar menemukan Tuhan dan berhenti di sana.

Sajak tentang Tuhan di halaman persembahan buku "Life of Pi"/Syukron
Sajak tentang Tuhan di halaman persembahan buku “Life of Pi”/Syukron

Akhirnya saya menamatkan buku Life of Pi. Dan saya dapat bonus: rasa penasaran saya terhadap membaca kini kembali. Membaca buku ibarat menjelajahi alam yang selalu saja menyimpan kejutan-kejutan.

Tampaknya saya harus berterima kasih pada sang pemilik buku dan Geng Cinta-nya. Jika teman-temannya tidak menghadiahkan buku ini padanya, tak mungkin saya bisa membaca kisah Pi. Dan jika sang pemilik hanya menyimpan buku ini di raknya, tak memperbolehkannya ke mana-mana, buku ini juga tidak akan berada di tangan saya.

Setelah oleh saya, kisah Life of Pi akan dibaca oleh anak-anak Pulau Kapoposang. Saya yakin mereka juga akan memberi makna pada Pi dan petualangannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Buku yang Mencari Pembaca appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buku-yang-mencari-pembaca/feed/ 0 22553
Salam Kompak https://telusuri.id/salam-kompak/ https://telusuri.id/salam-kompak/#respond Wed, 17 Jun 2020 13:54:32 +0000 https://telusuri.id/?p=22394 Saya tidak tahu idenya siapa, tapi kejenuhan menghadapi kerja dari rumah semasa corona membuat teman-teman saya di Rombak menginisiasi kumpul-kumpul di Google Hangout pada Jumat malam untuk berbagi pengalaman mistis. Sebenarnya itu bukan tema favorit...

The post Salam Kompak appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tidak tahu idenya siapa, tapi kejenuhan menghadapi kerja dari rumah semasa corona membuat teman-teman saya di Rombak menginisiasi kumpul-kumpul di Google Hangout pada Jumat malam untuk berbagi pengalaman mistis.

Sebenarnya itu bukan tema favorit saya. Nonton film horor saja saya bisa teriak histeris setengah mampus. Tapi, karena penasaran dengan cerita mereka, akhirnya saya beranikan diri untuk gabung dalam kumpul-kumpul virtual itu. Dan cerita-cerita mereka memancing saya mengingat pengalaman-pengalaman tak terjelaskan—yang sering diistilahkan orang-orang sebagai “pengalaman mistis”—yang pernah saya alami.

Banyak.

Kalau diingat-ingat, tiap berpindah-pindah tempat hampir selalu ada saja peristiwa mengandung unsur mistis yang saya alami. Saya sendiri heran magnet seperti apa yang menarik mereka? Bukannya lawan jenis, yang tertarik pada saya malah “hal-hal yang tak terjelaskan.”

Kata sahabat saya, Like, saya ini tipikal “tempelable,” artinya makhluk halus senang menempel ke saya. Antara bangga dan sedih saya mendengarnya.

Untuk yang suka bertualang, memang saya ini bukan termasuk contoh teladan. Saya ini teledor dalam hal kepekaan sosial. Saya juga tak punya budaya yang bisa dibawa. Orangtua saya berdarah Jawa tapi saya tidak bisa bahasa Jawa. Lahir dan besar di Papua, ingin mengaku orang Papua tapi rambut saya tidak keriting. Mempunyai identitas budaya ini cukup penting, karena pembawaan kita itulah yang mewakili dari mana kita berasal. Mengetahui asal leluhur akan membuat kita tahu bagaimana bersikap; yang kita anggap sopan belum tentu sopan di tempat lain.

Saya masih ingat petuah Pak Yogi, salah seorang sosok yang mengajarkan saya soal menghormati budaya dan menjaga perilaku. “Di mana pun kamu berada, selalu ingat yang menyukai kita itu ada juga yang tak terlihat. Karena itu [men]jaga sikap dan tingkah laku cukup penting,” ujarnya. “Menyenangkan orang itu baik, tapi bukan berarti kita sampai lupa melindungi diri.”

Pertemuan dengan Pak Yogi sebenarnya tidak disengaja. Belitung menjadi saksi sejarahnya. Saat itu saya berada dalam kondisi yang cukup aneh—gelisah tidak jelas, melamun, dan muka pucat tidak biasa. Ali dan Deo, teman-teman saya di Belitung, merasa apa yang terjadi pada saya bukanlah sakit biasa. Saya direkomendasikan untuk bertemu ustad. Singkat cerita, kami pun bertemu Pak Yogi dan dari hasil penglihatannya memang ada yang menyukai saya sampai-sampai masuk ke dalam saya punya tubuh.

Dari beliaulah saya sedikit belajar untuk memaknai perjalanan tidak semata dari hal-hal yang tampak.

Belitung memang bukan cerita pertama. Berulang kali saya merasakan hal yang sama di tempat-tempat yang berbeda. Yang paling sering saya alami adalah ketindihan. Saat tidur, badan saya serasa lumpuh, tak bisa bergerak, padahal pikiran rasanya sudah bangun. Tapi ketindihan ini ada istilah ilmiahnya, yakni kelumpuhan tidur (sleep paralysis), sebuah keadaan ketika otak belum siap untuk mengirimkan sinyal bangun sehingga tubuh masih dalam kondisi setengah tidur-setengah sadar. Biasanya kondisi itu disertai kesulitan untuk bernapas. Rasanya ingin berteriak tapi suara tak bisa keluar dari mulut. Kadang ketindihan dibarengi juga dengan halusinasi melihat hal-hal seram—yang sering diterjemahkan sebagai makhluk halus.

Sensasi ketika merasa ketempelan atau kesurupan beda lagi. Pertama, perasaan saya yang “kena”—tak enak, gelisah, bingung. Selanjutnya badan saya jadi pegal, tak jelas sebabnya. Seterusnya, banyak yang terasa terlewatkan sampai-sampai saya lupa sudah melakukan apa saja hari itu. Pernah mengendarai motor lalu tiba-tiba sudah sampai di tujuan tanpa tahu bagaimana atau jalan apa saja yang sudah kau lewati? Itu sama dengan kesurupan. Hanya saja kesurupannya masih dalam batas ringan.

Sama seperti ketindihan, kesurupan juga ada penjelasannya ilmiahnya. Kondisi ini dipandang sebagai sebuah keadaan patologis, keadaan yang memberi efek negatif atau mengganggu. Dalam istilah psikologi, kesurupan disebut sebagai Dissociative Identity Disorder (DID) atau gangguan identitas disosiatif.

Jadi, ada dua pandangan dalam melihat peristiwa-peristiwa “mistis” tersebut. Ada yang percaya itu adalah gangguan makhluk halus, ada yang melihatnya sebagai sebuah kondisi kejiwaan. Tapi, bagi saya, mau dinilai dari aspek mana pun, pengalaman-pengalaman itu sama-sama bikin kesal.

Sebagai orang yang pernah mengalaminya sendiri—dan sebagai orang yang pernah melihat kejadian itu dialami oleh orang lain—biasanya saya mengacuhkan saja, entah itu ketindihan, kesurupan, atau ketempelan. Tapi, di satu waktu, saya dapat saran dari beberapa teman untuk diam sejenak jika memang perasaan saya sedang tidak tenang, juga membaca istigfar dan ayat-ayat Alquran. Awalnya takut, tapi lama-lama hal itu saya anggap sebagai angin lalu; akhirnya saya sampai pada tahap pasrah. Namun, susah-susah pasrah, tetap saja saya akan ketahuan teman-teman jika sedang mengalami sesuatu, sebab muka dan perasaan saya tak pernah kompak. Biasanya, jika sudah mulai merasa seperti itu saya segera pergi, bisa ke luar daerah itu bahkan ke luar pulau.

Anehnya, walaupun pengalaman-pengalaman itu bagi saya mengerikan, teman-teman saya kelihatannya tidak ada takut-takutnya. Mereka justru merasa itu sebagai semacam sifat alami saya yang akan bikin perjalanan lebih dramatis. “Seru jalan sama kau,” kata mereka. “Kalau kesurupan lucu.”

Ngok!

Saat menulis ini, badan saya terasa seperti sedang memanggul beras 30 kg disertai pikiran gelisah karena sudah sebulan merasa ketempelan dan belum juga ada tanda-tanda usai. Berkat corona, saya tidak boleh ke mana-mana, tak bisa melipir sejenak pergi ke luar pulau untuk melarikan diri.

Sudahlah. Setidaknya, kalau “dia” melihat tulisan ini, saya mau bilang: “Salam kompak, setan!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Salam Kompak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/salam-kompak/feed/ 0 22394
Mengenang Pangalengan https://telusuri.id/mengenang-pangalengan/ https://telusuri.id/mengenang-pangalengan/#respond Fri, 12 Jun 2020 16:51:26 +0000 https://telusuri.id/?p=22289 Dengan hamparan kebun teh, kentang, dan kopi Malabar, Pangalengan tidak sepopuler Ciwidey. Padahal jaraknya cukup berdekatan.  Di salah satu desa di Pangalenganlah saya menghabiskan waktu setahun lebih tinggal di sebuah rumah kontrakan tiga kamar. Sang...

The post Mengenang Pangalengan appeared first on TelusuRI.

]]>
Dengan hamparan kebun teh, kentang, dan kopi Malabar, Pangalengan tidak sepopuler Ciwidey. Padahal jaraknya cukup berdekatan. 

Di salah satu desa di Pangalenganlah saya menghabiskan waktu setahun lebih tinggal di sebuah rumah kontrakan tiga kamar. Sang pemilik kontrakan berbaik hati menyewakan rumah beserta isinya dengan harga dua kali lipat lebih murah daripada kontrakan di Bandung. Hasil bumi seperti sayuran di Pangalengan harganya juga relatif murah. Lebih segar pula tentunya. Alasan lainnya kenapa saya tinggal dalam waktu lama di sana adalah karena akhirnya saya bisa merasakan dingin yang selalu saya anggap mewah; Pangalengan adalah tempat bagi saya untuk balas dendam.

Kabut pagi di Pangalengan
Kabut pagi di Pangalengan/Syukron

Dari kecil hidup di wilayah tropis membuat saya selalu beranggapan bahwa dingin itu hanya untuk orang kaya. Untuk merasakan suasana dingin, rumah kita perlu AC—dan itu pasti mahal harganya—atau kita perlu liburan dan mengeluarkan uang untuk menginap di vila dengan latar pegunungan seperti dalam sinetron. Sewaktu bersekolah dan menikmati romantisme Jogja, Kaliurang selalu menjadi tempat favorit saya untuk sekadar merasakan dinginnya udara. Terkadang, jika ada waktu yang lebih luang, Tawangmangu ataupun Dieng menjadi sasaran saya. Segarnya akurat. Cocok dengan hobi saya yang tak suka mandi.

Kebun di belakang rumah/Syukron

Begitulah. Sampai sekarang saya tetap beranggapan bahwa merasakan suasana sejuk, segar, dan dingin adalah kemewahan. Karena itulah ketika mengenal Pangalengan saya merasa tempat itu pas untuk melampiaskan dendam masa kecil saya.

Saya tak hafal berapa Celsius Pangalengan saat pagi hari, mungkin 10 atau 15 derajat. Yang pasti, minyak goreng di rumah selalu membeku padahal tidak dimasukkan ke dalam kulkas. Dan jangan harap teh panasmu akan bertahan lama. Melamun sebentar saja minuman itu sudah keburu dingin.

Kebun teh dan permukiman di Pangalengan
Kebun teh dan permukiman di Pangalengan/Syukron

Selama tinggal di Pangalengan, saya mesti beradaptasi. Tidak manja dengan dingin menjadi syarat utama. Dingin itu memanjakan. Selimut dan kasur lebih menggoda daripada keluar rumah. Saya juga jadi membiasakan mandi tanpa memanaskan air, walaupun untuk itu saya harus berjuang mengumpulkan niat.

Pangalengan memang cocok buat mereka yang suka bermalas-malasan. Atau ingin menikmati hidup santai. Menikmati pensiun hari tua, orang bilang. Sayangnya, saya bukan di golongan itu, sebab tidak punya tunjangan pensiun. Sekali lagi saya bilang, tujuan saya tinggal di Pangalengan adalah untuk menjawab rasa penasaran saya sejak kecil.

Jalan tanah Pangalengan
Suasana salah satu sudut pasar di Pangalengan
Jalan tanah (atas) dan suasana salah satu sudut pasar di Pangalengan (bawah)/Syukron

Kabut tipis selalu hadir di antara pagi dan sore hari, membuat jarak pandang di luar menjadi terbatas. Kesannya memang misterius. Tapi, selama di Pangalengan, ketimbang mengingat film horor, saya lebih sering membayangkan film Kabayan yang kerap mengangkat suasana pedesaan di gunung. Ada salah satu adegan yang bagi saya membekas dalam film itu, yakni saat Nyi Iteung (Nike Ardilla) menangis di kebun teh. Melihat Kabayan (Didi Petet) sedang mengobrol asyik berdua dengan entah siapa, Nyi Iteung cemburu. Padahal Kabayan yang polos itu sedang berbicara dengan jin. Dialognya saya lupa, tapi suasana tempatnya masih jelas dalam ingatan.

Selain ke pasar membeli kebutuhan di rumah, menyusuri jalan-jalan di Pangalengan adalah salah satu kegiatan favorit saya. Senang sekali rasanya melihat hamparan teh di Cukul, atau makan mi ayam di depan Vila Jerman, atau menikmati matahari terbit di Situ Cileunca, atau bersantai di Gunung Nini.

Sebuah sore di Pangalengan yang diselimuti halimun/Syukron
Sebuah sore yang diselimuti halimun/Syukron

Pada akhirnya saya memang harus meninggalkan Pangalengan untuk pergi ke tempat lain. Saya mesti berkata cukup untuk Pangalengan, meskipun saya tidak bisa juga mengatakan bahwa dendam saya untuk tinggal di tempat dingin sudah mencair. Tapi, kadang hal-hal yang tidak tercukupkan itulah yang membuat rindu terhadap masa lalu terasa lebih menyenangkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Pangalengan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-pangalengan/feed/ 0 22289
Catatan dari Sungai Subayang https://telusuri.id/catatan-dari-sungai-subayang/ https://telusuri.id/catatan-dari-sungai-subayang/#respond Tue, 09 Jun 2020 16:14:17 +0000 https://telusuri.id/?p=22259 Mobil Avanza hitam berpelat BM itu melenggang penuh percaya diri di sebuah jalan lintas di Pekanbaru. Lalu kami mulai masuk ke jalan yang tak terlalu mulus dan mendaki-menurun. Semula saya hendak mengingat setiap belokan dan...

The post Catatan dari Sungai Subayang appeared first on TelusuRI.

]]>
Mobil Avanza hitam berpelat BM itu melenggang penuh percaya diri di sebuah jalan lintas di Pekanbaru. Lalu kami mulai masuk ke jalan yang tak terlalu mulus dan mendaki-menurun. Semula saya hendak mengingat setiap belokan dan persimpangan yang kami lalui, namun saya batalkan niat itu. Tidur lebih menarik.

Dari Ibu Kota Riau, Pekanbaru, kami menempuh sekitar tiga jam perjalanan menuju Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Desa Tanjung Belit secara administratif berada dalam daerah penyangga Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Ada pula hutan adat di sekitar kawasan konservasi tersebut. Wilayah ini juga dibelah oleh aliran Sungai Subayang yang masih dipelihara turun-temurun lewat nilai dan budaya setempat.

Memasuki Desa Tanjung Belit, saya merasa bahwa tempat itu tak beda jauh dari desa-desa pinggiran lainnya. Dibandingkan desa-desa “biasa,” Desa Tanjung Belit seperti ditinggalkan oleh kereta waktu sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun. Rumah-rumah tanpa pagar atau patok yang jelas. Halaman luas dinaungi pohon-pohon yang rindang. Sebagian besar rumah masih berdinding kayu. Saya suka dengan rumah berdinding kayu ketimbang rumah beton. Saya ingin punya rumah seperti itu. Dari rumah-rumah itu terpancar kehangatan dan kesederhanaan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Meskipun sedikit, ada jejak modernisasi yang tampak, misalnya pada parabola dan kabel listrik yang menjuntai di sana.

Salah satu rumah di Desa Tanjung Belit/Syukron
Salah satu rumah di Desa Tanjung Belit/Syukron

Kami selama beberapa hari akan tinggal di salah satu rumah warga. 

Desa Tanjung Belit saat itu sedang mencoba membuka diri dengan membuat tempat wisata. Air terjun di sekitar desa cukup banyak, salah satu yang dipopulerkan adalah Air Terjun Batu Dinding. Jaraknya sekitar setengah jam berjalan kaki dari desa. Para pemuda menganggap wisata bisa menjadi alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat setempat. Salah satu bentuk keseriusan mereka adalah membentuk kelompok Ikatan Pemuda Ekowisata untuk mengelola ekowisata air terjun. Namun, jauh sebelum itu, Rimbang Baling memang sudah menjadi lokasi wisata minat khusus bagi mahasiswa dan peneliti untuk mempelajari keanekaragaman hayati sungai dan hutan.

Air Terjun Batu Dinding/Syukron
Air Terjun Batu Dinding/Syukron

Keesokan harinya kami menyusuri Sungai Subayang naik perahu kecil bermotor. Yang tak terbiasa pastinya akan kesulitan menaikinya, sebab dibutuhkan keseimbangan agar tidak terlalu berat ke kiri atau ke kanan. Rute kami melawan arus sungai. Basah sedikit kecipratan air adalah kewajaran. 

Dari perahu itu saya bisa lihat bahwa sungai memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar. Selain sebagai jalur transportasi, Sungai Subayang juga dimanfaatkan sebagai tempat mandi, mencuci, hingga sumber ikan. Sayangnya, sekarang kondisi Sungai Subayang mulai keruh dan kotor akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Menurut informasi, penyebabnya antara lain aktivitas transportasi kayu, penggunaan bahan kimia, dan penambangan di hulu sungai. Tak terbayang berapa orang yang akan terkena imbasnya jika persoalan kerusakan sungai ini tak segera diselesaikan.

Di pinggir Sungai Subayang/Danar Tri Atmojo
Di pinggir Sungai Subayang/Danar Tri Atmojo

Kebijaksanaan lokal sebenarnya sudah menyediakan cara turun-temurun untuk menjaga kesimbangan ekosistem desa. Ada sebuah tradisi untuk menyepakati membatasi sebuah area yang dinamakan Lubuk Larangan. Para tetua adatlah yang menetapkan batas-batasnya dan wilayah perairan itu terlarang bagi aktivitas manusia, kecuali pada waktu-waktu yang ditentukan, misalnya saat puncak musim kemarau atau menjelang Idulfitri. Para pelanggar akan mendapatkan sanksi yang ditetapkan para tetua adat.

Lubuk Larangan adalah bentuk kearifan lokal yang mengikat antara masyarakat dan hutan. Sebagai salah satu penghuni Rimbang Baling, masyarakat harus sadar betul bahwa hutan dan sungai tak bisa dipisahkan. Apalagi di Desa Tanjung Belit jelas bahwa yang berubah bukan tempat melainkan manusianya. Manusia bertambah, keinginan bertambah, tapi tempat tetap sama. Tradisi yang mencoba meredam keinginan manusia itu.

Percikan air Sungai Subayang membuyarkan lamunan saya. Perahu kami masih terus berjalan, makin dalam, dan makin dalam menjauhi permukiman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Catatan dari Sungai Subayang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-dari-sungai-subayang/feed/ 0 22259
“Discover Scuba Diving” di Yoro https://telusuri.id/discover-scuba-diving-di-yoro/ https://telusuri.id/discover-scuba-diving-di-yoro/#respond Mon, 08 Jun 2020 09:04:00 +0000 https://telusuri.id/?p=22213 Saya masih ingat pagi itu tanah Pulau Binongko lembap sehabis mendapatkan guyuran hujan semalam. Genangan air di jalanan cor semen berlubang jadi tanda bahwa semenjak dibuat tak ada pemeliharaan. Motor yang saya kendarai menjadi sedikit...

The post “Discover Scuba Diving” di Yoro appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya masih ingat pagi itu tanah Pulau Binongko lembap sehabis mendapatkan guyuran hujan semalam. Genangan air di jalanan cor semen berlubang jadi tanda bahwa semenjak dibuat tak ada pemeliharaan. Motor yang saya kendarai menjadi sedikit berlumpur.

Jalan-jalan di Pulau Binongko selalu bersambungan walau ibarat labirin. Kalau bingung, kita tinggal ambil arah pantai, susuri saja, nanti juga sampai. Maka tak butuh waktu lama bagi saya untuk menghafal lekuk-lekuk jalan di Binongko.

Itu hari kedua saya bersama teman-teman tinggal dan melihat aktivitas masyarakat di sana. Kami menikmati alunan tempa para pengrajin pandai besi yang sedang membuat parang dan pisau dapur, mengenal sejarah Binongko dari makam Wa Ode Goa, juga melepas tukik di Pantai Yoro. Pulau Binongko sedang bersolek. Akomodasi homestay sudah mulai dibenahi agar sesuai standar penginapan. Produk olahan seperti abon ikan di Desa Jaya Makmur juga tak luput dari perhatian dan dikemas jadi lebih menarik. Harapannya, itu akan menjadi buah tangan khas Pulau Binongko.

Sehabis hujan di Binongko/Widhibek
Sehabis hujan di Binongko/Widhibek

Binongko adalah pulau besar terjauh di Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko). Dari Wangi-wangi, ibu kota kepulauan itu, perlu waktu cukup lama untuk tiba di Binongko, yakni sekitar enam jam. Dalam hal wisata selam, namanya masih kalah tenar ketimbang Pulau Tomia.

Soal selam ini, ada dua hal yang menarik dari Binongko. Pertama, meskipun pulau itu bagian dari sebuah kepulauan yang namanya menggaung ke mana-mana sebagai tujuan wisata selam, tak banyak warga Binongko yang bisa menyelam dengan peralatan scuba diving. Kedua, di Binongko tidak ada dive center. Jika ingin menyelam, peralatan bisa disewa di Pulau Tomia. Tapi, perhitungan serta persiapan alat pun harus cermat. Jarak antara dua pulau tersebut lumayan jauh, terpaut dua jam perjalanan. Akan konyol sekali jika kita lupa membawa salah satu komponen. Namun, meskipun tidak seramai Tomia, titik-titik penyelaman di Binongko menarik. Di perairan pulau itu masih ramai penyu dan hiu.

Ketika pagi itu kami tiba di dermaga, Simba, nama kapal cepat yang akan kami tumpangi, sudah siap. Rencananya hari itu kami akan menyelam di tiga titik di sekitar Pulau Binongko.

Menuju titik penyelaman pulau Binongko/Widhibek
Menuju titik penyelaman/Widhibek

Kami mengajak salah seorang anak pulau untuk ikut ke bawah laut bersama kami. Astina namanya. Gadis berkerudung itu baru saja menyelesaikan sekolahnya di Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan di Wangi-wangi. Sebagai anak muda pulau, minatnya untuk mengembangkan wisata di Pulau Binongko cukup besar. Dia bahkan ingin melanjutkan sekolah lagi agar bisa membangun pulaunya. Dia sempat merasakan pelatihan selam, namun hanya sebatas praktik di sekolah. Belum pernah dia merasakan langsung menyelam di perairan Binongko.

Karena dia belum punya sertifikat selam, yang kami lakukan adalah mengajaknya ikut program Discover Scuba Diving (DSD), yakni pengenalan dasar tentang penyelaman. Jadi, walau belum memiliki sertifikat selam, peserta DSD bisa merasakan aktivitas penyelaman dipandu langsung oleh instruktur. Kedalamannya tidak boleh lebih dari 12 meter.

Lokasi DSD bersama Astina di depan Pantai Yoro. Sebelum turun, dia diberikan pengarahan—sebuah kewajiban sebelum penyelaman. Sebagai instruktur, membawa peserta DSD rasanya seperti membawa anak—sekaligus rasa keingintahuan dan takutnya—ke taman bermain untuk kali pertama. Tugas pelatih adalah meyakinkan penyelam itu untuk tetap tenang dan selalu bertindak sesuai petunjuk. Untungnya, perairan sekitar Binongko yang tenang kali itu cukup membantu Astina untuk tetap relaks. Dia kelihatan berusaha betul menikmati penyelaman pertamanya di perairan terbuka itu. Lama-kelamaan, irama ayunan kakinya sudah tak lagi terburu-buru. Dia sudah mulai tenang.

Discover Scuba Diving di depan Pantai Yoro, pulau Binongko
DSD bersama Astina/Widhibek

Saya juga berusaha untuk tetap tenang. Dalam penyelaman, kita harus saling percaya kepada buddy—apalagi untuk DSD. Astina tidak akan berani menyelam jika saya ragu-ragu, demikian pula saya. Jika saya panik dan tidak siap mengatasi rasa grogi Astina di bawah laut, berantakanlah kegiatan menyelam itu.

Sekitar setengah jam di bawah laut, saya memberikan sinyal kepada Astina untuk naik ke permukaan. Kami naik dan saya melihat wajahnya berseri-seri. Sepertinya dia sudah tidak sabar hendak menceritakan pengalaman DSD kepada teman-temannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Discover Scuba Diving” di Yoro appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/discover-scuba-diving-di-yoro/feed/ 0 22213