Tika Ulfianinda https://telusuri.id/penulis/tika-ulfianinda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 02 Nov 2019 13:54:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Tika Ulfianinda https://telusuri.id/penulis/tika-ulfianinda/ 32 32 135956295 Itinerary Liburan Jogja dalam Satu Hari https://telusuri.id/itenerary-liburan-jogja-dalam-satu-hari/ https://telusuri.id/itenerary-liburan-jogja-dalam-satu-hari/#comments Fri, 01 Nov 2019 13:01:31 +0000 https://telusuri.id/?p=18419 “Kapan ke Jogja lagi… Kapan ke Jogja lagi….” Sepenggal lirik lagu dari EveryDay di atas sering saya dengar ketika jauh dari Jogja. Ketika mendengarnya, yang terbayang adalah tempat-tempat bagus dan kulinernya yang enak-enak. Sayangnya, terkadang...

The post Itinerary Liburan Jogja dalam Satu Hari appeared first on TelusuRI.

]]>

“Kapan ke Jogja lagi… Kapan ke Jogja lagi….”

Sepenggal lirik lagu dari EveryDay di atas sering saya dengar ketika jauh dari Jogja. Ketika mendengarnya, yang terbayang adalah tempat-tempat bagus dan kulinernya yang enak-enak. Sayangnya, terkadang waktu liburan yang sempit bikin pejalan tak bisa menikmati semua atraksi wisata di Jogja yang jumlahnya amat banyak itu.

Tapi kamu tak usah khawatir. Kali ini saya akan berbagi itinerary liburan di Jogja yang efisien secara waktu, jarak, dan bujet (baca: bensin). Karena yang jadi patokan utama adalah efisiensi—supaya nggak loncat-loncat—saya membatasi itinerary ini dengan atraksi-atraksi di daerah Imogiri dan Parangtritis.

Pagi di Kebun Buah Mangunan/Tika Ulfianinda

Menyambut matahari di Kebun Buah Mangunan

Mulailah hari dengan dengan catching the sunrise di Kebun Buah Mangunan. Perjalanan dari Kota Jogja menuju Kebun Buah Mangunan sekitar 30-45 menit di pagi hari dengan udara yang masih dingin dan sejuk. Saya sarankan kamu untuk berangkat dari kota pukul 05.00 WIB demi menghindari keramaian.

Saat matahari terbit, Kebun Buah Mangunan ini menawarkan view awan pagi yang mengambang di rekahan sungai, di antara bukit hijau dan langit biru yang cerah. Para pengunjung akan memadati ujung tebing untuk mendapatkan spot foto terbaik. Setelah lelah berfoto dan menikmati munculnya matahari, kamu bisa jajan camilan untuk sarapan di warung-warung yang berjejer di dekat lokasi parkir kendaraan. Tiket masuk Kebun Buah Mangunan Rp5.000.

puncak becici wisata jogja
Pemandangan dari Puncak Becici/Tika Ulfianinda

Menikmati udara segar di Puncak Becici

Setelah menyambut matahari, jangan sia-siakan udara pagi yang masih segar. Lanjutkan perjalananmu ke Puncak Becici yang jaraknya hanya sekitar 10 menit perjalanan dari Kebun Buah Mangunan.

Puncak Becici adalah hutan pinus. Dari gardu pandang di sana, kamu bisa melihat keindahan bukit-bukit sekitarnya. Siapkan uang parkir Rp3.000 kalau kamu pergi naik sepeda motor dan Rp10.000 kalau kamu datang dengan mobil.

Sarapan di Bumi Langit Institute (Warung Bumi)

Agar tetap sehat waktu liburan, lanjutkan perjalanamu ke Warung Bumi untuk sarapan. Warung Bumi menyediakan makanan dan minuman organik yang bahan-bahannya diambil dari kebun mereka.

Suasana warungnya adem sekali. Bangunannya berupa joglo dengan pohon-pohon rindang di sekitar. Kamu bisa ikut tur di kebun mereka. Dengan bayar Rp15.000 kamu akan dipandu berkeliling kebun dan diberikan ilmu seputar berkebun dan beternak.

pantai depok wisata jogja
Pemandangan di Pantai Depok/Tika Ulfianinda

Makan “seafood” di Pantai Depok

Setelah sarapan, lanjutkan perjalanan ke Pantai Depok. Dari Warung Bumi ke Pantai Depok perlu waktu sekitar 30 menit. Dalam perjalanan ke sana kamu bisa mampir dulu di Gumuk Pasir untuk sandboarding, sebab kedua lokasi berdekatan.

Lanskap Pantai Depok mirip dengan Pantai Parangtritis. Pasirnya berwarna gelap dan kamu bisa bermain air di bibir pantainya. Tapi, yang jadi atraksi utama di Pantai Depok adalah seafood segar yang bisa dibeli langsung di pasar ikan dan dimasak di warung-warung di pinggir pantai. Sambil menunggu makanan dimasak, kamu bisa menikmati suasana Pantai Depok dengan foto-foto atau duduk-duduk di depan warung.

Pemandangan dari Watu Gupit/Tika Ulfianinda

Melihat matahari terbenam di Watu Gupit

Kenyang makan seafood, waktunya catching the sunset di Watu Gupit. Dari Pantai Depok, Watu Gupit hanya terpaut sekitar enam kilometer, sekitar seperempat jam perjalanan. Berada di ketinggian, jalan ke sana menanjak tajam. Tapi, jangan khawatir, jalan menuju ke Watu Gupit sudah beraspal mulus.

Tiket masuk Watu Gupit Rp5.000/orang. Parkir roda empat Rp10.000 dan roda dua Rp5.000. Dari tempat parkir, kamu mesti jalan kaki menapaki anak tangga untuk sampai ke puncak. Di kanan jalur ada warung cukup besar yang menjual makanan dan minuman dengan harga sangat terjangkau.

Kamu bisa menikmati sore di atas warung sebelum puncak, yang di sana banyak meja dan kursi untuk menikmati Pantai Parangtritis dari ketinggian. Kalau sudah mendekati jam matahari terbenam, puncak Watu Gupit akan dipadati orang-orang yang ingin menikmati sunset dengan angin sepoi-sepoi.

Seporsi sate klathak/Tika Ulfianinda

Makan malam di Sate Klathak Mak Adi

Santap Sate Klathak Mak Adi di Jalan Imogiri Timur Kilometer 10 untuk makan malam. Bagi yang belum tahu, sate klathak adalah sate kambing muda khas Imogiri. Jika sate biasa ditusuk pakai lidi atau bambu, sate klathak ditusuk dengan jeruji sepeda.

Meskipun satu porsi hanya berisi dua tusuk sate, kamu tetap akan kenyang karena dagingnya besar-besar. Selain itu, seporsi sate klathak disajikan dengan sepiring nasi dan kuah kaldu yang gurih. Selain sate klathak, di Mak Adi juga tersedia tengkleng, tongseng, dan kicik, yang juga berbahan dasar daging kambing. Porsi masing-masingnya sekitar Rp20.000.

Setelah makan malam, kalau masih punya energi dan belum lelah, kamu bisa menikmati malam di Malioboro atau bersepeda ria di Alun-alun Kidul.

Seru ‘kan? Dalam satu hari kamu memang bisa berkunjung ke banyak tempat di Jogja. Tips dari saya, pastikan cuaca cerah saat liburan supaya kamu bisa dapat pemandangan bagus saat matahari terbit dan terbenam. Selain itu, usahakan membawa uang tunai karena umumnya tiket masuk, parkir, dan warung makan belum menyediakan mesin EDC.

Selamat liburan! Enjoy Jogja!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Itinerary Liburan Jogja dalam Satu Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/itenerary-liburan-jogja-dalam-satu-hari/feed/ 1 18419
Sederhananya Pulau Meosmanggara di Raja Ampat https://telusuri.id/pulau-meosmanggara-raja-ampat/ https://telusuri.id/pulau-meosmanggara-raja-ampat/#respond Tue, 22 Oct 2019 13:03:29 +0000 https://telusuri.id/?p=18198 Raja Ampat mungkin destinasi yang diimpikan banyak orang. Bagaimana tidak? Kepulauan Wayag dan Pianemo yang sangat terkenal itu tampak begitu mengagumkan di Google. Tetapi, dalam perjalanan kemarin saya tidak ke kedua gugusan kepulauan itu. Yang...

The post Sederhananya Pulau Meosmanggara di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Raja Ampat mungkin destinasi yang diimpikan banyak orang. Bagaimana tidak? Kepulauan Wayag dan Pianemo yang sangat terkenal itu tampak begitu mengagumkan di Google.

Tetapi, dalam perjalanan kemarin saya tidak ke kedua gugusan kepulauan itu. Yang saya tuju adalah sebuah pulau kecil tanpa sinyal bernama Meosmanggara. Bersama 26 orang teman, saya berkesempatan tinggal di sana selama hampir dua bulan.

Perjalanan panjang itu dimulai dari Bandara Adisucipto Yogyakarta (JOG) pukul 18.00 WIB menggunakan maskapai plat merah. Kami transit di Makassar (UPG) selama lima jam. Waktu transit ini saya pergunakan untuk makan malam dan tidur sejenak di boarding room.

Penerbangan selanjutnya pukul 02.50 WITA menuju Sorong dengan pesawat lebih kecil. Setiba di di Bandara Domine Eduard Osok (SOQ) pukul 07.00 WIT, kami naik bis menuju Pelabuhan Sorong kemudian lanjut lagi naik kapal ke Pelabuhan Waisai. Kapal Express Bahari yang kami tumpangi itu hanya beroperasi pada hari-hari tertentu. Jadi, jika hendak ke Waisai, usahakan untuk menyesuaikan waktu kedatangan pesawat dengan waktu keberangkatan kapal menuju Waisai. Tarifnya Rp150.000 dengan fasilitas bangku bernomor, AC yang dingin banget, televisi, dan kamar mandi.

Teluk Kabui/Tika Ulfianinda

Setelah dua jam perjalanan, tiba juga kami di Waisai, pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Raja Ampat. Cuaca saat itu sangat panas.

Saya dan tim tinggal selama tiga hari di Waisai. Setiap sore saya dan beberapa teman jalan-jalan keliling kota Waisai. Salah satu tempat yang kami datangi adalah Pantai WTC (Pantai Waisai Torang Cinta). Tidak ada pasir putih di bibir pantai itu, hanya ada tumpukan dinding batu dan jembatan kayu tempat para bocah lokal loncat ke laut. Di sana, kami membaur dengan bocah-bocah itu. Teman-teman saya yang laki-laki bahkan ikut berenang bersama mereka.

Dari Waisai, kami bertolak ke tujuan utama, Pulau Meosmanggara, dengan kapal milik bupati. Karena transportasi umum dari/ke Pulau Meosmanggara tidak ada, perjalanan hanya bisa dilakukan dengan kapal milik warga atau pemerintah. Kenyataan seperti inilah yang membuat berwisata ke pulau terpencil menjadi sulit untuk dilakukan.

Menuju Pulau Meosmanggara, kapal saya melewati sebuah tempat bernama Teluk Kabui. Kata sang nakhoda kapal, Teluk Kabui ini ibarat KW-nya Wayag, gugusan kepulauan karst dengan air laut yang super jernih. Tapi, meskipun dibilang KW, tetap saja rasanya saya ingin menyemplungkan diri!

Kapal saya akhirnya merapat di dermaga sederhana Pulau Meosmanggara. Saya dan tim disambut hangat oleh warga, yang kemudian berbaik hati membawakan gembolan kami yang berat-berat itu.

pulau meosmanggara
Ombak kecil menghempas ke Pantai Meosmanggara/Tika Ulfianinda

Pulau Meosmanggara kecil. Hanya ada 40 rumah warga. Tidak ada moda transportasi bermesin apa pun, entah motor atau mobil, di daratan. Jalan hanya berupa semen selebar satu meter, tidak beraspal. Benar-benar hidup bebas polusi.

Selama dua bulan saya dan tim tinggal di salah satu bangunan rumah bekas kantor PKK. Bangunannya berdinding kayu dan berlantai semen, dilengkapi dua kamar dan satu kamar mandi dengan bak mandi yang airnya harus diambil dari sumur yang berjarak lima meter dari dari sisi belakang rumah. Warga membuatkan dapur di luar rumah. Atapnya daun kelapa kering, dindingnya seng, mejanya dari kayu bekas, dan lantainya pasir pantai. Walau sederhana, dapur itu adalah saksi dari banyak resep spesial yang tercipta untuk mengenyangkan perut kami.

Di Pulau Meosmanggara hanya ada satu sekolah, SD YPK Ebenheizer. Gedung sekolah itu berlantai semen dengan papan tulis kapur. Jumlah siswa di tiap kelas bervariasi. Siswa kelas satu sampai kelas tiga biasanya paling banyak, bisa mencapai 30 orang. Tapi, siswa kelas empat dan kelas lima tidak sampai 10 orang.

Adik-adik yang bersekolah di SD YPK Ebenheizer menggunakan seragam selayaknya murid di tempat lain, merah-putih dan pramuka. Tapi, terkadang ada saja yang memakai seragam tidak sesuai jadwal. Sebagian besar dari mereka ke sekolah tanpa alas kaki. Hanya beberapa yang menggunakan sandal. Saya lihat-lihat, hanya satu atau dua orang yang menggunakan atribut lengkap—dasi, kaus kaki, dan sepatu.

Guru yang mengajar hanya empat orang termasuk sang kepala sekolah. Buku pelajaran tersedia, tapi sangat kurang. Sehari-hari, para murid hanya membawa satu buku tulis untuk merekam semua pelajaran yang mereka terima dari para guru.

pulau meosmanggara
Menggambar dan mewarnai bersama siswa-siswi kelas 3 SD YPK Ebenheizer/Tika Ulfianinda

Bel sekolah akan berbunyi pukul 10.00 WIT untuk memulangkan siswa kelas satu sampai kelas tiga, kemudian kembali bersuara pukul 12.00 WIT untuk melepas kepulangan anak-anak kelas empat sampai kelas enam. Jangan bayangkan belnya seperti yang biasa kamu lihat di depan rumah, yang begitu dipencet akan langsung bersuara. Bel SD YPK Ebenheizer cuma besi panjang yang harus dipukul kencang agar berbunyi.

Tapi, jangan kaget mendapati mereka sudah minta pulang sebelum bel berbunyi. Mereka sudah tak betah dan ingin segera bermain. Sepulang sekolah biasanya mereka akan bermain sampai hari mulai gelap. Halaman luas depan tempat tinggal kami—yang semakin ramai saat sore tiba—jadi salah satu taman bermain mereka. Kalau haus, mereka memetik buah kelapa langsung dari pohon.

Menjelang sore, jika hari itu saya piket masak, saya dan beberapa teman akan ke dermaga memancing ikan untuk dimakan. Tapi, memancing rupanya bukan hal yang mudah; mendapat ikan ternyata susah. Untungnya warga sering membagi hasil pancingan untuk kami jadikan lauk. Jadilah, selama dua bulan di sana, hampir setiap hari kami makan ikan yang dimasak dengan berbagai resep.

Masyarakat Meosmanggara memang sangat menggantungkan hidup pada alam, baik laut maupun daratan. Karena sangat bergantung pada alam, masyarakat Meosmanggara pun berkewajiban untuk melestarikannya. Salah satu cara yang mereka praktikkan adalah Sasi. Sasi, singkatnya, adalah pelarangan [untuk] menggunakan sumber daya alam dalam [rentang] waktu tertentu.

pulau meosmanggara
Salah satu pantai di Pulau Meosmanggara/Tika Ulfianinda

Pada sore-sore saat saya tidak kebagian piket masak, saya bersama teman-teman akan bersosialisasi dengan warga. Sebagian di antara kami snorkeling, sebagian lain jogging keliling pulau, ada pula yang bermain voli di lapangan. Percayalah, ini sangat menyenangkan; sambil menunggu senja bersosialisasi dengan warga.

Di Pulau Meosmanggara hanya ada satu warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Warung itu menjual beras, minyak, tepung, gula, bawang, air mineral botol, sampai camilan-camilan ringan. Tapi, setiap jajan kita harus mengecek tanggal kedaluwarsanya, sebab banyak makanan yang sudah lewat tenggat kelayakan. Pemilik warung punya kapal yang digunakan untuk berbelanja. Terkadang teman-teman saya, Bima dan Agung, ikut sang pemilik warung pergi ke Waisai untuk belanja kebutuhan tim kami.

Gereja Ebenhaezer adalah satu-satunya rumah ibadah di Pulau Meosmanggara. Mayoritas warga memeluk Kristen. Seingat saya, hanya ada dua rumah penganut Islam. Setiap Minggu dan setiap habis ada acara besar di gereja adalah waktu paling saya tunggu-tunggu, sebab kami bisa menyantap makanan super enak—sotong dan ikan-ikan super besar!

Omong-omong, tidak ada warga Pulau Meosmanggara yang memelihara babi. Jadi, jarang sekali mereka memasak babi. Selama dua bulan saya di sana, hanya sekali warga memasak babi.

Toleransi di Meosmanggara begitu besar. Warga membantu kami saat hendak beribadah; mayoritas tim saya Islam. Kebetulan, saat berada di sana, kami melewati Idul Fitri. Untuk beribadah, kami yang memeluk Islam diantarkan oleh warga dengan kapal kecil ke Pulau Manyaifun, setengah jam perjalanan dari Meosmanggara, yang dihuni komunitas muslim dan memiliki satu masjid kecil.

Foto bersama warga Meosmanggara sebelum kembali ke Jogja/Tika Ulfianinda

Rumah-rumah penduduk Meosmanggara sangat sederhana, hanya berlantai semen dan berdinding kayu atau rotan. Meskipun bersahaja, rumah-rumah itu penuh kehangatan yang terkadang bisa membuat kami lupa kalau di pulau itu tidak ada sinyal. Kalau sudah mengobrol dengan warga, kami sampai lupa dengan gawai.

Sebenarnya ada satu titik khusus di mana saya bisa mendapatkan sinyal, namanya “pohon sinyal.” Kalau dideskripsikan, kira-kira lokasi ini ada di bawah pohon dekat pantai. Di bawah pohon itu ada satu tiang dari bambu setinggi satu meter. Di atas tiang tersedia wadah dari botol air mineral yang dipotong ujungnya: tempat meletakkan ponsel. Bentuknya serupa mikrofon lengkap dengan stand. Jadi, menelepon hanya bisa dilakukan dengan mengaktifkan loudspeaker. Sinyal internet? Jangan harap. Sinyal telepon saja kadang putus-putus.

Jika malam datang dan hari mulai gelap, saya dan beberapa teman biasanya bertandang ke rumah warga untuk bertukar cerita dalam cahaya senter yang mulai redup. Tidak ada listrik di Pulau Meosmanggara. Listrik hanya dari genset yang dinyalakan jika saya dan tim butuh listrik untuk program kerja. Sekali pun menyala, laptop, kamera dan senterlah yang jadi prioritas untuk di-charge. Ponsel belakangan saja, toh tidak ada sinyal.

Beberapa kali warga mengadakan acara besar dan memainkan tambur, alat musik seperti gendang berukuran besar yang dimainkan secara berkelompok. Tambur-tambur itu memberi ketukan pada alunan suling. Pemain tambur berjalan keliling pulau diikuti oleh massa. Saya dan tim tidak pernah melewatkan tambur. Alunan musik tradisional itu menghipnotis saya—dan warga lain—untuk berjoget keliling pulau. Semua berbahagia!

Dengan segala keterbatasan fasilitas, Pulau Meosmanggara punya keindahan yang luar biasa. Toleransi yang sangat hangat dan kesederhanaannya membuat saya dan tim begitu merasa berat utuk pulang.

Inilah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Papua. Semoga suatu hari Tuhan mengizinkan kami kembali ke Meosmanggara.

Saat kami menjauh dari pulau, sepenggal lagu yang sering dinyanyikan warga Meosmanggara terngiang-ngiang dalam kepala saya, “Meosmanggara, pulau tercinta…..”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sederhananya Pulau Meosmanggara di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-meosmanggara-raja-ampat/feed/ 0 18198